KEPUTUSANMUSYAWARAH NASIONAL TARJIH KE-26
Musyawarah Nasional Tarjih Ke-26 yang berlangsung pada tanggal 1 – 5 Oktober 2003 M bertepatan dengan tanggal 5 – 9 Syakban 1424 H di Hotel Bumi Minang Padang Sumatera Barat yang dihadiri oleh Anggota Tarjih Pusat, setelah:
Mendengarkan | : | 1. Khutbah Iftitah Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2. Sambutan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 3. Keynote Speech Menteri Agama Republik Indonesia. |
|
|
|
Menimbang | : | Keputusan-keputusan Tarjih yang telah ada. |
|
|
|
Mempelajari | : | 1. Ceramah Umum Prof. Dr. H. M. Amien Rais, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2. Makalah dan Ceramah Umum Drs. Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kepala BAPPENAS), “Kebijakan Ekonomi Pemerintah RI: Tinjauan Etika Bisnis.” 3. Ceramah Umum Drs. H. Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. 4. Ceramah Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 5. Makalah Dr. M. Hidayat Nur Wahid, “Akhlak dan Kriteria Kepemimpinan Nasional, Telaah Kritis atas Merebaknya Terorisme Politik.” 6. Makalah Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif, “Etika Politik dalam Masyarakat Kontemporer Indonesia.” 7. Makalah Prof. Dr. H. Bustanuddin Agus, “Ekonomi Islam dalam Genggaman Ekonomi Pasar Bebas: Upaya Eksis di tengah Genggaman Ekonomi Kapitalis Global.” 8. Makalah H. Elfindrie, Ph. D., “Prinsip Ekonomi Islam di Era Pasar Bebas: Memadukan Modal Manusia, Modal Sosial dan Modal Religius.” 9. Makalah H. Irman Gusman, SE., MBA., “Urgensi Etika Bisnis dalam Pemulihan Ekonomi.” 10. Makalah Jeffri Geovani, “Etika Bisnis dalam Dunia Usaha.” 11. Presentasi Drs. H. Muhammad Hidayat, MBA., MBL., Dewan Syari’ah Ahad Net Internasional, “Apa dan Bagimana Multilevel Marketing Syariah?” 12. Presentasi H. Hatief Hadikoesoemo, Bank Indonesia, “Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia.” 13. Presentasi H. Rizqullah, BNI 46 Divisi Syari’ah, “Perbankan Syariah: Solusi Bagi Pembangunan Ekonomi Umat.” 14. Makalah Manhaj Tarjih Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (Hubungan Dialektis Integratif antara Pendekatan Bayani, ‘Irfani dan Burhani dalam Pemikiran Islam).” 15. Makalah Manhaj Tarjih Dr. H. Syamsul Anwar, MA, “Manhaj Tarjih Muhammadiyah di Bidang Penemuan Hukum Syar‘i.” 16. Ceramah tentang Manhaj Tarjih oleh Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman 17. Makalah Fiqh Perempuan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Ijtihad Muhammadiyah tentang Persoalan Perempuan (Dari Adabul Mar’ah fil-Islam Hingga Seminar Fikih Perempuan.” 18. Makalah Prof. Dr. Hj. Chuzaemah T. Yanggo, “Fikih Perempuan: Perempuan dalam Fikih Munakahat, Hukum Perkawinan di Indonesia dan dalam Fikih Sosial.” 19. Makalah Dr. Irwan Abdullah, Pornografi: Intensitas, Implikasi dan Masa Depan Bangsa.” 20. Makalah tentang hisab dan rukyat oleh Dr. Thomas Djamaluddin, “Pengertian dan Perbandingan Mazhab tentang Hisab, Rukyat dan Matla’ (Kritik terhadap Teori Wujudul-Hilal dan Matla’ Wilayatul Hukmi.” 21. Makalah tentang etika politik oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, “Etika Politik: Penyelenggaraan Pemerintahan yang Etis dan Demokratis serta Kriteria Kepemimpinan Nasional,” dan makalah MT-PPI PWM Sulawesi Selatan, “Etika Politik: Hubungan Negara dan Agama-Nasionalisme dalam Bingkai Universalisme.” 22. Makalah tentang etika politik oleh Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kairo, Mesir, “Hubungan Agama dan Negara: Ikhtiar meletakkan Kerangka Metodologis Kajian tentang Negara Islam dalam Perspektif al-Qur’an dan as-Sunnah.” 23. Makalah tentang etika bisnis Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat. 24. Makalah tentang refungsionalisasi dan restrukturisasi organisasi oleh Drs. H. A. Rosyad Shaleh, “Fungsionalisasi dan Restrukturisasi Organisasi Tarjih.” 25. Makalah tentang refungsionalisasi dan restrukturisasi oleh Prof. Dr. H. Fatchurrahman Djamil, “Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Majelis Tarjih: Sebuah Pemikiran.” 26. Naskah refungsionalisasi dan restrukturisasi organisasi oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 27. Makalah refungsionalisasi dan restrukturisasi organisasi oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PWM Bangka Belitung, “Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Organisasi.” 28. Makalah refungsionalisasi dan restrukturisasi organisasi oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PWM Kalimantan Barat, “Mencari Format Baru Tarjih Muhammadiyah.” 29. Makalah tentang Pengobatan Alternatif oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, “Pengobatan Alternatif: Perspektif Muhammadiyah.” 30. Makalah Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih tentang Tuntunan Puasa Tathawu’ Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, “Tuntunan Puasa Tathawwu‘.” 31. Makalah Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih tentang Tuntunan Shalat Jum’at Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, “Tuntunan Shalat Jum’at.” 32. Makalah Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih tentang Tuntunan Merawat Jenazah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, “Tuntunan Merawat Jenazah.” 33. Makalah Manhaj Tarjih Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, “Pengembangan Manhaj Pemikiran Islam Muhammadiyah.” 34. Makalah fiqh perempuan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Perempuan dalam Fikih Munakahat: Perspektif Muhammadiyah”; dan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Tengah, “Perempuan dalam Fikih Munakahat dan Hukum Perkawinan di Indonesia”; dan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PWM Jawa Barat, “Fikih Perempuan: Studi Normatif Pendekatan Kulli-Juz’i tentang Kepemimpinan Perempuan.” 35. Makalah Pornografi dan Pornoaksi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berjudul “Pornografi dan Pornoaksi”; Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PWM Banten berjudul “Pornografi dan Pornoaksi dalam Pandangan Islam”; Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PWM Sumatera Utara berjudul “Perspektif Ketarjihan tentang Pornografi-Pornoaksi”; dan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PWM Kalimantan Timur berjudul “Pornografi-Pornoaksi.” 36. Makalah Hisab dan Rukyat Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bengkulu, “Persoalan Hisab, Rukyat dan Mathla’ di Indonesia.” 37. Makalah Hisab dan Rukyat Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, “Hisab dan Rukyat.” 38. Makalah Hisab dan Rukyat Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan, “Wujudul-Qamar: Sebuah Alternatif Penetapan Awal Bulan Qamariah.” 39. Makalah Hisab dan Rukyat Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Papua, “Wujudul-Hilal dan Mathla’ Wilayatul-Hukmi.” 40. Makalah Hisab dan Rukyat Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Timur, “Rukyat, Hisab dan Mathla’ dalam Perspektif Tarjih.” 41. Makalah Hisab dan Rukyat Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kairo, Mesir, “Metode Penggunaan Rukyah dan Hisab dan Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat.” |
|
|
|
Mengingat | : | Qaidah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. |
|
|
|
Memperhatikan | : | Pembahasan, saran dan usul dari para peserta Musyawarah Nasional Tarjih Ke-26, baik dalam seminar, sidang-sidang komisi maupun sidang pleno. |
MEMUTUSKAN
Menetapkan | : |
|
|
|
|
Pertama | : | Mengesahkan hasil sidang tentang: 1. Etika Politik dan Etika Bisnis sebagaimana terlampir pada Lampiran 1-A dan 1-B. 2. Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Organisasi, sebagaimana terlampir pada Lampiran 2. 3. Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih, sebagaimana terlampir pada Lampiran 3. 4. Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam sebagaimana terlampir pada Lampiran 4. 5. Fiqh Perempuan, dan Pornografi dan Pornoaksi sebagaimana terlampir pada Lampiran 5. 6. Hisab dan Rukyat, sebagaimana terlampir pada Lampiran 6. 7. Rekomendasi Munas Tarjih Ke-26, sebagaiamana terlampir pada Lampiran 7. |
|
|
|
Kedua | : | Menyerahkan keputusan ini kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk ditindaklanjuti sesuai dengan yang dikehendaki oleh masing-masing hasil sidang sebagaimana yang dimaksud pada diktum pertama keputusan ini. |
|
|
|
Ketiga | : | Mengamanatkan kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyampaikan hasil Munas Tarjih Ke-26 yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada diktum kedua Keputusan ini kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar ditanfidzkan sebagaimana mestinya. |
Ditetapkan di Padang
Pada tanggal : 5 Oktober 2003 M
Bertepatan dengan tanggal : 9 Sya’ban 1424 H
Pimpinan Sidang
Ketua,
Dr. H. Syamsul Anwar, MA. | Sekretaris,
Drs. Oman Fathurohman SW., M. Ag. |
Lampiran 1-A
KEPUTUSAN MUNAS TARJIH KE-26
TENTANG ETIKA POLITIK
Nilai-nilai Dasar Kehidupan Politik
Nilai-nilai dasar dalam kehidupan politik menurut ajaran Islam meliputi:
1. Keadilan (al-‘ad±lah)
a. QS. al-A‘r±f, 7 : 29,
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ … [الأعراف : 29]
Artinya: Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan ….
b. QS. an-Nis±’, 4 : 58, 135,
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ [النساء : 58]
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ [النساء : 135]
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah …
c. QS. al-M±’idah, 5 : 8;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى [المائدة : 8]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
2. Persaudaraan (al-ukhuwwah)
Dalil: QS. al-¦ujur±t, 49 : 10, 11, 12,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوا بِاْلأَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ اْلإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ [الحجرات : 10 – 12]
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
3. Persamaan (al-mus±w±h)
a. QS. an-Nis±’, 4 : 7,
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَ اْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَ اْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا [النساء : 7] .
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (an-Nis±’ [4]:7)
b. QS. an-Na¥l, 16 : 97,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [النحل : 97] .
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
c. HR al-Qudl±‘³ dan ad-Dailam³ dari Anas Ibnu Malik,
عَنْ أَنَسِ بْنِ ماَلِكٍ قاَلَ قاَلَ رَسُوْلُ الله صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلنَّاسُ كَأَسْنَانِ اْلمُشْطِ [رواه القضاعي في مسند الشهاب ج 1 : ص 145] ، وَعِنْدَ الدَّيْلَمِيِّ فِيْ اْلفِرْدَوْسِ بِمَأْثُوْرِ اْلخِطاَبِ [ج 4 ص: 301] : اَلنَّاسُ مُسْتَوُوْنَ كَأَسْنَانِ اْلمُشْطِ لَيْسَ لأَحَدٍ عَلىَ أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ بِتَقْوَى الله عَزَّ وَجَلَّ .
Artinya: Dari Anas Ibnu Malik (diriwayatkan bahwa ia) berkata: Rasulullah saw telah bersabda: ‘Manusia itu seperti gigi sisir.’ [Diriwayatkan oleh al-Qudl±‘³ dalam Musnad asy-Syih±b, I: 145]. Dalam riwayat ad-Dalam³ dalam al-Firdaus bi Ma’tsr al-Khith±b lafalnya adalah: Manusia itu sama, seperti gigi sisir, tidak ada kelebihan seseorang atas orang lain kecuali karena ketakwaannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
4. Musyawarah (asy-syr±)
a. QS. asy-Syr±, 42 : 38,
… وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ … [الشورى : 38] .
Artinya: … sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, …
b. QS. al-Baqarah, 2 : 233,
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا [البقرة : 233].
Artinya: Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
c. QS. ²li ‘Imr±n, 3 : 159,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ [آل عمران : 159] .
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
5. Pluralitas (at-ta ‘addudiyyah)
Dalil: QS. al-¦ujur±t, 49 : 13.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [الحجرات : 13]
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
6. Perdamaian (as-silm)
a. QS. al-Anf±l, 8 : 61,
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ [الأنفال : 61]
Artinya: Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
b. QS. al-¦ujur±t, 49 : 9, 10,
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [الحجرات : 9-10]
Artinya:“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
7. Pertanggungjawaban (al-mas’liyyah)
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ [المؤمنون : 115]
b. HR. Bukhari dan Muslim,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ... (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Dari Abdillah bin Amr r.a. (diriwayatkan bahwa) sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya, setiap imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya, setiap lelaki dalam keluarga adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya, setiap perempuan di rumah suaminya adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya, setiap pembantu rumah tangga adalah pemimpin atas harta tuannya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya… [HR al-ukh±r³ dan Muslim].
8. Otokritik (an-naqd adz-dz±tiy)
Dalil: QS. al-Isr±’, 17 : 14.
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا [الإسراء : 14] .
Artinya: Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.
Kekuasaan
Kekuasaan menurut ajaran Islam adalah amanah Allah SWT, sebagai penjelmaan dari misi kekhalifahan manusia di muka bumi, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Kekuasaan tersebut bersifat mas’ûliyyah atau responsibility (QS. al-Mu’minn, 23 : 115), am±nah atau credibility (QS. al-Mu’minn, 23 : 8), serta berfungsi untuk melayani kepentingan rakyat (QS. al-¦ajj 22 : 41).
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ [المؤمنون : 115]
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ [المؤمنون : 8]
3. QS. al-¦ajj, 22 : 41,
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي اْلأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Good Governance
Good Governance (tata pemerintahan yang baik) merupakan seperangkat tindakan dalam bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola negara pada semua level. Dengan kata lain Good Governance berarti kepemerintahan yang baik atau hal menjalankan kekuasaan negara secara baik. Inti pokok pengertian yang terkandung di dalam istilah tersebut menunjuk kepada praktik yang bersih dalam penggunaan kewenangan di bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola urusan negara dan masyarakat pada setiap peringkat.
Good Governance merupakan panggilan atau tugas keagamaan yang dituntut oleh ajaran Islam untuk menegakkan prinsip-prinsip Tauhid (harâsat ad-dîn) sebagai landasan bangunan kehidupan politik dan penyelenggaraan negara. Selain itu, Good Governance juga menjadi tugas kemanusiaan, dalam rangka mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kemaslahatan (siy±sat ad-duny±).
Untuk mewujudkan Good Governance, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Adanya partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
2. Semua unsur masyarakat memiliki komitmen untuk menegakkan hukum.
3. Adanya transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
4. Adanya kepekaan dan kepedulian dalam merespon tantangan dan problem masyarakat.
5. Mengutamakan kepentingan umum, yaitu adanya orientasi kepada konsensus untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat.
6. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama/sederajat di depan hukum.
7. Adanya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan SDA dan SDM.
8. Adanya visi strategis tentang negara yang maju dan berdaulat.
9. Adanya kekuasaan yang kuat (powerfull) untuk menentukan nasib sendiri, dan tidak didikte oleh kekuatan asing.
Untuk mewujudkan Good Governance di Indonesia dibutuhkan kepemimpinan nasional yang adil yang memiliki kualifikasi dan kriteria sebagai berikut:
1. Integritas: beriman dan bertaqwa, serta memiliki kekuatan moral dan intelektual.
2. Kapabilitas: kemampuan memimpin bangsa dan mampu menggalang dan mengelola keberagaman /kemajemukan menjadi kekuatan yang sinergis.
3. Populis: berjiwa kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
4. Visioner: memiliki visi strategis untuk membawa bangsa keluar dari krisis dan menuju kemajuan dengan bertumpu pada kemampuan sendiri (mandiri)
5. Berjiwa Negarawan dan memiliki kemampuan untuk menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.
6. Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan dunia internasional.
7. Berjiwa reformis: memiliki komitmen untuk melanjutkan perjuangan reformasi.
Lampiran 1-B
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Etika Bisnis
A. DASAR PEMIKIRAN
1. Allah adalah pemilik mutlak harta kekayaan, sedang manusia adalah sebagai pemilik tidak mutlak (nisbi).
2. Sebagai konsekuensi logis paradigma (pandangan dasar) tauhid, manusia dituntut berlaku adil, dan menjadikan yang lain sebagai sesama saudara, termasuk dalam kegiatan berbisnis.
3. Tujuan aktifitas bisnis bukan semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan duniawi, tetapi lebih penting lagi untuk kesejeahteraan hidup ukhrawi dalam keridlaan Allah swt.
4. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
5. Nilai manusia tidak semata-mata terletak pada ukuran banyaknya harta kekayaan, tetapi diletakkan pada pandangannya terhadap kekayaan, etos kerja, dan cara memperoleh harta kekayaan serta pentasharrufannya.
6. Ajaran Islam bersifat menyeluruh, meliputi berbagai aspek, baik menyangkut hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungannya dengan alam sekitar.
7. Perilaku umat Islam dalam berbisnis harus merujuk kepada nilai-nilai Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
8. Pengabaian nilai-nilai Islam tersebut, mengakibatkan lemahnya penegakan hukum dan semakin suburnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme.
9. Agar tercipta kesejahteraan yang meluas dan merata bagi seluruh warga negara, diperlukan upaya penegakan hukum dan etika bisnis.
B. PENGERTIAN
Etika Bisnis adalah seperangkat norma yang bertumpu pada aqidah, syari’ah, dan akhlaq yang diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang digunakan sebagai tolok ukur dalam kegiatan bisnis dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
C. RUANG LINGKUP BISNIS
Seluruh kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi serta perdagangan barang dan jasa; dan dampaknya dalam jangka pendek dan panjang.
D. ASAS-ASAS
Kegiatan berbisnis didasarkan kepada asas-asas:
1. At-Tauh³d.
2. Al-Am±nah
b. Firman Allah,
c. Firman Allah,
d. Firman Allah,
3. Ash-Shidq (kejujuran)
b. Hadis Nabi saw:
c. Hadis Nabi saw,
d. Hadis Nabi saw,
Artinya: Dari Abu Sa‘id dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan syuhada. (HR. at-Tirmidzi: 1130)
4. Al-‘Adalah (keadilan)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. an-Nahl (16):90)
5. Al-Ib±¥ah (kebolehan).
Artinya: Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu. (QS. al-Baqarah (2):22)
b. Firman Allah,
6. At-Ta‘±wun
a. Firman Allah,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. (المائدة: 2)
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-M±’idah (5):2)
b. Hadis Nabi saw,
7. Al-Maslahah (Jalbul Mash±lih wa Dar’ul Maf±sid: menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan).
8. At-Tar±dli (saling kerelaan).
9. Al-Akhl±q al-Kar³mah (kesopanan).
a. Firman Allah,
b. Hadis Nabi saw:
Artinya: Dari Jabir ibn Abdullah r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Allah mengasihi seseorang yang berbuat baik dalam menjual dan membeli serta dalam memberikan keputusan. (HR. al-Bukh±r³: 1934)
E. NILAI-NILAI DAN TOLOK UKUR
1. Tidak boleh ada gharar (spekulasi).
Hadis Nabi saw,
Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar (spekulasi). (HR. Muslim: 2783)
2. Tidak boleh ada jah±lah (kesamaran) dan harus dilakukan secara transparan.
3. Tidak boleh ada maisir
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah (5):90)
4. Tidak boleh ada kezhaliman (penindasan)
a. Firman Allah,
Artinya: Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [QS. al-Baqarah (2) : 279]
b. Firman Allah,
إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ. (القصص: 37)
Artinya: Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang zhalim. [QS. al-Qashash (28): 37]
5. Tidak mengandung unsur riba.
a. Firman Allah,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا … (البقرة: 275)
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba .... [QS. al-Baqarah (2): 275]
b. Firman Allah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. (البقرة: 278)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. [QS. al-Baqarah (2): 278].
c. Hadis Nabi saw,
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. (رواه مسلم)
6. Tidak boleh ada adl-dlarar (unsur yang membahayakan atau merugikan).
7. Tidak boleh ada kecurangan dan penipuan.
a. Firman Allah,
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ. الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ. وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ. (المطففين: 1-3)
Artinya: Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. [QS. al-Muthaffif³n (83):1-3]
b. Hadis Nabi saw,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw lewat pada setumpuk makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, maka jari-jari beliau terkena makanan yang basah. Beliau bertanya: Apa ini wahai pemilik (penjual) makanan? Ia menjawab: Terkena hujan, wahai Rasulullah. Belaiu bersabda: Mengapa kamu tidak menaruh yang basah ini di atas agar dapat dilihat orang? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan golonganku. (HR. Muslim)
c. Hadis Nabi saw,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي أُخْدَعُ فِي الْبُيُوعِ فَقَالَ إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَةَ. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Dari Ibn Umar r.a. (diriwayatkan) bahwa seorang lelaki melaporkan kepada Nabi saw bahwa ia ditipu dalam jual beli. Maka Nabi bersabda: Apabila engkau berjual beli, maka katakan: Tidak ada penipuan. (HR. al-Bukhari: 2230).
8. Tidak boleh berakibat ta’assuf (penyalahgunaan hak) dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
9. Tidak boleh ada monopoli dan konglomerasi
a. Firman Allah,
مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. (الحشر: 7)
Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. [QS. al-Hasyr (59):7]
b. Hadis Nabi saw,
Artinya: Dari Yahya dan ia adalah ibn Sa‘id (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Bahwa Sa‘id ibn Musayyab memberitakan bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menimbun barang, maka ia berdosa … (HR. Muslim: 3012, Ahmad, dan Abu Dawud)
10. Obyek bisnis bukan sesuatu yang haram
a. Hadis Nabi saw,
Artinya: Dari Jabir ibn Abdullah (diriwayatkan bahwa) ia mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu tahun kemenangan, ketika itu beliau di Mekah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan arca-arca berhala. Kemudian ditanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orang-orang untuk penerangan. Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau bersabda: Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya, mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan makan hasil penjualannya. (HR. al-Jama‘ah)
b. Hadis Nabi saw,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَعَنَ اللهُ اْليَهُوْدَ حَرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمَ فَبَاعُوْهَا وَأَكَلُوْا أَثْمَانِهَا وَإِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَي قَوْمٍ أَكْلَ شَيْئٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ. (رواه أحمد وأبو داود)
Artinya: Dari ibn Abbas (diriwayatkan bahwa) Nabi saw bersabda: Allah melaknati orang-orang Yahudi, karena telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan makan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada satu kaum makan sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
11. Tidak boleh menelantarkan dan memubadzirkan harta.
a. Firman Allah,
مَا جَعَلَ اللهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلاَ سَائِبَةٍ وَلاَ وَصِيلَةٍ وَلاَ حَامٍ وَلَكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ. (المائدة: 103)
Artinya: Allah sekali-kali tidak pernah mensyari`atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. [QS. al-Maidah (5):103]
b. Firman Allah,
Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. [QS. al-Isra’ (17):26-27]
Lampiran 2
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Refungsionalisasi dan Restrukturisasi Organisasi
1. Perlu dilakukan refungsionalisasi dan restrukturisasi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI) tanpa merubah struktur persyarikatan secara keseluruhan.
2. Perlu dibentuk Lajnah Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di tingkat Pusat, Wilayah dan Daerah.
3. Kedudukan Lajnah bukan sebagai Pembantu Pimpinan yang berada di bawah Pimpinan Persyarikatan, melainkan merupakan satuan haluan, yakni satuan organisasi yang melakukan kegiatan legislasi di bidang agama yang kedudukannya berada di samping atau berdampingan dengan Pimpinan Persyarikatan.
4. Tugas pokok Lajnah Tarjih adalah:
a. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
b. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat, anggota dan keluarga Muhammadiyah.
c. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam.
d. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
e. Hal-hal lain di bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.
5. Fungsi Lajnah Tarjih :
a. Legislasi bidang agama.
b. Pengkajian, penelitian dan pengembangan pemikiran mengenai masalah-masalah keagamaan.
c. Memberi fatwa di bidang keagamaan.
d. Menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan.
6. Wewenang Lajnah Tarjih:
a. Membahas dan membuat keputusan dalam bidang agama.
b. Memberikan fatwa dan nasehat.
c. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap keputusan Lajnah.
d. Menyebarluaskan keputusan Lajnah.
e. Menyalurkan perbedaan pendapat dan faham keagamaan.
7. Pembentukan Lajnah Tarjih:
a. Lajnah Tarjih Pusat dilakukan/ditetapkan oleh keputusan Tanwir.
b. Lajnah Tarjih Wilayah dilakukan/ditetapkan oleh Musyawarah Wilayah.
c. Lajnah Tarjih Daerah dilakukan/ditetapkan oleh Musyawarah Daerah.
8. Keanggotaan Lajnah Tarjih:
a. Ulama dan cendekiawan anggota Muhammadiyah, baik laki-laki maupun perempuan, yang memenuhi persayaratan yang ditentukan.
b. Anggota Lajnah Tarjih Pusat ditetapkan oleh sidang Tanwir atas usul Pimpinan Pusat dengan mempertimbangkan usulan dari Wilayah.
c. Anggota Lajnah Tarjih Wilayah ditetapkan oleh Musyawarah Wilayah atas usul Pimpinan Wilayah.
d. Anggota Lajnah Tarjih Daerah ditetapkan oleh Musyawarah Daerah atas usul Pimpinan Daerah.
e. Jumlah anggota Lajnah Tarjih disesuaikan dengan kebutuhan.
9. Untuk mendukung pelaksanaan tugas Lajnah di setiap tingkatan persyarikatan, dibentuk Majelis yang berfungsi:
a. Sebagai unsur pembantu Pimpinan Persyarikatan di tingkat masing-masing.
b. Sebagai badan pekerja Lajnah.
c. Melayani masyarakat dalam bidang ketarjihan, pengembangan pemikiran Islam, dan fatwa.
10. Hubungan kerja antara Lajnah dengan Pimpinan Muhammadiyah di tingkat masing-masing bersifat koordinatif dan konsultatif, sedangkan hubungan antara Lajnah (Pusat, Wilayah dan Daerah) bersifat fungsional.
11. Permusyawaratan Lajnah:
a. Permusyarawaratan Lajnah tingkat pusat dinamakan MUKTAMAR LAJNAH TARJIH atau SIDANG LAJNAH TARJIH TINGKAT NASIONAL, yang dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu masa jabatan.
b. Permusyawaratan Lajnah tingkat Wilayah disebut Sidang Lajnah Tarjih Wilayah, yang dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu masa jabatan.
c. Permusyawaratan Lajnah tingkat Daerah disebut Sidang Lajnah Tarjih Daerah, yang dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu masa jabatan.
12. Anggota Musyawarah:
a. Peserta Muktamar/Sidang Lajnah Tarjih Tingkat Nasional terdiri dari: anggota Lajnah pusat dan pihak lain yang dipandang perlu, baik dari dalam maupun luar persyarikatan atas undangan Pimpinan Lajnah Pusat.
b. Peserta Sidang Lajnah Tarjih Tingkat Wilayah terdiri dari: anggota Lajnah Tarjih Wilayah dan pihak lain yang diapandang perlu, baik dari dalam maupun luar Persyarikatan atas undangan Pimpinan Lajnah Wilayah.
c. Peserta Sidang Lajnah Tarjih Tingkat Daerah terdiri dari: anggota Lajnah Daerah dan pihak lain yang dipandang perlu, baik dari dalam maupun luar Persyarikatan atas undangan Pimpinan Lajnah Daerah.
13. Pengambilan keputusan Lajnah:
a. Kewenangan untuk mengambil keputusan dalam musyawarah Lajnah hanya ada pada anggota Lajnah di tingkat masing-masing.
b. Keputusan musyawarah berlaku setelah ditanfizkan oleh Pimpinan Persyarikatan di tingkat masing-masing.
14. Rapat-rapat Majelis mengacu kepada kaidah Pembantu Pimpinan Persyarikatan.
Lampiran 3
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih
A. PENGOBATAN ALTERNATIF
Sidang Pleno Musyawarah Nasional Tarjih Ke-26 menerima dan mengesahkan hasil Sidang Komisi III (Pengembangan Himpunan Putusan tarjih) dengan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Salah satu persoalan tentang pengobatan alternatif ini adalah tentang definisi yang disepakati kemudian dengan tindakan pengobatan yang dilakukan selain medis, tradisional dan do’a.
2. Ketentuan pengobatan alternatif yang dapat diterima adalah:
a. Pengobat/ pelaku:
1) Ahli,
2) Tidak merusak atau membahayakan aqidah,
3) Berakhlak mulia
b. Obat/alat pengobatan:
1) bukan barang haram atau bukan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at Islam
2) tidak mengandung unsur yang membahayakan
c. Cara/teknik pengobatan:
1) Tidak mengandung syirik, bid’ah dan khurafat
2) Tidak berbahaya ataupun membahayakan
3) Tidak menggunakan unsur jin atau makhluk halus lainnya
RUMUSAN FINAL
PENGOBATAN ALTERNATIF DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
A) Pengertian Umum
Dengan pengobatan alternatif dimaksudkan “suatu tindakan pengobatan yang dilakukan bukan melalui tindakan medis, tradisional dan atau do‘a.” Medis dalam istilah ini adalah kegiatan yang dilandaskan pada ilmu kedokteran. Sebagai contoh pengobatan alternatif adalah pengobatan dengan menggunakan tenaga dalam.
B) Prinsip-Prinsip Umum Pengobatan Dalam Islam
1. Wajib Memelihara Kesehatan
Ajaran Islam mewajibkan setiap orang Muslim berupaya memelihara kesehatannya. Berikut ayat dan hadis yang memberikan isyarat kepada hal tersebut:
a. وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ “…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, …” [Qs al-Baqarah (2): 195].
Mengabaikan kesehatan dengan sengaja kiranya tidak berlebihan bila dipandang sebagai salah satu bentuk menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan.
b. وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا “…makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan…” [Qs al-A’raf (7): 31].
Mempertahankan pola makan secara seimbang dan tidak berlebihan merupakan salah satu upaya menjaga kesehatan.
c. وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلاَلاً طَيِّبًا “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu…” [Qs al-Maidah (5): 88]
Makan makanan yang halal dan baik juga merupakan upaya memelihara kesehatan fisik dan rohani.
d. Hadis Abdullah Ibnu ‘Amr,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Wahai ‘Abdullah bukankah aku pernah diberitahu bahwa kamu senantiasa puasa di siang hari dan bangun (beribadah) di malam hari? Aku (‘Abdullah) menjawab: Benar, wahai Rasulullah. Beliau berkata: Jangan lakukan demikian, puasalah dan juga berbukalah, bangunlah (beribadahlah di malam hari) dan juga tidurlah karena tubuhmu memiliki hak terhadapmu yang harus kamu penuhi, matamu juga memiliki hak hak terhadapmu yang harus kamu penuhi, demikian pula istrimu juga mempunyai hak hak terhadapmu yang harus kamu penuhi [HR al-Bukhari].
e. Penularan penyakit merupakan salah satu sistem yang telah ditetapkan Allah, karenanya pula manusia disarankan untuk menghindari, menjaga diri dari ketertularan tersebut.
قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ ... (البخارى)
Abu Salamah bin ‘Abd ar-Rahman berkata: Aku mendengar Abu Hurairah (yang meriwayatkan) dari Nabi saw (bahwa beliau bersabda): Janganlah orang yang memiliki sakit mendatangi yang sehat. ... [HR Bukhari].
Maksud “tiada penularan” adalah bahwa penyakit itu tiada menular dengan sendirinya melainkan melalui sunnah-Nya
2. Wajib Berobat dalam Rangka Memelihara Kesehatan
Sebagai kelanjutan dari kewajiban memelihara kesehatan dan larangan menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan seperti dikemukakan di atas, maka wajib pula atas setiap insan mukmin untuk berobat apabila ia menderita sakit. Hal ini dikuatkan pula oleh hadis,
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ قَالَتِ اْلأَعْرَابُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَتَدَاوَى قَالَ نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً أَوْ قَالَ دَوَاءً ... [قَالَ أَبُو عِيسَى ... وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ]
Artinya: Dari Us±mah Ibnu Syar³k (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Beberapa orang Arab pedalaman bertanya: Wahai Rasulullah, haruskan kami berobat? Rasulullah menjawab: Ya. Wahai hamba-hamba Allah, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit melainkan membuat pula penyembuh untuknya [atau ia mengatakan: obat] … … … [Abu Isa (at-Tirmidz³, perawi hadis): … dan ini adalah hadis hasan sahih].
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ [رواه أبو داود]
Artinya: Dari Ab ad-Dard±’(diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya Allah mwenurunkan penyakit dan obatnya, dan memberikan obat untuk tiap-tiap penyakit. Oleh karena itu berobatlah kamu, tetapi jangan berobat dengan yang haram [HR Ab D±wd].
3. Mengupayakan pengobatan dan otoritas penyembuh adalah Allah
Dengan segala upaya, orang wajib memelihara kesehatan dan melakukan pengobatan, namun demikian Allah pula yang menentukan segala sesuatunya. Hal ini tidak lain agar manusia pandai mensyukuri saat sehat dan agar tabah saat terkena mushibah, dan ini sekaligus di dalamnya terkandung pelajaran baginya dan bagi orang lain.
Allah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [QS al-Hadid (57): 22-23].
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku [Qs al-Syu’ara (26): 80].
…وَلاَ تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لاَ يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
…Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. [Qs Yusuf (12): 87].
عَنْ أَبِي خُزَامَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رُقًى نَسْتَرْقِيهَا وَدَوَاءً نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةً نَتَّقِيهَا هَلْ تَرُدُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ شَيْئًا قَالَ هِيَ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ . قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ (الترمذى)
Dari Abu Khuzamah, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw, katakau: Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang rukiah yang kami gunakan sebagai obat, dan obat-obatan yang kami gunakan sebagai penyembuh penyakit dan penangkal yang kami gunakan sebagai pemelihara badan, apakah berarti kami menolak taqdir Allah?, (Nabi) berkata: hal itu adalah taqdir Allah”
4. Pengobatan dilakukan berdasarkan keahlian
Dalam Islam, setiap pekerjaan termasuk pengobatan, harus dilakukan berdasarkan pengetahuan dan keahlian agar tidak menimbulkan ekses negatif. Allah berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Qs al-Isra’ (17): 36)
Sabda Nabi saw,
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ [رواه النسائي وأبو داود وابن ماجه] .
Artinya: Dari ‘Amr Ibn Syu‘aib, dari ayahnya (Syu‘aib), dari kakeknya (Abu Muhammad) (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Barang siapa melakukan pengobatan padahal sebelumnya ia tidak dikenal ahli dalam pengobatan, maka ia bertanggung gugat.[HR an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah].
… فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ [النحل 43]
Artinya: …maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [Qs al-Nahl (16): 43]
5. Pengobatan tidak boleh menimbulkan bahaya (adl-dlarar)
عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ [رواه مالك و ابن ماجه وأحمد] .
Dari ‘Amr Ibnu Yahya al-Mazini, dari ayahnya (Yahya) (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak ada bahaya (kerusakan) dan membalas bahaya (kerusakan). [HR Malik, Ibnu Majah, dan Ahmad].
6. Pengobatan tidak boleh mengandung unsur syirik dan permintaan kepada selain Allah
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ (128) وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (129)
Artinya: Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Allah berfirman): "Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia", lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman: "Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan. [Qs al-An’am (6): 128-129].
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
Artinya: Dan bahwasanya ada beberapa orang di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. [Qs al-Jin (72): 6].
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ اْلأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ (مسلم)
Artinya: Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy (diriwayatkan bahwa), ia berkata: di masa Jahiliah kami biasa menggunakan rukiah, maka kamipun bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu, kemudian (Nabi) menjawab, Tunjukkanlah kepadaku rukiah kalian, tidak apa-apa menggunakan rukiah selama tidak ada unsur syirik di dalamnya [HR Muslim]
C) Penggunaan Rukiah Pada Zaman Nabi saw
Terdapat beberapa riwayat dalam hadis Nabi saw tentang usaha beliau memelihara kesehatan dan melakukan pengobatan dengan menggunakan rukiah. Di antaranya adalah:
1) Nabi memelihara diri dari gangguan penyakit setiap kali hendak tidur, demikian pula saat orang sakit beliau juga memohon dengan rukiah sebagaimana yang diajarkan Jibril kepadanya. Hal ini dapat dipahami dari hadis-hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ (البخارى)
Artinya: Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw bila hendak tidur setiap malam, beliau merapatkan telapak telapak tangannya kemudian meniup ke dalamnya, kemudian membaca ke dalam kedua telapak tangannya itu “surat al-ikhlash, surat al-Falaq dan surat al-Nas,” kemudian beliau usap-usapkan kedua telapak tangan tersebut ke seluruh tubuh yang dapat beliau jangkau, beliau mulai dari kepala, wajah dan bagian depan tubuhnya, beliau lakukan hal ini sebanyak 3 kali” [HR al-Bukh±r³].
2) Nabi menggunakan rukiah untuk mengobati keluarganya
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَوِّذُ بَعْضَ أَهْلِهِ يَمْسَحُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى وَيَقُولُ اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبْ الْبَاسَ اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا (البخارى)
Artinya: Dari ‘Aisyah ra (diriwayatkan) bahwa Nabi saw mohon perlindungan untuk beberapa anggota keluarganya dengan mengusapkan tangannya dengan mengucapkan: Ya Allah Pemelihara manusia, hilangkanlah penyakitnya dan sembuhkanlah, Engkau Dzat Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan dari pada-Mu yaitu kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit. [HR al-Bukh±r³].
3) Nabi menggunakan rukiah saat menjenguk sahabat yang sakit
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَقَالَ لِي أَلاَ أَرْقِيكَ بِرُقْيَةٍ جَاءَنِي بِهَا جِبْرَائِيلُ قُلْتُ بِأَبِي وَأُمِّي بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ وَاللَّهُ يَشْفِيكَ مِنْ كُلِّ دَاءٍ فِيكَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (ابن ماجه)
Artinya: Dari riwayat Abu Hurairah, ia berkata: Nabi datang menjengukku, kemudian ia berkata kepadaku: maukah kamu aku obati dengan jampi-jampian yang dibawa Jibril kepadaku: aku (Abu Hurairah) berkata: Demi ayah dan ibuku ya wahai Rasulullah.(Nabi) berkata: “Dengan nama Allah aku akan memantraimu dan Allah akan menyembuhkanmu dari segala penyakit yang ada dalam dirimu dari setiap kejahatan yang ditiupkan dalam buhul-buhul dan dari hasudan orang yang iri dengki” sebanyak 3 kali” [HR Ibnu Majah].
4) Jibril melakukan rukiah untuk Nabi saat beliau sakit
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ جِبْرِيلَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اشْتَكَيْتَ فَقَالَ نَعَمْ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ اللَّهُ يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ (مسلم)
Artinya: Dari Abu Sa’id (diriwayatkan) bahwa Jibril mendatangi Nabi saw dan berkata: wahai Muhammad apa kamu sakit, lalu Nabi berkata: Ya. Jibril berkata: Dengan nama Allah saya akan merukiahmu dari segala penyakit yang menngganggumu dan dari kejahatan jiwa dan mata pendengki, Allah akan menyembuhkanmu. Nismillah, aku merukiahmu [HR Muslim].
Rasulullah saw memberikan rambu-rambu tentang praktik rukiah yang tidak bertentangan dengan akidah Islam, dan melarang bentuk-bentuk rukiah yang bertentangan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ قَالَتْ قُلْتُ لِمَ تَقُولُ هَذَا وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَتْ عَيْنِي تَقْذِفُ وَكُنْتُ أَخْتَلِفُ إِلَى فُلاَنٍ الْيَهُودِيِّ يَرْقِينِي فَإِذَا رَقَانِي سَكَنَتْ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ إِنَّمَا ذَاكَ عَمَلُ الشَّيْطَانِ كَانَ يَنْخُسُهَا بِيَدِهِ فَإِذَا رَقَاهَا كَفَّ عَنْهَا إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكِ أَنْ تَقُولِي كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا (أبو داود)
Artinya: Dari Zainab istri ‘Abdullah, dari ‘Abdullah (Ibnu Mas‘ud), ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkata: Sesungguya rukiah-rukiah, jimat dan pelet adalah kemusyrikan, Zainab) bertanya: Mengapa kamu nyatakan demikian, demi Allah saat mataku sakit, aku pergi kepada orang Yahudi yang mengobatiku dengan jampi-jampi, ketika diberi jampi-jampi mataku terasa enak, maka ‘Abdullah berkata: itu dari syetan, dia telah mencelakkan dengan menggunakan kekuatannya ketika kamu sedang diberi jampi-jampi maka ia hilangkan penyakitnya, sebenarnya bagimu cukup memohon sebagaimana Rasulullah saw berdo’a: Hilangkan mara bahaya wahai Tuhan manusia, sembuhkanlah (penyakitku), Engkau Dzat yang Menyembuhkan, tiada obat yang dapat menyembuhkan melainkan obat-Mu, ia adalah obat yang tiada meninggalkan penyakit [HR Ab D±wd].
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ لِي خَالٌ يَرْقِي مِنْ الْعَقْرَبِ فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرُّقَى قَالَ فَأَتَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ نَهَيْتَ عَنْ الرُّقَى وَأَنَا أَرْقِي مِنْ الْعَقْرَبِ فَقَالَ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ (مسلم)
Artinya: Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: saya memiliki paman yang mengobati dengan rukiah dari sengatan kalajengking, kemudian Nabi saw melarang rukiah. Jabir berkata: Kemudian (pamannya) mendatangi Nabi dan berkata: Ya Rasulullah, engkau telah melarang rukiah, sementara aku mengobati dengan rukiah atas sengatan kalajengking. Kemudian Nabi berkata: Siapa yang mampu di antara kalian memberikan manfaat kepada saudaranya, maka laksanakan [HR Muslim].
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ اْلأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ (مسلم)
Artinya: Dari riwayat ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy, ia berkata: di masa Jahiliyah kami biasa menggunakan ruqyah, maka kami-pun bertanya: wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu, kemudian (Nabi) berkata: tunjukkanlah kepadaku ruqyah kalian, tidak apa-apa menggunakan ruqyah selama tidak ada unsur syirik di dalamnya [HR Muslim]
Dalam hadis-hadis di atas terlihat bahwa rukiah yang dilarang adalah rukiah mengandung unsur-unsur syirik dan rukiah-rukiah Jahiliah yang mengandung unsur khurafat dan bid’ah. Sebaliknya rukiah yang dipraktikkan Nabi saw dengan membaca doa-doa (yang ma’tsur) atau ayat-ayat al-Qur’an dibenarkan.
D) Pengobatan Alternatif Dalam Koridor Islam
Dari apa yang dikemukakan di atas mengenai pengertian pengobatan alternatif, prinsip-prinsip pengobatan yang dikemukakan di atas berikut dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadis serta praktik pengobatan yang dilakukakan oleh Nabi saw, maka kiranya dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang pengobatan alternatif sebagai berikut:
1. Pengobatan Alternatif adalah suatu tindakan pengobatan yang dilakukan bukan melalui tindakan medis, tradisional dan do’a, misalnya pengobatan dengan menggunakan tenaga dalam.
2. Bahwa pengobatan alternatif dapat diterima apabila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pengobatan dalam ajaran Islam dan praktik yang diamalkan Nabi saw, yang intinya tertuang dalam syarat-syarat berikut (dalil-dalilnya lihat pada prinsip-prinsip umum pengobatan dalam Islam yang dikemukakan di atas):
a Syarat pengobat / pelaku pengobatan:
1) memiliki pengetahuan dan keahlian;
2) berakhlak mulia dan tidak merusak atau membahayakan akidah;
b. Obat/alat pengobatan:
1) bukan barang haram atau bertentangan dengan syariah;
2) tidak mengandung unsur membahayakan;
c. Cara / tehnik pengobatan:
4) Tidak mengandung syirik, bid’ah dan khurafat,
5) Tidak berbahaya ataupun membahayakan,
6) Tidak menggunakan unsur jin atau makhluk halus lainnya.
B. PUASA TATHAWWU’
Sidang Pleno Musyawarah Nasional Tarjih Ke-26 mengesahkan tuntunan puasa tathawwu’ dengan rumusan di bawah ini dengan memperhatikan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai keutamaan puasa terutama yang berkaitan dengan keutamaan bahwa puasa dapat menghapus dosa, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam dalam bentuk sikap raja’ yang berlebih-lebihan serta tas±hul dalam beragama.
2. Pada prinsipnya salah seorang dari suami atau isteri yang hendak berpuasa tathawwu’ harus seizin pasangannya, dan pelaksanaannnya dapat ditempuh melalui musyawarah bil ma’ruf antara keduanya.
3. Mengenai puasa tiga hari setiap bulan, perlu dilakukan kajian lebih lanjut pada Munas yang akan datang, apakah yang dimaksud dengan puasa tersebut mencakup puasa ayyamul b³dl (أيام البيض) ataukah berdiri sendiri.
4. Mengenai puasa Mutlak dan Puasa Tanggal 1-8 Dzulhijjah perlu pula dilakukan kajian lebih lanjut pada Munas yang akan datang.
صوم التطوع
(PUASA TATHAWWU’)
مقدمة
PENDAHULUAN
عَنْ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللهِ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلاَ يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ اْلإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِيَامُ رَمَضَانَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ قَالَ لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ … [رواه البخاري ومسلم وأبو داود والنسائي واحمد ومالك والدارمي]
Artinya: Dari Abi Suhail Ibnu Malik, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia telah mendengar Thalhah Ibn ‘Ubaidillah mengatakan: Seorang lelaki dari penduduk Najd datang kepada Rasulullah saw dengan rambut meremang, tidak terdengar gema suaranya dan tidak diketahui apa yang ia katakan sampai ia mendekat, kemudian ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah saw menjawab: Lima shalat sehari semalam. Lalu ia bertanya lagi: Apakah ada kewajiban lain atas saya selain itu? Rasulullah saw. menjawab: Tidak, kecuali engkau kerjakan amalan sunnah, kemudian beliau menjelaskan lagi: dan puasa Ramadlan. Orang itu bertanya lagi: Apakah ada kewajiban lain atasku selain (puasa Ramadlan) itu? Beliau menjawab: Tidak ada, kecuali engkau kerjakan amalan sunnah. [HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, Malik, dan ad-Darimi].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ اللهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ [متفق عليه، واللفظ للبخاري]
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah berfirman: Semua amalan yang telah dilakukan anak Adam itu kembali kepadanya, kecuali puasa. Karena puasa itu adalah bagi-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya. Puasa itu merupakan perisai, oleh karena itu apabila salah seorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan membuat gaduh. Jika ada yang mengajak bertengkar atau mengajak berkelahi, maka katakan kepadanya: Saya sedang berpuasa. Demi Dzat yang menguasai diri Muhammad, bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau minyak kasturi. Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan: kegembiraan waktu berbuka dan kegembiraan ketika menemui Tuhannya karena memperoleh pahala puasa. [Hadits Muttafaq Alaih, lafal al-Bukhari]
KEUTAMAAN PUASA TATHAWWU’
Puasa tathawwu‘ memiliki beberapa keutamaan, di antaranya yang penting adalah sebagai berikut:
1. Puasa tathawwu‘ dapat menjadi perisai dari api neraka, sebagaimana dipahami dari hadis,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا [رواه البخاري ومسلم والترمذي والنسائي وأحمد والدارمي وابن ماجه]
Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa berpuasa pada suatu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkannya dari api neraka selama 70 tahun.” [HR. al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ahmad, ad-Darimiy, dan Ibnu Majah].
2. Malaikat selalu bershalawat atas orang yang berpuasa
عَنْ أُمِّ عُمَارَةَ بِنْتِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَدَعَتْ لَهُ بِطَعَامٍ فَقَالَ لَهَا كُلِي فَقَالَتْ إِنِّي صَائِمَةٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الصَّائِمَ إِذَا أُكِلَ عِنْدَهُ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى يَفْرَغُوا وَ رُبَّمَا قَالَ حَتَّى يَقْضُوا أَكْلَهُمْ [رواه الترمذى وابن ماجة وأحمد والدارمى]
Artinya: Dari Umi Umarah binti Ka’ab bahwa Nabi saw. pernah mendatanginya, lalu Umarah meminta makanan untuk dihidangkan kepada beliau, maka Nabi saw. bersabda kepadanya: Silakan engkau juga makan. Umi Umarah menjawab: Saya berpuasa. Kemudian Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya orang berpuasa apabila ada perjamuan makan padanya, maka malaikat akan memberi shalawat kepadanya sampai perjamuan tersebut selesai, atau menurut lafal lain sampai mereka selesai makan. [HR. at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, dan ad-Darimiy].
3. Puasa tathawwu’ dapat menghapus dosa
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَالَ لَهُ رَجُلٌ أَرَأَيْتَ صِيَامَ عَرَفَةَ قَالَ أَحْتَسِبُ عِنْدَ اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ: أَرَأَيْتَ صَوْمَ عَاشُورَاءَ قَالَ أَحْتَسِبُ عِنْدَ اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ [رواه احمد] .
Artinya: Dari Abi Qatadah, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Ada seseorang bertanya kepada Nabi saw. bagaimana pendapat anda tentang puasa Arafah? Nabi menjawab: Puasa Arafah itu dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan yang tersisa. Kemudian orang tadi bertanya lagi: Bagaimana tentang puasa Asyura’? Nabi saw. menjawab: Puasa Asyura’ dapat menghapus dosa yang telah lalu. [HR. Ahmad].
Catatan: Hendaknya jangan terjadi salah pengertian dan jangan timbul anggapan yang mengarah kepada bermudah-mudah melakukan perbuatan maksiat dan dosa semata karena anggapan bahwa dengan berpuasa sunnat sehari saja dosa-dosa itu, bahkan dosa setahun yang lalu dan yang akan datang, segera akan terhapus, dan orang tersebut akan dijauhkan dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun. Perlu dicamkan bahwa puasa yang sungguh-sungguh bukan sekedar perbuatan fisik berupa tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan badan (bagi pasangan suami-isteri) belaka, melainkan puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang didasarkan kepada suatu komitmen otentik untuk meninggalkan segala perbuatan dosa dan maksiat dan sekaligus terefleksikan dalam perbuatan dan tingkah laku nyata.
Dalam hubungan ini perlu diresapi hadis Rasulullah saw,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ [رواه البخاري ، واللفظ له ، والترمذي وقال هذا حديث حسن صحيح ، وأبو داود وابن ماجة وأحمد] .
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Barang siapa tidak meninggalkan berkata dusta dan mengamalkannya, makia Allah tidak memandang perlu ia menoinggalkan makanan dan minumannya. [HR al-Bukhari, at-Tirmidzi —dan ia mengatakan hadis ini hasan sahih—, Abu Daud, Ibn Majah dan Ahmad].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ [رواه أحمد وابن ماجه]
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Betapa banyaknya orang berpuasa, namun perolehannya dari puasa itu hanyalah lapar dan dahaga belaka, dan berapa banyaknya orang yang melakukan qiyamul-lail, namun yang ia peroleh dari qiyamul-lail tersebut hanyalah kelelahan tidak tidur belaka. [HR Ahmad dan Ibn Majah].
TATA CARA MENGERJAKAN PUASA TATHAWWU’
A. Kerjakanlah puasa sunnah dengan niat yang ikhlas karena Allah semata yang dimulai sebelum fajar atau sesudahnya walaupun sudah tengah hari, selama anda belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berdasarkan dalil:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ قَالَتْ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ قَالَتْ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ وَقَدْ خَبَأْتُ لَكَ شَيْئًا قَالَ مَا هُوَ قُلْتُ حَيْسٌ قَالَ هَاتِيهِ فَجِئْتُ بِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا … (رواه مسلم والترمذي وأبو داود وأحمد)
Artinya: Dari Aisyah Ummul-Mukminin r.a. (diriwayatkan bahwa) ia mengatakan: Pada suatu hari Rasulullah saw bertanya kepadaku, “Wahai Aisyah, apakah kalian mempunyai sesuatu (untuk dimakan)? Aisyah melanjutkan ceritanya: Maka aku menjawab: “Wahai Rasulullah, kami tidak mempunyai sesuatu (untuk dimakan). Lalu Rasulullah berkata, “Kalau begitu saya puasa saja.” Aisyah melanjutkan lagi: Kemudian Rasulullah saw keluar. Sementara itu, kami mendapat haadiah, atau, menurut suatu riwayat, kami didatangi oleh pengunjung. Aisyah melanjutkan: Ketika Rasulullah saw pulang, aku mengatakan (kepada beliau), “Wahai Rasulullah, kami mendapat hadiah —atau kami kedatangan tamu— dan aku menyimpan sebagian untukmu. Lalu Rasulullah saw berkata, “Apa itu?” Aku menjawab, “Kue hais.” Lalu beliau mengatakan, “Bawalah kemari!” Maka aku berikan kepada beliau, lalu beliau makan, kemudian berkata, “Sesungguhnya aku tadi puasa.” [HR Muslim, at-Tiemidzi, Abu Dawud dan Ahmad].
وَزَادَ النَّسَائِي: ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا مَثَلُ صَوْمِ الْمُتَطَوِّعِ مَثَلُ الرَّجُلِ يُخْرِجُ مِنْ مَالِهِ الصَّدَقَةَ فَإِنْ شَاءَ أَمْضَاهَا وَإِنْ شَاءَ حَبَسَهَا [النسائي من كتاب الصيام]
Artinya: An-Nasa’i dalam riwayatnya menambahkan: Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesunguhnya puasa sunnah itu seperti seeseorang yang mengeluarkan hartanya untuk bersedekah, jika ia berkehendak bisa melanjutkannya, dan jika tidak berkehendak, maka menahannya”. [Lihat an-Nasa’i, “Kitab ash-Shiyam”].
B. Dan anda diperkenankan berbuka kapan saja anda berkehendak, berdasarkan dalil hadis Aisyah di atas (huruf A).
C. Salah seorang pasangan suami atau isteri yang hendak berpuasa sunnat hendaklah bermusyawarah minta izin dengan pasangannya ketika berada di rumah (ketika tidak berpergian). Berdasarkan dalil:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ [الشورى: 38] .
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. [QS. Asy-Syura (42):38].
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُونَ نَقِيرًا [النساء: 24] .
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. [QS. an-Nisa’ (4):124].
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْأَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ . [النحل:97]
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [QS. an-Nahl (16):97].
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَا عَبْدَ اللهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا . [رواه البخاري] .
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Wahai Abdullah, bukankah aku pernah diberitahu bahwa engkau berpuasa di siang hari dan melakukan ibadah (shalat) di malam hari? Aku (Abdullah) menjawab: Benar wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda: Janganlah engkau lakukan! Berpuasalah, berbuka, shalat malam, dan tidurlah. Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak terhadapmu, matamu mempunyai hak terhadapmu, dan istrimu mempunyai hak terhadapmu. [HR al-Bukhari].
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ زَوْجِي صَفْوَانَ بْنَ الْمُعَطَّلِ يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ وَيُفَطِّرُنِي إِذَا صُمْتُ وَلاَ يُصَلِّي صَلاَةَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ وَصَفْوَانُ عِنْدَهُ قَالَ فَسَأَلَهُ عَمَّا قَالَتْ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَمَّا قَوْلُهَا يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ فَإِنَّهَا تَقْرَأُ بِسُورَتَيْنِ وَقَدْ نَهَيْتُهَا قَالَ فَقَالَ لَوْ كَانَتْ سُورَةً وَاحِدَةً لَكَفَتِ النَّاسَ وَأَمَّا قَوْلُهَا يُفَطِّرُنِي فَإِنَّهَا تَنْطَلِقُ فَتَصُومُ وَأَنَا رَجُلٌ شَابٌّ فَلاَ أَصْبِرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ لاَ تَصُومُ امْرَأَةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَأَمَّا قَوْلُهَا إِنِّي لاَ أُصَلِّي حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ عُرِفَ لَنَا ذَاكَ لاَ نَكَادُ نَسْتَيْقِظُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ قَالَ فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ . قَالَ أَبو دَاود رَوَاهُ حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ أَوْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ (رواه أبو داود واللفظ له، وأحمد، والبيهقي، والحاكم وصححه، وابن حبان، وابن سعد، وابن عساكر، والديلمي في مسند الفردوس)
Artinya: Dari Abu Sa’id [al-Khudri] (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw, ketika itu kami (para Sahabat) berada bersama beliau. Wanita itu mengatakan: Wahai Rasulullah, suami saya, Safwan Ibn al-Mu‘atththal, memukul saya apabila saya salat dan menyuruh saya membatalkan puasa apabila saya puasa, dan ia baru mengerjakan salat subuh setelah matahari terbit. Abu Sa‘id melanjutkan: Ketika itu Safwan ada bersama beliau. Abu Sa’id meneruskan lagi: Lalu Rasulullah saw bertanya kepada Safwan tentang apa yang dikatakan wanita (isterinya) itu. Safwan menjawab: Wahai Rasulullah, adapun yang ia katakan “Suami saya memukul saya apabila saya salat,” maka itu karena dia membaca dua surat pada hal saya telah melarangnya. Abu Sa’id melanjutkan: Maka Rasulullah saw bersabda: Seandainya dibaca satu surat, maka itu sudah mencukupi. Adapun yang ia katakan “Suami saya menyuruh saya membatalkan puasa,” maka itu karena ia terus berpuasa padahal saya adalah seorang lelaki muda yang tidak bisa menahan [keinginan biologis]. Maka Rasulullah saw bersabda: Pada hari itu janganlah seorang isteri berpuasa kecuali dengan izin suaminya. Adapun yang ia katakan bahwa saya baru mengerjakan salat subuh setelah matahari terbit, maka itu karena kami adalah keluarga [penidur] yang telah dikenal demikian, sehingga kami hampir-hampir tidak bisa bangun sebelum matahari terbit. Maka Rasulullah saw bersabada: Apabila engkau bangun, maka kerjakanlah salat. Abu Dawud berkata: Hadis ini diriwayatkan juga oleh Hammad, yakni Ibnu Salamah, dari Humaid atau Tsabit dari Abu al-Mutawakkil. [HR Abu Dawud, dan lafal ini adalah lafal Abu Dawud, juga oleh Ahmad, al-Baihaqi, al-Hakim yang menyatakannya sahih, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad, Ibnu ‘Asakir dan ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus].
Penjelasan tentang Wujuhul-Istidlal dari Dalil-dalil di atas:
Dalam mengistinbat hukum digunakan metode istiqra’ ma’nawi (induksi tematis), yang berarti istinbat (penemuan) hukum tidak didasarkan hanya pada suatu ayat atau hadis tunggal tertentu, melainkan didasarkan kepada keseluruhan ayat, hadis dan sumber-sumber material syariah yang daripadanya ditarik kesimpulan umum mengenai hukum. Norma-norma syariah dapat dibedakan secara hirarkis ke dalam tiga lapisan norma. Yaitu nilai-nilai dasar (al-qiyam al-as±siyyah), asas-asas umum (al-ushl al-kulliyyah), dan peraturan kongkrit (al-a¥k±m al-far’iyyah). Nilai-nilai dasar bersifat abstrak dan universal serta sekaligus menggambarkan pokok-pokok fundamental ajaran Islam seperti tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain. Asas-asas umum merupakan kongkritisasi dari nilai dasar yang bersifat abstrak dan biasanya dirumuskan dalam al-qawa’id al-fiqhiyyah dan an-nazhariyyah al-fiqhiyyah. Sedangkan peraturan hukum kongkrit merupakan kongkretisasi lebih lanjut dan merupakan penjabaran terhadap norma-norma di atasnya.
Tiga ayat al-Qur’an yang disebutkan di atas mengandung dua nilai dasar, yaitu musyawarah dan persamaan. Hadis Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash merupakan asas umum yang mengkongkritisasi nilai dasar persamaan, yaitu dalam hal ini adanya persamaan hak dalam kehidupan rumah tangga terhadap kenikmatan biologis. Artinya salah satu pasangan mempunyai hak terhadap pasangannya yang lain untuk pemenuhan tuntutan biologis yang seyogyanya tidak dihalangi oleh pelaksanaan ibadah sunnah pasangannya yang lain itu.
Hadis Abu Said yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menerangkan sebagai contoh kasus yang kebetulan tejadi pada Shafwan Ibnu al-Mu‘aththal, di mana pemenuhan kebutuhan biologisnya seyogyanya tidak terhalangi oleh pelaksanaan ibadah sunnah pasangannya. Hal ini berlaku sama terhadap isteri maupun suami karena dalam hadis ‘Abdullah ibn Amr Rasulullah menegaskan suatu asas bahwa sesungguhnya pasanganmu mempunyai hak atas dirimu. Ibnu Hajar mengutip pernyataan Ibnu Baththal (w. 449 H) ketika mensyarah hadis ini yang menyatakan: “Ketika pada bab sebelumnya disebutkan hak suami terhadap isteri maka pada bab ini disebutkan kebalikannya (hak isteri terhadap suami). Tidaklah sepantasnya seorang suami melelahkan dirinya beribadah sehingga tidak mampu memenuhi hak biologis istrinya.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, X:374, “Kitab an-Nikah”)
Sesuai dengan ayat pertama di atas [QS. asy-Syura (48): 38], maka suami atau isteri hendaklah bermusyawarah guna memperoleh persetujuan pasangannya untuk melakukan puasa sunat.
PUASA SUNNAH YANG DISYARI’ATKAN
BERDASARKAN KETERANGAN HADIS-HADIS
Puasa tathawwu‘ yang masyru‘ berdasarkan hadis-hadis Rasulullah saw adalah sebagai berikut:
1. Puasa Nabi Dawud
Apabila anda berkehendak memperbanyak berpuasa, dan anda merasa kuat mengejarkannya, maka berpuasalah sehari dan berbuka sehari, sebagaimana puasa Nabi Dawud a.s. Inilah puasa tathawwu‘paling utama di sisi Allah, berdasarkan dalil:
عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَم كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا ... [رواه التسعة إلا مالك ، واللفظ للنسائي] .
Artinya: Dari ‘amr Ibn Aus (diriwayatkan) bahwa ia mendengar ‘abdullah Ibn ‘Amr Ibn al-‘Ash berkata: Rasulullah saw bersabda: Puasa yang paling disenangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla ialah puasa Dawud a.s.; berpuasa sehari dan berbuka (tidak puasa) sehari. [HR. Abu Dawud].
2. Puasa Hari Senin dan Kamis
Dan biasakanlah anda berpuasa pada hari Senin dan Kamis, berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُعْرَضُ اْلأَعْمَالُ يَوْمَ اْلاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ (رواه أحمد والترمذي وابن حبان معناه)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: Amal-amal perbuatan dinaikkan/disampaikan pada setiap hari Senin dan Kamis. Oleh karena itu aku ingin ketika amalku dinaikkan/disampaikan aku sedang berpuasa. [HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ اْلاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ [رواه أحمد والنسائي وابن ماجة والترمذي وأبو داود من حديث أسامة بن زيد مثله]
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw selalu berupaya puasa hari Senin dan Kamis. [HR Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Abu Daud dari Usamah].
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اْلاِثْنَيْنِ فَقَالَ ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ [رواه أحمد و مسلم و أبو داود] .
Artinya: Dari Abi Qatadah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia meneragkan bahwasanya Nabi saw pernah ditanya tentang puasa Senin, maka Beliau menjawab: Hari Senin itu adalah hari kelahiranku dan hari turunnya wahyu pertama kepadaku. [HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].
3. Puasa Bulan Sya’ban
Perbanyaklah berpuasa dalam bulan Sya’ban, berdasarkan dalil:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَتْ ... مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ [متفق عليه] .
وَ قَالَتْ : ... وَمَا صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا كَامِلاً مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ إِلاَّ رَمَضَانَ . [رواه مسلم والنسائي ، واللفظ له]
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: ... Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadlan. Juga saya tidak pernah melihat Beliau banyak berpuasa kecuali di Bulan Sya’ban. [Muttafaq Alaih].
Ia juga berkata: ... dan Rasulullah saw tidak pernah berpuasa sebulan penuh sejak ia datang di Madinah selain bulan Ramadan. [HR Muslim dan an-Nasa’i].
4. Puasa Muharram dan Bulan-bulan Hurum
Perbanyaklah berpuasa dalam bulan Allah Muharram, dan Asyhurul Hurum (yaitu bulan Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab), dan puasa bulan Muharram merupakan puasa tathawwu‘ yang paling afdal setelah puasa Ramadan, berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ . [رواه مسلم ، واللفظ له ، والنسائي والترمذي وأبو داود وأحمد] .
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah telah bersabda: Seutama-utama puasa setelah Ramadhan adalah Bulan Muharram, dan seutama-utama shalat setelah shalat fardlu adalah shalat malam. [HR Abu Dawud.
عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَ مَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ اْلأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَ قَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا [رواه أبو داود] .
Artinya: Dari Mujibah al-Bahiliyyah dari ayahnya atau pamannya, bahwasanya pada suatu hari ia (ayah atau pamannya) menemui Rasulullah saw, kemudian pergi. Setelah setahun kemudian, ia datang lagi dengan banyak perubahan pada dirinya, lalu berkata: Wahai Rasulullah, apakah Anda tidak mengenali aku lagi? Beliaupun bertanya: Siapakah engkau? Ia menjawab: Saya adalah al-Bahiliy yang pernah mendatangumu setahun yang lalu. Beliau bertanya: Apakah yang telah merubah dirimu; dulu engkau bagus bodimu? Ia menjawab: Saya tidak makan hanya di malam hari semenjak saya berpisah denganmu dulu. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Mengapa engkau menyiksa dirimu seperti ini? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadan) dan sehari setiap bulan. Ia berkata: Berilah saya tambahan, karena saya masih mampu (untuk berpuasa lebih dari satu hari). Beliau bersabda lagi: Berpuasalah dua hari setiap bulan. Ia berkata lagi: Berilah saya tambahan. Beliau bersabda lagi: Berpuasalah tiga hari setiap bulan. Ia berkata lagi: Berilah saya tambahan. Maka Beliaupun bersabbda lagi: Berpuasalah di bulan-bulan haram, dan tinggalkan yang lain, kemudian beliau memberi isyarat dengan tiga jarinya dengan mengumpulkan lalu membukanya! [HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah dan an-Nasa’i].
5. Puasa Hari Asyura’ dan Tasu’a (tanggal 9 dan 10 Muharram)
Berpuasalah, jika engkau menghendaki, pada hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, karena Rasulullah saw memerintahkan berpuasa pada hari itu sebelum diwajibkannya puasa Ramadan, dan setelah diwajibkan puasa Ramadan, beliau menyatakan: siapa yang ingin berpuasa pada hari itu silahkan melakukannya dan siapa yang tidak ingin, silahkan tidak melakukannya. Dan engkau dapat pula menggabungkan kepadanya puasa Tasu‘a, yaitu hari kesembilan bulan Muharram. Hal ini berdasarkan dalil:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَامِهِ حَتَّى فُرِضَ رَمَضَانُ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ [متفق عليه]
Artinya: Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan) bahwa orang-orang Quraisy pada zaman Jahiliah melakukan puasa ‘Asyura’, kemudian Rasulullah saw memerintahkan agar melakukan puasa ‘²syura’ tersebut sehingga diwajibkan puasa Ramadan, dan Rasulullah saw mengatakan: Barang siapa yang ingin melakukan puasa ‘²syura’ silahkan, dan barang siapa yang tidak ingin melakukannya silahkan berbuka. [Hadsi muttafaq ‘alaih].
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ [رواه البخاري]
Artinya: Dari Salamah Ibn al-Akwa‘ r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw memerintahkan seseorang dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada masyarakat bahwa barang siapa yang sudah terlanjur makan hendaklah berpuasa pada sisa hari itu, dan barang siapa yang belum makan hendaklah berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyura’. [HR al-Bukhari].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهماُ قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ [رواه البخاري]
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw membiasakan berpuasa suatu hari yang lebih diutamakan dari yang lainnya kecuali hari ini, yaitu hari Asyura’ dan bulan ini, yaitu bulan Ramadan. [HR. al-Bukhari].
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ [رواه أحمد والنسائي]
Artinya: Dari Hafshah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi saw, yaitu puasa Asyura’, tanggal sepuluh dan tiga hari setiap bulan serta shalat dua rakaat sebelum shubuh. [HR. Ahmad dan an-Nasa’i].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ . [رواه مسلم وأبو داود] . وَفِي لَفْظٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ . [رواه أحمد و مسلم] . وقَالَ أَبُو عَلِيٍّ رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ زَادَ فِيهِ مَخَافَةَ أَنْ يَفُوتَهُ عَاشُورَاءُ . [انظر سنن ابن ماجه] .
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia menerangkan: Ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari Asyura’ dan menyuruh para sahabat juga berpuasa, maka mereka berkata: Wahai Rasulullah, hari Asyura’ itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw bersabda: Kalau demikian, Insya Allah tahun depan kita berpuasa [juga] pada hari yang kesembilan. Ibnu Abbas melanjutkan ceritanya: Tetapi sebelum datang tahun depan yang dimaksud, Rasulullah saw telah wafat. [HR Muslim dan Abu Dawud].
Dalam lafazh lain Rasulullah saw bersabda: Jika Saya panjang umur sampai tahun depan, niscaya saya akan berpuasa pada hari kesembilan, yakni hari, Asyura’. [AR. Ahmad dan Muslim].
Abu ‘Ali mengatakan: Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad Ibn Yunus dari Ibnu Abi Dzi’b dengan tambahan “karena beliau takut ketinggalan ‘Asyura’.” [Lihat Ibnu Majah].
6. Puasa Enam Hari dalam Bulan Syawwal
Apabila anda telah selesai berpuasa Ramadhan, maka berpuasalah enam hari dalam bulan Syawwal (lakukan sesudah Hari Raya Idul Fithri), anda lakukan secara berturut-turut atau berpisah-pisah. Berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ... أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ[رواه الجماعة إلا البخاري والنسائي] .
Artinya: Dari Abi Ayyub al-Anshari r. a. (diriwayatkan) ... bahwa Rasulullah saw bersabda: Barang siapa sudah melakukan puasa Ramadan, kemudian menambahkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah melaksanakan puasa sepanjang masa. [HR Jama’ah ahli hadis selain dan an-Nasa’i].
عَنْ ثَوْبَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ . [رواه أحمد] .
Artinya: Dari Tsauban, dari nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Barang siapa berpuasa Ramadan, maka pahala satu bulan Ramadan itu (dilipatkan sama) dengan puasa sepuluh bulan, dan berpuasa enam hari sesudah Idul Fitri [dilipatkan sepuluh menjadi enam puluh], maka semuanya (Ramadan dan enam hari bulan Syawal) adalah genap satu tahun. [HR Ahmad].
وَفِيْ رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَه : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ وَ مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا .
Artinya: Di dalam riwayat Ibnu Majah dinyatakan [bahwa Rasulullah saw bersabda]: Barangsiapa berpuasa Ramadan dan enam hari sesudah Idul Fitri, maka itu sama pahalanya dengan puasa genap setahun. Dan barangsiapa melakukan satu kebaikan, maka ia akan memperoleh (pahala) sepuluh kali lipat.
ولإطلاق لفظ الحديث المتقدم من غير تعيين لأحدهما
Artinya: Karena keumuman matan hadis yang terdahulu tanpa adanya ta’yin (penjelasan berturut-turut atau berpisah-pisah).
7. Puasa Hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah)
Dan berpuasalah pada hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) jika anda tidak sedang berihram haji (tidak sedang wukuf di ‘Arafah), berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ اْلأَنْصَارِيِّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ ... صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ .[رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي] .
Artinya: Dari Abi Qatadah r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw ditanya ... ... ... tentang puasa hari ‘Arafah, maka beliau menjawab: Puasa hari ‘Arafah menghapus dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang; dan beliau ditanya tentang puasa ‘Asyura’, maka beliau menjawab: Puasa ‘Asyura’ menghapus dosa tahun yang lalu. [HR Jama’ah ahli hadis kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi].
عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فِي بَيْتِهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ [رواه أحمد واللفظ له ، وأبو داود وابن ماجه]
Artinya: Dari Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata: saya menemui Abu Hurairah di rimahnya dan menanyakan tentang puasa ‘Arafah di ‘Arafah, beliau menjawab: Rasulullah saw melarang puasa hari ‘Arafah di Padang ‘Arafah. [HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah].
8. Puasa Tanggal 1 – 8 Bulan Dzulhijjah
Berdasarkan dalil:
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ ( رواه النسائي)
“Dari Hafshah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi saw, yaitu puasa Asyura’, tanggal sepuluh dan tiga hari setiap bulan serta shalat dua rakaat sebelum shubuh.” (HR. an-Nasa’i)
PUASA-PUASA YANG DILARANG
1. Janganlah anda berpuasa sepanjang masa (biasa disebut shaumud-dahr), yaitu berpuasa setiap hari sepanjang tahun, walaupun anda kuat mengerjakannya, berdasarkan dalil:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ اْلأَبَدَ مَرَّتَيْنِ . [رواه الشيخان والنسائي وابن ماجه وأحمد].
Artinya: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Tidak termasuk berpuasa orang yang berpuasa selamanya (terus menerus). [HR dua guru hadis, dan juga riwayat an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad].
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ عُمَرُ سَأَلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الدَّهْرَ كُلَّهُ قَالَ لاَ صَامَ وَلاَ أَفْطَرَ ... ... ... [رواه أبو داود]
Artinya: Dari Abi Qatadah r.a. (diriwayatkan) bahwasanya ‘Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, bagaimana hukumnya orang yang berpuasa sepanjang masa? Beliau menjawab: Ia tidak berpuasa dan tidak berbuka ... ... ... [HR Abu Dawud].
Yang lebih utama adalah hendaknya anda mengerjakan puasa Dawud sebagaimana keterangan yang telah lalu, berdasarkan dalil:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ وأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَهُ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَ يَصُوْمُ يَوْمًا [رواه أبو داود]
Artinya: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw kepadaku: Puasa yang paling disenangi di sisi Allah ialah puasa Dawud, dan shalat yang paling disenangi di sisi Allah ialah shalat yang dikerjakan Dawud: ia tidur separuh malam dan bangun sepertiganya, lalu tidur lagi seperenamnya; dia berbuka sehari dan berpuasa sehari. [HR Abu Dawud].
2. Dan janganlah anda menyambung puasa dua hari atau lebih tanpa berbuka (puasa wisal), berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ مَرَّتَيْنِ قِيلَ إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِ فَاكْلَفُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ [رواه البخاري] .
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Jauhilah puasa wishal (bersambung) 2x. Orang-orang berkata: Sesungguhnya engkau melakukan puasa wishal juga. Maka beliau bersabda: Sesungguhnya aku tidur seraya diberi makan dan minum oleh Tuhanku, oleh karena itu kerjakanlah amal perbuatan sesuai kemampuan. [HR al-Bukhari].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَتْ نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوِصَالِ رَحْمَةً لَهُمْ فَقَالُوا إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي [متفق عليه]
Artinya: Dari‘Aisyah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw melarang puasa wishal (puasa bersambung) sebagai tanda kasih sayang kepada umatnya. Kemudian para sahabat berkata: Sesungguhnya anda juga melakukan puasa wishal. Maka beliau saw menjawab: Saya tidak seperti kamu, saya diberi makan dan minum oleh Tuhanku. [Muttafaq ‘alaih].
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ تُوَاصِلُوا فَأَيُّكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ قَالُوا فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أَبِيتُ لِي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي وَسَاقٍ يَسْقِينِ [رواه البخاري وأبو داود] .
Artinya: Dari Abu Sa’id r.a. (diriwayatkan bahwa) bahwasanya ia mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kamu melakukan puasa wishal, jika kamu menghendakinya maka teruskanlah sampai waktu sahur. Para sahabat berkata: Sesungguhnya engkau juga melakukan puasa wishal, wahai Rasulullah. Beliau menjawab: Saya tidak seperti halnya kamu, sesungguhnya saya tidur dan ada orang yang memberi makan dan minumku. [HR al-Bukhari dan Abu Dawud].
3. Janganlah anda berpuasa pada dua Hari Raya, berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِى رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ … [رواه البخاري]
Artinya: Dari Abu Sa’id r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw melarang berpuasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. [HR al-Bukhari].
عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا يَوْمُ اْلأَضْحَى فَتَأْكُلُونَ مِنْ لَحْمِ نُسُكِكُمْ وَأَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ [رواه أبو داود]
Artinya: Dari Abi ‘Ubaid r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya menyaksikan hari raya bersama Umar r.a. lalu dimulailah shalat ‘Id sebelum khutbah, kemudian ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw melarang berpuasa pada dua hari raya ini. Adapun di hari Idul Adha maka hendaklah kamu sekalian makan daging kurbanmu, sedang di hari Idul Fitri hendaklah kamu sekalian berbuka dari puasamu. [HR Abu Dawud].
4. Demikian juga anda dilarang berpuasa pada hari Tasyriq (yaitu tanggal 11-12-13 Dzulhijjah), berdasarkan dalil:
عَنِ كَعْبِ ابْنِ مَالِكٍ ... أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ وَأَوْسَ بْنَ الْحَدَثَانِ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ فَنَادَى أَنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَأَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ [رواه أحمد ومسلم] .
Artinya: Dari Ka’ab bin Malik (diriwayatkan) ... bahwasanya Rasulullah saw mengutusnya beserta Aus Ibnu Hadatsan pada hari Tasyriq, lalu mereka berdua berseru: Sesungguhnya tidak akan masuk syurga kecuali orang-orang mukmin, dan hari Mina (hari Tasyriq) adalah hari-hari untuk makan dan minum. [HR Ahmad dan Muslim].
5. Dan janganlah anda berpuasa khusus hari Jum’ah tanpa diikuti puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, berdasarkan dalil:
عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ سَأَلْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ أَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ نَعَمْ وَرَبِّ هَذَا الْبَيْتِ . [رواه البخاري ومسلم] .
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادٍ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا رَضِي اللهُ عَنْه أَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ قَالَ نَعَمْ. زَادَ غَيْرُ أَبِي عَاصِمٍ يَعْنِي أَنْ يَنْفَرِدَ بِصَوْمٍ . [متفق عليه، واللفظ للبخاري] .
Artinya: Dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far (diriwayatkan bahwa ia berkata): Saya bertanya kepada Jabir r.a. : Apakah Nabi saw melarang puasa pada hari Jum’at? Jawabnya: Ya. Rawi selain Abu ’Ashim menambahkan: “Maksudnya mengkhususkan puasa hari Jum’at. [Muttafaq Alaih, lafal dari al-Bukhari].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ [رواه البخاري]
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah seseorang kamu berpuasa pada hari Jum’at, kecuali kamu berpuasa pada hari sebelumnya atau sesudahnya. [HR al-Bukhari].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اْلأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ [رواه مسلم]
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Janganlah kamu mengkhususkan malam Jum’at untuk qiyamul lail di antara malam-malam yang lain, dan janganlah kamu mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa di antara hari-hari yang lain, kecuali jika bertepatan dengan puasa yang terbiasa dilakukan oleh salah seorang di antara kamu.” (HR. Muslim)
(Maksudnya: seseorang yang terbiasa puasa Dawud yang kebetulan jatuh hari puasanya pada hari Jum’ah, maka bolehlah baginya berpuasa hari Jum’ah itu).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيدٍ فَلاَ تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ إِلاَّ أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ (رواه أحمد)
Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya hari Jum’ah itu adalah hari raya, oleh karena itu janganlah kamu jadikan hari rayamu itu hari untuk berpuasa, kecuali jika kamu berpuasa sebelum atau sesudahnya. [HR Ahmad].
6. Dan janganlah anda mendahului puasa Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali jika anda terbiasa berpuasa (misalnya: terbiasa puasa Dawud atau Senin-Kamis), berdasarkan dalil:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ [رواه الجماعة، واللفظ للبخاري] .
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) ia bersabda: Janganlah salah seorang di antara kamu mendahului berpuasa sehari atau dua hari menjelang Ramadan, kecuali jika seseorang terbiasa melakukannya [misalnya: Senin-Kamis atau puasa Dawud], maka berpuasalah pada hari itu. [HR al-Jama’ah, lafal al-Bukhari].
C. SHALAT JUM’AT
Sidang Pleno Musyawarah Nasional Tarjih Ke-26 memutuskan tuntunan shalat Jumat sebagai di bawah ini dengan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Hadis Thariq tentang kewajiban Jumat dinilai dla’if dan karenanya tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Kewajiban shalat Jum’at berlaku bagi setiap mukallaf.
3. Pelaksanaan shalat Jum’at bagi wanita dan orang yang udzur akan dibahas lebih lanjut pada Munas yang akan datang.
TUNTUTAN MELAKSANAKAN SHALAT JUM’AT
A) Dasar Kewajiban Jumat
Setiap muslim yang mukallaf diwajibkan melaksanakan shalat jum’at dan dasar kewajiban shalat Jumat tersebut adalah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (الجمعة :9)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman apabila (kalian) diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka segeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q al-Jumu‘ah (62): 9)].
B) Persiapan Sebelum Shalat Jum’at
Sebelum menghadiri shalat Jum’at dituntunkan agar melakukan hal-hal berikut:
1. Mandi (seperti mandi janabah), memakai pakaian yang terbaik dan mengenakan wangi-wangian jika ada, berdasarkan hadis.
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عتهما أّنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْجُمْعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ (رواه البخارى والترمذى وابن ماجه وأحمد)
Artinya: Dari Abdillah bin Umar ra (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian akan mendatangi shalat Jum’at maka hendaklah ia mandi [HR al-Bukh±r³, at-Tirmidz³, Ibnu Majah dan Ahmad].
عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِىِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهَ عَلَيْه ِوَسَلَّم مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمْعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيْبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّق بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمْعَةِ اْلأُخْرَى (رواه البخارى والنسلئى وأحمد)
Artinya: Dari Salm±n al-F±ris³ (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: Barang Siapa mandi pada hari Jum‘at dan membersihkan diri sedemikian rupa, kemudian memakai atau mengenakan wangi-wangian, kemudian berangkat, lalu kemudian tidak menggeser antara dua orang untuk menyela di antara keduanya, lalu mengerjakan shalat, kemudian ketika imam muncul untuk berkhutbah ia tenang mendengarkan khutbah, maka diampuni dosanya antara hari Jumat itu dengan Jumat berikutnya [HR al-Bukh±r³, an-Nas±’³ dan Ahmad].
2. Hendaklah bersegera pergi ke masjid, dan berangkat dengan tenang
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ (رواه الجماعة إلا ابن ماجه)
Artinya: Dari Ab Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw bersabda: Barang Siapa mandi pada hari Jum‘at seperti mandi janabah kemudian berangkat ke tempat shalat Jumat, maka ia mendapat pahala seakan-akan ia berkurban seekor unta; dan barang siapa berangkat dalam waktu yang kedua, maka seakan-akan ia berkurban seekor lembu; dan barang siapa berangkat dalam waktu yang ketiga, maka seakan-akan ia berkurban seekor domba bertanduk; barang siapa berangkat dalam waktu yang keempat, maka seakan-akan ia berkurban seekor ayam betina; dan barang siapa berangkat dalam waktu yang kelima, maka seakan-akan ia berkurban sebutir telur. Jika imam telah muncul, maka Malaikat hadir pula untuk mendengarkan khutbahnya [HR Jama‘ah selain Ibn Majah]
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ اْغتَسَلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ وَلَبِسَ ثِياَبَهُ وَمَسَّ طِيْباً إِنْ كاَنَ عِنْدَهُ ثُمَّ مَشَى إِلىَ الْجُمُعَةِ وَعَلَيْهِ السَّكِيْنَةُ وًلمَ ْيَتَخَطَّ أَحَداًَ وًلمَ ْيُؤْذِهِ وَرَكَعَ مَا قُضِىَ لَهُ ثُمَّ انْتَظَرَ حَتَّى يَنْصَرِفَ اْلإماَمُ غُفِرَ لَهُ ماَ بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ [رواه أحمد]
Artinya: Barang Siapa mandi pada hari Jum‘at dan memamakai pakaiannya serta mengenakan wangi-wangian jika ada kemudian berjalan ke tempat shalat Jumat dengan tenang dan [sesampainya di mesjid] tidak melangkahi dan tidak mengganggu seseorang serta melakukan shalat (sunnat) sesanggupnya lalu kemudian menanti sampai imam selesai shalat Jumat, maka diampuni dosa-dosanya yang dilakukan di antara dua Jumat. [HR Ahmad].
3. Setelah tiba di masjid, hendaklah melakukan shalat tahiyatul masjid dua rakaat (meskipun khatib sudah berkhutbah) kemudian dilanjutkan dengan shalat sekemampuannya (jika tidak terlambat datang).
1- عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ثُمَّ قَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا(رواه البخارى ومسلم والترمذى وأبو داود والنسائى وأحمد)
Artinya: Dari Jabir Ibnu ‘Abdullah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Sulaik al-Gathaf±n³ datang pada hari Jumat ketika Rasulullahsaw sedang berkhutba, lalu ia duduk. Maka Rasulullah saw berkata kepadanya: Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua rakaat dan percepatlah. Kemudian beliau bersabda: Apabila seseorang kamu datang ke shalat Jumat ketika imam sedang berkhutbah, maka hendaklah ia shalat dua rakaat dan hendalklah dipercepat. [HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nas±’³ dan Ahmad].
2- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ (رواه مسلم والترمذى وأبو داود وابن ماجه وأحمد)
Artinya: Dari Ab Hurairah, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) ia bersabda: Barang siapa mandi, kemudia mendatangi shalat Jumat, lalu mengerjakan shalat (sunnat) seberapa kemampuannya, lalu tenang mendengarkan khutbah sampai imam selesai berkhutbah, kemudian mengerjakan shalat Jumat bersama imam, diampuni dosa-dosanya antara hari Jumat itu dan Jumat berikutnya serta tambahan tiga hari. [HR Muslim, at-Tirmidzi, Ab D±wd, Ibnu Majah dan Ahmad].
4. Orang yang datang terlambat, hendaklah tidak menggangu anggota jamaah yang sudah datang lebih awal, berdasarkan hadis,
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ (رواه أحمد)
Artinya: Dari Ab Ayyb al-Ansh±r³ (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barang siapa mandi pada hari Jumat dan mengenakan wangi-wangian bila ada, dan memakai pakaiann yang terbaik, kemudiaqnn keluar dengan tenang hingga sampai ke mesjid, lalu mengerjakan shalat (suannat) jika ia mengingininya, dan ia tidak mengganggu orang lain kemudian tenang mendengarkan khutbah imam sejak ia datang hingga mengerjakan shalat (Jumat), maka yang demikian itu menjadi pembebas dosanya antara hari Jumat itu dan Jumat berikutnya [HR Ahmad].
5. Apabila khatib sudah mulai menyampaikan khutbahnya, hendaklah setiap jamaah diam dengan penuh kekhusyukan sembari memperhatikan khutbah dengan sungguh-sungguh (tidak berbicara, bercanda atau mengganggu konsentrasi) sampai khatib selesai khutbahnya, berdasarkan hadis Ahmad tersebut pada angka 4 di atas.
C) Tata Cara Melaksanakan Shalat Jum’at
1. Shalat Jum’at dimulai pada saat masuk waktu shalat Dzuhur. Pada saat itu khatib naik mimbar dan berdiri seraya mengucapkan salam, berdasarkan hadis,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ (رواه البخارى والترمذى وأبو داود وأحمد)
Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw shalat Jumat ketika matahari condong (tergelincir) [HR al-Bukh±r³, at-Tirmidz³, Ab D±wd dan Ahmad]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ سَلَّمَ (رواه ابن ماجه)
Artinya: Dari Jabir Ibnu Abdillah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw mengucapkan salam apabila Naik mimbar [HR Ibnu M±jah].
2. Setelah mengucapkan salam, khatib duduk dan muazzin mengumandangkan azan hingga selesai, berdasarkan hadis,
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ قَالَ كاَنَ النِّداَءُ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ اْلإماَمُ عَلَى اْلمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُماَ فَلَماَّ كَانَ عُثْماَنُ رَضِيَ الله عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّداَءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْراَءُ [رواه البخاري والنسائي وأبو داود] .
Artinya: Dari as-S±’ib Ibnu Yaz³d r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah seruan azan pertama pada masa Nabi saw, Ab Bakar dan Umar r.a. dilakukan ketika imam telah duduk di atas mimbar. Ketika tiba masa Usman r.a. dan orang bertambah banyak, maka beliau menambah azan ketiga yang dilakukan di atas az-Zaur±’. Pada masa Nabi saw hanya ada seorang muazzin [HR al-Bukh±r³, an-Nas±’³ dan Ab D±wd].
[Catatan Majelis Tarjih: Dikatakan seruan azan ketiga karena azan pertama ketika imam duduk di atas mimbar dan iqamah ketika hendak shalat Jumat dikatakann sebagai dua seruan, sehingga seruan azan tambahan Usman dikatakan seruan azan ketiga. Tarjih mengamalkan apa yang dipraktikkan oleh Rasulullah, yaitu azan satu kali ketika imam duduk di atas mimbar].
3. Khatib mengawali (membuka) khutbahnya dengan mengucapkan pujian, membaca syahadat, shalawat kepada Nabi saw, membaca beberapa ayat al-Qur’an kemudian menyampaikan taushiyah.
1- عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ (رواه الترمذى)
Artinya: Dari Jabir Ibnu ‘Abdillah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw dalam khutbahnya memuji Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya, kemudian mengatakan: Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkannya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk; sesungguhnya ucapan paling benar adalah Kitab Allah dan petunjuk paling baik adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang dibuat-buat (diada-adakan), dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka [HR at-Tirmidz³].
2- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ (رواه الترمذى وأبو داود وأحمد)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a.(diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap khutbah yang di dalamnya tidak ada tasyahhud (ucapan syahadat) adalah seperti tangan yang buntung [HR at-Tirmidzi, ab D±wd dan Ahmad].
3- عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رضى الله عنه أنه صلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يُواَظِبُ عَلَى اْلوَصِيَّةِ بِالتَّقْوَى فى خطبته(رواه مسلمِ
Artinya: Dari Jabir ibnu Samurah r.a. (diriwayatkan) bahwasanya Nabi saw selalau membiasakan memberi pesar (taushiah) supaya bertakwa dalam khubahnya [HR Muslim].
4- عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ [رواه مسلم] .
Artinya: Dari Jabir Ibnu Samurah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Nabi saw melakukan dua khutbah yang di antara dua khutbah itu ia duduk. Beliau 9dalam khutbahnya) membaca al-Qur’an dan memberi pesan (peringatan) kepada jama’ah [HR Muslim].
4. Setelah khutbah pertama selesai, khatib duduk sebentar (tidak ada do’a khusus antara dua khutbah) kemudian berdiri kembali untuk menyampaikan khutbah kedua.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُومُ كَمَا تَفْعَلُونَ اْلآنَ (رواه البخارى ومسلم والنسائى والترمذى وأبو داود وأحمد)
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Nabi saw berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri lagi sebagaimana kamu lakukan sekarang [HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidz³, ab D±wd dan Ahmad].
5. Khutbah kedua diakhiri dengan dengan do’a dan penutup khutbah. Dan ketika berdoa diperbolehkan untuk mengacungkan jari telunjuknya.
عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ قَالَ كُنْتُ إِلَى جَنْبِ عِمَارَةَ بْنِ رُوَيْبَةَ وَبِشْرٌ يَخْطُبُنَا فَلَمَّا دَعَا رَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ عِمَارَةُ يَعْنِي قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ أَوْ هَاتَيْنِ الْيُدِيَّتَيْنِ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ إِذَا دَعَا يَقُولُ هَكَذَا وَرَفَعَ السَّبَّابَةَ وَحْدَهَا (رواه مسلم والترمذى والنسائى وأحمد والدارمى)
Artinya: Dari Hushain Ibnu ‘Abd ar-Rahman as-Sulami (diriwayatkan bahwa)ia berkata: suatu ketika aku duduk di samping ‘Imarah Ibnu Ruwaibah, sementara Bisyr berkhutbah di depan kami. Ketika ia berdo’a, ia mengangkat kedua tangannya. Lalu ‘Im±rah berkata: Allah menjelekkan kedua tangan ini —atau kedua tangan kecil ini—. Saya melihat Rasulullah saw ketika berkhutbah mengucapkan do’a begini, dan ‘Imarah mengangkat hanya jari telunjuk saja [HR Muslim, at-Tirmidzi, an-Nas±’³, Ahmad dan ad-D±rim³].
6. Setelah selesai berdo’a khatib turun dari mimbar, kemudian muadzin mengumandangkan iqomah untuk pelaksanaan shalat Jum’at.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا (النسائى وابن ماجه)
Artinya: Dari as-S±’ib Ibnu Yazid (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Bilal azan ketika Rasulullah saw duduk di atas mimbar pada hari Jumat; apabila beliau turun [dari mimbar sesudah selesai khutbah], Bilal melakukan iqamah. Demikianlah pula yang dilakukan di zaman Abu Bakar dan Umar r.a. [HR an-Nas±’³ dan Ibnu Majah].
7. Khutbah yang disampaikan oleh khatib hendaklah tidak terlalu lama (panjang). Atau dengan kata lain shalatnya hendaklah lebih lama dari khutbahnya.
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنْ الْبَيَانِ سِحْرًا (رواه مسلم وأحمد)
Artinya: Dari ‘Ammar Ibnu Yasir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesunggunguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seorang khatib adalah tanda kepahaman seseorang tentang agama. Oleh karena itu panjangkanlah shalat dan persingkatlah khutbah; sesungguhnya dalam penjelasan singkat ada daya tarik [HR Muslim dan Ahmad].
8. Kemudian lakukanlah shalat dua rakaat dan diupayakan dalam pelaksanaannya lebih lama dari khutbahnya.
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلاَةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ اْلأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه النسائى وابن ماجه وأحمد)
Artinya: Dari ‘Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Shalat safar adalah dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, dan shalat Juamat dua rakaat berdasarkan ucapan Muhammad saw [HR an-Nas±’³, Ibnu Majah, Ahmad].
9. Bacaan surat yang biasa dibaca oleh Nabi saw. pada shalat Jum’at adalah surat al-A’la dan al-Ghasyiyah atau surat al-Jum’ah dan al-Munafiqun.
1- عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الّصَلاَتَيْنِ (رواه مسلم والترمذلى والنسائى وأبو داود وأحمد)
Artinya: Dari an-Nu‘man Ibnu Basyir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw dalam shalat dua hari raya dan shalat Jumat membaca sabbihisma rabbikal-a‘l± dan hal at±ka ¥ad³tsul-gh±syiyah. An-Nu‘man berkata lagi: apabila shalat hari raya dan shalat Jumat jatuh pada hari yang sama, beliau juga membaca kedua surat itu dalam kedua shalat dimaksud [HR Muslim, at-Tirmidz³, an-Nas±’³, Ab D±wd dan ahmad].
2- عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ الم تَنْزِيلُ وَ هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ وَفِي صَلاَةِ الْجُمُعَةِ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَالْمُنَافِقِينَ (رواه مسلم والنسائى وأحمد)
Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw pada hari Jumat dalam shalat subuh membaca Alifl±mm³m. Tanz³lu … dann Hal at± ‘l±l-ins±ni; dan dalam shalat Jumat membaca surat al-Jumu‘ah dan surat al-Mun±fiq³n [HR Muslim, an-Nas±’³, dan Ahmad].
10. Setelah selesai melaksanakan shalat Jum’at dan dzikir, kemudian lakukanlah shalat sunnat setelah shalat Jum’at 2 raka’at atau 4 raka’at,
1- عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ(رواه أحمد)
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar (diriwayatkan bahwa) ia berkata: adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat shalat (sunnat) dua rakaat di rumahnya sesudah shalat Jumat [HR Ahmad]
2- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ab Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Apabila seseorang kamu melakukan shalat Jumat, maka hendaklah ia mengerjakan shalat (sunnat) empat rakaat sesudahnya [HR Muslim].
D) Shalat Jum’at Pada Hari Raya
Apabila hari raya (Idul Fithri atau Idul Adha) jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melakukn shalat Id boleh tetap melakukan shalat Jum’at atau melakukan shalat Dzuhur sebagai ganti dari shalat Jum’at.
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ (رواه النسائى وابن ماجه وأبو داود)
Artinya: Dari Iy±s Ibnu Ab³ Ramlah asy-Sy±m³ (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya menyaksikan Mu‘awiyah Ibnu Ab³ Sufy±n ketika bertanya kepada Zaid Ibnu Ts±bit, katanya: Apakah engkau pernah menghadiri shalat dua gari raya bersama Rasululah saw di mana kedua hari raya itu jatuh pada hari Jumat? Zaid menjawab: Ya. Mu‘awiyah bertanya lagi: Bagaimana tindakan Rasulullah? Zaid menjawab: Beliau shalat Jumat, kemudian memberi rukhsah (dispensasi) untuk tidak menghadiri Jumat di mana beliau bersabda: Barang siapa yang mau shalat (Jumat), silahkan shalat [HR an-Nas±’³, Ibnu Majah dan Ab D±wd].
D. MERAWAT JENAZAH
Menerima hasil keputusan Sidang Pleno Musyawarah Nasional Tarjih ke-26 dengan beberapa catatan sebagai berikut:
1. Tuntunan merawat jenazah dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) dengan dalil-dalinya dapat diterima. Hanya saja pada bagian Kaifiyyatut-Tajhiz (h. 227) sesudah kata-kata ثم إذا مات فـ [Kemudia bila ia meninggal, maka] dan sebelum غمضوا [pejamkanlah] ditambahkan قولوا إنا لله وإنا إليه راجعون (6-أ) و [ucapkanlah inn± lill±hi wa inn± ilaihi r±ji‘n (6a) dan …] sehingga teksnya secara lengkap berbunyi : ثم إذا مات فقولوا إنا لله وإنا إليه راجعون (6-أ) وغمضوا ... . Dalil 6a adalah,
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. [البقرة: 156].
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inn± lill±hi wa inn± ilaihi r±ji‘n. [QS. Al-Baqarah: 156].
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اَللَّهُمَّ أْجُرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهاَ إِلاَّ أَجَرَهُ الله فِيْ مُصِيْبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهاَ (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ummu Salamah, isteri Nabi saw, (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Tiadalah seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengatakan ‘Inn± lill±hi wa inn± ilaihi r±ji‘n, all±humma’jurn³ f³ mush³bat³ wa akhlif l³ khairan minh± [Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepada-Nya, Ya Allah berilah aku pahala atas kesabaran dalam musibah ini, dan berilah aku kebaikan sesudahnya], melainkan Allah akan memberinya pahala atas kesabarannya menghadapi musibah itu dan akan memberinya kebaikan sesudah musibah tersebut [HR Muslim].
2. Hadis mengenai tata cara shalat janazah sebagaimana tertuang dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) dalil ke 28 halaman 228 dapat ditarik dua pemahaman.
a. Setelah takbir pertama membaca al-Fatihah dan Shalawat.
b. Setelah takbir pertama cukup membaca al-Fatihah sedangkan shalawat dibaca setelah takbir kedua.
Kedua-duanya dapat diamalkan sebagai bentuk tanawwu’ al-Ibadah.
Lampiran 4
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
Pertama : Rumusan Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah perlu terus dikaji dan dikembangkan seiring dengan perkembangan pemikiran dan permalasalahan yang menuntut adanya suatu manhaj yang tepat.
Ketiga : Kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan
Pusat Muhammadiyah ditugaskan untuk melakukan kajian-kajian guna pengembangan manhaj lebih lanjut sembari memasyarakatkan manhaj yang sudah ada.
Lampiran 5-A
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Fiqh Perempuan
1. Perempuan menjadi imam shalat bagi sesama perempuan adalah masyru’, berdasarkan hadits Tamimah binti Salamah dari Aisyah,
عَنْ تَمِيْمَةَ بِنْتِ سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ أَنَّهاَ أَمَّتِ النِّساَءَ فِيْ صَلاَةِ اْلمَغْرِبِ فَقاَمَتْ وَسَطَهُنَّ وَجَهَرَتْ بِاْلقِرَاءَةِ (رواه ابن حزم في المحلى ، ورواه أيضا البيهقي وعبد الرزاق وابن أبي شيبة ، وقال صاحب خلاصة البدر المنير : حديث عائشة رواه الشافعي والدارقطني والبيهقي بإسناد صحيح)
Artinya: Dari Tam³mah Binti Salamah, dari Aisyah Ummul Mukminin (diriwayatkan) bahwa dia mengimami kaum perempuan pada shalat Magrib; dia berdiri di tengah-tengah mereka dan menjaharkan bacaan [HR Ibnu ¦azm dalam al-Mu¥all±, dan diriwayatkan juga oleh al-Baihaq³, ‘Abd ar-Razz±q dan Ibnu Ab³ Syabah. Penyusun kitab Khul±shatul-Badril-Munir menegaskan: Hadis Aisyah diriwayatkan oleh asy-Sy±fi‘³, ad-D±raquthn³ dan al-Baihaq³ dengan sanad yang sahih].
2. Tentang perempuan menjadi imam dalam shalat jama’ah yang di dalamnya ada laki-laki ada dua pendapat yang mengemuka, berkaitan dengan kesahihan hadits Ummu Waraqah tentang pengalamannya menjadi imam shalat bagi laki-laki serta kesahihan hadits Jabir ibn Abdillah tentang larangan Nabi SAW bagi perempuan menjadi imam shalat untuk laki-laki. Karena kedua pendapat tidak dapat dipertemukan, maka persoalan ini diserahkan kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut.
3. Tentang hukum perempuan melakukan shalat Jum’at, ada dua pendapat yang berkembang. Pendapat pertama menyatakan wajib mukhayyar, berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Ummu Hisyam dan hadits riwayat Abu Dawud dari Thariq ibn Syihab. Pendapat Kedua, menyatakan wajib ‘ain, berdasarkan keumuman surat Al-Jumu’ah ayat 9 dan hadits riwayat Abu Dawud, Abu Ya’la, an-Nasai, dan Ibnu Majah dari Shahabat Umar ibn Al-Khathab tentang bilangan rakaat shalat Jum’at dua rakaat (yang dipahami sebagai tidak ada shalat Dzuhur pada hari Jum’at) serta kedla’ifan hadits tentang pengecualian shalat Jum’at atas perempuan. Mengingat kedua pendapat ini tidak dapat dipertemukan, maka persoalan ini diserahkan kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk melakukan telaah lebih lanjut.
Lampiran 5-B
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Pornografi dan Pornoaksi
1. Pornografi adalah semua produk berupa gambar, tulisan, dan suara yang menimbulkan nafsu birahi yang pemanfaatannya bertentangan dengan agama, moral, dan kesopanan. Pornoaksi adalah sikap, perilaku, gerakan tubuh, suara yang erotis dan sensual baik dilakukan secara sendirian atau bersama-sama yang pemanfaatannya bertentangan dengan agama, moral dan kesopanan.
2. Pornografi dan pornoaksi merebak antara lain disebabkan oleh : (a) munculnya era kebebasan media cetak dan elektronika, dan pergaulan bebas, (b) semakin massifnya kasus perjudian, minum-minuman keras, narkoba, pencurian (termasuk korupsi), dan perzinahan, (c) fenomena busana mini dan seksi, (d) pengaruh iklan obat kuat dan pemakaian kontrasepsi, (e) budaya global, termasuk budaya konsumeristik dan hedonistik..
3. Pertimbangan dalam mensikapi merebaknya pornografi dan pornoaksi adalah: (a) kenyataan bahwa pornografi dan pornoaksi memiliki dampak yang sangat negatif, (b) membiarkan pornografi dan pornoaksi dapat berakibat pada penghancuran bangsa, dan (c) sebagian besar ummat Islam dan bangsa Indonesia belum memberikan perhatian secara maksimal terhadap pornografi dan pornoaksi dan dampaknya.
4. Akibat-akibat negatif pornografi dan pornoaksi antara lain; (a) dapat membangkitkan seksualitas yang liar, (b) dapat menimbulkan kekacauan (chaos) sosial, (c) dapat melahirkan prostitusi dan kriminalitas, (d) meracuni kerangka pikir dan menggelapkan hati nurani, (e) meluluhlantakkan nilai-nilai agama dan moral.
5. Hukum pornografi dan pornoaksi adalah haram, sesuai dengan al-Qur’an, as-Sunnah al-Maqbulah, dan beberapa kaidah fiqhiyyah (terlampir), sedangkan untuk kepentingan pendidikan, medis, penelitian, dan kegiatan ilmiah lainnya adalah bukan pornografi dan pornoaksi, hukumnya adalah mubah sesuai dengan kaidah fiqhiyyah: “al-Hajatu qad tanzilu manzilat al-dharurat”.
6. Penanggulangan pornografi dan pornoaksi dapat dilakukan melalui cara preventif dan repressif. Preventif dilakukan dalam bentuk: (a) kampanye anti pornografi dan pornoaksi baik melalui media cetak, elektronik, intranet, maupun internet; (b) sosialisasi anti pornografi dan pornoaksi melalui pendidikan akhlaq al-karimah; (c) penyediaan sarana: pembinaan, pengawasan, rehabilitasi, dan peran serta masyarakat. Sementara itu, penanggulangan repressif dilakukan melalui: (a) mendesak adanya undang-undang anti pornografi dan pornoaksi melalui lobying dan aksi sosial; (b) dibentuknya badan sensor yang independen.
Dalil-dalil untuk diktum no. 5:
1) Firman Allah SWT:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ(30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’. Katakanlah kepada wanita yang beriman : ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-puteri mereka, atau putera-puteri suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putera-puteri saudara laki-laki mereka, atau putera-puteri saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung’. (QS. Al-Nur [24] : 30-31)
2) Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: Hai Nabi ! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri orang mukmin : ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33] : 59)
3) Firman Allah SWT :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa. Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 2)
4) Hadis-hadis tentang larangan berpakaian tembus pandang, erotis, sensual dan sejenisnya, dan berperilaku tertentu, serta hadis tentang larangan berduaan antara laki-laki dengan perempuan bukan mahram, antara lain :
عَنِ ابْنِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ أَبَاهُ أُسَامَةَ قَالَ كَسَانِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا أَهْدَاهَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَكَ لَمْ تَلْبَسِ الْقُبْطِيَّةَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ كَسَوْتُهَا امْرَأَتِي فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلاَلَةً إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا
Artinya: Dari Ibnu Usamah bin Zaid bahwa ayahnya, Usamah, berkata: Rasulullah SAW memberikan kepadaku qubtihyah katsifah (jenis pakaian tembus pandang berwarna putih buatan Mesir) yang dihadiahkan oleh Dihyah al-Kalbiy. Lalu aku berikan kepada istriku. Rasulullah SAW bertanya kepadaku: ‘Mengapa engkau tidak memakai qubthiyah?’ Saya menjawab: ‘Wahai Rasulullah ! Aku berikan kepada istriku.’ Rasulullah SAW bersabda kepadaku: ‘Suruh istrimu agar mengenakan rangkapan di bawahnya. Saya khawatir pakaian tersebut dapat memperlihatkan bentuk tubuh’. (HR. Ahmad)
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ أُمِّهِ أَنَّهَا قَالَتْ دَخَلَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى حَفْصَةَ خِمَارٌ رَقِيقٌ فَشَقَّتْهُ عَائِشَةُ وَكَسَتْهَا خِمَارًا كَثِيفًا
Artinya: Dari ‘Alqamah bin abi ‘Alqamah, dari ibunya, bahwa ia berkata: Hafshah binti Abdurrahman masuk ke dalam rumah ‘Aisyah isteri Nabi SAW dan Hafshah mengenakan tutup kepala yang tipis, lalu ‘Aisyah menyobeknya dan mengenakan padanya tutup kepala yang tebal’. (HR. Malik dalam al-Muwaththa).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ سَيَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي رِجَالٌ يَرْكَبُونَ عَلَى السُّرُوجِ كَأَشْبَاهِ الرِّجَالِ يَنْزِلُونَ عَلَى أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ نِسَاؤُهُمْ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِمْ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْعِجَافِ الْعَنُوهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُونَاتٌ لَوْ كَانَتْ وَرَاءَكُمْ أُمَّةٌ مِنَ الْأُمَمِ لَخَدَمْنَ نِسَاؤُكُمْ نِسَاءَهُمْ كَمَا يَخْدِمْنَكُمْ نِسَاءُ اْلأُمَمِ قَبْلَكُمْ
Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amir (diriwayatkan bahwa) ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda : “Kelak di akhir umatku (akhir zaman) akan ada sejumlah laki-laki yang menaiki pelana mirip seperti tokoh; mereka turun (singgah) di pintu-pintu masjid; (akan tetapi) istri mereka berpakaian (seperti) telanjang; di atas kepala mereka tersebut dibalut serban besar, mirip punuk unta berleher panjang yang kurus. Kutuklah isteri-isteri tersebut, sebab mereka adalah perempuan terkutuk. Seandainya di belakang kamu ada umat lain, tentu isterimu meniru isteri-isteri mereka sebagaimana isteri-isteri umat sebelum kamu menirumu’. (HR. Ahmad).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a., ia mendengar Nabi SAW bersabda : ‘Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi) dengan seorang perempuan; dan jangan (pula) seorang perempuan melakukan perjalanan kecuali disertai mahram(nya)’. Seorang laki-laki berdiri, lalu berkata : ‘Hai Rasulullah ! Aku tercatat dalam sejumlah ghazwah (peperangan), padahal isteriku akan melakukan haji.’ Nabi bersabda : ‘Pergilah berhaji menyertai isterimu !’. (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : ‘Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat : (1) sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi; dengan cambuk itu mereka memukuli orang, dan (2) kaum perempuan yang berpakaian (seperti) telanjang, berjalan lenggak-lenggok, menggoda/memikat, kepala mereka bersanggul besar dibalut laksana punuk unta; mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan dapat mencium harumnya, padahal keharuman surga dapat tercium dari jarak sekian’. (HR. Muslim)
5) Hadis Nabi SAW tentang aurat perempuan :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبو دَاود هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهَا
Artinya: Dari ‘Aisyah ra bahwa Asma’ binti Abu Bakar masuk ke (rumah) Rasulullah SAW mengenakan pakaian tipis; maka Rasulullah SAW berpaling diri (arah)nya dan bersabda, ‘Hai Asma’ ! Seorang perempuan, jika telah sampai usia haid (dewasa), maka tidak boleh terlihat dari tubuhnya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk muka dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud)
Lampiran 6
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Hisab dan Rukyat
1. Hisab mempunyai fungsi dan kedudukan yang sama dengan Rukyah sebagai pedoman penetapan awal bulan Ramadlan, Syawwal dan Zulhijjah. Adapun dalil-dalil yang dijadikaan landasan adalah :
a. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185
… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ … (البقرة:185)
Artinya: “… Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, …” (QS. al-Baqarah, 2: 185)
b. Al-Qur’an Surat Yunus ayat 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ (يونس:5)
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS. Yunus, 10: 185)
c. Hadits dari Abdullah bin Umar
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw menjelaskan tentang bulan Ramadlan dan berkata: Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila hilal tertutup awan kamu maka perkirakanlah (kadarkanlah).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
2. Hisab sebagaimana tersebut pada poin satu ialah yang digunakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah yaitu Hisab Hakiki dengan kriteria Wujudul Hilal. Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan adalah :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (الرحمن:5)
Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (QS. ar-Rahman, 55:5)
الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلاَ اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (يس:40)
Artinya: “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS. Yasin, 36: 40)
3. Mathla’ yang digunakan adalah mathla’ yang didasarkan pada Wilayatul Hukmi (Indonesia). Adapun dalil-dalil yang digunakan adalah :
a. Hadits dari Kuraib:
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَكَّ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى فِي نَكْتَفِي أَوْ تَكْتَفِي (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Kuraib (diriwayatkan bahwa) sesungguhnya Ummu Fadhl binti al-Harits mengutusnya menemui Muawiyah di negeri Syam. Ia berkata: Saya tiba di negeri Syam dan melaksanakan keinginannya. Dan masuklah bulan Ramadlan sementara saya berada di negeri Syam. Saya melihat hilal pada malam hari Jum’at, Selanjutnya saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadlan. Lalu Abdullah bin Abbas r.a. bertanya kepada saya dan menyebut tentang hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab: Kami melihat hilal pada malam hari Jum’at. Ia bertanya lagi: Apakah kamu sendiri yang melihatnya ? Maka jawab Kuraib, Benar, dan orang yang lain juga melihatnya. Karenanya Muawiyah dan orang-orang disana berpuasa. Lalu Abdullah ibn Abbas berkata: Tetapi kami melihat hilal pada malam hari Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga 30 hari (istikmal) atau kami melihat hilal sendiri. Saya (Kuraib) bertanya: Apakah kamu (Abdullaah ibn Abbas) tidak cukup mengikuti rukyatnya Mu’awiyah (di Syam) dan puasanya. Abdullah ibn Abbas menjawab : Tidak, demikianlah yang Rasulullah saw perintahkan kepada kami.” (HR. Muslim)
b. Keumuman Hadits Ibn Umar
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw menjelaskan tentang bulan Ramadlan dan berkata: Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka sehingga kamu melihat hilal. Bila hilal tertutup awan kamu maka perkirakanlah (kadarkanlah).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
4. Apabila Garis Batas Wujudul Hilal pada awal bulan qaamariyah tersebut di atas membelah wilayah Indonesia, maka kewenangan menetapkan awal bulan tersebut diserahkan kepada Kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Lampiran 7
Keputusan Munas Tarjih Ke-26
Tentang Rekomendasi Munas Tarjih Ke-26
Etika Politik:
1. Menghimbau kepada semua komponen bangsa agar memberikan dukungan dan partisipasi politik dalam rangka suksesi kepemimpinan nasional terhadap anak bangsa yang terbaik dan berkualitas.
2. Mengecam segala tindakan yang merugikan negara seperti praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam mengelola pemerintahan. Untuk itu diusulkan agar pada setiap pengambilan sumpah jabatan ada pernyataan; “apabila saya melakukan tindakan yang merugikan negara, saya bersedia menerima laknat Allah SWT”.
3. Menyerukan seluruh komponen masyarakat untuk mengartikuliasikan kegiatan politik secara etis dalam memperjuangkan kebenaran. Bukan semata-mata memperjuangkan kepentingan politik sesaat.
4. Mendesak para aktivis politik, terutama kader-kader Muhammadiyah untuk melakukan aktifitas politik etis yang lebih bersifat jangka panjang sehingga dapat mencegah terjadinya prilaku politik yang bersifat oportunistik, sekularistik dan machiavelistik (politik menghalalkan segala cara).
5. Mengamanahkan kepada Majlis Tarjih dan PPI untuk mempersiapkan dan mengkaji Fiqh Siyâsy sebagai rujukan warga Muhammadiyah dan bangsa Indonesia pada umumnya dalam bidang politik.
Etika Bisnis:
1. Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah hendaknya bertindak proaktif untuk memperjuangkan masuknya nilai-nilai Islam ke dalam pembuatan kebijakan pemerintah dan perundang-undangan di bidang perekonomian.
2. Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah hendaknya mendorong aktifitas bisnis di lingkungan amal usaha organisasi dan bisnis anggota-anggotanya untuk senantiasa mempedomani norma-norma Islam dalam berbisnis.
3. Pimpinan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam hendaknya melakukan pengkajian yang mendalam tentang ada tidaknya nilai-nilai Islam dalam segala aktifitas bisnis, terutama yang berlabel syari’ah.
Fiqh Perempuan:
1. Memohon kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyelenggarakan pembahasan dan pengkajian tentang fiqh perempuan dalam perspektif Muhammadiyah secara seksama dalam forum yang lebih komprehensif.
2. Memohon kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mensosialisasikan Putusan Muktamar Tarjih tahun 1996 yang termuat dalam kitab Adabul Mar’ah fil Islam kepada segenap warga persyarikatan.
Pornografi Pornoaksi:
1. Meminta kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam penyusunan RUU anti pornografi dan pornoaksi serta mendesak Pemerintah untuk segera menetapkan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
2. Mendesak kepada Pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan amal usaha di berbagai tingkatan serta ortom-ortomnya agar melakukan: (i) konferensi press bekerjasama dengan ormas keagamaan dalam rangka menghentikan segala bentuk pornografi dan pornoaksi; (ii) gerakan moral melalui media ceramah, penerbitan fatwa agama Islam, maupun melalui media dakwah lainnya dalam rangka mengantisipasi fenomena pornografi dan pornoaksi; (iii) pengembangan paket-paket tayangan yang bercorak Islami bekerjasama dengan para produser, pekerja seni, dan insan media; serta (iv) pembinaan dan pengawasan di lingkungan masing-masing dalam rangka menghindari pengaruh pornografi dan pornoaksi.
3. Mendesak kepada semua penyelenggara negara, agar segera melakukan hal-hal sebagai berikut: (i) menetapkan peraturan perundang-undangan tentang pornografi dan pornoaksi; (ii) melarang dan menghentikan segala bentuk pornografi dan pornoaksi serta tidak memberikan izin terhadap penyelenggaraan dan penyebarannya; (iii) tidak menjadikan segala bentuk pornografi dan pornoaksi sebagai sumber pendapatan.
4. Mendesak kepada aparat penegak hukum, agar menindak dengan tegas semua pelaku pornografi dan pornoaksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
5. Mendesak kepada semua pihak — terutama produser, pelaku seni, penerbit, dan pimpinan media — baik cetak maupun elektronik, agar segera melakukan: (i) penghentian segala bentuk aktifitas pornografi dan pornoaksi, tidak semata-mata mempertimbangkan keuntungan material jangka pendek; (ii) kajian ulang secara mendalam tentang konsep seni dan budaya yang masih mengakomodasi aspek pornografi dan pornoaksi.
6. Mendesak kepada seluruh lapisan masyarakat agar melakukan gerakan moral dan sosial secara aktif dalam rangka menghentikan segala bentuk pornografi dan pornoaksi.
7. Meminta kepada seluruh lapisan masyarakat agar mengembalikan fungsi institusi keluarga sakinah dalam rangka pembentukan qaryah thayyibah.
Hisab dan Rukyat:
Mengusulkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk :
1. Memasukkan Ilmu Falak ke dalam kurikulum Lembaga-lembaga Pendidikan/ Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
2. Menyusun buku pedoman hisab sesuai dengan prinsip-prinsip yang dipegangi oleh Muhammadiyah untuk dijadikan pegangan di kalangan Muhammadiyah.
3. Menyediakan literatur-literatur dan peralatan-peralatan yang berkaitan dengan Hisab dan Rukyat (observasi).
4. Membina kader-kader tenaga teknis hisab atau ahli ilmu Falak di masing-masing Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
5. Menyelenggarakan Diklat Ilmu Hisab kepada tenaga pengajar untuk memberi bekal kepada mereka.
6. Mengkaji persoalan penentuan awal bulan Qamariyah (Ramadlan, Syawal, dan Zulhijjah) secara terus menerus untuk mencari titik temu dalam membangun Kalender Hijriah Nasional.
7. Melakukan pendekatan kepada pemerintah bila dimungkinkan terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariyah (Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah) agar tidak terjadi konflik di kalangan masyarakat.
KEPUTUSAN MUSYAWARAH NASIONAL XXV
TARJIH MUHAMMADIYAH
بسم الله الرحمن الرحيم
Musyawarah Nasional XXV Tarjih Muhammadiyah (selanjutnya disebut Munas Tarjih XXV) yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat setelah:
Mendengarkan | : | 1. Khutbah Iftitah Pimpinan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2. Sambutan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. |
|
|
|
Menimbang | : | Keputusan-keputusan Tarjih yang telah ada. |
|
|
|
Mempelajari | : | 1. Makalah dan Prasaran tentang Islam, Spiritualitas dan Moralitas Publik yang disampaikan oleh : Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah dan Dr. H. Komaruddin Hidayat. 2. Naskah Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam Muham- madiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 3. Putusan Muktamar Tarjih XXII Tentang Zakat Profesi. 4. Makalah Zakat Profesi dan Zakat Lembaga yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. 5. Makalah Zakat Lembaga yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muham-madiyah Jawa Barat. 6. Makalah tanggapan Zakat Lembaga dan Zakat Profesi yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan. 7. Makalah Rukyat, Hisab dan Mathla’ yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. 8. Makalah Penetapan Awal Bulan Qamariyah dan Mathla’ yang disusun oleh Drs. H. Abdur Rachim. 9. Makalah Banding Terhadap Makalah Rukyat, Hisab dan Mathla’ yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara. 10. Naskah “Tuntunan Thaharah” yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 11. Makalah “Do’a, Dzikir dan Permasalahannya” yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan 12. Makalah Tanggapan Rancangan Kitab Thaharah yang disusun oleh Ahmad Munir, Anggota Tarjih Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. 13. Makalah Tuntunan Zikir dan Do’a yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. 14. Makalah Tuntunan Zikir dan Do’a Sesudah Shalat Fardhu yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilyah Muhammadiyah Sumatera Selatan. 15. Makalah Bahan Rekomendasi untuk Munas Tarjih ke 25 yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Riau. |
|
|
|
Mengingat | : | Qaidah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. |
|
|
|
Memperhati-kan | : | Pembahasan, saran dan usul dari para peserta Musyawarah Nasional Tarjih XXV, baik dalam seminar, sidang-sidang komisi maupun sidang pleno. |
MEMUTUSKAN
Menetapkan | : |
|
|
|
|
Pertama | : | Mengesahkan hasil sidang tentang: 1. Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam sebagaimana terlampir pada Lampiran I. 2. Zakat Lembaga dan Zakat Profesi sebagaimana terlampir pada Lampiran II. 3. Pedoman Pokok Penetapan awal Bulan Qamariah dan Mathla‘ sebagaimana terlampir dalam Lampiran III. 4. Pengembangan HPT khusus tentang “Tuntunan Thaharah,” “Tuntunan Zikir dan Do‘a” sebagaimana terlampir pada Lampiran IV. 5. Rekomendasi sebagaimana terlampir pada Lampiran V. |
|
|
|
Kedua | : | Menyerahkan keputusan ini kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk ditindaklanjuti sesuai dengan yang dikehendaki oleh masing-masing hasil sidang sebagaimana dimaksud pada diktum Pertama keputusan ini. |
|
|
|
Ketiga | : | Mengamanatkan kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyampaikan hasil Munas Tarjih XXV yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada diktum Kedua Keputusan ini kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar ditanfidzkan sebagaimana mestinya. |
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 6 Rabiul Akhir 1421 H
8 Juli 2000 M
Pimpinan Sidang,
Ketua, Sekretaris,
Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah Drs. Oman Fathurohman, SW., M. Ag.
Lampiran I
Keputusan Munas Tarjih XXV
tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
1. Menerima hasil perumusan Komisi I tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam setelah diadakan penyesuaian dengan mempertimbangkan keputusan Munas Tarjih XXIV Malang dan saran serta pendapat yang berkembang dalam sidang pleno Munas Tarjih XXV Jakarta ini.
2. Keputusan-keputusan Muktamar Tarjih atau Munas Tarjih terdahulu yang berkaitan dengan manhaj selama tidak bertentangan dengan keputusan ini dinyatakan tetap berlaku.
3. Mengamanatkan kepada MTPPI PP Muhammadiyah untuk melakukan penyesuaian, dan penyelarasan penempatan manhaj yang masih berlaku sebagaimana tersebut pada diktum 2 dalam Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Keputusan Munas Tarjih XXV Jakarta Tahun 2000 ini.
4. Mengusulkan kepada MTPPI untuk lebih menitikberatkan kajian-kajiannya kepada masalah-masalah mu‘amalah ijtima‘iyah.
MANHAJ TARJIH DAN PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
BAB I
MUQADDIMAH
Kebutuhan untuk menyempurnakan manhaj (metodologi) pemikiran keislaman dalam Muhammadiyah, di satu sisi, dipandang merupakan sebuah keniscayaan seiring dengan intensitas dan ekstensitas berbagai perkembangan kehidupan. Sementara pada sisi yang lain merupakan pengakuan atas watak relatifitas produk historis terutama yang menyangkut manhaj pemikiran. Manhaj Pemikiran adalah sebuah kerangka kerja metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur penyelesaiannya; di dalamnya dimuat asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi dan operasionalisasinya. Manhaj ini bersifat menyeluruh, fleksibel, fungsional, toleran, terbuka, dan responsif terhadap perkembangan keilmuan, dan kemasyarakatan.
Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj‘ il± al-Qur’±n wa as-Sunnah al-Maqblah). Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas perbagai persoalan tersebut. Orientasi kepada dimensi ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosio kultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi manhaj-nya.
Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses triadik/hermeneutis (hubungan kritis/komunikatif-dialogis) antara normativitas d³n (al-ruj‘ ila al-Qur'±n wa as-Sunnah al-Maqblah), historisitas berbagai penafsiran atas d³n, realitas kekinian dan prediksi masa depan. Mengingat proses hermeneutis ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping pendekatan dan teknis pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan r¥ul ijtih±d dan tajd³d terus tumbuh dan berkembang.
BAB II
SUMBER AJARAN ISLAM
1. Sumber Ajaran Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqblah.
2. Pemahaman terhadap kedua sumber tersebut dilakukan secara komprehensif inrtegralistik melalui pendekatan bayani, burhani dan irfani dalam suatu hubungan yang bersifat spiral. [Penyesuaian penempatan: Angka 1 dan 2 diambil dari Putusan Munas XXIV, Malang, Bab II dengan menyesuaikan dan menyelaraskan angka 2 dengan diktum alinea pertama Bab III C dan alinea terakhir Bab IV putusan ini (MTPPI)].
3. Beberapa istilah:
أ- اَلدِّيْنُ (أَيْ اَلدِّيْنُ اْلإسْلاَمِيُّ) الَّذِيْ جاَءِ بِهِ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ ماَ أَنْزَلَ اللهُ فِي اْلقُرْآنِ وَماَ جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ الصَّحِيْحَةُ [أَيِ اْلمَقْبُوْلَةُ كَمَا وَرَدَتْ فِيْ رَقْمِ 1] مِنَ اْلأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَاْلإِرْشاَداَتِ لِصَلاَحِ اْلعِباَدِ دُنْياَهُمْ وَأُخْرَاهُمْ .
اَلدِّيْنُ : هُوَ ماَ شَرَعَهُ اللهُ عَلَى لِساَنِ أَنْبِياَئِهِ مِنَ اْلأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي وَاْلإِرْشاَداَتِ لِصَلاَحِ اْلعِباَدِ دُنْياَهُمْ وَأُخْرَاهُمْ .
a. Agama, yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih [maksudnya maqbulah, sesuai angka 1 di atas], berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan berupa petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
ب- اَلدُّنْياَ : اَلْمُراَدُ "بِأَمْرِ الدُّنْياَ" فِيْ قَوْلِهِ صلعم "أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْياَكُمْ" هُوَ اْلأُمُوْرُ الَّتِيْ لَمْ يُبْعَثْ ِلأَجْلِهِ اْلأَنْبِياَءُ .
b. Dunia: Yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah saw, “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara / pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan) yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).
ج- اَلْعِباَدَةُ : اَلْعِباَدَةُ هِيَ التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ بِامْتِثاَلِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِناَبِ نَوَاهِيْهِ وَاْلعَمَلِ بِماَ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ وَهِيَ عَامَّةٌ وَخاَصَّةٌ ، فَاْلعَامَّةُ كُلُّ عَمَلٍ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ ، وَاْلخاَصَّةُ ماَ حَدَّدَهُ الشَّارِعُ فِيْهاَ بِجُزْئِيَّاتٍ وَهَيْئاَتٍ وَكَيْفِيَّاتٍ مَخْصُوْصَةٍ .
c. Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada allah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larqangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diidzinka-Nya.
Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diidzinkan allah. Ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.
د- سَبِيْلُ اللهِ : سَبِيْلُ اللهِ هُوَ الطَّرِيْقُ اْلمُوْصِلُ إِلَى ماَ يَرْضاَهُ اللهُ مِنْ كُلِّ عَمَلٍ أَذِنَ اللهُ بِهِ ِلإِعْلاَءِ كَلِماَتِهِ وَتَنْفِيْذِ أَحْكاَمِهِ .
d. Sabilullah: Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimat- (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya. [Angka 3 diambil dari HPT, h. 276-277].
BAB III
MANHAJ IJTIHAD HUKUM
A. Pengertian Umum
Untuk menyamakan persepsi tentang beberapa istilah teknis yang digunakan dalam Manhaj Tarjih ini, perlu dijelaskan pengertian-pengertian umum tentang istilah-istilah sebagai berikut:
Ijtih±: Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Maq±shid asy-Syar³‘ah: Tujuan ditetapkan hukum dalam Islam, adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan tersebut dicapai melalui penetapan hukum yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum (al-Qur’an dan as-Sunnah).
Ittib±‘: Mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya. Ittiba‘ merupakan sikap minimal harus dapat dilakukan oleh warga persyarikatan.
Taqlid: Mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya. Taqlid merupakan sikap yang tidak dibenarkan diikuti bagi warga persyarikatan baik ulamanya maupun warga secara keseluruhan.
Talf³q: Menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar‘i. Talfiq terjadi dalam konteks taqlid dan ittiba‘. Muhammadiyah membenarkan talfiq sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih.
Tarjih: Secara teknis tarjih adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (r±jih), lebih tepat analogi dan lebih kuat mashlahatnya. Sedangkan secara institusional Majelis Tarjih adalah lembaga ijtihad jama‘i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggota terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi ushliyyah dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing.
As-Sunnah al-Maqblah: Perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi saw, yang menurut hasil analisis memenuhi kriteria shahih dan hasan.
Ta‘abbud³: Perbuatan-perbuatan ‘ubdiyyah yang harus dilakukan oleh mukallaf sebagai wujud penghambaan kepada Allah tanpa boleh ada penambahan atau pengurangan. Perbuatan ta‘abbud³ tidak dibenarkan dianalisis secara rasional.
Ta‘aqquli: Perbuatan-perbuatan ‘ubudiyyah mukallaf yang bersifat ta‘aqquli, berkembang, dan dinamis. Perbuatan ta‘aqquli dapat dianalisis secara rasional.
Sumber Hukum: Sumber hukum bagi Muhammadiyah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqblah.
Qath‘iyyul-wurd: Nash yang memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya karena proses penyampaiannya meyakinkan dan tidak mungkin ada keterputusan atau kebohongan dari para penyampainya.
Qath‘iyyud-dal±lah: Nash yang memiliki makna pasti karena dikemukakan dalam bentuk lafazh bermakna tunggal dan tidak dapat ditafsirkan dengan makna lain.
Zhanniyyul-wurd : Nash yang tidak memiliki kepastian dalam aspek penerimaannya, karena proses penyampaiannya kurang meyakinkan dan karena ada kemungkinan keterputusan, kedustaan atau kelupaan di antara para penyampainya.
Zhanniyyud-dal±lah : Nash yang memiliki makna tidak pasti, karena dikemukakan dalam bentuk lafazh bermakna ganda, dan dapat ditafsirkan dengan makna lain.
Tajdid: Pembaharuan yang memiliki dua makna, yakni pemurnian (tajdid salafi) dan pengembangan (tajdid tathw³r³)
Pemikiran: Hasil rumusan dengan cara mencurahkan segenap kemampuan berfikir terhadap suatu masalah berdasarkan wahyu dengan metode ilmiah, meliputi bidang teknologi, filsafat, tasawwuf, hukum, dan disiplin ilmu lainnya.
B. Sumber Hukum dan Kedudukan Ijtihad
أ- الأَصْلُ فِي التَّشْرِيْعِ اْلإِسْلاَمِيِّ عَلَى اْلإِطْلاَقِ هُوَ اْلقُرْآنُ اْلكَرِيْمُ وَالْحَدِيْثُ الشَّرِيْفُ .
ب- وَمَتىَ اسْتَدْعَتِ الظُّرُوْفُ عِنْدَ مُواَجَهَةِ أُمُوْرٍ وَقَعَتْ وَدَعَتِ اْلحاَجَةُ إِلىَ اَْلعَمَلِ بِهاَ وَلَيْسَتْ هِيَ مِنْ أُمُوْرِ اْلعِبَادَاتِ اْلمَحْضَةِ وَلمَ ْيَرِدْ فِيْ حُكْمِهاَ نَصٌّ صَرِيْحٌ مِنَ اْلقُرْآنِ أَوِ السُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ فَاْلوُصُوْلُ إِلىَ مَعْرِفَةِ حُكْمِهاَ عَنْ طَرِيْقِ اْلاِجْتِهاَدِ وَاْلاِسْتِنْباَطِ مِنَ النُّصُوْصِ اْلوَارِدَةِ عَلَى أَساَسِ تَساَوِي اْلعِلَلِ كَماَ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ عِنْدَ عُلَماَءِ السَّلَفِ وَاْلخَلَفِ .
Artinya:
a. Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits asy-Syarif.
b. Bilamana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada hal untuk alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur’an atau Sunnah shahihah, maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf. [Huruf B diambil dari HPT, h. 278].
C. Pengertian, Posisi, Fungsi dan Ruang Lingkup Ijtihad
Ijtihad hukum adalah mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum syar‘³ yang bersifat zhann³ dengan menggunakan metode tertentu yang dilakukan oleh yang berkompeten baik secara metodologis maupun permasalahan.
Posisi ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum, sedangkan fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ruang lingkup ijtihad meliputi:
1. Masalah-masalah yang terdapat dalam dalil-dalil zhanni.
2. Masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
E. Metode, Pendekatan, dan Teknik
1. Metode
a. Bayani (semantik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
b. Ta‘lili (rasionalistik) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran.
c. Istishlahi (filosofis) yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemaslahatan.
2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penetapan hukum-hukum ijtihadiyah adalah:
a. At-tafs³r al-ijtima‘³ al-mu‘±shir (hermeunetik)
b. At-t±r³kh³ (historis)
c. As-susiuluji (sosiologis)
d. Al-antrubuluji (antropologis)
3. Teknik
Teknik yang digunakan dalam menetapkan hukum adalah:
a. Ijma‘
b. Qiyas
c. Mashalih Mursalah
d. ‘Urf
F. Ta‘±rudl al-Adillah
1. Ta‘±rudl al-adillah adalah pertentangan beberapa dalil yang masing-masing menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda.
2. Jika terjadi ta‘arrudl diselesaikan dengan urutan cara-cara sebagai berikut:
a. Al-jam‘u wa at-tauf³q, yakni sikap menerima semua dalil yang walaupun zhahirnya ta‘±rudl. Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhy³r).
b. At-tarj³h, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah.
c. An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.
d. At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru.
G. Metode Tarjih terhadap Nash
Pentarjihan terhadap nash dilihat dari beberapa segi.
1. Segi Sanad
a. Kualitas maupun kuantitas rawi
b. Bentuk dan sifat periwayatan
2. Segi Matan
a. Matan yang menggunakan sighat nahyu lebih rajih dari sighat amr
b. Matan yang menggunakan sighat khass lebih rajih dari sighat ‘am
3. Segi Materi Hukum
4. Segi Eksternal
H. Beberapa Kaidah Mengenai Hadis
1. اَلْمَوْقُوْفُ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ .
1. Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujjah.
2. اَلْمَوْقُوْفُ الَّذِيْ فِيْ حُكْمِ اْلمَرْفُوْعِ يُحْتَجُّ بِهِ .
2. Hadis maukuf yang termasuk ke dalam kategori marf‘ dapat dijadikan hujjah.
3. اَلْمَوْقُوْفُ يَكُوْنُ فِيْ حُكْمِ اْلمَرْفُوْعِ إِذاَ كاَنَ فِيْهِ قَرِيْنَةٌ يُفْهَمُ مِنْهاَ رَفْعُهُ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ (صلعم) كَقَوْلِ ِأُمِّ عَطِيَّةَ : كُناَّ نُؤْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ فِيْ اْلعِيْدِ اْلحُيَّضَ (اَلْحَدِيْثَ وَنَحْوَهُ).
3. Hadis maukuf termasuk kategori marf‘ apabila terdapat karinah yang daripadanya dapat difahami kemarf‘annya kepada Rasulullah saw, seperti pernyataan Ummu ‘Athiyyah: “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya” dan seterusnya bunyi hadis itu, dan sebagainya.
4. مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ .
4. Hadis mursal Tabi‘³ murni tidak dapat dijadikan hujjah.
5. مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
5. Hadis mursal Tabi‘³ dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
6. مُرْسَلُ الصَّحاَبِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
6. Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
7. الأَحاَدِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهاَ بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهاَ إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهاَ وَفِيْهاَ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهاَ وَلَمْ تُعاَرِضِ اْلقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ .
7. Hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis shahih.
8. اَلْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ بَعْدَ اْلبَياَنِ الشَّافِيْ الْمُعْتَبَرِ شَرْعاً .
8. Jarah (cela) didahulukan atas ta‘dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara‘.
9. تُقْبَلُ مِمَّنِ اشْتَهَرَ بِالتَّدْلِيْسِ رِوَايَتُهُ إِذَا صَرَّحَ بِماَ ظَاهِرُهُ اْلاِتِّصاَلُ وَكاَنَ تَدْلِيْسُهُ غَيْرَ قاَدِحٍ فِيْ عَداَلَتِهِ .
9. Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlisnya tidak sampai merusak keadilannya.
10. حَمْلُ الصَّحاَبِيِّ اللَّفْظَ الْمُشْتَرَكَ عَلَى أَحَدِ مَعْنَيَيْهِ وَاجِبُ اْلقَبُوْلِ .
10. Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya wajib diterima.
11. حَمْلُ الصَّحاَبِيِّ الظَّاهِرَ عَلَى غَيْرِهِ اَلْعَمَلُ بِالظَّاهِرِ .
11. Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir tersebut. [Penyesuaian penempatan: Huruf H diambil dari HPT, h. 300-301(MTPPI)].
BAB IV
MANHAJ PENGEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
A. Asumsi Dasar Pengembangan Pemikiran Islam
Pemikiran keislaman dibangun dan dikembangkan beradasarkan anggapan dasar atau paradigma tertentu. Di atas asumsi inilah berbagai perspektif dan metodologi pemikiran keislaman ditegakkan. Demikian pula asumsi dasar penting bagi Muhammadiyah sebagai fondasi bagi pengembangan pemikiran keislaman untuk praksis sosial. Karena itu, pembahasan asumsi mengenai hakikat pandangan keagamaan – posisi Islam dan pemikiran Islam, sumber, fungsi dan metodologi pemikiran Islam – sangat signifikan untuk menentukan cara kerja epistemologi pemikiran keislaman, baik pendekatan maupun metode yang dipergunakan.
Posisi Islam dan Pemikiran Islam. Membedakan antara Islam dan Pemikiran Islam sangat penting di sini. Pemikiran Islam bukanlah wilayah yang terbebas dari intervensi historisitas (kepentingan) kemanusiaan. Kita mengenal perubahan dalam pemikiran Islam sejalan dengan perbedaan ruang dan waktu. Pemikiran Islam tidak bercita-cita untuk mencampuri nash-nash wahyu yang tidak berubah (al-nushsh al-mutan±hiyah) melalui tindakan pengubahan baik penambahan dan pengurangan atau bahkan penghapusan. Bagaimanapun kita sepakat bahwa Islam (obyektif) sebagai wahyu adalah petunjuk universal bagi umat manusia. Pemikiran Islam juga tidak diarahkan untuk mengkaji Islam subyektif yang ada dalam kesadaran atau keimanan setiap para pemeluknya. Karena dalam wilayah ini, Allah secara jelas menyatakan kebebasan bagi manusia untuk iman atau kufur, untuk Muslim atau bukan (freedom of religion; QS. al-Baqarah: 256; al-K±firn: 1-6). Pemikiran Islam lebih diarahkan untuk mengkaji dan menelaah persoalan-persoalan dalam realitas keseharian umat Muslim yang “lekang dan lapuk oleh ruang dan waktu” (al-waq±‘i’ ghairu mutan±hiyah).
Dengan meletakkan Islam dalam al-tajd³d wa al-ibtik±r, setiap Muslim tidak perlu lagi khawatir bahwa pembaharuan ekspresi, interpretasi dan pemaknaan Islam yang ditawarkan kepada komunitas dalam locus dan tempus tertentu, tidak memiliki pretensi untuk mengganggu apalagi merusak Islam sebagai wahyu ataupun keimanan secara langsung ataupun tidak. At-tajd³d wa al-ibtik±r merupakan program pembaharuan terencana dan terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi normativitas dan historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam konteks sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan program ini pula dimaksudkan agar Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘±lam³n; sebuah proses menafsirkan universalitas Islam melalui kemampuan membumikannya pada wilayah-wilayah partikularitas dengan segala keunikannya. Ini berarti pula bahwa pemikiran Islam menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam masyarakat Muslim (insider) maupun non-Muslim (outsider)
Sumber Pemikiran Islam. Setiap disiplin keilmuan dibangun dan dikembangkan melalui kajian-kajian atas sumber pengetahuannya. Islam sebagai ad-d³n memiliki dua sumber tak tergugat, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara itu, pemikiran Islam memiliki tiga sumber pengetahuan; teks, ilham atau intuisi dan realitas. Yang dimaksudkan teks di sini adalah meliputi teks-teks keagamaan baik al-Qur’an dan as-Sunnah maupun teks-teks hasil interpretasi dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah penemuan rahasia pengetahuan melalui iktisy±f. Dan yang terakhir adalah realitas yang mencakup realitas kealaman dan realitas kemanusiaan.
Fungsi Pemikiran Islam. Pemikiran Islam dibangun dan dikembangkan untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual lebih berkaitan dengan persoalan-persoalan, praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara kesalehan sosial berhubungan erat dengan masalah-masalah moralitas publik (public morality). Dalam wilayah kesalehan individual, pemikiran Islam berupaya memberikan kontribusi berupa petunjuk-petunjuk praktis keagamaan (religious practical guidance), ibadah mahdah dan masalah-masalah yang menyangkut moralitas pribadi (private morality). Sedangkan dalam wilayah kesalehan sosial, pemikiran Islam merespon wacana kontemporer, seperti masalah sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, globalisasi dan lokalisasi, iptek, lingkungan hidup, etika dan rekayasa genetika serta bioteknologi, isu-isu keadilan hukum, ekonomi, demokratisasi, HAM, civil society, kekerasan sosial dan agama, gender, dan pluralisme agama, sekaligus merumuskan dan melaksanakan terapannya dalam praksis sosial.
Metodologi Pemikiran Islam. Dalam Islam dikenal ada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran ikhb±r³ dan kebenaran nazhar³. Yang pertama adalah kebenaran wahyu yang datang langsung dari Allah. Karena itu bersifat suci dan bukan obyek kajian dalam pemikiran Islam. Yang kedua adalah kebenaran yang diperoleh secara ta‘aqquli. Namun tak dapat dipungkiri bahwa Islam tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau teks wahyu yang diinterpretasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun audiensnya. Ada rentang waktu – dulu, kini, mendatang -- di hadapan ketiga pihak di atas. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis (hermeneutical circle); suatu perubahan terus menerus dalam melakukan interpretasi terhadap kitab suci (an-nushush al-mutan±hiyah) yang dipandu oleh perubahan-perubahan berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat. Dalam konteks yang terus berubah ini, kebutuhan akan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas itu menjadi tak terelakkan. Dengan memahami lingkaran hermeneutis semacam ini, Muslim tidak perlu mengulang-ulang tradisi lama (tur±ts) yang memang sudah usang untuk kepentingan kekinian dan kedisinian, tapi juga bukan berarti menerima apa adanya modernitas (hadatsah). Kewajiban Muslim adalah melakukan pembacaan atas teks-teks wahyu dan realitas itu secara produktif (al-Qir±’ah al-Muntijah, bukan al-Qir±’ah al-Mutakarrirah).
Dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan, kontinuitas dan perubahan (ats-tsab±t wa at-taghayyur) dalam realitas kontemporer, perlu diupayakan perubahan paradigma. Perubahan paradigma tidak berarti bahwa semua tradisi ditinggalkan, tetapi patut dipahami sebagai upaya modifikasi tradisi pemikiran Islam dalam ukuran tertentu sesuai dengan problem sosial yang ada; dan atau merubah secara total tradisi dengan sesuatu yang sama sekali baru. Yang pertama dalam rangka menjaga kontinuitas dalam pemikiran keislaman atau melakukan pengembangan, sementara yang kedua adalah untuk memproduksi pemikiran keislaman yang sama sekali baru. Perubahan paradigma mengandaikan metodologi – pendekatan dan metode – baru untuk merespon problem-problem di atas sekaligus aplikasinya dalam praksis sosial. Dengan demikian, pemikiran Islam berpegang pada adagium al-muh±fazhatu ‘ala al-qad³m ash-sh±li¥ ma‘a al-akhdz bi al-jad³d al-ashla¥.
Dengan rekayasa epistemologis semacam ini, terbuka kesempatan bagi munculnya wacana keislaman dalam Muhammadiyah dengan karakteristik antara lain: produktif atau bukan sekedar pengulangan tradisi lama untuk memecahkan masalah baru; fleksibel dalam arti pemikiran keislaman termodifikasi secara luwes, tidak kaku dan terbuka atas kritik dan pengembangan; imaginatif dalam arti membuka horizon pemahaman dan pendalaman baru melalui iktisy±f; kreatif dalam melahirkan wilayah-wilayah baru (yang selama ini “tak terpikirkan” dan “belum terpikirkan”) untuk dipikirkan; dan akibatnya wacana keislaman kontemporer benar-benar berada dalam pergumulan sejarah yang efektif (effective history) dan tidak ahistoris.
B. Prinsip Pengembangan Pemikiran Islam
Manhaj pengembangan pemikiran Islam ini dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu:
1. Prinsip al-mur±‘±h (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan cara pemurnian (purification) ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
2. Prinsip at-tahditsi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. Penyempurnaan ini dilakukan dengan cara reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam.
3. Prinsip al-ibd±‘³ (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan cara menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya (adaptatif). Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya (selektif).
C. Kerangka Metodologi Pengembangan Pemikiran Islam
Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan bay±n³, ‘irf±n³ dan burh±n³, sesuai dengan obyek kajiannya – apakah teks, ilham atau realitas -- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek transhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
1. Pendekatan Bay±n³
Pendekatan Bay±n³ sudah lama dipergunakan oleh para fuqah±’, mutakallimn dan ushliyyn. Bay±n³ adalah pendekatan untuk: a) memahami dan atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam, atau dikehendaki lafzh, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zh±hir dari lafzh dan ‘ib±rah yang zh±hir pula; dan b) istinb±th hukum-hukum dari an-nushsh ad-d³niyyah dan al-Qur’an khususnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafzh. Hubungan antara makna dan lafzh dapat dilihat dari segi: a) makna wadl‘³, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna kh±shsh, ‘±mm dan musytarak; b) makna isti‘m±l³, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haq³qah (shar³hah dan mukniyah) dan makna maj±z (shar³h dan kin±yah); c) darajat al-wudlh, sifat dan kualitas lafzh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zh±hir, khaf³, musykil, mujmal dan mutasy±bih; dan d) thuruq al-dal±lah, penunjukan lafzh terhadap makna, meliputi dal±lah al-‘ib±rah, dal±lah al-isy±rah, dal±lah al-nash dan dal±lah al-iqtidl±’ (menurut Hanafiyah), atau dal±lah al-manzhm dan dal±lah al-mafhm baik mafhm al-muw±faqah maupun mafhm al-mukh±lafah (menurut Syafi‘iyah).
Untuk itu, pendekatan bay±n³ mempergunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asb±b al-nuzl, dan istinb±th atau istidl±l sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi ashl – far‘, lafzh – ma’n± (manthq al-lughah dan musykilah al-dal±lah; dan nizh±m al-khith±b dan nizh±m al-‘aql), khabar-qiy±s, dan otoritas salaf (sulthah al-salaf). Dalam al-qiy±s al-bay±n³, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam: 1) al-qiy±s berdasarkan ukuran kepantasan antara ashl dan far‘ bagi hukum tertentu; yang meliputi a) al-qiy±s al-jal³; b) al-qiy±s fi ma‘n± al-nash; dan c) al-qiy±s al-khaf³; 2) al-qiy±s berdasarkan ‘illat terbagi menjadi: a) qiy±s al-‘illat; dan b) qiy±s al-dal±lah; dan 3) al-qiy±s al-j±mi‘ terhadap ashl dan far‘.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bay±n: 1) Bay±n al-I‘tib±r, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) al-qiy±s al-bay±n³ baik al-fiqhy, al-nahwy dan al-kal±my; dan b) al-khabar yang bersifat yaq³n maupun tashd³q; 2) Bay±n al-I‘tiq±d, yaitu penjelasan mengenai makna segala sesuatu yang meliputi makna haqq, makna mutasy±bih f³h, dan makna b±thil; 3) Bay±n al-‘Ib±rah yang terdiri dari: a) al-bay±n al-zh±hir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bay±n al-b±thin yang membutuhkan tafsir, qiy±s, istidl±l dan khabar; dan 4) Bay±n al-Kit±b, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari k±tib khat, k±tib lafzh, k±tib ‘aqd, k±tib hukm, dan k±tib tadb³r.
Dalam pendekatan Bay±n³, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi.
2. Pendekatan Burh±n³
Burh±n adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum-hukum logika. Burh±n³ atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bahtsiyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (t±r³khiyyah), realitas sosial (ijtim±‘iyyah) dan realitas budaya (tsaq±fiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maql±t (kategori-kategori) meliputi kully-juz‘iy, jauhar-aradl, ma‘ql±t-alf±zh sebagai kata kunci untuk analisis.
Karena burh±n³ menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ‘ilm al-lis±n dan ‘ilm al-manthiq. Yang pertama membicarakan lafzh-lafzh, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafzh al-dal±lah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafzh tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya. ‘Ilm al-manthiq juga merupakan alat (man±hij al-adillah) yang menyampaikan kita pada pengetahuan tentang maujd baik yang w±jib atau mumkin, dan maujd fi al-adzh±n (rasionalisme) atau maujd fi al-a‘y±n (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; manthiq mafhm (mabhats al-tashawwur), manthiq al-hukm (mabhats al-qadh±y±), dan manthiq al-istidl±l (mabhats al-qiy±s). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazhariyyah al-hukm dan nazhariyyah al-istidl±l.
Dalam tradisi burh±n³ juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-l± (metafisika) dan al-falsafat al-ts±niyyah. Falsafat al-l± membahas hal-hal yang berkaitan dengan: wujd al-‘aradly, wujd al-jaw±hir (jaw±hir l± atau asykh±sh dan jaw±hir ts±niyah atau al-naw‘), m±ddah dan shrah, dan asb±b yang terjadi pada a) m±ddah, shrah, f±‘il dan gh±yah; dan b) ittif±q (sebab-sebab yang berlaku pada alam semesta) dan hazhzh (sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-ts±niyah atau disebut juga ‘ilm al-thab³‘ah, mengkaji masalah: 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (as-sunnah al-‘±lamiyyah) maupun manusia (as-sunnah al-ins±niyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azal³ (harakah qad³mah) maupun gerak maujd (harakah h±ditsah) yang bersifat plural (mutanawwi’ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istih±lah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-l± (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social sciences, al-‘ulm al-ijtim±‘iyyah) dan humaniora (humanities, al-‘ulm al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi, pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (susiuluji), antropologi (antrubuluji), kebudayaan (tsaq±fi) dan sejarah (t±r³khi), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan rekacipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan rekacipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan rekacipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (tsaq±fi) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajaran, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Muslim. Agar upaya rekacipta masyarakat Muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini juga menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (t±r³khi). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar upaya pembaharuan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu, dalam burh±n³, keempat pendekatan – t±r³khi, susiuluji, tsaq±fi dan antrubuluji – berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling melengkapi membentuk jaringan keilmuan.
3. Pendekatan ‘Irf±n³
‘Irf±n mengandung beberapa pengertian antara lain; ‘ilm atau ma‘rifah; metode ilham dan kasyf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghuns atau gnosis. Ketika ‘irf±n diadopsi kedalam Islam, para ahl al-‘irf±n mempermudahnya menjadi: pembicaraan mengenai 1) al-naql dan al-tawzh³f; dan 2) upaya menyingkap wacana qur’ani dan memperluas ‘ib±rahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan ‘irf±n³ adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutashawwif³n dan ‘±rif³n untuk mengeluarkan makna b±thin dari b±thin lafzh dan ‘ib±rah; ia juga merupakan istinb±th al-ma’±rif al-qalbiyyah dari al-Qur’an.
Pendekatan ‘irf±n³ adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dzawq, qalb, wijd±n, bash³rah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kasyf³ dan manhaj iktisy±f³. Manhaj kasyf³ disebut juga manhaj ma‘rifah ‘irf±n³ yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kasyf dengan riy±dlah dan muj±hadah. Manhaj iktisy±f³ disebut juga al-mum±tsilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup: a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8, dst; b) tamts³l yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) shrah dan asyk±l. Dengan demikian, al-mum±tsilah adalah manhaj iktisy±f³ dan bukan manhaj kasyf³. Pendekatan ‘irf±n³ juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irf±niyy³n tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haq³qah yang terletak di balik syar³‘ah, dan yang b±thin (al-dal±lah al-isy±rah aw al-ramziyyah) di balik yang zh±hir (al-dal±lah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam ‘irf±n³ mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’w³l).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘irf±n³ meliputi tanz³l- ta’w³l, haq³q³-maj±z³, mum±tsilah dan zh±hir-b±thin. Hubungan zh±hir-b±thin terbagi menjadi 3 segi: 1) siy±s³ mub±syar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafzh kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-muta‘±liyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan ‘irf±n³ banyak dimanfaatkan dalam ta’w³l. Ta’w³l ‘irf±n³ terhadap al-Qur’an bukan merupakan istinb±th, bukan ilham, bukan pula kasyf. Tetapi ia merupakan upaya mendekati lafzh-lafzh al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irf±n³ yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkret dari pendekatan ‘irf±n³ lainnya adalah Falsafah Ishr±q³ yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bahtsiyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dzawqiyyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haq³qah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Quran merupakan contoh konkret dari pengetahuan ‘irf±n³. Namun, dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, mungkin pengetahuan ‘irf±n³ yang akan dikembangkan dalam kerangka ittib±‘ al-rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan ‘irf±n³ bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya tahap pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan ‘irf±n³ dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk didalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah il±hiyyah.
BAB V
OPERASIONALISASI
Tiga pendekatan di atas adalah warisan yang tak ternilai harganya dalam pemikiran Islam. Dan ketiga pendekatan ini pula hingga kini masih banyak dipergunakan para pengkaji di kalangan Muslim sendiri, dan sebagian non-Muslim. Ada perkembangan cukup menarik dalam sejarah pemikiran Islam, di mana terdapat upaya-upaya sejumlah sarjana Muslim dari berbagai kalangan untuk mengupayakan adanya proses pemaduan pemahaman. Mereka melihat ada peluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk menghubungkan ketiga pendekatan ini untuk memahami Islam. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa berupa saling memberi dan menerima antar pendekatan (al-akhdzu wa al-‘itha‘ bain al-man±hij), kesinambungan (al-ittish±l), saling mempengaruhi (al-ihtik±k), dan bahkan saling bertabrakan atau kontradiksi (al-istid±m). Sebagaimana yang dipahami, dalam pemikiran Islam klasik dan pertengahan wilayah pemikiran keislaman hanya bertumpu pada wilayah kalam, falsafah, tasawuf, dan hukum. Wilayah dan kategorisasi problem dalam pemikiran Islam kontemporer tidak hanya meliputi empat wilayah di atas tetapi jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu tercermin pada wilayah historisitas praktik-praktik sosial keislaman serta tekanan pada nilai-nilai pada wilayah etik dan moralitas (akhlak). Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer perlu memahami semua realitas persoalan keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi gerak perubahan jaman era industrialisasi dan globalisasi budaya dan agama.
Pembaharuan dan pengembangan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah meliputi persoalan sosial-keagamaan, sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, sains dan teknologi, lingkungan hidup, etika dan rekayasan genetika dan bioteknologi, serta isu-isu yang berkaitan dengan masalah keadilan dalam bidang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, hubungan pria dan wanita dalam Islam, civil society, agama dan kekerasan sosial, spiritualitas keagamaan, penguatan kesadaran moralitas publik, pemecahan KKN, dialog dan hubungan antar agama, integrasi dan disintegrasi nasional, kepekaan pluralisme keagamaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan lain-lain.
Apabila peta wilayah pengembangan pemikiran keislaman kontemporer seperti di atas, lalu bagaimana bentuk sesungguhnya hubungan antara ketiga pendekatan, yaitu antara Bayani, Burhani dan Irfani ? Setelah diperoleh pemahaman kerangka metodologis di atas, langkah penting lain yang tidak kalah nilai strategisnya adalah penentuan bentuk hubungan antara ketiganya. Ketepatan dan kekeliruan penentuan pola hubungan antara ketiganya menentukan hasil yang akan dicapai. Ada tiga jenis hubungan antara ketiganya, yaitu paralel, linear, dan spiral.
Jika bentuk hubungan antara ketiganya dipilih dalam bentuk paralel, di mana masing-masing ketiga pendekatan berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada hubungan antara satu pendekatan dengan pendekatan yang lain, maka nilai manfaat praktis dan kegunaan pengembangan keilmuan yang akan diraih juga akan minim sekali. Bentuk hubungan paralel, mengasumsikan bahwa dalam diri seorang Muslim terdapat tiga jenis metodologi keilmuan agama Islam sekaligus, tetapi masing-masing metodologi berdiri sendiri dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi. Tergantung pada situasi dan kondisi. Jika ia berada pada wilayah bayani, ia gunakan pendekatan bayani sepenuhnya dan tidak “berani” memberi masukan dari hasil temuan dari pendekatan metodologi keilmuan keislaman yang lain. Meskipun begitu, seminim-minimnya hasil yang diperoleh dari model hubungan yang bersifat paralel ini, masih jauh lebih baik daripada hanya hasil dari salah satu metodologi dan tidak mengenal jenis metodologi yang lain.
Sedangkan hubungan linear, pada ujung-ujungnya adalah “kebuntuan” karena tidak memberi ruang bagi yang lain. Pola pendekatan linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari ketiga metodologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang Muslim akan menepikan masukan yang diberikan/disumbangkan oleh metodologi yang lain, karena ia telah terlanjur menyukai salah satu dari ketiga pendekatan yang ada. Pendekatan yang ia pilih dianggap sebagai suatu pendekatan yang ideal dan final. Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya, akan mengantarkan seorang pada “kebuntuan”. Dogma keilmuan dimana tradisi berfikir, bayani tidak mengenal tradisi berfikir burhani atau irfani dan begitu sebaliknya.
Keduanya -- baik yang paralel maupun yang linear -- bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance (petunjuk) untuk umat Islam era kontemporer. Pendekatan paralel tidak dapat membuka wawasan dan gagasan-gagasan baru. Masing-masing pendekatan macet, terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri, dan itulah apa yang disebut “truth claim” (klaim kebenaran, atau monopoli kebenaran). Sedang pendekatan linear -- yang mengasumsikan adanya finalitas -- akan menjebak seseorang atau kelompok pada situasi-situasi eksklusif-polemis. Pendekatan pemikiran keislaman kontemporer, baru dapat mengantarkan seorang Muslim pada pemilihan antara salah satu dari kedua pendekatan keilmuan di atas. Kedua pilihan tersebut, masing-masing kurang kondusif untuk menghantarkan “kematangan religiusitas” seseorang, apalagi kelompok. Untuk itu perlu dilengkapi dengan pola hubungan antara ketiga metodologi yang ada yang lebih memberi kemungkinan dirumuskan angin segar dilingkungan komunitas Muhammadiyah.
Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dan kritik dari jenis pendekatan dari luar dirinya, baik itu masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusifitas, lantaran finalitas -- untuk kasus-kasus tertentu -- hanya mengantarkan seseorang dan kelompok Muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama Muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.
BAB VI
PENUTUP
1. Hasil Rumusan Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah ini bersifat toleran dan terbuka. Toleran yang berarti Muhammadiyah tidak menganggap pendapat yang berbeda dengan putusan pemikiran Muhammadiyah sebagai pendapat yang salah. Terbuka, berarti Muhammadiyah menerima kritik konstruktif terhadap hasil rumusan pengembangan pemikirannya asal argumentasinya didasarkan pada dalil yang lebih kuat dan argumentasi yang lebih akurat.
2. Segala keputusan Majelis Tarjih yang berkaitan dengan manhaj istidlal sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini tetap berlaku.
Lampiran II
Keputusan Munas Tarjih XXV
Tentang Zakat Profesi dan Zakat Lembaga
1. Zakat Profesi
a. Zakat Profesi hukumnya wajib.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ [البقرة : 267]
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Belanjakanlah (pada jalan Allah) sebahagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu sengaja memilih yang buruk daripadanya (lalu kamu dermakan atau kamu jadikan pemberian zakat), padahal kamu sendiri tidak sekali-kali akan mengambil yang buruk itu (kalau diberikan kepada kamu), kecuali dengan memejamkan mata padanya. Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Kaya, lagi sentiasa Terpuji [Q al-Baqarah: 267].
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [التوبة : 103]
Artinya: Ambillah (sebahagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), supaya dengannya engkau membersihkan mereka (dari dosa) dan mensucikan mereka (dari akhlak yang buruk); dan doakanlah untuk mereka, kerana sesungguhnya doamu itu menjadi ketenteraman bagi mereka. Dan (ingatlah) Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui [Q at-Taubah: 103].
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الحشر : 7]
Artinya: Apa yang Allah kurniakan kepada Rasul-Nya (Muhammad) dari harta penduduk negeri, bandar atau desa dengan tidak berperang, maka adalah ia tertentu bagi Allah, dan bagi Rasulullah, dan bagi kaum kerabat (Rasulullah), dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta orang-orang musafir (yang keputusan). (Ketetapan yang demikian) supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya dari kalangan kamu. Dan apa jua perintah yang dibawa oleh Rasulullah (s.a.w) kepada kamu maka terimalah serta amalkan, dan apa jua yang dilarang-Nya kamu melakukannya maka patuhilah laranganNya. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah amatlah berat azab seksaNya (bagi orang-orang yang melanggar perintahNya) [Q al-Hasyr:7].
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [الذاريات : 19]
Artinya: Dan pada harta-harta mereka, (ada pula bahagian yang mereka tentukan menjadi) hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (daripada meminta) [Q adz-Dz±riy±t: 19].
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ (24) لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [المعارج : 24-25]
Artinya: Dan mereka (yang menentukan bahagian) pada harta-hartanya, menjadi hak yang termaklum - Bagi orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (daripada meminta) [Q. al-Ma‘±rij: 24-25].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِي اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) bahwa Nabi saw mengutus Mu‘±dz r.a. ke Yaman. Beliau berpesan kepada Mu‘±dz: Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah. Jika mereka mematuhimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan lima shalat atas mereka setiap sehari semalam, dan jika mereka mematuhimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat atas kekayaan mereka yang dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir [HR al-Bukhari dan Muslim].
b. Nisab Zakat Profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat.
c. Kadar Zakat Profesi sebesar 2,5 %.
2. Zakat Lembaga
a. Lembaga adalah badan yang memiliki hak dan kewajiban serta dapat memiliki kekayaan.
b. Kekayaan yang dimiliki lembaga wajib dikeluarkan zakatnya jika lembaga bersangkutan melakukan usaha yang mendatangkan keuntungan atau hasil, dan kekayaannya mencapai nisab.
c. Nisab dan kadar zakat lembaga disesuaikan dengan jenis usaha yang dilakukan.
3. Mengusulkan:
a. Agar PP Muhammadiyah mengusulkan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan ketentuan yang mempertegas bahwa segala sengketa dalam pengelolaan zakat diselesaikan melalui Pengadilan Agama, sesuai dengan Undang-undang No 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49
b. Pembentukan seksi baru pada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang membidangi masalah hukum dan perundang-undangan.
c. Pengadaan pelatihan tentang pengelolaan zakat.
Lampiran III
Keputusan Munas Tarjih XXV
Tentang Penetapan Awal Bulan Qamariah dan Mathla‘
1. Hisab hakiki dan rukyat sebagai pedoman penetapan awal bulan Qamariyah memiliki kedudukan yang sama.
2. Hisab hakiki yang digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadan, Syawwal dan Dzulhijjah adalah hisab hakiki dengan kriteria wujdul-hil±l.
3. Mathla‘ yang digunakan adalah Mathla‘ yang didasarkan pada wilayatul hukmi.
4. Mengusulkan kepada MTPPI PPM untuk :
a. Meninjau kembali pernyataan “Apabila Ahli Hisab menetapkan bahwa bulan belum nampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu‘tabar? Majelis Tarjih memutuskan bahwa rukyatlah yang mu‘tabar” sebagaimana termaktub dalam HPT.
b. Memasukkan Ilmu Falak dalam kurikulum sekolah-sekolah, Pesantren, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
c. Menyusun buku-buku panduan dan ahli rujukan hisab dan rukyat yang digunakan oleh Muhammadiyah.
d. Membina kader-kader tenaga teknis hisab atau ahli ilmu falak di masing-masing Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
Lampiran IV
Keputusan Munas Tarjih XXV
Tentang Pengembangan HPT (Thaharah serta Dzikir dan Do‘a)
1. Menerima semua pokok pemikiran dan pembahasan “Kitab Thaharah” yang termaktub dalam tuntunan “Kitab Thaharah” yang disusun oleh MTPPI PP Muhammadiyah dengan beberapa catatan sebagaimana terlampir dalam Lampiran IV A.
2. Menetapkan rumusan dzikir dan do‘a setelah shalat fardlu sebagaimana terlampir dalam Lampiran IV B.
3. Mengusulkan kepada MTPPI PP Muhammadiyah agar membahas dan mentarjih persoalan-persoalan sebagai berikut :
a. Lafaz rijsun berarti najis atau kotor.
b. Apakah setiap yang najis itu haram atau sebaliknya yang haram itu najis.
c. Lafas sha‘³dun (صعيد) sebagai alat tayamum apakah diartikan sebagai wajhul-ardli (وجه الأرض) atau m± ‘al± wajhil-ardli (ما على وجه الأرض).
d. Bab wuduk ditambah naw±qidlul-wudl’ (hal-hal yang membatalkan wudlu).
e. Hadis-hadis tentang dzikir dan do‘a bersama.
Lampiran V
Keputusan Munas Tarjih XXV
Tentang Rekomendasi
Munas Tarjih XXV di Jakarta Merekomendasikan :
1. Keputusan hasil Munas Tarjih XXIII di Banda Aceh dan XXIV di Malang tentang rekomendasi sebagaimana terlampir pada lampiran 5a dan 5b agar segera dilaksanakan.
2. Rekomendasi Munas Tarjih XXV sebagaimana terlampir pada lampiran 5c dengan memperhatikan saran-saran dan pendapat yang berkembang dalam sidang pleno.
A. Kepada Pemerintah
1. Agar setiap perundang-undangan menghormati hukum agama.
2. Segera dibentuk Undang-undang tentang hubungan Umat Beragama.
3. a. Perlu penyempurnaan Undang-undang No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat sesuai dengan tuntunan agama.
b. Agar Pemerintah dengan segera melaksanakan Undang-undang No. 38/1999
tentang pengelolaan zakat.
4. a. Mengusulkan untuk merevisi berbagai perundang-undangan di bidang peradilan sesuai dengan semangat reformasi .
b. Dalam Pengangkatan Hakim-hakim Agung harus memperhatikan profesionalitas, integritas moral dan perimbangan jumlah hakim pada masing-masing lingkungan peradilan.
5. Mengusulkan kepada pemerintah agar lembaga penegakkan hukum menjadi lembaga yang benar-benar mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. (eksekutif dan legislatif)
6. a. Mendesak pemerintah agar berupaya keras dan arif dalam menyelesaikan kasus Aceh, Maluku, Poso dan Papua.
b. Agar pemerintah dan semua komponen bangsa menjaga keutuhan wilayah negara RI sehingga tidak terjadi disintegrasi bangsa.
7. Mendesak pemerintah untuk menegakkan hak dan kewajiban asasi manusia dengan memperhatikan nilai-nilai moral agama dan perundang-undangan yang berlaku.
8. Mengusulkan kepada pemerintah, agar pinjaman luar negeri harus melalui persetujuan DPR dan Pemerintah Daerah yang terlibat langsung.
9. Agar Pemerintah menyelamatkan aset-aset negara yang ada di BPPN.
10. Dalam rangka pembentukkan hukum nasional mendesak pemerintah agar memberikan perhatian kepada aspirasi mayoritas bangsa Indonesia (umat Islam).
11. Mendesak Pemerintah untuk melaksanakan secara tegas dan konsekwen Undang- undang No. 28 / 1998 tentang pemberantasan KKN dan Undang-undang No. 22 /1999 tentang Pemerintahan Daerah.
12. Mendesak Pemerintah untuk sungguh-sungguh memberantas Narkoba.
B. Kepada PP. Muhammadiyah :
1. Mendesak supaya Muktamar Muhammadiyah ke 44 merubah/mengganti asas Pancasila dengan asas Islam.
2. a. Diharapkan PP Muhammadiyah membentuk Komisi HAM Muhammadiyah yang bertujuan:
(a) Merumuskan HAM dalam perspektif Islam.
(b) Mensosialisasikan HAM dalam perspektif Islam kepada warga Muhammadiyah khususnya dan umat Islam umumnya.
(c) Mendorong dan mendukung untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM.
b. Mengoptimalkan peran Majelis PKS dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial
c. Membentuk Komisi Kepedulian terhadap tindak kekerasan, yang bertujuan:
(a). Membantu menyelesaikan konflik dalam masyarakat, khususnya umat Islam.
(b). Mengadakan upaya-upaya perdamaian bila terjadi kekerasan dalam
masyarakat.
3. Agar tidak terlalu lama mentandfidzkan keputusan hasil Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
4. Agar PP Muhammadiyah meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah wanita yang meliputi reposisi, refungsionalisasi dan restrukturisasi peran wanita sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
C. Kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
1. Umum
1.1. Membentuk divisi Hukum dan Perundang-undangan
1.2. Mengamanatkan kepada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Wilayah Muhammadiyah agar melakukan pengkajian terhadap buku Tafsir Tematik Al Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama dalam rangka pengembangan wacana.
1.3. Agar Munas Tarjih diadakan dua tahun sekali, sedangkan kajian Tarjih
tingkat Wilayah minimal satu tahun sekali.
2. Kaderisasi
Menyelenggarakan Pendidikan Kader Ulama Tarjih Muhammadiyah di setiap wilayah Muhammadiyah.
3. Himpunan Putusan Tarjih.
3.1. Membukukan dan menerbitkan hasil putusan tarjih yang sudah ditanfidzkan.
3.2. Meninjau ulang materi-materi putusan tarjih yang meliputi :
a. Bunga Bank.
b. Tabir dalam sidang.
c. Melepas sandal masuk kuburan.
d. Laki-laki memakai emas dan perak.
3.3. Melengkapi tuntunan tentang:
a. Sujud sahwi.
b. Qunut.
c. Jama‘ dan Qashar.
d. Dan lain-lain.
3.4. Segera menetapkan hukum merokok.
3.5. Segera mereformulasi HPT sesuai dengan tuntutan masyarakat.
D. Kepada Umat Islam
1. Sehubungan dengan munculnya pemahaman bahwa “Orang Islam yang mengklaim agama Islam sebagai yang paling benar adalah salah”, berdasarkan Al-Qur’an perlu ditegaskan kembali kepada warga Muhammadiyah bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridloi Allah.
2. Dalam situasi dan kondisi bangsa saat ini agar umat Islam bersikap:
a. Mendekatkan diri kepada Allah dengan meningkatkan keimanan, kesalihan, dan kesabaran.
b. Dalam kehidupannya selalu mendasarkan kepada prinsip-prinsip ajaran Islam dengan mengedepankan aqidah dan akhlakul karimah.
c. Menjaga nilai-nilai kejujuran (ash-shiddq), keadilan (al-‘adalah), toleransi (tasamuh), keberanian (al-syaja‘ah) dan jihad (berjuang secara sungguh-sungguh) dalam menghadapi krisis multidimensional.
Mendukung dan menghidup suburkan Lembaga Keuangan, khususnya, Bank Syariah.
Lampiran IV A
PERUBAHAN DAN PENYEMPURNAAN KITAB THAHARAH
BAB I
Konsep dan Dasar Hukum Thaharah
Pembagian thaharah yang dibagi kepada dua kategori, yaitu (1) thaharah jasmaniah dan (2) thaharah rohaniah, ditiadakan karena akan menimbulkan kerancuan dalam pemahaman. Pada umumnya pembahasan dalam kitab-kitab fiqih hanyalah menyangkut pengertian jasmaniah, sedangkan thaharah rohaniah dibahas dalam bab taubat atau tasawuf. Namun sebagian uraian dalam sub bab I (E. Pembagian Thaharah) dimasukkan dalam sub-bab I (D. Dasar Hukum Thaharah).
BAB II
Sarana Bersuci
Air ada tiga macam untuk sarana bersucri, yaitu:
1. Al-m±’ul-muthlaq (air yang suci lagi mensucikan) termasuk dalam hal ini pembahasan:
a. al-m±’ul-musta‘mal; dalil lihat halaman 16 dan 17;
b. al-m±’ul-musyammas:
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قالت أَسْخَنْتُ مَاءً فِي الشَّمْسِ فَقَالَ النبي صلى الله عليه وسلم : لاَ تَفْعَلِيْ يَا حُمَيْرَاءُ فَإِنَّهُ يُوْرِثُ اْلبَرَصَ [رواه البيهقي وضعّفه]؛
Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya pernah memanaskan air di (sinar) matahari, maka Rasulullah saw berkata: Jangan lakukan itu, wahai ¦umair±’ (Aisyah). Sesungguhnya hal itu dapat menimbulkan penyakit kusta [HR al-Baihaq³, dan ia mendaifkannya].
c. m±’ul-qullatain
عَنْ عُمَرَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَاءِ وَمَا يَنُوبُهُ مِنَ الدَّوَابِّ وَالسِّبَاعِ فَقَالَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ [رواه الشافعي وأبو داود والنسائي والترمذي وابن ماجة عَنْ عُمَرَ إِلاَّ التِّرْمِذِيَّ فَإِنَّهُ رَوَاهُ عَنِ ابْنِهِ عَنِ النَّبِيِّ (ص)]؛ سبل السلام: في رواية: إِذَا بَلَغَ ثَلاَثَ قِلاَلٍ ، وفي رواية: إِذَا بَلَغَ قُلَّةً .
قال ابن عبد البر: هَذَا اْلحَدِيْثُ ضَعِيْفٌ لأَنَّهُ حَدِيْثٌ مُضْطَرِبٌ مَوْقُوْفٌ ؛
Artinya: Dari ‘Umar (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw ditanya tentang air yang diminum secara bergantian oleh binatang ternak dan binatang buas, lalu beliau menjawab: Apabila air mencapai dua kulah, maka ia tidak mengandung najis [HR asy-Syafi‘³, Ab D±wd, an-Nas±’³, at-Tirmidz³, dan Ibnu M±jah dari Umar, kecuali at-Tirmidz³ yang meriwayatkannya dari ‘Abdull±h Ibnu ‘Umar dari Nabi saw]. Dalam Subulus-Sal±m ditegaskan: Dalam suatu riwayat (dikatakan): Apabila mencapai tiga kulah; dan dalam riwayat lain lagi: Apabila mencapai satu kulah. Ibnu ‘Abdil-Barr mengatakan, “Hadis ini daif karena mudltharib lagi pula mauquf.”
d. air yang bercampur dengan barang / benda suci;
e. air sisa minum manusia dan air sisa minum binatang (halaman 19,20 dst);
f. air sisa minum binatang yang haram selain anjing (babi).
(Catatan : Hadis tentang hal ini perlu dibahas secara detail).
2. Al-m±’u ghairul-muthlaq (suci tetapi tidak menyucikan).
3. Al-m±’ul-mutanajjis.
BAB III
NAJIS
Macam-macam najis yang belum bisa diputuskan (Tawaquf) adalah sebagai berikut :
· Daging babi
· Darah yang mengalir
· Bangkai
· Khamar
· Jilatan Babi
· Muntah (hadis tentang hal ini perlu diteliti dengan mendalam).
· Sisa makanan atau minuman dari kucing ( hadis tentang hal ini perlu diteliti).
· Masalah kotoran binatang yang boleh dimakan, baik binatang yang memakan barang yang bernajis maupun binatang yang memakan barang yang tidak bernajis.
BAB IV
ISTINJ²’
Hadis tentang kebolehan kencing berdiri mesti ditambahkan dalam naskah Kitab Thaharah MTPPI PP Muhammadiyah.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ (رواه الجماعة واللفظ لمسلم)
Artinya: Dari ¦udzaifah (diriwayatkan bahwa) beliau berkata: Aku pernah bersama Nabi saw, di mana beliau pergi ke suatu kaum, lalu beliau buang air kecil berdiri, maka aku pun menjauh. Lalu ia berkata: Mendekatlah! Maka aku mendekat sehingga aku berada di belakangnya. Beliau berwudlu dan mengusap kedua khuffnya (sepatu yang menutup kedua mata kaki). [HR al-Jam±‘ah, dan lafal adalah lafal Muslim].
Adab istinja ditambahkan hadis tentang kebolehan menghadap dan membelakangi Kiblat dalam tempat yang tertutup:
عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ (رواه الجماعة عن ابن عمر واللفظ للبخاري)
Artinya: Dari ‘Abdull±n Ibnu ‘Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya naik ke atas bubung rumah Hafsah [Hafsah adalah saudara perempuan Ibnu ‘Umar] untuk suatu keperluan, lalu terlihat olehku Rasulullah saw sedang buang hajat membelakangi arah Kiblat dan menghadap ke Syam [HR al-Jam±‘ah dari Ibnu ‘Umar dengan lafal al-Bukh±r³].
BAB V
WUDLU
Pada halaman 69 poin a tertulis:”melebihkan dalam membasuh”; seharusnya “melebihkan dalam membasuh anggota wudlu.”
Pada halaman 71 sampai 72 poin 17 dan 18 mesti ditambah di awalnya kata “atau”, sehingga ditulis sebagai berikut:
17 atau mengusap ubun-ubun dan atas surban.
18 atau mengusap kepala dst.
Beberapa masalah wudlu:
1. Persentuhan kulit antara pria dan wanita ditambahkan hadis:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ وَلاَ يَتَوَضَّأُ [رواه الطبراني في الأوسط]
Artinya: Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw pernah mencium beberapa isterinya, kemudian ia mengerjakan shalat tanpa berwudlu lagi [HR ath-Thabar±n³ dalam al-Mu‘jam al-Aushath].
2. Menyentuh farj atau zakar (kemaluan) berdasarkan hadis:
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَتَوَضَّأُ أَحَدُنَا إِذَا مَسَّ ذَكَرَهُ فِي الصَّلاَةَِ قَالَ هَلْ هُوَ إِلاَّ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ [رواه أحمد] .
Dari Qais Ibnu Thalq, dari ayahnya (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Seorang laki-laki bertanya: Wahai Rasulullah, apabila seseorang menyentuh zakarnya dalam shalat apakah ia harus berwuduk? Beliau menjawab: Ia hanyalah bagian dari dagingmu. [HR Ahmad].
مَسَسْتُ ذَكَرِيْ وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ هَلْ أَتَوَضَّأُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ [رواه الطبرني في الكبير].
Saya menyentuh zakar saya ketika sedang shalat, apakah saya (harus) berwudlu? Rasulullah saw menjawab: Tidak. Ia adalah bagian dari dagingmu.[HR ath-Thabar±n³ dalam al-Mu‘jam al-Kab³r].
Kemudian hadis tentang batalnya wudlu karena menyentuh farj/zakar.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْمَنْ [رواه ابن ماجه] .
Artinya: Dari Ab Ayyb (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Barang siapa menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudlu.[HR Ibnu Majah].
Catatan: Kedua hadis yang bertentangan ini perlu diteliti secara mendalam, sepanjang kedua hal tersebut dapat digabungkan maknanya maka jalan ini lebih utama dilakukan.
BAB VI
Mengusap Sepatu (Khuff).
Kata khuff (الخف) tetap ditulis dan dijelaskan dalam kurung (sepatu yang menutup kedua mata kaki), kemudian makna jaurab (الجورب) adalah kaos kaki yang terbuat dari kulit yang tidak tembus air.
BAB VII
MANDI WAJIB
Kaifiyah (cara) mandi ada dua :
1. Dengan wudlu sebagaimana wudlu untuk shalat (dengan sempurna) kemudian mandi. Hadis ini termaktub dalam naskah halaman 87 dan 88.
2. Dimulai dengan membasuh anggota wudlu, namun ketika membasuh kedua tangan dilanjutkan dengan membasuh kepala tiga kali, kemudian mandi dan membasuh kaki sebagaimana hadis berikut:
عَنْ مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ قَالَتْ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلاً وَسَتَرْتُهُ فَصَبَّ عَلَى يَدِهِ فَغَسَلَهَا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ قَالَ سُلَيْمَانُ لاَ أَدْرِي أَذَكَرَ الثَّالِثَةَ أَمْ لاَ ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَغَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ وَغَسَلَ رَأْسَهُ ثُمَّ صَبَّ عَلَى جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ فَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَلَمْ يُرِدْهَا (رواه الجَماَعَةُ)
Artinya: Dari Maimunah Binti al-¦±rits (diriwayatkan) bahwa) ia berkata: Saya menyediakan air mandi untuk Rasulullah saw dan saya menutupnya, lalu beliau menuangkannya ke tangannya dan membasuhnya satu kali atau dua kali —Sulaiman mengatakan: Saya tidak ingat apakah perawi menyebutkan kali ketiga atau tidak—, kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kananya ke tangan kirinya, lalu membasuh zakarnya. Kemudian ia menggosokkan tangannya ke tanah, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung (istinsyaq), lalu membasuh mukanya dan kedua tangannya, lalu membasuh kepalanya, kemudian menuangkan air ke tubuhnya. Kemudian ia menjauh dari tempatnya dan membasuh kedua kakinya. Lalu aku memberikan sepotong kain kepadanya, namun ia tidak mau dan berkata: “Begini caranya,” sambil menyeka air dengan tangannya [HR al-Jam±‘ah dari Maimnah, dan lafal adalah lafal al-Bukh±r³].
BAB VIII
TAYAMUM
Semua naskah tentang tayamum bisa diterima. Tayamum berlaku untuk beberapa kali shalat fardlu atau sunat. Hadis yang berkenaan dengan berlakunya tayamum untuk satu kali shalat daif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar