Haji (Bahasa Arab: حج, Hajj) adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. [1] Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.
Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul. [2] Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.
Jenis ibadah haji
Setiap jamaah bebas untuk memilih jenis ibadah haji yang ingin dilaksanakannya. Rasulullah SAW memberi kebebasan dalam hal itu, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut.
- Aisyah RA berkata: Kami berangkat beribadah bersama Rasulullah SAW dalam tahun hajjatul wada. Diantara kami ada yang berihram, untuk haji dan umrah dan ada pula yang berihram untuk haji. Orang yang berihram untuk umrah ber-tahallul ketika telah berada di Baitullah. Sedang orang yang berihram untuk haji jika ia mengumpulkan haji dan umrah. Maka ia tidak melakukan tahallul sampai dengan selesai dari nahar.[3][1]
Berikut adalah jenis dan pengertian haji yang dimaksud.[1]
- Haji ifrad, berarti menyendiri. Pelaksanaan ibadah haji disebut ifrad bila sesorang bermaksud menyendirikan, baik menyendirikan haji maupun menyendirikan umrah. Dalam hal ini, yang didahulukan adalah ibadah haji. Artinya, ketika mengenakan pakaian ihram di miqat-nya, orang tersebut berniat melaksanakan ibadah haji dahulu. Apabila ibadah haji sudah selesai, maka orang tersebut mengenakan ihram kembali untuk melaksanakan umrah.
- Haji tamattu', mempunyai arti bersenang-senang atau bersantai-santai dengan melakukan umrah terlebih dahulu di bulan-bulah haji, lain bertahallul. Kemudian mengenakan pakaian ihram lagi untuk melaksanakan ibadah haji, ditahun yang sama. Tamattu' dapat juga berarti melaksanakan ibadah didalam bulan-bulan serta didalam tahun yang sama, tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.
- Haji qiran, mengandung arti menggabungkan, menyatukan atau menyekaliguskan. Yang dimaksud disini adalah menyatukan atau menyekaliguskan berihram untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Haji qiran dilakukan dengan tetap berpakaian ihram sejak miqat makani dan melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai, meskipun mungkin akan memakan waktu lama. Menurut Abu Hanifah, melaksanakan haji qiran, berarti melakukan dua thawaf dan dua sa'i.
Berikut adalah kegiatan utama dalam ibadah haji berdasarkan urutan waktu:
- Sebelum 8 Dzulhijjah, umat Islam dari seluruh dunia mulai berbondong untuk melaksanakan Tawaf Haji di Masjid Al Haram, Makkah.
- 8 Dzulhijjah, jamaah haji bermalam di Mina. Pada pagi 8 Dzulhijjah, semua umat Islam memakai pakaian Ihram (dua lembar kain tanpa jahitan sebagai pakaian haji), kemudian berniat haji, dan membaca bacaan Talbiyah. Jamaah kemudian berangkat menuju Mina, sehingga malam harinya semua jamaah haji harus bermalam di Mina.
- 9 Dzulhijjah, pagi harinya semua jamaah haji pergi ke Arafah. Kemudian jamaah melaksanakan ibadah Wukuf, yaitu berdiam diri dan berdoa di padang luas ini hingga Maghrib datang. Ketika malam datang, jamaah segera menuju dan bermalam Muzdalifah.
- 10 Dzulhijjah, setelah pagi di Muzdalifah, jamaah segera menuju Mina untuk melaksanakan ibadah Jumrah Aqabah, yaitu melempar batu sebanyak tujuh kali ke tugu pertama sebagai simbolisasi mengusir setan. Setelah mencukur rambut atau sebagian rambut, jamaah bisa Tawaf Haji (menyelesaikan Haji), atau bermalam di Mina dan melaksanakan jumrah sambungan (Ula dan Wustha).
- 11 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
- 12 Dzulhijjah, melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama, tugu kedua, dan tugu ketiga.
- Sebelum pulang ke negara masing-masing, jamaah melaksanakan Thawaf Wada' (thawaf perpisahan).
Lokasi utama dalam ibadah haji
Makkah Al Mukaromah
Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Ka'bah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Makkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jamaah diwajibkan melaksanakan niat dan thawaf haji.
Arafah
Kota di sebelah timur Makkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji, yiatu tempat wukuf dilaksanakan, yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah tiap tahunnya. Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jamaah haji dari seluruh dunia. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.
Muzdalifah
Tempat di dekat Mina dan Arafah, dikenal sebagai tempat jamaah haji melakukan Mabit (Bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.
Mina
Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Dimasing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jamaah juga diwajibkan untuk menginap satu malam.
Madinah
Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad SAW dimakamkan di Masjid Nabawi. Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jamaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung ke kota yang letaknya kurang lebih 330 km (450 km melalui transportasi darat) utara Makkah ini untuk berziarah dan melaksanakan salat di masjidnya Nabi. Lihat foto-foto keadaan dan kegiatan dalam masjid ini.
Tempat bersejarah
Berkiut ini adalah tempat-tempat bersejarah, yang meskipun bukan rukun haji, namum biasa dikunjungi oleh para jemaah haji atau peziarah lainnya[4]:
Jabal Nur dan Gua Hira
Jabal Nur terletak kurang lebih 6 km di sebelah utara Masjidil Haram. Di puncaknya terdapat sebuah gua yang dikenal dengan nama Gua Hira. Di gua inilah Nabi Muhammad saw menerima wahyu yang pertama, yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5.
Jabal Tsur
Jabal Tsur terletak kurang lebih 6 km di sebelah selatan Masjidil Haram. Untuk mencapai Gua Tsur ini memerlukan perjalanan mendaki selama 1.5 jam. Di gunung inilah Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar As-Siddiq bersembunyi dari kepungan orang Quraisy ketika hendak hijrah ke Madinah.
Jabal Rahmah
Yaitu tempat bertemunya Nabi Adam as dan Hawa setelah keduanya terpisah saat turun dari surga. Peristiwa pentingnya adalah tempat turunnya wahyu yang terakhir pada Nabi Muhammad saw, yaitu surat Al-Maidah ayat 3.
Jabal Uhud
Letaknya kurang lebih 5 km dari pusat kota Madinah. Di bukit inilah terjadi perang dahsyat antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin Mekah. Dalam pertempuran tersebut gugur 70 orang syuhada di antaranya Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad saw. Kecintaan Rasulullah saw pada para syuhada Uhud, membuat beliau selalu menziarahinya hampir setiap tahun. Untuk itu, Jabal Uhud menjadi salah satu tempat penting untuk diziarahi.
Makam Baqi'
Baqi' adalah tanah kuburan untuk penduduk sejak zaman jahiliyah sampai sekarang. Jamaah haji yang meninggal di Madinah dimakamkan di Baqi', letaknya di sebelah timur dari Masjid Nabawi. Di sinilah makam Utsman bin Affan ra, para istri Nabi, putra dan putrinya, dan para sahabat dimakamkan. Ada banyak perbedaan makam seperti di tanah suci ini dengan makam yang ada di Indonesia, terutama dalam hal peletakan batu nisan [5]
Masjid Qiblatain
Pada masa permulaan Islam, kaum muslimin melakukan shalat dengan menghadap kiblat ke arah Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina. Pada tahun ke-2 H bulan Rajab pada saat Nabi Muhammad saw melakukan shalat Zuhur di masjid ini, tiba-tiba turun wahyu surat Al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan agar kiblat shalat diubah ke arah Kabah Masjidil Haram, Mekah. Dengan terjadinya peristiwa tersebut maka akhirnya masjid ini diberi nama Masjid Qiblatain yang berarti masjid berkiblat dua.
Rekaman tragedi ibadah haji
- Desember 1975: 200 jamaah tewas di dekat kota Makkah setelah sebuah pipa gas meledak dan membakar sepuluh tenda.
- 4 Desember 1979: 153 jamaah tewas dan 560 lainnya terluka setelah petugas keamanan Arab Saudi yang dibantu tentara Perancis mencoba membebaskan Masjidil Haram yang disandera sekelompok militan selama dua minggu.
- 31 Juli 1987: 402 jamaah tewas, 275 diantaranya dari Iran, setelah ribuan jamaah Iran yang melakukan demonstrasi mendapat perlawanan fisik dari keamanan Arab Saudi. Akibat dari insiden itu Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, yang akhirnya tidak mengirimkan jamaahnya ke Makkah hingga tahun 1991.
- 10 Juli 1989: satu jamaah tewas dan 16 terluka akibat penembakan didalam Masjidil Haram. Akibatnya 16 orang Kuwait yang melakukan penyerangan dihukum tembak mati.
- 15 Juli 1989: lima jamaah asal Pakistan tewas dan 34 lainnya terluka akibat insiden penembakan oleh sekelompok orang bersenjata di perumahan mereka di Makkah.
- 2 Juli 1990: 1.426 jamaah tewas kebanyakan dari Asia akibat terperangkap didalam terowongan Mina.
- 24 Mei 1994: 270 jamaah tewas akibat saling dorong dan injak di Mina.
- 7 Mei 1995: tiga jamaah tewas akibat kebakaran di Mina.
- 15 April 1997: 343 jamaah tewas dan 1.500 lainnya terluka karena kehabisan nafas karena terjebak didalam kebakaran tenda di Mina.
- 9 April 1998: 118 jamaah tewas karena berdesak–desakkan saat pelaksanaan lontar jumroh.
- 5 Maret 2001: 35 jamaah tewas serta puluhan lainnya luka – luka karena berdesak – desakan di Jammarat.
- 11 Februari 2003: 14 jamaah tewas di Jumrotul Mina – enam diantaranya wanita.
- 1 Februari 2004: Sebanyak 251 jamaah tewas selama pelaksanaan lontar jumrah.
- 23 Januari 2005: 29 jamaah tewas akibat banjir terburuk dalam 20 tahun terakhir di Madinah.
- 5 Januari 2006: Sebanyak 76 tewas akibat runtuhnya sebuah penginapan al-Rayahin di jalan Gaza, sekitar 200 meter sebelah barat Masjidil Haram.
- 12 Jan 2006: Sedikitnya 345 jamaah tewas di Jammarat selama pelaksanaan lontar jumrah. Insiden ini terjadi pada pukul 15.30 waktu setempat usai shalat dzuhur, setelah jutaan jamaah saling berdesak–desakkan di pintu masuk sebelah utara lantai dua Jammarat.
"Dan tidak ada ganjaran lain bagi haji mabrur (haji yang baik) selain surga." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmdizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik)
Hadis di atas, selain merupakan kabar gembira, juga merupakan peringatan bagi saudara-saudara kita yang sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci, yaitu agar melaksanakan ibadah hajinya dengan ikhlas dan benar (sesuai tuntunan Rasulullah Saw.), serta taat pada setiap perintah dan larangan Allah.
Ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah adalah syarat mutlak untuk semua ibadah, termasuk haji. Sebab, sebagaimana dikatakan Imam al-Fudhail bin 'Iyadh, ibadah tidak akan diterima bila tidak dikerjakan dengan cara yang benar, meskipun disertai dengan sikap ikhlas.
Demikian pula bila tidak dilakukan dengan ikhlas, sekalipun itu dengan cara yang benar. Agar diterima, ibadah harus dikerjakan secara ikhlas sekaligus benar. Ikhlas demi Allah, dan benar berdasarkan sunnah Rasulullah. Jadi, penilaiannya bukan pada kuantitas tapi kualitas, yaitu ikhlas dan sesuai sunnah Rasulullah.
Untuk itu, hal pertama yang harus diperhatikan seorang muslim untuk meraih haji mabrur adalah meniatkan hajinya semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan lain! Ia harus menghilangkan sama sekali perasaan riya’ (ingin dilihat orang) dan sum'ah (ingin menjadi buah bibir orang).
Rasulullah menjelaskan, riya’ adalah ”syirkul ashgar” (bentuk kemusyrikan yang paling kecil). Dalam hadis riwayat Imam Ibnu Khuzaimah, Rasulullah menjelaskan bahwa orang-orang yang riya’ dalam menghafal al-Qur'an, bersedekah, dan berjihad akan menjadi kayu bakar pertama api neraka.
Berpijak pada semangat hadis ini, tidak menutup kemungkinan orang yang pergi haji karena riya’ akan mengalami nasib yang sama. Adapun orang yang sum'ah, di akhirat nanti akan diumumkan di hadapan semua makhluk Allah sebagai orang yang kecil dan hina.
Rasulullah bersabda, "Barang siapa ingin didengar manusia (bersikap sum'ah) karena kehebatan ilmunya, Allah akan memperdengarkannya di hadapan makhluk-makhlukNya dalam keadaan kecil dan hina." (HR. Imam Ahmad dan Thabrani)
Keikhlasan yang dituntut di sini adalah keikhlasan yang konsisten. Tak hanya ketika akan berangkat, tapi di tengah-tengah dan sesudah pelaksanaan haji pun seorang muslim yang berharap haji mabrur harus tetap menjaga keikhlasannya. Tidak gampang bagi kita dan tidak sulit bagi setan untuk merusak keikhlasan kita dari pintu mana pun. Karena itu, bila sedikit saja timbul perasaan tidak ikhlas di hati, segeralah ingat dan meminta ampun kepadaNya.
Hal kedua yang perlu diperhatikan seorang muslim yang ingin meraih haji mabrur adalah kesesuaian amalan-amalan haji yang dilaksanakannya dengan tuntunan Rasulullah. Rasulullah pernah bersabda, "Contohlah cara manasik hajiku!" (HR Muslim).
Dengan demikian, seorang muslim yang ingin meraih haji mabrur harus mengetahui dengan benar apa saja rukun, kewajiban, sunnah, dan larangan haji yang diajarkan Rasulullah. Ia juga harus berusaha meninggalkan tindakan-tindakan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah. Karena tidak ada jaminan tindakan-tindakan tersebut akan mendapat pahala dari Allah.
Berbeda halnya bila kita mengikuti tuntunan Rasulullah, maka jaminannya adalah Allah sendiri. Di sini, pengetahuan terhadap amalan-amalan haji yang sesuai tuntunan Rasulullah adalah hal mutlak. Haji mabrur tidak akan diraih bila seseorang tidak mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkannya ketika berada di tanah suci.
Harta yang Baik
Di antara tuntunan lain yang diajarkan Rasulullah adalah berhaji dengan harta yang baik. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik." (HR. Muslim)
Secara umum, ibadah tidak akan diterima jika kita memanfaatkan sarana ibadah dari sumber-sumber yang tidak halal. Kelanjutan hadis di atas menegaskan hal ini. Rasulullah berkata, "Bagaimana mungkin akan dikabulkan, doa orang yang makanannya, minumannya, pakaiannya, dan pendapatannya haram, sekalipun ia terus menerus menengadahkan tangannya ke langit."
Hal ketiga yang harus diperhatikan seorang muslim yang ingin meraih haji mabrur adalah patuh pada setiap perintah dan larangan Allah. Tak hanya perintah dan larangan yang berkaitan dengan haji tapi juga perintah dan larangan Allah secara umum. Ini kewajiban seorang muslim kapan dan di mana pun ia berada.
Istilah "haji mabrur" sendiri, menurut sebagian ulama berarti "haji yang di dalamnya tidak ada maksiat atau haji yang baik". Di dalam surat al-Baqarah ayat 177, al-Qur'an menyebut al-birr (asal kata mabrur, yang artinya kebaikan) sebagai kebaikan yang memiliki dimensi vertikal dan horizontal. Dalam pengertian ini, haji mabrur adalah haji yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan baik dengan Allah dan lingkungan sekitarnya.
Namun begitu, kita memang tidak bisa menilai apakah seseorang itu benar-benar mencapai haji mabrur atau tidak. Itu hak Allah. Namun kita bisa mengenali ciri-ciri orang yang meraih haji mabrur, antara lain, perubahan pribadi ke arah yang positif. Perubahan ini mencakup hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan lingkungan sekitar), juga mencakup kualitas ibadah jasmani dan rohani.
Bila tadinya tidak pernah beribadah, menjadi rajin beribadah. Bila sudah rajin beribadah, menjadi lebih rajin lag. Bila tadinya pendendam, menjadi pemaaf. Bila tadinya pemaaf, menjadi lebih pemaaf, dan seterusnya.
Perubahan ini pada dasarnya disebabkan oleh intensitas penghayatan dan pemaknaan terhadap ibadah haji itu sendiri. Di dalam surat al-Hajj ayat 58, Allah menjelaskan salah satu tujuan haji: "Agar mereka (orang-orang yang melaksanakan haji) menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka." Wallahualam.
Ibadah haji merupakan puncak peribadatan seorang muslim sebagai penunaian rukun Islam yang ke lima. Ulama menganalogikan haji sebagai pagar bagi sebuah bangunan, dimana berfungsi untuk menjaga dan memperindah bangunan tersebut. Namanya juga pagar, boleh jadi harus dibuat, jika mampu, namun jiga tidak mampu, ya tidak apa-apa.
Berbeda dengan rukun Islam yang lain. Syahadat diibaratkan dengan pondasi, dan karenanya harus kuat. Shalat lima waktu ibarat tiang, yang juga harus kokoh. Puasa ibarat dinding, yang juga harus berdiri kuat. Dan zakat merupakan atap, dimana berfungsi untuk mengayomi isi bangunan.
Ibadah haji, hanya dilaksanakan bagi mereka yang sudah mampu. Allah swt berfirman, “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” QS. Ali Imran : 97.
Yang dimaksud dengan sanggung atau mampu di sini yaitu sanggup mendapatkan perbekalan, alat transportasi, sehat jasmani dan perjalananpun aman.
Semua orang mendambakan bangunan rumahnya memiliki pagar yang menarik dan rapi. Begitu juga setiap muslim pasti merindukan berziarah ke Baitullah Al Haram. Kita berdo’a agar Allah swt memudahkan kita untuk berziarah ke rumah-Nya. Berziarah tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, namun bisa umrah, ziarah makam Nabiyullah Muhammad saw. para sahabatnya dan napak tilas sejarah dari masa ke masa. “Ya Allah, Mudahkanlah bagi kami berziarah ke rumah-Mu yang mulya dan berziarah ke makam nabi-Mu yang Engkau Mulyakan.”
Persiapan Haji
Pertama, Biaya yang Halal.
Satu-satunya ibadah yang membutuhkan biaya tinggi, paling tidak untuk muslim Indonesia adalah ibadah haji. Kurang-lebih lima puluh juta harus disiapkan untuk biaya ibadah haji. Dana yang besar itu harus dihasilkan dari sumber yang halal. Dalam sebuah hadits sahih diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Baik, Dia tidak menerima sesuatu (amalan) kecuali dari sumber yang baik.” HR. Muslim (Sahih Muslim, Jilid 5, Hal. 192).
Seseorang yang menunaikan ibadah haji dari sumber biaya yang haram, maka ketika ia menyeru, “Labbaikallahumma labbaik, Aku penuhi panggilan-mu Ya Allah.” Maka Allah swt langsung menolaknya, “Tidak ada kata selamat datang bagimu, tidak ada sambutan kebaikan bagimu.” Wal iyadzubillah.
Ada kisah menarik di zaman nabiyullah Musa alaihissalam, dimana ketika itu kaumnya sedang dilanda paceklik dan kemarau panjang. Maka nabiyullah Musa mengumpulkan kaumnya bersama-sama untuk beristighatsah, memohon kepada Allah swt agar segera diturunkan hujan. Serentak mereka menengadahkan tangan berseru, namun dijawab Malaikat dengan suara lantang, “Tidak aka dikabulkan do’a-do’a kalian, sampai salah seorang di antara kalian keluar dari barisan, karena ia telah memakan harta yang haram. Nabiyullah Musa tidak berani dan tidak mengetahui siapa yang dimaskud. Dan orang yang merasa sumber masalahpun tidak berani keluar dari barisan sehingga semua orang pasti akan mengetahui kejelekannya. Mereka berdo’a berulang-ulang, dan disambut jawaban yang sama dari Malaikat. Sampai akhirnya orang yang memakan barang haram menjerit hatinya, menyesal gara-gara ia semua jadi susah. Ia bertaubat dengan sungguh-sungguh. Seketika itu Allah swt menurunkan hujan.”
Kedua, Ikhlas karena Allah swt Semata
Menunaikan haji bukan karena malu dengan orang lain, seperti seorang atasan berangkat haji karena bawahannya sudah berhaji. Atau ingin dipanggil dengan gelar ”pak haji”. Atau menjadi bukti status sosial di masyarakat. Tidak karena itu, munanaikan haji hanya dilandasi oleh ketulusan dan keridhoan Allah swt semata sebagai wujud penghambaan kepada-Nya.
Seseorang yang berangkat haji dengan niat ikhlas, akan di kabulkan do’anya ketika berdo’a, diberi ampun ketika beristighfar. Rasulullah saw bersabda diriwayatkan dari Abu Hurairah, ”Orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah. Jika mereka berdoa, pasti akan dikabulkan. Jika mereka minta ampun, pasti diampuni.” HR. Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, Jilid 8, Hal. 439).
Ketiga, Berbekal Taqwa
Allah swt berfirman dalam rangkaian ibadah haji agar membekali diri dengan taqwa, yaitu sikap siap taat terhadap apa yang Allah swt perintahkan dan Rasul-Nya kerjakan serta siap meninggalkan segala apa yang Allah swt larang dan Rasul-Nya jahui. Ketika malaksanakan ibadah haji. ”Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” QS. Al Baqarah : 197.
Termasuk bekal di sini adalah bekal materi sehingga di tanah Suci tidak kehabisan bekal dan akhirnya meminta-minta.
Keempat, Menguasai Ilmu tentang Ibadah Haji
Para ulama ushul sepakat bahwa ilmu itu lebih penting dan didahulukan dari pada amal perbuatan. Karena amal perbuatan yang tidak didasari ilmu pengetahuan, selain tidak akan diterima justru mengarah pada membuat-buat hal yang baru yang dilarang agama.
Ilmu yang harus diketahui seputar haji adalah yang berkaitan dengan rukun haji, dimana rukun haji bila tidak dilaksanakan hajinya menjadi tidak sah.
Adapun rukun haji adalah sebagai berikut :
1. Ihram, yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau umroh di miqat makani.
2. Wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri, berdzikir, berdo’a, beristghfar di padang Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah.
3. Thawah Ifadhah, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 1o Dzul Hijjah.
4. Sa’i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, dilakukan sesudah Thawaf Ifadhah.
5. Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan sa’i.
6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.
Yang juga diketahui adalah Wajib Haji, Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah :
1. Niat Ihram, untuk haji dan umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram.
2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Dzulhijjah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina).
3. Melontar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah.
4. Mabit di Mina pada hari Tasyrik (Tanggal 11,12,13 Dzulhijjah).
5. Melontar Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah pada hari Tasyrik.
6. Thawah Wada’, yaitu melakukan perpisahan sebelum meninggalkan kota Makkah.
7. Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram, seperti memakai wangi-wangian, menyisir, menggunting kuku atau rambut, berpakaian berjahit.
Kelima, Mengetahu Ilmu tentang Safar
Ibadah haji atau umrah adalah ibadah yang memakan waktu panjang dan tempat yang jauh. Berarti terkait dengan safar atau perjalanan. Dalam fiqh orang yang sedang mengadakan perjalanan mendapatkan dispensasi-dispensasi dari Allah swt, seperti bertayamum, shalat di jama’ atau digabung, shalat di qashar atau di perpendek menjadi dua rekaat.
Disinilah apresiasi agama Islam yang begitu besar terhadap ibadah ini, selain dispensasi diatas, ternyata safar itu sendiri menjadi ibadah yang berdiri sendiri, sehingga kita disunnahkan untuk berdoa ketika akan berangkat, mendo’akan dan dido’akan.
Bahkan do’a yang tidak akan tertolak adalah do’a yang dilaksanakan pada saat sedang dalam safar.
Ketika Di Tanah Suci
Pada dasarnya ibadah haji itu membutuhkan waktu lima hari saja, terhitung sejak tanggal 9 Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah, inilah yang terkait dengan rukun haji. Tidak ada bacaan-bacaan khusus atau do’a-do’a khusus dalam praktek ibadah haji. Do’a yang masyhur dilantunkan adalah do’a sapu jagat, ”Rabbana aatina fiddunya hasanah wafilaakhirati hasanah waqina adzabannar.”
Hal-hal yang harus dihindari ketika melaksanakan ibadah haji di antaranya: berkata tidak senonoh atau yang mengundang syahwat, bersetubuh, berbuat fasik atau dosa, bertengkar. Allah swt berfimran:
”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (Kata-kata yang menimbulkan birahi atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” QS. Al Baqarah : 197
Ibadah haji lebih banyak berkaitan dengan fisik. Mengelilingi Ka’bah, lari-lari kecil, melempar jumrah, wukuf di terik matahari di padang Arafah. Semuanya membutuhkan fisik yang sehat dan prima.
Hal lain yang harus dikuatkan adalah kesabaran, memaafkan, mendahulukan saudara, menolong sesama. Bisa dibayangkan lebih dari dua ratus juta manusia berkumpul di satu tempat dalam satu waktu.
Sekembali di Tanah Air
Yang jauh lebih berat untuk mempertahankan kemabruran ibadah haji adalah pasca pelaksaannya atau ketika dalam kehidupan sehari-hari. Tanda kemabruran seseorang bisa dilihat dari perubahan pada dirinya. Adakah perubahan menjadi lebih baik dari sebelumnya dan istiqamah dalam ketaatan sampai akhir hidupnya, atau sama saja dengan sebelum menunaikan ibadah haji?.
Haji yang diterima Allah swt adalah haji yang mabrur. Berbahagialah orang yang meraih haji mabrur, sebab haji mabrur tiada balasannya kecuali surga. Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, ”Haji mabrur tiada balasannya kecuali surga. Dan dari pelaksanaan umrah ke umrah yang lain akan menghapus kesalahan antara keduanya.” HR. Imam Ahmad (Musnad Imam Ahmad, Jilid 15, Hal. 91).
Sudah saatnya umat Islam meluruskan niat, bersungguh-sungguh dalam menunaikan ibadah haji, dan menjaga semangat haji dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan lahir perubahan-perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupan pribadi yang otomatis akan berdampak pada kehidupan sosial dan berbangsa.
Bangsa ini sangat berhajat terhadap masyarakat yang berakhlakul karimah, bermoral, memiliki idealisme yang luhur yang bersumber dari keyakinan yang benar, sehingga keberkahan-keberkahan Allah swt akan segera turun di bumi pertiwi yang kita cintai. Allahu a’lam.
Salah satu tempat bersejarah bagi umat Islam di Kota Makkah yaitu Mina. Mina adalah sebuah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer dari kota Mekkah, Arab Saudi. Mina didatangi oleh jamaah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum wukuf di Arafah. Jamaah haji tinggal di sini sehari semalam sehingga dapat melakukan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Kemudian setelah sholat Subuh tanggal 9 Dzulhijah, jamaah haji berangkat ke Arafah. Amalan seperti ini dilakukan Rasulullah SAW saat berhaji dan hukumnya sunnah. Artinya tanggal 9 Dzulhijah sebelum ke Arafah, tidak wajib bermalam di Mina.
Jamaah haji datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan Wukuf di Arafah. Jamaah haji ke Mina lagi karena para jamaah haji akan melempar jumroh. Di Mina jamaah haji wajib melaksanakan mabit (bermalam) yaitu tanggal 10,11,12 Dzulhijah bagi jamaah haji yang melaksanakan Nafar Awal atau tanggal 10,11,12,13 dzulhijah bagi jamaah yang melaksanakan Nafar Tsani. Jika tidak bermalam di Mina, harus membayar dam (denda).
Tempat atau lokasi melempar jumroh terdapat di Mina, yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah Wusta dan Jumrah Ula. Mina juga merupakan tempat atau lokasi penyembelihan binatang kurban. Di Mina ada mesjid Khaif, merupakan masjid dimana Rasulullah SAW melakukan shalat dan khutbah ketika berada di Mina saat melaksanakan ibadah Haji.
"Dan tidak ada ganjaran lain bagi haji mabrur (haji yang baik) selain surga." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmdizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik)
Hadis di atas, selain merupakan kabar gembira, juga merupakan peringatan bagi saudara-saudara kita yang sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci, yaitu agar melaksanakan ibadah hajinya dengan ikhlas dan benar (sesuai tuntunan Rasulullah Saw.), serta taat pada setiap perintah dan larangan Allah.
Ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah adalah syarat mutlak untuk semua ibadah, termasuk haji. Sebab, sebagaimana dikatakan Imam al-Fudhail bin 'Iyadh, ibadah tidak akan diterima bila tidak dikerjakan dengan cara yang benar, meskipun disertai dengan sikap ikhlas.
Demikian pula bila tidak dilakukan dengan ikhlas, sekalipun itu dengan cara yang benar. Agar diterima, ibadah harus dikerjakan secara ikhlas sekaligus benar. Ikhlas demi Allah, dan benar berdasarkan sunnah Rasulullah. Jadi, penilaiannya bukan pada kuantitas tapi kualitas, yaitu ikhlas dan sesuai sunnah Rasulullah.
Untuk itu, hal pertama yang harus diperhatikan seorang muslim untuk meraih haji mabrur adalah meniatkan hajinya semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan lain! Ia harus menghilangkan sama sekali perasaan riya’ (ingin dilihat orang) dan sum'ah (ingin menjadi buah bibir orang).
Rasulullah menjelaskan, riya’ adalah ”syirkul ashgar” (bentuk kemusyrikan yang paling kecil). Dalam hadis riwayat Imam Ibnu Khuzaimah, Rasulullah menjelaskan bahwa orang-orang yang riya’ dalam menghafal al-Qur'an, bersedekah, dan berjihad akan menjadi kayu bakar pertama api neraka.
Berpijak pada semangat hadis ini, tidak menutup kemungkinan orang yang pergi haji karena riya’ akan mengalami nasib yang sama. Adapun orang yang sum'ah, di akhirat nanti akan diumumkan di hadapan semua makhluk Allah sebagai orang yang kecil dan hina.
Rasulullah bersabda, "Barang siapa ingin didengar manusia (bersikap sum'ah) karena kehebatan ilmunya, Allah akan memperdengarkannya di hadapan makhluk-makhlukNya dalam keadaan kecil dan hina." (HR. Imam Ahmad dan Thabrani)
Keikhlasan yang dituntut di sini adalah keikhlasan yang konsisten. Tak hanya ketika akan berangkat, tapi di tengah-tengah dan sesudah pelaksanaan haji pun seorang muslim yang berharap haji mabrur harus tetap menjaga keikhlasannya. Tidak gampang bagi kita dan tidak sulit bagi setan untuk merusak keikhlasan kita dari pintu mana pun. Karena itu, bila sedikit saja timbul perasaan tidak ikhlas di hati, segeralah ingat dan meminta ampun kepadaNya.
Hal kedua yang perlu diperhatikan seorang muslim yang ingin meraih haji mabrur adalah kesesuaian amalan-amalan haji yang dilaksanakannya dengan tuntunan Rasulullah. Rasulullah pernah bersabda, "Contohlah cara manasik hajiku!" (HR Muslim).
Dengan demikian, seorang muslim yang ingin meraih haji mabrur harus mengetahui dengan benar apa saja rukun, kewajiban, sunnah, dan larangan haji yang diajarkan Rasulullah. Ia juga harus berusaha meninggalkan tindakan-tindakan yang tidak ada contohnya dari Rasulullah. Karena tidak ada jaminan tindakan-tindakan tersebut akan mendapat pahala dari Allah.
Berbeda halnya bila kita mengikuti tuntunan Rasulullah, maka jaminannya adalah Allah sendiri. Di sini, pengetahuan terhadap amalan-amalan haji yang sesuai tuntunan Rasulullah adalah hal mutlak. Haji mabrur tidak akan diraih bila seseorang tidak mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkannya ketika berada di tanah suci.
Harta yang Baik
Di antara tuntunan lain yang diajarkan Rasulullah adalah berhaji dengan harta yang baik. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik." (HR. Muslim)
Secara umum, ibadah tidak akan diterima jika kita memanfaatkan sarana ibadah dari sumber-sumber yang tidak halal. Kelanjutan hadis di atas menegaskan hal ini. Rasulullah berkata, "Bagaimana mungkin akan dikabulkan, doa orang yang makanannya, minumannya, pakaiannya, dan pendapatannya haram, sekalipun ia terus menerus menengadahkan tangannya ke langit."
Hal ketiga yang harus diperhatikan seorang muslim yang ingin meraih haji mabrur adalah patuh pada setiap perintah dan larangan Allah. Tak hanya perintah dan larangan yang berkaitan dengan haji tapi juga perintah dan larangan Allah secara umum. Ini kewajiban seorang muslim kapan dan di mana pun ia berada.
Istilah "haji mabrur" sendiri, menurut sebagian ulama berarti "haji yang di dalamnya tidak ada maksiat atau haji yang baik". Di dalam surat al-Baqarah ayat 177, al-Qur'an menyebut al-birr (asal kata mabrur, yang artinya kebaikan) sebagai kebaikan yang memiliki dimensi vertikal dan horizontal. Dalam pengertian ini, haji mabrur adalah haji yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan baik dengan Allah dan lingkungan sekitarnya.
Namun begitu, kita memang tidak bisa menilai apakah seseorang itu benar-benar mencapai haji mabrur atau tidak. Itu hak Allah. Namun kita bisa mengenali ciri-ciri orang yang meraih haji mabrur, antara lain, perubahan pribadi ke arah yang positif. Perubahan ini mencakup hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan lingkungan sekitar), juga mencakup kualitas ibadah jasmani dan rohani.
Bila tadinya tidak pernah beribadah, menjadi rajin beribadah. Bila sudah rajin beribadah, menjadi lebih rajin lag. Bila tadinya pendendam, menjadi pemaaf. Bila tadinya pemaaf, menjadi lebih pemaaf, dan seterusnya.
Perubahan ini pada dasarnya disebabkan oleh intensitas penghayatan dan pemaknaan terhadap ibadah haji itu sendiri. Di dalam surat al-Hajj ayat 58, Allah menjelaskan salah satu tujuan haji: "Agar mereka (orang-orang yang melaksanakan haji) menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka." Wallahualam.
Berbeda dengan rukun Islam yang lain. Syahadat diibaratkan dengan pondasi, dan karenanya harus kuat. Shalat lima waktu ibarat tiang, yang juga harus kokoh. Puasa ibarat dinding, yang juga harus berdiri kuat. Dan zakat merupakan atap, dimana berfungsi untuk mengayomi isi bangunan.
Ibadah haji, hanya dilaksanakan bagi mereka yang sudah mampu. Allah swt berfirman, “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” QS. Ali Imran : 97.
Yang dimaksud dengan sanggung atau mampu di sini yaitu sanggup mendapatkan perbekalan, alat transportasi, sehat jasmani dan perjalananpun aman.
Semua orang mendambakan bangunan rumahnya memiliki pagar yang menarik dan rapi. Begitu juga setiap muslim pasti merindukan berziarah ke Baitullah Al Haram. Kita berdo’a agar Allah swt memudahkan kita untuk berziarah ke rumah-Nya. Berziarah tidak hanya untuk menunaikan ibadah haji, namun bisa umrah, ziarah makam Nabiyullah Muhammad saw. para sahabatnya dan napak tilas sejarah dari masa ke masa. “Ya Allah, Mudahkanlah bagi kami berziarah ke rumah-Mu yang mulya dan berziarah ke makam nabi-Mu yang Engkau Mulyakan.”
Persiapan Haji
Pertama, Biaya yang Halal.
Satu-satunya ibadah yang membutuhkan biaya tinggi, paling tidak untuk muslim Indonesia adalah ibadah haji. Kurang-lebih lima puluh juta harus disiapkan untuk biaya ibadah haji. Dana yang besar itu harus dihasilkan dari sumber yang halal. Dalam sebuah hadits sahih diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Baik, Dia tidak menerima sesuatu (amalan) kecuali dari sumber yang baik.” HR. Muslim (Sahih Muslim, Jilid 5, Hal. 192).
Seseorang yang menunaikan ibadah haji dari sumber biaya yang haram, maka ketika ia menyeru, “Labbaikallahumma labbaik, Aku penuhi panggilan-mu Ya Allah.” Maka Allah swt langsung menolaknya, “Tidak ada kata selamat datang bagimu, tidak ada sambutan kebaikan bagimu.” Wal iyadzubillah.
Ada kisah menarik di zaman nabiyullah Musa alaihissalam, dimana ketika itu kaumnya sedang dilanda paceklik dan kemarau panjang. Maka nabiyullah Musa mengumpulkan kaumnya bersama-sama untuk beristighatsah, memohon kepada Allah swt agar segera diturunkan hujan. Serentak mereka menengadahkan tangan berseru, namun dijawab Malaikat dengan suara lantang, “Tidak aka dikabulkan do’a-do’a kalian, sampai salah seorang di antara kalian keluar dari barisan, karena ia telah memakan harta yang haram. Nabiyullah Musa tidak berani dan tidak mengetahui siapa yang dimaskud. Dan orang yang merasa sumber masalahpun tidak berani keluar dari barisan sehingga semua orang pasti akan mengetahui kejelekannya. Mereka berdo’a berulang-ulang, dan disambut jawaban yang sama dari Malaikat. Sampai akhirnya orang yang memakan barang haram menjerit hatinya, menyesal gara-gara ia semua jadi susah. Ia bertaubat dengan sungguh-sungguh. Seketika itu Allah swt menurunkan hujan.”
Kedua, Ikhlas karena Allah swt Semata
Menunaikan haji bukan karena malu dengan orang lain, seperti seorang atasan berangkat haji karena bawahannya sudah berhaji. Atau ingin dipanggil dengan gelar ”pak haji”. Atau menjadi bukti status sosial di masyarakat. Tidak karena itu, munanaikan haji hanya dilandasi oleh ketulusan dan keridhoan Allah swt semata sebagai wujud penghambaan kepada-Nya.
Seseorang yang berangkat haji dengan niat ikhlas, akan di kabulkan do’anya ketika berdo’a, diberi ampun ketika beristighfar. Rasulullah saw bersabda diriwayatkan dari Abu Hurairah, ”Orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah adalah tamu-tamu Allah. Jika mereka berdoa, pasti akan dikabulkan. Jika mereka minta ampun, pasti diampuni.” HR. Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, Jilid 8, Hal. 439).
Ketiga, Berbekal Taqwa
Allah swt berfirman dalam rangkaian ibadah haji agar membekali diri dengan taqwa, yaitu sikap siap taat terhadap apa yang Allah swt perintahkan dan Rasul-Nya kerjakan serta siap meninggalkan segala apa yang Allah swt larang dan Rasul-Nya jahui. Ketika malaksanakan ibadah haji. ”Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” QS. Al Baqarah : 197.
Termasuk bekal di sini adalah bekal materi sehingga di tanah Suci tidak kehabisan bekal dan akhirnya meminta-minta.
Keempat, Menguasai Ilmu tentang Ibadah Haji
Para ulama ushul sepakat bahwa ilmu itu lebih penting dan didahulukan dari pada amal perbuatan. Karena amal perbuatan yang tidak didasari ilmu pengetahuan, selain tidak akan diterima justru mengarah pada membuat-buat hal yang baru yang dilarang agama.
Ilmu yang harus diketahui seputar haji adalah yang berkaitan dengan rukun haji, dimana rukun haji bila tidak dilaksanakan hajinya menjadi tidak sah.
Adapun rukun haji adalah sebagai berikut :
1. Ihram, yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau umroh di miqat makani.
2. Wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri, berdzikir, berdo’a, beristghfar di padang Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah.
3. Thawah Ifadhah, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 1o Dzul Hijjah.
4. Sa’i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, dilakukan sesudah Thawaf Ifadhah.
5. Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan sa’i.
6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.
Yang juga diketahui adalah Wajib Haji, Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah :
1. Niat Ihram, untuk haji dan umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram.
2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Dzulhijjah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina).
3. Melontar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah.
4. Mabit di Mina pada hari Tasyrik (Tanggal 11,12,13 Dzulhijjah).
5. Melontar Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah pada hari Tasyrik.
6. Thawah Wada’, yaitu melakukan perpisahan sebelum meninggalkan kota Makkah.
7. Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram, seperti memakai wangi-wangian, menyisir, menggunting kuku atau rambut, berpakaian berjahit.
Kelima, Mengetahu Ilmu tentang Safar
Ibadah haji atau umrah adalah ibadah yang memakan waktu panjang dan tempat yang jauh. Berarti terkait dengan safar atau perjalanan. Dalam fiqh orang yang sedang mengadakan perjalanan mendapatkan dispensasi-dispensasi dari Allah swt, seperti bertayamum, shalat di jama’ atau digabung, shalat di qashar atau di perpendek menjadi dua rekaat.
Disinilah apresiasi agama Islam yang begitu besar terhadap ibadah ini, selain dispensasi diatas, ternyata safar itu sendiri menjadi ibadah yang berdiri sendiri, sehingga kita disunnahkan untuk berdoa ketika akan berangkat, mendo’akan dan dido’akan.
Bahkan do’a yang tidak akan tertolak adalah do’a yang dilaksanakan pada saat sedang dalam safar.
Ketika Di Tanah Suci
Pada dasarnya ibadah haji itu membutuhkan waktu lima hari saja, terhitung sejak tanggal 9 Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah, inilah yang terkait dengan rukun haji. Tidak ada bacaan-bacaan khusus atau do’a-do’a khusus dalam praktek ibadah haji. Do’a yang masyhur dilantunkan adalah do’a sapu jagat, ”Rabbana aatina fiddunya hasanah wafilaakhirati hasanah waqina adzabannar.”
Hal-hal yang harus dihindari ketika melaksanakan ibadah haji di antaranya: berkata tidak senonoh atau yang mengundang syahwat, bersetubuh, berbuat fasik atau dosa, bertengkar. Allah swt berfimran:
”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (Kata-kata yang menimbulkan birahi atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” QS. Al Baqarah : 197
Ibadah haji lebih banyak berkaitan dengan fisik. Mengelilingi Ka’bah, lari-lari kecil, melempar jumrah, wukuf di terik matahari di padang Arafah. Semuanya membutuhkan fisik yang sehat dan prima.
Hal lain yang harus dikuatkan adalah kesabaran, memaafkan, mendahulukan saudara, menolong sesama. Bisa dibayangkan lebih dari dua ratus juta manusia berkumpul di satu tempat dalam satu waktu.
Sekembali di Tanah Air
Yang jauh lebih berat untuk mempertahankan kemabruran ibadah haji adalah pasca pelaksaannya atau ketika dalam kehidupan sehari-hari. Tanda kemabruran seseorang bisa dilihat dari perubahan pada dirinya. Adakah perubahan menjadi lebih baik dari sebelumnya dan istiqamah dalam ketaatan sampai akhir hidupnya, atau sama saja dengan sebelum menunaikan ibadah haji?.
Haji yang diterima Allah swt adalah haji yang mabrur. Berbahagialah orang yang meraih haji mabrur, sebab haji mabrur tiada balasannya kecuali surga. Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, ”Haji mabrur tiada balasannya kecuali surga. Dan dari pelaksanaan umrah ke umrah yang lain akan menghapus kesalahan antara keduanya.” HR. Imam Ahmad (Musnad Imam Ahmad, Jilid 15, Hal. 91).
Sudah saatnya umat Islam meluruskan niat, bersungguh-sungguh dalam menunaikan ibadah haji, dan menjaga semangat haji dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan lahir perubahan-perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupan pribadi yang otomatis akan berdampak pada kehidupan sosial dan berbangsa.
Bangsa ini sangat berhajat terhadap masyarakat yang berakhlakul karimah, bermoral, memiliki idealisme yang luhur yang bersumber dari keyakinan yang benar, sehingga keberkahan-keberkahan Allah swt akan segera turun di bumi pertiwi yang kita cintai. Allahu a’lam.
Jamaah haji datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan Wukuf di Arafah. Jamaah haji ke Mina lagi karena para jamaah haji akan melempar jumroh. Di Mina jamaah haji wajib melaksanakan mabit (bermalam) yaitu tanggal 10,11,12 Dzulhijah bagi jamaah haji yang melaksanakan Nafar Awal atau tanggal 10,11,12,13 dzulhijah bagi jamaah yang melaksanakan Nafar Tsani. Jika tidak bermalam di Mina, harus membayar dam (denda).
Tempat atau lokasi melempar jumroh terdapat di Mina, yaitu Jumrah Aqabah, Jumrah Wusta dan Jumrah Ula. Mina juga merupakan tempat atau lokasi penyembelihan binatang kurban. Di Mina ada mesjid Khaif, merupakan masjid dimana Rasulullah SAW melakukan shalat dan khutbah ketika berada di Mina saat melaksanakan ibadah Haji.
Muzdalifah terletak di antara Mina dan Arafah. Dinamakan demikian karena jama’ah haji berdatangan ke tempat ini pada tengah malam atau karena para jama’ah pergi meninggalkan tempat ini secara bersamaan. Ada pula yang menamakan tempat ini sebagai jam’an yang artinya adalah berkumpul, karena Adam dan Hawa berkumpul di tempat ini. Batasnya adalah antara lembah Muhassir sampai ke Al-Ma’zamain (dua gunung yang saling berhadapan, yang di tengahnya ada jalan) yaitu 4,8 KM², sedangkan luasnya adalah 12,25 KM². Di sana terdapat rambu-rambu pembatas yang menentukan batas awal akhir dan akhir Muzhdalifah.
Ketika jamaah haji berada di Muzdalifah untuk melaksanakan mabit (menginap pada malam hari) serta mengambil batu guna melempar jumrah, hendaknya dia memperbanyak doa, berdzikir, membaca talbiyah, dan tilawah Al-Qur`an. Sebab, malam tersebut merupakan malam yang agung. Adapun doa yang biasa dibaca adalah,
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk memberiku rezeki di tempat ini berupa kebaikan secara menyeluruh, Engkau perbaiki semua perilaku diriku, dan Engkau palingkan aku dari segala keburukan. Sesungguhnya tidak ada yang bisa melakukan itu, melainkan Engkau, dan tidak ada yang bisa memperbaiki itu kecuali Engkau.”
Jamaah haji harus wuquf (berada) di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, karena jika tidak maka hajinya tidak sah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Haji adalah (wuquf) di Arafah.”
Ketika berada di tempat ini pada tanggal 9 Dzulhijjah hendaknya seseorang memperbanyak doa, berdzikir, dan membaca Al-Qur`an. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sebaik-baik doa adalah doa pada Hari Arafah.”
Adapun doa yang dipanjatkan tergantung kebutuhan masing-masing orang dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat, semisal mendoakan buruk untuk orang lain, atau berdoa agar diberi hal-hal yang haram.
Saudaraku…
Menyegerakan amal, itulah ajaran Islam kepada ummatnya. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. menasihati para sahabatnya untuk selalu menyegerakan amal saleh, kendati mereka itu manusia-manusia yang teruji keimanannya. Kata Nabi kala itu,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Bersegeralah melakukan amal-amal saleh (kebajikan). (Sebab) sebuah fitnah akan datang bagai sepotong malam yang gelap. Seseorang yang paginya mukmin, sorenya menjadi kafir. Dan seseorang yang sorenya bisa jadi kafir, paginya menjadi mukmin. Ia menjual agamanya dengan harga dunia.” (H.R. Muslim)
Demikian pesan Nabi saw. mulia itu juga disampaikan untuk kita. Adakah di antara kita yang selama sehari semalam penuh menjadi seorang mukmin sejati? Bisakah dan mampukah kita selama 24 jam tidak melakukan dosa dan sikap kufur, sekecil apapun kepada Allah Taala? Padahal ketika Allah swt. memberikan waktu 24 jam sehari, transaksinya adalah untuk dipersembahkan kepada Allah swt. semuanya. Pada setiap shalat kita selalu mengumandangkannya kepada Allah.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162)
Bukankah ketika kita tidak berempati atas nasib kaum lemah dan tertindas adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat? Bukankah di saat kita tidur dan bangun tidur tanpa mengingat Allah, tanda kita lupa kepada-Nya? Bukankah lupa adalah bagian dari kekufuran kita kepada Sang Khaliq?
Saudaraku…
Sesungguhnya fitnah itu lebih cepat bergerak. Sekali kita membiarkannya maka selanjutnya ia akan bersemayam dan berkembang dalam tubuh kita. Begitu cepat dan samarnya sampai menjadikan orang pindah agama, menggadaikannya dengan sedikit kesenangan dunia
Wajar jika sampai-sampai Rasulullah saw. mengingatkan para sahabatnya itu, walau Nabi tahu keimanan para sahabat itu tak akan tertandingi oleh orang-orang sesudahnya.
Dengan apa kita menutup pintu fitnah? Ya, dengan amal shaleh. Apa saja dalam hidup orang beriman bisa menjadi amal kebaikan. Kita membuang sampah pada tempatnya itu amal baik. Berniat tidak bohong itu amal mulia. Mengucapkan salam kepada kawan itu amal yang terpuji. Mendo’akan saudara seiman kendati mereka tak tahu juga amal shaleh. Dan masih banyak lagi amal shaleh, amakl kebajikan yang bisa kita lakukan, sekalipun kita tak memiliki sesuatu.
ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Orang-orang kaya pergi mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kita shalat, mereka puasa sebagaimana kita puasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Rasulullah bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya satu tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, dan pada hubungan (dengan istri) kalian adalah sedekah.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, apakah seseorang mendatangi istrinya karena syahwatnya, apakah ia mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Apa menurut kalian kalau dia meletakkannya pada yang haram. Bukankah baginya dosa? Demikian pula jika diletakkan pada yang halal, padanya ada pahala.” (Bukhari Muslim)
Allah swt. dengan keadilan-Nya memberikan peluang amal kepada masing-masing hamba-Nya. Baik orang miskin maupun kaya, masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kebajikan dan mendapatkan ridha Allah. Lebih dari itu, suatu amal tidak dilihat dari kuantitasnya, tapi dilihat dari motivasi dan niatnya. Kualitas amal seseorang tergantung kepada motivasi dan niatnya.
Saudaraku…
Boleh jadi infak seorang buruh sebesar 1000 rupiah, itu sama nilainya dengan infak seorang direktur sejumlah Rp. 1.000.000.000,00. Seorang murid barangkali lebih mulia dengan seorang gurunya, karena si murid lebih sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sementara sang guru merasa cukup dengan ilmunya.
Menyegerakan amal kebajikan tentu akan memberi nilai tambah bagi pelakunya sendiri. Menyegerakan berbuat baik berarti mempercepat dirinya mendapatkan ampunan (maghfirah) dari Allah. Kenapa? Sebab, kita telah berupaya menutup pintu-pintu kemungkaran dan kebatilan. Dengan demikian pula, Allah akan membukakan kebahagiaan, yakni, surga. Itu semua hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bertaqwa.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran:133)
Mengapa kita mesti menyegerakan amal?
1. Karena asset waktu yang kita miliki hanyalah saat ini. Apa yang terjadi nanti dan esok hari kita tidak tahu. Kemarin bukan lagi milik kita, ia telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Kebaikan dan keburukan yang kita kerjakan kemarin tidak bisa kita ulang lagi. Ia menjadi kenangan saat ini. Jika kebaikan, bersyukurlah kita, dan jika keburukan menyesallah bersama orang-orang yang menyesal. Masih beruntung jika kita bersyukur hari ini, bukan saat di mana penyesalan tidak ada artinya lagi. Esok hari juga belum menjadi milik kita, ia ada di alam gaib yang hanya Allah swt. yang tahu. Kita tidak tahu apakah esok hari masih bisa menghirup udara pagi?
2. Karena amal kita tidak mungkin dikerjakan orang lain. Masing-masing orang akan datang kepada Allah dengan amal perbuatan yang dikerjakannya sendiri di dunia. Keshalihan orang tua tidak bisa diandalkan anaknya. Seorang suami tidak akan selamat dari murka Allah karena amal perbuatan istrinya. Kita boleh bangga terhadap pemimpin, orang tua, anak, guru, dan suami atau istri kita karena keshalihan mereka. Kebanggaan kita tidak bisa berbicara banyak di hadapan pengadilan Allah swt.
3. Karena kemuliaan derajat seseorang di sisi Allah swt. disebabkan oleh kesungguhannya dalam merespon seruan kebajikan dan mengamalkannya. Orang tua akan senang jika menyuruh anaknya mengerjakan sesuatu lalu dikerjakan segera. Sebaliknya ia akan marah jika si anak menunda-nunda mengerjakannya. Demikian pula Allah Ta’ala. Seruan kebajikan dikumandangkan untuk segera diamalkan.
4. Karena setiap waktu ada momentnya sendiri. Setiap waktu ada tuntutan amalnya. Banyak sekali amal perbuatan yang sangat terkait dengan waktu. Yang ketika waktunya berakhir, berakhir pula kesempatan untuk mengerjakannya. Seperti shalat, puasa, haji, berkurban, dan lain sebagainya.
5. Kesempatan beramal juga diberikan kepada seseorang pada waktu-waktu tertentu. Orang kaya diberi kesempatan beramal dengan kekayaannya. Orang berilmu diberi kesempatan beramal dengan ilmunya. Seorang pimpinan diberi kesempatan beramal dengan kekuasannya. Jangan sampai Allah swt. mencabut kesempatan itu dan tidak bisa lagi berbuat. Kesehatan, waktu luang, hidup, masa muda, dan kekayaan adalah kesempatan untuk beramal.
Saudaraku…
Tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Saat inilah waktumu. Segeralah beramal sesuai dengan tuntutan waktunya. Kejarlah kebajikan sampai ke liang lahat. Wallahu A’lam
Putus asa mendera di mana-mana. Saat itu Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya saksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tangan ini.”
Umar menabukan makan daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, ia khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu, hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”
Hampir setiap malam Umar bin Khattab melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.
Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
“Apakah ia sakit?”
“Tidak,” jawab si ibu lagi. “Ia kelaparan.”
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.
Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Hmmm, kau lihatlah sendiri!”
Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”
Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu….”
Dengan wajah merah padam, Umar menjawab sebat, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika tersuruk-suruk Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum itu. Angin berhembus. Membelai tanah Arab yang dilanda paceklik.
Cita-cita semua orang yang menunaikan ibadah haji, selain ingin hajinya diterima (makbul), juga yang lebih penting ingin hajinya mabrur, yakni haji yang mendapatkan penilaian khusus di sisi Allah SWT. Haji mabrur dijanjikan keutamaan khusus dari Rasulullah SAW: ”Tidak ada haji yang balasannya surga selain haji yang mabrur,” (HR. Bukhari-Muslim)
Haji makbul biasa dicapai melalui penyempurnaan niat, rukun, syarat, dan sunah haji, tetapi haji mabrur membutuhkan waktu untuk menyadarinya. Di samping itu juga membutuhkan watak dan karakter individu yang andal dan konsisten (istiqamah).
Apa sesungguhnya haji mabrur itu, bagaimana meraihnya, dan bagaimana mempertahankannya. Dampak positif haji mabrur bukan hanya pada diri yang bersangkutan, tetapi juga di dalam masyarakat luas. Haji mabrur dapat menjadi kader yang andal di dalam menyelesaikan berbagai problem masyarakat dan bangsa kita. Dengan demikian, perwujudan haji mabrur patut diperjuangkan semua pihak.
Haji mabrur tidak diukur pada saat proses pelaksanaan haji, tetapi terutama seusai pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Kriteria haji mabrur juga menuntut syarat-syarat sosial seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran.
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan, apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS Al-Baqarah [2]:197).
Berkata-kata kotor dan sembrono, berbuat keonaran (fasik), dan berbantah-bantahan, diberikan penegasan khusus oleh Allah SWT. Beranikah kita memutus dosa-dosa langganan kita selama ini, baik yang kecil-kecil apalagi yang besar-besar. Apakah masyarakat sekitar, terutama keluarga, sudah merasakan vibrasi positif dari kita. Dengan kata lain, apakah haji kita membawa kebaikan di masyarakat, khususnya di lingkungan keluarga terdekat kita.
Untuk membangkitkan kesadaran spiritual sebagai upaya menggapai haji mabrur, pengenalan makna dan simbol-simbol haji perlu juga mendapatkan perhatian khusus, terutama pemaknaan secara esoterik sejumlah tempat yang banyak mendapatkan perhatian umat.
Institusi Thawaf, misalnya, sebagai warisan dari Nabi Adam, selain menirukan cara beribadah para malaikat, juga menirukan perilaku alam raya. Ini semua membuktikan bahwa manusia sebagai partikel mikrokosmos harus juga tunduk dan pasrah (islam) dan konsisten istiqamah) kepada Khaliqnya. Seorang Muslim yang ideal ialah selain menyatakan kepasrahan total kepada Allah SWT juga harus memancarkan nilai-nilai pencerahan di dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya menjunjung tinggi kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial.
Dalam siklus kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa menjalankan fungsi-fungsi tawaf. Orang-orang yang bertawaf di atas rel yang benar, mereka itulah disebut orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus, jalan yang penuh kenikmatan (shirath alladzina an’amta ’alaihim).
Orang-orang musyrik, atau orang-orang yang melakukan loyalitas dan penghambaan ganda kepada lebih dari satu obyek yang seharusnya disembah, sesungguhnya telah menempuh rel menyimpang dalam kehidupannya sehingga Tuhan menggambarkannya dalam Surah Al-Hajj:
"Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh," (QS Al-Hajj [22]:31)
Orang-orang yang menyimpang dari sistem global dan nilai-nilai universal sebagaimana ditetapkan Tuhan tidaklah tergolong haji mabrur, bahkan boleh jadi yang bersangkutan sesungguhnya orang-orang yang sesat. Nurani (cahaya) dalam hati mereka padam digantikan dengan hati dlulmani, hati yang gelap-gulita. Cermin batinnya yang buram tidak mampu lagi menangkap nur, cahaya Ilahi.
Mereka teralienasi oleh gemerlapnya kehidupan dunia. Mereka itu sangat berpotensi untuk membenarkan segala cara dalam memenuhi keinginannya. Mereka tidak lagi tergetar hatinya dalam menyaksikan penderitaan kaum dlu’afa’ yang semakin dla’if karena paham individualisme sedemikian merasuk ke dalam pikirannya. Orang-orang seperti ini sulit merasakan ketenangan dan ketenteraman hakiki karena dalam jiwanya dipadati power struggle, ambisi berlebihan, dan pada akhirnya mereka merasa kelelahan karena tersedot oleh energinya sendiri. Ini bisa ditebak bahwa sepanjang seseorang masih seperti ini, sulit kiranya haji mabrur menyertai kita.
Godaan mempertahankan haji mabrur juga tidak gampang karena terkadang yang kita harus hadapi bukan orang lain, melainkan diri sendiri. Kiat-kiat mempertahankan kemabruran haji tentu saja yang bersangkutan diharapkan tetap mempertahankan ibadah sosial yang paralel dengan ibadah mahdlah. Semoga para hujjaj kita tahun ini memperoleh haji mabrur.
Tidak pernah terbayang kalau kelak saya akan menginjakkan kaki di tanah haram yang dirindukan umat Islam. Bahkan tak pernah terpikir saya akan memeluk agama Islam yang tadinya saya benci. Sebab, sejak kecil saya dan istri biasa hidup di lingkungan adat yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam.
Dulu, suku Dayak dikenal sebagai pengayau tengkorak manusia. Memburu kepala musuh, baik sesama suku maupun suku lain, merupa-kan pilar utama budaya dan kepercayaan kami lantaran kepala yang baru dipenggal sangat penting bagi terciptanya kesejahteraan seisi kampung. Sementara tengkorak lama makin luntur kekuatan magisnya. Untuk itu, dibutuhkan perburuan terus menerus yang menyebabkan sering terjadinya peperangan, baik antar suku ataupun dengan masyarakat luar.
Jasa Penginjil
Sebetulnya agama Islam sudah tersiar di tanah Jawa sejak abad 15, terutama di Kutai dalam wilayah kerajaan Hindu Mulawarman yang kini termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Namun masyarakat Dayak tidak tertarik untuk menganut agama Islam karena kami dilarang beternak babi atau berburu celeng dan memakan dagingnya. Islam juga melarang umat-nya memelihara anjing. Padahal, babi dan anjing sudah menyatu dengan kehidupan kami dan tidak mungkin terpisahkan dari upacara adat dan ritus-ritus nenek moyang.
Tak seorangpun penganjur Islam yang pernah memberitahu adanya keringanan-keringanan tentang najis anjing dan babi, serta tidak terlalu memaksa seseorang yang baru bersyahadat agar segera dikhitan. Seakan keringanan itu sengaja di- sembunyikan. Yang kami ketahui, kalau memeluk agama Islam kami harus meninggalkan adat-istia-dat neneng moyang. Sedikit saja menyimpang dan tetap melaksanakan tradisi nenek moyang, kabar-nya kami akan dituduh musyrik dan masuk neraka. Bukankah itu menyakitkan dan mengerikan?
Berbeda dengan sikap penginjil, baik dari kalangan Katolik maupun Protestan. Mereka datang berduyun-duyun membawa hadiah, ilmu dan pengetahuan baru yang dapat mengubah cara hidup kami tanpa mengharubiru adat istiadat dan ritual nenek moyang. Mereka merambah ke kawasan-kawasan terpencil, perang antar suku tidak pernah terjadi lagi berkat jerih payah mereka. Kebiasaan mengayau kepala manusia sudah lama kami ting-galkan, juga agama asli. Dan hal itu terjadi tanpa memusnahkan upacara adat dan tradisi.
Misionaris Yang Sukses
Sungguh mereka banyak berbuat untuk suku Dayak, termasuk saya dan keluarga, yang sebagai pengikut Yesus dan Bunda Maria, segala kebutuh-an hidup kami selalu dipenuhi, oleh karena itu, untuk menanggung delapan orang anak dan seorang istri , saya tidak pernah mengeluh walaupun saya hanya sebagai penginjil Katolik.
Sudah tak terhitung banyaknya penduduk yang dapat saya ajak masuk gereja. Apalagi sejak saya dianugerahi amanat memimpin umat Katolik di desa Bangkal oleh gereja Sampit. Makin menggebu-gebu semangat saya untuk mengibarkan panji-panji sang juru selamat dan menegakkan palang salib di berbagai penjuru. Saya tanamkan iman Kristiani kepada masyarakat kecamatan Danau Sembuluh tanpa pandang bulu. Malah cita-cita saya tidak saja menasranikan rakyat Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, melainkan juga seluruh pelosok Provinsi Kalimantan Tengah.
Tiga tahun saya menebarkan ayat-ayat Injil di mimbar gereja dan di berbagai persekutuan doa di desa Bangkal dan desa-desa lainnya. Kemudian saya dipercaya pula untuk mengumandangkan misi gereja di kecamatan Cempaga sejak tahun 1978.
Berkat kegigihan saya, hingga hampir segenap waktu saya tersita oleh kegiatan pelayanan rohani, bahkan saya berhasil mengajak umat dan se-mua pihak untuk bersama-sama membangun gereja yang cukup besar lengkap dengan asramanya.
Keyakinan Fatamorgana
Dua tahun saya bekerja, memeras tenaga dan pikiran demi kejayaan agama Katolik melalui gereja yang saya dirikan. Sungguh bangga hati saya, sungguh mantap kaki saya. Namun dibalik kepuasan batin itu ada sesuatu yang terngiang-ngiang jauh di dasar sanubari saya. Entah mengapa dan darimana datangnya tuntutan itu, tidak pernah terungkap sama sekali. Yakni tanda tanya yang tak mampu saya jawab meskipun telah saya gali lewat firman-firman suci. Apakah betul jalan saya berasal dari Tuhan? Tidak kelirukah keyakinan saya itu?.
Kebimbangan tersebut betul-betul sangat menyiksa hidup saya dan mengusik ketentraman batin. Seolah ada sebuah lubang pada diri saya yang tidak mampu saya tutupi, malah saya rasa makin lama makin dalam dan lebar. ??Ya Tuhan, kalau Engkau Maha Kuasa dan Maha Penyayang, tunjukkanlah kebenaran yang sempurna?? demikian ratap saya tiap malam tatkala suasana sedang lengang dan kesunyian sedang mencekam sambil saya genggam rosario --kalung salib-- erat-erat.
