04 Juli 2012

Mengapa Muhammadiyah menggunakan metode hisab

Suatu saat Muhammadiyah ‘naik’ di media massa adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.

Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang  diringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431.H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.

Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
Untuk memahamai metode hisab muhammadiyah KLIK DIBAWAH INI :
PEDOMAN HISAB MUHAMMADIYAH




METODE HISAB MUHAMMADIYAH*

Oman Fathurohman SW

A.  Pengantar
‘Hisab’ yang kerap kali oleh masyarakat dijadikan sebagai julukan atau label bagi Muhammadiyah arti harfiahnya adalah perhitungan.[1]Metode hisab Muhammadiyah berarti rangkaian proses perhitungan yang digunakan untuk menentukan arah suatu tempat dari tempat lain, atau menentukan posisi geometris benda benda langit untuk kemudian mengetahui waktu saat di mana benda langit  menempati posisi tersebut, atau mengetahui apakah suatu siklus waktu sudah mulai atau belum.
Metode hisab Muhammadiyah, sebagaimana terlihat dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, sekurang-kurangnya meliputi 4 (empat) obyek, yaitu hisab arah kiblat, hisab waktu-waktu salat, hisab awal bulan kamariah, dan hisab gerhana matahari dan bulan.[2]Dalam makalah ini uraian difokuskan pada hisab awal bulan kamariah dengan pertimbangan bahwa penggunaan hisab dalam hisab arah kiblat, waktu-waktu salat, dan gerhana tidak mengundang banyak kontroversi di masyarakat. Sedangkan penggunaan hisab untuk menentukan awal bulan kamariah hingga sekarang masih menjadi polemik antara mereka yang mengabsahkan penggunaannya dengan yang menolaknya. Bahkan di kalangan warga Muhammadiyah sendiri masih ada yang mempertanyakan keabsahan penggunaan hisab tersebut sehubungan dengan jelasnya sabda Nabi saw tentang rukyat yang memerintahkan puasa dan lebaran setelah terlihatnya hilal dan larangan mulai puasa dan lebaran sebelum terlihatnya hilal.
Dalam perkembangannya, khususnya berkaitan dengan penentuan awal bulan kamariah, metode hisab tidak hanya memperbincangkan tentang proses perhitungan dengan perangkat data dan rumusnya, tetapi ke dalam terminologi metode hisab ini dimasukkan pula hal-hal yang berkaitan dengan metode yang digunakan untuk menentukan penanda awal bulan kamariah. Hal ini mudah dipahami karena hisab dalam arti proses perhitungan semata-mata tidak akan membawa pada kesimpulan apa pun tentang sudah mulai atau belumnya bulan baru kamariah sebelum ditentukan apa yang menandakan masuknya bulan baru kamariah tersebut, atau dengan perkataan lain, sebelum diketahui fenomena benda langit apa dan kedudukannya seperti apa yang menandakan awal bulan kamariah yang harus dihitung tersebut.

B.     Penanda Awal Bulan Kamariah
 Terdapat banyak pandangan mengenai penentuan penanda awal bulan kamariah, lima di antaranya diuraikan dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah.[3]Pertama, ijtimak sebelum fajar;  awal bulan kamariah ditandai dengan terjadinya ijtimak (konjungsi) bulan dan matahari sebelum terbit fajar. Kombinasi fenomena ijtimak bulan-matahari dan terbit fajar merupakan penanda awal bulan baru kamariah bagi pandangan ini. Ijtimak bulan-matahari yang terjadi sebelum terbit fajar menunjukkan bahwa sejak saat terbit fajar tersebut bulan baru (tanggal 1bulan baru) kamariah dimulai. Dengan perkataan lain, awal bulan baru kamariah dimulai sejak terbit fajar yang terjadi menyusul setelah terjadinya ijtimak bulan-matahari. Sebaliknya, terbit fajar yang terjadi menjelang terjadinya ijtimak bulan-matahari merupakan hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung. Kedua, ijtimak sebelum gurub (terbenam matahari); awal bulan kamariah ditandai dengan terjadinya ijtimak (konjungsi) bulan dan matahari sebelum terbenam matahari. Kombinasi fenomena ijtimak bulan-matahari dan terbenam matahari merupakan penanda awal bulan baru kamariah bagi pandangan ini. Ijtimak bulan-matahari yang terjadi sebelum terbenam matahari menunjukkan bahwa sejak saat terbenam matahari tersebut bulan baru (tanggal 1 bulan baru) kamariah dimulai. Dengan perkataan lain, awal bulan baru kamariah dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi menyusul setelah terjadinya ijtimak bulan-matahari. Sebaliknya, terbenam matahari yang terjadi menjelang terjadinya ijtimak bulan-matahari merupakan hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung. Ketiga, bulan terbenam setelah matahari terbenam; awal bulan kamariah ditandai dengan pertama kalinya matahari terbenam sebelum terbenam bulan, atau pertama kalinya terbenam bulan sesudah terbenam matahari.  Kombinasi fenomena terbenam matahari dan terbenam bulan merupakan penanda awal bulan baru kamariah bagi pandangan ini. Terbenam matahari yang pertama kali terjadi sebelum terbenam bulan menunjukkan bahwa sejak saat terbenam matahari tersebut bulan baru (tanggal 1 bulan baru) kamariah dimulai. Dengan perkataan lain, awal bulan baru kamariah dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi sebelum  terbenam bulan. Sebaliknya, terbenam matahari yang terjadi menjelang terjadinya sesudah terbenam bulan menunjukkan awal  bulan baru kamariah belum dimulai. Keempat, imkanur-rukyat; awal bulan kamariah dimulai sejak terbenam matahari manakala ketinggian bulan saat itu mencapai tingkat sedemikian rupa sehingga dalam keadaan normal tanpa ada gangguan bulan mungkin atau bahkan dipastikan dapat dilihat. Ukuran ketinggian bulan yang mungkin dapat dilihat tersebut oleh pemerintah Indonesia, khususnya oleh Kementerian Agama RI ditetapkan 02°di atas ufuk (horizon). Ketinggian bulan minimum 02°dan terbenam matahari ini merupakan kombinasi fenomena alam yang menandai dimulainya awal bulan baru kamariah. Jika pada suatu ketika, saat terbenam matahari ketinggian bulan minimum 02°di atas ufuk, maka saat itu dimulailah tanggal 1 bulan baru kamariah, sebaliknya apabila ketinggian bulan tidak mencapai batas minimum tersebut maka awal bulan baru kamariah belum dimulai. Kelima, wujudul-hilal; awal bulan baru kamariah dimulai sejak terbenam matahari yang terjadi untuk pertama kalinya setelah terjadi ijtimak bulan-matahari dan sebelum terbenam bulan. Jadi untuk dapat ditetapkan tanggal 1 bulan baru kamariah pada saat matahari terbenam tersebut harus terpenuhi tiga syarat secara kumulatif, yaitu sudah terjadi ijtimak bulan-matahari, ijtimak bulan-matahari terjadi sebelum terbenam matahari, dan pada saat terbenam matahari bulan belum terbenam. Jika salah satu saja dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka awal bulan baru kamariah tidak dapat ditetapkan.
Penanda awal bulan kamariah sebagaimana diuraikan di atas, masih terbatas pada perspektif hisab hakiki, yaitu perhitungan terhadap fenomena benda langit secara faktual (menurut yang sesungguhnya). Di samping itu, masih ada penanda lain yang dipedomani dalam hisab urfi[4]atau dalam metode rukyat. Penanda awal bulan kamariah dalam metode rukyat adalah terlihatnya hilal.
Seperti terlihat dalam uraian di atas, acuan dalam penetapan awal bulan kamariah adalah fenomena bulan. Meskipun persisnya fenomena bulan yang dijadikan penanda awal bulan tersebut bervariasi dan kombinasinya dengan fenomena atau variabel lain berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa acuan pokok dalam penentuan awal bulan kamariah adalah bulan. Bahkan bukan saja menjadi acuan dalam penentuan awal bulan kamariah tetapi juga otomatis menjadi acuan dalam kalender kamariah. Itulah sebabnya bulan atau kalender dimaksud diberi label ‘kamariah’ (berasal dari kata Arab ‘qamariyyah’ dari kata benda ‘qamar’ artinya bulan). Hal ini berbeda dengan bulan atau kalender masehi yang acuannya fenomena matahari, dan oleh karenanya dikenal dengan bulan atau kalender ‘syamsiah’ (berasal dari kata Arab ‘syamsiyyah’ dari kata benda ‘syams’ artinya matahari).[5]
Bulan sebagai acuan dalam penentuan siklus waktu bulanan maupun tahunan diisyaratkan dengan jelas baik dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi saw. Firman Allah swt dalam surat Yunus (10) ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ.
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bagi bulan itu manzilah-manzilah, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa bulan dengan manzilah-manzilahnya itu harus menjadi acuan dalam perhitungan tahun (kalender) dan sekaligus menjadi basis perhitungan waktu sejauh menyangkut siklus waktu bulanan dan tahunan. Tantawi Jauhari (lahir 1870 M) memberikan pernyataan berkaitan dengan ayat ini dengan mengatakan bahwa seandainya tidak ada bulan (qamar) maka tidak akan ada bulan (siklus bulanan) dan minggu (siklus mingguan).[6]
Adapun hadis Nabi saw yang memberi isyarat demikian cukup banyak, salah satunya adalah hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (w. 256 H):
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلي الله عليه وسلمذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَلاَ تَصُوْمُوْا حَتىَّ تَرَوُا اْلهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ[البخاري][7]
Bahwasannya Rasulullah saw menceriterakan tentang ramadan, lalu beliau bersabda: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridul fitri sebelum melihat hilal; jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka perkirakanlah.

