25 Juli 2010

Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah Lewat Pendidikan

Refleksi Satu Abad Muhammadiyah
Pemimpin Ulama Vs Pemimpin Intelektual

DI ANTARA keunikan Muhammadiyah bertalian dengan pemilihan pucuk pimpinan adalah seorang pemimpin tidak dipilih oleh peserta muktamar yang mempunyai hak pilih.

Oleh: Suwito MPd I*

Peserta muktamar yang mempunyai hak suara hanya memilih pimpinan pusat 13 orang. Orang-orang itulah yang melakukan musyawarah untuk menentukan siapa yang paling layak sebagai ketua umum Muhammadiyah.

Diterapkannya cara pemilihan tersebut dimaksudkan untuk mereduksi resistensi yang mungkin timbul pada masing masing peserta muktamar yang berbeda pendapat dalam memilih pemimpin. Muhammadiyah tidak ingin perbedaan pendapat di dalam memilih pemimpin menimbulkan perpecahan berkepanjangan yang tak jarang menghabiskan energi sebagaimana yang terjadi sebelum, pada saat dan sesudah pilkada, pilgub, pileg maupun pilpres.

Virus semisal money politics, black compaign, saling menghujat, memfitnah ataupun melecehkan begitu mewabah dan sulit dikendalikan.

Ditinjau dari sudut historis sosiologis terjadinya fenomena tersebut merupakan suatu kewajaran. Hal itu disebabkan sosok pemimpin mempunyai peran sentral dan paling strategis dalam rekayasa sosial. Di tangan pemimpin sejumlah kekuasaan digenggam. Terlepas ia dikendalikan oleh orang orang di sekitarnya ataukah tidak, merah atau hijaunya sebuah komunitas umat banyak tergantung pada pemimpinnya.

Eksistensi pemimpin tidak hanya memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, tapi juga agama dalam masyarakat. Tidak salah jika mahfudhat (kata kata mutiara) Arab mengatakan annasu ala diini mulukihi (rakyat akan mengikuti agama raja atau pemimpinnya).

Sejarah kepemimpinan Muhammadiyah selama satu abad setidaknya menunjukkan tentang hal itu. Meski organisasi ini mengikuti irama kepemimpinan mulai dari model kepemimpinan sentralistik - kompetitif sinergik dan kepemimpinan kolektif, namun figur pemimpin tetap mempunyai pengaruh begitu signifikan untuk menentukan mainstream sekaligus stressing prioritas ke mana organisasi itu diarahkan.

Secara global, selama satu abad sejatinya kepemimpinan Muhammadiyah terpetakan menjadi dua, yakni pemimpin ulama dan pemimpin intelektual.

Hardware and software kepemimpinan yang beraura ulama dimulai sejak organisasi ini berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 bertepatan dengan 18 November 1912 sampai 1995 periode KH Azhar Basyir. Jadi, kurang lebih selama 83 tahun organisasi Muhammadiyah dikendalikan oleh tangan tangan halus pemimpin yang ulama. Mayoritas mereka adalah keturunan ulama besar pada zamannya.

Ahmad Dahlan misalnya, beliau adalah keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang ulama yang terkemuka di antara walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

Selama kurun waktu 11 tahun KH Ahmad Dahlan mengukuhkan ideologi Muhammadiyah (1912 - 1923). Beliau juga melakukan Tri Kaderisasi Utama , yakni kaderisasi ulama, pemimpin, mubalig sebagai ujung tombak dalam menyebarkan ideologi Muhammadiyah ke seluruh penjuru Indonesia. Dan rupanya kaderisasi tersebut sukses dengan cemerlang.

Melalui tangan halus sang murabbi sejati, lahirlah pengganti pemimpin yang mempunyai bashirah (keyakinan ideologi dan keilmuan yang mendalam ) sebagai ciri khas sosok ulama.

Apa yang menarik untuk dicermati dari kepemimpinan ulama? Di tangan pemimpin ulama organisasi Islam mempunyai jati diri yang kuat. Syiar keagamaan ideologi Muhammadiyah begitu menyeruak dan menggelora bumi Indonesia.

Lembaga pendidikan Muhammadiyah saat itu mulai jenjang pendidikan Bustanul Atfal, MI, MTs, MA bahkan perguruan tinggi benar benar terwarnai secara mencolok dengan ideologi Muhammadiyah.

Pendek kata, komunitas Muhammadiyah saat itu lebih tercerahkan dengan akidah yang salimah (puritan), ibadah yang shahihah (valid), akhlak karimah, mandiri dan bermartabat.

Ada pun kepemimpinan pasca KH Azhar Basyir, Prof Dr Amin Rais, Prof Dr Syafii Maarif, dan Prof Dr Dien Syamsudin merupakan tipikal pemimpin yang intelektual. Mereka dikenal sebagai sosok pemimpin menghimpun beragam tipologi pemimpin modern yang authoritative (pandai memobilisasi orang untuk mencapai visi), affiliative (mahir dalam menciptakan keharmonisan dan membangun ikatan emosional), democratic (mendorong konsensus melalui partisipasi), pace setting (meletakkan standar yang tinggi untuk kinerja), serta coaching (cerdas dalam mengembangkan sumber daya manusia untuk menunjang masa depan).

Mereka bertiga sukses menjadi lokomotif Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern. Berhasil menampilkan citra organisasi Muhammadiyah sebagai miniatur kelompok Islam yang ramah. Artinya, program yang bersifat eksternal, populis, dan propagandis cukup cemerlang di era kepemimpinan ketiga professor alumnus Barat tersebut.

Namun, program yang bersifat internal seperti halnya Tri Kaderisasi Utama (kaderisasi ulama, pemimpin dan mubalig) sebagai ujung tombak di garda terdepan untuk menggerus penyakit TBC (tahayul, bidah, churafat) kurang mendapatkan porsi yang selayaknya. Akibatnya, penyakit yang sangat berbahaya tersebut begitu menggejala dan menggurita serta tidak mendapatkan prioritas penyelesaian sebagaimana periode kepemimpinan ulama.

Lembaga pendidikan Muhammadiyah dari mulai play group, bustanul athfal, MTs/SMP, MA/SMA bahkan universitas yang berlabel Muhammadiyah tumbuh bak cendawan di musim hujan. Tetapi peserta didik khususnya tingkatan SLTP/SLTA dan mahasiswa kurang mempunyai ‘warna’ Muhammadiyah. Mata Pelajaran (KMD) Kemuhammadiyahaan kurang mendapat tempat sebagai wahana doktrinisasi bagi orang orang yang belum Muhammadiyah. Praktis lembaga pendidikan Muhammadiyah hanya sekadar label yang tanpa isi.

Betapa banyak mahasiswa Islam yang belajar di universitas Muhammadiyah yang meninggalkan salat, mahasiswinya menanggalkan jilbab. Pendek kata, suasana religius tidak begitu tampak dalam kehidupan universitas yang berlabel Muhammadiyah.

Lalu, pemimpin bagaimanakah yang relevan dengan nafas peradaban Muhammadiyah di abad ini? Ditinjau dari historis kelahiran Muhamadiyah, tampaknya pemimpin ulama yang lebih relevan memimpin organisasi yang memprioritaskan dakwah islamiyah dan sosial kemasyarakatan.

Hal itu dimaksudkan agar terjadinya kejelasan ‘gender muhammadiyah’ yang mempunyai megaproyek tajrid (pemurnian) dalam bidang ideologi dan tajdid (pembaharuan) dalam bidang sosial sebagaimana yang telah dirintis pendahulunya selama kurun waktu 83 tahun.


Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah Lewat Pendidikan

Dien Syamsuddin
Sesuai dengan tema perserikatan pasca muktamar Malang, revitalisasi, maka kita memandang perlu untuk melakukan revitalisasi dalam berbagai bidang, terutama pada bidang-bidang yang menjadi core activity muhammadiyah, seperti pendidikan. Otokritik yang kita terima selama ini menyatakan bahwa titik lemah dari gerakan Muhammadiyah yang termutakhir adalah dalam bidang pendidikan. Terutama menyangkut kualitas, termasuk juga tentang keterkaitan output dari lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan Muhammadiyah itu sendiri. Memang belum ada survey tetapi disinyalir keterkaitan antara output lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan Muhammadiyah baik sebagai organisasi, maupun kemuhammadiyahan sebagai nilai ideology itu sangat-sangat rendah.
Oleh karena itu, hal teserbut perlu menjadi pembicaraan bersama untuk kita cari jalan keluarnya. Khusus mata pelajaran al Islam dan Kemuhammadiyahan, ini memang dirancang oleh perumusnya dulu, sebagai ciri khas lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ciri khas inilah yang membedakan sekolah Muhammadiyah dengan sekolah non-Muhammadiyah. Maka posisi dari mata pelajaran ini, Al Islam dan kemuhammadiyahan ini memang sangat-sangat sentral.Oleh karena itu sekali lagi mata pelajaran ini sangat sentral dan juga sebagai medium untuk menyebarkan paham keagamaan Muhammadiyah. Apalagi kita sekarang menghadapi masalah lemahnya penghayatan nilai-nilai ideologis yang menjadi anutan Muhammadiyah, sebab tidak hanya di sekolah-sekolah Muhammadiyah, termasuk juga di kalangan Pimpinan, dan juga anggota Muhammadiyah. Sekarang ini kita menghadapi ada tawaran-tawaran ideologi oleh sales-sales ideologi yang banyak berkeliaran. Terdapat fakta, ada pimpinan Muhammadiyah, yang terpengaruh pada pesona ideologi-ideologi itu yang kemudian mereka ikuti.

Kalau seandainya mereka keluar dari Muhammadiyah, saya melihatnya agak mendingan. Kita tinggal mencari anggota baru Muhammadiyah dari pangsa pasar lain. Tetapi ditengarai kelompok ini atau kader-kader Muhammadiyah ini tetap bertahan di dalam Muhammadiyah. Punya peran dan fungsi di amal usaha Muhammadiyah. Kalau hanya pada tingkat ini masih mendingan juga, kalau pasif. Tetapi mereka justru aktif dan proaktif, bahkan agresif, mungkin ada yang lebih tinggi lagi dari agresif, untuk menyebarkan paham keagamaan baru yang mereka yakini ke kalangan Muhammadiyah, termasuk ke kalangan peserta didik Muhammadiyah. Yang mana paham itu pada titik-titik tertentu, berbeda dengan Muhammadiyah. Kalau terjadi dan berlangsung terus menerus, 5, 10, 15 tahun maka terjadilah kekeroposan dalam Muhammadiyah. Karena ada pengikisan oleh orang-orang lain. Contoh soal saya hadapi sendiri, menjelang Muktamar ada gebyar Muktamar dan milad di sebuah cabang Muhammadiyah di Jakarta, yang acaranya penuh dengan penampilan seni budaya oleh beberapa sekolah. Waktu sangat mepet, saya diminta menyampaikan tausyiah terakhir. Maka saya pilih di atas panggung untuk tidak menyampaikan tausyiah, tetapi saya adakan cerdas cermat dan saya sediakan hadiah, nanti kalau yang bisa jawab saya kasih 50 ribu perorang. Untuk SD pertanyaannya, kapankah dan siapakah pendiri Muhammadiyah, semua anak-anak SD angkat tangan, 5 orang maju ke panggung dan jawabannya semua benar. Untuk SMP, pertanyaannya adalah Apakah tujuan Muhammadiyah? yang angkat tangan juga banyak, 5 maju ke depan, di situ saya kaget, kelimanya menjawab hampir sama, saya kira bunyinya, tujuan Muhammadiyah, mendidik insan yang beriman, bertaqwa, dan berahlak mulia, bla.. bla.. Terus saya bilang, “Di sini apa ada guru kemuhammadiyahan atau Al Islam?” Seorang ibu naik ke panggung. Ibu guru ini menyatakan jawaban itu salah, itu tujuan pendidikan Muhammadiyah, Sedangkan tujuan Muhammadiyah itu, ....bla-bla panjang sekali sampai ada kata keadailan, kesejahteraan, dan lainnya. Saya semakin kaget lagi dengan jawaban ibu guru yang mengajarkan kemuhammadiyahan itu.

Pimpinan Cabang yang sangat mengikuti perkembangan di kompleks itu, mengatakan pada saya, “Pak Dien memang di sini guru-guru kita, tidak hanya dalam mata pelajaran yang lain juga di dalam al Islam dan kemuhammadiyahan banyak yang punya kecenderungan lain, orientasi lain, afiliasi lain. Waktu kampanye dulu saat ada polling tentang partai dan capres itu mereka sering meminjam handphone-nya anak-anak kemudian mengirim SMS untuk calon tertentu”. Gejala semacam ini terjadi di mana-mana, termasuk juga di DIY ini dan hampir di seluruh Indonesia. Bagaimana kita menyikapi? Inilah yang penting kita lakukan ke depan. Maka saya sangat tertarik dengan acara ini karena para pesertanya adalah guru-guru al-Islam di sekolah Muhammadiyah. Saya juga akan mengusulkan acara semacam ini agar terus dilakukan. Kita perlu mengambil langkah segera yang sistematis, elegan, dan tidak perlu ada kesan konfrontasi. Tetapi lebih bagus kita lakukan langkah nyata untuk memagari agar Muhammadiyah, termasuk peserta didik Muhammadiyah agar dapat memahami nilai-nilai kemuhammadiyahan. *)

Disarikan dari ceramah tanggal 5 Pebruari 2006, dalam Workshop Pendidikan al-Islam di SMP-SMU Muhammadiyah, yang diselenggarakan oleh JIMM Yogyakarta(ies)


Pendidikan Muhammadiyah Harus Bersifat Reflektif, Transmitif, Progresif
Mantan Menag dan Mendiknas Prof A Malik Fadjar, MSc mengatakan pendidikan Muhammadiyah yang dijiwai dan disemangati "ruh al-Islam dan Kemuham-madiyahan" seharusnya bersifat "reflektif, transmitif. dan progresif."Dan berbasis atau bertumpu , pada keseluruhan potensi dan lingkungan, baik fisik maupun non fisik yang menjadi komunitas basisnya, sehingga membumi dan tidak mengawang-awang." papar Malik Fadjar pada Seminar Nasional "Satu Abad Pendidikan Muhammadiyah Format dan Tantangan Pendidikan Muhammadiyah ke Depan" di kampus Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (Uhamka) pekan lalu.

Menurut Malik Fadjar, gerak pendidikan adalah gerak menuju terwujudnya peradaban baru (peradaban utama) atau masyarakat madanl yang di dalamnya menggambarkan tingkat pencapaian tertentu dalam berbagai bidang keagamaan, moral, etika, kesenian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintahan, dan wawasan pemikiran.

Pendidikan Muhammadiyah ke depan dengan paradigma pembaruan, lanjut Malik Fadjar, harus terus menerus mengembangkan "Kemampuan mengantisipasi; mengerti dan mengatasi mengakomodasi mere-orientasi terhadap tantangan,tuntutan, dan perubahan masa depan. Dia mengutip pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menyatakan, "Didiklah dan per-siapkanlah generasi penerusmu untuk suatu zaman yang bukan zarrianmu, karena mereka akan hidup pada zuatu zaman yng bukan lagi zamanmu."

Sementara itu, Ketua Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah Prof Dr Chairil Anwar memaparkan perbandingan antara keberadaan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dari masa orde baru dan pada masa reformasi ini. Menurut Chairil, di masa Orde baru PTM tidak mungkin bisa melampaui PTN. "Bahkan mengangkat guru besar sendiri tidak mungkin dilakukan," kisahnya.

"Sedangkan di era reformasi ini perguruan tinggi Muhammadiyah bisa membuka program magister, doktor dan juga .bisa mengangkat guru besar sendiri," tambahnya. "Ke depan, beberapa PTM sudah seharusnya mengembangkan dirinya menjadi perguruan tinggi berkelas Dunia."

Chairil memaparkan jumlah PTM berjumlah 152 buah, 41 buah diantaranya berbentuk Universitas, dan 15 PTM telah menyelenggarakan Program Magister. "Ini mungkin sudah melampaui mimpi para pengga-gasnya dahulu." selorohnya.

Saal ini, lanjutnya, di beberapa daerah ada trend baru, yaitu mergemya beberapa perguruan tinggi kecil berbentuk Akademi dan Sekolah Tinggi menjadi Universitas."Dulu ide merger ini ada kendala, ada Politeknik yang diusulkan menjadi salah satu Fakultas Universitas Muhammadiyah, mereka tidak mau. Karena sebuah perguruan tinggi Muhammadiyah itu tumbuh dari bawah. Alhamdulillah ada era baru, yaitu ada era Merger," katanya

Mantan Rektor Uhamka Prof Dr Qomari Anwar mengatakan karakter guru Muhammadiyah sangat diperlukan untuk mentransfer ilmunya kepada siswa. Pertama, harus memiliki pengetahuan keislaman yang luas dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari serta aktif. Kedua, meningkatkan kualitas keilmuan. Ketiga, zuhud dalam kehidupan, mengajar dan mendidik untuk mencari ridha Allah SWT. Keempat, bersih jasmani dan rohani. Kelima, pernaaf, penyabar, danjujur. Keenam, berlaku adil terhadap peserta didik dan smua stakeholders pendidikan. Ketujuh, mempunyai watak dan sifat robba-niyah yang tercermin dalam pola pikir, ucapan, dan tingkah laku.

Kedelapan, tegas bertindak, profesional, dan proporsional tanggap terhadap berbagai kondisi dan perubahan dunia yang dapat memengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir peserta didik. Ke-10, menumbuhkan kesadaran diri sebagai dai. (dik)

Mantan Menag dan Mendiknas Prof A Malik Fadjar, MSc mengatakan pendidikan Muhammadiyah yang dijiwai dan disemangati "ruh al-Islam dan Kemuham-madiyahan" seharusnya bersifat "reflektif, transmitif. "Dan berbasis atau bertumpu , pada keseluruhan potensi dan lingkungan, baik fisik maupun non fisik yang menjadi komunitas basisnya, sehingga membumi dan tidak mengawang-awang." Menurut Malik Fadjar, gerak pendidikan adalah gerak menuju terwujudnya peradaban baru (peradaban utama) atau masyarakat madanl yang di dalamnya menggambarkan tingkat pencapaian tertentu dalam berbagai bidang keagamaan, moral, etika, kesenian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintahan, dan wawasan pemikiran. Kedelapan, tegas bertindak, profesional, dan proporsional tanggap terhadap berbagai kondisi dan perubahan dunia yang dapat memengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir peserta didik.

-Isu pendidikan tidak bakal terlewatkan dalam Muktamar Satu Abad Muhammadiyah pada 3 hingga 8 Juli 2010 mendatang. Majelis pendidikan telah menyiapkan cetak biru pendidikan muhammadiyah untuk dibahas dalam muktamar. Poin utama dalam cetak biru tersebut adalah penguatan Al-Islam dan nilai kemuhammadiyahan dalam pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah.

Menurut Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah, Chairil Anwar, nilai-nilai Al-Islam dan kemuhammadiyahan merupakan pondasi utama pendidikan Muhammadiyah. Nilai tersebut, ujarnya, merupakan nilai ketauhidan yang tak boleh dilepaskan dari pendidikan. "Sejak awal, pendidikan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari ketauhidan karena gerakan islam, pondasi utamanya adalah tauhid, " ujarnya kepada Republika, Jumat (25/6).

Dalam cetak biru tersebut, ungkapnya, pendidikan Muhammadiyah lebih dijabarkan secara filosofis. Hal ini berbeda dari cetak biru sebelumnya yang lebih sederhana yakni pendidikan formal dengan tambahan nilai Muhammadiyah.

"Filsafat pendidikan Indonesia merujuk pada Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yakni Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani. Kita ingin melihat model pendidikan dengan filsafat itu seperti apa yang mudah diaplikasikan di masyarakat, " ujarnya.

Pendidikan Muhammadiyah, ujar Chairil, tak pernah mentabukan simbol-simbol modernitas. Selama tidak bertentangan dengan Alquran, Muhammadiyah mengadopsi nilai-nilai modern. Pembagian sekolah ke dalam kelas-kelas sejak awal telah diadopsi dalam penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah meskipun sebagian ulama mengharamkan.

Meski demikian, pendidikan di Muhammadiyah tidak mengadopsi nilai yang bertentangan dengan Alquran. Nilai tersebut seperti sekulerisme. "Nilai Barat yang sangat menonjol kan sekulerisme yakni memisahkan antara duniawi dan rohani. Sejak awal, Muhammadiyah tidak memakai itu, " tegasnya.

Dalam pendidikan, lanjutnya, Muhammadiyah memiliki visi untuk dakwah islam. Dengan visi ini, Muhammdiyah mendekatkan iman dan amal sholeh. "Sejak awal, Muhammadiyah mengembangkan sumber daya manusia dengan visi tidak hanya iman diperlukan, tetapi amal sholeh juga harus diwujudkan, " ujarnya.

Ditambahkannya, tindak lanjut dari cetak biru tersebut akan dimasukkan dalam program kerja pendidikan Muhammadiyah. Cetak biru yang telah disetujui dalam muktamar akan dijadikan landasan program kerja pendidikan Muhammadiyah dalam lima tahun ke depan.

"Jika disetujui, penyelenggara pendidikan Muhammadiyah akan membuat langkah lanjutan dengan program kerja berlandaskan keputusan Muktamar, " jelas Chairil.


Pendidikan Muhammadiyah Fokus Pada Pencerahan Kesadaran Ketuhanan
Seabad lalu Kyai Ahmad Dahlan merintis pembaruan pendidikan dengan melandaskan spiritual dalam wujud tabligh, yang menjadi bagian dakwah amar makruf nahi munkar.

“ Karena itu mestinya pendidikan itu merupakan usaha rasional guna mengembangkan manusia pembelajar yang unggul dalam ipteks, memiliki kesadaran spiritual makrifat, peduli sesama dan senantiasa menyebarkan kebaikan sebagai wujud dakwah amar makruf nahi munkar,” jelas Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan anggota Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sabtu.

Munir Mulkhan yang berbicara dalam diskusi publik yang diselenggarakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang UGM mengungkapkan, pada dasarnya pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan pencerahan kesadaran ketuhanan yang menghidupkan dan membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan.

Menurut Munir Mulkhan, pendidikan Muhammadiyah tadi pada akhirnya bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran manusia dalam kerangka kehidupan bangsa, dan tata pergaulan dunia yang terus berubah dan berkembang.

Ia menambahkan, bahwa proses menuntut ilmu merupakan wujud dari keyakinan tauhid, “Adalah kewajiban setiap Muslim mengembangkan, menyebarluaskan, belajar dan mengajarkan Ipteks bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia sebagai pengabdian kepada Allah, yang merupakan wujud keyakinan tauhid,” pungkasnya. (rel/muhammadiyah)

PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH - FILSAFAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

FILSAFAT PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH:
Tinjauan Historis dan Praksis
Mohamad Ali dan Marpuji Ali
Dosen Al Islam & Kemuhammadiyahan UMS


PENDAHULUAN
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana "Robohnya Sekolah Muhammadiyah" untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apatah lagi bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi, merupakan sumber utama masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”, yang pada giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan "musuh" dalam selimut. Dengan demikian, sudah tinggi waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul "Pendidikan Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis". Sesuai dengan temanya, Maarif hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an yang ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep pendidikan di dalam Al-Qur'an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya, kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak apapun yang bukan berasal dari Islam.
Artikel ini secara hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integraslistik. Ketiga, menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah, dan kemudian ditutup dengan refleksi.

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah perlu menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun praktisi pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.
Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5) bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi teorisasi pendidikan Islam. Kalau demikian, apabila filsafat pendidikan Muhammadiyah mengacu atau sama dengan filsafat pendidikan Islam sebenarnya masih memunculkan masalah, sebab ia masih rentan dan belum kukuh untuk disebut sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Pada titik ini, orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah itu dapat memperkaya dan memperkukuh kedudukan filsafat pendidikan Islam.

KYAI AHMAD DAHLAN: PERETAS PENDIDIKAN INTEGRALISTIK
Meskipun tema pembaharuan pendidikan Muhammadiyah memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan; (2) pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; (3) pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis. Corak pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Kyai Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah memberikan jalan lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan.
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Cita-cita pendidikan yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.

SEKOLAH SYARIAH: SEBUAH CATATAN KANCAH
Pendidikan Islam yang bercorak integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan ke tataran praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan pendidikan berlangsung hampir satu abad dualitas pendidikan Islam (juga Muhammadiyah) masih tampak menonjol. Suatu dualitas budaya muncul di mana-mana di dunia Muslim, suatu dualitas dalam masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan ganda; sistem pendidikan Islam tradisional, dan sistem pendidikan sekuler modern melahirkan tokoh-tokoh sekuler. Dengan demikian, proses pencarian sistem pendidikan integralistik harus dilakukan secara terus-menerus sebangun dengan akselerasi perubahan sosial dan temuan-temuan inovatif pendidikan. Di Muhammadiyah, langkah ke arah itu masih terus berlangsung yaitu dengan membangun sekolah-sekolah alternatif atau kemudian dikenal dengan sekolah unggulan.
Satu dekade terakhir ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe; sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Ada beberapa sisi menarik dari Sekolah Model Baru ini. Pada umumnya dikelola oleh anak-anak muda, memakai sistem full day school (waktu pembelajaran hingga sore hari), memakai metode-metode baru dalam pembelajaran. Hampir semua SD model baru ini justru muncul atau gedungnya itu berasal dari SD Muhammadiyah yang sudah mati, tapi dengan manajemen dan sistem pendidikan baru dapat tumbuh menjadi sekolah unggul, misal; di Jakarta ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang berada di Duren Sawit, Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammadiyah Alternatif di Magelang, SD Muhammadiyah Condong Catur di Yogyakarta, termasuk SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta.
Perjumpaan penulis dengan mereka (kepala-kepala sekolahnya) menunjukkan bahwa inovasi-inovasi pendidikan yang dikembangkan, meskipun sudah cukup signifikan belum menyentuh pada persoalan krusial, yakni mencoba merumuskan bagaimana filsafat dan kurikulum pendidikan alternatif. Ahmad Solikhin, Kepala SD Muhammadiyah Condong Catur, sudah merasakan urgensinya namun belum menjadi kesadaran bersama sehingga belum ada upaya-upaya serius untuk merumuskan satu sistem pendidikan alternatif yang islami. Ikhtiar untuk coba merumukan satu sistem pendidikan alternatif mulai tumbuh di SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta di bawah bimbingan langsung seorang pakar pendidikan khusus, Prof. Sholeh YAI, Ph.D. Adalah menarik untuk mengikuti dari dekat proses-proses yang sedang berlangsung di dalamnya.
Untuk meraih kembali kegemilangan Islam, menurut Prof. Sholeh, sudah tinggi waktunya untuk segara menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sistem, atau Tafsir Sistem. Pada instansi pendidikan ada satu konsep kunci yang musti dirumuskan, yakni ide fitrah berupa tauhid. Dengan demikian, orientasi filsafat dan kurikulum pendidikan bertitik tolak dari konsep Tauhid. Bagaimana tauhid mendasari pendidikan di SD Muhammadiyah Program Khusus, mari kita ikuti penjelasan berikut:
Berseberangan dengan pandangan hidup (paradigma pendidikan) kaum sekuler yang menempatkan material-duniawiyah sebagai tujuan utama. Paradigma pendidikan Islam justru mengaksentuasikan nilai-nilai tauhid sebagai tujuan yang paling prinsipil dan substansial. SD Muhammadiyah Program Khusus menjadikan tauhid sebagai landasan pokok kurikulum yang secara kongkrit terejawantahkan dalam seluruh proses pembelajaran. Kurikulum yang ada dimodifikasi, dirancang, dan didesain sedemikian rupa sehingga nilai-nilai tauhid menjiwai dan mempola seluruh mata pelajaran; pembelajaran matematika, sains, bahasa dan materi lain diorientasikan untuk mengungkit kembali potensi tauhid (baca fitrah), menumbuhkembangkan, dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara kasat mata adalah mudah untuk mengatakan bahwa seluruh lembaga pendidikan Islam, apalagi sekolah Muhammadiyah, sudah otomotis berdasarkan tauhid. Bukankah di sekolah tersebut diajarkan materi agama yang relatif banyak? Kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Ketiadaan orientasi filsafat pendidikan pada urutannya membawa kebingungan pada diri pendidik sehingga ketika mengajar peserta didik sangat mungkin tergelincir pada filsafat pendidikan sekuler. Dengan demikian, tanpa disadari kita telah ikut mengkampanyekan paham sekularisme. Bagaimana kedudukan Tauhid dalam penyusunan kurikulum di SD Muhammadiyah Program Khusus, kita simak uraian di bawah ini:
Sebuah ilustrasi berikut mungkin bisa membantu: puluhan truk (rit) pasir, sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau disimpan di gudang. Material itu menjadi bermakna di tangan tukang batu atau arsitek, beragam bentuk bangunan atau arsitektur akan bisa diwujudkan…..Dalam konteks pendidikan ilustrasi tersebut menjadi jelas; melimpahnya materi tentang aqidah, akhlak, al-Qur’an-Hadits, atau hafalan sekian juz plus materi ilmu umum menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam keadaan saling terpisah dan bersifat parsial.
Kita menyadari bahwa ikhtiar membangun kurikulum berbasis tauhid (KBT) tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuhkan beberapa generasi untuk merealisasikannya, tapi langkah itu setidaknya telah meletakkan satu batu bata untuk pembangunan peradaban Islam yang kokoh dan anggun. Dan kerja di pendidikan adalah kerja-kerja yang sangat stategis dalam rangka meretas generasi masa depan yang berkualitas. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana aktualisasi KBT di SD Muhammadiayah Program Khusus? Untuk sekarang ini masih terlalu dini untuk melakukan penilaian, tapi paling tidak sebuah penilaian awal yang bersifat umum perlu dikemukakan. Perlu ditekankan di sini, bahwa ini adalah penglihatan awal dari sebuah proses yang masih sedang berlangsung sehingga tidak menutup kemungkinan ada perubahan di kemudian hari.
Pertama, peserta didik pada umumnya berani mengekspresikan diri, ada keberanian untuk mengutarakan pikirannya. Meski ada keberatan dari beberapa orang tua dan guru karena alasan etika atau unggah ungguh, seiring meningkatnya kedewasaan masalah ini pasti akan tertata dengan sendirinya. Kemampuan ini adalah sesuatu yang sangat berharga, dan telah telah menghilang di sekolah-sekolah konvensional. Banyak temuan di lapangan, anak-anak berani mengingatkan orang tuanya yang lupa makan dengan berdiri, mengingatkan mereka untuk sholat. Fenomena ini disebabkan atau dilatar belakangi oleh (a) alasan agama yang memang ditanamkan di sekolah ini, bahwa yang wajib di takuti (dalam makna positif) dan Yang Maha Benar adalah Allah karenanya selain Dia tidak perlu ditakuti dan ada kemungkinan melakukan kekeliruan sehingga sudah pada tempatnya bila diingatkan, tidak terkecuali orang tua atau guru. Dan, karena (b) model pembelajaran inklusi yang dikembangkan oleh sekolah. Dengan pembatasan jumlah siswa maksimal 30 perkelas dan diampu 2 guru memungkinkan setiap potensi anak terdeteksi oleh guru sehingga dapat ditumbuhkan secara optimal.
Kedua, semangat anak-anak untuk mempraktekkan ajaran agama sangat tinggi, sejak kelas 1 ditanamkan untuk selalu shalat wajib lima waktu secara berjamaah. Mulai kelas 3 sudah kelihatan bahwa mereka rata-rata lebih suka shalat berjamaah di masjid, bahkan ada beberapa anak yang sudah secara rutin menjalankan shalat Tahajud. Keadaan ini sedikit banyak merupakan buah dari pendekatan praktek dalam pembelajaran agama. Agama bukan hanya olah intelektual yang berisi konsep-konsep abstrak atau menjadi hafalan di kepala, tapi dengan mempraktekkan secara langsung apa yang diperintahkan oleh Islam dan menghindari apa yang dilarangnya.
Ketiga, muncul rasa ingin tahu yang besar pada diri anak-anak untuk segera memahami suatu permasalahan. Ini memang sudah dirancang, di mana semua tema pembelajaran harus di kaitkan dengan problem-problem kongrit di lapangan, baik yang dilakukan secara reguler berupa Praktek Pembelaran Lapangan (PPL) yang dilakukan setahun 2 kali maupun dengan model riset laboratorium.

REFLEKSI
Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah/universitas unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana landasan filosofis pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif, dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik menjadi manusia-manusia yang unggul.
Jika menengok sekolah/universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya, evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Sembari merumuskan orientasi filosofis pendidikan, pendidikan Islam (Muhammadiyah) memerlukan kepekaan dalam memahami perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan baru yang timbul dari cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai berikut:
1. mengusahakan nilai-nilai islami dalam pendidikan Islam menjadi ketentuan standar bagi pengembangan moral atau masyarakat yang selalu mengalami perubahan itu;
2. Mengusahakan peran pendidikan Islam mengembangkan moral peserta didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah lakunya dalam menghadapi norma sekuler;
3. Mengusahakan norma islami mampu menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam menghadapi goncangan hidup dalam era globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu menjadi sumber daya insani yang berkualitas;
4. Mengusahakan nilai-nilai islami dapat menjadi pengikat hidup bersama dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan lingkungan kepentingan bangsa; dan (5) mengusahakan sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan yang dikotomis.













DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan.1993. Paradigma Intelektual Muslim;Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS.

_________________ .1990. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Abdul Mukti Ali. 1985. Interpretasi Amalan Muhammadiyah. Jakarta: Harapan Melati.

_____________ . 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers.
Achmadi. 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta Aditya Media.

Ahmad Syafii Maarif. "Pendidikan Muhammadiyah: Aspek Normatif dan Filosofis" dlm. M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. 2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah.

Ahmad D. Marimba.1989. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Maarif.

Ahmad Tafsir. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung; Rosdakarya.

Amir Hamzah Wirjosukarto.1968. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran yang diselenggarakan oleh Pergerakan Muhammadiyah.Malang: Ken Mutia.

Brubacher, John S. 1978. Modern Philosophies of Education. New York: McGraw-Hill Book Company.

CA van Peursen. 1980. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia.

HM Arifin.1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Imam Barnadib. 1982. Arti dan Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:FIP-IKIP Yogyakarta.

Karel A. Steenbrink.1994. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta; LP3ES.

Marpuji Ali & Mohamad Ali, “Meretas Sekolah Unggul dan Menata Majlis Dikdasmen Muhammadiyah” dalam Suara Muhammadiyah 1-15 Oktober 2004.

M. Sholeh YAI & Mohamad Ali. “Menuju Kurikulum Berbasis Tauhid” dalam PK Media edisi II/2004.

MT Arifin.1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan. Jakarta: Pustaka Jaya.

M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Sebuah Perumusan Awal" dalam M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir (ed.). 2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah.

M. Rusli Karim. "Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Perspektif Islam" dlm. M.Yunan Yusuf dkk. (ed.). 1985. Cita dan Citra Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Mahsun Suyuthi. "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Kembali Tergugat" dlm. Amien Rais (ed). 191984. Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M.

M. Quraish Shihab. 1993. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Muhammad Quthb. 1984. Sistem Pendidikan Islam. Terjemahan Salman Harun. Bandung: Al-Ma’arif

Noeng Muhadjir.1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Soegarda Purbakatja. 1970. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta: Gunung Agung.

Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam. Surabaya: Karya Abditama.














Seperti biasa, dengan retorika berapi-api Prof. Yunan Yusuf berulang kali melemparkan gagasan itu, misalnya dalam acara Diksuspala angkatan XV dan Workshop Sekolah Unggul Muhammadiyah yang berlangsung tiga kali masing-masing di Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya sepanjang tahun 2004. Istilah 'Robohnya Sekolah Muhammadiyah' beliau pinjam dari sasatrawan asal Minang, AA Nafis (2000) melalui karanya yang berjudul 'Robohnya Surau kami'. Melalui cerpen ini Navis mengkritik kaum agamawan (para penganut agama, terutama Islam) yang terlalu bersemangat untuk meraih surga diakhirat tapi melupakan meraih "surga" di muka bumi ini melalui kerja-kerja kemanusiaan (menjalankan fungsinya sebagai khalifah), sampai akhirnya Surau itu roboh. Dengan meminjam istilah itu, secara konotatif kemungkinan kritik itu diarahkan kepada warga Muhammadiyah yang berlomba-lomba mendirikan sekolahan hanya bermodal ikhlas tanpa memperhatikan mutu/kualitas dan standar kelayakan pendidikan sehingga begitu ada arus perubahan satu persatu sekolah-sekolah Muhammadiyah rontok, kehabisan murid seperti yang terjadi belakangan ini. Sedangkan secara denotatif, memang untuk menunjukkan bahwa bangunan gedung-gedung sekolah Muhammadiyah rata-rata sudah menua, reot sehingga benar-benar mau roboh.
Kritik itu diutarakan oleh saudara Mahsun Suyuthi, "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Kembali Tergugat" dlm M. Amien Rais, Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: PLP2M, 1985) hlm. 85-101.
Filsafat memang bukan hal yang mudah, namun di lain pihak dapat dikatakan bahwa setiap orang berfilsafat karena ia merefleksikan banyak hal. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang, seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan yang tidak mempersoalkan hal ikhwal sehari-hari. Pernyataan inklisifitas filsafat tersebut disampaikan CA van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1980) hlm 1- 8.
Al-Syaibani menunjukkan beberapa kegunan filsafat pendidikan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan, yaitu: (1) untuk membentuk pemikiran yang sehat bagi para penyelenggara dan pengelola terhadap proses pendidikan; (2) dapat membentuk azas yang dapat ditentukan pandangan pengkajian yang umum dan yang khas; (3) untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh; (4) menjadi sandaran intelektual atas tindakan-tindakan dalam pendidikan; (5) memberi corak dan pribadi yang khas dan istimewa sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan realitas sosial yang melingkunginya. Lihat Omar Mohammad Al Touny Al-syabani, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hlm. 32-38.
Persoalan ini telah digumuli secara intensif oleh Dr. Ahmad Tafsir mulai dari penelitian tesis sampai dengan disertasi dan pengalaman menjadi kepala SMP Muhammadiyah di Bandung selama 7 tahun, ia menuturkan: "Disertasi itu sendiri tidak terlalu baik, tapi ada satu hal penting yang saya temukan dalam penelitian itu: mengapa sekolah-sekolah Muhammadiyah secara pukul rata mutunya lebih rendah ketimbang sekolah pemerintah dan sekolah yang dikelola oleh lembaga Katolik". Menurutnya ada dua kelemahan mendesar: pertama, umat Islam belum memperhatikan masalah mutu pendidikan; kedua, pengelola, kepala sekolah dan guru sekolah Islam/Muhammadiyah belum memiliki teori-teori pendidikan modern dan islami. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1994) hlm. 1-3.
Winarno Surakhmad, “Ilmu Kependidikan untuk Pembangunan” dlm. Prisma No 3/1986.
Mahsun Suyuthi, "Men
ggugat ....... hlm. 96.
Rusli Karim melihat bahwa ijtihad KH Ahmad Dahlan untuk mengadopsi sistem pendidikan model Barat adalah satu jalan pintas, keterpaksaan (baca: dharurat). Sebab, Kyai melihat bahwa pendidikan merupakan kunci untuk melakukan berbagai perintah agama. Mengingat sistem pendidikan kolonial dianggap yang terbaik maka jalan yang paling mudah adalah dengan mengadopsi sistem tersebut lalu disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Generasi sesudah Kyai Dahlan lebih disibukkan untuk mendirikan lembaga pendidikan hasil ijtihad, bukan menangkap subsatansi ijtihad yaitu bagaimana mengintegrasikan/mensintasakan ilmu umum dan ilmu agama, karenanya cita-cita Kyai untuk melahirkan ulama-intelek dan intelek ulama belum dapat terpenuhi.
Ahmad Syafii Maarif, "Pendidikan Muhammadiyah: Aspek Normatif dan Filosofis" dlm M. Yunan Yusuf dan Piet H. Chaidir (ed.), Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2000) hlm. 19-27.
Buku ini ditulis oleh para intelektual Muhammadiyah seperti: Ahmad Ahzar Basyir, Ahmad Syafii Maarif, Mochtar Buchori, Noeng Muhadjir, Yunan Yusuf, dan lain-lain. Sedangkan tema-tema yang dipilih meliputi: manusia dalam perspektif Al-Qur'an, psikologi dalam perspektif al-Qur'an, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur'an tinjauan mikro dan makro, sains dan teknologi dalam perspektif Al-Qur'an, dan pendidikan Al-Qur'an di perguruan tinggi.
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: Sipress, 1993).
Pedoman Guru Muhammadiyah, Seri MPP No. 5, hlm. 26.
M. Yunan Yusuf & Piet H. Khaidir, "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Sebuah Perumusan Awal" dlm M.Yunan Yusuf & Piet H. Khaidir (ed.) Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal (Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2000) hlm. 1-2.
Di sini dibedakan antara Pendidikan Islam dan Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Islam meliputi segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia dan berbagai potensi yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam. Sedangkan pendidikan agama Islam lebih dikhususkan pada usaha memelihara dan mengembangkan fitrah keberagamaan subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam. Dalam tulisan ini makna pendidikan Islam mengacu pada pengertian yang pertama, karenanya tidak terbatas pada mata pelajaran agama seperti fikih, aqidah, syariah tapi mencakup seluruh bidang studi yang memakai pendekatan Islam. Lihat, Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 1992) hlm. ix.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Maarif, 1989) hlm 24.
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hlm. 27.
HM Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994) hlm. 27.
Mulkhan, Paradigma ...... hlm. 74.
Al-Syaibany, Falsafah..... hlm. 47-50.
Mulkhan, Paradigma ....... hlm 78.
Arifin, Filsafat ......... hlm. 176.
Lihat: Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran yang di Selenggarakan oleh Muhammadiyah (Malang: Ken Mutia, 1968); MT Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987); Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka (Jakarta: Gunung Agung, 1970); karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), untuk menyebut beberapa pengkaji pendidikan di Indonesia terkemuka. Para peneliti itu umumnya memakai pendekatan sejarah dalam mengkaji pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah sehingga tidak mampu menyingkap lebih jauh apa sebenarnya ide dasar dibalik pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan. Padahal, idealnya kajian sejarah itu dilengkapi dengan filsafat pendidikan sehingga mampu menggambarkan secara utuh proses yang berlangsung sebagaimana ditandaskan oleh Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987); dan Imam Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan (Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta, 1982).
Contoh yang sangat bagus untuk kajian ini dilakukan oleh Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam (Bandung: PT AlMaarif, 1984). Bertitik tolak dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah ia mencoba merumuskan bagaimana sistem pendidikan Islam melalui tema-tema: alat dan tujuan, ciri-ciri khas sistem pendidikan Islam, Jaringan-jaringan yang berlawanan pada diri manusia
Sebuah kajian mendalam tentang model ini dilakukan oleh John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education (New York: McGraw-Hill, 1978). Brubacher mendaftar tidak kurang dari dua belas (12) mazhab filsafat yang berpengarung dalam pengembangan pendidikan, eksistensialisme, organisme, idealisme, realisme, rekonstrusionisme dan lain-lain.
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hlm. 13-14.
Nurcholish Madjid, "Tentang Cendekiawan dan Pembaharuan" dlm. Aswab Mahasin & Ismed Natsir (ed.) Cendekiawan dan Politik. (Jakarta: LP3ES,1984) hlm. 310-314.
Ridwan Saidi, "Catatan di sekitar Regenerasi dalam Kelompok Islam" Prisma No 2 Februari 1980.
Secara resmi tahun 1901 adalah awal di mulaianya ethische politiek oleh pemerintah Belanda yang dimaksudkan untuk membayar hutang budi (ereschuld) negeri Belanda kepada Indonesia dengan cara meningkatan tingkat melek huruf anak-anak Indonesia melalui pengadaan lembaga-lembaga pendidikan model Belanda. Hasrat untuk menyelenggarakan pendidikan model Barat sangat besar, terbukti dengan menjamurnya sekolah-sekolah swasta. Ini dapat dipahami karena jabatan-jabatan pemerintah membutuhkan lulusan dari sekolah-sekolah Belanda dan pendidikan Barat memungkinkan orang untuk bergaul dan berhubungan dengan bangsa Belanda pada taraf yang sama atau setidak-tidaknya lebih tinggi dari pada jika hanya berpendidikan Indonesia. Kebijakan ini dari sisi kuantitas tidak begitu signifikan, tapi telah mampu menyadarkan rakyat Indonesia akan pentingnya pendidikan sebagai sarana mobilitas sosial sehingga mampu memunculkan kaum elit baru yang peduli kepada bangsanya yang menuntut emansipasi dan kemerdekaan.
Abdul Mukti Ali, Interpretasi Amalan Muhammadiyah (Jakarta: Harapan Melati, 1985) hlm. 26-27.
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan ……. hlm 92.
Abdul Mukti Ali, Beberapa Persoalan Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali Pers,1987) hlm. 20.
Konsep Sekolah Syariah berasal dari Prof. Moch. Sholeh YAI, PhD, konsultan SD Muhammadiyah Program Khusus, mengacu pada lembaga pendidikan yang mengarahkan warga sekolah, khususnya peserta didik agar mampu mengotimalisasikan Tauhid.
Sajjad Husain & Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam (Bandung: Gema Risalah Press, 1994) hlm. 1.
Ibid. hlm. 4.
Tentang trend sekolah umggul di lingkungan Muhammadiyah lihat Marpuji Ali & Mohamad Ali, “Meretas Sekolah Unggul dan Menata Majlis Dikdasmen Muhammadiyah” dlm Suara Muhammadiyah 1-15 Oktober 2004. Secara normatif rumusan Sekolah Muhammadiyah Unggul apabila out putnya mampu (1) tertib ibadah; (2) mahir baca tulis al-Qur’an; (3) berwawasan kebangsaan; (4) pengetahuan akademis tinggi; (5) mampu berbahasa asing; (6) memiliki ketrampilan komputer, lihat Program Kerja Majlis Dikdasme PP Muhammadiyah.
Pengertian sekolah unggul yang dipahami masyarakat merujuk pada seberapa besar jumlah siswanya yang diterima di sekolah-sekolah favorit di jenjang berikutnya, di luar itu faktor kedisiplinan warga sekolah, kelengkapan sarana pendidikan, prestasi anak-anak dalam setiap perlombaan, dan pelayanan juga menjadi pertimbangan tersendiri dalam menjatuhkan pilihan.
Dalam sejarah perkembangan tafsir A-Qur’an pada garis besarnya terdapat dua model penafsiran: tafsir al-ma’tsur (riwayat) dan tafsir al-mawdhu’iy (tematik). Yang pertama, metode ma’tsur, dalam menafsirkan al-Qur’an didasarkan atas tiga sumber; penafsiran Nabi Muhammada saw., penafsiran sahabat-sahabat Nabi, dan dan penafsiran tabiin. Sedangkan metode mawdhu’iy memiliki dua pengertian: (1) penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema semtralnya, serta menghubungkan persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan. (2) penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan yang sedapat mungkin dirunut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 71-74. Berbeda dengan kedua penafsiran tersebut, menurut Prof Sholeh tafsir sistem tidak menterjemahkan teks (simbol) ke teks (simbol) tapi langsung pada realitas.
M. Sholeh YAI & Mohamad Ali, “Menuju Kurikulum Berbasis Tauhid” dlm. PK Media II/2004.
Sudah satu tahun lebih Tim SD Muhammadiyah Program Khsusus Kottabarat dengan bimbingan Prof. Sholeh mencoba menyusun kurikulum tersendiri yang berbasis Tauhid, dan proses ini masih terus berlangsung mungkin sudah mencapai 95%. Secara skematis urutannya adalah: Al-Qur’an dan Sunnah juga Asmaul Husna, materi, perkembangan anak, lingkungan (sekolah, rumah, dan masyarakat), prosedur dan proses, dan tujuan (jangka pendek dan panjang). Berdasarkan urutannya terlihat dengan jelas bahwa Al-Qur’an diletakkan di bagian depan yang bermakna bahwa semua tema pembelajaran (baca: ayat kauniyah) dilandasi dengan dengan konsep wahyu (ayat qauliyah) yang tidak boleh dilupakan bahwa alur penjelasannya harus mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta didik. Lebih dari itu, konsep-konsep itu juga musti dieksplorasi baik di lingkungan sekolah (ustadz/ustadzah dan peserta didik lain), lingkungan keluarga (orang tua dan saudaranya), dan lingkungan sosial (warga masyarakat). Dengan pembelajaran yang demikian, diharapkan mereka tidak hanya menjadi orang yang profesional di bidangnya sekaligus manusia yang berkualifikasi Ulul Albab.
M. Sholeh YAI & Mohamad Ali, Menuju………. hlm. 39
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. Dasar-Dasar Kependidikan Islam (Surabaya: Karya Abditama, 1996) hlm. 126.

BEBERAPA CATATAN TENTANG PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH PDF Cetak E-mail
Jumat, 17 Juli 2009 00:00
1. Sebelum menyampaikan pandangan saya tentang pendidikan Muhammadiyah, maka ada baiknya saya akan memperjelas posisi saya saat ini. Tidak kurang dari 20 tahun, saya turut ambil bagian dalam mengembangkan lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah. Sejak tahun 1976, saya menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Tidak lama kemudian, diangkat sebagai Pembantu Dekan, dilanjutkan sebagai Dekan FISIP. Setelah itu, selama 13 tahun (1983-1996) menjabat sebagai Pembantu Rektor I di kampus tersebut. Selain itu, selama dua periode (10 tahun) mendapatkan amanah sebagai ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah Kabupaten Malang. Saya juga tercatat sebagai pengurus Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah. Saat ini, sudah lebih dari 10 tahun saya absen mengurus lembaga pendidikan Muhammadiyah. Namun, selama tidak ikut aktif mengurus pendidikan Muhammadiyah, rasanya tidak mudah melepaskan diri dari ikatan emosional pendidikan Muhammadiyah, sekalipun agak terbatas. Pada poosisi seperti ini, barangkali saya bisa dipandang sebagai orang dalam (in-group) dan sekaligus orang luar (out-group) Muhammadiyah. Dengan posisi seperti ini, saya bisa lebih objektif, dan sekaligus potensial subjektif.

2. Banyak hal kenangan dan sekaligus hasil pengamatan saya terhadap lembaga pendidikan Muhammadiyah, apalagi setelah saya bandingkan dengan tempat hikmat saya setelah itu, yaitu memimpin STAIN Malang hingga sekarang berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Saya membenarkan statemen dalam proposal kegiatan ini, bahwa banyak hal pengalaman dan rumusan berharga yang bisa ditarik dari penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah, yang dalam sejarahnya telah melebihi usia negeri ini, yakni sudah genap seabad. Keterlibatan saya di lembaga pendidikan Muhammadiyah, menjadikan pergaulan saya dengan berbagai penggerak organisasi ini di berbagai lapisan, mulai tingkat ranting hingga pimpinan pusat dan juga pengamatan saya selama absen dari keterlibatan mengurus lembaga pendidikan Muhammadiyah, akan saya gunakan sebagai bahan catatan yang sekiranya perlu.

3. Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang merata menjangkau hampir seluruh wilayah negeri ini, keadaannya bervariasi, sesuai dengan tingkat kekuatan organisasi di masing-masing daerah atau wilayah. Pendidikan Muhammadiyah yang tumbuh dari bawah, menjadikan keadaannya sangat beragam. Di daerah atau wilayah tertentu yang memiliki kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikannya berkembang dengan baik. Sebaliknya, di daerah atau wilayah lainnya, yang kebetulan tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikan Muhammadiyah berjalan apa adanya. Sekalipun demikian, hal yang patut dihargai adalah semangat juang dan pengorbanan para penggeraknya selalu mewarnai penyelenggaraan pendidikannya. Pendidikan Muhammadiyah tidak pernah tampak dijalankan atas hubungan-hubungan transaksional, namun selalu diwarnai oleh semangat berjuang dan berkorban yang tulus itu. Prinsip-prinsip manajerial modern, sekalipun Muhammadiyah seringkali menyebut dirinya sebagai organisasi modern, sebagian banyak justru ditinggalkan. Akan tetapi di sinilah justru kekuatan sesungguhnya lembaga amal usaha Muhammadiyah. Lembaga pendidikan Muhammadiyah, bagaimana pun keadaannya, tetap berjalan, sekalipun dalam keadaan apa adanya.

4. Orang luar selalu menyatakan bahwa Muhammadiyah memiliki kekuatan organisasi yang luar biasa. Organisasi Muhammadiyah mampu menggerakkan dan memanage lembaga pendidikan yang tersebar seluas negeri ini. Banyak orang luar mengira bahwa sedemikian kuat organisasi Muhammadiyah hingga melahirkan lembaga pendidikan yang sedemikian besar, dan di antaranya meraih keunggulan yang diakui banyak orang. Padahal, sesungguhnya, organisasi itu tidaklah sekokoh gambaran itu. Keberhasilan Muhammadiyah dibanding dengan organisasi lainnya, termasuk dengan organisasi resmi pemerintah, adalah dalam hal menumbuh-kembangkan jiwa beramal shalih yang sedemikian kuat di lingkungan warga atau simpatisannya. Dengan mengatas-namakan Muhammadiyah, orang rela berjuang dan berkorban. Muhammadiyah di beberapa tempat memiliki penggerak sekaligus kepemimpinan yang tangguh. Atas kekuatan orang-orang (figur), yang sayangnya tidak merata ini, Muhammadiyah bisa digerakkan olehnya. Saya mengamati bahwa sesungguhnya kekuatan Muhammadiyah bukan pada tataran organisasinya, melainkan pada komitmennya terhadap perjuangan dalam wadah organisasi Muhammadiyah dengan berbagai resikonya. Sekali lagi sayangnya, kekayaan Muhammadiyah berupa pemimpin, penggerak, dan pejuang yang ikhlash ini tidak merata dimiliki oleh seluruh wilayah atau daerah Muhammadiyah.

5. Dengan modal kekuatan orang-orang (figur) yang menyandang komitmen itulah maka Muhammadiyah berhasil mengembangkan lembaga pendidikan di mana-mana, di hampir seluruh Indonesia. Diakui, bahwa penggerak pendidikan Muhammadiyah adalah para pegawai negeri (guru, dosen atau birokrat), pengusaha atau lainnya. Anehnya, mereka mengabdi di Muhammadiyah dirasakan sebagai tuntutan ibadah, dan hal itu berbeda tatkala mereka menunaikan tugas, bekerja di tempat dinasnya yang dianggap sebagai menunaikan kewajiban yang bersifat profane. Muhammadiyah seperti memiliki "magnet" tersendiri untuk beramal atau bekerja. Keberhasilan Muhammadiyah menjadi kekuatan penggerak ini, kiranya perlu dipelajari dalam mengembangkan nilai-nilai dan ruh birokrasi yang pada umumnya sulit dikembangkan di berbagai tempat, termasuk di birokrasi pemerintahan sekalipun.

6. Nilai dan semangat mengabdi, berjuang, dan berkorban yang dikembangkan di lembaga pendidikan Muhammadiyah, ternyata sebagiannya berhasil ditransfer pada peserta didik Muhammadiyah. Mirip dengan pendidikan pesantren, pendidikan Muhammadiyah juga mampu melahirkan jiwa entrepeneourship bagi para lulusannya. Mereka dengan semangat berwirausaha, berani mengembangkan usaha-usaha ekonomi, termasuk juga bergerak mengembangkan lembaga pendidikan Muhammadiyah di tempat asal kelahirannya. Semangat berdakwah, lahir melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah. Bandingkan dengan lulusan lembaga pendidikan pada umumnya, setelah lulus mencari kerja untuk kepentingan diri dan keluarganya. Sebaliknya, lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah, sekalipun tidak semuanya, berhasil menumbuhkan semangat berdakwah dan berjuang membangun masyarakat melalui organisasi Muhammadiyah atau lainnya.

7. Kecuali itu, hal yang masih perlu dikembangkan di lingkungan pendidikan Muhammadiyah adalah terkait dengan bangunan keilmuan (body of knowledge) yang belum sepenuhnya sesuai dengan jargon besar yang dikembangkan oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini selalu menyerukan ”kembali kepada al-Qur’an dan as-sunnah Nabi Saw.” Saya berpandangan, alangkah indahnya jika Muhammadiyah berhasil merumuskan secara utuh dan komprehensif, pendidikan yang benar-benar diwarnai oleh pesan-pesan Kitab Suci dan Tradisi Rasulullah itu. Saya melihat bahwa isi pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah masih terkesan adanya pembagian ilmu secara dikotomik, yaitu adanya ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Muhammadiyah juga sebagaimana organisasi Islam lainnya, masih memahami Islam sebatas sebagai "agama", dan belum memandang Islam sebagai agama sekaligus juga peradaban. Terlihat di sana, misalnya, ada pemisahan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu agama plus Ke-Muhammadiyahan. Dari gambaran struktur keilmuan seperti itu, seolah-olah al-Qur’an hanya dipahami sebatas kitab pedoman melakukan kegiatan ritual dan spiritual, yang meliputi bidang-bidang aqidah, fiqh, akhlak, sejarah dan bahasa Arab, sebagaimana hal ini dapat dilihat pada lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya. Jika saja jargon besar itu berhasil dirumuskan secara integral dan komprehensif dalam konteks bangunan keilmuan yang utuh, dengan memadukan ilmu umum dan ilmu agama, sebagaimana petunjuk al Qur’an dan hadis, maka ini akan menjadi ciri khas dan sekaligus keunggulan pendidikan Muhammadiyah. Dan, kegagalan di bidang ini menyebabkan masyarakat di luar Muhammadiyah menganggapnya sebagai titik lemahnya.

8. Sekadar bahan perbandingan dan sekaligus pertimbangan, bagaimana memulai pengembangan bangunan keilmuan di lembaga pendidikan Islam, seperti Muhammadiyah, ini saya telah mengembangkan apa yang disebut dengan integrasi Islam dan sains di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Model integrasi ini tentu harus diterjemahkan secara utuh dan komprehensif ke dalam seluruh struktur institusi yang ada, dengan pertama-tama, misalnya, mengembangkan keterpaduan pendidikan tinggi dengan tradisi pesantren, di mana yang unsur yang pertama tumbuh dan berkembang di atas basis kultural persantren. Selanjutnya adalah pengembangan bilingual system, yakni pengembangan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, di mana Bahasa Arab diperlukan untuk memahami sumber ajaran Islam, yaini al-Qur’an dan al-Hadis, sementara Bahasa Inggris sebagai alat mengeksplorasi sains. Di UIN Malang, penguatan bilingual tersebut dikembangkan melalui program-program unggulan, yakni Program Khusus Pembelajaran Bahasa Arab (PKPBA), dan Program Khusus Pembelajaran Bahasa Inggris (PKPBI). Setelah itu disusul dengan apa yang disebut dengan arkân al-jâmi'ah (tiang penyangga perguruan tinggi), yaitu dosen, mahasiswa, laboratorium, perpustakaan, ruang perkuliahan, perkantoran, masjid, ma'had, pendanaan, dan manajemen. Tentu semua komponen fundamental ini telah dijabarkan ke dalam seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan dan kurikulum pendidikan tingggi secara utuh, praktis, dan implementatif, untuk melahirkan karakter generasi yang unggul di masa mendatang.

9. Selanjutnya, Muhammadiyah yang senantiasa mencitrakan diri sebagai organisasi pembaharu, senantiasa melakukan inovasi-inovasi, maka selalu ditunggu-tunggu konsep dan implementasi pembaharuannya di bidang pendidikan. Pembaharuan bidang pendidikan oleh Muhammadiyah seharusnya tidak boleh berhenti. Masyarakat dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, dan oleh karena itu pula selalu menuntut pembaharuan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah pada gilirannya diposisikan dan dipfungsikan sebagai kekuatan pembaharu, the agent of change, tidak boleh hanya sebatas memosisikan diri sebagai pewaris sejarah lama, apalagi membanggakannya. Bahkan bentuk-bentuk pembaharuan yang dulu pernah dijalankan, pada saat ini perlu diperbaharui ulang sejalan dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Muhammadiyah harus berani mengeluarkan kekuatan ampuh dan strategisnya, yaitu melakukan ijtihad besar dalam membangun lembaga pendidikan, yang diperlukan oleh bangsa dan umat manusia. Selain minimnya konsep pembaharuan, atau bahkan redupnya semangat ijtihad di kalangan generasi muda, ternyata akhir-akhir ini juga Muhammadiyah terbawa oleh arus dinamika yang bersifat teknis. Misalnya, Muhammadiyah ikut disibukkan oleh perbincangan ujian nasional, sekolah kejuruan, dan perubahan-perubahan lain yang kurang mendasar, bahkan sangat insidental. Menurutt hemat saya, Muhammadiyah harus selalu memosisikan diri sebagai pencetus dan pengusung ide pembaharuan itu, dan bukannya malah sebagai penumpang pembaharuan. Tekad dan peran sebagai pembaharu, sebagaimana misi awal kelahirannya, pada saat sekarang mestinya sangat dimungkinkan untuk dilakukan, mengingat akhir-akhir ini sumber daya manusia yang dimiliki Muhammadiyah semakin banyak dan berkualitas.

10. Sekali lagi, melewati usianya yang sekian panjang, Muhammadiyah dengan berbagai perguruan tingginya, sudah semestinya telah melakukan reorientasi serta pengembangan sistem pendidikan, dari sebatas memberikan pelayanan pendidikan, kepada kegiatan-kegiatan yang memungkinkan dilahirkannya pemikiran-pemikiran baru, para pembaharu, dan para penggerak pembaharuan, baik menyangkut keislaman, ilmu, dan peradaban. Muhammadiyah tidak lagi hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan komplementer sebagaimana yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tetapi, lembaga pendidikan Muhammadiyah diangankan mampu memberikan nilai tambah dan lebih di tengah-tengah desakan perubahan global, seperti tuntutan sekolah berbasis isternasional (SBI), pendidikan yang mampu menciptakan lulusan profesional dan skilled, dan pendidikan yang mampu mengakses dimensi-dimensi global dengan tanpa menyingkirkan dimensi kearifan lokal yang ada. Karena itu, di tengah pengapnya sistem dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, yang kebanyakan adalah swasta dan senantiasa menuai kritik, maka Muhammadiyah harus berani tampil ke permukaan dengan senantiasa mengibarkan lagi-lagi semangat pembaruan dan modernisasi dalam arti yang sesungguhnya.

11. Maka, pada bagian akhir tulisan ini, saya perlu mengingatkan kembali akan arti pentingnya doktrin Muhammadiyah, yaitu pencerahan umat (selain itu adalah tauhid, mengembirakan amal shalih, kerjasama untuk kebajikan, dan tidak berpolitik praktis [H.M. Amien Rais dalam Nurhadi M. Musawir, 1996: 1-8]). Doktrin pencerahan umat ini tentu hanya bisa dimulai dengan mengembangkan lembaga pendidikan. Karena itu, para tokoh Muhammadiyah pendahulu, demikian Amien Rais, tidak pernah bosan mengingatkan masyarakat Islam Indonesia bahwa ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari kaum muslimin yang harus direbut kembali. Tidak salah bila di awal pertumbuhannya, Muhammadiyah tidak membangun kongsi-kongsi dagang, tetapi membangun sekolah sebanyak mungkin. Logikanya jelas bahwa kebodohan telah menjerat umat Islam ke dalam ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, dan hilangnya daya saing. Atau, meminjam istilah Muhammad Abduh, bahwa umat Islam mahjûb bi nafsihî (tertutup/terbelakang karena dirinya sendiri) dan karena itu, untuk menginstal kembali peran strategis umat Islam haruslah dimulai dengan menghidupkan lembaga-lembaga pendidikan dengan misi utama pencerahan umat.

12. Doktrin pencerahan umat melalui pengembangan lembaga pendidikan bagi Muhammadiyah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Semangat doktrin ini akan menggelegak manakala kita mau membaca kisah nyata dalam novel Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata (2008), di mana SDI Muhammadiyah Belitoeng yang dilihat sebelah mata oleh masyarakat kala itu. Artinya, melalui pembacaan itu kita (warga Muhammadiyah) diajak untuk mengintrodusir kembali pencerahan dan sekaligus penyelamatan umat Islam melalui sistem dan lembaga pendidikan dengan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang lebih berwibawa, bergengsi, dan tentu tidak lepas dari akar-akar keislaman/kemuham-madiyahan yang telah dibangun oleh para pendahulu.

13. Untuk mengejawantahkan doktrin mulia tadi, kiranya semangat amal shaleh yang akrab dikenal dengan semboyan amar ma'ruf nahi mungkar (menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar), sebagaimana terpatri pada pribadi Pak K.A. Harfan Effendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor (dikenal Pak Harfan) dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid (dikenal Bu Mus) dalam novel itu, kiranya harus menjadi sumber dinamika dan kreativitas. Semboyan itu harus senantiasa menjadi semangat yang built-in dalam perjuangan Muhammadiyah.

14. Selain itu, peran Muhammadiyah yang sedemikian besar dalam pendidikan, seharusnya pemerintah berani memosisikan lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi ini sebagai mitra pemerintah, bukan sebagai pesaing, baik secara konseptual maupun operasional dalam memberikan pelayanan pendidikan pada masyarakat di negeri ini. Sebagaimana mitra, pemerintah dituntut memberikan otonomi sekaligus memfasilitasi segala kebutuhan yang belum berhasil dipenuhi oleh Muhammadiyah. Akhirnya, mari kita mulai pembangunan dan pengembangan lembaga pendidikan Muhammadiyah ini dengan semangat, "hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, dan bukan hidup untuk menerima sebanyak-banyaknya," sebagaimana seringkali diinjeksikan Pak Harfan kepada anak-didiknya di SDI Muhammadiyah Belitoeng. Wallahu a’lam bis-shawab!

Catatan : Tulisan ini merupakan bahan diskusi di Univ.Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 17 Juli 2009


PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Pengkajian dan penelitian tentrang Muhammadiyah tidak ada habis-habisnya. Muhammadiyah ibarat sebuah rumah besar yang bisa dilihat dari berbagai sudut, sehingga memunculkan banyak objek penelitian yang sangat penting untuk di teliti. Apalagi Muhammadiyah itu bukan hanya menggarap bidang dakwah (Islam) semata, melainkan suatu gerakan praksis yang membumikan ajaran Islam dalam realitas sosial yang nyata (Drs. Haedar nasir, Msi).



Pernyataan haedar nasir diatas yang juga salah seorang pimpinan pusat Muhammadiyah bukanlah sebuah kata-kata isapan jempol belaka. Karena dari pernyataan “Rumah besar yang dapat diteliti dari berbagai sudut” memunculkan keunikan tersendiri bagi Muhammadiyah. Bagaimana tidak bahkan Nurcholis Madjid (Alm) sendiri pernah memuji gerakan Muhammadiyah sebagai “cerita sukses umat Islam khususnya dalam bidang pendidikan dan merupakan kesuksesan terbesar dalam gerakan praksis sosial yang telah melahirkan ribuan amal usaha (lembaga pendidikan) yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Berdasarkan data terbaru (Profil Muhammadiyah) amal usaha Muhammadiyah si bidang pendidikan berjumlah 5.797 buah, merupakan angka yang cukup fantastis untuk sebuah lembaga pendidikan yang dinaungi dalam satu payung organisasi dengan rincian ; 1132 Sekolah Dasar ; 1769 Madrasah Ibtidaiyah ; 1184 Sekolah Menengah Pertama; 534 Madrasah Tsanawiyah ; 511 Sekolah Menengah Atas ; 263 Sekolah Menengah Kejuruan ; 172 Madrasah Aliyah ; 67 Pondok Pesantren ; 55 Akademi ; 4 Politeknik ; 70 Sekolah Tinggi dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia.

Total jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah sebanyak itu merupakan bilangan yang cukup fantastis bagi sebuah organisasi sosial keagamaan dimanapun. Apalagi keberadaan lembaga pendidikan tersebut merupakan pengejawantahan dari model pemahaman keagamaan (keIslaman) di Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan, pemahaman atau idiologi apa yang diterapkan oleh Muhammadiyah dalam mengurusi lembaga pendidikan yang sebesar itu. Mungkin langsung timbul sebuah jawaban dari pertanyaan tersebut “tentu saja idiologi Islam yang di gunakan” karena Muhammadiyah berasaskan Islam (AD/ART Muhammadiyah).

Namun muncul kemudian pertanyaan “mengapa Muhammadiyah dengan idiologi Islam dalam mengurusi lembaga pendidikanya dan organisasinya yang mendekati umur seabad mengalami stagnasi dalam kegiatan tjdid dan tanzihnya. Padahal dengan semngat tajdid dan tanzih lah Muhammadiyah tersebut dilahirkan. Maka pada akhirnya bermunculanlah kritikan bahwa Muhammadiyah telah mengingkari (disorientasi) cita-citanya sebagai gerakan tajdid dan tanzih dengan semangat pembaharuan menjadi “kemapanan” (established) yang pada akhir kritik menyebutkan bahwa Muhammadiyah ibarat “seekor gajah bengkak”. Maka mendaratlah semua kritikan kepada lembaga pendidikan. Karena pada dasarnya lembaga pendidikanlah yang menentukan masa depan sebuah gerakan, organisiasi, bahkan bangsa sekalipun ditentukan oleh pendidikan bagi masa depannya. Untuk itu pengkajian dan penelitian lebih intensif perlu dilakukan pada lembaga pendidikan Muhammadiyah demi keberlangsungan gerakan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dakwah Islam yang notabenenya lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan pencetak kader gerakan Muhammadiyah.

Maka perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai dari sejarah berdirinya sampai dengan sistem atau idiologi apa yang sebenarnya digunakan oleh Muhammadiyah untuk mengelola lembaga pendidikannya sekarang sadar ataupun tidak sehingga muncul kritikan “gajah bengkak “ pada Muhammadiyah.

SEJARAH BERDIRINYA LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Sebenarnya jika dikaji lebih dalam, berdirinya Muhammadiyah juga didasari oleh faktor pendidikan. Sutarmo, Mag dalam bukunya Muhammadiyah, Gerakan Sosisal, Keagamaan Modernis mengatakan bahwa Muhammadiyah didirikan oleh KHA. Dahlan didasari oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh dan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar Islam. Maka pendidikan Muhammadiyah adalah salah satu faktor internal yang mendasari Muhammadiyah didirikan. Kita ketahui bahwa pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, lembaga-lembaga pendidikan yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar sistem pendidikan. Dua sistem pendidikan yang berkembang saat itu, pertama adalah sistem pendidikan tradisional pribumi yang diselenggarakan dalam pondok-pondok pesantren dengan Kurikulum seadanya. Pada umumnya seluruh pelajaran di pondok-pondok adalah pelajaran agama. Proses penanaman pendidikan pada sistem ini pada umumnya masih diselenggarakan secara tradisional, dan secara pribadi oleh para guru atau kyai dengan menggunakan metode srogan (murid secara individual menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dibacanya, kyai membacakan pelajaran, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya) dan weton (metode pengajaran secara berkelompok dengan murid duduk bersimpuh mengelilingi kyai juga duduk bersimpuh dan sang kyai menerangkan pelajaran dan murid menyimak pada buku masing-masing atau dalam bahasa Arab disebut metode Halaqah) dalam pengajarannya. Dengan metode ini aktivitas belajar hanya bersifat pasif, membuat catatan tanpa pertanyaan, dan membantah terhadap penjelasan sang kyai adalah hal yang tabu. Selain itu metode ini hanya mementingkan kemampuan daya hafal dan membaca tanpa pengertian dan memperhitungkan daya nalar. Kedua adalah pendidikan sekuler yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah kolonial dan pelajaran agama tidak diberikan.

Bila dilihat dari cara pengelolaan dan metode pengajaran dari kedua sistem pendidikan tersebut, maka perbedaannya jauh sekali. Tipe pendidikan pertama menghasilkan pelajar yang minder dan terisolasi dari kehidupan modern, akan tetapi taat dalam menjalankan perintah agama, seangkan tipe kedua menghasilkan para pelajar yang dinamis dan kreatif srta penuh percaya diri, akan tetapi tidak tahu tentang agama, bahkan berpandangan negatif terhadap agama.

Maka atas dasar dua sistem pendidikan di atas KHA. Dahlan kemudian dalam mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah coba menggabungkan hal-hal yang posistif dari dua sistem pendidikan tersebut. KHA. Dahlan kemudian coba menggabungkan dua aspek yaitu, aspek yang berkenaan secara idiologis dan praktis. Aspek idiologisnya yaitu mengacu kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah, yaitu utnuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, pengetahuan yang komprihensif, baik umum maupun agama, dan memiliki keasadaran yang tinggi untuk bekerja membangun masyrakat (perkembangan filsafat dalam pendidikan Muhmmadiyah, syhyan rasyidi). Sedangkan aspek praktisnya adalah mengacu kepada metode belajar, organisasi sekolah mata pelajaran dan kurikulum yang disesuaikan dengan teori modern. Maka inilah sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang jika disimpulkan ihwal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk mencetak ulama atau pemikir yang mengedepnkan tajdid atau tanzih dalam setiap pemikiran dan gerakannya bukan ulama atau pemikir yang say yespada kemapanan yang sudah ada (established) karena KHA. Dahlan dalam memadukan dua sistem tersebut coba untuk menciptakan ulama/pelajar yang dinamis dan kreatif serta penuh percaya diri dan taat dalam menjalankan perintah agama.

REALITA SISTEM PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH JELANG SATU ABAD
Sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah diatas telah menunjukkan kepada kita bahwa pada awalnya lembaga pendidikan Muhmmadiyah itu didasari atas realita pendidikan dengan kedua sistem tersebut tidak mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah untuk mencetak manusia yang mampu mengusung tajdid dan tnajih gerakan bahkan pula tidak mampu mencapai tujuan pendidikan dalam arti khusu yaitu khusus yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan dan pengembangan jiwa. Model pendidikan seperti itu hanya menempatkan objek didik sebagai gudang kosong atau murid dianggap berada dalam kebodohan absolut (basolute ignorance). Menyadari dua sistem tersebut tidak akan mampu mencapai tujuan pendidikan Muhmmadiyah maka KHA. Dahlan merumuskan sebuah sistem baru model pendidikan dengan menggabungkan sistem posistif dari dua sistem tersebut demi mencetak manusia yang mempunyai landasan gerakan tjdid dan tanzih dalam koridor Islam, dan mengesampingkan status sosial maupun fasilitas yamg ada.

Tetapi apa yang dapat kita lihat saat ini sungguh merupakan kebalikan dari sejarah awal berdirinya lembaga pendidikan Muhmmadiyah. Lembaga pendidikan Muhmmadiyah yang ada saat ini ternyata lebih mementingkan sarana fasilitas yang akan membawa nama besar sekolah untuk menggapai yang namanya prestise dan untuk menarik banyak orang masuk ke lembaga pendidikan tersebut dan mengesampingkan seperti apa manusia yang akan dihasilkan dikemudian kelak. Sepeti yang disampaiakan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisidan Modernisasi , Menuju Mellinium Baru mengatakan bahwa “ di Indonesia belajar pada sebuah lembaga pendidikan ibarat memilih sebuah hotel untuk menginap. Semakin mewah hotel yang dipilih maka semakin tinggi prestise yang didapat padahal esensi dari semua hotel adalah sama hanya sebagai tempat menginap”. Di tambahkannya lagi bahwa di Indonesia belajar ke sebuah perguruan pendidikan pertama-tama adalah untuk mengejar status dan selembar ijazah, bukan keahlian, keterampilan dan profesionalisme. Tidak bisa kita nafikan bahwa fakta yang ada dilapangan khusunya di beberapa perguruan Muhammadiyah sendiri lebih mengedepankan status kemewahan fasilitas dan berapa jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut sampai dengan lulus dalam sastu tahun pengajaran tanpa melihat sudah sejauh mana manusia-manusia lulusan itu mampu berkompetisi di dunia luar. Maka mahfumlah kita apabila kader-kader gerakan semakin hari semakin sulit didapatkan khususnya kader tajdid dan tanzih.

Belum lagi kita menjumpai bahwa di beberapa perguruan Muhammadiyah masih sering menggunakan metode sorogan dan wton tetapi dengan gaya baru. Tidak lagi duduk bersimpuh sudah duduk dikursi empuk, tidak lagi menggunakan kitab tetapi menggunakan alat-alat canggih yang semakin membuat si guru semakin nyaman duduk di kursi empuknya dan hanya menerangkan pelejaran dari kursinya tersebut. Peserta didik yang ada hanya menjadi subjek didik yang pasif tanpa adanya proses dialogis dalam teknik pengajaran. Disinilah terjadinya stagnasi terhadap pencetakan kader tadi. Para subjek didik terus dianggap sebagai seorang yang memiliki kebodohan absolut. Meminjam istilah yang diperkenalkan paulo fereire, sistem yang banyak digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah “Banking Concept of Education”(konsep pendidikan Bank)”, yang akan mematikan potensi kreatifitas berpikir subjek didik, dan posisi subjek didik hanya sebagai gudang penyimpanan (Banking Concept) yang tidak tahu untuk apa barang yang disimpan digudang otak mereka.

Maka pertanyaan “apa sebenarnya sistem yang digunakan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah dapat terjawab. Jika kita lihat sistem pendidikan Muhmmadiyah yang ada sekarang lebih condong kepada sistem Liberal di satu sisi dan disisi lain sistem konservatif. Sistem liberal dalam pengelolaan sekolah dan sistem konservatif dalam sistem pengajaran. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem pendidikan liberal lebih memecahkan masalah pendidikan dengan usaha “Reformasi Kosmetik” (Pendidikan Popular) yang lebih menekankan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah serta berbagai usaha untuk meningkatkan rasio murid-guru. Sedangkan sistem pendidikan konservatif adalah sebuah sistem pendidikan yang seperti dikatakan diatas (sorogan dan weton) menempatkan murid berada dlam kebodohan absolut dan guru dalam kebenaran absolut sehingga murid tidak di perkenankan untuk berpikir, hanya menerima pelajaran dari si guru dan ini merupakan sebuah kemapanan yang harus di prtahankan.

Jelas sudah terjawab, mengapa kader tajdid dan tanzih serta produk tajdid Muhammadiyah mengalami kemunduran, karena sistem pendidikan yang digunakan saat ini adalah sistem yang mendukung untuk mematikan kreatifitas berfikir. Maka kritikan yang mengatakan bahwa Muhammadiyah seperti “Gajah Bengkak” tidak salah diberikan, karena dengan fasilitas pendidikan yang cukup fantastis dan luar biasa banyak ternyata tidak mapu untuk melakukan gerak dinamis.

QUO VADIS SISTEM PENDIDIKAN MUHMMADIYAH

Solusi untuk menjawab ini semua sebenarnya sudah dijawab dan dicontohkan oleh KHA. Dahlan sendiri ketika awal mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah seperti yang telah dijelaskan diatas. Qou Vadis sistem pendidikan Muhmmadiyah adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan. Contohnya sudah dilakukan oleh KHA.Dahlan sendiri dengan membuat sebuah terobosan baru dalam sistem pendidikan saat itu, maka Muhmmadiyah saat ini yang umurnya menjelang satu abad juga harus melakukan terobosan baru dalam sistem pendidikan yang ada (Tajdid Pendidikan), agar kader tajdid dan tanzih serta ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dan tanzih tidak hilang sehingga cita-cita lembaga pendidikan Muhmmadiyah segera terwujud.

GEOGRAFI REGIONAL TASIKMALAYA

GEOGRAFI REGIONAL TASIKMALAYA

A. LUAS WILAYAH

Sesuai dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2001 tentang pembentukan Kota Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya memiliki wilayah seluas 17.156,20 Ha atau 171,56 km2 yang meliputi wilayah 8 Kecamatan, yaitu Kec. Cipedes, Cihideung, Tawang, Tamansari, Mangkubumi, Kawalu, Indihiang dan Cibeureum. Data ke-8 Kecamatan yang mencakup 69 Kelurahan sebagaimana Tabel di bawah ini :

Cihideung
Cipedes
Tawang
Indihiang
Kawalu
Cibeureum
Tamansari
Mangkubumi

B. LETAK GEOGRAFIS

Kota Tasikmalaya secara geografis memiliki posisi yang strategis, yaitu berada pada 108o 08' 38" - 108o 24' 02" BT dan 7o 10' - 7o 26' 32" LS di bagian Tenggara wilayah Propinsi Jawa Barat. Kedudukan atau jarak dari Ibukota Propinsi Jawa Barat, Bandung + 105, wilayah Kota Tasikmalaya berbatasan dengan :

1. Sebelah Utara : Kab. Tasikmalaya dan Kab. Ciamis (dengan batas sungai Citanduy)
2. Sebelah Barat : Kab. Tasikmalaya
3. Sebelah Timur : Kab. Tasikmalaya dan Kab. Ciamis
4. Sebelah Selatan : Kab. Tasikmalaya (batas sungai Ciwulan)

SEJARAH KOTA TASIKMALAYA
Sejarah berdirinya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonomi tidak terlepas dari sejarah berdirinya kabupaten Tasikmalaya sebagai daerah kabupaten induknya. Maka rangkaian sejarah ini merupakan bagian dari rangakaian perjalanan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya sampai terbentuknya Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Pada waktu A. Bunyamin menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya tahun 1976 sampai dengan 1981 tonggak sejarah lahirnya kota Tasikmalaya dimulai denngan diresmikannya Kota Administratif Tasikmalaya melalui peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1976 oleh Menteri Dalam Negeri H. Amir Machmud. Periwtiwa ini di tandai dengan penandatangan Prasasti yang sekarang terletak di depan gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Pada waktu yang sama dilantik pula Walikota Administratif Pertama yaitu Drs. H. Oman Roosman oleh Gubernur KDH Tingkat I Jawa Barat H. Aang Kunaefi.

Pada awal pembentukannya, wilayah kota Administratif Tasikmalaya meliputi 3 Kecamatan yaitu Cipedes, Cihideung dan Tawang dengan jumlah desa sebanyak 13 desa.

Berikut ini urtutan pemegang jabatan Walikotatif Tasikmalaya dari terbentuknya kota administratif sampai menjelang terbentuknya pemerintah Kota Tasikmalaya :


Berkat perjuangan unsur Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya yang dipimpin Bupati saat itu H. Suljana WH beserta tokoh masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dirintislah pembentukan Kota Tasikmalaya dengan lahirnya tim sukses pembentukan Pemerintahan Kota Tasikmalaya yang diketuai oleh H. Yeng Ds. Partawinata SH. bersama tokoh - tokoh masyarakat lainnya. Melalui proses panjang akhirnya dibawah pimpinan Bupati Drs. Tatang Farhanul Hakim, pada tanggal 17 Oktober 2001 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001, Kota Tasikmalaya diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden RI di Jakarta bersama-sama dengan kota Lhoksumawe, Langsa, Padangsidempuan, Prabumulih, Lubuk Linggau, Pager Alam, Tanjung Pinang, Cimahi, Batu, Sikawang dan Bau-bau.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya, telah mengantarkan Pemerintah Kota Administratif Tasikmalaya melewati pintu gerbang Daerah Otonomi Kota Tasikmalaya untuk menjadi daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri.

Pembentukan Pemerintah Kota Tasikmalaya tak lepas dari peran serta semua pihak maupun berbagai steakholder di daerah Kota Tasikmalaya yang mendukung pembentukan tersebut. Tentunya dengan pembentukan Kota Tasikmalaya harus ditindak lanjuti dengan menyediakan berbagai prasarana maupun sarana guna menunjang penyelenggaraan Pemerintah Kota Tasikmalaya.

Berbagai langkah untuk mempersiapkan prasarana, sarana maupun personil serta komponen-komponen lainnya guna menunjang penyelengaraan Pemerintahan Kota Tasikmalaya telah dilaksanakan sebagai tuntutan dari pembentukan daerah otonom itu sendiri.

Pada tanggal 18 Oktober 2001 pelantikan Drs. H. Wahyu Suradiharja sebagai PJ Walikota Tasikmalaya oleh Gubernur Jawa Barat dilaksanakan di Gedung Sate Bandung. Sesusuai Undang-Undang No. 10 Tahun 2001 bahwa wilayah Kota Tasikmalaya terdiri dari 8 Kecamatan dengan jumlah Kelurahan sebanyak 15 dan Desa sebanyak 54, tetapi dalam perjalanannya melalui Perda No. 30 Tahun 2003 tentang perubahan status Desan menjadi Kelurahan, desa-desa dilingkungan Pemerintah Kota Tasikmalaya berubah statusnya menjadi Kelurahan, oleh karena itu maka jumlah kelurahan menjadi sebanyak 69 kelurahan, sedangkan kedelapan kecamatan tersebut antara lain :

1. Kecamatan Tawang
2. Kecamatan Cihideung
3. Kecamatan Cipedes
4. Kecamatan Indihiang
5. Kecamatan Kawalu
6. Kecamatan Cibeureum
7. Kecamatan Mangkubumi
8. Kecamatan Tamansari

Sebagai salah satu syarat Pemerintah Daerah Otonom diperlukan alat kelengkapan lainnya berupa Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Melalui surat keputusan No. 133 Tahun 2001 Tanggal 13 Desember 2001 Komisi Pemilihan Umum membentuk Panitia Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat KotaTasikmalaya (PPK-DPRD). Melalui proses dan tahapan-tahapan yang dilaksanakan PPK-DPRD Kota Tasikmalaya yang cukup panjang, maka pengangkatan anggota DPRD Kota Tasikmalaya disyahkan melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 171/Kep.380/Dekon/2002 Tanggal 26 April 2002, selanjutnya tanggal 30 April 2002 diresmikannya keanggotaan DPRD Kota Tasikmalaya yang tetama kali.

Pada tanggal 14 November 2002 dilantiknya Bp. Drs. H. Bubun Bunyamin sebagai Walikota Tasikmalaya, pelantikan Walikota tersebut adalah segabai puncak momentum dari pemilihan Kepala Daerah pertama di Kota Tasikmalaya sebagai hasil dari Tahapan proses pemilihan yang dilaksanakan oleh Legislatif.


Sejarah Singkat Kabupaten Tasikmalaya
R.A.A Wiratanuningrat
Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.

Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.

Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.

Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam.

Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi: Mataram, banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”.

Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berrdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung.

Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya.

Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung.


Geotopografi
Wilayah Kabupaten Tasikmalaya secara geografis berada di sebelah tenggara wilayah Propinsi Jawa Barat, dengan batas-batas wilayah :
Sebelah Utara Kab. Majalengka,Ciamis,Kota Tasikmalaya
Sebelah Barat Kab. Garut
Sebelah Timur Kab. Ciamis
Sebelah Selatan Samudera Indonesia

geotopografi
Alam Tasikmalaya
Secara geografis terletak antara 107° 56' BT - 108°8' BT dan 7° 10' LS - 7° 49' LS dengan jarak membentang Utara Selatan terjauh 75 Km dan arah Barat Timur 56,25 Km. Luas keseluruhan sebesar 2.563,35 Km2.Sebagian besar wilayahnya berada pada ketinggian antara 0 - 1.500 m diatas permukaan laut yang membentang dari arah utara dan yang terendah kearah selatan.

Sebagian kecil wilayahnya yaitu 0,81 % berada pada ketinggian diatas 1.500 m, keadaan iklim umumnya bersifat tropis dan beriklim sedang dengan rata-rata suhu di dataran rendah antara 20°-34° C dan di dataran tinggi berkisar 18°-22° C. Curah hujan rata-rata 2,072 mm/tahun, jumlah hari hujan rata-rata 82 hari.

Wilayah Administrasi dan Pemerintahan

Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya terdiri dari : 39 Kecamatan dan 348 desa. Berikut adalah Tabel Daftar Kecamatan dan Luas Wilayah di Kabupaten Tasikmalaya :
No. Nama Kecamatan Luas Wilayah (km2)/Jumlah Desa (Buah)
1 Cipatujah 242,65 15
2 Karangnunggal 136,10 14
3 Cikalong 136,96 13
4 Pancatengah 199,05 11
5 Cikatomas 132,63 9
6 Cibalong 58,35 6
7 Parungponteng 47,23 8
8 Bantarkalong 59,63 8
9 Bojongasih 35,09 6
10 Culamega 58.04 5
11 Bojonggambir 148,36 10
12 Sodonghilir 97,11 12
13 Taraju 55,53 9
14 Salawu 50,47 12
15 Puspahiang 33,19 8
16 Tanjungjaya 36,37 7
17 Sukaraja 43,14 8
18 Salopa 120,78 9
19 Jatiwaras 77,39 11
20 Cineam 77,69 10
21 Karangjaya 47,85 4
22 Manonjaya 39,49 12
23 Gunungtanjung 32,31 7
24 Singaparna 18,82 10
25 Mangunreja 26,65 6
26 Sukarame 15,58 6
27 Cigalontang 119,13 16
28 Leuwisari 44,60 7
29 Padakembang 30,15 5
30 Sariwangi 40,85 8
31 Sukaratu 33,41 8
32 Cisayong 48,33 13
33 Sukahening 23,80 7
34 Rajapolah 15,38 8
35 Jamanis 14,99 8
36 Ciawi 42,23 11
37 Kadipaten 43,26 6
38 Pagerageung 63,37 10
39 Sukaresik 17,39 8
Jumlah 2.563,35 351

Peta Obyek Wisata Tasik
petahttp://tasikmalayakab.go.id/images/stories/potensi_daerah/pariwisata/peta.jpg

1. PAGERAGEUNG

* PONPES Suryalaya
* Pondok Inabah
* Situs Cakrabuana
* Geger Sunten

2. SUKARESIK

* Cipanas Cipacing

3. JAMANIS

* Rest Area

4. RAJAPOLAH

* Pusat Kerajinan

5. CISAYONG

* Arena Domba Laga

6. SUKARATU

* Obyek Wisata Gn.Galunggung

7. PADAKEMBANG

* Curug Citiis

8. SUKARAME

* Makam KHZ.Mustofa

9. MANONJAYA

* Mesjid Kuno manonjaya
* Komplek Makam Tanjungmalaya (Para Bupati Sukapura)
* Produsen Bedog Galonggong
* Jembatan Kuno Cirahong
* Situs Gimbal dan Cilangkap

10. CINEAM

* Situs Kabuyutan Nagaratengah
* Situs Makam Rd.A.Dewi Sartika

11. SUKARAJA

* Museum Sukapura
* Batik Sukaraja
* Makam Baginjing

12. PARUNG PONTENG

* Cipanas Cigunung

13. SALOPA

* Situs Bumi Rongsok
* Curug Cimanintin

14. CIBALONG

* Goa Rangga Wulung
* Cipanas

15. CIKATOMAS

* Goa Cupu Agung
* Goa Hulu Kuya

16. KARANGNUNGGAL

* Goa Malawang
* Goa Arca & Goa Wayang

17. PANCATENGAH

* Goa Nyai & Goa Ciodeng
* Taman Batu Jesper

18. CIKALONG

* Pantai Karangtawulan
* Pantai Cimanuk
* Pantai Sindangjaya
* Pantai Padabumi
* Pantai Kalapa Rea
* Lokasi Ziarah Syech Zaenudin dan Garuda Ngupuk
* Goa Parat dan Goa Lalay
* Goa Cimaranggi

19. CIPATUJAH

* Pantai Cipatujah
* Cipanas Cipatujah
* Pantai Bubujung
* Lokasi Ziarah Joglo
* Goa Sarongge
* Makam Ambu Hawuk
* Curug Dengdeng

* Pantai Sindangkerta/Taman Lengsar
* Pantai Pamayangsari

20. BANTARKALONG

* Lokasi Ziarah Pamijahan
* Lokasi Ziarah Panyalahan
* Goa Safarwadi
* Imah Sunda

21. CULAMEGA

* Situ Denuh
* Kabuyutan/Situs Denuh
* Goa Potong Kujang
* Goa Binuang
* Goa Cukuda Hilang

22. BOJONGGAMBIR

* Perkebunan Teh

23. SODONGHILIR

* Goa Daha
* Makam Syech TB.Anggariji

24. TARAJU

* Situs Kaputihan
* Agrowisata Perkebunan Teh dan Situ Cilangla
* Goa Dasarongga

25. PUSPAHIANG

* Lokasi Ziarah Tumenggung

26. TANJUNGJAYA

* Lokasi Ziarah Prabu Linggaswatu
* Situ Sanghiyang

27. SALAWU

* Lokasi Adat Kampung Naga
* Situs Kertanudin
* Curug Panoongan

28. CIGALONTANG

* Curug Ciparay

29. LEUWISARI

* Prasasti Gegerhanjuang

30. SARIWANGI

* Malaganti Center

31. SUKAHENING

* Air Tujuh Rasa

32. CIAWI

* Cipanas Gajawong
* Cipanas Pamoyanan
* Imah Tasik (Rest Area)

33. KADIPATEN

* Kawah Karaha
* Air Tujuh Rasa

Pengembangan Karaha Bodas Sebagai Kawasan Strategis
Kawasan Karaha Bodas adalah sebuah kawasan yang terletak di Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya, yang meliputi Kecamatan Pangatikan, Kecamatan Karangtengah (Kabupaten Garut) serta di Kecamatan Kadipaten dan Kecamatan Ciawi di Kabupaten Tasikmalaya. Dalam tata ruang Kabupaten Tasikmalaya, Kawasan Karaha terletak di Wilayah Pengembangan Utama Utara (WPU-U), Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) I yang meliputi Kecamatan Ciawi, Kadipaten, Pagerageung, Sukaresik, Jamanis, Sukahening, Rajapolah, Sukaratu dan Cisayong.
Read more...

Wisata, Swasta dan Pemerintah
PENGUNJUNG tempat wisata alam selama musim lebaran ini menukik tajam. Di gunung Galunggung, umpamanya, dikabarkan jumlah pengunjung melorot dibanding tahun lalu. Usut punya usut, isu kawah retak jadi biangnya.

Pedagang makanan dan suvenir mengeluh, penghasilan mereka terkena imbas. Sudah tentu pundi-pundi Pemkab Kabupaten Tasikmalaya turut surut. Diduga kuat, menurunnya wisatawan ke Gunung Galunggung, lantaran isu kawah retak itu. Paling tidak, itulah hasil penelusuran wartawan.
Read more...

Jasper, Batu Merah Dari Pancatengah
Batu merah Jasper (Inggris) atau Jaspis (Indonesia), merupakan anggota mineral keluarga kuarsa (quartz family mineral), diduga merupakan hasil dari aktifitas gunung api bawah laut pada masa jutaan tahun yang lalu.
Read more...

Pantai Sindangkerta
Keindahan panorama Obyek Wisata Bahari yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya kurang lengkap jika tidak berkunjung ke Pantai Sindangkerta. Pantai ini hanya berjarak 4 Km dari Pantai Cipatujah ke arah Timur. Kawasan wisata sangat cocok untuk tempat wisata baik keluarga maupun rombongan.Banyaknya pohon-pohon besar yang tumbuh dipinggiran pantai dan semilir angin laut menciptakan kesejukan dan menjadikan betah untuk berlama-lama di pantai ini.
Read more...

Pantai Cipatujah
4Setelah porak poranda dilanda Tsunami pada Tahun 2006, kini Pantai Selatan Tasikmalaya, atau terkenal dengan pantai Cipatujah yang merupakan salah satu obyek wisata alam, dengan daya tarik utama berupa wisata bahari yang ada di kabupaten Tasikmalaya mulai bersolek kembali.

Saat ini dikawasan wisata ini telah dibangun kios-kios wisata, Gazebo,Area bermain anak, Menara Pandang, Mesjid, Panggung Terbuka, Penginapan, Area Parkir yang cukup luas, dan sarana rekreasi lainnya.

Pengelolaan obyek wisata pantai Selatan ini dibawah kendali Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya. Obyek wisata pantai Selatan Cipatujah meliputi area kurang lebih 115 hektar, terletak kurang lebih 74 km dari pusat kota Tasikmalaya. Pantai Tasikmalaya Selatan memiliki potensi wisata yang tersebar di sepanjang pantai Cipatujah sampai Cikalong. Disamping obyek-obyek wisata tersebut masih terdapat obyek dan daya tarik lain. Pada area pantai Selatan Tasikmalaya bermuara sungai-sungai yang cukup besar membuat panorama alam disekitarnya indah dan sangat potensial untuk dikemas menjadi obyek wisata.
Read more...

Situ Sanghiyang
Situ Sanghiyang merupakan salah satu obyek wisata air yang terletak di Desa Cilolohan dan Desa Cibalanarik yang berjarak sekitar 27 Km dari Pusat Kota Tasikmalaya. Disekitar Danau terdapat Makam Keramat Eyang Prabu Linggaswatu. Pada obyek wisata ini terdapat pula camping area atau area untuk berkemah, dengan pemandangan yang masih asri jauh dari hiruk pikuk perkotaan membuat obyek wisata ini cocok menjadi tempat melepas penat dan arena bermain bagi anak-anak.
Read more...

Situ Denuh
Satu lagi obyek wisata air yang tidak kalah asri dan sejuk, adalah Situ Denuh. yang terletak di Desa Cikuya Kecamatan Culamega. Bukan hanya keindahan dan daya tarik alami yang disuguhkan disini, dapat juga dijumpai di sekitar Situ terdapat Tujuh Situs Denuh yaitu : Situs Tugu,Situs Bale Kembang, Situs Lemah Badong, Goa Potong Kujang, Goa Binuang, Goa Cikuda Hilang, Goa Pasir Leungit,dan Makam Keramat Eyang Jatnaka atau Batara Karang.
Read more...

Pantai Karangtawulan
1Suasana yang alami dan sepi menjemput saat berkunjung ke Pantai Karangtawulan. Deru ombat laut selatan yang menghantam karang-karang berserakan mewarnai keheningan obyek wisata ini. Karangtawulan merupakan salah satu Pantai yang berkarang curam. Sekitar 300 M dari bibir pantai terdapat beberapa Atol atau Pulau Karang yang pada musim tertentu dihuni berbagai jenis burung.Berlokasi di Desa Cimanuk Kecamatan Cikalong Kabupaten Tasikmalaya. Berjarak sekitar 97 Km dari Pusat Kota Tasikmalaya atau sekitar 40 Km dari Pantai Pangandaran.
Read more...

Pantai Pamayangsari

Pantai Pamayangsari merupakan salah satu Obyek wisata bahari yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya., tepatnya di Kecamatan Cipatujah. Pantai Pamayangsari merupakan pantai yang landai dengan panorama alam pesisiryang khas. Bebatasan langsung dengan tempat konservasi penyu hijau yang langka dan dilindung. disebelah timurnya terdapat Pelabuhan Nelayan dan tempat Pelelangan Ikan.

Masjid Manonjaya
HANYA ada dua masjid agung di tatar Jawa Barat yang bangunannya dilindungi Undang-Undang Kepurbakalaan Badan Arkeologi RI, yaitu Masjid Agung Sumedang dan Masjid atau Kaum Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya. Kedua masjid agung tersebut selain berusia ratusan tahun, juga keduanya memiliki Nilai Sejarah Tinggi yang perlu dilestarikan.

Pembangunan Masjid Agung Manonjaya terkait dengan pindahnya Ibukota Tasikmalaya dari Kecamatan Sukaraja (Sukapura) ke Manonjaya pada tahun 1832. Penata dan perencana bangunan adalah Patih Raden Tumenggung Danuningrat, pada dekade pemenintahan Bupati Sukapura ke-delapan.

Gunung Galunggung
galunggungGunung Galunggung merupakan gunung berapi dengan ketinggian 2.167 m di atas permukaan laut, terletak sekitar 17 km dari pusat kota Tasikmalaya Berlokasi di Desa Linggajati Kecamatan Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya. Setelah terakhir meletus pada Tahun 1982, Panorama alam di sekitar Gunung Galunggung saat ini sangat mempesona. Kawah yang dulu memuntahkan lahar panas, pasir dan bebatuan, kini telah berwujud menjadi semacam danau luas, bening, berair dan tenang serta dikelilingi hutan hijau yang asri

Terdapat beberapa daya tarik wisata yang ditawarkan antara lain: obyek wisata dan daya tarik wanawisata dengan areal seluas kurang lebih 120 hektar dibawah pengelolaan Perum Perhutani, berupa air terjun dan kawah. Pengunjung diijinkan mengunjungi kawah Galunggung, dan dapat mencapai kawah dengan meniti tangga permanen dengan jumlah anak tangga sebanyak 620 buah. dan kawah ini bisa dijadikan tempat wisata rekreasi air dan tempat pemancingan.
kawahwarung
Tangga Menuju Kawah

Obyek wisata lainnya seluas kurang lebih 3 hektar berupa pemandian air panas (cipanas) lengkap dengan fasilitas kolam renang, kamar mandi dan bak rendam air serta tersedia juga tempat bermain anak, panggung hiburan, saung ranggon tempat botram (makan-makan), kios wisata, juga arena camping.
kolamrenang
Bak Rendam

Untuk menuju kawasan Galunggung, terdapat tiga alternatif jalan yang dapat ditempuh, yaitu :

*
Dari arah Bandung lewat Ciawi, di depan Pasar lama Indihiang, belok ke arah kanan + 12 km.
*
Dari arah Bandung lewat Ciawi, setelah jembatan Cikunir (Singaparna) belok ke arah kiri + 14 km
*
Dari pusat kota Tasikmalaya langsung ke arah Barat lewat Jl. Bantar-Tawangbanteng, + 17 km

gasebo
A. PROSPEK PASAR

Kebanyakan pengunjung obyek wisata Galunggung adalah wisatawan lokal, sementara wisatawan dari mancanegara masih dibawah hitungan 100 orang rata-rata per tahun. Rata-rata wisatawan dalam maupun luar negeri yang berkunjung ke Gunung Galunggung berjumlah 213.382 orang per tahun.

Melihat potensi dayatarik yang mungkin digali, serta posisi geografis yang cukup strategis, serta memiliki kekhasan dari kondisi alamnya obyek wisata Gunung Galunggung cukup potensial untuk dijual kepada wisatawan mancanegara. Namun obyek wisata tersebut belum dikemas dalam paket wisata yang profesional.

B. PELUANG INVESTASI

Masih banyak peluang obyek dan dayatarik wisata yang dapat digali dari Gunung Galunggung, mengingat fasilitas yang tersedia saat ini masih minim, sehingga masih terbuka luas untuk dikembangkan. Peluang investasi dalam rangka pengembangan obyek wisata Gunung Galunggung dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

* Perlu ada penataan infrastruktur transportasi yang menjamin lancarnya pengunjung ke luar masuk obyek wisata.
* Kapasitas obyek wisata Cipanas perlu diperbesar dengan menambah daya tarik lain.
* Obyek wisata Gunung Galunggung potensial dibangun tempat peristirahatan.

Kampung Naga
6Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih 4 ha. Lokasi obyek wisata Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya - Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya. Secara administratif Kampung Naga termasuk kampung Legok Dage Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.

Daya tarik obyek wisata Kampung Naga terletak pada kehidupan yang unik dari komunitas yang terletak di Kampung Naga tersebut. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyrakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memlihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besr Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan dan Wisatawan boleh mengikuti acara tersebut dengan syarat harus patuh pada aturan disana.
Kujang Pusaka4

Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.

Obyek wisata ini merupakan salah satu obyek wisata budaya di Tasikmlaya Wisatawan biasanya memiliki minat khusus yaitu ingin mengetahui dan membuktikan secara nyata keadaan tesebut. Pengembangan obyek wisata Kampung Naga termasuk dalam jangkauan pengembangan jangka pendek.

Obyek wisata budaya ini dapat ditempuh dengan waktu 1 jam baik dari Garut maupun Pusat Kota Tasikmalaya,dengan area parkir yang cukup luas, akan dijumpai Monumen Kujang Pusaka yang merupakan Simbol dan dibuat dari 900 Pusakayang ada di Indonesi, disini juga dijumpai kios-kios makanan minuman dan kerajinan-kerajinan khas kampung naga juga kerajinan lain di kabupaten Tasikmalaya.

Untuk menuju ke perumahan adat Naga, harus menuruni anak tangga yang berjumlah 360 buah anak tangga ayng disuguhi dengan indahnya pemandangan asri dan alami. Di sebelah timur Kampung Naga, terdapat hutan keramat yang dikelilingi Sungai Ciwulan dan terdapat pula makam keramat Sembah Dalem Singaparana (Leluhur atau Karuhun Masyarakat Kampung Naga)

Wisatawan pun dapat menginap di rumah-rumah penduduk di kampung naga ini, akan tetapi sebelumnya harus melakukan survey dan meminta ijin kepada Sesepuh Adat apabila mendatangkan rombongan karena menyangkut jumlah rumah yang hanya berjumlah 112 ruma.


A. PROSPEK PASAR

Obyek wisata ini cukup banyak dikinjungi wisatawan baik wisatawan Mancanegara maupun wisatawan Nusantara karena letaknya disepanjang jalur Tasikmlaya- Bandung lewat Garut yang merupakan lokasi strategis. Berdasarkan data dari Kantor Pariwisata Tasikmalaya jumlah Wisatawan Mancanegara tahun 1997 – 2000 berjumlah 33.629 orang, sedangkan Wisatawan Nusantara tahun 1997 – 2000 berjumlah 106.535 orang. Rata-rata Wisatawan dalam maupun luar negeri yang berkunjung ke obyek wisata Kampung Naga berjumlah 46.721orang per tahun.

Pencapaian target pendapatan dari obyek wisata Kampung Naga termasuk baik, yaitu dapat mencapai atau bahkan melampaui target. Namun apabila dilihat dari nominal pendapatan retribusi yang diperoleh, pendapatan retribusi obyek wisata Kampung Naga merupakan peringkat keempat. Sebagai gambaran, target pendapatan obyek wisata Kampung Naga tahun 2000 Rp. 2.000.000,00 realisasi Rp. 2.162.000,00, pencapaian target 108,10 persen.

B. PELUANG INVESTASI

Investasi fisik yang dilakukan untuk pengembangan obyek wisata Kampung Naga harus dibatasi, agar tidak menjadi bumerang malah akan merusak kekhasan dari kehidupan unik yang menjadi daya tarik obyek wisata tersebut. Obyek wisata tersebut merupakan obyek wisata transit, yang dinikmati dalam satu paket perjalanan dengan obyek wisata lain. Peluang investasi yang mungkin dilakukan untuk mengembangkan obyek wisata Kampung Naga berupa promosi pariwisata