Saya menggapai-gapai bagaikan hampir tenggelam di tengah-tengah samudera kehampaan. Saya berteriak nyaring di tengah gurun kesunyian. Saya merasa ditinggalkan sendirian dalam sebuah lorong gelap dan pengap setelah seberkas cahaya yang tadinya saya jadikan pedoman kian buram dan hampir padam. Saya merindukan sinar terang yang tidak menipu saya dengan bercak-bercak fatamorgana. Saya mendambakan jalan lurus menu-ju haribaan Tuhan yang sejati dan hakiki.
Mimpi yang menakjubkan
Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang akhir Oktober 1980, ketika kesibukan untuk mengabarkan Injil mencapai puncaknya, saya didatangi mimpi yang sangat aneh. Seorang lelaki berjenggot rapi mengunjungi saya antara tidur dan jaga. Pundak saya ditepuk dan tangan kanan saya ditariknya. Saya menoleh, betapa takjub saya melihat sosok manusia yang begitu tampan dalam usia bayanya. Berpakaian serba putih dengan rambut berombak tertutup selembar kain halus yang juga berwarna putih, ia tampak sangat agung dan anggun. Saya merasa damai oleh pandangan dan senyumnya.
Dituntunnya saya menjelajahi hamparan tanah yang tandus menuju sebuah gurun pasir yang luas dan gersang. Anehnya, meskipun matahari terik membakar, saya justru merasakan kesejukan yang indah dan menawan, seolah gumpalan awan besar menaungi kami berdua.
Ketika tiba di suatu tempat yang asing dan sakral, ia mempersilakan saya masuk, saya melihat ribuan manusia bergerak mengelilingi sebuah bangunan berbentuk kubus sambil berlari-lari kecil, di antara mereka ada yang sedang bersujud dengan khusyu??, banyak pula yang berebutan mencium batu hitam kebiruan yang menempel di dinding kubus itu, begitu saya datang, kerumunan manusia tadi menyibakkan diri memberikan kesempatan kepada saya untuk memeluk dan mencium batu berkilat itu sepuas hati. Amboi, alangkah harum-nya, alangkah tenteramnya jiwa saya.
Setelah itu ia mengarak saya bersama berbagai awan ke tempat lain yang pemandangannya amat berbeda, tetapi suasananya sama, penuh keagungan, saya bertanya, ??Bangunan apa yang teduh ini??? Ia menjawab,??Ini yang dinamakan Masjid Nabawi.??
Sebagai penginjil saya pernah mengenal istilah itu, sebab mempelajari agama-agama lain adalah modal untuk membeberkan kebenaran kami dan membongkar kelemahan mereka. Oleh karena itu saya terkejut, mengapa saya dibawa kemari?
??Gundukan tanah yang ditengah itu untuk apa???
kembali saya bertanya,
??Itu makam Nabi Muhammad.?? sahutnya.
Mendengar penjelasan itu sayapun makin kaget. Nabi Muhammad adalah pembawa ajaran Islam, ada hubungan apa dengan saya sampai saya diajaknya berziarah ke situ? meski beribu kebingungan menyemak di hati, sekonyong-konyong, tanpa dimintanya saya bersimpuh di depan kuburan yang sederhana itu, Air mata saya menetes. Saya terharu walaupun tidak tahu kenapa.
Betapa mulianya pemimpin kaum Muslimin itu yang pengikutnya ratusan juta orang, tetapi makam-nya begitu bersahaja, yang ajarannya ditaati umatnya, namun kematiannya tidak boleh diratapi. Saya terpana sangat lama sehingga tatkala saya sadar kembali, lelaki yang mengantar saya tadi telah menghilang kedalam kuburan itu.
Panggilan hati
Saya ceritakan mimpi ini kepada istri dan anak-anak, mereka terkesima, istri saya berkaca-kaca, saya tidak mengerti apa sebabnya. Barulah pada malam harinya, ketika kami cuma berdua, ia berkata, ??saya yakin itu bukan sekedar mimpi. Itu panggilan. Dan kita berdosa kepada Tuhan bila tidak mau mendatangi panggilan-Nya.??, ??Maksudmu??? saya tidak paham akan maksud istri saya. ??Kita tanya kepada orang yang ahli agama Islam. Siapakah lelaki baya yang mengajak abang itu, dan apa makna mimpi itu. Kalau memang benar merupakan panggilan Tuhan, berarti kita harus masuk Islam,??jawab istri saya tanpa ragu-ragu.
Sayalah yang justru dilanda kebimbangan, terombang-ambing dalam iman Kristiani yang makin goyah. Apalagi tiap kali teringat akan salah satu surah al-Qur??an yang pernah saya pelajari,
??Tuhanmu adalah Allah yang Maha Tunggal, Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan??
Saya ingin lari menghindari dengungan batin itu, namun keyakinan saya tak cukup kuat untuk menahan deburan ayat-ayat suci al-Qur??an. Untungnya pada tahun 1983 gereja Sampit memindahkan saya ke Medan di desa Resettlement untuk mengobarkan semangat Injil pada masyarakat setempat, saya terima dengan setengah hati sebab semangat Injil saya sedang meluntur ke titik paling rawan. Anehnya, saya merasa bahagia menerima keadaan itu, lebih-lebih ucapan istri saya yang tak pernah lenyap dari pendengaran saya. ??Kalau mimpi itu merupakan panggilan Tuhan, kita berdosa jika tidak mendatangi-Nya. Kita harus masuk Islam.??
Masuk Islam
Akhirnya, awal Maret 1990 saya sekeluarga mengunjungi KUA Mentawa Baru Ketapang, sesudah lebih dulu mendapat penjelasan dari seseorang yang saya percayai memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Ia mengatakan bahwa lelaki dalam mimpi saya adalah Nabi Muhammad saw. Diterangkannya lebih lanjut bahwa tidak semua orang, termasuk kaum Muslimin, bisa memperoleh kehormatan bertemu dengan Nabi saw dalam mimpi. Dia meyakinkan saya bahwa mimpi itu bukan dusta, bukan kembang tidur. Sebab, Iblis tak sanggup menyerupai Nabi saw walaupun ia bisa menyamar sebagai Malaikat.
Itulah yang kian memantapkan tekad saya sekeluarga untuk memeluk ajaran Islam, maka dengan bimbingan Mahali, BA, kami mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan oleh para pendahulu kami, Arkenus Rembang dan Budiman Rahim, dari Kantor Departemen Agama Sampit. Nama saya Iselyus Uda diganti dengan Muhammad Taufik; istri saya menjadi Siti Khadijah. Begitu pula kedelapan anak saya yang memperoleh nama baru yang diambilkan dari al-Qur??an. Sepulang dari upacara persaksian itu dada saya terasa sangat lapang dan dunia makin benderang. Tengah malam saya mengangkat kedua tangan dan menggumam,??Ya Tuhan, terpujilah nama-Mu, telah datang Kerajaan-Mu, kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, untuk anugerah kebenaran ini.??
Menebus mimpi
Sejak hari paling bahagia itu saya mulai berangan-angan, kapankah pemandangan dalam mimpi saya dulu itu bisa terwujud. Saya merindukan tanah suci tempat kelahiran Nabi ?? dan tempat makamnya, yaitu Makkah dan Madinah. Tanpa kuasa Allah SWT, rasanya mustahil terlaksana mengingat ekonomi saya tidak secerah semasa menjadi penginjil, akan tetapi saya tidak mengeluh. Memang pada segi materi terjadi penurunan, tetapi dari segi yang lain kehidupan kami bertambah makmur, sejahtera dan penuh berkah.
Kekurangan kami sedikit, kami anggap biasa, itulah ujian iman. Materi bukanlah segala-galanya yang penting anak-anak dapat melanjutkan sekolah mereka dan kebutuhan sehari-hari kami tercukupi. Adapun hidup lebih bukanlah tujuan utama. Buat kami sudah puas dengan kaya di hati dan rezeki yang halal.
Saya tidak tahu apakah keikhlasan itu diterima Tuhan, ataukah lantaran sudah tertulis dalam takdir-Nya bahwa saya sekeluarga harus menjadi muslim dan muslimat yang kuat. Peristiwa yang terjadi dua pekan setelah kami masuk Islam membuat saya makin bersyukur kepada Allah SWT, yaitu ketika Kakandepag Kotawaringin Timur, Drs. H. Wahyudi A. Ghani, bertamu ke rumah saya di Desa Resettlement. Ia tidak hanya bertandang, tetapi mengantarkan tebusan mimpi.
Ia mengabarkan bahwa Menteri Agama, H. Munawir Syadzali, MA, menaruh simpati kepada saya dan berkenan memberangkatkan kami suami istri untuk menjalani ibadah umrah. Subhanallah, alangkah Akbarnya Engkau, alangkah luas kasih sayang Engkau. Sungguh saya tidak mampu menggoreskan pena atau menggerakkan lidah guna menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan saya.
Tidak bisa lain yang menggugah hati Menteri Agama, pasti Allah Yang Maha Kuasa. Tanpa kehendak-Nya mana mungkin seorang menteri memperhatikan seorang warga desa terpencil di Kalimantan Tengah ini, padahal kegiatannya selaku menteri tidak kepalang sibuknya. Saya dan istri langsung sujud syukur di hadapan Allah SWT. Kamipun berangkat ketanah suci tahun 1991.
Akhirnya, kami kesampaian mewujudkan pemandangan dalam mimpi dengan melaksanakan thawaf mengelilingi Ka??bah, menunaikan sa??i antara bukit Shafa dan Marwah, serta berziarah ke makam Nabi Muhammad saw.
Agaknya doa kami di tempat-tempat mustajab di Makkah dan Madinah mulai dikabulkan-Nya. Sekembalinya dari tanah suci ada seorang hartawan yang tidak ingin disebut namanya, mewakafkan sebidang tanah kepada saya.
Saya berniat menghabiskan sisa umur saya untuk menebus dosa-dosa pada masa silam tatkala lima belas tahun lamanya saya bekerja keras memurtadkan umat Islam dan merayu banyak orang agar mengikuti keyakinan saya kala itu. Ihdinashshirathal mustaqim.
Sumber : Seperti dituturkan M. Taufik kepada Musthafa
Di kutip dari Majalah Sabili, dengan diedit untuk penyesuaian halaman
erjalanan suci nan kolosal dari Makkah ke Arafah (via Mina dan Muzdalifah) secara tradisional yang terjadi kemarin adalah yang terakhir. Tahun depan caranya sudah berubah sama sekali: pakai monorel. Tidak ada lagi barisan bus yang menyemut, yang hanya bisa nggeremet dengan kecepatan 5 km/jam, bahkan lebih sering berhenti sama sekali. Kalau mau, masih bisa berjalan kaki untuk jarak sejauh 20 kilometer itu.
Begitu musim haji tahun ini selesai, proyek monorel dari Makkah, Mina, Muzdalifah, dan Arafah itu langsung dimulai. Dalam 10 bulan proyek ini harus sudah selesai, sehingga bisa dipakai dalam musim haji tahun depan. Rel kereta itu akan dibangun di atas tanah dengan tiang-tiang penyangga setinggi antara 5 sampai 10 meter, bergantung pada keadaan setempat. Jumlah relnya empat lajur: dua berangkat, dua kembali. Biaya proyek ini jangan kaget: Rp 60 triliun.
Perubahan itu tentu sebuah revolusi dalam pengaturan perjalanan haji. Zaman dulu, semua orang tentu berjalan kaki atau naik onta. Lalu, ketika jumlah orang naik haji terus bertambah, diadakanlah pengangkutan bermotor. Tiap tahun jumlah bus terus ditambah: tahun lalu sudah mencapai 25.000 bus.
Busnya pun dua macam: ada yang bus biasa, ada juga yang tidak pakai atap. Maklum, ada yang menganggap bahwa dalam perjalanan suci ini, tidak boleh naik kendaraan yang beratap. Hajinya tidak sah. Ini mengikuti pedoman lama bahwa dalam perjalanan itu hubungan antara manusia dan Tuhan yang di langit harus langsung: tidak boleh ada pembatas. Demikian juga ketika menjalani ritual puncak haji, yakni setengah hari berjemur di padang Arafah, tidak boleh berada di bawah tenda.
Meski kian tahun jumlah tenda kian banyak (bahkan ada yang ber-AC), masih juga banyak yang menganggap ibadah seperti itu tidak diterima Tuhan. Belum ada informasi apakah monorel yang menghubungkan Makkah dan Arafah nanti juga dua jenis: monorel beratap dan yang tidak beratap. Atau semuanya saja beratap sehingga yang berpendapat “beratap tidak sah” bisa memilih cara lama: berjalan kaki.
Kami pernah berjalan kaki ketika memimpin rombongan anak-anak muda dari Jawa Pos Group. Berangkat dari Makkah pukul 4 sore, tiba di Arafah pukul 23.30. Sepanjang perjalanan ramainya bukan main. Kalau lagi lelah dan hampir putus asa, kami selalu melihat wanita tua yang masih kuat meneruskan jalan kaki. Di sepanjang jalan itu banyak sekali kaki lima yang berjualan segala macam makanan dan minuman: teh, kopi, Coca-Cola, air putih, dan berbagai kue. Berjalan kaki, asal tidak kelelahan, bisa lebih cepat daripada naik bus. Maklum, lebih dari 2 juta orang harus berangkat dari tempat yang sama, menuju tempat yang sama melalui jalan yang sama. Hanya, jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki tidak sama. Di suatu tempat jarak dua jalan ini agak berdekatan (sekitar 500 meter) sehingga kami bisa melihat betapa macetnya kendaraan bermotor di jalur sana. Kadang jarak kedua jalur ini berjauhan sehingga kami hanya bisa melihatnya samar-samar.
Salah satu kelemahan menggunakan kendaraan bermotor adalah ini: kendaraan tidak bisa tiba di Arafah sesuai batas waktu: sebelum pukul 12.00 di Hari Raya Haji. Setiap tahun ada saja ribuan jamaah yang “terlambat” seperti itu, yang menurut keyakinan banyak orang, sebenarnya membuat ibadahnya tidak sah.
Tahun depan, dengan menggunakan monorel, perjalanan selama 6 sampai 10 jam itu bisa dipersingkat menjadi tinggal satu jam! Monorel ini akan berhenti di beberapa stasiun sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Termasuk berhenti di beberapa titik di mana konsentrasi perumahan penduduk sangat padat.
Mengelola perjalanan yang hanya 20 kilometer ini memang luar biasa sulit dan ketat. Maklum, semua perjalanan yang menyangkut jutaan orang itu harus sudah selesai dalam dua hari. Meski sudah ada yang melontarkan ide agar musim haji jangan hanya sekali setahun, toh tidak ada yang bisa memulai. Maklum, di luar musim haji, padang Arafahnya sendiri ditutup. Kuncinya dipegang petugas pemerintah Arab Saudi yang beraliran Wahabi. Yakni, aliran yang beranggapan bahwa musim haji hanya boleh dilakukan di bulan haji seperti selama ini. Kami pernah berumrah bersama tokoh agama dari Indonesia yang sudah nekat mau berhaji di luar musim haji. Tapi, sampai di sana tidak bisa melakukan niatnya itu. Terbentur soal teknis seperti bagaimana harus membuka pintu gerbang padang Arafah.
Maka bisa dibayangkan, monorel senilai Rp 60 triliun itu pun dalam satu tahun praktis hanya akan digunakan dua hari! Selebihnya entah mau diapakan. Kecuali untuk jalur Makkah-Mina yang di sekitarnya masih ada penduduknya. Namun, untuk jalur Mina-Muzdalifah dan Muzdalifah-Arafah, praktis tidak ada manusia yang tinggal di sana. Kami pernah ke Muzdalifah dan Arafah di luar musim haji: benar-benar hanya padang pasir. Di Mina masih ada bangunan hotel kecil-kecil dengan AC window yang terlihat dari luar, tapi semua bangunan itu kosong. AC-nya, selama setahun, juga hanya dinyalakan dua hari di musim haji. Padahal, saat musim haji, bisa mendapatkan emper hotel itu saja sudah beruntung. Terutama kalau bisa mampir buang air kecil.
Modernisasi infrastruktur di Makkah (Makkah bahasa Mandarinnya: Mei Jia yang artinya “rumah indah”) dan sekitarnya tentu akan membawa perubahan besar perilaku jamaah haji. Kian berat saja tugas pembimbing haji: bukan saja bagaimana menggunakan toilet di pesawat, tapi juga bagaimana kelak tinggal di kamar ber-AC dengan fasilitas modern. Termasuk bagaimana tata-cara naik monorel yang serbaotomatis. Jamaah haji kita, bisa-bisa semakin terlihat keterbelakangannya.
Modernisasi infrastruktur transportasi untuk rakyat kecil, sebaiknya memang diutamakan dengan dua tujuan: pelayanan modern untuk rakyat kecil (jangan hanya yang kaya yang bisa hidup modern), dan menambah rasa percaya diri sebagai bangsa.
Dengan perubahan wajah kota Makkah secara total kali ini, citra pusat Islam itu memang akan ikut berubah. Termasuk keterbukaan pikiran umat yang sudah ke sana. Hilangnya sumur zamzam di dalam Masjid Al Haram, misalnya, ternyata diterima juga akhirnya. Pelataran dalam Masjid Al Haram kini lebih luas dan lapang. Bangunan sumur zamzam itu kini sudah dibongkar sama sekali: diratakan. Air sumur zamzam itu dialirkan secara modern ke tempat lain: orang bisa memperoleh air zamzam di tempat yang baru itu, yang letaknya jauh dari masjid. Maka kalau dulu ada jamaah yang merasa lebih sempurna kalau berwudu dengan air zamzam di tempat asalnya itu, kini terpaksa “mengalah” terhadap modernisasi. Air wudunya tetap zamzam, tapi jangan bertanya lagi di mana sumber aslinya.
Bahkan, kini mulai ada wacana bahwa makam Nabi Ibrahim yang di dekat Kakbah itu juga akan digusur. Juga dimaksudkan agar pelataran dalam masjid itu rata dan lapang. Dengan demikian, tidak ada lagi bottle neck dalam arus orang yang melakukan tawaf (berjalan mengitari Kakbah sebanyak sembilan kali) di lokasi makam Nabi Ibrahim. Selama ini, jamaah selalu berusaha berhenti di situ: mulai yang mau menyempatkan salat, sekadar mau memegang bagian dari makam itu, atau bahkan yang sekadar mengintip ada apa sih di situ. Dalam wacana itu, bangunan kecil makam itu dihilangkan, lalu di lantainya diberi kaca tembus pandang untuk melihat ke bawah tanah. Tapi, wacana ini belum sampai pada tingkat perencanaan.
Upaya menambah kapasitas masjid memang terus dilakukan. Mulai membangun tempat khusus tawaf bagi penyandang cacat sampai menambah kapasitas tempat sa’i yang tahun ini sudah baru sama sekali.
Di Makkah, dalam sepuluh tahun terakhir ini dan sampai sepuluh tahun ke depan bukan saja akan selalu ada perubahan, tapi juga selalu ada yang baru!
Suatu hari di musim dingin, Ma Xiulan duduk di lantai bersama 200-an orang di suatu balai di Beijing. Perempuan berusia 74 tahun tersebut dengan saksama mendengarkan ceramah dari seorang pria yang berdiri di mimbar. Ma, yang datang jauh-jauh dari Kawasan Otonomi Mongolia Pedalaman, tampak tenang dan siap mengarungi perjalanan jauh.
Empat puluh delapan jam kemudian, dia sudah duduk tenang bersama rombongan di dalam pesawat yang akan terbang selama 12 jam menuju Arab Saudi. Perjalanan yang sudah lama diidam-idamkan Ma Xiulan akhirnya tercapai, yaitu menjalankan ibadah haji.
Seperti semua jemaah calon haji di China, dia harus menjalani berbagai pelatihan dan pembekalan, termasuk mendengar ceramah dari pria yang ada di mimbar. Isi ceramahnya, kebijakan-kebijakan keagamaan dan luar negeri Pemerintah China.
Putra Ma Xiulan dengan setia menunggu di luar gedung sambil sesekali memperhatikan ibunya dengan perasaan cemas. “Dia sudah lemah. Saya harap dia dapat menjalankan ibadah selama 38 hari dengan selamat,” kata Ma Wenhua, putra Ma yang berusia 51 tahun.
Setiap muslim wajib menjalankan ibadah haji di Mekah paling tidak sekali dalam seumur hidup. Ziarah tersebut sudah lama direncanakan Ma Xiulan selama bertahun-tahun. Namun, yang menjadi penghalang utama niatan Ma tersebut adalah uang. Maka seluruh keluarga besar, termasuk suami Ma Xiulan beserta tiga putra dan seorang putrinya, bahu-membahu mengumpulkan uang sebesar 30.000 yuan (sekitar Rp 34,8 juta) untuk keperluan biaya naik haji.
Penyelenggara ibadah haji di dekat rumah Ma Xiulan yang dikelola asosiasi Islam setempat menerima 24.170 yuan (sekitar Rp 28 juta) untuk mengatur tiket pesawat pulang pergi beserta pembuatan paspor, pengurusan visa, dan biaya-biaya lain. Sisa dari uang tersebut digunakan Ma untuk keperluan lain, seperti membeli makanan di Mekah dan membeli tiket kereta dari Mongolia Pedalaman ke Beijing.
“Pendapatan orang tua saya hanya berasal dari uang pensiun dari ayah sebesar 800 yuan (sekitar Rp 928.000) per bulan. Maka biaya ibadah haji ini mengeruk hampir semua tabungan mereka,” kata Ma Wenhua. Sebenarnya tahun lalu Ma sudah siap dan mendaftarkan diri untuk ibadah haji. Namun, pendaftaran tersebut ditolak oleh biro jasa penyelenggara ibadah haji setempat karena sudah melampaui kuota.
Bai Zhihui, wakil ketua Asosiasi Islam Kawasan Otonomi Mongolia Pedalaman, mengungkapkan bahwa pemerintah Arab Saudi setiap tahun menerapkan kuota untuk menentukan berapa banyak calon jemaah haji asal China yang diperbolehkan menjalankan ibadah haji.
Tahun ini, Mongolia Pedalaman mendapat kuota 233 umat, atau naik 20 persen dari jumlah tahun lalu. Pada November lalu, Ma Xiulan senang bukan main karena permohonannya untuk menjalankan ibadah haji akhirnya disetujui dan langsung melakukan persiapan. Di antaranya, menyiapkan lima kilogram (kg) beras, tiga kg tepung, tiga kg mi kering, delapan kg makanan olahan serta sejumlah sayuran kering dan daging domba.
Itu semua buat bekal Ma Xiulan selama di Arab Saudi demi menghemat uang. Dia memang sudah berniat memasak makanan sendiri di dalam penginapan yang sudah dipesan oleh Asosiasi Islam China di Mekah.
Tantangan untuk Manula
Bila Ma Xiulan ingin berhemat selama ibadah haji karena modal pas-pasan, tidak demikian halnya dengan pasangan You Zhanxian (77) dan Ma Lanying (75). Pasangan suami istri tersebut sudah menyiapkan US$ 2.000 (Rp18.165.000) hanya untuk membeli makanan selama di Arab Saudi.
“Saya memiliki cukup uang dari usaha bisnis real estat. Maka saya dan istri akan pergi. Kelima anak semuanya sudah di sini untuk mengantar kepergian kami,” kata You, yang sudah setengah tuli sehingga bicara dengan keras.
Dia mengaku sudah banyak membaca mengenai ibadah haji sehingga tahu bahwa ziarah tersebut pasti akan menimbulkan tantangan berat bagi para umat berusia lanjut seperti dirinya dan istrinya. “Cuacanya panas dan akan ada banyak orang. Namun, kami sudah siap dengan tantangan tersebut,” kata You sambil tersenyum.
Bai Zhihui dari Asosiasi Islam Kawasan Otonomi Mongolia Pedalaman mengungkapkan bahwa kondisi fisik dan ekonomi merupakan faktor yang menentukan bagi mereka yang ingin menjalankan ibadah haji selain hati yang bersih. Namun, banyak muslim China, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, belum mampu memiliki cukup uang untuk ibadah haji hingga mereka berusia lanjut. Justru di saat mereka sudah punya cukup uang, kondisi fisik mereka mulai melemah. (xinhua/ren)
Imam Syafiii pernah mengatakan, “Seandainya umat Islam memikirkan kandungan surah Al-Ashr, niscaya (petunjuk-petunjuknya) mencukupi mereka”. Dengan mengikuti cara berpikir Imam Syafei, tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau dan para ulama, saya akan mengatakan begini, “Seandainya umat Islam [Indonesia] memikirkan kandungan sabda Rasulullah saw bahwa ‘seseorang pada hari kiamat nanti pasti akan ditanya tentang harta benda bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana cara memanfaatkannya’,” niscaya petunjuknya mencukupi mereka”.
Pemikiran terhadap sabda Rasul tersebut dapat diyakini akan membangun kesadaran kita terhadap hari kiamat. Kesadaran bahwa setiap harta yang diperoleh dan dikeluarkan oleh kita berapapun besarnya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Pada gilirannya, kesadaran ini akan menjadi penghalang bagi kita untuk melakukan korupsi dan perilaku korupsi. Dalam konteks itu, kita dapat dikatakan telah menjadi manusia yang memiliki kesalehan finansial.
Akan tetapi, kesadaran kita terhadap hari kiamat yang telah dibangun suatu waktu dapat goyah atau tidak konsisten, yang dapat disebabkan oleh semakin peliknya dan dilemanya dalam mencari dan mengeluarkan harta benada. Pada titik inilah, Allah swt menjadikan haji sebagai rukun Islam. Kewajiban haji mempunyai efek samping (side effect) dalam hal penguatan kesadaran kita terhadap hari kiamat tentang harta benda. Karena kewajiban haji yang dalam pelaksanaannya membutuhkan harta yang tidak sedikit akan mendorong kita untuk mencari dan menjemput dan mengeluarkan harta secara benar karena akan digunakan untuk memenuhi perintah Allah Yang Maha Suci. Dan hal ini akan menjadi salah satu faktor diterima atau tidaknya ibadah haji kita, karena Allah hanya menerima ibadah haji dari rejeki yang halal.
Karena jangan-jangan kewajiban haji yang sampai saat ini belum terlaksana lebih disebabkan oleh sikap kita yang dalam penggunaan harta benda selalu boros dan tidak efesien. Sehingga sampai kapanpun kita tidak akan menjadi orang yang mampu, karena setiap harta yang dimiliki selalu habis begitu saja, tanpa ada yang disisihkan baik dengan jalan menabung atau berinfaq sebagai persiapan keperluan pelaksanaan haji. Kemampuan sebagai syarat wajib haji diharapkan oleh kita datang tanpa undangan. Karena itu, seorang pedagang kaki lima jangan menunggu menjadi pedagang kaki seratus [restoran], atau seorang karyawan swasta yang penghasilannya dipatok UMR [Upah Minimum Regional], jangan menunggu sampai penghasilannya dipatok lidahnya. Begitu juga dengan seorang pebisnis jangan menunggu dapat proyek besar. Pepatah Cina mengatakan, “Langkah seribu dimulai dari satu langkah”. Mulailah dari sekarang selain kita belajar menyisihkan penghasilan berapapun jumlahnya juga belajar rajin mengeluarkan zakat, infaq, dan shadaqah, karena melalui amal tersebut harta kita bukannya berkurang malah bertambah. Dengan dua gerakan tersebut insya Allah suatu waktu ibadah haji dapat terlaksana. Sehingga ketika ajal menjemput, dan ibadah haji belum terlaksana, niat dan usaha serta langkah konkret kita sudah dituliskan sebagai orang yang sudah berusaha semampu mungkin untuk dapat menunaikan ibadah haji. Allah swt. walaupun Dia Maha Tahu tapi Dia Tidak Mau Tahu pada besar kecilnya uang yang disisihkan oleh kita, yang Dia Tahu adalah niat dan usaha serta langkah konkret yang kita lakukan. Itulah yang akan membuat kita mati terhormat dan bermartabat.
Kewajiban haji dapat menjadi trigger (pemicu) bagi kita untuk menjadi manusia yang mempunyai kepribadian kesalehen finansial. Seorang yang saleh secara finansial, ia bukan hanya bisa mencari harta secara benar tapi juga dalam mengeluarkan harta dapat bertindak secara benar.
Wallahu’alam Bishawab
Ibadah haji merupakan salah satu jenis ibadah yang dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim di seluruh dunia. Haji sendiri berasa dari kata hajj, yang artinya mengunjungi sesuatu. Menurut istilah diartikan sebagai: mengunjungi Bait Allah untuk menjalankan ibadah (iqamatan lin nusuk) pada waktu yang sudah ditentukan.
Bait Allah adalah salah satu nama Ka’bah yang terkenal, dan nusuk adalah bentuk jamak dari kata nasikah, yang artinya binatang yang dikurbankan.
Dari akar kata ini digubah menjadi mansik, yang juga berarti ibadah, dan bentuk jamaknya manasik, yang juga berarti ibadah, dan bentuk jamaknya manasik, yang khusus digunakan dalam arti syarat rukun ibadah haji.
Segala peraturan yang berhubungan dengan ibadah haji itu dalam kitab hadits diuraikan dalam bab manasik.
A. Rukun Haji
Yang dimaksud rukun haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji yang jika tidak dikerjakan hajinya tidak syah. Adapun rukun haji adalah sebagai berikut :
1. Ihram,
Ihram, Yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau umrah di Miqat Makani. Amalan Umrah yang pertama adalah Ihram. Ihram adalah niat memasuki manasik (upacara ibadah haji) haji dan umrah atau mengerjakan keduanya dengan menggunakan pakaian ihram, serta meninggalkan beberapa larangan yang biasanya dihalalkan.
a. Pakaian Ihram
Untuk pria
Bagi laki-laki terdiri atas 2 lembar kain yang tidak dijahit, yang satu lembar disarungkan untuk menutupi aurat antara pusat hingga lutut, yang satu lembar lagi diselendangkan untuk menutupi tubuh bagian atas. Kedua lembar kain disunatkan berwarna putih, dan tidak boleh berwarna merah atau kuning.
Untuk wanita
Mengenakan pakaian yang biasa, yakni pakaian yang menutupi aurat.
Tempat-tempat Ihram
- Zul Hulaifah
- Juhfah
- Yalamlam
- Qarnul Manjil
- Zatu Irqin
- Makkah
2. Wukuf
Wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri, zikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah. Setelah shalat subuh tanggal 9 Zulhijjah, jemaah haji berangkat dari Mina ke Arafah sambil menyerukan Talbiyah, dan singgah dahulu di Namirah.
Para jemaah sampai di Padang Arafah tepat pada waktu Zuhur dan ashar dengan jama’ taq’dim dan qasar dengan satu kali azan dan dua ikamah. Selesai shalat, imam kemudian menyampaikan khutbah dari atas mimbar.
Selama wukuf di Arafah, para jemaah haji menghabiskan/mengisi waktunya untuk memahasucikan Allah dengan meneriakan talbiyah, berzikir dan berdoa sebagai berikut:
Labbaika Allahumma labbaik (a), labbaika la syarika laka labbaik (a). Innal hamda wannimata lak (a), wal mulka laka la syarika lak (a).
3. Tawaf Ifadah
Tawaf Ifadah, Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah
4. Sa'i,
Sa'i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah Tawaf Ifadah. Adapun praktik pelaksanaan ibadah sa’i adalah sebagai berikut:
- Dilakukan sesudah tawaf
- Berlari-lari kecil atau berjalan cepat dari bukit Safa menuju bukit Marwah
- Dikerjakan sebanyak tujuh kali putaran: dari Safa ke Marwah satu putaran, dan dari Marwah Sa’I hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mengerjakan haji atau umrah saja.
5. Tahallul
Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan Sa'i. Setelah melontar Jumrah ‘Aqabah, jamaah kemudian bertahallul (keluar dari keadaan ihram), yakni dengan cara mencukur atau memotong rambut kepala paling sedikit tiga helai rambut. Laki-laki disunnahkan mencukur habis rambutnya, wanita mencukur ujung rambut sepanjang jari, dan untuk orang-orang yang berkepala botak dapat bertahallul secara simbolis saja. Setelah melaksanakan tahallul, perkara yang sebelumnya dilarang sekarang dihalalkan kembali, kecuali menggauli istri sebelum melakukan tawaf ifadah.
6. Tertib
Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.
B. Wajib Haji
Wajib Haji Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah;
- Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram
- Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Zulhijah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina). Di Mudzalifah para jemaah haji menunaikan shalat magrib dijamak dengan shalat isya dengan satu kali azan dan dua iqamah. Kemudian, mereka bermalam lagi
- Melontar Jumrah Aqabah tanggal 10 Zulhijah yaitu dengan cara melontarkan tujuh butir kerikil berturut-turut dengan mengangkat tangan pada setiap melempar kerikil sambil berucap, “Allahu Akbar. Allahummaj ‘alhu hajjan mabruran wa zanban magfura(n)”. Setiap kerikil harus mengenai ke dalam jumrah jurang besar tempat jumrah.
- Mabit di Mina pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah). Hukumnya adalah sunnah.
- Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
- Tawaf Wada', Yaitu melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Mekah.
- Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram
1. Ibadah Haji merupakan salah satu perintah Allah yang harus dikerjakan, bagi yang mampu. | |
2. Ibadah Haji merupakan Jihad fi Sabilillah. | |
3. Ibadah Haji dapat menghapuskan dosa, bagi yang menjalankannya sesuai dengan | |
4. Haji dan Umroh merupakan kifarat/penebus dosa.Ada dosa yang yang hanya dapat ditebus | |
5. Surga adalah balasan bagi Haji yang mabrur. | |
6. Biaya yang dikeluarkan untuk Ibadah Haji merupakan infaq fi sabilillah. |
Jenis Haji | Pelaksanaan | |
Haji Tamattu | ||
Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Umroh dahulu kemudian Ibadah Haji, dan diselingi Tahallul. | a. Ihram dari miqat untuk Umroh b. Ihram lagi dari miqat untuk Haji c. Membayar Dam d. Disunatkan Tawaf Qudum | |
Haji Ifrad | ||
Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji dahulu kemudian Ibadah Umroh, dan diselingi Tahallul. | a. Ihram dari miqat untuk Haji b. Ihram lagi dari miqat untuk Umroh c. Tidak membayar Dam | |
Haji Qiran | ||
Ibadah Haji dengan cara melaksanakan Ibadah Haji dan Ibadah Umroh pada waktu bersamaan, tanpa diselingi Tahallul. | a. Ihram dari miqat untuk Haji dan Umroh b. Melakukan semua pekerjaan haji c. Membayar Dam |
Lokasi | Tanggal | Kegiatan |
Mekah | 8 Zulhijah (pagi) | - Setelah berpakaian dan berniat Ihram, berangkat dari Mekah ke Mina atau langsung ke Arafah |
Mina | 8 Zulhijah (siang-malam) | - Bermalam (mabit) di Mina sebelum berangkat ke Arafah |
Mina - Arafah | 9 Zulhijah (pagi-siang) | - Berangkat ke Arafah setelah matahari terbit atau setelah sholat subuh |
Arafah | 9 Zulhijah (siang-sore) | - Berdoa, dzikir, tasbih sambil menunggu waktu Wukuf (pada siang hari) - Shalat Dzuhur dan Ashar dijama' qasar (Dzuhur 2 rakaat, Ashar 2 rakaat), dilaksanakan pada waktu Dzuhur. - Tepat ketika matahari tengah hari bergeser (melewati jam 12 siang) ke ufuk terbenam, tibalah waktu Wukuf. - Laksanakan Wukuf dengan berdoa, dzikir, talbiyah, istighfar terus menerus dan berhenti saat Maghrib. |
Arafah-Muzdalifah | 9 Zulhijah (sore) | - Setelah matahari terbenam, berangkat ke Muzdalifah. Sholat Maghrib nanti dilakukan di Muzdalifah (dijamak dengan sholat Isya) |
Muzdalifah | 9 Zulhijah (malam) | - Sholat Maghrib dan Isya dijamak ta'khir - Mabit di Muzdalifah, paling tidak berhenti sebentar sampai lewat tengah  malam. - Mengumpulkan 7 batu kecil utk melontar Jumrah Aqabah besok pagi (setelah sholat Subuh pd tgl 10 Zulhijah) - Setelah sholat Subuh pd tgl 10 Zulhijah, berangkat ke Mina |
Mina | 10 Zulhijah (subuh) | - Melontar Jumrah Aqabah 7 kali |
Mina | 11 Zulhijah (subuh-malam) | - Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah masing-masing 7 kali - Mabit di Mina, paling tidak sejak sebelum maghrib sampai lewat tengah malam |
Mina | 12 Zulhijah (pagi) | - Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah masing-masing 7 kali - Bagi yang Nafar Awal, kembali ke Mekah sebelum Maghrib dilanjutkan dengan Tawaf Ifadah, Sa'i serta Tahallul Qubra bagi yang belum - Bagi yang Nafar Tsani, mabit di Mina |
Mina | 13 Zulhijah (pagi) | Bagi yang Nafar Tsani - Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah masing-masing 7 kali - Kembali ke Mekah |
Mekah | 13 Zulhijah (siang-malam) | - Tawaf Ifadah, Sa'i dan Tahallul Qubra bagi yang belum. Bagi yang sudah melakukan Sa'i sesudah Tawaf Qudum (ketika baru tiba di Mekah) tidak perlu lagi melakukan Sa'i. Tinggal melakukan Tahallul saja. Tawaf dan Sa'i yang dilakukan juga berfungsi sebagai Tawaf dan Sa'i Umroh - Ibadah Umroh dan Haji Selesai. |
Rukun Haji
Rukun Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam Ibadah Haji.Jika tidak dikerjakan maka Hajinya tidak syah
Rukun Haji | Arti |
Ihram | Pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat |
Wukuf di Arafah | Berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah |
Tawaf Ifadah | Mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijah |
Sa'i | Berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah |
Tahallul | Bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i |
Tertib | Mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal |
Wajib Haji
Wajib Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan padaIbadah Haji, jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda)
Wajib Haji | Keterangan |
Niat Ihram | Dilakukan setelah berpakaian Ihram |
Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tgl 9 Zulhijah | Dalam perjalanan dari Arafah ke Mina |
Melempar jumroh Aqabah | Pada tanggal 10 Zulhijah |
Mabit di Mina | Pada hari Tasyrik (11-13 Zulhijah) |
Melempar jumrah Ula, Wustha dan Aqabah | Pada hari Tasyrik (11-13 Zulhijah) |
Tawaf Wada | Melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Makkah |
Meninggalkan perbuatan yang dilarang saat Ihram |
Definisi Haji:
Secara etimologis, haji berarti pergi menuju tempat yang diagungkan.
Secara terminologis berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik haji, yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dengan cara yang tertentu pula.
Definisi ini disepakati oleh seluruh mazhab.
Haji hukumnya fardu bagi lelaki dan wanita sekali seumur hidup.
Dalil dari Alquran :
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين.
Artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."
Allah Taala mewajibkan haji bagi kaum muslimin pada tahun ke sembilan Hijrah. Nabi saw. melakukan haji hanya sekali, yaitu haji wada.
Dalil dari hadis:
Rasulullah saw. bersabda, " Islam didirikan di atas lima dasar."
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda, " Tidak ada balasan haji mabrur kecuali surga. "
Seterusnya Rasulullah saw. bersabda, " Barangsiapa melaksanakan haji tanpa melakukan kejahatan seksual dan tidak melakukan tindakan kefasikan, maka ia kembali seperti saat dilahirkan oleh ibunya. "
Juga sabda Rasulullah saw., "Wahai manusia! Sesungguhnya telah difardukan kepadamu haji, oleh sebab itu berhajilah." Kemudian seorang lelaki berdiri dan bertanya, "Wahai Rasulullah! Apakah setiap tahun؟" Rasulullah saw. diam sampai pertanyaan tersebut diulang tiga kali. Kemudian beliau bersabda, "Kalau aku jawab (Ya) maka akan wajib dan kamu sekalian tidak akan mampu melaksanakannya."
Umat Islam sepakat bahwa haji adalah rukun Islam yang ke lima, hukumnya adalah fardu. Menurut mayoritas ulama, fardunya tidak bersifat segera, tetapi dapat ditunda dari awal waktu mampu melaksanakannya.
Fardu:
Fardu adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, sah haji bergantung kepadanya dan tidak dapat diganti dengan dam. Fardu mencakup rukun dan syarat.
Fardu Haji 4, yaitu:
1. Ihram
2. Wukuf di Arafah
3. Tawaf Ifadah
4. Sai antara Safa dan Marwa
Seluruh mazhab sepakat tentang fardu dan wajib di dalam haji.
SEJARAH HAJI
Dari segi sejarah, ibadah haji ialah syariat yang dibawa oleh junjungan Nabi kita Muhammad memperbaharui dan menyambung ajaran Nabi Allah Ibrahim A.S. Ibadat haji semula diwajibkan ke atas umat Islam pada tahun ke-6 Hijrah, dengan turunnya ayat 97 surah Al-Imran yang bermaksud :
" Dan Allah Taala mewajibkan manusia mengerjakan ibadat haji dengan mengunjungi Baitullah iaitu siapa yang mampu dan berkuasa sampai kepada-Nya dan siapa yang kufur dan ingkar kewajiban haji itu, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak berhajatkan sesuatu pun daripada sekalian makhluk".
Pada tahun tersebut Rasulullah . bersama-sama lebih kurang 1500 orang telah berangkat ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji tetapi tidak dapat mengerjakannya karena dihalangi oleh kaum Quraisy akhirnya timbul satu perjanjian yang dinamakan perjanjian Hudaibiah.
Perjanjian itu membuka jalan bagi perkembangan Islam di mana pada tahun berikutnya ( Tahun ke-7 Hijrah ), Rasulullah telah mengerjakan Umrah bersama-sama 2000 orang umat Islam. Pada tahun ke-9 Hijrah barulah ibadat Haji dapat dikerjakan di mana Rasulullah . mengarahkan Saidina Abu Bakar Al-Siddiq mengetuai 300 orang umat Islam mengerjakan haji.
RASULLULLAH MENUNAIKAN HAJI
Nabi Muhammad menunaikan fardhu haji sekali saja semasa hayatnya. Haji itu dinamakan "Hijjatul Wada'/ Hijjatul Balagh/ Hijjatul Islam atau Hijjatuttamam Wal Kamal karena selepas haji itu tidak berapa lama kemudian beliau pun wafat. Beliau berangkat ke Madinatul Munawwarah pada hari Sabtu, 25 Zulkaedah tahun 10 Hijrah bersama isteri dan sahabat-sahabatnya sekitar lebih dari 90,000 orang.
Beliau telah menyempurnakan syarat-syarat sunat Ihram, memakai ihram dan berniat ihram di Zulhulaifah, sekarang dikenali dengan nama Bir Ali, 10 km daripada Madinah dan beliau sampai di Makkah pada 04 Zulhijjah setelah menempuh 9 hari perjalanan. Beliau berangkat ke Mina pada tanggal 08 Zulhijjah dan bermalam di situ.
Kemudian ke Arafah untuk berwukuf pada 09 Zulhijjah yang jatuhnya pada hari Jumat. Rasulullah telah menyempurnakan semua rukun dan wajib haji hingga tanggal 13 Zulhijjah. Dan pada tanggal 14 Zulhijjah, Rasulullah telah berangkat meninggalkan Makkah Al-Mukarramah kembali ke Madinah Al-Munawwarah.
PERISTIWA SEMASA HIJJATUL WADA'
Di masa wukuf terdapat beberapa peristiwa penting yang dijadikan pegangan dan panduan umat Islam, di antara ialah seperti berikut :
Rasulullah minum susu di atas unta supaya dilihat oleh orang ramai bahawa hari itu bukan hari puasa atau tidak sunat berpuasa pada hari wukuf.
Seorang Sahabat jatuh dari binatang tunganggannya lalu meninggal, Rasulullah . menyuruh supaya mayatnya dikafankan dengan 2 kain ihram dan tidak dibenarkan kepalanya ditutup atau diwangikan jasad dan kafannya. Sabda Baginda pada ketika itu bahawa " Sahabat itu akan dibangkitkan pada hari kiamat di dalam keadaan berihram dan bertalbiah".
Rasulullah . menjawab soalan seorang ahli Najdi yang bertanyakan " Apakah itu Haji ?". Sabdanya yang bermaksud " Haji itu berhenti di Arafah". Siapa tiba di Arafah sebelum naik fajar 10 Zulhijjah maka ia telah melaksanakan haji.
Turunnya ayat suci Al-Quranul Karim surah Al-Maidah yang bermaksud :
" Pada hari ini aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu dan aku telah cukupkan nikmatku ke atas kamu dan aku telah redha Islam itu menjadi agama untuk kami"
Daripada sejarah dan peristiwa ringkas itu terlihat betapa Rasulullah telah menyempurnakan haji dengan pengorbanan Beliau bersama sahabat-sahabat yang berjalan dari Madinah Al-Munawwarah ke Makkah Al-Mukarramah selama 9 hari dibandingkan sekarang kalau kita menaiki kapal terbang yang sudah sampai ke Tanah Suci kurang dari 11 jam. Ini hal yang perlu kita direnungkan apabila kita menghadapi sebarang kesusahan di tanah Suci kelak.
Selama ini bagi orang awam hanya dikenal naik Haji, saya sendiri baru tahu kalau ada beberapa cara untuk berhaji setelah saya ikut manasik Haji.
Ada 3 macam haji (saya mengambil Haji Tammatu), yang tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :
1. Haji Tammatu'
Haji tammatu' ialah melakukan umrah terlebih dahulu pada musim haji, kemudian melaksanakan ibadah haji, kemudian melaksanakan ibadah haji. Bila mengambil cara ini, maka yang bersangkutan diwajibkan membayar dam nusuk (berupa menyembelih seekor kambing, kalau tidak mampu berpuasa 10 hari, yaitu 3 hari di Makkah atau Mina dan 7 hari di Tanah Air), apabila puasa 3 hari di tidak dapat dilaksanakan karena sesuatu hal, maka harus diqadha sesampainya di kampung halaman dengan ketentuan puasa yang tiga hari dengan yang tujuh hari dipisahkan 4 hari.
2. Haji Ifrad
Yang di maksud haji ifrad ialah haji saja. Adapun bagi yang akan umrah wajib atau sunnah, maka setelah menyelesaikan hajinya, dapat melaksanakan umrah dengan miqat dari Tan'im, Ji'ranah atau daerah tanah halal lainnya. Cara ini tidak dikenakan dam.
3. Haji Qiran
Haji qiran ialah mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam nusuk. Pelaksanaan dam sama dengan pada haji Tamattu
Untuk memahami lebih dalam lagi, kami dianjurkan mengikuti Manasik terlebih dahulu. Lakukanlah manasik haji dengan lengkap, sebaiknya jangan membolos, walaupun anda merasa telah membaca puluhan buku petunjuk haji. Didalam manasik biasanya para uztad menambahkan dengan hal-hal detil, kecil yang perlu diperhatikan namun tidak ditulis secara rinci dibuku-buku, misal hal-hal yang membatalkan ihram.
Selain itu didalam acara manasik anda bisa bertanya hal-hal yang anda kurang pahami. Haji adalah ibadah yang mempunyai banyak bagian-bagian ibadah yang masing-masing memiliki aturan detil tersendiri sehingga secara keseluruhan aturan pelaksanaan haji cukup rumit. Dengan demikian anda akan memiliki satu atau dua hal yang tidak bisa langsung dipahami, tanyakanlah saat pertemuan.
Karena luas dan rumit tadi, seperti juga ritual ibadah lain dalam Islam, menimbulkan beberapa variasi interpretasi maupun pelaksanaannya dari satu golongan atau mazhab atau kelompok dengan yang lainnya. Misalnya adalah pelaksanaan niat ihram, ada yang ambil miqot dari bandara King Abdul Aziz di Jeddah (seperti yang dilakukan oleh rombongan saya), ada yang dalam perjalanan di pesawat sejajar dengan Qarnul Manazil. Untuk yang percaya pada pelaksanaan yang terakhir ini membuat mereka harus menggunakan baju ihram di atas pesawat menjelang mendekati Jedah atau bahkan sejak dari bandara Soekarno Hatta. Beberapa ada yang menggunakan aturan ini sebagai dasar pemilihan akan ikut kelompok haji yang mana (baik yang biasa maupun yang plus).
Miqat secara harfiah berarti batas yaitu garis demarkasi atau garis batas antara boleh atau tidak,atau perintah mulai atau berhenti, yaitu kapan mulai melapazkan niat dan maksud melintasi batas antara Tanah Biasa dengan Tanah Suci. Sewaktu memasuki Tanah Suci itulah semua jama'ah harus berpakaian Ihram dan mengetuk pintu perbatasan yang dijaga oleh penghuni - penghuni surga. Ketuk pintu atau salam itulah yang harus diucapkan talbiyah dan keadaan berpakaian Ihram. Miqat yang dimulai dengan pemakaian pakaian ihram harus dilakukan sebelum melintasi batas - batas yang dimaksud. Miqat dibedakan atas dua macam yaitu ; Miqat Zamani (batas waktu) dan Miqat Makami (batas letak tanah).
MIQAT ZAMANI
Adalah Miqat yang berhubungan dengan batas waktu, yaitu kapan atau pada tanggal dan bulan apa hitungan Haji itu ?. Miqat Zamani disebut dalam Al-Qur'an dalam surat Al-Baqarah ayat 189 dan 197. Ayat pertama menjelaskan kedudukan bulan sabit sebagai tanda waktu bagi manusia dan Miqat bagi jama'ah haji. Ayat kedua menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan Bulan - Bulan Haji atau waktu haji adalah beberapa bulan tertentu. Para Ulama sepakat bahwa bulan yang dimaksud adalah bulan Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah. Yaitu mulai dari tanggal 1 syawal s/d 10 Zulhijah. yang jumlah keseluruhannya adalah 69 hari. akan tetapi untuk bulan Zulhijah masih ada perbedaan pendapat apakah seluruh atau sebagian saja.
MIQAT MAKANI
Yaitu miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai menggunakan pakaian Ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak melaksanakan Ibadah Haji atau Umrah.
Ada 5 tempat Miqot bagi yang datang dari luar Saudi Arabia :
Zil-Hulaifa (Dhul hulaifah) : Zul Hulaifah adalah mikat penduduk Madinah, sebuah sumber air minum Bani Jasyum yang sekarang dinamakan dengan Abar (Bir) Ali. Inilah miqot yang paling jauh, sekitar 450 Km. dari Mekah. Unta menempuh jarak ini dalam waktu sembilan hari perjalanan dengan kecepatan 50 Km sehari atau 4 Km/jam. Jarak ini dinamakan "satu marhalah".
Juhfah: Miqot bagi penduduk yang datang dari arah Mesir, Syria atau sekitarnya, jakarnya sekitar 180 Km sebelah barat dari kota Mekah.
Qarn al-Manazil (Qarnul Manazil) : Adalah gunung Musyrif di Arafah. Gunung ini dikatakan Qarnul Manazil, miqot penduduk Taif dan siapa saja yang datang melewatinya.
Zat Irq : Dinamakan Zatu Irqin karena di sana terdapat gunung Irq yang mengelilingi lembah bernama lembah Aqiq. Lembah ini adalah lokasi perkampungan yang terletak dua marhalah (900 Km) dari Mekah. Mikat ini tidak termasuk mikat yang disebut dalam hadis Rasulullah saw, tetapi sudah disepakati oleh para ulama.
Yalamlam: Yaitu nama satu gunung dari pegunungan Tuhamah yang terletak sekitar dua marhalah dari Mekah. Inilah miqot penduduk Yaman.
Tan'im | : | Terletak sekitar jalan menuju Madinah, kira-kira enam Km. dari Mekah. |
Wadi Nakhlah | : | Terletak di Timur Laut ke arah Irak, sekitar 14 Km. dari Mekah. |
Ji`ranah | : | Terletak di arah Timur sekitar 16 Km. dari Mekah. |
Adhah | : | Terletak sekitar jalan menuju Yaman, kira-kira 12 Km. dari Mekah. |
Hudaibiah | : | Terletak di arah Barat, jalan menuju Jeddah. Sekarang dinamakan dengan Syamaisi sekitar 15 Km. dari Mekah. |
Bacaan yang dianjurkan secara terus menerus dilapazkan sesuai dengan kemampuan masing - masing jama'ah, dimulai setelah berihram dari Miqat dan berhenti membaca Talbiyah apabila sudah mulai tawaf untuk ibadah Umrah atau sesudah Tahallul awal bagi Ibadah Haji. Adapun Teks Talbiyah adalah sebagai berikut.
"Labbaik Allahumma Labbaik,Labbaik laa syarikka laka labbaik, Innal haamda wanni'mata laka wal mulk Laa syariika laka."
artinya :
- "Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah,
- Aku datang memenuhi panggilanMu, Tidak ada sekutu bagiNya,
- Ya Allah aku penuhi panggilanMu.
- Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untukMu semata-mata.
- Segenap kerajaan untukMu.
- Tidak ada sekutu bagiMu"
Talbiyah hukumnya Sunat, kecuali menurut Maliki, Mashab ini memandangnya wajib. sedangkan menurut Mazhab Hanafi, dinilai sebagai Syarat, sehingga siapa yang meninggalkan Talbiyah diwajibkan membayar Dam. Talbiyah hendaknya dilantunkan selama jama'ah masih dalam keadaan Ihram.
Talbiyah disunatkan pula dibaca sewaktu berpapasan dengan rombongan jama'ah lain atau ketika menjalani perubahan keadaan, misalnya ketika naik atau turun dari gunung/bukit, naik atau turun dari kendaraan,bertemu kawan atau seusai shalat. Bagi laki-laki disunatkan mengeraskan suara Talbiyahnya, sedangkan bagi wanita cukup didengar sendiri dan yang berada di sampingnya. Hal ini didasarkan atas hadis Nabi yang berbunyi :
"Jibril telah datang kepadaKu, lalu ia berkata : Hai Muhamad ! Suruhlah shabat - sahabatmu itu untuk mengeraskan suara Talbiyahnya, sebab dia itu salah satu dari syi'ar Haji" (Hadis.Riwayat : Ahmad dan Ibnu Majah)
Ibadah haji adalah ibadah yang mahal baik dari segi biaya maupun waktu sehingga tentu kita jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Namun sebagaimana layaknya usaha manusia yang lain, hasil akhir selalu juga dipengaruhi oleh keputusan Allah. Niatkanlah untuk mencapai yang terbaik, mintalah kepadaNya agar diberi kemudahan dalam menimba ilmu haji, dan yang terakhir adalah kita perlu memasrahkan kebenaran pelaksanaan dan diterima atau tidaknya ibadah tersebut ke tangan Allah. Janganlah merasa panik, marah, takut berlebihan bahwa ibadah kita salah atau kemungkinan tidak akan diterima Allah. Pasrah mungkin kata yang paling tepat untuk mengatasi semuanya.
Calon jamaah haji akan menghadapi musim dingin di Arab Saudi dalam periode tahun 1997 – 2014, yang berakibat tidak baik pada kondisi fisik dan mental calon jamaah haji. Musim dingin di Arab Saudi dimulai pada bulan Oktober dan mencapai puncaknya pada bulan Desember-Januari serta berakhir pada bulan Maret.
Musim dingin ini diawali dengan angin yang bertiup kencang disertai badai debu yang pada puncaknya mengakibatkan suhu di kota Makkah dan Madinah dapat mencapai 2 derajat celsius. Musim panas dimulai bulan April dan akan mencapai puncaknya pada bulan Juli-Agustus. Suhu siang hari dapat mencapai 55 derajat celsius disertai angin panas.
Ibadah Haji, Diantara Kemauan dan Kemampuan
Labbaik, allahuma labbaik
Labbaik la syarika laka, labbaik.
Innal-hamda wan-ni’mata laka wal-mulk,
La syarika laka
Apa yang akan dipertunjukkan kepada kita ketika berada di alam kubur. Neraka atau Surga. Satu di antara dua tempat itulah yang akan dipertunjukkan kepada kita, seraya dikatakan, “Inilah tempat diam engkau dan nanti engkau akan dikirim ke situ”. Begitulah Rasulullah saw. menggambarkan situasi yang akan terjadi ketika seseorang telah berada di alam kubur.
Situasi yang mencekam ditambah penderitaan yang mengerikan dengan penyesalan yang tiada guna apabila yang dipertunjukkan sebagai tempat diam kita di akhirat kelak adalah neraka. Apa yang dapat kita perbuat? Pasti kita akan meminta untuk dibangkitkan kembali. Dan jawaban yang akan kita terima dari Allah swt. adalah tidak, “…Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja”. (QS. Al-Mukmin: 100). Situasi yang mencekam lagi mengerikan ini sebenarnya tidak akan menimpa kita, apabila sebelum ajal menjemput, memiliki kemauan untuk masuk surga. Bukankah Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Setiap orang bakal masuk surga, kecuali yang tidak mau”.
Ada banyak kunci, apabila kita mau, yang dapat ditemukan dalam kehidupan ini. Salah satu diantaranya adalah dengan menunaikan ibadah haji. Karena balasan bagi orang yang dapat menunaikan ibadah haji dan hajinya itu mabrur adalah surga. Kata Rasulullah saw, “…… Haji yang mabrur itu balasannya tidak lain dari pada surga”. (HR. Muttafaq’alaih). Pada sabda Rasul ini terdapat kata Laisa Li (tidak, yang bergandeng secara bersamaan). Dalam ilmu bahasa disebut dengan Adatul Hasyri atau pembatas. Yang berarti, haji yang mabrur tidak ada penghalang baginya untuk masuk surga. Bahkan apabila ada seseorang jamaah haji yang meninggal di Arafah, hendaknya ia dikuburkan dengan kain ihram yang dipakainya. Kelak di hari akhir, kata Rasulullah saw, “Dia akan dibangkitkan, dengan pakaian hajinya, dia akan bangun seraya mengucapkan: labbaik, allahumma labbaik agar dikiranya ia masih berada di Arafah”.
Allah berfirman, “…… Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan menuju Baitullah. Dan barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban haji hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu. Mampu yang dimaksud dalam ayat ini memakai kata Istathaa’a yang artinya kemampuan maksimal. Dan kemampuan maksimal bukanlah suatu keadaan atau hasil yang datang begitu saja, ia sangat tergantung dari sejauh mana proses usaha atau kerja yang kita lakukan. Karena itu, kewajiban untuk menunaikan ibadah haji sebenarnya tidak hanya dibebankan kepada setiap muslim yang sudah memiliki kemampuan, juga dibebankan kepada setiap muslim yang sampai saat ini belum memiliki kemampuan.
Bagi setiap muslim yang sudah memiliki kemampuan, tidak ada alasan baginya untuk menunda-nunda ibadah haji. Diriwayatkan dari Ali bahwa ia berkata: “Barang siapa berkemampuan menunaikan haji lalu ia tidak menunaikannya, maka terserah baginya memilih mati dalam keadaan beragama Yahudi atau Nasrani”. Dalam sebuah hadist, Nabi Muhammad saw bersabda, “Cepatlah-cepatlah kalian menunaikan haji yakni wajib haji karena sesungguhnya seseorang di antara kamu tidak tahu apa yang akan terjadi padanya”.
Sedangkan bagi setiap muslim yang sampai saat ini belum memiliki kemampuan, kewajiban haji baginya tidak terhapus begitu saja dengan alasan tidak mampu. Ia mempunyai beban untuk bisa menunaikan ibadah haji. Karena Istathaa’a sebagai syarat kewajiban haji, itu sangat tergantung dari sejauh mana proses usaha atau kerja yang dilakukannya untuk mencapai kemampuan maksimal. Dengan kata lain, alasan tidak dapat menunaikan ibadah haji dikarenakan tidak mampu sebelum melakukan usaha secara terus menerus, terencana, dan berkesinambungan sampai ajal menjemput untuk mencapai kemampuan maksimal merupakan alasan yang tidak mencukupi.
Shakshepers, seorang yang pernah mengatakan apalah arti sebuah nama, pernah berujar begini, “Niat yang mulia saja tanpa dibarengi dengan kerja keras adalah celaka”. Setiap kita, barangkali mempunyai niatan yang mulia untuk dapat menunaikan ibadah haji, tapi dikarenakan tidak mampu maka niatan itu urung untuk dilakukan. Melalui petuah Shakshepers ini kita dapat berkaca bahwa niatan mulia untuk dapat menunaikan ibadah haji harus dibarengi dengan peningkatan etos kerja, agar taraf kehidupan atau pendapatan kita meningkat menuju kemampuan maksimal. Juga harus dibarengi dengan kemampuan untuk merencanakan dan mengatur keuangan kita dengan bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Sehingga penghasilan yang telah diperoleh dapat disisihkan dengan jalan menabung.
Ada sebuah petuah, “Lari-lari dulu, zam-zam kemudian”. Petuah ini keluar dari mulut seorang karyawan swasta yang berkemauan keras untuk dapat menunaikan ibadah haji. Sudah bertahun-tahun ia menyisihkan penghasilannya dengan jalan menabung, akan tetapi selalu saja uang simpanannya itu terganggu oleh kebutuhan yang mendesak menyangkut keluarganya. Dan ia berkeluh, “Kapan saya bisa menunaikan ibadah haji”. Ia tidak patah arang. Penghasilannya tetap ia sisihkan. Suatu hari, ketika membereskan lemari buku, ia menemukan surat semacam chek dari perusahaannya tempat ia dulu bekerja. Ia menghubungi kembali perusahaan tersebut, dan ternyata surat semacam chek itu dapat dicairkan dengan sejumlah uang yang cukup untuk bisa pergi ke tanah suci bersama istrinya. Begitulah Allah swt. memberikan kemudahan kepada setiap orang yang mempunyai kemauan keras untuk dapat menunaikan ibadah haji dengan jalan yang tak disangka-sangka.
Kemauan menjadi syarat utama dalam menunaikan ibadah haji. Tanpa kemauan walaupun mampu, ibadah haji belum tentu terlaksana. Sebaliknya dengan kemauan walaupun saat ini belum mampu, insya Allah suatu waktu ibadah haji dapat terlaksana. Islam tidak mengajarkan apa yang dikatakan dalam ungkapan, suargo nunut neroko katut (ke surga numpang ke neraka ikut). Orang masuk surga adalah karena kemauannya sendiri. Dan orang masuk neraka juga karena kesalahannya sendiri.
Wallahu’alam Bishawab
Umrah (bahasa Arab: عمرة) adalah salah satu kegiatan ibadah dalam agama Islam. Hampir mirip dengan ibadah haji, ibadah ini dilaksanakan dengan cara melakukan beberapa ritual ibadah di kota suci Mekkah, khususnya di Masjidil Haram.
Pada istilah teknis syari’ah, Umrah berarti melaksanakan Tawaf di Ka’bah dan Sa’i antara Shofa dan Marwah, setelah memakai ihram yang diambil dari Miqat. Sering disebut pula dengan haji kecil.
Perbedaan umrah dengan haji adalah pada waktu dan tempat. Umrah dapat dilaksanakan sewaktu-waktu (setiap hari, setiap bulan, setiap tahun) dan hanya di Mekkah, sedangkan haji hanya dapat dilaksanakan pada beberapa waktu antara tanggal 8 Dzulhijjah hingga 12 Dzulhijjah serta dilaksanakan sampai ke luar kota Mekkah.
Tipe Umrah
Terdapat beberapa tipe umrah, yang umum adalah umrah yang digabungkan dengan pelaksanaan haji seperti pada haji tamattu, adapula umrah yang tidak terkait dengan haji.
Umrah Mufradah
Umrah Tamattu’
Umrah Sunah
Tata Cara umrah
Untuk tata cara pelaksanaan umrah, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :
- Disunnahkan mandi besar (janabah) sebelum ihram untuk umrah.
- Memakai pakaian ihram. Untuk lelaki 2 kain yang dijadikan sarung dan selendang, sedangkan untuk wanita memakai pakaian apa saja yang menutup aurat tanpa ada hiasannya dan tidak memakai cadar atau sarung tangan.
- Niat umrah dalam hati dan mengucapkan Labbaika ‘umrotan atau Labbaikallahumma bi’umrotin. Kemudian bertalbiyah dengan dikeraskan suaranya bagi laki-laki dan cukup dengan suara yang didengar orang yang ada di sampingnya bagi wanita, yaitu mengucapkan Labbaikallahumma labbaik labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka.
- Jika sudah sampai kota Makkah, disunnahkan mandi terlebih dahulu sebelum memasukinya.
- Sesampai di ka’bah, talbiyah berhenti sebelum thawaf. Kemudian menuju hajar aswad sambil menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya jika mampu dan mengucapkan Bismillahi wallahu akbar. Jika tidak bisa menyentuh dan menciumya, maka cukup memberi isyarat dan berkata Allahu akbar.
- Thawaf sebanyak 7 kali putaran. 3 putaran pertama jalan cepat dan sisanya jalan biasa. Thowaf diawali dan diakhiri di hajar aswad dan ka’bah dijadikan berada di sebelah kiri.
- Shalat 2 raka’at di belakang maqam Ibrahim jika bisa atau di tempat lainnya di masjidil haram dengan membaca surah Al-Kafirun pada raka’at pertama dan Al-Ikhlas pada raka’at kedua.
- Sa’i dengan naik ke bukit Shofa dan menghadap kiblat sambil mengangkat kedua tangan dan mengucapkan Innash shofa wal marwata min sya’aairillah. Abda’u bima bada’allahu bihi (Aku memulai dengan apa yang Allah memulainya). Kemudian bertakbir 3 kali tanpa memberi isyarat dan mengucapkan Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu. Lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qodiir. Laa ilaha illallahu wahdahu anjaza wa’dahu wa shodaqo ‘abdahu wa hazamal ahzaaba wahdahu 3x. Kemudian berdoa sekehendaknya.
- Amalan pada poin 8 diulangi setiap putaran di sisi bukit Shofa dan Marwah disertai dengan doa.
- Sa’i dilakukan sebanyak 7 kali dengan hitungan berangkat satu kali dan kembalinya dihitung satu kali, diawali di bukit Shofa dan diakhiri di bukit Marwah.
- Mencukur seluruh atau sebagian rambut kepala bagi lelaki dan memotongnya sebatas ujung jari bagi wanita.
Semenjak Allah menurunkan agama islam ini kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah telah mewajibkan kepada umat ini untuk berprilaku baik, berakhlak mulia, dan menghormati sesama manusia, terlebih-lebih sesama kaum mukminin. Bahkan islam menjadikan pergaulan, dan muamalah yang baik sebagai tolok ukur bagi keimanan seseorang:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dll)
Seorang muslim yang sedang menjalankan ibadah haji, pada hakikatnya sedang menjalani penggemblengan akhlak, sehingga bila ia benar-benar menjalani ibadah ini dengan baik, niscaya akan ada perubahan pada kepribadian dan perilakunya. Semenjak pertama kali seseorang memasuki ibadah haji, yaitu dengan berihram, maka ia tidak dibenarkan untuk berkata-kata jelek, atau melakukan kezaliman terhadap orang lain. Bukan hanya perbuatan kezaliman, bahkan hal yang akan mendatangkan kata-kata jelek, dan perbuatan zalim dilarang pula. Hal ini untuk membiasakan kita agar bisa menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut.
الحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ
“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui, maka barang siapa yang telah menetapkan niat pada bulan ini untuk menunaikan haji, maka tidak boleh berbuat rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam melaksanakan haji.” (QS. Al Baqoroh: 197)
Rafats adalah berjima’ atau melakukan hal-hal yang mengundang timbulnya birahi, atau berbicara tentangnya di hadapan wanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/236-237)
Adalah salah satu bagian dari kepribadian seorang muslim yang sejati, ia meninggalkan segala hal yang tidak berguna bagi dirinya, termasuk dalamnya perdebatan yang tidak bermanfaat, terlebih-lebih bila perdebatan tersebut hanya akan mendatangkan timbulnya hal yang tidak terpuji. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّة لِمَنْ تَرَكَ المِرَاء وَإِنْ كَان مُحِقّاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin, akan mendapatkan sebuah rumah di surga bagian bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan, walaupun ia benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga, bagi orang meninggalkan perbuatan dusta, walau hanya bergurau, dan sebuah rumah di surga paling tinggi, bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR. Abu Dawud, At Thabrani, Al Baihaqi dll, dan dihasankan oleh Al Haitsami)
Ditambah lagi, ketika jamaah haji berada di kota Mekkah, maka ia akan selalu mengingat firman Allah:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحِادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ
“Dan barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya (Mekkah), niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (QS. Al Haj 25)
Para ulama menyebutkan, bahwa termasuk keistimewaan kota Mekkah, adalah barang siapa yang berniat untuk berbuat kejahatan di kota Mekkah, maka ia akan mendapatkan azabnya, walaupun ia belum melaksanakannya. Sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan: “Seandainya ada orang di kota Aden (Yaman) yang berniat berbuat kejahatan di kota Mekkah dengan semena-mena, niscaya Allah akan menimpakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Hakim). Seandainya selama jamaah haji berada di kota Mekkah, benar-benar menghayati akan makna ayat ini, -Insya Allah- hatinya akan suci, dan akhlaknya menjadi mulia.
Di antara salah satu pelajaran penting yang bisa diambil oleh jamaah haji, dari amalan wukuf di padang Arafah, di mana seluruh jamaah haji mengenakan pakaian yang sama, berpenampilan sama, sehingga tidak kelihatan perbedaan derajat, kedudukan, kekayaan, yang ada di antara mereka. Ini adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan akan satu hakikat yang telah dilalaikan oleh kebanyakan manusia; yaitu: Bahwa tidaklah ada perbedaan antara manusia di hadapan Allah, kecuali dengan ketakwaan.
Hakikat ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan dalam salah satu khotbah beliau pada hajjatul wada’ dengan bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكم وَاحِدٌ وإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ لأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Wahai para manusia! Ketahuilah, bahwasanya Tuhan kalian adalah satu, dan ayah kalian adalah satu. Ketahuilah! Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang ‘ajam (non Arab), dan juga tidak bagi orang ‘ajam atas orang Arab, juga tidak bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan juga tidak bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Sebagai salah satu praktek nyata yang pernah Rasulullah ajarkan kepada umatnya, adalah sabda beliau kepada sahabat Umar bin Khottob:
يَا عُمَرُ، إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ، لاَ تُؤْذِ الضَّعِيْفَ إِذا أَرَدْتَ اسْتِلاَمَ الحَجَرَ، فَإِنْ خَلاَ فَاسْتَلِمْهُ وَإلاَّ فاسْتَقْبِلْهُ وَكَبِّرْ
“Wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah lelaki yang kuat, maka janganlah engkau menyakiti orang yang lemah, bila engkau hendak mengusap hajar (aswad), bila engkau mendapatkan kesempatan senggang, maka silakan engkau mengusap, dan bila tidak, maka silakan engkau menghadap kepada hajar aswad, lalu bertakbirlah.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqy)
Marilah kita bandingkan hadits ini dengan kenyataan yang terjadi di sekitar Hajar Aswad, niscaya akan kita dapatkan praktek-praktek yang sangat bertentangan dengan maksud-maksud ibadah haji. Pendidikan ini, tidak terbatas hanya semasa jamaah haji berada di kota Mekkah saja, bahkan di saat mereka berkunjung ke kota Madinah pun akan mendapatkan hal yang sama, karena kedua kota ini memiliki banyak persamaan, keduanya adalah tanah haram.
المَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عِيْرٍ وثَوْرٍ فَمَنْ أحْدَثَ فِيْهَا حَدَثاً أَوْ آوَى مُحْدِثاً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ والمَلاَئِكَةِ والنَّاسِ أَجْمَعِيْن، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفاً وَلاَ عَدْلاً
“Madinah adalah tanah haram, antara gunung ‘Ir dan Tsaur, maka barang siapa yang berbuat kesalahan di dalamnya, atau melindungi orang yang berbuat kesalahan, maka ia ditimpa laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima darinya pengganti atau tebusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bila hal ini benar-benar dihayati oleh setiap jamaah haji, berarti ia benar-benar menjalani pendidikan akhlak, dan penyucian jiwa, sehingga perangai baik dan budi luhur yang ia lakukan selama satu bulan lebih, akan menyatu dengan darah dagingnya.
3. Akhlak Dengan Diri Sendiri
Bila kita renungkan dan kita pelajari apa yang terjadi di sekitar kita, dari kejahatan dan perbuatan yang tidak terpuji, niscaya kita akan berkesimpulan, bahwa yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan tersebut adalah dua hal:
- Hawa nafsu yang tidak dikendalikan.
- Kebodohan.
Pada ibadah haji, terdapat banyak hal yang kalau kita pikirkan dengan baik, ternyata merupakan ajaran yang mengajak dan membina umat agar bisa terlindung dari dua penyebab kemaksiatan tersebut. Marilah kita bersama-sama perhatikan sebagian manasik haji, untuk membuktikan kebenaran ungkapan ini.
Larangan-Larangan Ihram
Semenjak seseorang memulai ihramnya, yaitu dengan berniat menjalankan ibadah haji, dan telah mengenakan pakaian ihram, maka ia diharamkan melakukan beberapa hal, yang sebelumnya diperbolehkan. Ia tidak boleh berjima’ atau melakukan hal yang membangkitkan syahwat, memakai wewangian, mengenakan pakaian yang berjahit, memotong kuku, rambut dll.
Para ulama menyebutkan alasan dilarangnya memotong rambut, kuku, menggunakan wewangian, adalah untuk meninggalkan perbuatan taraffuh (berfoya-foya), sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab fikih. Ini semua adalah merupakan latihan, yang dijalani oleh jamaah haji, untuk mendidik jiwa dan nafsunya, sehingga ia bisa mengendalikan hawa nafsunya, dan mengarahkannya kepada yang dihalalkan dalam syariat.
Wukuf di Arafah
Pemandangan wukuf di Arafah adalah sebuah pemandangan yang sarat dengan hikmah, di antaranya, mengingatkan kita semua akan adanya hari kebangkitan, di mana semua manusia akan dibangkitkan dari alam kuburnya, dan menghadap kepada Allah ta’ala. Bangkit dalam keadaan tidak ada perbedaan derajat, kekayaan, pangkat, kecuali perbedaan iman dan takwa.
Semua jamaah haji memanjatkan doa dan hajatnya langsung kepada Allah tanpa ada perantara atau penerjemah, demikian pulalah halnya yang akan terjadi kelak pada hari kiamat. Kita akan menghadap kepada Allah dan mempertanggung jawabkan seluruh amalan kita selama di dunia, tanpa ada penerjemah atau perantara. Penghayatan yang demikian ini, akan menimbulkan rasa tawadhu’, dan mengikis habis kesombongan dari hati manusia.
Melempar Jumrah
Salah satu amalan dalam ibadah haji yang penuh dengan hikmah adalah amalan melempar jumrah, dikarenakan ini adalah salah satu simbol permusuhan antara manusia dan syaitan. Amalan ini mengingatkan kita kepada kisah Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail, tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih anaknya Ismail, serta usaha syaitan untuk menggoda keduanya.
Oleh karena itu, hendaknya amalan ini tidak berhenti sebatas sebuah simbol, dan tidak dilanjutkan pada amalan nyata. Sebagai salah satu perwujudan dari pengamalan dari simbol ini, adalah tata cara melempar jumrah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara melempar yang benar, yaitu dengan menggunakan batu yang kecil, tidak terlalu kecil, dan juga tidak terlalu besar. Ukuran batu lempar jumrah ini adalah sebuah contoh untuk kita, agar selalu menjauhi sikap berlebih-lebihan/ekstrem (ghuluw’ ) dalam segala hal.
بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ، وإيَّاكُمْ وَالغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فإِنَّما هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم بِالْغُلُوِّ فِيْ الدِّين
“Dengan menggunakan bebatuan seperti itu, Dengan menggunakan bebatuan seperti itu, dan hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw’ (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa, dikarenakan sikap ghuluw’ dalam agama.” (HR. Ahmad, An Nasa’i, Al Hakim dll)
4. Akhlak Dengan Makhluk Lain
Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk membawa kerahmatan kepada alam semesta, bukan hanya manusia saja yang mendapatkan perhatian dalam islam, bahkan semua yang ada di alam ini mendapatkan bagiannya. Oleh karena itu, makhluk selain manusia akan mendoakan orang-orang yang menerapkan syariat-syariat islam, juga orang-orang yang mengajarkannya.
إِنَّ اللهَ ومَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلُ السَّمَاوَات والأَرَضِيْنَ حَتى النَّمْلَةُ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتُ فِي البَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسَ خَيْراً. رواه الترمذي والطبراني.
“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan di lautan, mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani)
Di saat menunaikan ibadah haji (di saat berihram), kita dilarang berburu, mengganggu atau menghalau binatang liar yang kita jumpai, ini adalah salah satu wujud nyata dari kerahmatan yang Allah turunkan kepada alam semesta, termasuk binatang buruan, Dan termasuk akhlak yang diajarkan kepada kita, agar tidak membunuh, atau mengganggu binatang, kecuali kalau ada alasan yang dibenarkan, mari kita renungkan bersama kisah berikut:
Dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa ada seorang wanita penzina yang diampuni dosanya, karena ia memberi minum seekor anjir yang hampir mati kehausan. Akan tetapi sebaliknya, ada seorang wanita yang dimasukkan neraka gara-gara mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan. Kedua kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Tidak berhenti sampai di sini akhlak baik yang diajarkan kepada kita dengan binatang, bahkan sampai saat menyembelih pun kita diajarkan untuk tetap berpegang teguh dengan akhlak yang mulia.
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ، وَإذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan perbuatan (ihsan) baik dalam segala sesuatu, maka bila engkau membunuh, hendaknya kalian membunuh dengan cara yang baik, dan bila menyembelih, hendaknya menyembelih dengan cara yang baik, hendaknya kalian menajamkan pisau sembelihannya, dan hendaknya ia membiarkan binatang sembelihannya hingga tenang (benar-benar mati, baru dikuliti, dan dipotong-potong)” (HR. Muslim)
Ini sebagian dari hikmah-hikmah yang bisa kita ambil dari amalan haji, yang kalau kita bisa mengamalkannya, insya Allah haji kita menjadi haji yang mabrur, karena kita menjalankannya penuh dengan penghayatan akan apa yang kita amalkan. Bukan hanya sekedar amalan sakral yang kita jalani tanpa ada penghayatan dan hikmah yang kita dapatkan.
Pada akhirnya, saya tidak memiliki kata yang lebih indah dari doa: semoga Allah memberikan taufik dan ‘inayah-Nya kepada pemerintah, dan kepada kaum muslimin di negeri kita secara umum, jamaah haji secara khusus, dan semoga ibadah haji mereka menjadi haji yang mabrur, yang pahalanya adalah surga. Kemudian, saya mengucapkan puja dan puji syukur kepada Allah ta’ala, dan sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat. Wallahu a’lam bisshowwab.
Tuntunan Ibadah Haji
Menunaikan ibadah haji adalah sesuatu yang amat dirindukan oleh setiap umat Islam, bahkan oleh yang telah menunaikannya berkali-kali sekalipun. Karena itu, bagi yang dimudahkan Allah untuk bisa menunaikan ibadah haji tahun ini agar menggunakan kesempatan emas itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, belum tentu kesempatan menunaikan ibadah haji itu datang kembali......
Tuntunan Ibadah Haji
Menunaikan ibadah haji adalah sesuatu yang amat dirindukan oleh setiap umat Islam, bahkan oleh yang telah menunaikannya berkali-kali sekalipun. Karena itu, bagi yang dimudahkan Allah untuk bisa menunaikan ibadah haji tahun ini agar menggunakan kesempatan emas itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, belum tentu kesempatan menunaikan ibadah haji itu datang kembali.
Agar bisa beribadah haji dengan sebaik-baiknya, sekhusyu' - khusyu'nya dan menjadi haji mabrur, di samping harus ikhlas kita harus memiliki ilmu yang cukup seputar bagaimana menjalankan ibadah haji sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hal-hal yang mewajibkan haji
1. Islam
2. Berakal
3. Baliqh
4. Merdeka
5. Mampu : meliputi kemampuan materi dan fisik. Barangsiapa tidak mampu dengan hartanya untuk memenuhi biaya perjalanan, nafkah haji dan sejenisnya maka ia tidak berkewajiban haji. Adapun orang yang mampu secara materil, tetapi tidak mampu secara fisik dan jauh harapan sembuhnya, seperti orang yang sakit menahun, orang yang cacat atau tua renta maka ia harus mewakilkan hajinya kepada orang lain. Dan disyaratkan orang yang mewakilinya sudah haji untuk dirinya sendiri.
6. Dan bagi perempuan ditambah dengan satu syarat yaitu adanya mahram yang pergi bersamanya. Sebab haram hukumnya jika ia pergi haji atau safar (bepergian) lainnya tanpa mahram, berdasarkan sabda Nabi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Tidak (dibenarkan seorang) wanita bepergian kecuali dengan mahramnya." (Muttafaq Alaih).
Jika seorang wanita pergi haji tanpa mahram maka ia berdosa tetapi hajinya tetap sah.
Rukun Haji. Yang dimaksud rukun haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji yang jika tidak dikerjakan hajinya tidak syah. Adapun rukun haji adalah sebagai berikut :
1. Ihram, Yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk haji atau umrah di Miqat Makani.
2. Wukuf di Arafah, yaitu berdiam diri, zikir dan berdo'a di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah.
3. Tawaf Ifadah, Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan sesudah melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijah.
4. Sa'i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali, dilakukan sesudah Tawaf Ifadah.
5. Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut sesudah selesai melaksanakan Sa'i.
6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.
Wajib Haji, Adalah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam ibadah haji sebagai pelengkap Rukun Haji, yang jika tidak dikerjakan harus membayar dam (denda). Yang termasuk wajib haji adalah ;
1. Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram
2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah pada tanggal 9 Zulhijah (dalam perjalanan dari Arafah ke Mina)
3. Melontar Jumrah Aqabah tanggal 10 Zulhijah
4. Mabit di Mina pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
5. Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah pada hari Tasyrik (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijah).
6. Tawaf Wada', Yaitu melakukan tawaf perpisahan sebelum meninggalkan kota Mekah.
7. Meninggalkan perbuatan yang dilarang waktu ihram
Rukun Umrah
1. Ihram, Yaitu mengenakan pakaian ihram dengan niat untuk umrah di Miqat Makani.
3. Tawaf Umrah, Yaitu mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali
4. Sa'i, yaitu berjalan atau berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak 7 Kali.
5. Tahallul, yaitu bercukur atau menggunting rambut
6. Tertib, yaitu mengerjakannya sesuai dengan urutannya serta tidak ada yang tertinggal.
Wajib Umrah
1. Niat Ihram, untuk haji atau umrah dari Miqat Makani, dilakukan setelah berpakaian ihram
2. Tidak berbuat yang diharamkan dalam berumrah
sumber: http://www.dzikir.org/b_haji.htm
Impian terbesar seluruh jamaah haji adalah ibadahnya diterima oleh Allah dan hajinya menjadi haji yang mabrur. Meraih haji mabrur harus Anda perjuangkan. Karena balasan haji mabrur adalah surga dambaan setiap umat Islam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” [HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]
Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.
Untuk meraih haji mabrur, ada beberapa kriteria yang harus Anda penuhi, yaitu
1. Ikhlas.
Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat.
“Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]
2. Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia berhaji sesuai dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]
3. Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” [HR Muslim : 1015]
4. Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan
“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]
5. Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.
Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid (22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah bin Sholih Al-Fauzan : 12-13]
Memaknai Ibadah haji |
"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (diantaranya) makam Ibrahim, barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia, mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengedakan perjalanan ke Baitullah, Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". (Ali-Imran:97)
Ibadah haji merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang sudah sanggup untuk melaksanakannya, baik itu secara jasmani maupun secara rohani, sanggup disini menunjukkan kepada kesanggupan untuk menyediakan bekal selama diperjalanan sampai pulang ke negrinya kembali. Begitu juga sanggup di sini berarti mempunyai harta untuk keluarga yang dtinggalkannya selama melaksanakan ibadah haji. Seorang fakir yang tidak mempunyai harta untuk menghidupi diri dan kelurganya maka tidaklah wajib baginya melaksanakan ibadah haji. Dan begitu juga ketika seseorang memiliki harta yang cukup untuk perbekalan tetapi tidak ada kendaraan untuk pergi melaksanakan ibadah haji karena tempatnya yang jauh dan tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki maka tidaklah wajib baginya ibadah haji. Begitu juga walaupun ada kendaraan akan tetapi perjalanannya tidak aman atau akan mendapatkan berbagai macam bahaya maka tidaklah juga wajib baginya untuk melaksanakan ibadah haji, karena semua yang kita sebutkan diatas tersebut diketegorikan kepada tidak sanggup.
Haji merupakan salah satu rukun Islam. Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk melaksanakan ibadah haji tersebut. Rasulullah SAW dalam haditsnya memotivasi kita untuk melaksanakannya:" Barang siapa yang melaksanakan ibadah haji, kemudian tidak berkata kotor dan tidak berbuat kefasikan, akan dibersihkan dosa-dosanya, sebagaimana waktu ia baru dilahirkan oleh ibunya.
Dalam hadits lain Rasulullah berkata: Haji mabrur tidaklah ada balasannya kecuali sorga.
Begitu pentingnya ibadah haji ini, Rasulullah sangat menganjurkan ibadah ini dengan mengumpamakan bagi seorang yang sudah melaksanakan ibadah haji akan suci sebagaimana seorang bayi yang baru dilahirkan ke muka bumi, begitu juga bagi orang yang melaksanakan ibadah haji dan ia memperoleh haji yang mabrur, maka dia akan mendapat balasan surga, sebagaimana yang dijelaskan hadits yang kita bacakan tadi.
Allah juga berfirman dalam surat Al Baqarah 197:" (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. 2:197).
Firman Allah ini menegaskan kepada kita bahwa ketika kita sudah berazzam (menetapkan niat ) untuk melaksanakan ibadah haji, hendaklah dia mempersiapkan dirinya dengan sebaik-baiknya. Persiapan itu adalah tidak berkata kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan ketika melaksanakan ibadah haji. Karena ibadah haji merupukan ibadah yang sangat mulia, Allah mengisyaratkan untuk benar-benar membersihkan dirinya dari sifat-sifat, tingkah laku dan akhlaq yang tercela. Hal ini adalah sarana untuk mendapatkan haji yang mabrur yang sudah di janjikan Allah Swt.
Pada akhir ayat ini sangat jelas di terangkan bahwa sebaik-baik bekal untuk melaksanakan ibadah haji adalah Taqwa. Persiapan menjelang ibadah haji adalalh dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Melakukan amalan-amalan wajib dan sunnah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Artinya seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji sudah tergambar kebersihan dirinya sebelum melaksanakan ibadah haji tersebut. Berbeda dari yang banyak di pahami orang bahwa kebersihan diri didapatkan setelah melaksanakan ibadah haji. Banyak orang beranggapan bahwa setelah haji dia akan lebih taat kepada Allah. Ketahuilah bahwa setiap perbuatan atau ibadah yang kita lakukan, sukses atau tidaknya banyak tergantung kepada persiapan dan perbekalan yang sudah di siapkan. Karena itu bagi seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji hendaklan mengevaluasi diri. Memuhasabah diri sudahkan bekal taqwa tertanam di dalam dirinya?. Sehingga dengan perbekalan taqwa yang kuat kita bisa meraih haji yang mabrur.
Berapa banyak orang yang melaksanakan ibadah haji, tetapi hanya mendapatkan capek dan lelah saja. Berapa banyak orang yang sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah haji tidak terlihat pada dirinya pengaruh ibadah haji tersebut. Dan berapa banyak juga kita melihat orang yang melaksanakan ibadah haji hanya untuk mendapatkan gelar di panggil sebagai seorang haji. Dan banyak juga kita melihat banyak orang yang bisa melakukan perubahan-perubahan positif dalam kehidupannya. Hanya Allah yang Maha Tahu siapa di antara hambanya yang akan mendapatkan haji yang mabrur. Hanya Allah yang tahu siapa yang benar-benar bisa meresapi makna ibadah haji. Disini kita akan coba merenungi sedikit hikmah dari perjalanan ibadah haji tersebut.Banyak makna-makna yang tersirat dalam pelaksanaan Ibadah haji, diantara rukun-rukun ibadah haji sebagai berikut:
Ihram dari Miqat mengajarkan kita suatu kedisiplinan dalam menjalankan perintah Allah Swt, ketika melakukan ihram melampaui miqat maka seseorang akan dikenakan dam, begitu ibadah haji mengajarkan kepada seorang muslim untuk disiplin dan taat kepada aturan Allah. Dengan memakai pakaian Ihram yang tidak berjahit dan berwarna putih mengajarkan kita kepada persamaan derajat, ketika seorang memakai pakaian ihram tidak terlihat siapa penguasa dan siapa rakyat biasa, dengan pakaian ihram kita diajarkan suatu sikap kebersamaan, hanya ketaqwaan kepada Allah sajalah yang membedakan kita.
Thawaf mengelilingi ka`bah sebanyak tujuh kali,Thawaf ini diumpamakan seperti shalat, Rasulullah Saw bersabda:"Thawaf mengelilingi ka`bah adalah seperti sholat akan tetapi kamu boleh berbicara didalamnya,dan barang siapa yang berbicara maka hendaklah membicarakan hal yang baik-baik".
Sa`i yaitu berlari-lari kecil antara bukit safa dan marwa semata-mata untuk melakukan Ibadah kepada Allah, mengingatkan kita pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya yang sedang kehausan, yaitu Siti Hajar dengan anaknya Ismail.
Wukuf di Arafah, mengajarkan kita makna kebersamaan dan mengingatkan kita akan hari kiamat dimana manusia di kumpulkan di padang mahsyar untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia, dengan melakukan wukuf di arafah para hujjaj merasakan bahwa hari berkumpul di padang mahsyar itu pasti ada, dan setiap kita akan di minta pertanggungjawabannya.Wukuf di arafah merupakan rukun yang terpenting dalam ibadah haji, sehingga Rasulullah mengatakan "alhajju arafah". Haji itu adalah arafah.
Kemudian setelah wukuf di arafah para hujjaj bermalam di muzdalifah kemudian di mina, para jamaah haji melakukan jumaraat, yaitu melemparkan batu kerikil sebanyak tujuh buah ke masing-masing tempat jumaraat, ini memberikan makna bahwa kita senantiasa berjuang untuk melawan syetan yang senantiasa mengganggu manusia.Ibadah haji merupakan muktamar besar umat Islam di dunia, umat Islam dari seluruh penjuru dunia datang untuk sama-sama mendekatkan diri kepada Allah, suatu ibadah yang tidak di miliki oleh agama lain, hal ini tentunya akan mempererat persatuan dan kesatuan ummat dan akan terjalin ukhuwwah islamiyah yang menyeluruh bagi umat manusia dari seluruh penjuru dunia. Ibadah haji mengajarkan kita sikap thawadhu`, karena setiap kita meninggalkan embel-embel duniawi, kita meninggalkan pangkat dan jabatan serta status sosial kita di masyarakat, tidak ada perbedaan antara seorang gubernur dengan rakyat biasa, tidak ada perbedaan antara orang kaya dan si miskin semua sama, sama-sama memakai baju ihram yang berwarna putih, sama-sama berkumpul di arafah, tidak ada yang meninggikan mereka melainkan derajat ketaqwaan mereka di sisi Allah.
Kemudian bagi kita yang tidak melakukan Ibadah haji disunatkan untuk melakukan puasa Arafah, Sabda Rasulullah:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : "صوم يوم عرفة يكفر ذنوب سنتين, ماضية و مستقبلة....."
Artinya : "Rasulullah Saw bersabda, puasa pada hari arafah akan menghapuskan dosa dua tahun setahun yang sudah berlalu dan setahun yang akan datang.", begitu pentingnya puasa di hari arafah ini bagi kita yang tidak melakukan ibadah haji, maka janganlah sampai hari arafah tersebut berlalu begitu saja di hadapan kita.
Kemudian kita dianjurkan untuk banyak melakukan amal sholeh pada sepuluh hari awal bulan dzulhijjah, sebagaimana sabda rasulullah Saw:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :"ما من أيام العمل الصالح فيها أحب الى الله من هذه الأيام"
Artinya :"Rasulullah Saw bersabda:"tidak ada hari-hari yang amal sholeh dilakukan padanya lebih di cintai oleh Allah selain dari hari-hari ini (yaitu sepuluh hari di bulan dzulhijjah", karena itu ketika memasuki bulan dzulhijjah ini kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah-ibadah dan senantiasa melakukan amal-amal sholeh. Karena Allah akan lebih mencintai orang-orang yang melakukannya pada sepuluh awal bulan dzulhijjah. Semoga bagi kita yang sudah berazzam untuk melaksanakan ibadah haji bisa mempersiapkan bekal taqwa dengan sebaik-baiknya. Sehingga mendapatkan haji yang mabrur. Wallahu A`lam
HIKMAH IBADAH HAJI
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Baz
Diantara Asmaul Husna yang dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-Hakim yang bermakna : “Yang menetapkan Hukum, atau Yang mempunyai sifat Hikmah, di mana Allah tidak berkata dan bertindak dengan sia-sia. Oleh karena itulah semua syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai kebaikan yang besar dan manfaat yang banyak bagi hamba-Nya di dunia seperti kebagusan hati, ketenangan jiwa dan kebaikan keadaan. Juga akibat yang baik dan kemenangan yang besar di kampung kenikmatan (akhirat) dengan melihat wajah-Nya dan mendapatkan ridha-Nya.
Demikian pula haji, sebuah ibadah tahunan yang besar yang Allah syari’atkan bagi para hamba-Nya, mempunyai berbagai manfaat yang besar dan tujuan yang besar pula, yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Dan diantara hikmah ibadah haji ini adalah.
[1]. Mengikhlaskan Seluruh Ibadah
Beribadah semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghadapkan hati kepada-Nya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang diibadahi dengan haq, kecuali Dia dan bahwa Dia adalah satu-satunya pemilik nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang mulia. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada tandingan-Nya.
Dan hal ini telah diisyaratkan dalam firman-Nya.
“Artinya : Dan ingatlah ketika Kami menempatkan tempat Baitullah untuk Ibrahim dengan menyatakan ; “Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apapun dan sucikan rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, beribadah, ruku dan sujud” [Al-Hajj : 26]
Mensucikan rumah-Nya di dalam hal ini adalah dengan cara beribadah semata-mata kepada Allah di dekat rumah-Nya (Ka’bah) yang mulia, mebersihkan sekitar Ka’bah dari berhala-berhala, patung-patung, najis-najis yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan serta dari segala hal yang mengganggu orang-orang yang sedang menjalankan haji atau umrah atau hal-hal lain yang menyibukkan (melalaikan, -pent) dari tujuan mereka.
[2]. Mendapat Ampunan Dosa-Dosa Dan Balasan Jannah
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Satu umrah sampai umrah yang lain adalah sebagai penghapus dosa antara keduanya dan tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali jannah” [HR Bukhari dan Muslim, Bahjatun Nanzhirin no. 1275]
“Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa barang siapa berhaji ke Baitullah ini karena Allah, tidak melakukan rafats dan fusuuq, niscaya ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya” [HR Bukhari]
Rafats : jima’ ; pendahuluannya dan ucapan kotor, Fusuuq : kemaksiatan
Sesungguhnya barangsiapa mendatangi Ka’bah, kemudian menunaikan haji atau umrah dengan baik, tanpa rafats dan fusuuq serta dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosanya dan menuliskan jannah baginya. Dan hal inilah yang didambakan oleh setiap mu’min dan mu’minah yaitu meraih keberuntungan berupa jannah dan selamat dari neraka.
[3]. Menyambut Seruan Nabi Ibrahima Alaihissalam
“Dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”[Al-Hajj : 27]
Nabi Ibrahim Alaihissalam telah menyerukan (agar berhaji) kepada manusia. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki (untuk bisa) mendengar seruan Nabi Ibrahim Alaihissalam tersebut dan menyambutnya. Hal itu berlangsung semenjak zaman Nabi Ibrahim hingga sekarang.
[4]. Menyaksikan Berbagai Manfaat Bagi Kaum Muslimin
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Agar supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [Al-Hajj : 28]
Alah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan manfaat-manfaat dengan muthlaq (secara umum tanpa ikatan) dan mubham (tanpa penjelasan) karena banyaknya dan besarnya menafaat-manfaat yang segera terjadi dan nanti akan terjadi baik duniawi maupun ukhrawi.
Dan diantara yang terbesar adalah menyaksikan tauhid-Nya, yakni mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. Mereka datang dengan niat mencari wajah-Nya yang mulia bukan karena riya’ (dilihat orang lain) dan juga bukan karena sum’ah (dibicarakan orang lain). Bahkan mereka betauhid dan ikhlas kepada-Nya, serta mengikrarkan (tauhid) di antara hamba-hamba-Nya, dan saling menasehati di antara orang-orang yang datang (berhaji dan sebagainya,-pent) tentangnya (tauhid).
Mereka thawaaf mengelilingi Ka’bah, mengagungkan-Nya, menjalankan shalat di rumah-Nya, memohon karunia-Nya, berdo’a supaya ibadah haji mereka diterima, dosa-dosa mereka diampuni, dikembalikan dengan selamat ke nergara masing-masing dan diberi anugerah kembali lagi untuk berdo’a dan merendah diri kepda-Nya.
Mereka mengucapkan talbiyah dengan keras sehingga di dengar oleh orang yang dekat ataupun yang jauh, dan yang lain bisa mempelajarinya agar mengetahui maknanya, merasakannya, mewujudkan di dalam hati, lisan dan amalan mereka. Dan bahwa maknanya adalah : Mengikhlaskan ibadah semata-mata untuk Allah dan beriman bahwa Dia adalah ‘ilah mereka yang haq, Pencipta mereka, Pemberi rizki mereka, Yang diibadahi sewaktu haji dan lainnya.
[5]. Saling Mengenal Dan Saling Menasehati
Dan diantara hikmah haji adalah bahwa kaum muslimin bisa saling mengenal dan saling berwasiat dan menasehati dengan al-haq. Mereka datang dari segala penjuru, dari barat, timur, selatan dan utara Makkah, berkumpul di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tua, di Arafah, di Muzdalifah, di Mina dan di Makkah. Mereka saling mengenal, saling menasehati, sebagian mengajari yang lain, membimbing, menolong, membantu untuk maslahat-maslahat dunia akhirat, maslahat taklim tata cara haji, shalat, zakat, maslahat bimbingan, pengarahan dan dakwah ke jala Allah.
Mereka bisa mendengar dari para ulama, apa yang bermanfaat bagi mereka yang di sana terdapat petunjuk dan bimbingan menuju jalan yang lurus, jalan kebahagiaan menuju tauhidullah dan ikhlas kepada-Nya, menuju ketaatan yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengetahui kemaksiatan untuk dijauhi, dan supaya mereka mengetahui batas-batas Allah dan mereka bisa saling menolong di dalam kebaikan dan taqwa.
[6]. Mempelajari Agama Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dan diantara manfaat haji yang besar adalah bahwa mereka bisa mempelajari agama Allah dilingkungan rumah Allah yang tua, dan di lingkungann masjid Nabawi dari para ulama dan pembimbing serta memberi peringatan tentang apa yang mereka tidak ketahui mengenai hukum-hukum agama, haji, umrah dan lainnya. Sehingga mereka bisa menunaikan kewajiban mereka dengan ilmu.
Dari Makkah inilah tertib ilmu itu, yaitu ilmu tauhid dan agama. Kemudian (berkembang) dari Madinah, dari seluruh jazirah ini dan dari seluruh negeri-negeri Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada ilmu dan ahli ilmu. Namun semua asalnya adalah dari sini, dari lingkungan rumah Allah yang tua.
Maka wajib bagi para ulama dan da’i, dimana saja mereka berada, terlebih lagi di lingkungan rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, untuk mengajari manusia, orang-orang yang menunaikan haji dan umrah, orang-orang asli dan pendatang serta para penziarah, tentang agama dan manasik haji mereka.
Seorang muslim diperintahkan untuk belajar, bagaimanapun (keadaannya) ia, dimana saja dan kapan saja ; tetapi di lingkungan rumah Allah yang tua, urusan ini (belajar agama) lebih penting dan mendesak.
Dan di antara tanda-tanda kebaikan dan kebahagian seseorang adalah belajar tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi bersabda : “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala memperoleh kebaikan, niscaya Dia menjadikan faqih terhadap agama” [HR Bukhari, Kitab Al-Ilmi 3 bab : 14]
Di sini, di negeri Allah, di negerimu dan di negeri mana saja, jika engkau dapati seorang alim ahli syari’at Allah, maka pergunakanlah kesempatan. Janganlah engkau takabur dan malas. Karena ilmu itu tidak bisa diraih oleh orang-orang yang takabur, pemalas, lemah serta pemalu. Ilmu itu membutuhkan kesigapan dan kemauan yang tinggi.
Mundur dari menuntut ilmu, itu bukanlah sifat malu, tetapi suatu kelemahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Allah tidak malu dari kebenaran” [Al-Ahzab : 53]
Karenanya seorang mukmin dan mukminah yang berpandangan luas, tidak akan malu dalam bab ini ; bahkan ia maju, bertanya, menyelidiki dan menampakkan kemusykilan yang ia miliki, sehingga hilanglah kemusykilan tersebut.
[7]. Menyebarkan Ilmu
Di antara manfaat haji adalah menyebarkan ilmu kepada saudara-saudaranya yang melaksanakan ibadah haji dan teman-temannya seperjalanan, yang di mobil, di pesawat terbang, di tenda, di Mekkah dan di segala tempat. Ini adalah kesempatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan. Engkau bisa menyebarkan ilmu-mu dan menjelaskan apa yang engkau miliki, akan tetapi haruslah dengan apa yang engkau ketahui berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan istimbath ahli ilmu dari keduanya. Bukan dari kebodohan dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
[8]. Memperbanyak Ketaatan
Di antara manfaat haji adalah memperbanyak shalat dan thawaf, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka ; hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka berthawaf sekeliling rumah yang tua itu (Ka’bah)” [Al-Hajj : 29]
Maka disyariatkan bagi orang yang menjalankan haji dan umrah untuk memperbanyak thawaf semampunya dan memperbanyak shalat di tanah haram. Oleh karena itu perbanyaklah shalat, qira’atul qur’an, tasbih, tahlil, dzikir. Juga perbanyaklah amar ma’ruf nahi mungkar dan da’wah kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana banyak orang berkumpul dari Afrika, Eropa, Amerika, Asia dan lainnya. Maka wajib bagi mereka untuk mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
[9]. Menunaikan Nadzar
Walaupun nadzar itu sebaiknya tidak dilakukan, akan tetapi seandainya seseorang telah bernadzar untuk melakukan ketaatan, maka wajib baginya untuk memenuhinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati-Nya” [HR Bukhari]
Maka apabila seseorang bernadzar di tanah haram ini berupa shalat, thawaf ataupun ibadah lainnya, maka wajib baginya untuk menunaikannya di tanah haram ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan hendaklah mereka menunaikan nadzar” [Al-Hajj : 29]
[10]. Menolong Dan Berbuat Baik Kepada Orang Miskin
Di antara manfaat haji adalah bisa menolong dan berbuat baik kepada orang miskin baik yang sedang menjalankan haji atau tidak di negeri yang aman ini.
Seseorang dapat mengobati orang sakit, menjenguknya, menunjukkan ke rumah sakit dan menolongnya dengan harta serta obat.
Ini semua termasuk manfaat-manfaat haji.
“Artinya : ….agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [Al-Hajj : 28]
[11]. Memperbanyak Dzikir Kepada Allah
Di negeri yang aman ini hendaklah memperbanyak dzikir kepada Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk dan bebaring, dengan tasbih (ucapan Subhanallah), hamdalah (ucapan Alhamdulillah), tahlil (ucapan Laa ilaaha ilallah), takbir (ucapan Allahu Akbar) dan hauqallah (ucapan Laa haula wa laa quwata illa billah).
“Artinya : Dari Abu Musa Al-As’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Perumpamaan orang yang mengingat Rabb-nya dan yang tidak mengingat-Nya adalah sebagai orang hidup dan yang mati”. [HR Bukhari, Bahjatun Nadzirin no. 1434]
[12]. Berdo’a Kepada-Nya
Di antara manfaat haji, hendaknya bersungguh-sungguh merendahkan diri dan terus menerus berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar Dia menerima amal, membereskan hati dan perbuatan ; agar Dia menolong untuk mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya ; agar Dia menolong untuk menunaikan kewajiban dengan sifat yang Dia ridhai serta agar Dia menolong untuk berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya.
[13]. Menunaikan Manasik Dengan Sebaik-Baiknya
Di antara manfaat haji, hendaknya melaksanakannya dengan sesempurna mungkin, dengan sebaik-baiknya dan seikhlas mungkin baik sewaktu melakukan thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, berada di Muzdalifah, melempar jumrah, maupun sewaktu shalat, qira’atul qur’an, berdzikir, berdo’a dan lainnya. Juga hendaknya mengupayakannya dengan kosentrasi dan ikhlas.
[14]. Menyembelih Kurban
Di antara manfaat haji adalah menyembelih (binatang) kurban, baik yang wajib tatkala berihram tammatu dan qiran, maupun tidak wajib yaitu untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sewaktu haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkurban 100 ekor binatang. Para sahabat juga menyembelih kurban. Kurban itu adalah suatu ibadah, karena daging kurban dibagikan kepada orang-orang miskin dan yang membutuhkan di hari-hari Mina dan lainnya.
Demikianlah sebagian hikmah dari ibadah haji (rukun Islam yang ke lima) mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaatnya, dan senantiasa diberi petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta diberi kemudahan untuk menunaikannya. Amin
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun III/1419H/1999M, Disadur oleh Abu Shalihah dari Majalah Al-Furqon nomor 72 hal.18-21. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183 ]
Al-Qaradhawi: Kapan Ibadah Haji Menjadi Haram?
Di antarannya adalah bahwa Allah tidak menerima ibadah sunnah –haji kedua dan seterusnya tergolong ibadah sunnah, yang wajib sekali seumur hidup-, jika mengarah pada perbuatan haram. Karena ada kaidah “menghindarr dari terjerumus pada yang haram di dahulukan dari pada meraih pahala sunnah.” Seperti misalnya, jika pengulangan berangkat haji sunnah justru menyakiti banyak orang, menyebabkan padat dan sesak sehingga menambah beban berat, tersebarnya suatu penyakit, banyak orang jatuh kurban, berdesak-desakan, tidak bisa maju dan mundur, terinjak-injak kaki dan kondisi bahaya lainnya. Padahal yang wajib adalah meminimalisir kesemrawutan, dan bahaya.
Dr. Al-Qaradhawi menjelaskan, bahwa Allah swt. tidak menerima ibadah nafilah –tambahan atau sunnat- sehingga yang wajib ditunaikan dengan baik. Kami melihat bahwa setiap orang yang melaksanakann haji atau umrah sunnah –bukan wajib-, namun ia ternyata pelit mengeluarkan zakat yang wajib, baik zakat secara keseluruhan atau sebagiannya, maka haji dan umrahnya tertolak. Lebih baik baginya untuk menyalurkan biaya haji dan umrah untuk mensucikan dirinya terlebih dahulu dengan menunaikan zakat.
Contoh lain adalah pedagang yang menjalankan transaksinya dengan sistem angsuran atau tempo, namun ia tidak atau belum membayarnya sesuai waktunya. Atau ia menerima suatu hutang dan belum ia bayar sesuai batas waktunya, dalam kondisi demikian tidak diperkenankan baginya menunanikan ibadah haji dan umrah sunnah, sebelum melunasi hutangnya. Beliu mengisyaratkan baginya agar orang yang demikian -ia sudah menunaikan haji, boleh jadi beberapa kali-, hendaknya ia tidak diperkenankan melaksanakan haji lagi, untuk memberi peluang kepada selainnya yang belum menunaikan ibadah haji wajib.
Beliau menjelaskan bahwa mengantisipasi kerusakan didahulukan dari pada mendapatkan kemanfaatan, lebih lagi jika kerusakan itu berdampak pada khalayak umum.
Beliau juga menegaskan bahwa pintu-pintu ibadah sunnah sangatlah banyak dan luas. Allah swt. tidak mempersulit terhadap hambanya-Nya dalam hal ini. Seorang mukmin yang cerdas adalah yang mampu memilih amal ibadah yang sesuai dengan kondisinya, lebih tepat dalam waktunya, dan lingkungannya. Jika melaksanakan haji dan umrah sunnah membawa dampak keburukan, bahaya bagi sebagian umat muslim, maka Allah swt. membuka seluas-luasnya kesempatan yang bisa dilaksanakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, tanpa harus menyakiti dan membahayakan orang lain.
Contohnya, bersedekah bagi yang membutuhkan dan yang papa, terutama bagi kerabat
dan yang punya tali persaudaraan, sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits.
الصدقة على المسكين صدقة، وعلى ذي الرحم ثنتان: صدقة وصلة (رواه أحمد والترمذي والنسائي وابن ماجة والحاكم عن سلمان بن عامر الصيفي بإسناد صحيح)
“Sedekah bagi orang yang miskin bernilai satu sedekah, sedakah terhadap orang yang masih ada hubungan saudara bernilai dua: sedekah dan shilah –pererat hubungan-.” Imam Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Hakim.
Boleh jadi memberi sedekah kepada mereka menjadi sebuah kewajiban, jika mereka dalam kondisi kesulitan. Begitu juga terhadap tetangga yang fakir, karena mereka memiliki hak bertetangga setelah hak Islam, dan bisa jadi bantuan bagi mereka berubah menjadi kewajiban. Rasulullah saw. bersabda:
” ليس بمؤمن من بات شبعان وجاره إلى جنبه جائع”. (رواه الطبراني وأبو يعلي عن ابن عباس ورواه الحاكم عن عائشة والطبراني والبزار عن أنس مع اختلاف في اللفظ).
“Bukanlah termasuk orang yang beriman, orang yang tertidur dalam keadaan kenyang, sedangkann tetangganya kelaparan.” At-Thabrani.
Ia juga menambahkan bahwa membantu lembaga-lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, yayasan sosial Islam yang tidak bisa menjalankan kegiatannya dan terancam bubar karena tidak ada dana dan donatur. Padahal lembaga-lembaga misionaris memiliki berjuta dollar yang digunakan untuk misinya, menebar keraguan terhadap Islam, memecah belah persatuan Islam, gerakan pemurtadan.
Beliau menjelaskan bahwa minimnya kegiatan-kegiatan Islam bukan karena sedikitnya harta umat muslim. Di sebagian negara Islam hari ini, ada yanng terhitung paling kaya di dunia. Dan bukannya minimnya orang yang baik dan dermawan. Umat muslim masih sangat banyak yang dermawan, namun masih banyak bantuan, donatur yang didistribusikan bukan pada tempatnya. Seandainya ratusann ribu orang yang berangkat haji dan umrah sunnah, biaya mereka digunakan untuk sebuah proyek Islam, dengan pengelolaan yang bagus, maka proyek dan kegiatan ini akan sangat bermanfaat bagi umat muslim, seperti rumah sakit gratis, sekolah gratis dan lain-lain.
Beliau juga menghimbau bagi para aktivis dakwah Islam untuk profesional dalam mengelola dana-dana umat, agar digunakan untuk mengantisipasi gerakan misionaris, sekular dan komunis dan yang lainnya dari pergerakan misionaris di Barat dan Timur.
Dr. Al-Qaradhawi menasehati bagi setiap muslim yang taat beragama, yang bersemangat menjalankan haji dan umrah, hendaknya mencukupkan diri dengan ibadah yang sudah dilaksanakan. Jika mengharuskan menjalankannya lagi, hendaknya setiap lima tahun sekali. Dengan demikian, ia mendapatkan dua manfaat besar yang berpahala: pertama pahala mendistribusikan harta yang hendak digunakan berangkat haji bagi kegiatan dakwah dan sosial. Kedua pahala memberi kesempatan bagi orang lain yang belum berangkat haji untuk menjalankan proses ibadah haji dengan nyaman dan aman.
Inilah langkah cerdas seorang muslim dalam beragama, ia mendekat kepada Tuhannya sesuai dengan amal prioritas dan kondisional. Karena itu baginya pelipatan pahala. “Dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan.” Allahu a’lam
KEUTAMAAN IBADAH HAJI
- Diampuni segala dosanya (HR. Bukhari)
- Mendapat ganjaran sorga. Haji Mabrur pahalanya Surga (HR Ahmad dan Thabrani)
- Biaya yang dikeluarkan diberi ganjaran sama dengan ganjaran untuk sabililillah yaitu dilipat gandakan 700 kali (HR Ahmad & Turmudzi)
- Mendapat pahala jihad yang paling utama, bagi yang tidak boleh berjihad (wanita).
- Mati di dalam perjalanan haji sama dengan mati syahid (HR. Muslim)
- Diterimanya do'anya untuk orang lain.
- Menjadi orang yang dibanggakan Allah kepada malaikat-Nya.
Beberapa Tambahan untuk Bekal Ibadah Haji
- Bekal Fisik (raga/jasmani/badan), bagi yang sakit bawalah obat yang biasa digunakan. Konsultasi dan taati pesan dokter yang merawat selama ini. Bagi orang yang sehat jasmani rumus kuat yang sudah disajikan di atas.
- Bekal Ilmu beribadah haji dan tips-tips yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji. Misalnya tentang musim, budaya dan semacamnya.
- Bekal hati/rohani/jiwa-agama. Yaitu berusaha selalu ikhlas dan siap sedia mati dengan laa ilaha illalloh, iman bersih. Mengikuti sebanyak mungkin sunnah Nabi, sholat khusuk, rutin dan berjamaah, berzakat/bersodaqoh, menjaga farji, suka berpuasa, menunaikan amanat dan janji, memaafkan kesalahn orang lain, suka berbuat baik, mawas diri, bertaubat, berserah diri kepada ALlah, meninggalkan yang tidak berguna, suka berdo'a dan dzikir, menjaga mulut, berbakti kepada ibu dan ayah, mendahului memberi salam, menengok orang sakit, menunjukkan kebaikan kepada orang lain, tidak curang dalam menimbang/menakar/jual beli, jujur, mencintai orang fakir-miskin, anayk yatim, tidak putus asa, menjaga silaturahmi.
Sumber: dr. H. Probosuseno, SpPD, Staf Penyakit Dalam, FK UGM/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Bagaimana Menggapai Haji Mabrur?
Haji secara bahasa berarti menuju atau menziarahi suatu tempat. Menurut istilah fikih ziarah ke Baitullah, Mekah, untuk melaksanakan ibadah dengan cara tertentu, dalam waktu dan tempat-tempat tertentu. Ibadah haji adalah salah satu dari rukun Islam yang lima yang diwajibkan pada tahun kesembilan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah.
Ibadah haji sudah dikenal dari masa Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim beserta putranya Ismail disuruh Allah SWT membangun Baitullah (Ka'bah). Kemudian ia disuruh mengajak umat manusia menziarahi rumah Allah tersebut. Dari waktu itu bangsa Arab di sekitarnya setiap tahun berbondong-bondong menuju Ka'bah untuk melakukan ibadah haji dengan cara syariat Nabi Ibrahim. Pelaksanaan haji berjalan terus sampai masa Muhammad diutus menjadi Rasulullah.
Semulia-mulianya haji, adalah mereka yang dapat menggapai predikat mabrur. Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof DR KH Satori Ismail mengungkapkan haji mabrur adalah haji yang diterima Allah SWT, yaitu ibadah haji yang dilaksanakan jamaah haji dengan melengkapi syarat, rukun, dan wajibnya. Selain itu, saat pelaksanaannya, tidak melakukan pelanggaran sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya pada surat Albaqarah (2) ayat 197, ''Barangsiapa yang berniat melakukan ibadah haji, maka hendaklah tidak rafats, tidak berbuat fasik dan tidak berbantah-bantahan.''
Upaya untuk mendapatkan haji yang mabrur tersebut, kata Satori, ditempuh dengan berbagai cara. Sebelum berangkat haji dia harus melakukan hal-hal yang mendukung hajinya, yaitu pertama, bekalnya yang digunakan adalah bekal yang halal. Kedua, dia betul-betul niat ikhlas karena Allah SWT. Ketiga, berbekal ketakwaan. Keempat, mengerti tentang ilmu pelaksanaan haji. Mengerti rukun haji itu apa saja, wajib haji apa saja, larangan-larangan ihram apa saja. Kemudian kelima, dia mengerti ilmu tentang ibadah selama dalam perjalanan. Umpamanya, bagaimana tayamum, shalat dalam perjalanan, jama', qashar, dan seterusnya. ''Ini sesuatu yang harus dilengkapi sebelum berangkat haji,'' jelasnya.
Sedangkan, saat melaksanakan ibadah haji, barangsiapa yang sudah niat untuk melaksanakan ibadah haji maka tidak boleh berbicara kotor, tidak boleh melanggar aturan-aturan agama Islam. Juga tidak boleh maksiat, dan tidak boleh berbantah-bantahan. Jadi, selama haji dia lakukan ikhlas karena Allah SWT.''
Selama di Tanah Suci, Satori menyarankan untuk memperbanyak dzikir dan menggunakan waktu sefektif mungkin. Laksanakan ibadah dengan tenang tanpa mengganggu orang lain. Jika ada kesempatan, berkurban. Sebaik-baiknya haji adalah yang banyak membaca talbiyah dan bisa berkurban,'' ungkapnya, mengutip hadis Rasulullah SAW.
Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Drs KH Amidhan menyatakan keutamaan ibadah haji yang mabrur. Ia lalu mengutip sebuah sabda Rasulullah SAW yang artinya: ''Haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.''
Menurut Amidhan, memang balasan surga adanya di akhirat. Namun sesungguhnya, balasan di dunia pun tetap ada yakni dalam perilaku yang berubah dan lebih baik. ''Seseorang yang ibadah hajinya meraih predikat mabrur, akan terlihat sekembalinya ke Tanah Air. Ia berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan bukan untuk mencari status. Jadi, niat dan hati harus lurus semata karena Allah SWT,'' jelasnya, Rabu (14/11).
Sebaliknya, sambung Amidhan, seorang jamaah haji yang ternyata sama sekali tidak ada perubahan setelah dan sebelum berangkat ke Tanah Suci, maka bisa dikatakan ia berpredikat haji mardud (haji yang ditolak). ''Dan ini gampang mengenalinya. Misalnya kebiasaan shalatnya yang bolong-bolong, masih tetap. Begitu juga sikapnya kepada orang-orang yang tak mampu yang ada di sekitarnya, dia masih kurang peduli. Jelas, ini bukanlah perilaku haji mabrur,'' jelas Amidhan.
Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Ulum Sawangan Depok KH Drs Anwar Hidayat SH menjelaskan predikat haji yang mabrur hanya bisa diraih dengan niat dan hati yang lurus semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT di Tanah Suci. ''Jadi hati harus benar-benar lurus, tidak boleh ada sedikit pun untuk kepentingan lainnya dalam melaksanakan ibadah haji, ujar Kiai Anwar.
Karena itu, kata dia, semua atribut duniawi harus ditinggalkan di Tanah Air. ''Semua atribut dunia mulai pangkat, jabatan dan harta, harus ditinggalkan di Tanah Air dan tidak perlu dibawa ke Tanah Suci. Kita harus benar-benar ikhlas melakukan taubat seperti yang dilakukan Nabi Adam AS setelah melakukan kedzaliman,'' jelasnya.
Taubat yang semata-mata untuk meraih ampunan dari Yang Mahakuasa, dilakukan Nabi Adam AS selama 40 tahun di Padang Arafah. ''Bayangkan untuk satu kesalahan dan kedzaliman, Nabi Adam melakukan taubat di Arafah selama 40 tahun dengan sedikit pun tidak berani mengangkat kepalanya. Dengan penuh rasa malu dan tak henti-hentinya Nabi Adam AS memohon kepada Allah SWT untuk diampuni atas kedzaliman yang telah diperbuatnya.
Sumber: www.mualaf.com
Fiqih Ibadah Haji
Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:
??? ???? ???? ? ????? ??? ???????
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz dzariyat:56)
kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.
Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.
1. Definisi Haji
a. Secara Etimologi
Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]
b. Secara terminologi syariat
Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.
2. Dalil Pensyari’atannya
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.
Adapun dalil dari Al-Qur’an:
???? ??? ????? ?? ????? ?? ?????? ???? ?????? ??? ??? ??? ???? ??? ?? ?????????
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)
dan firman Allah Ta’ala
?????? ???? ??????? ??? ??? ?????? ??? ?????? ?? ????? ??? ?????? ?????? ??? ???? ????? ???? ??? ??? ???? ?????? ?? ?? ???? ?? ???? ????? ?? ???? ?? ???? ?? ??? ???? ????? ??? ???? ??????? ??? ???? ??? ?????? ?? ????? ??? ?? ??? ????? ????? ???? ?? ???? ????? ??? ????? ??? ???? ????? ??? ??? ?? ??? ???? ????? ?????? ?????? ?????? ???? ??????? ?? ???? ???? ??????
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)
Dalil dari As-Sunnah:
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
????? ???? ???? ???? ?????? ????? ?? ??? ???? ????? ???? ?????
“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim)
Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
??? ??????? ??? ??? ????? ?? ?? ??? ??? ???? ??? ?????? ???? ???? ????? ?????? ?????? ?????? ??? ????? ???? ?????
“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’
Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]
3. Syarat-syarat haji
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5. Merdeka
4. Miqat-miqat untuk haji
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu.[5] Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani. Adapun miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:
1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.
2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.
3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah
Dan yang rajih -wallahu’alam- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Ta’ala:
???? ???? ??????? ??? ??? ???? ???? ??? ??? ??? ???? ??? ???? ?? ???? …… ?????
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)
dan firman Allah Ta’ala :
????? ?? ???? ?????? ??? ????? ??? ???? ?????? ?? ???? ???? ?? ????????
“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.” (QS At-Taubah 9:3)
Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (????) dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (????) jamak dari (???) dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (???) masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil syar’i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.
Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.
Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
??? ???? ???? ???? ??????? ?? ??????? ????? ????? ?????? ????? ????? ??? ????? ????? ????? ??? ?? ??? ??? ??? ????? ?? ??? ????? ??? ??? ???? ???? ? ?????? ??? ??? ????? ???? ?? ???? ????? ??? ??? ????? ????
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.” (H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)
Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang setara kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui Yalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.
Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.[8] Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu?
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:
?? ???? ???? ??? ???? ?????? ??? ?????
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]
b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiallahu’anhu:
??????? ????? ?? ??????
“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
Yang rajih –wallahu’alam- bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.
Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk berihram dari Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah,
a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.
b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
???? ??? ????? ?? ??? ?????
“Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).
Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti penduduk ar-Rauha’, penduduk Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: “Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia berihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah setelah haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:
????? ???? ???? ?? ???? ????? ??????? ?? ??????
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)
Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati miqat-miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:
1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan berihram darinya.
2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.
3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat
b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau memilih miqat yang terdekat dengannya.
Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:
1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:
a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
??? ?? ???? ??? ?? ??? ??????
“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat masuk makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”
b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi’i.
Mereka berdalil sebagai berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
??? ???? ???? ? ??????
“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)
Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk makkah
Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)
Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.
Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.
2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat, masalah ini ada dua gambaran:
a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.
b.Tidak memiliki udzur syar’i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.
3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi’iyah
c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.
5. Jenis-jenis Manasik Haji
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1. Ifrad
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.
Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
2. Tamattu’
Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.
3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “???? ????? ????? ” dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:
?? ?? ??? ?????? ??????? ? ?? ???? ?? ???
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut:
???? ????? ???? ??????
“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)
c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:
Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:
??? ???? ???? Shallallahu’alaihi Wasallam ?????
“Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.
dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:
?? ?? ??? ?????? ??????? ? ?? ???? ?? ???
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)
??? ?????? ?? ???? ??? ??? ???????
“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.
Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.
Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata Syaikhul Islam: “Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama”
Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:
1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, ‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi’i.
2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:
Hadits Anas, beliau berkata:
???? ???? ???? ??? ??? ??????: ???? ???? ? ????? ???? ???? ? ???? (???? ????)
“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“ (Mutafaqun Alaih)
Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)
Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:
???? ????? ???? ??? ????? ??? ??? ??? ??? ???? ???? ????? (???? ???????)
“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)
Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.
3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:
- Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan haji ifrad
- Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
- Amalan Khulafaur Rasyidin
Sedangkan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat pertama dengan dalil:
a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:
?? ??? ?? ?????????? ????????? ????
“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)
b. Hadits Aisyah:
????? ?? ???? ???? ??? ???? ??? ??? ????? ???? ???? ??? ?????? ?????? ???? ???? ???? ?? ?? ??? ??? ?????? ?? ???? ???? ??? ?? ?? ??? ??? ????? ? ???? ?? ???? ?????? ???????
“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji, ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)
c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.
Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.
d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam
?? ??????? ?? ???? ?? ??????? ?? ??? ????? ? ??????? ????
“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”. (H.R Muslim Ahmad no. 6/175)
e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah:
???? ??? ? ?? ????? ????: ?? ????? ?? ???? ???? ???? ???? ?????? ??? ???? ???? ??? ???? ????? ???? ???? ?? ???????
“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim)
Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya – ????? ???? -
Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tamaRadhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama”
Diantara Asmaul Husna yang dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-Hakim yang bermakna : “Yang menetapkan Hukum, atau Yang mempunyai sifat Hikmah, di mana Allah tidak berkata dan bertindak dengan sia-sia. Oleh karena itulah semua syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai kebaikan yang besar dan manfaat yang banyak bagi hamba-Nya di dunia seperti kebagusan hati, ketenangan jiwa dan kebaikan keadaan. Juga akibat yang baik dan kemenangan yang besar di kampung kenikmatan (akhirat) dengan melihat wajah-Nya dan mendapatkan ridha-Nya.
Demikian pula haji, sebuah ibadah tahunan yang besar yang Allah syari’atkan bagi para hamba-Nya, mempunyai berbagai manfaat yang besar dan tujuan yang besar pula, yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Dan diantara hikmah ibadah haji ini adalah.
[1]. Mengikhlaskan Seluruh Ibadah
Beribadah semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghadapkan hati kepada-Nya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang diibadahi dengan haq, kecuali Dia dan bahwa Dia adalah satu-satunya pemilik nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang mulia. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada tandingan-Nya.
Dan hal ini telah diisyaratkan dalam firman-Nya.
“Artinya : Dan ingatlah ketika Kami menempatkan tempat Baitullah untuk Ibrahim dengan menyatakan ; “Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apapun dan sucikan rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, beribadah, ruku dan sujud” [Al-Hajj : 26]
Mensucikan rumah-Nya di dalam hal ini adalah dengan cara beribadah semata-mata kepada Allah di dekat rumah-Nya (Ka’bah) yang mulia, mebersihkan sekitar Ka’bah dari berhala-berhala, patung-patung, najis-najis yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan serta dari segala hal yang mengganggu orang-orang yang sedang menjalankan haji atau umrah atau hal-hal lain yang menyibukkan (melalaikan, -pent) dari tujuan mereka.
[2]. Mendapat Ampunan Dosa-Dosa Dan Balasan Jannah
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Satu umrah sampai umrah yang lain adalah sebagai penghapus dosa antara keduanya dan tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali jannah” [HR Bukhari dan Muslim, Bahjatun Nanzhirin no. 1275]
“Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa barang siapa berhaji ke Baitullah ini karena Allah, tidak melakukan rafats dan fusuuq, niscaya ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya” [HR Bukhari]
Rafats : jima’ ; pendahuluannya dan ucapan kotor, Fusuuq : kemaksiatan
Sesungguhnya barangsiapa mendatangi Ka’bah, kemudian menunaikan haji atau umrah dengan baik, tanpa rafats dan fusuuq serta dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosanya dan menuliskan jannah baginya. Dan hal inilah yang didambakan oleh setiap mu’min dan mu’minah yaitu meraih keberuntungan berupa jannah dan selamat dari neraka.
[3]. Menyambut Seruan Nabi Ibrahima Alaihissalam
“Dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”[Al-Hajj : 27]
Nabi Ibrahim Alaihissalam telah menyerukan (agar berhaji) kepada manusia. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki (untuk bisa) mendengar seruan Nabi Ibrahim Alaihissalam tersebut dan menyambutnya. Hal itu berlangsung semenjak zaman Nabi Ibrahim hingga sekarang.
[4]. Menyaksikan Berbagai Manfaat Bagi Kaum Muslimin
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Agar supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [Al-Hajj : 28]
Alah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan manfaat-manfaat dengan muthlaq (secara umum tanpa ikatan) dan mubham (tanpa penjelasan) karena banyaknya dan besarnya menafaat-manfaat yang segera terjadi dan nanti akan terjadi baik duniawi maupun ukhrawi.
Dan diantara yang terbesar adalah menyaksikan tauhid-Nya, yakni mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. Mereka datang dengan niat mencari wajah-Nya yang mulia bukan karena riya’ (dilihat orang lain) dan juga bukan karena sum’ah (dibicarakan orang lain). Bahkan mereka betauhid dan ikhlas kepada-Nya, serta mengikrarkan (tauhid) di antara hamba-hamba-Nya, dan saling menasehati di antara orang-orang yang datang (berhaji dan sebagainya,-pent) tentangnya (tauhid).
Mereka thawaaf mengelilingi Ka’bah, mengagungkan-Nya, menjalankan shalat di rumah-Nya, memohon karunia-Nya, berdo’a supaya ibadah haji mereka diterima, dosa-dosa mereka diampuni, dikembalikan dengan selamat ke nergara masing-masing dan diberi anugerah kembali lagi untuk berdo’a dan merendah diri kepda-Nya.
Mereka mengucapkan talbiyah dengan keras sehingga di dengar oleh orang yang dekat ataupun yang jauh, dan yang lain bisa mempelajarinya agar mengetahui maknanya, merasakannya, mewujudkan di dalam hati, lisan dan amalan mereka. Dan bahwa maknanya adalah : Mengikhlaskan ibadah semata-mata untuk Allah dan beriman bahwa Dia adalah ‘ilah mereka yang haq, Pencipta mereka, Pemberi rizki mereka, Yang diibadahi sewaktu haji dan lainnya.
[5]. Saling Mengenal Dan Saling Menasehati
Dan diantara hikmah haji adalah bahwa kaum muslimin bisa saling mengenal dan saling berwasiat dan menasehati dengan al-haq. Mereka datang dari segala penjuru, dari barat, timur, selatan dan utara Makkah, berkumpul di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tua, di Arafah, di Muzdalifah, di Mina dan di Makkah. Mereka saling mengenal, saling menasehati, sebagian mengajari yang lain, membimbing, menolong, membantu untuk maslahat-maslahat dunia akhirat, maslahat taklim tata cara haji, shalat, zakat, maslahat bimbingan, pengarahan dan dakwah ke jala Allah.
Mereka bisa mendengar dari para ulama, apa yang bermanfaat bagi mereka yang di sana terdapat petunjuk dan bimbingan menuju jalan yang lurus, jalan kebahagiaan menuju tauhidullah dan ikhlas kepada-Nya, menuju ketaatan yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengetahui kemaksiatan untuk dijauhi, dan supaya mereka mengetahui batas-batas Allah dan mereka bisa saling menolong di dalam kebaikan dan taqwa.
[6]. Mempelajari Agama Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dan diantara manfaat haji yang besar adalah bahwa mereka bisa mempelajari agama Allah dilingkungan rumah Allah yang tua, dan di lingkungann masjid Nabawi dari para ulama dan pembimbing serta memberi peringatan tentang apa yang mereka tidak ketahui mengenai hukum-hukum agama, haji, umrah dan lainnya. Sehingga mereka bisa menunaikan kewajiban mereka dengan ilmu.
Dari Makkah inilah tertib ilmu itu, yaitu ilmu tauhid dan agama. Kemudian (berkembang) dari Madinah, dari seluruh jazirah ini dan dari seluruh negeri-negeri Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada ilmu dan ahli ilmu. Namun semua asalnya adalah dari sini, dari lingkungan rumah Allah yang tua.
Maka wajib bagi para ulama dan da’i, dimana saja mereka berada, terlebih lagi di lingkungan rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, untuk mengajari manusia, orang-orang yang menunaikan haji dan umrah, orang-orang asli dan pendatang serta para penziarah, tentang agama dan manasik haji mereka.
Seorang muslim diperintahkan untuk belajar, bagaimanapun (keadaannya) ia, dimana saja dan kapan saja ; tetapi di lingkungan rumah Allah yang tua, urusan ini (belajar agama) lebih penting dan mendesak.
Dan di antara tanda-tanda kebaikan dan kebahagian seseorang adalah belajar tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi bersabda : “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala memperoleh kebaikan, niscaya Dia menjadikan faqih terhadap agama” [HR Bukhari, Kitab Al-Ilmi 3 bab : 14]
Di sini, di negeri Allah, di negerimu dan di negeri mana saja, jika engkau dapati seorang alim ahli syari’at Allah, maka pergunakanlah kesempatan. Janganlah engkau takabur dan malas. Karena ilmu itu tidak bisa diraih oleh orang-orang yang takabur, pemalas, lemah serta pemalu. Ilmu itu membutuhkan kesigapan dan kemauan yang tinggi.
Mundur dari menuntut ilmu, itu bukanlah sifat malu, tetapi suatu kelemahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Allah tidak malu dari kebenaran” [Al-Ahzab : 53]
Karenanya seorang mukmin dan mukminah yang berpandangan luas, tidak akan malu dalam bab ini ; bahkan ia maju, bertanya, menyelidiki dan menampakkan kemusykilan yang ia miliki, sehingga hilanglah kemusykilan tersebut.
[7]. Menyebarkan Ilmu
Di antara manfaat haji adalah menyebarkan ilmu kepada saudara-saudaranya yang melaksanakan ibadah haji dan teman-temannya seperjalanan, yang di mobil, di pesawat terbang, di tenda, di Mekkah dan di segala tempat. Ini adalah kesempatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan. Engkau bisa menyebarkan ilmu-mu dan menjelaskan apa yang engkau miliki, akan tetapi haruslah dengan apa yang engkau ketahui berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan istimbath ahli ilmu dari keduanya. Bukan dari kebodohan dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
[8]. Memperbanyak Ketaatan
Di antara manfaat haji adalah memperbanyak shalat dan thawaf, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka ; hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka berthawaf sekeliling rumah yang tua itu (Ka’bah)” [Al-Hajj : 29]
Maka disyariatkan bagi orang yang menjalankan haji dan umrah untuk memperbanyak thawaf semampunya dan memperbanyak shalat di tanah haram. Oleh karena itu perbanyaklah shalat, qira’atul qur’an, tasbih, tahlil, dzikir. Juga perbanyaklah amar ma’ruf nahi mungkar dan da’wah kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana banyak orang berkumpul dari Afrika, Eropa, Amerika, Asia dan lainnya. Maka wajib bagi mereka untuk mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.
[9]. Menunaikan Nadzar
Walaupun nadzar itu sebaiknya tidak dilakukan, akan tetapi seandainya seseorang telah bernadzar untuk melakukan ketaatan, maka wajib baginya untuk memenuhinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati-Nya” [HR Bukhari]
Maka apabila seseorang bernadzar di tanah haram ini berupa shalat, thawaf ataupun ibadah lainnya, maka wajib baginya untuk menunaikannya di tanah haram ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan hendaklah mereka menunaikan nadzar” [Al-Hajj : 29]
[10]. Menolong Dan Berbuat Baik Kepada Orang Miskin
Di antara manfaat haji adalah bisa menolong dan berbuat baik kepada orang miskin baik yang sedang menjalankan haji atau tidak di negeri yang aman ini.
Seseorang dapat mengobati orang sakit, menjenguknya, menunjukkan ke rumah sakit dan menolongnya dengan harta serta obat.
Ini semua termasuk manfaat-manfaat haji.
“Artinya : ….agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [Al-Hajj : 28]
[11]. Memperbanyak Dzikir Kepada Allah
Di negeri yang aman ini hendaklah memperbanyak dzikir kepada Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk dan bebaring, dengan tasbih (ucapan Subhanallah), hamdalah (ucapan Alhamdulillah), tahlil (ucapan Laa ilaaha ilallah), takbir (ucapan Allahu Akbar) dan hauqallah (ucapan Laa haula wa laa quwata illa billah).
“Artinya : Dari Abu Musa Al-As’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Perumpamaan orang yang mengingat Rabb-nya dan yang tidak mengingat-Nya adalah sebagai orang hidup dan yang mati”. [HR Bukhari, Bahjatun Nadzirin no. 1434]
[12]. Berdo’a Kepada-Nya
Di antara manfaat haji, hendaknya bersungguh-sungguh merendahkan diri dan terus menerus berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar Dia menerima amal, membereskan hati dan perbuatan ; agar Dia menolong untuk mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya ; agar Dia menolong untuk menunaikan kewajiban dengan sifat yang Dia ridhai serta agar Dia menolong untuk berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya.
[13]. Menunaikan Manasik Dengan Sebaik-Baiknya
Di antara manfaat haji, hendaknya melaksanakannya dengan sesempurna mungkin, dengan sebaik-baiknya dan seikhlas mungkin baik sewaktu melakukan thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, berada di Muzdalifah, melempar jumrah, maupun sewaktu shalat, qira’atul qur’an, berdzikir, berdo’a dan lainnya. Juga hendaknya mengupayakannya dengan kosentrasi dan ikhlas.
[14]. Menyembelih Kurban
Di antara manfaat haji adalah menyembelih (binatang) kurban, baik yang wajib tatkala berihram tammatu dan qiran, maupun tidak wajib yaitu untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sewaktu haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkurban 100 ekor binatang. Para sahabat juga menyembelih kurban. Kurban itu adalah suatu ibadah, karena daging kurban dibagikan kepada orang-orang miskin dan yang membutuhkan di hari-hari Mina dan lainnya.
Demikianlah sebagian hikmah dari ibadah haji (rukun Islam yang ke lima) mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaatnya, dan senantiasa diberi petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta diberi kemudahan untuk menunaikannya. Amin
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun III/1419H/1999M, Disadur oleh Abu Shalihah dari Majalah Al-Furqon nomor 72 hal.18-21. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183 ]
HAJI MABRUR
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” [HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]
Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.
Pertama : Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat.
“Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]
Kedua : Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berhaji sesuai dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]
Ketiga : Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” [HR Muslim : 1015]
Keempat : Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan
“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]
Kelima : Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.
Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid (22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah bin Sholih Al-Fauzan : 12-13]
HAJI AKBAR
Pendapat yang populer dalam madzhab Syafi’i, hari “Haji Akbar” adalah hari Arafah (9 Dzul-Hijjah). Namun pendapat yang benar bahwa hari haji akbar adalah pada hari Nahr (penyembelihan kurban, yakni 10 Dzul-Hijjah], berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan rosul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar…” [At-Taubah : 3]
Dalam shahih Bukhari 8/240 dan shahih Muslim : 1347 disebutkan bahwa Abu Bakar dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma mengumumkan hal itu pada hari nahr, bukan pada hari Arafah.
Dalam sunan Abu Dawud 1945 dengan sanad yang sangat shohih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Artinya : Hari haji akbar adalah hari nahr (menyembelih kurban)”
Demikian pula yang dikatakan oleh Abu Hurairah dan sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum [Lihat Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim 1/55-56]
GANTI NAMA USAI HAJI
Soal : Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji, seperti yang banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, di mana mereka mengganti nama di Makkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah ataukah tidak?
Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila jama’ah haji Indonesia tersebut mengganti nama mereka lantaran tersebut, bukan disebabkan usai melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid Nabawi, maka hukumnya boleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia mengganti nama mereka lantaran alasan pernah di Makkah/Madinah atau usai melakukan ibadah haji, maka hal itu termasuk perkara bid’ah, bukan sunnah. [Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515]
AIR ZAM-ZAM
Al-Humaidi rahimahullah berkata : Saya pernah berada di sisi Sufyan bin Uyainah rahimahullah, lalu beliau menyampaikan kepada kami hadits.
“Artinya : Air zam-zam tergantung keinginan seorang yang meminumnya”
Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi seraya mengatakan : “Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau ceritakan kepada kami tadi tentang zam-zam adalah hadits yang shahih?” Jawab beliau : “Benar”, Lelaki itu lalu berkata : “Baru saja aku meminum seember air zam-zam dengan harapan engkau akan menyampaikan kepadaku seratus hadits”. Akhirnya Sufyan rahimahullah berkata kepadanya : “Duduklah!”, Lelaki itupun duduk, dan Sufyan rahimahullah menyampaikan seratus hadits kepadanya. [Al-Mujalasah Abu Bakar Ad-Dinawari 2/343, Juz Ma’a Zam-Zam Ibnu Hajar hal. 271]
Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya dalam menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati orang yang bertanya tersebut, alangkah semangatnya dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut untuk mendapatkannya! [Fadhlu Ma’a Zam-Zam Sayyid Bakdasy hal. 137]
ASAL HAJAR ASWAD
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hajar aswad (ketika) turun dari surga lebih putih dari pada salju, lalu dosa-dosa anak Adam membuatnya hitam” [Shahih HR Tirmidzi : 877, Ibnu Khuzaimah : 1/271, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 3/155, Ahmad 1/307, 329, 373. Lihat Silsilah Ash-Shahihah Al-Albani : 2618]
Kita beriman dengan hadits ini secara tekstual dan pasrah sepenuhnya, sekalipun orang-orang ahli filsafat mengingkarinya. [Lihat Ta’wil Mukhtalif Hadits Ibnu Qutaibah hal.542]
Sulaiman bin Khalil rahimahullah (imam dan khatib Masjidil Haram dahulu) menceritakan bahwa dirinya melihat tiga bintik berwarna putih jernih pada Hajar Aswad, lalu katanya : “Saya perhatikan bintik-bintik tadi, ternyata setiap hari berkurang warnanya” [Al-Aqdu Tsamin Al-Fasi Al-Makki 1/68, Asror wa Fadha’il Hajar Aswad Majdi Futhi Sayyid hal. 22]
Sungguh dalam hal itu terdapat pelajaran berharga bagi orang yang berakal, sebab jika demikian jadinya bekas dosa pada batu yang keras, maka bagaimana kiranya pada hati manusia?! [Fathul Bari Ibnu Hajar 3/463]
JEDDAH TERMASUK MIQOT?
Ada sebagian kalangan yang mencuatkan pendapat bahwa kota Jeddah boleh dijadikan sebagai salah satu miqot untuk jama’ah haji yang datang lewat pesawat udara atau kapal laut. Namun pendapat ini disanggah secara keras oleh Ha’iah Kibar Ulama dalam keputusan rapat mereka no. 5730, tanggal 21/10/1399 sebagai berikut.
Pertama : Fatwa tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqot bagi jama’ah haji yang datang dengan pesawat udara dan kapal laut merupakan fatwa yang batil, karena tidak bersandar pada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta ijma’ salafush shalih. Tidak ada satupun ulama kaum muslimin sebelumnya yang mendahului pendapat ini.
Kedua : Tidak boleh bagi jama’ah haji yang melewati miqot, baik lewat udara maupun laut (miqot Indonesia adalah Yalamlam, pent) untuk melampauinya tanpa ihram sebagaimana ditegaskan dalam banyak dalil dan dilandaskan oleh para ulama” [Fiqh Nawazil Al-Jizani 2/317, Tisir Alam Al-Bassam 1/572-573]
NAMA MIQOT MADINAH
Miqot penduduk Madinah atau jama’ah haji yang lewat Madinah adalah Dzul-Hulaifah [1] sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Adapun penamannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di masyarakat maka hendaknya diganti. Sebab sebagaimana lafazh yang tertera dalam hadits itu lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bir Ali (sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah (Syi’ah) bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah bertarung dengan jin di sumur tersebut, shingga karena itulah disebut Bir Ali.
Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan batilnya cerita tersebut, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah 8/161, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 2/344, Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/498, Mula Ali Al-Qari dalam Al-Maslak Al-Mutaqossith hal. 79, dan lainnya. [Qashashun La Tatsbutu Masyhur Hasan Salman 7/95-119]
DZIKIR KETIKA THAWAF
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Disunnahkan ketika thawaf untuk berdzikir dan berdo’a dengan do’a-do’a yang disyariatkan. Kalau mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak ada do’a tertentu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari perintahnya, ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan boleh berdo’a dengan umumnya do’a-do’a yang disyari’atkan. Adapun yang disebutkan kebanyakan manusia tentng do’a khusus di bawah mizab (talang Ka’bah) dan selainnya [2] semua itu tidak ada asalnya” [Majmu Fatawa 26/122]
PROBLEM ORANG YANG BOTAK
Telah dimaklumi, dalam haji ada syarat cukur/memendekkan rambut. Namun bagaimana dengan seorang yang botak dan tidak memiliki rambut untuk dicukur? Sebagian fuqaha mengatakan. Hendaknya dia tetap melewatkan alat cukur di kepalanya. Namun pendapat yang benar ialah hal ini dibenci, syari’at bersih darinya, (perbuatan itu) sia-sia dan tiada faedahnya, sebab melewatkan alat cukur hanyalah sekedar sebagai wasilah (perantara) saja bukan tujuan utama. Kalau tujuan utamanya gugur, maka wasilah tidak bermakna lagi. Persis dengan masalah ini adalah seorang yang lahir sedangkan dzakarnya sudah terkhitan, perlukah dikhitan lagi? Ataukah melewatkan pisau padanya? Pendapat yang benar adalah tidak perlu. [Lihat Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud Ibnul Qayyim hal. 330]
TITIP SALAM UNTUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru dalam agama. Alhamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita, Dia menjadikan salam kita untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada beliau di manapun kita berada, baik di ujung timur maupun barat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Jangalah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan (jangan jadikan) rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawtlah kepadaku karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian berada”.
Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali. [Lihat Al-Mustadrak ‘Ala Mu’jam Manahi Lafzhiyyah Sulaiman Al-Khurosi hal. 231-232]
[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 05 Tahun VI/Dzul-Hijjah 1427 (Januari 2007). Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’ahd Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]Manasik Haji Untuk Anda |
Kita sering dihadapkan pada ragam ibadah yang berbeda satu dengan lainnya. Namun ketika telah mengikrarkan syahadat Muhammadarrasulullah, maka yang semestinya terpatri di benak kita adalah meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segenap aspek dan tata cara ibadah, termasuk berhaji. Pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadi dambaan setiap muslim. Predikat ‘Haji Mabrur’ yang tiada balasan baginya kecuali Al-Jannah (surga) tak urung menjadi target utama dari kepergiannya ke Baitullah. Namun, mungkinkah semua yang berhaji ke Baitullah dapat meraihnya? Tentu jawabannya mungkin, bila terpenuhi dua syarat: 1. Di dalam menunaikannya benar-benar ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena mencari pamor atau ingin menyandang gelar ‘Pak haji’ atau ‘Bu haji/hajjah’. 2. Ditunaikan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para pembaca, sebagaimana disebutkan dalam bahasan yang lalu bahwa ibadah haji ada tiga jenis; Tamattu’, Qiran, dan Ifrad. Bagi penduduk Indonesia, haji yang afdhal adalah haji Tamattu’. Hal itu dikarenakan mayoritas mereka tidak ada yang berangkat haji dengan membawa hewan kurban. Walhamdulillah, selama ini mayoritas jamaah haji Indonesia berhaji dengan jenis haji tersebut. Maka dari itu akan sangat tepat bila kajian kali ini lebih difokuskan pada tatacara menunaikan haji Tamattu’. Saudaraku, jamaah haji Indonesia –menurut kebiasaan– terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan berangkat ke kota Madinah terlebih dahulu, dan setelah tinggal beberapa hari di sana, barulah berangkat ke kota suci Makkah. Sehingga untuk jamaah haji kelompok pertama ini, start ibadah hajinya dari kota Madinah dan miqatnya adalah Dzul Hulaifah. Adapun kelompok kedua, mereka akan langsung menuju kota Makkah, dan miqatnya adalah Yalamlam yang jarak tempuhnya sekitar 10 menit sebelum mendarat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Sehingga start ibadah hajinya (niat ihramnya) sejak berada di atas pesawat terbang. Adapun manasik haji Tamattu’ yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut: 1. Bila anda telah berada di miqat, maka mandilah sebagaimana mandi janabat, dan pakailah wewangian pada tubuh anda bila memungkinkan. Mandi tersebut juga berlaku bagi wanita yang haidh dan nifas. Untuk kelompok kedua yang niat ihramnya dimulai ketika di atas pesawat terbang, maka mandinya bisa dilakukan di tempat tinggal terakhirnya menjelang penerbangannya. 2. Kemudian pakailah kain ihram yang terdiri dari dua helai (yang afdhal berwana putih); sehelai disarungkan pada tubuh bagian bawah dan yang sehelai lagi diselempangkan pada tubuh bagian atas. Untuk kelompok kedua yang niat ihramnya dimulai ketika di atas pesawat terbang, maka pakaian ihramnya bisa dikenakan menjelang naik pesawat terbang atau setelah berada di atas pesawat terbang, dengan jeda waktu yang agak lama dengan miqatnya agar ketika melewati miqat dalam kondisi telah mengenakan pakaian ihramnya. Adapun wanita, tidaklah mengenakan pakaian ihram tersebut di atas, akan tetapi mengenakan pakaian yang biasa dikenakannya dengan kriteria menutup aurat dan sesuai dengan batasan-batasan syar’i. 3. Kemudian (ketika berada di miqat) berniatlah ihram untuk melakukan umrah dengan mengatakan: لَبَّيْكَ عُمْرَةً “Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah.” Kemudian dilanjutkan dengan ucapan talbiyah: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.” Perbanyaklah bacaan talbiyah (umrah) ini dengan suara yang lantang1 sepanjang perjalanan ke Makkah, dan berhentilah dari talbiyah ketika menjelang thawaf. Hindarilah talbiyah secara bersama-sama (berjamaah), karena yang demikian itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Di antara hal-hal yang harus diperhatikan ketika berihram adalah sebagai berikut: Menjalankan segala apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti shalat lima waktu dan kewajiban-kewajiban yang lainnya. Meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di antaranya; kesyirikan, perkataan kotor, kefasikan, berdebat dengan kebatilan, dan kemaksiatan lainnya. Tidak boleh mencabut rambut atau pun kuku, namun tidak mengapa bila rontok atau terkelupas tanpa sengaja. Tidak boleh mengenakan wewangian baik pada tubuh ataupun kain ihram. Dan tidak mengapa adanya bekas wewangian yang dikenakan sebelum melafazhkan niat ihram. Tidak boleh berburu atau pun membantu orang yang berburu. Tidak boleh mencabut tanaman yang ada di tanah suci, tidak boleh meminang wanita, menikah, atau pun menikahkan. Tidak boleh menutup kepala dengan sesuatu yang menyentuh (kepala tersebut) dan tidak mengapa untuk memakai payung, berada di bawah pohon, ataupun atap kendaraan. Tidak boleh memakai pakaian yang sisi-sisinya melingkupi tubuh (baju, kaos), imamah (sorban), celana, dan lain sebagainya. Diperbolehkan untuk memakai sandal, cincin, kacamata, walkman, jam tangan, sabuk, dan tas yang digunakan untuk menyimpan uang, data penting dan yang lainnya. Diperbolehkan juga untuk mengganti kain yang dipakai atau mencucinya, sebagaimana pula diperbolehkan membasuh kepala dan anggota tubuh lainnya. Tidak boleh (bagi yang sudah berniat haji) melewati miqatnya dalam keadaan tidak mengenakan pakaian ihram. Apabila larangan-larangan ihram tersebut dilanggar, maka dikenakan dam (denda) dengan menyembelih hewan kurban (seekor kambing/sepertujuh unta/sepertujuh sapi). 4. Bila telah tiba di Makkah (di Masjidil Haram) maka pastikan telah bersuci dari hadats (sebagai syarat thawaf, menurut madzhab yang kami pilih). 5. Lalu selempangkanlah pakaian atas ke bawah ketiak kanan, dengan menjadikan pundak kanan terbuka dan pundak kiri tetap tertutup. 6. Kemudian lakukanlah thawaf sebanyak 7 putaran. Dimulai dari Hajar Aswad dengan memosisikan Ka’bah di sebelah kiri anda, sambil mengucapkan “Bismillahi Allahu Akbar.” Dari Hajar Aswad sampai ke Hajar Aswad lagi, terhitung 1 putaran. Disunnahkan berlari-lari kecil (raml) pada putaran ke-1 hingga ke-3 pada thawaf qudum. Disunnahkan pula setiap kali mengakhiri putaran (ketika berada di antara 2 rukun: Yamani dan Hajar Aswad) untuk membaca: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ “Ya Allah, limpahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari adzab api neraka.” Disunnahkan pula setiap kali tiba di Hajar Aswad untuk mencium atau memegangnya lalu mencium tangan yang digunakan untuk memegang tersebut, atau pun berisyarat saja dengan tangan (tanpa dicium), sambil mengucapkan: “Allahu Akbar”2 atau “Bismillahi Allahu Akbar”3. Disunnahkan pula setiap kali tiba di Rukun Yamani untuk menyentuh/mengusapnya tanpa dicium dan tanpa bertakbir. Dan bila tidak dapat mengusapnya maka tidak disyariatkan mengusapnya. Bila terjadi keraguan tentang jumlah putaran Thawaf, maka ambillah hitungan yang paling sedikit. 7. Seusai Thawaf, tutuplah kembali pundak kanan dengan pakaian atas anda, kemudian lakukanlah shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah) walaupun agak jauh darinya. Dan bila kesulitan (tidak memungkinkan) mendapatkan tempat di belakang Maqam Ibrahim maka tidak mengapa shalat di bagian mana saja dari Masjidil Haram. Disunnahkan pada rakaat pertama membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun, sedangkan pada rakaat kedua membaca surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlash. 8. Kemudian minumlah air zam-zam dan siramkan sebagiannya pada kepala. 9. Lalu ciumlah/peganglah Hajar Aswad bila memungkinkan, dan tidak dituntunkan untuk berisyarat kepadanya.4 10. Setelah itu pergilah ke bukit Shafa untuk bersa’i. Setiba di Shafa bacalah: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِاللهِ “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu termasuk dari syi’ar-syi’ar Allah.” (Al-Baqarah: 158) أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ “Aku memulai (Sa’i) dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni Shafa dahulu kemudian Marwah, pen.).” 11. Kemudian menghadaplah ke arah Ka’bah (dalam keadaan posisi masih di Shafa), lalu ucapkanlah: اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya segala kerajaan dan pujian, Dzat yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, yang telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya dan menghancurkan orang-orang bala tentara kafir tanpa bantuan siapa pun.” Ini dibaca sebanyak 3 kali. Setiap kali selesai dari salah satunya, disunnahkan untuk berdoa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala apa yang kita inginkan. 12. Setelah itu berangkatlah menuju Marwah, dan ketika lewat di antara dua tanda hijau percepatlah jalan anda lebih dari biasanya. Setiba di Marwah lakukanlah seperti apa yang dilakukan di Shafa (sebagaimana yang terdapat pada point ke-11 di atas). Dengan demikian telah terhitung satu putaran. Lakukanlah yang seperti ini sebanyak 7 kali (dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah). 13. Seusai Sa’i, lakukanlah tahallul dengan mencukur rambut kepala secara merata (bagi pria) dan bagi wanita dengan memotong sepanjang ruas jari dari rambut yang telah disatukan. Dengan bertahallul semacam ini, maka anda telah menunaikan ibadah umrah dan diperbolehkan bagi anda segala sesuatu dari mahzhuratil Ihram (hal-hal yang dilarang ketika berihram). 14. Tanggal 8 Dzul Hijjah (hari Tarwiyah), merupakan babak kedua untuk melanjutkan rangkaian ibadah haji anda. Maka mandilah dan pakailah wewangian pada tubuh serta kenakan pakaian ihram. 15. Setelah itu berniatlah ihram untuk haji dari tempat tinggal anda di Makkah, seraya mengucapkan: لَبَّيْكَ حَجًّا “Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan ibadah haji.” Kemudian lantunkanlah ucapan talbiyah5: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.” Dengan masuknya ke dalam niat ihram haji ini, berarti anda harus menjaga diri dari segala mahzhuratil ihram sebagaimana yang terdapat pada point ke-3. 16. Kemudian berangkatlah menuju Mina untuk mabit (menginap) di sana. Setiba di Mina kerjakanlah shalat-shalat yang 4 rakaat (Dzuhur, Ashar, dan ‘Isya) menjadi 2 rakaat (qashar) dan dikerjakan pada waktunya masing-masing (tanpa dijama’). 17. Ketika matahari telah terbit di hari 9 Dzul Hijjah, berangkatlah menuju Arafah (untuk wukuf). Perbanyaklah talbiyah, dzikir dan istighfar selama perjalanan anda menuju Arafah. 18. Setiba di Arafah (pastikan bahwa anda benar-benar berada di dalam areal Arafah), manfaatkanlah waktu anda dengan memperbanyak doa sambil menghadap kiblat dan mengangkat tangan, serta dzikrullah. Karena saat itu anda sedang berada di tempat yang mulia dan di waktu yang mulia (mustajab) pula. Sebaik-baik bacaan yang dibaca pada hari itu adalah: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya segala kerajaan dan pujian, dan Dia adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmidzi no. 3585, dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no.1503) Untuk selebihnya anda bisa membaca tuntunan doa-doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang anda kehendaki. Lakukanlah amalan-amalan mulia di atas hingga matahari terbenam. Adapun shalat Dzuhur dan Ashar di Arafah, maka keduanya dikerjakan di waktu Dzuhur (jama’ taqdim) 2 rakaat - 2 rakaat (qashar), dengan satu adzan dan dua iqamat. 19. Ketika matahari terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah dengan tenang sambil selalu melantunkan talbiyah. Setiba di Muzdalifah, kerjakanlah shalat Maghrib dan ‘Isya di waktu ‘Isya (jama’ ta`khir) dan diqashar (Maghrib 3 rakaat, ‘Isya 2 rakaat), dengan satu adzan dan dua iqamat. Kemudian bermalamlah di sana hingga datang waktu shubuh. Seusai mengerjakan shalat shubuh, perbanyaklah doa dan dzikir sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan, hingga hari nampak mulai terang (sebelum matahari terbit). 20. Kemudian (sebelum matahari terbit), berangkatlah menuju Mina sambil terus bertalbiyah. Bila ada para wanita atau pun orang-orang lemah yang bersama anda, maka diperbolehkan bagi anda untuk mengiringi mereka menuju Mina di pertengahan malam. Namun melempar jumrah tetap dilakukan setelah matahari terbit. 21. Ketika tiba di Mina (tanggal 10 Dzul Hijjah) kerjakanlah hal-hal berikut ini: Lemparlah jumrah Aqabah dengan 7 batu kerikil (sebesar kotoran kambing) dengan bertakbir pada tiap kali lemparan. Pastikan setiap lemparan yang anda lakukan mengenai sasarannya. Sembelihlah Hadyu (hewan kurban), makanlah sebagian dagingnya serta shadaqahkanlah kepada orang-orang fakir yang ada di sana. Boleh juga penyembelihan ini diwakilkan kepada petugas resmi dari pemerintah Saudi Arabia yang ada di Makkah dan sekitarnya. Bila tidak mampu membeli atau menyembelih hewan kurban, maka wajib puasa tiga hari di hari-hari haji (boleh dilakukan di hari-hari Tasyriq, namun yang lebih utama dilakukan sebelum tanggal 9 Dzul Hijjah/hari Arafah6) dan tujuh hari setelah pulang ke kampung halaman. Potong atau cukurlah seluruh rambut kepala anda secara merata, dan mencukur habis lebih utama. Adapun wanita cukup memotong sepanjang ruas jari dari rambut kepalanya yang telah disatukan. Demikianlah urutan paling utama dari sekian amalan yang dilakukan di Mina pada tanggal 10 Dzul Hijjah tersebut, namun tidak mengapa bila didahulukan yang satu atas yang lainnya. 22. Bila anda telah melempar jumrah Aqabah dan menggundul (atau mencukur rambut), maka berarti anda telah bertahallul awal. Sehingga diperbolehkan bagi anda untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang ketika berihram, kecuali satu perkara yaitu menggauli isteri. 23. Pakailah wewangian, kemudian pergilah ke Makkah untuk melakukan thawaf ifadhah/thawaf haji (tanpa lari-lari kecil pada putaran ke-1 hingga ke-3), berikut Sa’i-nya. Dengan selesainya amalan ini, berarti anda telah bertahallul tsani dan diperbolehkan kembali bagi anda seluruh mahzhuratil ihram. Catatan Penting: Thawaf ifadhah boleh diakhirkan, dan sekaligus dijadikan sebagai thawaf wada’ (thawaf perpisahan) yang dilakukan ketika hendak meninggalkan kota suci Makkah. 24. Setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzul Hijjah tersebut, kembalilah ke Mina untuk mabit (bermalam) di sana selama tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah (hari-hari tasyriq). Tidak mengapa bagi anda untuk bermalam 2 malam saja (tanggal 11 dan 12-nya/nafar awal). 25. Selama 2 atau 3 hari dari keberadaan anda di Mina tersebut, lakukanlah pelemparan pada 3 jumrah yang ada; Sughra, Wustha, dan Aqabah (Kubra). Pelemparan jumrah pada hari-hari itu dimulai setelah tergelincirnya matahari (setelah masuk waktu Dzuhur), hingga waktu malam. Caranya: Sediakan 21 butir batu kerikil (sebesar kotoran kambing). Kemudian pergilah ke jumrah Sughra dan lemparkanlah ke arahnya 7 butir batu kerikil (satu demi satu) dengan bertakbir pada setiap kali pelemparan. Pastikan lemparan tersebut masuk ke dalam sasaran. Bila ternyata tidak masuk, maka ulangilah lemparan tersebut walaupun dengan batu yang didapati di sekitar anda. Setelah selesai, majulah sedikit ke arah kanan, lalu berdirilah menghadap kiblat dan angkatlah kedua tangan anda untuk memohon (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala apa yang diinginkan. Lalu pergilah menuju jumrah Wustha. Setiba di jumrah Wustha, lakukanlah seperti apa yang anda lakukan di jumrah Sughra. Setelah selesai, majulah sedikit ke arah kiri, berdirilah menghadap kiblat, dan angkatlah kedua tangan anda untuk memohon (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala apa yang diinginkan. Lalu pergilah menuju jumrah Aqabah. Setiba di jumrah Aqabah, lakukanlah seperti apa yang anda lakukan di jumrah Sughra dan Wustha. Setelah itu, tinggalkanlah jumrah Aqabah tanpa melakukan doa padanya. 26. Bila anda ingin mabit 2 malam saja di Mina (tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah), maka keluarlah dari Mina sebelum terbenamnya matahari tanggal 12 Dzul Hijjah, tentunya setelah melempar 3 jumrah yang ada. Namun jika matahari telah terbenam dan anda masih berada di Mina, maka wajib untuk bermalam lagi dan melempar 3 jumrah di hari ke-13-nya (yang afdhal adalah mabit 3 malam di Mina/nafar tsani). Diperbolehkan bagi orang yang sakit atau pun lemah yang benar-benar tidak mampu melakukan pelemparan untuk mewakilkan pelemparannya kepada yang dapat mewakilinya. Sebagaimana diperbolehkan pula bagi orang yang mewakili, melakukan pelemparan untuk dirinya kemudian untuk orang yang diwakilinya diwaktu dan tempat yang sama (dengan batu yang berbeda). 27. Dengan selesainya anda dari kegiatan melempar 3 jumrah pada hari-hari tersebut (baik mengambil nafar awwal atau pun nafar tsani), berarti telah selesai pula dari kewajiban mabit di Mina. Sehingga diperbolehkan bagi anda untuk meninggalkan kota Mina dan kembali ke hotel atau maktab masing-masing yang ada di kota Makkah. 28. Bila anda hendak meninggalkan kota Makkah (baik yang akan melanjutkan perjalanan ke kota Madinah atau pun yang akan melanjutkan perjalanan ke tanah air), maka lakukanlah thawaf wada’ dengan pakaian biasa saja/bukan pakaian ihram dan tanpa Sa’i, kecuali bagi anda yang menjadikan thawaf ifadhah sebagai thawaf wada’nya maka harus bersa’i. Demikianlah bimbingan manasik haji Tamattu’ yang kami ketahui berdasarkan dalil-dalilnya yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Semoga taufiq dan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu mengiringi kita semua, sehingga diberi kemudahan untuk meraih predikat haji mabrur, yang tiada balasan baginya kecuali Al-Jannah. Amin Ya Mujibas Sa`ilin. Sumber Bacaan: 1. At-Tahqiq wal-Idhah Lilkatsir Min Masa`ilil Hajji wal Umrah waz Ziyarah, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. 2. Hajjatun Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam Kama Rawaha ‘Anhu Jabir radhiyallahu ‘anhu, karya Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani. 3. Manasikul Hajji Wal ‘Umrah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. 4. Al-Manhaj limuridil ‘Umrah wal Hajj, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. 5. Shifat Hajjatin Nabi, karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu. 6. Dalilul Haajji wal Mu’tamir wa Zaa‘iri Masjidir Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Majmu’ah minal ‘Ulama, terbitan Departemen Agama Saudi Arabia. 1 Para ulama sepakat bahwasanya kaum wanita tidak diperbolehkan (makruh) mengeraskan talbiyahnya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi. Lihat Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal. 51, catatan kaki no. 10. 2 Ini merupakan pendapat Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal.57, catatan kaki no. 23. 3 Ini merupakan pendapat Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Lihat At-Tahqiq wal-Idhah hal. 39. 4 Sebagaimana penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin dalam Manasikul Hajji wal ‘Umrah. 5 Perbanyaklah bacaan talbiyah ini selama perjalanan haji anda, hingga akan melempar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzul Hijjah (hari Idul Adha) 6 Berdasarkan riwayat Al-Bukhari, dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membolehkan bershaum di hari Tasyriq kecuali bagi seseorang yang berhaji (Tamattu’/Qiran, pen.) dan tidak mampu menyembelih hewan kurban. (Lihat Irwa`ul Ghalil, juz 4 hal. 132, dan keterangan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Manasik Al-Hajji wal ‘Umrah) |
Haji Tammatu’ ialah berihram untuk umrah pada bulan-bulan haji (Syawal, Dzul Qa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah), dan diselesaikan umrahnya pada waktu-waktu itu. Kemudian berihram untuk haji dari Mekkah atau sekitarnya pada hari Tarwiyah (tgl 8 Dzul Hijjah) pada tahun umrahnya tersebut. Haji Qiran ialah, berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan terus berihram (tidak Tahallul) kecuali pada hari nahr (tgl 10 Dzul Hijjah). Atau berihram untuk umrah terlebih dahulu, kemudian sebelum melakukan tawaf umrah memasukkan niat haji. Haji Ifrad ialah, berihram untuk haji dari miqat, atau dari Mekkah bagi penduduk Mekkah, atau dari tempat lain di daerah miqat bagi yang tinggal disitu, kemudian tetap dalam keadaan ihramnya sampai hari nahr apabila ia membawa binatang kurban. Jika tidak membawanya maka dianjurkannya untuk membatalkan niat hajinya dan menggantinya dengan umrah, selanjutnya melakukan tawaf, sa’i, mencukur rambut dan bertahallul, sebagaiman perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang berihram haji tetapi tidak membawa binatang kurban. Begitu pula bagi yang melakukan haji Qiran, apabila ia tidak membawa binatang kurban, dianjurkannya untuk membatalkan niat Qiran-nya itu, dan menggantinya menjadi Umrah, sebagaimana yang tersebut diatas. Ibadah haji yang lebih utama ialah Haji Tamattu’ bagi yang tidak membawa binatang kurban, oleh karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu dan menekankannya kepada para sahabatnya.
CARA MELAKUKAN UMRAH
Pertama
Apabila anda telah sampai di miqat, maka mandilah dan pakailah wangi-wangian jika hal itu memungkinkan, kemudian kenakanlah pakaian ihram (sarung dan selendang). Dan lebih utama apabila berwarna putih. Bagi wanita boleh mengenakan pakaian yang ia sukai, asal tidak menampakkan perhiasan. Kemudian berniat ihram untuk umrah seraya mengucapkan :“Labbaika ‘umratan, Labbaika allahuma labbaika, labbaika laa syariikalaka labbaika, innal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariika laka”. “Artinya : Ku sambut panggilan-Mu untuk melaksanakan Umrah. Ku sambut panggilan-Mu ya Ilahi, Ku sambut panggilan-Mu, Ku sambut pangggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Ku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, ni’mat dan kerajaan adalah milk-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”Bagi kaum pria hendaknya mengucapkan talbiyah ini dengan suara keras, sedangkan bagi wanita hendaknya mengucapkan dengan suara pelan. Kemudian perbanyaklah membaca talbiyah. dzikir dan istighfar serta menganjurkan berbuat baik dan mencegah kemungkaran.
Kedua.
Apabila anda telah sampai Mekkah. Maka lakukanlah Tawaf di Ka’bah sebanyak tujuh kali putaran, anda mulai dari Hajar Aswad sambil bertakbir dan anda sudahi di Hajar Aswad itu pula. Dan bacalah dzikir serta do’a yang anda kehendaki, dan sebaiknya anda sudahi setiap putaran dengan bacaan.“Rabbanaa aatinaa fiid dunyaa hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaa baannari” “Artinya : Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksaan api neraka”.Kemudian setelah Tawaf, lakukan shalat dua raka’at di belakang makam Ibrahim walaupun agak jauh dari tempat tersebut jika hal itu mungkin. Dan jika tidak, maka lakukanlah di tempat lain di dalam Masjid.
Ketiga
Kemudian keluarlah menuju Safa dan naiklah ke atasnya sambil menghadap Ka’bah, bacalah tahmid serta takbir tiga kali sambil mengangkat kedua tangan, dan bacalah do’a serta ulangilah setiap do’a tiga kali sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ucapkanlah :“La ilaha illallah wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir, la ilaha illallah wahdahu anjaza wa’dah, wa nashara ‘abdah wahazamal ahzaaba wahdah” “Artinya : Tiada Tuhan yang patut di sembah selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, hanya bagi-Nya segala kerajaan, dan hanya bagi-Nya segala puji, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah yang Esa, yang menepati janji-Nya, dan memenangkan hamba-Nya serta telah menghancurkan golongan kafir, dengan tanpa dibantu siapapun”.Ucapkanlah bacaan tersebut tiga kali, dan tak mengapa apabila anda baca kurang dari bilangan itu. Kemudian turunlah dan lakukanlah Sa’i Umrah sebanyak tujuh kali putaran dengan berjalan cepat diantara tanda hijau, dan berjalan biasa sebelum dan sesudah tanda tersebut, kemudian naiklah anda ke atas Marwah, dan bacalah tahmid dan takbir tiga kali apabila mungkin, sebagaimana yang anda lakukan di Safa. Dalam Tawaf atau Sa’i, tidak ada bacaan dzikir wajib yang khsusus untuk itu. Akan tetapi dibolehkan bagi yang melakukan Tawaf atau Sa’i untuk membaca dzikir dan do’a atau bacaan Al-Qur’an yang mudah baginya, dengan mengutamakan bacaan-bacaan dzikir dan do’a yang bersumber dari tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keempat
Bila anda telah selesai melakukan Sa’i, maka cukurlah dengan bersih atau pendekkan rambut kepala anda. Dengan demikian selesailah Umrah anda dan selanjutnya anda diperbolehkan melakukan hal hal yang tadinya menjadi larangan. Apabila anda melakkan haji Tamattu’, maka wajib bagi anda menyembelih kurban pada hari Nahr, yaitu seekor kambing atau sepertujuh onta/sapi, jika anda tidak mendapatkannya, maka anda wajib melakukan puasa sepuluh hari ; tiga hari diwaktu haji, dan tujuh hari setelah anda pulang ke keluarga anda. Dan lebih utama, anda lakukan puasa tiga hari itu sebelum hari Arafah, jika anda melakukan haji Tamattu’ atau Qiran.
Cara Melakukan Haji
Pertama
Jika anda melakukan haji Ifrad atau Qiran, hendaklah anda berihram dari miqat yang anda lalui. Dan jika anda tinggal di daerah miqat, maka berihramlah menurut niat anda dari tempat tersebut. Dan jika anda melakukan haji Tammattu’, maka berihramlah dari tempat tinggal anda hari Tarwiyah, yaitu pada tanggal 8 Dzul Hijjah. Mandilah dan pakailah wangi-wangian lebih dahulu sekiranya hal itu memungkinkan, kemudian kenakanlah pakaian ihram, lalu berniatlah dengan membaca :“Labbaika hajan, Labbaika allahumma labbaika, Labbaika laa syarikalaka labbaika, innalhamda wani’mata laka walmulka, laa syarikalaka”. “Artinya : Ku sambut panggilan-Mu untuk menunaikan haji, Ku sambut panggilan-Mu ya Illahi, Ku sambut panggilan-Mu. Ku sambut panggilan-Mu, Kau yang tiada sekutu bagi-Mu, Ku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, ni’mat dan kerajaan milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu”.
Kedua
Kemudian keluarlah menuju Mina, lakukanlah shalat Zhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh disana, dengan cara mengqashar shalat yang empat raka’at (Zhuhur, Asar dan Isya’) menjadi dua raka’at pada waktunya masing-masing, tanpa jama’.
Ketiga
Apabila matahari telah terbit pada hari kesembilan Dzul Hijjah (esoknya), maka berangkatlah anda menuju Arafah dengan tanpa tergesa-gesa, dan hindarilah jangan sampai mengganggu sesama jama’ah haji. Dan di Arafah lakukan shalat Zhuhur dan Asar dengan jama’ Taqdim dan Qashar, dengan satu kali adzan dan dua kali iqamat. Tentang wukuf ini, anda harus yakin bahwa anda benar-benar telah berada di dalam batas Arafah (bukan di luarnya). Dan perbanyaklah disini dzikir dan do’a, sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan, mencontoh apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padang Arafah seluruhnya merupakan tempat wukuf, dan hendaklah anda tetap berada disana hingga terbenam matahari.
Keempat.
Apabila matahari telah terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah dengan tenang sambil membaca talbiyah, dan hindarilah jangan sampai mengganggu sesama muslim. Sesampainya anda di Muzdalifah, lakukanlah shalat Maghrib dan Isya’ dengan jama’ dan qasar. Dan hendaklah anda menetap disana hingga anda melakukan shalat Subuh. Setelah selesai shalat Subuh perbanyaklah do’a dan dzikir hingga hari tampak mulai terang, sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima
Kemudian berangkatlah sebelum matahari terbit menuju Mina sambil membaca talbiyah. Bagi yang berudzur, seperti wanita dan orang-orang yang lemah, boleh berangkat menuju Mina pada malam itu juga setelah lewat pertengahan malam. Dan pungutlah di Mudzalifah batu-batu kecil sebanyak tujuh biji saja untuk melempar Jamrah Aqabah, adapun yang lain cukup anda pungut dari Mina. Demikian juga tujuh batu yang akan anda pergunakan untuk melempar Jamrah Aqabah pada hari raya, tak mengapa bagi anda untuk memungutnya dari Mina.
Keenam
Apabila anda telah tiba di Mina, lakukanlah hal-hal dibawah ini :
Lemparlah Jamrah Aqabah, yaitu Jamrah yang terdekat dari Mekkah, dengan tujuh batu kecil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap kali lemparan.
Sembelihlah kurban jika anda berkewajiban melakukannya, dan makanlah sebagian dagingnya, serta berikan sebagian besarnya kepada orang-orang fakir.
Bercukurlah dengan bersih atau pendekkan rambut anda, akan tetapi lebih utama bagi anda adalah mencukur bersih. Sedang bagi wanita cukup menggunting ujung rambutnya kira-kira sepanjang ujung jari.
Lebih utama jika ketiga perkara ini dilakukan secara tertib. Namun tak mengapa bagi anda jika anda dahulukan yang satu atas yang lain. Apabila anda telah selesai melempar dan mencukur, berarti anda telah melaksanakan Tahallul Awal. Dan selanjutnya anda boleh mengenakan pakaian biasa dan melakukan hal-hal yang tadinya menjadi larangan ihram, kecuali berhubungan dengan istri.
Ketujuh
Kemudian berangkatlah menuju Mekkah dan lakukanlah Tawaf Ifadah setelah itu lakukanlah Sa’i jika anda melakukan haji Tamattu’, ataupun anda melakukan haji Qiran atau Ifrad, akan tetapi anda belum melakukan Sa’i setelah Tawaf Qudum. Dengan demikian anda diperbolehkan mengadakan hubungan dengan isteri. Tawaf Ifadah ini boleh diakhirkan melakukannya setelah lewat hari-hari Mina, dan menuju Mekkah setelah melempar seluruh Jamrah.
Kedelapan
Setelah Tawaf Ifadah pada hari Nahr, kembalilah ke Mina. Bermalamlah di sana pada malam hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13, dan tidak mengapa jika anda bermalam hanya dua malam saja.
Kesembilan
Lemparlah ketiga Jamrah selama anda menetap dua atau tiga hari di Mina, setelah matahari tergelincir ; anda mulai dari Jamrah Ula, yaitu yang terjauh jaraknya dari Mekkah, kemudian Jamrah Wusta (tengah), dan selanjutnya Jamrah Aqabah, setiap Jamrah dengan tujuh batu kecil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap kali lemparan. Jika anda menghendaki untuk menetap selama dua hari saja, hendaklah anda meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam di hari kedua itu. Dan jika ternyata matahari telah terbenam sebelum anda keluar dari batas Mina, maka hendaklah anda bermalam lagi pada malam hari ketiganya, dan melempar ketiga Jamrah di hari ketiga itu. Dan yang lebih utama hendaknya anda bermalam pada malam ketiga tersebut. Bagi yang sakit atau yang lemah, boleh mewakilkan kepada orang lain untuk melempar Jamrah. Dan bagi yang mewakili boleh melempar untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, kemudian untuk yang diwakilinya pada satu tempat Jamrah.
Kesepuluh
Apabila anda hendak kembali ke kampung setelah menyelesaikan segala amalan haji, lakukanlah Tawaf Wada’. Dan tiada kemurahan untuk meninggalkan Tawaf Wada’ ini, kecuali bagi wanita yang sedang datang bulan (haidh) dan yang baru melahirkan (nifas).
Disalin dari buku Petunjuk Jamaah haji dan Umrah Serta Penziarah Masjid Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengarang Kumpulan Ulama, hal 19-24, Diterbitkan dan Diedarkan oleh Departement Agama, Waqaf Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia
Segala puji bagi Allah, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Sedikit di antara kita yang mengetahui shalat yang satu ini. Shalat ini dikenal dengan shalat isyroq. Shalat isyroq sebenarnya termasuk shalat Dhuha, namun dikerjakan di awal waktu. Simak penjelasannya berikut ini.
Asal Penamaan Shalat Isyroq
Penyebutan shalat ini dengan shalat isyraq berdasarkan penamaan sahabat Ibnu 'Abbas.
Dari 'Abdullah bin Al Harits, ia berkata,
أن ابن عباس كان لا يصلي الضحى حتى أدخلناه على أم هانئ فقلت لها : أخبري ابن عباس بما أخبرتينا به ، فقالت أم هانئ : « دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيتي فصلى صلاة الضحى ثمان ركعات » فخرج ابن عباس ، وهو يقول : « لقد قرأت ما بين اللوحين فما عرفت صلاة الإشراق إلا الساعة » ( يسبحن بالعشي والإشراق) ، ثم قال ابن عباس : « هذه صلاة الإشراق »
Ibnu 'Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami menanyakan beliau pada Ummi Hani, aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah mengenai Ibnu 'Abbas.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahku sebanyak 8 raka'at.” Kemudian Ibnu 'Abbas keluar, lalu ia mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat isyroq kecuali sesaat.” (Allah berfirman yang artinya), “Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyroq (waktu pagi).”1 Ibnu 'Abbas menyebut shalat ini dengan SHALAT ISYROQ.2
Keutamaan Shalat IsyroqDari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.”3
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama'ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka'at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.”4
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Isyroq
Shalat isyroq dilakukan sebanyak dua raka'at. Gerakan dan bacaannya sama dengan shalat-shalat lainnya.
Berdasarkan hadits-hadits yang telah dikemukakan, shalat isyroq disyariatkan bagi orang yang melaksanakan shalat jama'ah shubuh di masjid lalu ia berdiam untuk berdzikir hingga matahari terbit, lalu ia melaksanakan shalat isyroq dua raka'at.
Ketika berdiam di masjid dianjurkan untuk berdzikir. Dzikir di sini bentuknya umum, bisa dengan membaca Al Qur'an,membaca dzikir, atau lebih khusus lagi membaca dzikir pagi.
Waktu shalat isyroq sebagaimana waktu dimulainya shalat Dhuha yaitu mulai matahari setinggi tombak, sekitar 15-20 menit setelah matahari terbit. Hal ini sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin5 dan Al Lajnah Ad Daimah6 mengenai pengertian matahari setingi tombak.
Faedah Berharga Lainnya dari Hadits di atas
# Dalam hadits yang telah disebutkan terdapat dorongan untuk melaksanakan shalat jama'ah shubuh di masjid.
# Dianjurkan memanfaatkan waktu pagi untuk ibadah dan bukan diisi dengan malas-malasan seperti kebiasaan sebagian muslim yang malah mengisi waktu selepas shubuh dengan tidur pagi. Sungguh sia-sia waktu jika digunakan seperti itu. Lihat pembahasan kami di sini.
# Dianjurkan berdiam setelah shalat shubuh untuk berdzikir hingga matahari terbit sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan tidak beranjak dari tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid’. Dalam bab tersebut terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in –Simak bin Harb-. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh,
أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
“Apakah engkau sering menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk?”
Jabir menjawab,
نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لاَ يَقُومُ مِنْ مُصَلاَّهُ الَّذِى يُصَلِّى فِيهِ الصُّبْحَ أَوِ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِى أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ.
“Iya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu mereka tertawa. Sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum saja.”7
# Dianjurkan berdzikir setelah shalat shubuh, bisa dengan membaca Al Qur'an atau membaca dzikir pagi.
# Keutamaan mmengerjakan shalat isyroq dua raka'at adalah mendapatkan pahala haji dan umroh. Akan tetapi shalat ini tidak bisa menggantikan ibadah haji dan umroh, namun hanya sama dalam pahala dan balasan saja.
Semoga bermanfaat dan semoga Allah menolong kita menghidupkan sunnah yang mulia ini. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan di waktu Ashar, 28 Muharram 1431 H di Wisma MTI, sekretariat YPIA, Pogung Kidul
2 HR. Al Hakim. Syaikh Bazmoul dalam Bughyatul Mutathowwi' mengatakan bahwa atsar ini hasan ligoirihi (hasan dilihat dari jalur lainnya).
3 HR. Thobroni. Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib (469) mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
4 HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
5 Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,hal. 289, Daruts Tsaroya, cetakan pertama, tahun 1424 H.
6 Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285, 23/423, Darul Ifta’.
7 HR. Muslim no. 670.
Memahami Makna Ibadah Haji
Dimensi ibadah haji yang perlu dipahami tidak hanya terfokus pada ritualnya semata, tapi juga hakikat dari seluruh ibadah yang diperintahkan Allah kepada manusia.
Rasulullah SAW pernah ber – sabda, ‘’Ambillah dari aku tata cara berhaji.’‘ Hadis Nabi tersebut menegaskan bahwa segala tata cara dalam berhaji sudah memiliki perincian maknanya masing-masing. ‘’Karena itu, para jamaah haji sangat perlu memahami makna tahapantahap an ibadah haji yang dilakukannya,’‘ kata Guru Besar IPB Bogor, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.
Ia menjelaskan, ketika kita mema – kai pakaian ihram dan meng uman – dangkan talbiyah, itu merupakan cerminan komitmen kita untuk datang memenuhi panggilan Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji. ‘’Pakaian ihram yang sama untuk seluruh jamaah haji juga memiliki makna bahwa kita semua sebagai umat Islam adalah sama di mata Allah,’‘ lanjut da’i kondang yang akrab dipanggil Kiai Didin itu.
Melaksanakan tawaf di Kabah dan berjalan mengitari Kabah sebanyak tujuh kali, lanjut Kiai Didin, memiliki makna bahwa umat Islam merupakan umat yang dinamis dan jujur. ‘’Tawaf yang dilaksanakan tujuh kali hanya di pelataran Ka’bah saja mencermin kan bahwa segala pekerjaan yang di – lakukan oleh umat Islam hendaknya selalu dilaksanakan di jalan Allah dan hanya berdasarkan petunjuk Allah SWT,’‘ tandas Ketua Umum BAZNAS itu.
Sedangkan berlari-lari kecil antara bukit Shafa den Marwah ketika sa’i, kata Didin, memiliki makna bahwa kita tidak boleh berputus asa terhadap rahmat Allah. ‘’Sama dengan Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim) yang tidak berputus asa memohonkan keselamatan anaknya dan mencarikan air untuk anaknya, Ismail yang tengah menangis kehausan,’‘ paparnya.
Bagaimana dengan tahalul? Ritual haji tersebut pun mengandung makna yang sangat dalam. ‘’Mencukur rambut merupakan bukti syukur kita dan kepatuhan kita terhadap perintah Allah SWT dengan mengorbankan sesuatu yang amat kita sayangi. Dalam hal ini, mengorbankan hal yang kita cintai tersebut direpresentasikan oleh mencukur rambut,’‘ tuturnya.
Ia pun mengupas makna melempar jumrah, yakni agar kita menjauhkan diri dari segala sifat buruk yang biasa dimiliki setan. ‘’Segala sifat iri, dengki, sombong, dan takabur merupakan sebagian dari sifat buruk yang terda – pat dalam diri setan yang coba kita hilangkan dengan cara melempar jumrah,’‘ ungkapnya.
Selain memahami makna tahapantahapan ibadah haji, Didin juga mengingatkan para calon jamaah haji agar menghindari atau meninggalkan hal-hal yang dilarang, khususnya selama mengerjakan ibadah haji. ‘’Selama kita berhaji, janganlah berbicara kotor, jangan bercumbu, dan jangan saling berbantahan sesama umat Muslim. Tidak kalah pentingnya, jangan pernah menyombongkan diri,’‘ tegasnya.
Karena itulah, sebelum melaksanakan ibadah haji, para calon jamaah haji perlu meningkatkan pemahamannya tentang Islam maupun tatacara berhaji yang sebaik-baiknya. ‘’Lakukanlah persiapan dengan ba – nyak membaca buku dan bertanya kepada orang yang telah pernah menunaikan ibadah haji sebelumnya,’‘ Kiai Didin menyarankan.
Ustadz H Bobby Herwibowo, Lc mengatakan karena ibadah haji merupakan ibadah yang apabila mampu wajib dilaksanakan sekali seumur hidup, maka perlu pemahaman ilmu keagamaan yang baik. ‘’Ketika kita sedang melaksanakan rukun haji seperti tawaf, sa’i, dan melempar jumrah kita harus memahami hakikat dari rukun yang kita laksanakan tersebut,’‘ kata anggota Dewan Pengawas Syariah Baznas Dompet Dhuafa Republika.
Ia menambahkan, karena haji merupakan puncak dari seluruh perintah Allah, maka dimensi ibadah yang perlu dipahami tidak hanya terfokus pada haji semata tapi juga hakikat dari seluruh ibadah yang diperintahkan Allah kepada manusia. ‘’Ibadah haji tidak hanya tergantung pada pelaksanaan rukun dan wajibnya semata tapi juga harus dilengkapi dengan perbaikan akhlak yang semakin menuju kemu – liaan,’‘ jelas Bobby yang juga Direktur Program dan Pembimbing Haji dan Umrah Dompet Dhuafa Travel.
Al Amin Mulia Lestari Tawarkan Paket Super VIP
Mulai tahun 2009, biro perjalanan haji dan umrah Al Amin Mulia Lestari memiliki paket Super VIP. ‘’Sejauh ini sudah ada 60 orang jamaah yang mendaftar untuk berangkat haji bersama Al Amin tahun ini,’‘ ujar Nurmiatun Kadiman, Marketing Executive Al Amin Mulia Lestari.
Menurut Nurmiatun, salah satu keistimewaan paket Super VIP yang ditawarkan biro perjalanan yang berkantor di kawasan Buncit Raya, Jakarta Selatan ini, adalah hotel yang akan ditempati jamaah merupakan hotel bintang lima. Selain itu, jamaah haji Super VIP baru akan berangkat menjelang Idul Adha sehingga jamaah tidak terlalu lama berada di Tanah Suci. ‘’Untuk paket yang biasa, hotel yang dipergunakan berfasilitas bintang empat.
Selain itu, jamaah haji dengan paket keberangkatan yang biasa lebih lama karena mereka berangkat terlebih dahulu dibandingkan dengan jamaah Super VIP,’‘ lanjut Nurmiatun. Untuk persiapan manasik haji, Nurmiatun mengakui baru akan dilaksanakan setelah jamaah mendapatkan kepastian akan mem – peroleh kursi pada tahun ini. Apabila belum di – peroleh kepastian kursi dari Departemen Agama, menurut Nurmiatun, pihak Al Amin Mulia Lestari belum akan melakukan persiapan manasik bagi para jamaahnya.
‘’Kami merencanakan manasik haji pada bulan Juni, Juli, dan puncaknya setelah Idul Fitri. Pada persiapan akhir setelah Lebaran nanti kami akan mengadakan persiapan di Puncak, Bogor, selama tiga hari dua malam,’‘ jelas Nurmiatun. Menurutnya, kegiatan yang dilakukan di Puncak tersebut, akan dijadikan kesempatan bagi para jamaah untuk saling bersosialisasi dan menjalin keakraban sebelum keberangkatan.
Dalam kesempatan tersebut, jamaah akan diberikan pengarahan teori sekaligus buku pan – duan dari Departemen Agama. ‘’Kami juga memiliki motivator yang akan berbicara pada jamaah sekaligus memberikan materi,’‘ jelas Nurmiatun.
Mengenai ibadah umrah, Nurmiatun menjelaskan bahwa Al Amin Mulia Lestari mulai memberangkatkan jamaah umrah 30 Maret yang lalu. ‘’Dalam sebulan kami memberangkatkan jamaah umrah minimal satu kali. Tapi, apabila menuruti jadwal yang ada, kami memberang – katkan jamaah umrah sebulan tiga kali atau setiap 10 hari sekali,’‘ ujarnya.
Untuk ibadah umrah, tersedia paket umrah selama sembilan hari atau 12 hari. Pesawat yang dipergunakan adalah Garuda Indonesia. Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan sebelum berangkat umrah. ‘’Manasik hanya akan dilakukan satu minggu sebelum berangkat, tepatnya hari Sabtu sebelum keberangkatan,’‘ kata Nurmiatun.ci2/yto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar