18 November 2010

PENANGGALAN (TARIKH)

Kalender (Taqwim) adalah refleksi tentang sistem terapan waktu yang dilakukan manusia berdasarkan dasar-dasar yang tetap untuk menjadi pegangan, tanda dan aturan terhadap kegiatan perjalanan kehidupan manusia sehari-hari sepanjang sejarah.


Macam-Macam Penanggalan:

Terdapat tiga model dasar penanggalan yang dikenal didunia saat ini, yaitu;

1.Dasar penanggalan matahari (Solar System)

2.Dasar penanggalan bulan (Lunar System)

3.Dasar penanggalan bulan-matahari (Lunar-Solar System)


1. Dasar penanggalan matahari (Taqwim Syams)

Penanggalan/tahun matahari -dikenal juga dengan tahun tropical (sanah al madariyah)- adalah periode berakhir/berlalunya dua kedudukan di matahari dari titik hamal (i'tidal raby'iy) secara gerak semu disekitar bumi dengan masa 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik (365,2422 hari).

Ilustrasi:

Lingkaran ekliptika memotong ekuator langit didua tempat dan kedua titik potong itu disebut equinox1 dan equinox2. Oleh karena equinox1 (titik hamal / i'tidal rabi'iy) menjadi titik dasar dalam menghitung bujur astronomis, maka lama matahari berangakat dari equinox1 kembali lagi ke equinox1 sedikit pendek dari masa revolusi bumi, karena equinox1 setiap tahun bergerak retograt sebesar 0°,0139645. Maka waktu yang berlangsung antara dua kedudukan matahari yang sama dan berturut-turut terhadap equinox1 = 360 / 360 - 0,0139645 x 365,25636042 hari = 365,24219879 (365,2422) hari. Waktu berangkat matahari dari equinox1 kembali lagi ke equinox1 disebut satu tahun tropical yang menggambarkan satu rangkaian siang dengan malam.

Penanggalan berdasarkan matahari terhitung sebagai penanggalan yang paling banyak digunakan di dunia hingga sat ini, dengan alasan:

-Tetapnya panjang (masa) tahunannya

-Keterkaitan dan ketepatannya dengan fenomena geografis khususnya perubahan musim/pertanian.

Meski demikian, terdapat keragaman tentang panjang tahunan matahari dibeberapa penanggalan yang ada, antara lain ada yang menetapkan 360 hari, 365 hari, 365,25 hari, 366 hari. Demikian pula terhadap bilangan dan panjang masing-masing bulan-bulannya.

Diantara jenis-jenis penanggalan (kalender) sistem matahari a.l.;

1.Kalender Mesir kuno/Kalender Koptik (Taqwim al Mashry al Qadim/Taqwim Qibthy)

2.Kalender Romawi kuno (Taqwim ar Rumany al Qadim)

3.Kalender Julian ( Taqwim Yuliyany)

4.Kalender Gregorius (Taqwim Ghrighary)

5.Kalender Suryani (Taqwim Suryany)

6.dll.

2. Dasar penanggalan bulan (Taqwim Qamary)

Penanggalan bulan (Taqwim Qamary) adalah penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 3 detik (29,53 haari). Dari peredaran ini, dalam 12 bulan berarti sama dengan 354,3670694 hari (354 hari, 8 jam, 8 menit, 35 detik), yang berarti lebih sedikit dari tahun matahari sekitar 11 hari (10 hari 21 jam). Penanggalan bulan dimulai dari terbenamnya matahari (setelah terjadinya konjungsi bulan dan matahari) yang ditandai dengan terlihatnya hilal. Penanggalan ini terbanyak digunakan umat Islam dalam menentukan waktu-waktu ibadah, terutama penetapan awal Ramadhan-Syawal dan Dzulhijjah.

Diantara jenis-jenis penanggalan (kalender) sistem bulan a.l.;

1.Penanggalan Hijriyah (Islam/Arab)

2.Penanggalan Arab sebelum Islam

3.Penanggalan China

4.Penanggalan Jawa

5.dll.

3. Dasar penanggalan bulan-matahari (Taqwim Tawfiqy)

Penanggalan bulan-matahari adalah penanggalan yang didasarkan pada dua fenomena bulan dan matahari, yaitu dengan perjalanan matahari untuk tahunan, dan dengan perjalanan bulan untuk aktifitas bulanan sperti puasa, hari raya, perayaan-perayaan, dll.

Diantara jenis-jenis penanggalan (kalender) sistem bulan-matahari a.l.;

1.Penanggalan Yunani (Greek)

2.Penanggalan Babilonia

3.Penanggalan Yahudi ('Ibry)

4.dll.

Dengan alasan sempitnya waktu dan cukup rumitnya masing-masing jenis penanggalan, maka disini, dari beragam jenis penanggalan yang ada, yang kita bicarakan tiga jenis penanggalan saja, yaitu; 1.] Penanggalan Mesir kuno, 2.] Penanggalan Masehi, 3.] Penanggalan Islam (Hijriyah). Dengan alasan, penanggalan Mesir kuno, karena penulisan makalah ini berada dinegeri Mesir. Penanggalan Hijriyah (Islam) digunakan umat Islam dalam ibadah, Penanggalan Masehi, digunakan secara internasional. Wallah a'lam.

Kalender Mesir Kuno (Taqwim al Mashry al Qadim)


Penanggalan Mesir kuno -berikutnya dikenal dengan penanggalan Qibthy- menggunakan sistem tahun matahari dengan panjang masa satu tahun = 365 hari (berarti kurang 0,2422 hari dari tahun matahari sesungguhnya). Kalender ini tidak berpatokan pada fenomena alami matahari, namun berpedoman pada salah satu bintang bersinar yang sangat masyhur di langit Mesir diketika malam-malam bulan musim panas (summer) yaitu bintang Sirius (najm as syi'ra al yamaniyyah) yang muncul dibagian timur sekitar tanggal 19 Juli (tamuz / تموز) dan mulai bersinar diakhir bulan Agustus (ab / آب). Munculnya bintang ini secara bersamaan ditandai dengan datangnya banjir sungai Nil hingga mencapai puncak Delta. Dengan terbanjirinya lahan-lahan bumi Mesir dengan lumpur-lumpurnya menjadikan bumi Mesir subur.


Perhatian bangsa Mesir kuno terhadap bintang dan datangnya banjir tersebut terus mengakar, hingga menjadi pedoman mengetahui masa tahunan, yang berikutnya menjadi penanggalan yang terus digunakan selama berabad-abad. Masa dari munculnya bintang dan datangnya banjir tersebut ke musim berikutnya bertepatan selama 365 hari, yang berarti kurang 0,2422 atau 1/4 hari dari masa tahun matahari sesungguhnya. Yang berarti pula, dalam masa 4 tahun terdapat pengurangan satu hari, hal ini menjadi persoalan teoritis dalam kalenderisasi kalender Mesir kuno.

Bangsa Mesir kuno menetapkan masa satu tahun 365 hari, dengan jumlah bulan sebanyak 12 bulan dengan panjang hari seluruhnya sama yaitu 30 hari (30 x 12 = 360). Sementara sisa 5 hari ditambahkan dipenghujung tahun, yang disebut hari interkalasi (ayyam an nasy') yang sekaligus dijadikan sebagai hari libur akhir tahun. Penanggalan ini telah dimulai bangsa Mesir kuno semenjak tahun 4236 SM.

Persoalan diatas menyebabkan setelah berlalunya masa selama 1460 tahun akan terjadi kesalahan selama 365 hari (± satu tahun), yaitu; 1460/4 = 365 hari. Mesir kuno menyadari adanya masa kekurangan 365 hari dalam masa 1460 tahun ini, berkaitan dengan ini mereka namakanlah hal ini dengan siklus spedt / سبدت yaitu masa (periode) bintang Sirius (as syi'ra al yamaniyah).

Sejak tahun 238 SM, Mesir kuno mulai menggunakan aturan tahun kabisat , sekira menjadikan masa satu tahun = 365,1/4 hari. Dengan menjadikan tiap-tiap tahun keempat sebagai tahun kabisat dengan jumlah hari 366, meski penggunaan ini tidak dipatuhi secara konsisten namun terterapkan secara konsisten dimasa sistem penanggalan Julian dan Gregorius.

Penanggalan Mesir kuno dalam kesatuan 28 tahun akan terjadi tahun kabisat (jumlah hari satu tahun = 366 hari, dan hari interkalasi (nasy'i) sebanyak 6 hari) yaitu tahun ke 3, 7, 11, 15, 19, 23, 27, sementara selainnya tetap 365 hari dengan hari interkalasi sebanyak 5 hari.

Ketika Imperium Romawi menguasai Mesir (sekitar tahun 284 M), Mesir kuno mulai menggunakan sistem kalender koptik (taqwim qibthy) , yang merupakan lanjutan dari kalender Mesir kuno yang terus digunakan dan dikenal hingga saat ini, dengan tetap berpedoman pada tahun matahari dengan panjang masa satu tahun 365 1/4 hari.


Bulan-bulan kalender Qibthy

Penamaan bulan-bulan Qibthy punya kaitan erat dengan sesembahan beserta musim-musim, yaitu;
1.] توت ; Bulan pertama, dimulai 11 September s.d. 10 Oktober. توت adalah nisbah kepada tuhan تحوت , yaitu tuhan yang naik kebulan setelah menghilang. Mesir kuno meyakini bulan (qamar) sebagai penghulu waktu, penghitung masa dan pemilik kebahagiaan.
2.] بابه ; Bulan kedua, dimulai 11 Oktober s.d. 9 November. بابه adalah nisbah kepada tuhan sungai Nil.
3.] هتور ; Bulan ketiga, dimulai 10 Nopember s.d. 9 Desember. هتور teradopsi dari kata (حاتحور) tuhan sesembahan Mesir kuno, yang berarti tuhan langit.
4.] كهيك ; Bulan keempat, dimulai 10 Desember s.d. 8 Januari. كهيك adalah nisbah kepada salah satu hari perayaan Mesir kuno.
5.] طوبه ; Bulan kelima, dimulai 9 Januari s.d. 7 Februari. طوبه bermakna Gandum, yang kemungkinan bulan ini bertepatan dengan musim panen gandum.
6.] آمشير ; Bulan keenam, dimulai 8 Februari s.d. 9 Maret. آمشير berarti malapetaka (bencana), yang ditandai dengan kencangnya angin bertiup dibulan ini.
7.] برمهات ; Bulan ketuju, dimulai 10 Maret s.d. 8 April. برمهات adalah nisbah kepada raja أمنحتب الثالث .
8.] برمودة ; Bulan kedelapan, dimulai 9 April s.d. 8 Mei. برمودة berarti tuhan pemetik hasil (panen).
9.] بشنس ; Bulan kesembilan, dimulai 9 Mei s.d. 7 Juni. بشنس berarti tuhan bulan (qamar).
10.] بؤنه ; Bulan kesepuluh, dimulai 8 Juni s.d. 7 Juli. بؤنه berasal dari kata-kata (bahasa) Mesir (بي أنت), yang dinisbahkan pada lembah raja batu.
11.] آبيب ; Bulan kesebelas, dimulai 8 Juli s.d. 6 Agustus. آبيب adalah nisbah kepada tuhan أبيبي .
12.] مسرى ; Bulan keduabelas, dimulai 7 Agustus s.d. 5 September. مسرى merupakan penggalan dari kata (مس رع) yaitu kelahiran matahari.

Selanjutnya dari penanggalan ini, Mesir kuno membagi musim kepada tiga musim dengan tiap-tiap musim berisi empat bulan, yaitu;
1. Ekhet خت (musim banjir), dimulai dari bulan keenam (أمشير) s.d. bulan kesepuluh (بؤنة).
2. Pret برت (musim benih), yaitu mulai tumbuhnya benih-benih tanaman setelah surutnya air Nil. Dimulai dari bulan kesebelas (آبيب) s.d. bulan kedua (بابه).
3. Shmiw شمو (musim panen), dimulai dari bulan ketiga (هتور) s.d. bulan keenam (آمشير).

Kalender Hijriyah (Taqwim Hijry)

Kalender Hijriyah (Taqwim Hijry) adalah kalender yang digunakan umat Islam dipenjuru dunia khususnya dalam kaitan dengan ibadah. Dalam Kalender ini, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari yang ditandai dengan munculnya hilal diufuk barat (waktu magrib). Kalender Hijriyah terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik (354,3670694 hari), yang berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan Kalender Masehi.

Dimasa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun, sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti “Tahun Gajah” (tahun lahirnya baginda Nabi S.a.w.) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah. Setelah datangnya Islam, Dinamakanlah tahun pertama hijrahnya Nabi S.a.w. sebagai tahun 'idzn' (izin) yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun 'amr' (perintah), yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang. Tahun ketiga disebut tahun 'tamhish' (ujian), tahun keempat disebut tahuun ترفئة , tahun kelima disebut tahun 'zilzal' (gempa), tahun keenam disebut tahun 'isti'nas' (keramahan), tahun ketujuh disebut tahun 'istiqlab' (peleburan), tahun kedelapan disebut tahun istiwa' (tropis), tahun kesembilan disebut tahun 'bara'ah' (pembebasan), tahun kesepuluh disebut tahun 'wada'' (haji wada'), ... dst.

Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan seperti bertahan hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu:
1.] Muharram 2.] Shafar3.] Rabi'ul Awwal 4.] Rabi'u Tsani 5.] Jumadil Awwal 6.] Jumadil Tsani 7.] Rajab 8.] Sya'ban 9.] Ramadhan 10.] Syawwal 11.] Dzulqa'dah 12.] Dzulhijjah.

Barulah, masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam dibentuk dengan nama kalender hijriyah, setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan para pembesar sahabat menanggapi surat yang disampaikan gubernur Abu Musa al Asy'ary. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrah-Nya Nabi Muhammad S.a.w. dari Mekkah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali ra. Dinamakanlah kalender tersebut dengan Kalender Hijriyah. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah Nabi sebagai tahun satu, (1 Muharram 1 H) bertepatan dengan (16 Juli 622 M). Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H.
Setelah penetapan tersebut nama-nama bulan dari Muharam sampai Dzulhijjah tetap digunakan karena sudah populer ditengah masyarakat, bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim, sehingga Ramadhan (terik matahari) tidak selalu bertepatan pada musim panas, dan Jumadil Awwal (beku/dingin) tidak pula selalu bertepatan pada musim dingin, dst.

Karakteristik Kalender Hijriyah

Seperti ditegaskan diatas, kalender hijriyah adalah kalender berdasarkan peredaran bulan (qamar), terdiri 12 bulan dengan jumlah hari masing-masing 29,530589 (29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,9 detik) dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik (354,3670694 hari). Bulan-bulan Qamariyah terjadi melalui siklus peredaran yang dihabiskan bulan satu kali peredaran sempurna dari munculnya hilal hingga muncul hilal berikutnya atau dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya. Dalam penggunaan sehari-hari, angka pecahan bulan (0,530589) tidaklah praktis, maka dibulatkan dengan berganti-ganti antara 29 hari dan 30 hari. Sisa pecahan dibulatkan dan diberikan kepada bulan Dzulhijjah yang disebut tahun kabisat.

Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun kabisat (Dzulhijjah dijadikan 30 hari), yaitu tahun 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan 29. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur.

Berdasarkan pengkabisatan 11 kali dalam masa 30 tahun, maka kesalahan penanggalan hijriyah dalam masa 30 tahun = 30 x 12 x 29,530589 hari – 10631 hari = 0,01204 hari. Dengan demikian kesalahan 1 hari baru akan terjadi pada tahun 2492 H. Kamis, 13 September 2007 M (1 Ramadhan 1428 H) diperkirakan umat Islam Indonesai akan memulai puasa Ramadhan 1428 Hijriyah, tahun ke-18 (tahun kabisat) dalam siklus 1411-1440. Wallah a'lam.

Kalender Masehi (Gregorius)/ (Taqwim Mylady)

Kalender Masehi (Gregorius)/ (Taqwim Mylady)
Kalender Masehi -disebut juga kalender Gregorius- adalah penanggalan berdasarkan peredaran matahari (Taqwim Syamsy) dengan masa 365,2422 (365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik). Kalendar ini merupakan lanjutan dari kalender Julian yang digunakan secara internasional. Kalendar ini (baca: kalender Gregorius) muncul karena Kalendar Julian dinilai terjadi sedikit kekeliruan, sebab permulaan musim bunga (21 Maret) semakin maju, sehingga perayaan Easter (hari paskah) yang sudah disepakati sejak Konsili Nicea pada tahun 325 M tidak tepat lagi.


Satu tahun dalam penanggalan Julian berlangsung selama 365, 25 hari, sementara perputaran bumi mengelilingi matahari (revolusi) berlangsung selama 365, 2422 hari, beararti terjadi selisih sekitar 0,00780121 hari (365,25 hari – 365,2422 hari = -0,0078 hari). Selanjutnya sisa pecahan (-0,0078) tersebut dibulatkan menjadi satu hari, diberikan pada bulan Februari pada tiap-tiap tahun yang keempat. Penggunaan terus menerus ini mengakibatkan hingga tahun 1582 M terjadi kesalahan sekitar 10 hari, dan dalam satu millenium (1000 tahun) akan berlebih 7 - 8 hari. Hingga saat ini jumlah hari kesalahan tersebut telah mencapai 13 hari, yang dikenal dengan Anggaran Gregorius (AG), nisbah kepada raja (Paus) Gregorius XIII (Baba Vatikan) tahun 1582.

Masalah ini (baca: selisih 0,00780121 hari) diselesaikan dengan meng-kabisat-kan bilangan ratusan-ribuan, maka tahun 1700, 1800, 1900, 2100, 2200, 2300 dan semisalnya bukan tahun panjang, yaitu jumlah hari bulan Febuari tetap 28 hari. Dengan ini Kalendar Gregorius tetap 365, 2425 hari dalam setahun. Lalu pada tahun 1582, hari Jum'at, 5 Oktober, melalui satu dekrit, yang seharusnya keesokan harinya 5 Oktober diganti menjadi hari Minggu 15 Oktober. Sejak saat itu dikenallah kalender ini dengan kalender Gregorius.

Mengenal Sepintas tentang Ilmu Astronomi-BAHAN AJAR PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Mengenal Sepintas tentang Ilmu Astronomi-BAHAN AJAR PENDUKUNG PEMBELAJARAN GEOGRAFI SMA MUHAMMADIYAH 1 TASIKMALAYA

Oleh; Wahyudi Abdurrahim, Lc.*


وَالسَّمَاء بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. (QS. Al-Dzâriyât:47).

وَالسَّمَاء رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). (QS. Al-Rahmân:7)

Banyak di antara kita yang memiliki persepsi berbeda tentang langit. Ada yang berpendapat bahwa langit adalah sebuah ‘atap’ alias bidang pembatas ruang angkasa. Artinya, mereka mengira bahwa ruang di atas kita ada pembatasnya, semacam atap. Kelompok pertama ini, biasanya adalah mereka yang awam tentang ilmu Astronomi.
Kelompok kedua adalah mereka yang mengikuti berbagai macam informasi tentang angkasa luar dari berbagai film-film fiksi ilmiah, ataupun berbagai macam media massa. Pada umumnya mereka mengerti bahwa yang dimaksud langit adalah sebuah ruang raksasa yang berisi triliunan benda-benda langit, seperti matahari, planet-planet (termasuk Bumi), bulan, bintang, galaksi, dan lain sebagainya. Mereka memperoleh pemahaman yang lebih baik bahwa langit bukanlah sebuah bidang batas, melainkan seluruh ruang angkasa di atas kita.

Kelompok yang ketiga adalah mereka yang mempelajari informasi Astronomi lebih banyak dan lebih detil. Lebih jauh, mereka mencoba memahami berbagai hal yang berkait dengan struktur langit lewat berbagai teori-teori Astronomi. Mereka terus-menerus mengikuti berbagai informasi dan mencoba melakukan rekonstruksi terhadap struktur langit, yang secara umum dipahami sebagai alam semesta atau Universe.
Dari ketiga kelompok pemahaman itu secara global bahwa yang disebut langit sebenarnya bukanlah sebuah bidang batas di angkasa sana, melainkan sebuah ruang tak berhingga besar yang memuat triliunan benda-benda angkasa. Mulai dari batuan angkasa yang berukuran kecil, satelit semacam bulan, planet-planet, matahari dan bintang, galaksi hingga superkluster.

Karena itu, jika kita bergerak ke langit naik pesawat angkasa luar, misalnya, maka kita akan bergerak menuju ruang angkasa yang maha luas. Sehari, seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya kita bergerak ke angkasa, maka yang kita temui hanya ruang angkasa gelap yang berisi berbagai benda langit saja. Sampai mati pun, kita tidak akan pernah menemukan pembatasnya. Ya, langit adalah ruang angkasa yang luar biasa besarnya. Bahkan, tidak diketahui dimana tepinya.

Setelah kita sedikit memahami tetang langit, lalu kita akan berinjak kepada cabang ilmu yang mempelajari tentang benda-benda langit. Cabang ilmu itu adalah ilmu astronomi. Secara bahasa, astronomi berarti "ilmu bintang". Sementara definisi umum astronomi adalah ilmu yang melibatkan pengamatan dan penjelasan kejadian yang terjadi di luar Bumi dan atmosfernya. Ilmu ini mempelajari asal-usul, evolusi, sifat fisik dan kimiawi benda-benda yang bisa dilihat di langit (dan di luar Bumi), juga proses yang melibatkan mereka.

Masyarakat awam kerap menyamakan bahwa astronomi tidak jauh berbeda dengan astrologi. Keduanya memang tidak lepas dari benda-benda langit. Pada astrologi, yang dipelajari ialah hubungan kedudukan rasi bintang, planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib seseorang.

Sementara astronomi mempelajari tidak hanya planet, matahari, bulan, bintang, tapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan masih banyak lagi. Astronomi mempelajari alam secara fisikanya, matematikanya, termasuk hukum-hukum alam. Kesimpulannya bahwa benda-benda di atas sana adalah benda langit. Bukan lagi dewa-dewa atau makhluk yang supra. Karena secara spektroskopi, material penyusun benda-benda langit itu sama dengan material, unsur-unsur kimia di permukaan bumi.

Astronomi merupakan tantangan berpikir bagi umat manusia agar selalu terangsang untuk bertanya mengapa, dan bagaimana. Manusia diajak berpikir terus. Misalnya, sampai kapan Matahari akan bersinar. Lalu, apa yang terjadi jika Matahari tidak bersinar. Apakah ada kehidupan lain selain di planet Bumi. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Astrologi adalah ilmu tradisi yang mempelajari tentang hubungan antara kejadian-kejadian di bumi dengan posisi dan pergerakan benda-benda langit misalnya matahari, bulan dan planet-planet serta bintang-bintang. Astrologi merupakan ilmu perbintangan yang dipakai untuk meramal dan mengetahui nasib orang. Dengan demikian, ia merupakan ilmu ramalan tentang kejadian yang akan menimpa manusia berdasarkan pada kepercayaan manusia mengenai pengaruh benda luar angkasa terhadap kelangsungan hidup manusia.
Astrologi diharamkan bagi umat Islam. Astrologi akan berimplikasi pada penyembahan terhadap benda-benda langit yang berarti juga menyekutukan Allah. Ketika orang Yaman menyembah bintang sirius, Allah berfirman kepada mereka:

وَأَنَّهُ هُوَ رَبُّ الشِّعْرَى

Dan bahwasanya Dia-lah Tuhan (yang memiliki) bintang sirius. (QS. An-Najmu: 49)
Artinya, mengapa kalian percaya bahwa nasib kalian dipengaruhi oleh bintang sirius? Mengapa kalian tidak menyembah Allah yang menciptakan bintang tersebut?
Ini tentu sangat berbeda dengan mempelajari ilmu astronomi yang dianjurkan oleh Islam. Dalam al-Qur’an memang banyak sekali ayat-ayat kauniyah terutama yang berkaitan dengan astronomi. Di antara ayat-ayat tersebut adalah:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’âm:96)

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالْنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالْنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya). (QS. An-Nahl:12)

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).. (QS. Yûnus:5)

Hanya saja yang perlu digarisbawahi adalah bahwa al-Qur’an bukan buku ilmiah yang berisikan teori-teori matematis. Al-Qur’an adalah Kitab petunjuk bagi umat manusia. Sebagai Kitab petunjuk, maka apapun yang tersirat dalam al-Qur’an tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa di balik alam raya ada Sang Maha Pencipta. Teori yang diletakkan oleh manusia bisa jadi benar dan mungkin juga salah. Perkembangan ilmu pengetahuan empiris yang akan membuktikan sejauh mana teori tersebut sesuai dengan aturan alam yang sesungguhnya. Teori baru bisa jadi menggugurkan terhadap teori lama yang dianggap sudah tidak relevan. Namun yang pasti, al-Qur’an selamanya tidak akan pernah berubah. Al-Qur’an tetap akan selalu sesuai dengan ruang waktu.

Dalam berfikir, seorang ilmuan muslim akan selalu berbijak pada tauhid murni. Alam raya tidak datang dari sebuah kebetulan dengan unsur-unsur materi sebagai bahan pokok. Alam raya diciptakan Allah demi kemaslahatan umat manusia. Pengamatan kita pada alam semesta akan semakin memantapkan iman dan keyakinan kita. Dan pada akhirnya, kita menjadi golongan Ulil Albab.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ ()الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَآ مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imrân:190-191)

Cara mengetahui tahun Kabisat dan Basithah
06 Maret 2009 0:06
- Angka (tahun) satuan dan puluhan, jika setelah dibagi empat dengan tanpa sisa berarti tahun kabisat, dan jika bersisa berarti tahun Basithah. Misal: tahun 1996 (1996/4 = 449, tidak ada sisa = tahun Kabisat), tahun 1998 (1998/4 = 499,5 sisa 0,5 = tahun Basithah), dst.
- Untuk angka ratusan (tahun abad) jika dapat dibagi dengan 400 dengan tanpa sisa maka tahun kabisat, Misal: tahun 2000 (2000/400 = 5), dan jika setelah dibagi 400 masih bersisa berarti tahun Basithah, misal: tahun 1700 (1700/400 = 4,25), tahun 1800 (1800/400 = 4,5), tahun 1900 (1900/400 = 4,75).

Catatan ulang:
1.] Panjang satu tahun Miladiyah atau tahun Masehi atau tahun Syamsiyyah atau tahun Tropical = 365, 2422 (365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik).
2.] Tarikh Masehi / Miladiyah / Gregorius, merupakan lanjutan dari Tarikh Julian yang berpedoman pada panjang tahun = 365 h, 6 j, sementara panjang satu tahun sebenarnya adalah 365 h, 5 j, 48 m, 46 d.
3.] Dengan menjadikan panjang satu tahun persis 365 h, 6 j, berarti dalam tiap tahunnya berlebih sekitar 11 menit (365 h, 6 j – 365 h, 5 j, 48 m, 46 d = 10 m, 18 d), dan dalam jangka 400 tahun terdapat kesalahan 3 hari. Untuk mengatasi hal ini, dilakukanlah perbaikan dengan melakukan pengkabisatan tahun ratusan-ribuan (tahun abad), seperti tahun 1900, 2100, 2200. Jika ratusannya dapat dibagi 400 dengan tanpa sisa, maka tahun kabisat. Maka tahun 1900, 2100, 2200 (tahun Basithah) karena ada sisa, meskipun jika dibagi 4 tanpa sisa. Berikutnya dikenal-lah sistem ini dengan penanggalan / tahun Gregorius atau tahun Miladiyah.


Kesimpulan
1.] Kalender (Taqwim) merupakan refleksi tentang sistem terapan waktu yang dilakukan manusia berdasarkan dasar-dasar yang tetap untuk menjadi pegangan, tanda dan aturan terhadap kegiatan perjalanan kehidupan manusia sehari-hari sepanjang sejarah. Terdapat tiga model dasar penanggalan yang dikenal didunia saat ini, yaitu; Dasar penanggalan matahari (Solar System), Dasar penanggalan bulan (Lunar System) dan Dasar penanggalan bulan-matahari (Lunar-Solar System).

2.] Penanggalan Mesir kuno (penanggalan Qibthy) adalah penanggalan yang menggunakan sistem tahun matahari dengan pedoman pada munculnya bintang Sirius (najm as syi'ra al yamaniyyah) yang muncul sekitar tanggal 19 Juli dan mulai bersinar diakhir bulan Agustus. Bangsa Mesir kuno menetapkan masa satu tahun 365 hari, dengan jumlah bulan sebanyak 12 bulan dan panjang hari seluruhnya sama yaitu 30 hari (30 x 12 = 360). Sementara sisa 5 hari ditambahkan dipenghujung tahun, yang disebut hari interkalasi (ayyam an nasy') sebagai hari libur akhir tahun. Penanggalan ini telah dimulai bangsa Mesir kuno semenjak tahun 4236 SM

3.] Kalender Hijriyah (Taqwim Hijry) adalah kalender yang digunakan umat Islam dipenjuru dunia khususnya dalam kaitan dengan ibadah, dimulai dari terbenamnya matahari dan ditandai dengan munculnya hilal diufuk barat (waktu magrib). Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa 354 hari, 8 jam, 8 menit, 35 detik. Kalender ini ditetapkan dan dinamakan 'Kalender Hijriyah' melalui rapat para sahabat yang dipimpin khalifah Umar ra. menanggapi surat Abu Musa al Asy'ari. Atas usul Ali ra. kalender Islam dibentuk dan dimulai dari masa hijrahnya Nabi S.a.w.

4.] Kalender Masehi (Kalender Gregorius) adalah penanggalan berdasarkan peredaran matahari dengan masa 365,2422 (365 h, 5 j, 48 m, 46 d), merupakan lanjutan dari kalender Julian. Kalendar ini muncul karena Kalendar Julian dinilai terjadi sedikit kekeliruan, yaitu dengan menjadikan panjang satu tahun 365, 25 hari, sementara panjang sebenarnya 365, 2422 hari, beararti terjadi selisih sekitar 0,00780121 hari (365,25 hari – 365,2422 hari = -0,0078 hari). Dalam kurun hingga tahun 1582 M terjadi kesalahan sekitar 10 hari. Maka tahun 1582, melalui satu dekrit, yang seharusnya keesokan harinya 5 Oktober diganti menjadi 15 Oktober. Sejak saat itu dikenallah kalender ini dengan kalender Gregorius, nisbah kepada raja (Paus) Gregorius XIII (Baba Vatikan).

Penentuan Idul Adha; Haruskah Sama dengan Arab Saudi?

Penentuan Idul Adha; Haruskah Sama dengan Arab Saudi ?
Oleh; Rahmadi Wibowo*

Mukadimah

Penetapan awal bulan Qamariyah sering mengundang perdebatan. Baik itu dari metode, penggunaan metode rukyat atau metode hisab. Dimana kedua-duanya mengklaim metodenya adalah yang paling akurat dan paling dekat dengan perintah Nabi. Namun permasalahan semakin meluas terkhusus penetapan Bulan Dzulhijjah. Bukan hanya sekedar rukyat dan hisab saja, namun pertanyaan berlanjut apakah harus sesuai dengan ketetapan Arab Saudi?. Pertayaan ini mengemuka disebabkan pelaksanaan ibadah haji terutama wukuf hanya dilakukan di Makkah. Tulisan ini akan sedikit membahas haruskan sama dengan ketetapan Arab Saudi dalam melaksanakan puasa Arafah dan beridul Adha bagi negara-negara selain Arab Saudi.

Rukyat Arab Saudi

Dikalangan umat Islam berkembang pemahaman bahwa untuk menetapkan bulan-bulan Qamariyah harus berkiblat ke Arab Saudi. Diantara negara yang mengunakan pemahaman seperti ini adalah Qatar, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, Turki, Irak, Yordan, Palestina, Lebanon dan Sudan. Ada pula faham hanya terkhusus Bulan Dzulhijah saja yang harus mengikuti dengan Arab Saudi namun untuk bulan-bulan yang lain berdasarkan rukyat lokal. Faham demikian antara lain di ikuti Negara Masir. Di Indonesia pun berkembang sebagaimana faham-faham diatas.

Metode yang digunakan oleh Arab Saudi dalam menentukan awal bulan-bulan Qamariyah berdasarkan Kalender Umul Qura. Namun terkhusus penetapan waktu ibadah Ramadan, Syawal, Dzulhijah mengunakan rukyat murni yang didasarkan persaksian orang yang adil. Kaidahnya sederhana "Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut".

Namun sayangnya Arab Saudi dalam melakukan isbat terhadap laporan rukyat sering menimbulkan kontroversi. Sebagai contoh dalam penetapan awal Dzulhijah 1428 H. Pada tanggal 10 Desember 2007 kantor Berita Arab Saudi (WAS) memberitakan maklumat masuknya bulan Dzulhijah 1428 H. Dalam maklumatnya menegaskan Majelis al-Qadha al-A’la menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah 1428H bertepatan dengan hari Senin, tanggal 10 Desember 2007. Ketetapan ini berdasarkan “kesaksian sejumlah saksi yang adil”. Memang Majlis al-Qadha al-A’la bermazhab rukyat murni dan didasarkan oleh persaksian seseorang yang adil. Sehingga ditetapkan wukuf di Arafah (9 Dzulhijah) jatuh pada hari selasa tanggal 18 desember 2007 dan Idul Adha pada 19 Desember 2007. Beberapa negara tetangga mengikuti ketetapan Saudi ini diantaranya Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Oman. Sedangkan Libya menetapkan 1 Dzulhijjah 1428 H pada hari Senin 10 Desember 2007, akan tetapi bukan karena mengikuti Arab Saudi tetapi mendasarkan ijtima’ Qabla Fajr (konjungsi sebelum fajar). Sedangkan di Indonesi sendiri mentapkan 1 Dzulhijjah 1428H pada 11 Desember 2007.

Jika keputusan Arab Saudi diatas dilihat dari segi astronomi maka tidak sesuai. Kesaksian tentang rukyat tersebut secara otomatis tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmah. Ini dikarenakan pada saat matahari tenggelam diufuk Makkah tanggal 9 Desember 2007 (sore Ahad) belum terjadi konjungsi. Dalam arti lain bulan dalam revolusinya terhadap bumi belum sampai pada titik finis (titik terdekat pada garis lurus antara titik pusat matahati dan titik pusat Bumi). Jadi bulan Dzulqa’dah belum genap satu bulan, seharusnya pada tanggal 10 Desember 2007 dihitung sebagai hari ke-30 dan penggenap. Maka semestinya 1 Dzulhijah 1428 H di Makkah jatuh pada hari selasa 11 Desember 2007, Arafah pada 19 Desember 2007 dan Idul Adha 20 Desember 2007, sama halnya dengan di Indonesia.

Berdasarkan data astronomis menjelang awal bulan Dzulhijah 1428 H bahwa konjungsi terjadi pada Ahad 9 Desember 2007 pukul 20:40 Waktu Makkah (WM). Matahari terbenam pukul 17:42 WM, dan Bulan terbenam pukul 17:19 WM. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada Ahad 9 Desember 2007 pada saat matahari tenggelam di ufuk Makkah Bulan baru belum lahir. Bulan baru akan lahir setelah 2 jam 58 menit kemudian. Selain itu Mukus hilal adalah minus 22 menit, artinya saat matahari tenggelam di ufuk Makkah bulan telah tenggelam terlebih dahulu selama 22 menit. Hal ini dapat disimpulkan, sesuatu yang dilihat oleh saksi adil tersebut bukan lah hilal melainkan benda langit lain. Mungkin saja awan tipis, pesawat udara, Venus atau bahkan bulu putih yang tumbuh di pelupuk mata mereka sendiri. Jika masih diyakini mereka melihat hilal maka sama halnya seseorang mengaku telah melihat bayi, padahal sang bayi belum lahir masih berada diperut ibunya dan akan lahir beberapa jam lagi.

Oleh karenanya penetapan Majelis al-Qadha al-A’la Arab Saudi atas dasar klaim rukyat tanggal 1 Dzulhijah tidak dapat dibenarkan secara syari’i maupun berdasar ilmu pengetahuan. Ini dikarenakan memulai bulan Dzulhijah padahal bulan Dzulqa’dah belum genap. Islamic Crescents' Observation Project (ICOP) secara resmi mengeluarkan peryataan resmi supaya klaim rukyat Saudi ini dicabut.

Sesungguhnya ketidak cermatan yang dilakukan Arab Saudi melalui Majlis al-Qadha al-A’la bukan pertama kali. Pada awal Dzulhijjah 1427 H tahun 2006 Majlis ini melakukan hal yang sama. Permasalahan rukyat Saudi tidak berhenti sampai disini saja, untuk Idul Fitri 1420 H mengundang Yusuf al-Qaradhawi mengeluarkan fatwa bahwa mereka yang meakukan lebaran Idul Fitri pada Jum’at 7 Januari 2000 harus mengqadha puasannya satu hari hilang. Ini dikarenakan pada hari jumat tersebut merupakan hari terakhir Ramadan. Ini diberdasarkan data astronmi bahwa tinggi bulan -3° 18’.

Dari hasil penkajian asronomi selama 46 tahun (1 Ramadan 1380 H- 1 Ramadhan 1425 H) tentang perilaku rukyah di Saudi hanya 6 kali (13%) yang sesuai dengan konferensi Istambul 1978. Selebihnya 40 kali (87%) bertentangan dengan konferensi tersebut. Yang sangat mencolok adalah 29 kali penetapan awal Ramadhan masih dibawah ufuk.

Kapan Melaksanakan Puasa Arafah?

Perbedaan penetapan 1 Dzulhijah ini menimbulkan kesukaran dalam melaksanakan ibadah puasa Arafah. Pertanyaannya puasa Arafah tersebut haruskan dilakukan sesuai yang ditetapkan Arab Saudi ataukan berdasarkan penanggalan masing-masing?.

Puasa Arafah pada dasarnya telah dilakukan Nabi bersamaan disyariatkanya Idul Adha. Adapun Idul Adha disyariatkan bersama Idul Fitri pada 2 H. Sejak tahun itu Nabi telah biasa melakukan puasa Arafah. Sebuah hadis yang menerangkan pertikaian para shahabat di Arafah pada waktu haji wada’ mengenai apakah nabi melakukan puasa atau tidak dihari itu, mengidikasikan bahwa Nabi telah biasa melakukan puasa Arafah saat di Madinah. Ketika Rasul melakukan puasa Arafah tentunya patokan utamanya adalah tanggal 9 Dzulhijah menurut penaggalan Madinah yang berlaku. Mungkin saja suatu ketika Nabi melakukan puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijah sedangkankan pada hari itu di Makkah tidak bertepatan dengan wukuf di Arafah.

Waktu ibadah dalam Islam sebenarnya bersifat lokal. Waktu salat dan puasa ditentukan secara lokal berdasarkan fenomena matahari ditempat tersebut. Ibadah haji pun ditentukan secara lokal di Arab Saudi. Belum pernah ada laporan Arab Saudi mengumpulkan informasi dari seluruh dunia sebelum memutuskan hari wukufnya. Kalau pun di Amerika terlihat hilal dan di Arab Saudi belum, yang secara astronomis memungkinkan, belum tentu Arab Saudi mengambilnya sebagai keputusan rukyatul hilal. Padahal orang yang selalu mengikuti keputusan Arab Saudi sering mencari pembenaran dengan alasan mengikuti rukyat global.

Dasar hukum rukyat lokal secara umum (termasuk penentuan awal Dzulhijjah) adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan awal Ramadhan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadis Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah.

Menyamakan dengan Saudi?

Menghadapi kasus "perbedaan" sering timbul pertanyaan mengapa tidak diseragamkan saja hari raya itu. Orang yang berpendapat seperti itu menghendaki bila di Arab Saudi Idul Adha mengapa di Indonesia dan belahan dunia lainnya tidak mengikutinya saja. Dengan kata lain, waktu Mekkah dijadikan sebagai acuan. Alasannya sederhana. Bukankah Mekah tempatnya Ka'bah, kiblatnya umat Islam sedunia. Sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) mengiblat juga ke Mekah. Di sisi lain, perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia bagian barat hanya empat jam, semestinya hari rayanya pun bisa dilaksanakan pada hari yang sama.

Sepintas pendapat itu tampak benar dan sederhana. Tetapi bila dikaji lebih mendalam hal itu tidak mempunyai landasan syar'i dan landasan ilmiahnya. Pendapat seperti itu muncul karena menghendaki keseragaman menurut tanggal syamsiah, tetapi mengabaikan tanggal qamariyah. Padahal waktu ibadah dalam Islam ditentukan menurut kalender qamariyah. Menyeragamkan Idul Adha, berarti memaksakan pelaksanaannya menjadi tanggal 9 Dzulhijjah, bukan 10 Dzulhijjah seperti disyariatkan.

Bagaimana dengan puasa hari Arafah? Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah itu disunahkan berpuasa. Menurut hadits Rasulullah SAW yang diceritakan Abu Qatadah, puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang berlalu dan tahun mendatang. Oleh karenanya puasa hari Arafah ini tergolong puasa sunnah yang muakad (utama) sehingga banyak orang yang melaksanakannya. Hari Arafah di Makkah adalah 9 Dzulhijjah. Belum tentu ditempat lain hari dan tanggalnya sama, bisa jadi tanggal 10 Dzulhijjah. Menurut Nabi SAW, berpuasa pada hari raya haram hukumnya.

Apakah definisi "sama" harinya? Pengertian "sama" sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, definisi "sama" harinya malah berbeda tanggal. Tanggal 2 januari di Arab Saudi berarti tanggal 1 januari di Hawaii.


Penutup

Dalam logika astronomi, usulan penyamaan puasa Arafah dan Idul Adha jelas sangat konyol dan tidak dapat diterima, karena letak bujur dan lintang kota Makkah itu tidak sama dengan lintang dan bujur dengan negara lainya. Yang berarti, kemungkinan keterlihatan letak matahari dan bulan dari bumi Makkah dan bumi negara lainya juga pasti tidak sama. Apalagi setelah diteliti, Pemerintah Arab saudi dalam melakukan penetapan awal bulan seringkali didasarkan pada dasar perhitungan yang kurang valid serta persaksian orang yang adil yang mengundang kontroversi.

Oleh karenannya orang yang melaksanakan ibadah haji di Makkah tidak mengapa mengikuti penetapan Saudi. Tetapi orang yang tidak melaksanakanya seharusnya mendasarkan pada penanggalan masing-masing. Wallāhu A’lam bi al-Sawwāb.



Makrom Abied, 30 Oktober 2008

Penentuan Idul Adha; Haruskah Sama dengan Arab Saudi?


Penentuan Idul Adha; Haruskah Sama dengan Arab Saudi ?
Oleh; Rahmadi Wibowo*
Penetapan awal bulan Qamariyah sering mengundang perdebatan. Baik itu dari metode, penggunaan metode rukyat atau metode hisab. Dimana kedua-duanya mengklaim metodenya adalah yang paling akurat dan paling dekat dengan perintah Nabi. Namun permasalahan semakin meluas terkhusus penetapan Bulan Dzulhijjah. Bukan hanya sekedar rukyat dan hisab saja, namun pertanyaan berlanjut apakah harus sesuai dengan ketetapan Arab Saudi?. Pertayaan ini mengemuka disebabkan pelaksanaan ibadah haji terutama wukuf hanya dilakukan di Makkah. Tulisan ini akan sedikit membahas haruskan sama dengan ketetapan Arab Saudi dalam melaksanakan puasa Arafah dan beridul Adha bagi negara-negara selain Arab Saudi.

Rukyat Arab Saudi

Dikalangan umat Islam berkembang pemahaman bahwa untuk menetapkan bulan-bulan Qamariyah harus berkiblat ke Arab Saudi. Diantara negara yang mengunakan pemahaman seperti ini adalah Qatar, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, Turki, Irak, Yordan, Palestina, Lebanon dan Sudan. Ada pula faham hanya terkhusus Bulan Dzulhijah saja yang harus mengikuti dengan Arab Saudi namun untuk bulan-bulan yang lain berdasarkan rukyat lokal. Faham demikian antara lain di ikuti Negara Masir. Di Indonesia pun berkembang sebagaimana faham-faham diatas.

Metode yang digunakan oleh Arab Saudi dalam menentukan awal bulan-bulan Qamariyah berdasarkan Kalender Umul Qura. Namun terkhusus penetapan waktu ibadah Ramadan, Syawal, Dzulhijah mengunakan rukyat murni yang didasarkan persaksian orang yang adil. Kaidahnya sederhana "Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut".

Namun sayangnya Arab Saudi dalam melakukan isbat terhadap laporan rukyat sering menimbulkan kontroversi. Sebagai contoh dalam penetapan awal Dzulhijah 1428 H. Pada tanggal 10 Desember 2007 kantor Berita Arab Saudi (WAS) memberitakan maklumat masuknya bulan Dzulhijah 1428 H. Dalam maklumatnya menegaskan Majelis al-Qadha al-A’la menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah 1428H bertepatan dengan hari Senin, tanggal 10 Desember 2007. Ketetapan ini berdasarkan “kesaksian sejumlah saksi yang adil”. Memang Majlis al-Qadha al-A’la bermazhab rukyat murni dan didasarkan oleh persaksian seseorang yang adil. Sehingga ditetapkan wukuf di Arafah (9 Dzulhijah) jatuh pada hari selasa tanggal 18 desember 2007 dan Idul Adha pada 19 Desember 2007. Beberapa negara tetangga mengikuti ketetapan Saudi ini diantaranya Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Oman. Sedangkan Libya menetapkan 1 Dzulhijjah 1428 H pada hari Senin 10 Desember 2007, akan tetapi bukan karena mengikuti Arab Saudi tetapi mendasarkan ijtima’ Qabla Fajr (konjungsi sebelum fajar). Sedangkan di Indonesi sendiri mentapkan 1 Dzulhijjah 1428H pada 11 Desember 2007.

Jika keputusan Arab Saudi diatas dilihat dari segi astronomi maka tidak sesuai. Kesaksian tentang rukyat tersebut secara otomatis tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmah. Ini dikarenakan pada saat matahari tenggelam diufuk Makkah tanggal 9 Desember 2007 (sore Ahad) belum terjadi konjungsi. Dalam arti lain bulan dalam revolusinya terhadap bumi belum sampai pada titik finis (titik terdekat pada garis lurus antara titik pusat matahati dan titik pusat Bumi). Jadi bulan Dzulqa’dah belum genap satu bulan, seharusnya pada tanggal 10 Desember 2007 dihitung sebagai hari ke-30 dan penggenap. Maka semestinya 1 Dzulhijah 1428 H di Makkah jatuh pada hari selasa 11 Desember 2007, Arafah pada 19 Desember 2007 dan Idul Adha 20 Desember 2007, sama halnya dengan di Indonesia.

Berdasarkan data astronomis menjelang awal bulan Dzulhijah 1428 H bahwa konjungsi terjadi pada Ahad 9 Desember 2007 pukul 20:40 Waktu Makkah (WM). Matahari terbenam pukul 17:42 WM, dan Bulan terbenam pukul 17:19 WM. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada Ahad 9 Desember 2007 pada saat matahari tenggelam di ufuk Makkah Bulan baru belum lahir. Bulan baru akan lahir setelah 2 jam 58 menit kemudian. Selain itu Mukus hilal adalah minus 22 menit, artinya saat matahari tenggelam di ufuk Makkah bulan telah tenggelam terlebih dahulu selama 22 menit. Hal ini dapat disimpulkan, sesuatu yang dilihat oleh saksi adil tersebut bukan lah hilal melainkan benda langit lain. Mungkin saja awan tipis, pesawat udara, Venus atau bahkan bulu putih yang tumbuh di pelupuk mata mereka sendiri. Jika masih diyakini mereka melihat hilal maka sama halnya seseorang mengaku telah melihat bayi, padahal sang bayi belum lahir masih berada diperut ibunya dan akan lahir beberapa jam lagi.

Oleh karenanya penetapan Majelis al-Qadha al-A’la Arab Saudi atas dasar klaim rukyat tanggal 1 Dzulhijah tidak dapat dibenarkan secara syari’i maupun berdasar ilmu pengetahuan. Ini dikarenakan memulai bulan Dzulhijah padahal bulan Dzulqa’dah belum genap. Islamic Crescents' Observation Project (ICOP) secara resmi mengeluarkan peryataan resmi supaya klaim rukyat Saudi ini dicabut.

Sesungguhnya ketidak cermatan yang dilakukan Arab Saudi melalui Majlis al-Qadha al-A’la bukan pertama kali. Pada awal Dzulhijjah 1427 H tahun 2006 Majlis ini melakukan hal yang sama. Permasalahan rukyat Saudi tidak berhenti sampai disini saja, untuk Idul Fitri 1420 H mengundang Yusuf al-Qaradhawi mengeluarkan fatwa bahwa mereka yang meakukan lebaran Idul Fitri pada Jum’at 7 Januari 2000 harus mengqadha puasannya satu hari hilang. Ini dikarenakan pada hari jumat tersebut merupakan hari terakhir Ramadan. Ini diberdasarkan data astronmi bahwa tinggi bulan -3° 18’.

Dari hasil penkajian asronomi selama 46 tahun (1 Ramadan 1380 H- 1 Ramadhan 1425 H) tentang perilaku rukyah di Saudi hanya 6 kali (13%) yang sesuai dengan konferensi Istambul 1978. Selebihnya 40 kali (87%) bertentangan dengan konferensi tersebut. Yang sangat mencolok adalah 29 kali penetapan awal Ramadhan masih dibawah ufuk.

Kapan Melaksanakan Puasa Arafah?

Perbedaan penetapan 1 Dzulhijah ini menimbulkan kesukaran dalam melaksanakan ibadah puasa Arafah. Pertanyaannya puasa Arafah tersebut haruskan dilakukan sesuai yang ditetapkan Arab Saudi ataukan berdasarkan penanggalan masing-masing?.

Puasa Arafah pada dasarnya telah dilakukan Nabi bersamaan disyariatkanya Idul Adha. Adapun Idul Adha disyariatkan bersama Idul Fitri pada 2 H. Sejak tahun itu Nabi telah biasa melakukan puasa Arafah. Sebuah hadis yang menerangkan pertikaian para shahabat di Arafah pada waktu haji wada’ mengenai apakah nabi melakukan puasa atau tidak dihari itu, mengidikasikan bahwa Nabi telah biasa melakukan puasa Arafah saat di Madinah. Ketika Rasul melakukan puasa Arafah tentunya patokan utamanya adalah tanggal 9 Dzulhijah menurut penaggalan Madinah yang berlaku. Mungkin saja suatu ketika Nabi melakukan puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijah sedangkankan pada hari itu di Makkah tidak bertepatan dengan wukuf di Arafah.

Waktu ibadah dalam Islam sebenarnya bersifat lokal. Waktu salat dan puasa ditentukan secara lokal berdasarkan fenomena matahari ditempat tersebut. Ibadah haji pun ditentukan secara lokal di Arab Saudi. Belum pernah ada laporan Arab Saudi mengumpulkan informasi dari seluruh dunia sebelum memutuskan hari wukufnya. Kalau pun di Amerika terlihat hilal dan di Arab Saudi belum, yang secara astronomis memungkinkan, belum tentu Arab Saudi mengambilnya sebagai keputusan rukyatul hilal. Padahal orang yang selalu mengikuti keputusan Arab Saudi sering mencari pembenaran dengan alasan mengikuti rukyat global.

Dasar hukum rukyat lokal secara umum (termasuk penentuan awal Dzulhijjah) adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan awal Ramadhan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadis Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah.

Menyamakan dengan Saudi?

Menghadapi kasus "perbedaan" sering timbul pertanyaan mengapa tidak diseragamkan saja hari raya itu. Orang yang berpendapat seperti itu menghendaki bila di Arab Saudi Idul Adha mengapa di Indonesia dan belahan dunia lainnya tidak mengikutinya saja. Dengan kata lain, waktu Mekkah dijadikan sebagai acuan. Alasannya sederhana. Bukankah Mekah tempatnya Ka'bah, kiblatnya umat Islam sedunia. Sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) mengiblat juga ke Mekah. Di sisi lain, perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia bagian barat hanya empat jam, semestinya hari rayanya pun bisa dilaksanakan pada hari yang sama.

Sepintas pendapat itu tampak benar dan sederhana. Tetapi bila dikaji lebih mendalam hal itu tidak mempunyai landasan syar'i dan landasan ilmiahnya. Pendapat seperti itu muncul karena menghendaki keseragaman menurut tanggal syamsiah, tetapi mengabaikan tanggal qamariyah. Padahal waktu ibadah dalam Islam ditentukan menurut kalender qamariyah. Menyeragamkan Idul Adha, berarti memaksakan pelaksanaannya menjadi tanggal 9 Dzulhijjah, bukan 10 Dzulhijjah seperti disyariatkan.

Bagaimana dengan puasa hari Arafah? Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah itu disunahkan berpuasa. Menurut hadits Rasulullah SAW yang diceritakan Abu Qatadah, puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang berlalu dan tahun mendatang. Oleh karenanya puasa hari Arafah ini tergolong puasa sunnah yang muakad (utama) sehingga banyak orang yang melaksanakannya. Hari Arafah di Makkah adalah 9 Dzulhijjah. Belum tentu ditempat lain hari dan tanggalnya sama, bisa jadi tanggal 10 Dzulhijjah. Menurut Nabi SAW, berpuasa pada hari raya haram hukumnya.

Apakah definisi "sama" harinya? Pengertian "sama" sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, definisi "sama" harinya malah berbeda tanggal. Tanggal 2 januari di Arab Saudi berarti tanggal 1 januari di Hawaii.


Penutup

Dalam logika astronomi, usulan penyamaan puasa Arafah dan Idul Adha jelas sangat konyol dan tidak dapat diterima, karena letak bujur dan lintang kota Makkah itu tidak sama dengan lintang dan bujur dengan negara lainya. Yang berarti, kemungkinan keterlihatan letak matahari dan bulan dari bumi Makkah dan bumi negara lainya juga pasti tidak sama. Apalagi setelah diteliti, Pemerintah Arab saudi dalam melakukan penetapan awal bulan seringkali didasarkan pada dasar perhitungan yang kurang valid serta persaksian orang yang adil yang mengundang kontroversi.

Oleh karenannya orang yang melaksanakan ibadah haji di Makkah tidak mengapa mengikuti penetapan Saudi. Tetapi orang yang tidak melaksanakanya seharusnya mendasarkan pada penanggalan masing-masing. Wallāhu A’lam bi al-Sawwāb.



Makrom Abied, 30 Oktober 2008