Hadis ini dengan tegas menjadikan terlihatnya hilal yang tidak lain adalah tampakan bulan yang terlihat dari bumi sebagai acuan dalam menentukan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal (awal bulan kamariah).
Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak menjadikan bulan sebagai acuan dalam penentuan awal bulan kamariah yang sekaligus juga untuk penyusunan kalendernya.
Dalam uraian di atas juga terlihat, ada di antara pendapat yang menjadikan fenomena ijtimak bulan-matahari sebagai parameter dalam penentuan awal bulan kamariah seperti pendapat pertama (ijtimak sebelum fajar), kedua (ijtimak sebelum gurub), keempat (imkan rukyat), dan kelima (wujudul hilal), ada pula yang tidak menjadikan ijtimak bulan-matahari sebagai parameter seperti pendapat ketiga (bulan terbenam setelah matahari terbenam). Di samping itu, terdapat perbedaan dalam hal menetapkan posisi bulan di atas ufuk pada saat terbenam matahari. Pendapat ketiga, keempat, dan kelima menjadikan posisi bulan di atas ufuk pada saat terbenam matahari sebagai parameter, sementara itu pendapat pertama dan kedua tidak menjadikannya sebagai parameter. Pendapat keempat dan kelima bukan saja menjadikan posisi bulan di atas ufuk sebagai parameter akan tetapi menggabungkannya dengan parameter  ijtimak bulan-matahari. Kedua pendapat terakhir ini menetapkan bahwa ijtimak bulan-matahari harus terjadi sebelum terbenam matahari. Hal ini perlu karena dalam waktu tertentu untuk tempat yang tertentu bulan berada di atas ufuk, atau dengan perkataan lain belum terbenam, pada saat matahari terbenam padahal ijtimak bulan-matahari terjadi setelah terbenam matahari.
Uraian di atas memperlihatkan juga bahwa permulaan hari menurut pendapat-pendapat tersebut berbeda. Pendapat pertama menjadikan terbit fajar sebagai permulaan hari, atau pergantian hari, sedangkan pendapat lainnya menjadikan terbenam matahari sebagai permulaan hari. Hal ini dapat diketahui dari kapan awal bulan kamariah itu dimulai, jika awal bulan kamariah itu dimulai pada saat terbit fajar maka otomatis awal hari juga dimulai pada saat itu  karena tidak mungkin awal bulan atau permulaan tanggal dimulai bukan pada permulaan hari, atau tidak pada saat pergantian hari. Demikian halnya, jika menetapkan awal bulan kamariah pada saat terbenam matahari, seperti terlihat pada pendapat kedua, ketiga, keempat, dan kelima, maka permulaan hari pun otomatis pada saat terbenam matahari. Menjadi jelas bahwa permulaan hari dalam sistem kamariah berbeda dengan sistem syamsiah yang menetapkan waktu pergantian hari pada saat matahari mencapai kulminasi bawah atau jam 00.00 atau jam 12.00 malam.[8]
Di antara lima pendapat di atas, manakah yang dianut oleh hisab Muhammadiyah? Hisab Muhammadiyah menganut pendapat yang kelima yaitu wujudul-hilal dengan tiga kriteria atau parameternya secara kumulatif, telah terjadi ijtimak bulan-matahari, ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari, dan bulan di atas ufuk (belum terbenam) pada saat matahari terbenam. Dimaksud dengan menentukan tanggal 1 bulan baru kamariah berdasarkan wujudul-hilal menurut penuturan K.H. Muhammad Wardan Diponingrat adalah menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab dengan tiada batasan tertentu, pokok (yang penting) asal hilal sudah wujud. Sedang yang dimaksud dengan hilal sudah wujud adalah matahari terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya bulan (hilal) walaupun hanya sejarak 1 menit atau kurang.[9]
Persoalannya adalah, mengapa Muhammadiyah memilih hisab dan tidak memilih rukyat untuk menentukan awal bulan kamariah atau untuk menyusun kalender? Mengapa Muhammadiyah memilih hisab wujudul-hilal atau bagaimana rumusan metodologisnya sehingga hisab wujudul hilal menjadi pilihan? Dan selanjutnya bagaimana metode perhitungan untuk menentukan konsep wujudul hilal tersebut?
Persoalan-persoalan sudah dikupas dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyahhalaman 13-18 dan halaman 73-94.[10]Makalah ini berusaha untuk menambah penjelasan pada persoalan yang kedua dan ketiga.

C.    Siklus Bulan Sinodis Sebagai Acuan
Siklus bulan mengitari bumi mutlak harus dijadikan sebagai pangkal tolak untuk menentukan awal bulan kamariah. Pergantian bulan dari bulan yang sedang berlangsung kepada bulan baru berikutnya baru terjadi apabila bulan telah sempurna dalam peredarannya mengitari bumi. Persoalannya adalah, siklus peredaran bulan mengitari bumi tersebut ada dua macam, yaitu siklus peredaran bulan mengitari bumi relatif terhadap suatu bintang tetap yang dikenal dengan peredaran bulan sideris (sidereal month), dan siklus peredaran bulan mengitari bumi relatif terhadap matahari yang dikenal dengan peredaran bulan sinodis (synodic month).
Siklus peredaran bulan sideris adalah periode yang sebenarnya dari bulan mengitari bumi. Periode tersebut merupakan interval waktu antara dua kali konjungsi antara titik pusat bulan dengan sebuah bintang dilihat dari titik pusat bumi. Lama periodenya rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 11,5 detik atau mendekati 27 1/3 hari (27,321661 hari). Waktu selebihnya dari 7 jam terse-but selalu berubah-ubah di-sebabkan oleh adanya pe-ngaruh benda langit 

Siklus peredaran bulan sinodis adalah interval waktu antara dua kali konjungsi bulan dan matahari. Interval waktu bulan sinodis ini lebih lama dari bulan sideris karena matahari yang dijadikan sebagai referensinya juga ikut bergerak (gerak semu tahunan matahari) dengan arah yang sama dengan arah geraknya bulan, meskipun gerak matahari ini jauh lebih lambat dari geraknya bulan. Lama periodenya rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 02,8 detik atau lebih dari 29 1/2 hari.[12]
Manakah di antara dua siklus bulan tersebut yang diacu? Untuk menjawabnya harus diperhatikan sabda Nabi saw.
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ      [البخاري ومسلم].[13]
          Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung (hisab). Bulan itu adalah demikian-demikian, yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.
Hadis ini menyatakan dengan jelas bahwa umur bulan kamariah itu kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari. Dengan perkataan lain, paling singkat 29 hari sehingga tidak ada umur bulan yang 28 hari atau kurang, dan paling lama 30 hari sehingga tidak ada umur bulan yang 31 hari atau lebih. Dengan demikian siklus bulan yang dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan kamariah adalah siklus bulan sinodis bukan siklus bulan sideris. Interval waktu dalam siklus bulan sinodis, sebagaimana disbutkan di atas, rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 02,8 detik. Namun demikian interval waktu ini dapat berubah, mungkin kurang mungkin pula lebih. Peredaran bulan tidak hanya dipengaruhi oleh bumi dan matahari, tetapi juga oleh planit-planit. Oleh karena itu, menurut keadaan yang sebenarnya, interval waktu siklus bulan sinodis pun tidak tepat 29 hari 12 jam 44 menit 02,8 detik. Akibatnya, tidak dapat dibuat otomatis umur bulan secara bergantian antara 29 hari dan 30 hari, sebagaimana dilakukan dalam hisab ‘urfi, melainkan harus dihitung secara akurat setiap bulan. Interval waktu siklus bulan sinodis selama tahun 2011 berturut-turut adalah 29 hari 11 jam 56 menit, 29 hari 10 jam 14 menit, 29 hari 08 jam 47 menit, 29 hari 08 jam 05 menit, 29 hari 08 jam 24 menit, 29 hari 09 jam 46 menit, 29 hari 11 jam 51 menit, 29 hari 14 jam 12 menit, 29 hari 16 jam 19 menit, 29 hari 17 jam 46 menit, 29 hari 18 jam 15 menit, 29 hari 17 jam 28 menit.[14] Seandainya bulan pertama ditetapkan 29 hari maka masih tersisa waktu 11 jam 56 menit ditambahkan pada siklus untuk bulan kedua menjadi 29 hari 22 jam 10 menit (11 jam 56 menit + 29 hari 10 jam 14 menit). Ternyata untuk bulan kedua masih kurang dari 30 hari, oleh karena itu umur bulan kedua pun masih ditetapkan 29 hari. Jika kelebihan 22 jam 10 menit tersebut ditambahkan pada siklus bulan ketiga maka menjadi 30 hari 06 jam 57 menit (22 jam 10 menit + 29 hari 08 jam 47 hari = 29 hari 30 jam 57 menit = 30 hari 06 jam 57 menit). Jadi bulan ketiga umurnya 30 hari.

D.  Ijtimak Bulan-Matahari Sebagai Patokan
Sebagaimana dijelaskan di atas, siklus bulan sinodis harus dijadikan acuan dalam penentuan bulan kamariah. Selanjutnya, apa yang harus dijadikan patokan bahwa bulan sudah beredar secara sempurna satu siklus peredaran sinodisnya? Atau dapat pula dikatakan, apa yang merupakan batas start dan finis dari siklus peredaran sinodis bulan itu?
Bumi beredar pada orbitnya sekeliling matahari dalam waktu satu tahun, atau tepatnya rata-rata 365 hari 05 jam 48 menit 46 detik (365,24220 hari). Interval waktu tersebut dinamakan satu tahun tropis.[15] Peredaran tersebut berlangsung menurut arah dari barat ke timur. Oleh pergerakan tahunan bumi itu, matahari terlihat seakan-akan bergerak di langit menurut arah dari barat ke timur pula. Orbit tempat bumi beredar sekeliling matahari dari arah barat ke timur itu dinamakan ekliptika.[16] Bersamaan dengan beredarnya bumi sekeliling matahari, bulan pun beredar pada orbitnya sekeliling bumi menurut arah dari barat ke timur. Orbit tempat bulan beredar sekeliling bumi tidak sama dengan orbit tempat bumi beredar sekeliling matahari, yakni ekliptika. Kedua bidang orbit itu berpotongan dan membentuk sudut yang besarnya 05°[17]atau secara lebih detail 05°08¢48².[18] Setengah orbit bulan terletak di sebelah utara ekliptika dan setengah lainnya terletak di sebelah selatan ekliptika.

N1 dan N2 adalah titik titik perpotongan antara orbit bulan dengan orbit semu tahunan matahari (ekliptika) N1 sampai N2 menunjukkan bahwa setengah dari orbit bulan berada di utara orbit semu tahunan matahari (ekliptika), sebaliknya dari N2 sampai N1 menunjukkan bahwa setengah dari orbit bulan berada di selatan orbit semu tahunan matahari (ekliptika).

Selanjutnya mengenai fenomena ijtimak dapat dijelaskan melalui gambar 3. KUE adalah Kutub Utara ekliptika. S adalah matahari pada satu posisi tertentu dan S1 adalah matahari pada posisi tertentu lainnya. Q adalah bulan pada satu posisi tertentu dan Q1 adalah posisi bulan pada satu posisi tertentu lainnya. Busur KUE-Q-S dan KUE-Q1-S1 dinamakan lingkaran bujur langit atau bujur ekliptika (Ecliptic Longitude). Pada posisi pertama bulan (Q) dan matahari (S) berada pada lingkaran bujur langit yang sama. Keadaan serupa ini dinamakan ijtimak, yakni ijtimak atau konjungsi antara bulan dan matahari.  Busur VE-S dinamakan bujur matahari dan sekaligus juga bujur bulan karena bulan berada pada lingkaran bujur langit yang sama.  Selanjutnya bulan (Q) beredar satu kali putaran penuh sekeliling bumi, pada saat yang sama juga matahari (S) bergerak dengan arah yang sama dengan bulan namun geraknya lebih lambat. Karena bulan geraknya lebih cepat dari pada matahari maka ketika bulan telah melewati satu kali putaran penuh ditambah gerakannya dari Q sampai di Q1, matahari baru bergerak dari S ke S1. Pada posisi Q1 dan S1 terjadi lagi ijtimak bulan dan matahari.
            Dengan penjelasan di atas, maka fenomena ijtimaklah yang harus dijadikan sebagai patokan untuk memastikan bahwa bulan sudah melewati satu siklus yang sempurna. Pergantian bulan kamariah dari bulan yang sedang berlangsung ke bulan baru berikutnya hanya dapat dibenarkan apabila telah melewat saat ijtimak bulan dan matahari. Itulah sebabnya maka pendapat ketiga di atas yang tidak mempertimbangkan ijtimak bulan-matahari atau tidak menjadikan ijtimak bulan-matahari sebagai parameter tidak dapat diterima.
            Fenomena bulan dan matahari sebagaimana dijelaskan di atas, diisyaratkan juga dalam al-Qur’an surat Yasin bagian awal ayat 40:
لاَ الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ
                Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan.

      Ayat ini mengisyaratkan tentang perjalanan bulanan bulan dan perjalanan tahunan matahari, yang arahnya sama-sama dari barat ke timur. Setiap hari bulan menempuh 13,176358°(360°  : 27,321661), sedangkan matahari setiap hari menempuh 0,985609°(360°: 365,256360). Dengan demikian setiap hari bulan menempuh 12,190749°(13,176358°- 0,985609°) lebih banyak daripada matahari. Dan itulah sebabnya maka matahari akan selalu terkejar oleh bulan dan tidak mungkin matahari mengejar bulan. Untuk menempuh 360°lebih banyak daripada matahari, dengan perkataan lain untuk dapat mengejar lagi matahari, bulan memerlukan 29,530589 hari (360 : 12,190749) atau 29 hari 12 jam 44 menit 02,8 detik,[19] yakni interval waktu  rata-rata siklus bulan sinodis.

       Uraian di atas menjelaskan posisi bulan, matahari, dan bumi saat bulan dan matahari berijtimak. Selanjutnya bagaimana tampakan bulan dari bumi pada saat ijtimak tersebut? Bumi dan bulan merupakan benda gelap, artinya tidak memancarkan cahaya sendiri. Tetapi matahari merupakan benda terang karena memancarkan cahaya sendiri. Jarak bumi – bulan rata-rata 384.000 km, jarak bumi – matahari rata-rata 150.000.000 km, kira-kira 390 kali lipat jarak bumi – bulan. Seperdua permukaan bulan dan permukaan bumi senantiasa mendapat cahaya terang dari matahari. Cahaya matahari yang sampai ke bulan dipantulkan kembali, sehingga bagian bulan yang diterangi matahari dapat terlihat dari bumi, apabila bagian itu menghadap ke bumi.
       Peredaran bulan sekeliling matahari menyebabkan kedudukan bumi terhadap bulan dan matahari senantiasa berubah. Perubahan kedudukan itu mengakibatkan bagian bulan yang diterangi cahaya matahari dan dapat dilihat dari bumi berubah-ubah pula. Perubahan bentuk bulan itu disebut fase bulan. Pertama bulan terlihat seperti sabit tipis, setiap berganti malam bentuk bulan kelihatan semakin bertambah besar, lalu menjadi bulan purnama, selanjutnya berangsur-angsur setiap berganti malam semakin kecil dan akhirnya tidak kelihatan sama sekali. 

Pada saat ijtimak, bulan berada di antara bumi dan matahari sehingga permukaan bulan yang mendapat cahaya matahari membelakangi bumi. Akibatnya tidak ada bagian permukaan bulan yang mendapat cahaya matahari yang terlihat dari bumi. Pada posisi berikutnya ada bagian permukaan bulan yang mendapat cahaya matahari menghadap ke bumi, sehingga dapat terlihat dari bumi. Pada posisi berikutnya (bulan purnama) seluruh permukaan bulan yang mendapat cahaya matahari menghadap ke bumi sehingga separuh  permukaan bulan terlihat dari bumi. Posisi berikutnya hanya sebagian saja permukaan bulan yang mendapat cahaya matahari menghadap ke bumi sehingga hanya sebagian pemukaan bulan saja yang terlihat dari bumi.
          Keadaan demikian digambarkan dalam al-Qur’an surat Yasin ayat 39:

وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran (manzilah) bagi bulan, sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua.

Ayat ini memberi petunjuk tentang dimulainya bulan baru, yaitu bila ia telah kembali kepada bentuknya yang paling kecil. Bentuk yang paling kecil tersebut dicapainya di sekitar saat ijtimak.
Seperti telah diuraikan terdahulu, pada keadaan ijtimak bulan-matahari, bulan hanya sesekali saja berkedudukan benar-benar dalam satu garis pandangan dengan matahari, bila dilihat dari bumi. Kalau terjadi yang demikian, terjadilah gerhana matahari, dan permukaan bulan yang menghadap ke bumi adalah semata-mata bagian permukaan yang gelap. Pada saat ijtimak, pada umumnya masih terdapat jarak sudut pandang di antara bulan dan matahari, sebagaimana terlihat pada gambar 3. Dalam keadaan demikian masih ada bagian permukaan bulan yang diterangi matahari yang menghadap ke bumi. Tetapi bagian itu tidak dapat juga dilihat karena bulan yang sedang berijtimak itu letaknya terlalu deka dengan matahari, artinya sudut pandang antara bulan dan matahari sangat kecil.
Apabila diperhatikan uraian astronomis di atas, kemudian dipadukan dengan gabungan ayat 39 dan bagian awal ayat 40 surat Yasin, maka dapat disimpulkan bahwa bulan baru ditandai dengan didahuluinya matahari yang bergerak lambat oleh bulan yang geraknya jauh lebih cepat. Atau, oleh karena gerak keduanya dengan arah yang sama yaitu dari barat ke timur, maka dapat pula dikatakan bahwa bulan baru itu dimulai bila bulan berkedudukan di sebelah timur matahari.
Bagaimana menentukan bahwa bulan sudah berada di sebelah timur matahari? Di ruang angkasa tidak ada timur dan barat. Timur, barat, utara, dan selatan, khusus hanya ada di bumi. Kalau dikatakan, bulan dan matahari bergerak menurut arah dari barat ke timur. Demikian itu adalah semata-mata berdasarkan ketentuan dalam ilmu astronomi yang menyatakan bahwa gerak arah dari barat ke timur adalah gerak, yang kalau dilihat dari kutub utara, berlaku menurut arah yang bertentangan dengan arah perputaran jarum jam.
Kalau demikian halnya, dapatkah saat ijtimak bulan-matahari itu dijadikan sebagai pembatas mutlak antara bulan baru kamariah? Ijtimak bulan-matahari semata-mata tidak dapat dijadikan pemisah antara bulan yang sedang berlangsung dengan bulan baru berikutnya karena mengandung beberapa kelemahan, antara lain yang paling mendasar adalah, ia tidak dapat diobservasi. Bulan dalam keadaan berijtimak dengan matahari dapat menjadi penyebab kesalahan-kesalahan yang tidak tergambarkan, oleh karena ia tidak dapat dilihat.[20] Di samping itu lingkaran-lingkaran yang menjadi pembatas barat dan timur di ruang angkasa adalah lingkaran-lingkaran imajiner  yang sengaja diciptakan oleh ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu, yang tentu saja tidak dapat dilihat. Saat ijtimak bulan-matahari juga dapat terjadi kapan saja di sepanjang hari. Kalau ijtimak bulan-matahari ini dijadikan penentu bulan baru kamariah tentu akan menyulitkan.

E.  Garis Ufuk Sebagai Pembatas Barat-Timur dan Terbenam Matahari Sebagai Start-Finis Bulan Kamariah
Permasalahan di atas, dapat diselesaikan dengan menjadikan garis ufuk sebagai pembatas barat dan timur. Secara astronomi, garis ufuk sebagai petunjuk barat dan timur memiliki karakteristik yang penting. Pertama, garis ufuk adalah garis yang nyata, dengan kedudukan dan sifat-sifat yang jelas, sehingga tidak ada keragu-raguan dalam mendefinsikannya. Kedua, ufuk adalah persoalan bumi, sedangkan perjalanan bulan dan matahari adalah persoalan ruang angkasa, persoalan langit. Dengan menggunakan ufuk sebagai patokan, ke dalam persoalan langit itu telah dimasukkan unsur kebumian, sehingga dapat menjadi lebih menarik bagi manusia. Ketiga, ufuk bukan hanya persoalan bumi, tetapi juga ufuk terikat kepada suatu tempat tertentu di atas bumi.[21]
Menjadikan ufuk sebagai batas timur dan barat bukan saja mendapat dukungan kuat dari ilmu astronomi, tetapi juga diisyaratkan oleh al-Qur’an surat Yasin ayat 40:
وَلاَ اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ
Dan malam pun tidak dapat mendahului siang.

Ayat tersebut memberikan petunjuk dan bimbingan tentang garis patokan yang harus dipedomani dalam menentukan lahirnya atau masuknya bulan baru kamariah. Rupanya yang dimaksud oleh ayat itu adalah situasi senja hari tatkala matahari terbenam karena pada situasi seperti itu terjadi pergantian siang kepada malam. Perpindahan siang kepada malam itu  oleh terbenamnya matahari. Sedang terbenamnya matahari adalah terhadap ufuk atau horizon. Oleh karena itu, berdasarkan ayat ini ada unsur baru yang harus diperhatikan yaitu “garis ufuk”. Ufuk inilah rupanya yang harus dijadikan patokan dalam menentukan apakah bulan sudah berada di sebelah timur matahari atau sebaliknya ia masih berada di sebelah baratnya.
Cara menentukannya tidak sulit, yaitu dengan menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan. Bila bulan berkedudukan di atas ufuk itu berarti menunjukkan bahwa bulan sudah berada di sebelah timur matahari. Dengan perkataan lain, bulan belum terbenam ketika matahari terbenam. Situasi demikian menunjukkan bahwa bulan baru kamariah sudah mulai.
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas akhirnya dapat disimpulkan. Pertama, untuk menghisab jatuhnya tanggal satu bulan baru kamariah yang harus dilakukan adalah menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan,  apakah sudah berkedudukan di atas ufuk atau masih di bawahnya. Apabila sudah berkedudukan di atas ufuk, berarti sudah berada di sebelah timur garis ufuk dan sekaligus di sebelah timur matahari. Dalam keadaan demikian bulan baru kamariah sudah ada, atau dalam istilah Muhammadiyah, hilal sudah wujudKedua, dalam hisab awal bulan kamariah yang harus dilakukan bukanlah menentukan tinggi bulan di atas ufuk mar’i, akan tetapi yang penting adalah meyakini apakah pada pertukaran siang kepada malam bulan sudah berkedudukan di sebelah timur matahari ataukah belum.

F.    Metode Perhitungan Awal Bulan Kamariah
Dari uraian terdahulu dapat diketahui apa saja yang harus dihitung untuk menyediakan data dalam rangka penentuan awal bulan kamariah. Pertama kali yang harus dihitung adalah saat terjadinya ijtimak bulan-matahari menjelang awal bulan kamariah yang dicari. Berikutnya menghitung saat terbenam matahari pada hari terjadinya ijtimak tersebut atau boleh jadi hari berikutnya. Terakhir menghitung posisi bulan pada saat terbenam matahari. Perhitungan yang terakhir ini untuk memastikan apakah bulan sudah di sebelah timur matahari atau belum, dapat pula dikatakan apakah bulan sudah terbanam atau belum.
Secara teknis, langkah-langkah perhitungan tersebut sudah diberikan contohnya dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah.[22] Dalam makalah ini akan ditam-bahkan penjelasan koreksi atas kedudukan matahari pada saat terbenam. Terbenam matahari didefinisikan sebagai keadaan di mana tepi piringan atas matahari menurut pengamatan persis berada pada garis ufuk (lingkaran horison mar’i).
Untuk kondisi tersebut diperlukan koreksi semi diameter matahari, refraksi, dan kerendahan ufuk (dip).  
G.    Penutup

Makalah ini diakui kurang menyeluruh, masih terdapat butir-butir penting yang tidak diuraikan di dalamnya. Namun demikian, penulis berharap apa yang disajikan dalam makalah ini menambah wawasan para pembacanya.

CATATAN PENTING: 

*Makalah disampaikan pada acara Apresiasi Metode Hisab Muhammadiyyah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diselenggarakan Selasa 13 Jumadil Akhir  1432 H / 17 Mei  2011 M di Aula Kantor PP Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta. 
[1]Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, cetakan pertama edisi keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 503, kata ‘hisab’.
[2]Lihat Pedoman Hisab Muhammadiyah, cetakan kedua (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009).
[3]Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ibid, h. 21-14.
[4]Ibid., h. 18-20.
[5]Dalam kalender syamsiah tidak dikenal adanya penentuan awal bulan, karena kalender syamsiah basis perhitungannya adalah siklus tahunan, rentang waktu dalam satu yang merupakan siklus orbit bumi sekitar matahari, atau siklus peredaran semu tahunan matahari. Dari rentang waktu satu tahun ini kemudian dibagi dan dikelompokkan menjadi 12 bulan. Setiap bulan diberi jatah hari antara 30 dan 31 hari, kecuali bulan Februari 29 hari atau 29 hari. Berbeda dengan kalender syamsiah, kalender kamariah berbasis siklus bulanan, oleh karenanya penentuan awal bulan merupakan hal yang pokok tidak dapat diabaikan. Penggabungan 12 kali siklus bulanan menjadi satu siklus tahunan. Lihat Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang2, (Djakarta: PT Pembangunan, 1960), h. 72-74; Robert H. Baker, Astronomy: A Texbook for University and College Students, cetakan keempat, edisi kelima (New York: D. Van Nostrand Company, 1953), h. 64-65.
[6]Tantawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, edisi kedua (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1350 H),  VI :  17. 
[7]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari,  (ttp: Dar wa Matabi’ asy-Sya’b, t.t.), III:34.
[8]Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 483, kata ‘hari’.
[9]Muhammad Wardan, Hisab ‘Urfi dan Hakiki, (Jogjakarta: Siaran, 1957), h. 43.
[10]Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, h. 13-18 dan 73-77.
[11]Robert H. Baker, Astronomy, h. 129.
[12]Ibid.
[13]Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari,  III: 35.
[14]Diolah dari hasil perhitungan saat ijtimak bulan-matahari (new moon) dalam program aplikasi accurate times 5.2.5
[15]Robert H. Baker, Astronomy, h. 61.
[16]Ibid., h. 18.
[17]Ibid., h. 131.
[18]K.H. Muhammad Wardan, Kitab Falak dan Hisab, edisi pertama (Jogjakarta: Toko Pandu, 1957), h. 30.
[19]Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal Bulan, cetakan pertama (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), h. 7.
[20]Ibid., h. 10.
[21]Ibid., h. 13-14.
[22]Lihat Pedoman Hisab Muhammadiyah, h. 82-94.