24 Juli 2010

WAWASAN GURU GEOGRAFI

Mengapa GPS Menarik untuk Digunakan?

Ada beberapa hal yang membuat GPS menarik untuk digunakan dalam penentuan posisi, seperti yang akan diberikan berikut ini. Patut dicatat disini bahwa beberapa faktor yang disebutkan di bawah ini juga akan berlaku untuk aplikasi-aplikasi GPS yang berkaitan dengan penentuan parameter selain posisi seperti kecepatan, percepatan, maupun waktu yang pada dasarnya juga bisa diberikan oleh GPS.

Pertama, GPS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung waktu dan cuaca, GPS dapat digunakan baik pada siang maupun malam hari, dalam kondisi cuaca yang buruk sekalipun seperti hujan ataupun kabut. Karena karakteristiknya ini maka penggunaan GPS dapat meningkatan efisiensi dan fleksibilitas dari pelaksanaan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan penentuan posisi, yang pada akhirnya dapat diharapkan akan dapat memperpendek waktu pelaksanaan aktivitas tersebut serta menekan biaya operasionalnya.

Kedua, satelit-satelit GPS mempunyai ketinggian orbit yang cukup tinggi, yaitu sekitar 20.000 km di atas permukaan bumi, dan jumlahnya relatif cukup banyak, yaitu 24 satelit. Ini menyebabkan GPS dapat meliputi wilayah yang cukup luas, sehingga akan dapat digunakan oleh banyak orang pada saat yang sama ,serta pemakaiannya menjadi tidak bergantung pada batas-batas politik dan batas alam. Selama yang bersangkutan mempunyai alat penerima sinyal (receiver) GPS, maka ia akan dapat menggunakan GPS untuk penentuan posisi.

Ketiga, penggunaan GPS dalam penentuan posisi relatif tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi topografis daerah survei dibandingkan dengan penggunaan metode terestris seperti pengukuran poligon. Penentuan posisi dengan GPS tidak memerlukan adanya saling keterlihatan antara satu titik dengan titik lainnya seperti yang umumnya dituntut oleh metode-metode pengukuran terestris. Yang diperlukan dalam penentuan posisi titik dengan GPS adalah saling keterlihatan antara titik tersebut dengan satelit. Oleh sebab itu topografi antara titik tersebut sama sekali tidak akan berpengaruh, kecuali untuk hal-hal yang sifatnya non-teknis seperti pergerakan personil dan pendistribusian logistik. Karena karakterisitknya ini, penggunaan GPS akan sangat efisien dan efektif untuk diaplikasikan pada survei dan pemetaan di daerah-daerah yang kondisi topografinya sulit, seperti daerah pengunungan dan daerah rawa-rawa.

Keempat, posisi yang ditentukan dengan GPS akan menagacu ke suatu datum global, yang dinamakan WGS 1984. Atau dengan kata lain posisi yang diberikan oleh GPS akan selalu mengacu ke datum yang sama. Karakterisitk ini sangat menguntungkan untuk kondisi Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan terdiri dari banyak pulau, dimana proses penghubung kerangka-kerangka titik di satu pulau dengan titik di pulau lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan kalau kita menggunakan metode terestris. Dalam hal ini seandainya GPS digunakan untuk penentuan posisi, maka suvei dan pemetaan yang dilakukan di Jawa misalnya, akan memberikan posisi titik-titik yang datumnya sama dengan titik-titik yang diperoleh dari survei dan pemetaan di Irian Jaya, meskipun tidak ada hubungan langsung secara langsung antara kedua survei GPS yang bersangkutan.

Kelima, GPS dapat memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas. Dari yang sangat teliti (orde militer) sampai yang biasa-biasa saja (orde puluhan meter). Luasnya spektrum ketelitian yang bisa diberikan ini memungkinkan penggunaan GPS secara efektif dan efisien sesuai dengan ketelitian yang diminta serta dana yang tersedia. Disamping itu, dengan spektrum ketelitian yang begitu luas GPS juga akan bermanfaat untuk banyak bidang aplikasi.

Keenam, pemakaian sistem GPS tidak dikenakan biaya, setidaknya sampai saat ini. Selama pengguna memiliki alat penerima (receiver) sinyal GPS maka yang bersangkutan dapat menggunakan sistem GPS untuk berbagai aplikasi tanpa dikenakan biaya oleh pihak yang memiliki satelit, dalam hal ini Departemen Pertahanan Keamanan, Amerika Serikat. Jadi investasi yang perlu dilakukan oleh pengguna hanyalah untuk alat penerima sinyal GPS beserta perangkat keras dan lunak untuk pemrosesan datanya.

Ketujuh, alat penerima sinyal (receiver) GPS cenderung menjadi lebih kecil ukurannya, lebih murah harganya, lebih baik kualitas data yang diberikannya, dan lebih tinggi keandalannya. Ini terutama disebabkan oleh kemajuan di bidang eletronika dan komputer yang sangat pesat dewasa ini. Perangkat lunak komersial untuk pengolahan data GPS juga semakin banyak tersedia dengan harga yang relatif murah. Disamping itu, karena banyaknya merek dan jenis receiver yang beredar, kompetisi antar sesama pembuat receiver juga semakin tinggi, yang salah satu dampaknya terhadap tersedianya semakin banyak receiver GPS yang lebih ‘user oriented’.

Kedelapan, pengoperasian alat penerima GPS untuk penentuan posisi suatu titik relatif mudah dan tidak mengeluarkan banyak tenaga. Dibandingkan dengan pengukuran terestris seperti dengan metode poligon misalnya, pengamatan dengan metode GPS relatif tidak terlalu memakan banyak tenaga dan waktu. Apalagi kalau perbandingannya dilakukan untuk daerah survei yang luas dengan kondisi medan yang berat.

Kesembilan, pengumpul data (Surveyor) GPS tidak dapat ‘memanipulasi’ data pengamatan GPS seperti halnya yang dapat dilakukan dengan metode pengumpulan data terestris yang umum digunakan, yaitu metode poligon. Ini tentunya akan meningkatkan tingkat keandalan dari hasil survei dan pemetaan yang diperoleh. Disamping itu juga pemberi kerja aan mendapatkan ‘keamanan’ dan jaminan kualitas yang lebih baik.

Kesepuluh, makin banyak instansi di Indonesia yang menggunakan GPS dan juga makin banyak bidang aplikasi yang potensial di Indonesia yang dapat ditangani dengan menggunakan GPS. Dengan makin banyaknya instansi yang menggunakan maka proses penyeragaman, koordinasi, dan pengelolan yang terkait dengan informasi spasial akan lebih mudah untuk dilaksanakan.

Dikutip dari Buku “Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya”. Dr. Hasanuddin Z. Abidin. Penerbit : Pradnya Paramita Jakarta.

Sejarah awal tentang Bumi dan Pasut

Tahukah anda ?

Ide bahwa bentuk Bumi adalah bulat berawal pada sekitar abad ke-4 SM. Ide ini lahir bukan dari dasar dan bukti ilmiah akan tetapi hanya berdasarkan alasan filosofis semata.

Mungkin hal ini sama dengan teori pasang surut menurut orang-orang Arab jaman dahulu. Orang-orang Arab jaman dahulu meyakini bahwa pasang yang terjadi di laut dikarenakan adanya ‘malaikat’ yang berdiri di laut, sehingga mengakibatkan air laut pasang, dianggap seolah-oleh meluber.

Seekor Anjing dan GLONASS

Kabar dari Rusia

Seekor Anjing dan GLONASS

Badan antariksa Rusia, Roscosmos, berhasil meluncurkan tiga satelit baru ke orbit, Kamis (24/12). Ketiga satelit ditujukan untuk mendukung jaringan sistem navigasi berbasis satelit yang tengah dibangun bekas negara komunis tersebut.

Satelit-satelit tersebut diluncurkan menggunakan roket Proton-M dari Kosmodrom Baikonur, Kazakhstan. Sebelumnya Rusia telah meluncurkan 17 satelit dalam sistem navigasi yang disebut global navigation satellite system (GLONASS).

Rusia berencana menempatkan total 24 satelit di orbit sebelum sistem navigasi tersebut diaktifkan. Pemerintah Rusia sedianya mengoperasikan secara penuh GLONASS mulai awal tahun ini. Namun, rencana tersebut tertunda karena masalah teknis.
GLONASS
Satelit Glonass Rusia

GLONASS didesain untuk menjangkau seluruh penjuru Bumi. Sistem satelit seperti ini akan menjadi pesaing satu-satunya sistem navigasi satelit di dunia saat ini yaitu global positioning system (GPS) buatan AS. Sistem navigasi satelit milik Rusia memang tak sepopuler GPS yang dikembangkan militer AS. Namun, cepat atau lambat jaringan satelit yang disebut Global Navigation Satellite System (GLONASS) itu akan menjadi saingan GPS.

Tampaknya seekor anjing akan menjadi hewan pertama pengguna sistem navigasi GLONASS ini. Mantan Presiden Rusia, Vladimir Putin memiliki seekor anjing bernama Koni, anjing ini berjenis labrador hitam yang dikalungi oleh kalung pelacak satelit.

Saat menjelaskannya kepada Putin, salah satu Deputi Putin, Sergei Inavov, mengatakan, alat ini akan berada pada kondisi stand by saat anjing tersebut tidak bergerak, misalnya saat berbaring di genangan air. Alat semacam itu memang bukan hal baru di dunia navigai. Namun, kalung yang dipakai Koni ini istimewa bagi Rusia karena menggunakan sistem navigasi buatan Rusia sendiri.

Sistem Navigasi dalam Dunia Hewan

Sistem navigasi adalah produk teknologi modern dari peradaban umat manusia. Sekarang untuk mencari alamat, objek atau bahkan pergerakan sesuatu di muka bumi bisa kita ketahui dengan pasti dengan menggunakan sistem navigasi. Sistem navigasi ini banyak dipakai oleh manusia di kendaraan, pesawat, dan kapal laut. Karena bumi itu luas dan daya nalar dan insting manusia terbatas untuk menjelajah bumi yang begitu luasnya.

GPS dan GLONASS adalah sistem dan teknologi navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki oleh dua negara adidaya dunia, yaitu USA dan Rusia. Sistem navigasi sudah menjadi bagian dari kebutuhan umat manusia modern. Selain itu bahkan sistem navigasi sudah menjadi trend pada masyarakat perkotaan, handphone, dan PDA sudah banyak yang mengaplikasikan sistem navigasi ini.

Ketika sistem navigasi otomatis di mobil dan kendaraan lainnya adalah inovasi terbaru dan masih sangat mahal harganya, tanpa kita sadari ternyata ada beberapa makhluk hidup di bumi yang memiliki sistem navigasi alamiah yang unik dan sangat luar biasa sekali dalam lingkaran kehidupan makhluk-makhluk itu. Ternyata di balik mahal dan gemerlapnya pengembangan sistem navigasi untuk manusia, Tuhan telah menganugerahkan sistem navigasi tersendiri untuk beberapa hewan di bumi, murah dan gratis.

Sudah menjadi naluri hewani bahwa ada beberapa hewan yang melakukan migrasi. Migrasi adalah perpindahan tempat dari satu tempat ke tempat lainnya. Contonya terdapat pada dunia burung, serangga, ikan dan beberapa mamalia. Fenomena migrasi ini menghasilkan jalur-jalur perpindahan yang dilewati oleh hewan-hewan tersebut. Sebut saja burung, pada burung jalur migrasi ada dua, yaitu jalur pergi dan jalur pulang, dan bahkan jalur-jalur ini akan berubah-ubah setiap kali musim migrasi berganti.

Lemmings

Lemmings

Hewan ini hidup di daerah tundra di daerah Arktik. Lemmings melakukan migrasi sejauh 10 mil per hari untuk mencapai daerah yang banyak makanannya.

Penyu Hijau

Penyu hijau

Hewan ini selalu kembali ke tempat kelahirannya untuk membangun keluarga (reproduksi). Penyu yang sedang hamil berenang lebih dari 1600 km dari tempat mereka mencari makan di Brasil. Mereka pergi ke P.Ascension di Samudera Atlantik Selatan. Dan yang pasti mereka tidak menggunakan GPS atau GLONASS

Ruby – throated Hummingbird

Burung

Burung mungil ini akan melakukan migrasi berupa terbang non-stop dari Amerika Utara ke teluk Meksiko.

Burung Bangau

Bangau

Burung ini akan terbang ke daerah yang aman dengan menggunakan pesawat terbang sebagai pemandunya. Menurut penelitian, ketika melakukan migrasi burung yang menggunakan pesawat terbang sebagai pemandu ini menganggap bahwa pesawat itu adalah kawanannya.

Paus Punggung Bongkok

Hewan ini menempuh jarak migrasi terjauh. Pada musim panas mereka akan berada di daerah perairan semenanjung Arktik. Saat musim dingin mereka akan berenang sejauh 8000 km ke daerah Columbia di sekitar khatulistiwa untuk berkembang biak.

Kupu-kupu Monarch

Hewan ini akan bermigrasi setiap muim gugur dari Amerika Utara dan Kanada ke California (USA) dan Meksiko. Jarak tempuhnya adalah sekitar 4500 km.

Salmon

Ikan ini harus kembali ke tempat kelahirannya untuk beranak dan kemudian mati. Mereka harus berenang dari laut (hilir) ke hulu sungai dengan menentang arus sejauh ratusan kilometer.

Divisi Keprofesian IMG

(Sumber : Kompas dan dari berbagai sumber)

Teknologi Penunjang Surveying

Teknologi Penunjang Surveying

dalam Pengadaan IDSN (Infrastruktur Data Spasial Nasional)

Kegiatan surveying adalah segala upaya pengukuran yang dilakukan yang ditujukan untuk mengakuisisi data yang dibutuhkan dalam proses pembuatan peta. Tujuan akhir yang akan kita tuju dari kegiatan surveying dalam bidang keilmuan Geodesi dan Geomatika adalah sebuah peta, apapun jenis peta tersebut apakah peta dasar atau peta tematik. Peta sendiri merupakan gambaran permukaan Bumi yang digambar pada kertas atau bidang datar lainnya yang digambar lebih kecil dengan perbandingannya yaitu skala.

Di peta tersebutlah kita bisa memberikan bebagai macam informasi spasial bagi penggunanya, seperti bentang alam, persil dan unsur-unsur buatan manusia. Tentu saja kesemuanya itu disajikan dalam sebuah peta dengan informasi spasialnya berupa posisi yang diwakili oleh koordinat peta. Koordinat peta di sini adalah koordinat objek pada bidang proyeksi, setelah melalui serangkaian proses transformasi dari ukuran di bidang pengukuran ke bidang proyeksi.

Disadari atau tidak di zaman globalisasi ini kebutuhan akan informasi spasial dirasa sangat mendesak dan penting sekali. Hal pertama yang sangat terkait dengan ketersediaan informasi spasial ini adalah kegiatan perecanaan dan kerekayasaan, tentu saja perencanaan dan kerekayasaan di sini adalah kegiatan yang berkaitan dengan teknis pembangunan daerah. Kegiatan lainnya memerlukan infomasi spasial adalah kegiatan pendaftaran tanah oleh BPN. Sederhananya BPN memerlukan koordinat-koordinat persil yang kemudian akan didaftarkan dan dipetakan dalam sebuah peta tematik skala tertentu.

Singkatnya dibutuhkan informasi spasial mengenai bentang alam yang ada, sebaran persil dan sebaran potensi, baik itu potensi SDA dan SDM di daerah tersebut. Untuk menyediakan informasi spasial tersebut maka akan dibutuhkan kegiatan surveying. Kesimpulannya adalah bahwa informasi spasial semakin ke sini semakin dibutuhkan oleh banyak kalangan, konsekuensinya adalah akan ada banyak kegiatan surveying di lapangan untuk mengakuisisi data, apalagi bila dibutuhkan informasi spasial yang updateable, mengingat bahwa kegiatan manusia itu dinamis, maka dampaknya adalah sangat mungkin bahwa laju perubahan bentang alam, persil, tata guna lahan, dan unsur buatan manusia lainnya akan sangat cepat.

Dengan kondisi seperti di atas maka dibutuhkan moda kegiatan surveying yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu di antaranya adalah cepat, praktis, mudah dan hemat. Atau dengan kata lain ketika tuntutan akan ketersediaan informasi spasial tinggi dan di waktu yang sama kegiatan surveying (akuisisi data spasialnya) harus cepat, praktis, mudah dan hemat.

Ini mungkin sesuai dengan kaidah hukum ekonomi, yaitu ‘dengan pengorbanan sekecil-kecilnya mendapat barang ekonomi sebanyak-banyaknya’. Untuk mewujudkan hal tersebut maka kita tidak bisa menolak campur tangan dari teknologi dalam kegiatan surveying. Teknologi di sini tentu saja berperan dalam beberapa hal dalam kegiatan surveying yaitu dalam hal peralatan survei, metode survei dan pengolahan serta penyajian data.

Salah satu teknologi baru yang bisa dan sangat berpotensi untuk digunakan lebih lanjut lagi adalah penggunaan GPS. GPS atau Global Positioning System adalah sistem navigasi dan penentuan posisi berbasiskan satelit. Sistem ini didesain sedemikian rupa sehingga bisa memberikan posisi 3D. Data inilah yang diperlukan dalam penentuan koordinat objek, yang nantinya setelah melalui proses transformasi baru bisa disajikan dalam peta (setelah memiliki koordinat bidang proyeksi).

Yang pertama, teknologi ini (GPS) bisa diaplikasikan dalam proses penyediaan titik-titik dasar pemetaan darat. Titik dasar ini sendiri didefinisikan sebagai titik tetap (fixed) yang sudah memiliki koordinat dan ketinggian dan dijadikan sebagai titik ikat, dipakai untuk menentukan koordinat dan ketinggian titik-titik lainnya yang ada di sekitar titik tersebut. Keberadaan titik dasar ini sangat penting sekali, diantaranya yaitu dipakai untuk kegiatan rekonstruksi persil tanah, dan penentuan posisi batas-batas persil tanah.

Kerangka Dasar Nasional

Titik-titik dasar ini ada beberapa macam yang disesuaikan dengan tingkat kerapatan, tingkat ketelitian koordinat relative dan juga orderisasi secara nasional. Pengadaanya sendiri dilakukan oleh BPN, kesemuanya itu (titik-titik dasar) dihimpun menjadi sebuah jaringan Kerangka Dasar Kadaster Nasional (KDKN) yang terdiri dari orde-2, orde-3, dan orde-4. Teknik pengadaan koordinat dari KDKN tersebut bisa dilakukan dengan metode static survey GPS.

Mengapa dipilih metode static survey GPS ?. Tentu saja jawabannya adalah terdapat beberapa kelebihan yang tidak didapat jika kita menggunakan metode terestris biasa. Keuntungannya antara lain, tidak diperlukan saling keterlihatan antara titik yang diukur, relative tidak dipengaruhi oleh cuaca, datum referensi yang dipergunakan akan sama (karena sama-sama menggunakan metode survei GPS), sehingga kegiatan pemetaan bisa dilakukan dalam sistem skala nasional tunggal, tanpa harus adanya transformasi antar datum yang menguras waktu dan biaya dan informasi spasial yang didapat bisa saling diintegrasikan tanpa harus takut adanya perbedaan datum referensi. Selain itu keuntungan lainnya adalah kita bisa mengadakan koordinat KDKN yang banyak tersebut dengan cepat dan biaya yang relative murah, dan yang lebih penting lagi adalah tingkat ketelitian dari hasil survei GPS dalam hal pengadaan koordinat KDKN cukup tinggi, yaitu berada pada tingkat centimeter.

Teknologi GPS juga bisa dikombinasikan dalam kegiatan penentuan dan rekonstruksi batas persil tanah. Penentuan posisi dari batas persil tanah diperlukan untuk kemudian dimasukan ke dalam peta batas persil tanah, hal ini berkaitan dengan informasi dan pendaftaran tanah masyarakat. Metode survei GPS yang dilakukan bisa ada dua jenis yaitu metode langsung, artinya bila persil tanah berada di tanah yang terbuka dan dimungkinkan untuk dilakukan survei GPS secara langsung, maka kita bisa menerapkan metode survei GPS stop and go. Pada metode ini titik-titik yang akan kita amati diam (static) jadi kita bergerak dengan membawa receiver mengikuti bentuk dari persil tersebut.

Walaupun teknologi GPS ini memiliki banyak kelebihan tapi ia memiliki kekurangan juga, yaitu tidak bisa dipergunakan di area yang memiliki kerapatan pepohonan yang tinggi dan banyak. Tapi kegiatan surveying tentu saja tidak akan terhenti sampai di sini. Untuk menyiasati hal tersebut maka dibutuhkan campur tangan teknologi lainnya, yaitu dari segi peralatan. Untuk menentukan batas-batas persil tanah di area yang tidak dimungkinkan dilakukan pengamatan GPS, kita bisa secara langsung mendapatakan posisinya, dengan mengkombinasikan receiver GPS dengan alat pengukut jarak dan sudut (teodolit) atau sering juga disebut dengan LPS (Laser Positioning System). Praktisnya adalah LPS ini ditempatkan di area terbuka di dekat persil tanah yang akan diukur, kemudian kita bisa secara langsung mengukur sudut dan jarak batas-batas persil tanah. Di waktu yang bersamaan kita bisa mendapatkan posisi tempat kita mendirikan alat, maka dengan menggunakan formula matematika tertentu posisi/koordinat dari batas-batas persil tanah bisa diketahui.

Mengingat karakteristik dari penambahan teknologi modern dalam kegiatan surveying yang sangat logis jika dipakai, maka penggunaan teknologi GPS dan penggunaan alat teodolit yang modern itu dalam kegiatan Surveying akan bisa diterima dan diaplikasikan secara meluas di Indonesia (dengan karakteristik berbentuk Negara kepulauan). Sehingga diharapkan permasalahan IDSN (Infrastruktur Data Spasial Nasional) di Indonesia ke depannya bisa diselesaikan dengan metode Surveying berteknologi GPS dan menggunakan peralatan yang modern juga.

Keprofesian Kita

Profesi Geodesi & Geomatika

Mungkin banyak orang awam yang belum mengetahui apa itu keilmuan Geodesi & Geomatika (G & G) dan profesi apa saja yang bisa digeluti oleh orang-orang yang menggeluti keilmuan Geodesi & Geomatika. Memang bidang keilmuan ini belum diketahui secara luas oleh masyarakat awam, akan tetapi keilmuan yang berada di lingkup G & G sangat banyak dan tersebar di segala bidang, hanya orang-orang saja yang tidak mengetahui bahwa pekerjaan itu termasuk ke dalam bidang G & G.

Mungkin ketika orang mendengar bahwa kita kuliah di Teknik G & G banyak yang mengerutkan keningnya. “Apa itu Geodesi?”, “Kerja apaan di Geodesi?”. Itulah beberapa pertanyaan yang mungkin terlontar dari orang-orang. Indikasi lain bahwa bidang keilmuan G & G belum banyak dikenal bisa dilihat dari jumlah peminat di PTN atau PTS, misalnya ITB. Sejak zamannya memilih langsung jurusan waktu SPMB sampai sekarang yang “diasramakan” di masa-masa TPB, G & G selalu menjadi prioritas terakhir (walaupun ada yang memilih menjadi prioritas pertama). Itu karena ketidaktahuan mereka, tentu saja.

Padahal kalau saja mereka tahu dan banyak digalakan promosi tentang keilmuan ini, peminat yang membludak adalah keniscayaan. Mengingat bahwa bidang keilmuan ini mengalami dinamisasi sesuai dengan perjalanan zaman, perkembangan IPTEK dan kesadaran umat manusia akan pentingnya informasi spasial. Ya, informasi spasial merupakan modal dasar dalam keilmuan G & G, secara umum ilmu G & G bergelut dengan koordinat segala objek yang berada di semesta ini sebagai informasi spasialnya, yang tentu saja akan dipergunakan untuk berbagai keperluan.

Dalam perkembangannya yang awal sekali ada adalah ilmu Geodesi, adapun Geomatika merupakan jawaban dari perkembangan IPTEK dan peradaban umat manusia. Geodesi adalah bidang ilmu inter-disiplin yang menggunakan pengukuran-pengukuran pada permukaan Bumi serta dari wahana pesawat dan wahana angkasa untuk mempelajari bentuk dan ukuran bumi, planet-planet dan satelitnya, serta perubahan-perubahannya; menentukan secara teliti posisi serta kecepatan dari titik-titik ataupun objek-objek pada permukaan bumi atau yang mengorbit Bumi dan planet-planet dalam suatu sistem referensi tertentu; serta mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk berbagai bidang aplikasi ilmiah dan rekayasa menggunakan matematika, fisika, astronomi, dan ilmu komputer

Sedangkan Geomatika adalah suatu terminologi ilmiah modern yang mengacu pada pendekatan terpadu dari pengukuran, analisis, pengelolaan, penyimpanan dan penyajian deskripsi dan lokasi dari data yang berbasis muka bumi, yang umumnya disebut data spasial. Geomatika muncul dalam konteks integrasi beberapa profesi atau disiplin ilmu yang saling berhubungan dengan bidang geo-informasi.

Geomatika ada sebagai jawaban dari perkembangan yang pesat bidang geodesi, yang menuntut adanya spesifikasi kajian dari implementasi ilmu geodesi yang terintegrasi dengan ilmu lainnya untuk mengeksplor secara detail geoinformasi. Dari sini kita dapat melihat bahwa Geodesi merupakan tatanan dasar penting bagi Geomatika, terlepas dari kita ingin memilah-milah keberadan keilmuan tersebut, atau tidak.

Berikut ini merupakan penjelasan dari sebagian kecil keprofesian kita.

Pengukuran bidang tanah

Ini merupakan pekerjaan khas dalam geodesi. Masyarakat tentu lebih mengetahui pekerjaan ini disbanding pekerjaan geodesi lainnya. Ini merupakan pekerjaan yang boleh dibilang kuno, pengukuran bidang tanah telah ada sejak zaman Firaun berkuasa di Mesir. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan koordinat ujung-ujung persil tanah yang akan dibuat menjadi peta. Dari pengukuran ini bisa diketahui luas persil tersebut, yang nantinya akan dipergunakan untuk keperluan perpajakan seperti PBB, urusan jual beli tanah, keperluan informasi RTRW dan RTRK, perekayasaan jalan, lingkungan dll. Institusi yang bergelut di bidang ini yaitu BPN dan ada juga banyak perusahaan swastanya.

Peralatan yang biasa digunakan adalah teodolit dengan berbagai tipe dari yang kuno sampai yang paling modern seperti ETS dsb. Selain perkembangan alat, metode pengukuran tanah pun berkembang, misalnya dengan menggunakan metode stop and go dengan menggunakan GPS kinematik. Kelebihannya adalah bentuk/peta persil bisa langsung didapatkan karena pengukuran bidang tanah dilakukan secara real time.

Sistem Navigasi

Sistem navigasi yang dipergunakan mulai dari yang konvensional sampai modern. Dari penggunaan geodesi astronomis, dengan menggunakan bintang dan matahari untuk mengetahui posisi lintang dan bujur kita (φ dan λ) sampai penggunaan satelit, seperti GPS, GLONASS, dan GALILEO.

Sistem navigasi ini dipergunakan oleh berbagai macam moda transportasi di bumi. Kendaraan pribadi, pesawat terbang, kapal laut, kereta api bahkan peralatan perang modern pun menggunakan sistem navigasi. Sistem navigasi ini beperan dalam memandu objek yang sedang dalam perjalanan agar tidak tersesat. Dan bahkan informasi posisi dalam pernavigasian sangat berharga untuk melakukan SAR secara cepat ketika terjadi kehilangan kontak atau kecelakaan pada objek tersebut.

Pencitraan Satelit

Pencitraan satelit merupakan produk modern dalam keilmuan Geodesi. Penggunaan citra satelit diantaranya adalah untuk keperluan militer (mata-mata), identifikasi luas hutan, lahan komersial, pertanian, perkebunan, dan perikanan, pengawasan kebakaran hutan, rekonstruksi bencana alam (tsunami, longsor) dll.

Geodesi Satelit

Geodesi Satelit dapat didefinisikan sebagai sub dari bidang ilmu geodesi yang menggunakan bantuan satelit (alam ataupun buatan manusia) untuk menyelesaikan problem-problem geodesi. Menurut Seeber (1993) Geodesi Satelit meliputi teknik-teknik pengamatan dan perhitungan yang digunakan untuk memecahkan problem-problem geodesi dengan menggunakan pengukuran-pengukuran yang teliti ke, dari, dan antara satelit buatan yang umumnya dekat dengan permukaan bumi. Geodesi satelit memiliki banyak aspek-aspek keilmuan, yang secara umum diantaranya meliputi teori orbit, sinyal dan propagasi, dinamika satelit, sistem waktu, sistem koordinat, dan lain-lain.

Sistem geodesi satelit tertua adalah sistem astronomi geodesi yang berbasiskan pada pengamatan bintang, dan sampai saat ini masih digunakan meskipun terbatas pada aplikasi-aplikasi tertentu saja. Sebagai contoh metode ini telah digunakan sejak 1884 untuk penentuan lintang secara teliti di Potsdam. Disamping itu metode astronomi geodesi ini juga sudah berkontribusi dalam pengamatan pergerakan kutub (polar motion) sejak tahun 1890 (FGS, 1998).

Teknik fotografi satelit merupakan teknik geodesi satelit (buatan) tertua. Metode fotografi satelit ini berbasiskan pada pengukuran arah ke satelit, yaitu dengan pemotretan satelit berlatar bintang-bintang yang telah diketahui koordinatnya. Dengan menggunakan jaringan kamera Baker-Nunn, metode ini telah dimanfaatkan untuk menjejak satelit-satelit buatan generasi awal seperti Sputnik-1 dan 2, Vanguard-1, dan GEOS-1 pada era 1957 sampai awal 1960-an; dan telah berhasil mengestimasi penggepengan serta bentuk “pear-shape” 7 dari Bumi.

Metode LLR (Lunar Laser Ranging) yang berbasiskan pada pengukuran jarak ke Bulan dengan menggunakan sinar laser, mulai berkembang sejak tahun 1969, yaitu sejak ditempatkannya sekelompok reflektor laser di permukaan Bulan oleh misi Apollo 11. Metode yang prinsipnya sama dengan metode SLR (Satellite Laser Ranging) ini, masih digunakan sampai saat ini. Sedangkan metode VLBI (Very Long Baseline Interferometry) yang berbasiskan pada pengamatan gelombang radio yang dipancarkan oleh kuasar pada dua lokasi pengamatan yang berjarak jauh, mulai umum digunakan sejak tahun 1965 dan sampai saat sekarang ini masih dimanfaatkan untuk aplikasi-aplikasi geodetik berketelitian tinggi.

Sistem satelit altimetri yang berbasiskan pada pengukuran jarak muka laut dari satelit dengan menggunakan gelombang radar mulai berkembang pada tahun 1973, dengan diluncurkannya satelit Skylab yang merupakan satelit pertama yang membawa sensor radar altimeter. Sistem satelit altimetri ini terus dimanfaatkan sampai saat ini dengan menggunakan misi-misi satelit terbaru seperti Topex/Poseidon dan Jason, terutama untuk mempelajari karakteristik dan dinamika lautan dan interaksinya dengan fenomena-fenomena atmosfir.

Dalam konteks sistem satelit navigasi, sistem TRANSIT (Doppler) adalah sistem satelit navigasi yang pertama dibangun. Sistem ini didesain pada tahun 1958, dan dinyatakan operasional pada tahun 1964 (untuk pihak militer) dan 1967 (untuk pihak sipil). Pada saat ini sistem satelit ini praktis sudah tidak digunakan lagi, tergantikan oleh sistem-sistem GPS dan GLONASS [Abidin, 2000]. Kalau diringkaskan maka sistem-sistem yang masih banyak dimanfaatkan dalam bidang geodesi satelit saat ini adalah sistem-sistem SLR, LLR, VLBI, satelit altimetri dan satelit navigasi GPS dan GLONASS, InSAR, Satelit Gravimetrik (GOCE, GRACE) dan nanti akan muncul Sateli Galileo.

Pemanfaatan sistem pengamatan geodesi satelit pada saat ini sangat luas spektrumnya. Spektrum aplikasinya mencakup skala lokal sampai global, dari masalah-masalah teoritis sampai aplikatif, dan juga mencakup matra darat,laut, udara, dan luar angkasa. Contoh beberapa aplikasi geodesi satelit diantaranya untuk bidang aplikasi geodesi global (penentuan parameter-parameter orientasi Bumi,penentuan model dari Bumi, termasuk dimensi dari ellipsoid referensi nya,penentuan model medan gaya berat Bumi, termasuk geoid globalnya,studi-studi geodinamika,pengadaan kerangka referensi global, dan Unifikasi datum-datum geodesi (termasuk datum regional, datum nasional, dan datum lokal)), studi geodinamika (pengadaan jaringan pemantau untuk mempelajari pergerakan lempeng (plate/crustal motions) ataupun sistem sesar (fault system),penentuan parameter-parameter pergerakan kutub (polar motion) dan rotasi bumi (earth rotation), dan penentuan parameter-parameter dari pasang surut bumi), penentuan titik kontrol geodesi (pengadaan kerangka dasar titik-titik kontrol (nasional maupun lokal), pembangunan jaringan titik kontrol 3-D yang homogen,analisa dan peningkatan kualitas dari kerangka titik kontrol terestris yang ada,pengkoneksian kerangka geodetik antar pulau, dan densifikasi dan ekstensifikasi dari jaringan titik kontrol), navigasi dan geodesi kelautan (navigasi dan penjejakan (tracking), baik untuk wahana darat, laut, udara, maupun angkasa,penentuan posisi untuk keperluan survei pemetaan laut (hidrografi, oseanografi, geologi kelautan, geofisika kelautan, eksplorasi, eksploitasi,pengkoneksian antar stasion pasut (unifikasi datum tinggi),penentuan SST (Sea Surface Topography), dan penentuan pola arus dan gelombang).

Sumber : http://gd.itb.ac.id

Earthquake Geodesy

Pada awal tahun 90-an, mulai dikenal istilah “Earthquake Geodesy”, yang dapat dipaparkan secara umum sebagai kontribusi data geodetik dalam bidang kajian gempa bumi. Interdisiplin ilmu bagi bidang seismologi ini dirasakan pengaruhnya cukup positif dalam upaya untuk lebih memahami mekanisme dari fenomena kejadian gempa bumi. Data geodetik (contoh data GPS dan InSAR) dapat mendokumentasikan kejadian-kejadian deformasi dalam sebuah aktifitas gempa bumi seperti tahapan akumulasi deformasi sebelum terjadi gempa bumi (interseismic deformation), tahapan terjadinya ketidakmampuan kerak bumi dalam merespon akumulasi energi deformasi kemudian menghasilkan gempa bumi (co-seimic deformation), tahapan deformasi ketika release energy pasca gempa bumi (post-seismic) dan tahapan lainnya. Hasil dokumentasi yang diberikan data geodetik tersebut telah memberikan kontribusi yang besar bagi pemahaman secara fisik dari kejadian alam yang berkaitan dengan masalah gempa bumi tersebut (Hudnut, 1994).

SIG (Sistem Informasi Geografis)

SIG adalah sebuah sistem yang berkaitan dengan manajemen data spasial dan data-data atributnya. Yang bekerja dengan menggunakan komputer yang melingkupi kegiatan penggabungan data, penyimpanan data, editing, analisis, dan visualisasi data dan informasi spasial. Atau dengan kata lain SIG ini merupakan smart map, karena ia bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan berbagai macam query yang interaktif (pengguna bisa memilih dan mencari data sendiri dengan bebas), analisis data dan pengeditan data.

SIG bisa dipakai dalam berbagai macam kehidupan dan aktivitas, mulai dari LSM-LSM yang mengurusi masalah lingkungan, dan sosial, keperluan komersial, minyak dan gas, barang tambang lainnya, sekolah, institusi pendidikan, sampai pada urusan politik bisa dibantu dengan menggunakan SIG ini. Produk lainnya yang sedang berkembang adalah Google Earth, 3-D building dengan LIDAR, dll.

Kerekayasaan Perairan

Dewasa ini banyak sekali pekerjaan di laut, misalnya pengeboran lepas pantai, peletakan pipa dan kabel bawah laut, aktivitas penangkapan ikan, Early warning system untuk keperluan mitigasi bencana alam di laut, dll. Kesemua aktivitas itu tidak bisa lepas dari keilmuan G & G, seperti yang telah dijelaskan di atas. Mulai dari koordinat, 3-D modeling, survey batimetrik, pengoperasian robot bawah laut (ROV), pengukuran sedimentasi muara, sungai, dan danau, pemanfaatan SIG, penggunaan GPS fish finder, dll.

Jadi siapa bilang profesi Geodesi & Geomatika terbatas atau hanya terbatas pada kegiatan pengukuran bidang tanah. Anda semua bisa menyimpulkan sendiri bahwa bidang keilmuan ini adalah bidang keilmuan yang dinamis dan bisa berada di mana saja. Darat, laut dan udara, dari urusan sosial sampai politik, mitigasi bencana sampai pada urusan komersial. Kerekayasaan sampai urusan migas dan barang tambang. Satu hal yang pasti G & G tidak bisa dilepaskan dari koordinat/informasi spasial. Dari sinilah bisa diturunkan banyak sekali profesi-profesi yang memang sangat bermanfaat dan memperkaya peradaban manusia.

G & G from Hero to Hero.

Dunia berputar lebih cepat meski cuma sekitar 1 detik

Jangan heran, jika anda merasa dari hari-kehari terasa perubahan pergerakan waktu semakin cepat, karena di tahun 2004 planet bumi yang kita diami lebih cepat sekitar 1 detik.

Para penjaga waktu dunia yang menghitung hari, jam dan detik berdasarkan jam atom menyatakan bahwa planet bumi akan berputar lebih cepat. Karena itulah tahun ini tidak ada penyesuaian penambahan waktu untuk menyesuaikan rotasi bumi dengan jam atom.

Sejak tahun 1999 para ilmuwan di Institut teknologi waktu dan Frekwensi, AS, menyatakan rotasi bumi dari tahun-ketahun semakin cepat, meskipun menurut bukti yang didasarkan atas penghitungan astronomi dikatakan bahwa 4 hingga 5 juta tahun lalu 1 hari hanya 20 jam bukan seperti sekarang yang 1 hari sama dengan 24 jam.

Perlu diketahui pula bahwa sejak bumi ada, tiap abad waktu bumi melambat 1.5 Milidetik, sehingga pada tahun 1972 para penjaga waktu dunia bersepakat menambahkan waktu 0.9 detik tiap pertengahan tahun dan akhir tahun. Hingga saat ini jumlah waktu hilang yang telah ditambahkan sekitar 22 detik.

Percepatan rotasi bumi bisa dikarenakan oleh adanya efek perubahan cuaca dan gerakan-gerakan dari dalam perut bumi. Selain itu gerakan-gerakan dari planet-planet lain di tata surya bisa menyebabkan adanya efek penambahan atau pengurangan waktu di bumi.

Biasanya setiap akhir tahun, komisi waktu di tiap negara menambah waktu satu detik untuk penyesuaian rotasi bumi dan jam atom, dengan tidak adanya penyisipan waktu di tahun ini, berarti bumi yang kita diami ini semakin cepat meskipun cuma 1 detik saja.

Badai Matahari Bisa Kacaukan GPS pada 2011

Sistem navigasi pesawat dan telekomunikasi yang memanfaatkan satelit-satelit global positioning systems (GPS) akan terganggu badai Matahari pada tahun 2011. Sebab, alat penerima sinyal GPS sangat peka terhadap sinyal pengganggu (noise) yang dihasilkannya.

matahari

Badai Matahari terbentuk karena terjadinya gejolak di atmosfer Matahari yang dipicu terbentuknya bintik hitam (sunspot). Bintik hitam merupakan daerah yang mempunyai suhu lebih rendah dibanding daerah sekitarnya.

Kondisi tersebut memicu lidah api (solar flare) dan coronal mass ejection (CME) atau terlontarnya materi matahari yang juga mencapai Bumi. Partikel-partikel bekecepatan tinggi dalam jumlah besar yang sampai ke atmosfer Bumi menghasilkan aurora dan badai geomagnetik. Inilah yang disebut para astronom solar storm atau badai Matahari.

Aktivitas yang terjadi secara berkala tersebut akan mencapai puncaknya kembali pada tahun 2011 hingga 2012. Puncak aktivitas atau disebut solar maximum umumnya terjadi setiap 11 tahun sesuai dengan siklus perubahan medan magnetik Matahari.

Noise

Partikel bermuatan listrik yang dilontarkan Matahari menghasilkan noise pada frekuensi radio 1,2 hingga 1,6 gigahertz. Umumnya noise yang terjadi pada frekuensi yang juga dipakai sinyal GPS ini sangat kecil, sehingga penerima GPS akan menerima sinyal yang sangat buruk pada saat terjadi badai Matahari.

“Jumlah dan intensitas noise akan meningkat dan dapat mengaburkan sinyal GPS selama periode ini,” kata Paul Kintner dari Departemen Teknik Elektro Universitas Cornell. Kintner memperkirakan badai Matahari yang terjadi saat itu dapat menurunkan kualitas sinyal GPS hingga 90 persen selama berjam-jam dan satu waktu.

Hal tersebut bisa menjadi masalah besar bagi dunia penerbangan. Sistem navigasi pesawat pada umumnya menggunakan GPS untuk menentukan posisi pesawat dan pengatur lalu lintas pesawat menggunakannya untuk menentukan jarak antarpesawat serta pengaturan proses take off dan landing.

Badai matahari juga dapat mengganggu sinyal GPS yang juga digunakan untuk menyeleraskan jaringan telekomunikasi, misalnya sistem code division multiple access (CDMA). Salah satu solusinya, kata Kintner, mungkin meningkatkan sinyal GPS. Namun, hal tersebut harus dilakukan dengan mengubah desain satelit GPS baik hardware maupun software-nya.

“Masalah ini agak terlewatkan, sebab sistem GPS telah telah menyebar pada periode yang relatif mengalami aktivitas badai Matahari yang tidak besar,” ujarnya.

Siklus Hidrologi

Sumber : http://www.lablink.or.id/

Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan, salju, hujan batu, hujan es dan salju (sleet), hujan gerimis atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:

* Evaporasi / transpirasi - Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

* Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah - Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

* Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut. Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sisten Daerah Aliran Sungai (DAS).Jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap, yang berubah adalah wujud dan tempatnya.

Siklus Hidrologi

Kata Kunci :

Evaporasi (Penguapan)
Ketika air dipanaskan oleh sinar matahari, permukaan molekul-molekul air memiliki cukup energi untuk melepaskan ikatan molekul air tersebut dan kemudian terlepas dan mengembang sebagai uap air yang tidak terlihat di atmosfir. Sekitar 95.000 mil kubik air menguap ke angkasa setiap tahunnya. Hampir 80.000 mil kubik menguapnya dari lautan. Hanya 15.000 mil kubik berasal dari daratan, danau, sungai, dan lahan yang basah, dan yang paling penting juga berasal dari tranpirasi oleh daun tanaman yang hidup. Proses semuanya itu disebut Evapotranspirasi.

Transpirasi (penguapan dari tanaman)
Uap air juga dikeluarkan dari daun-daun tanaman melalui sebuah proses yang dinamakan transpirasi. Setiap hari tanaman yang tumbuh secara aktif melepaskan uap air 5 sampai 10 kali sebanyak air yang dapat ditahan.

Kondensasi (pengembunan)
Ketika uap air mengembang, mendingin dan kemudian berkondensasi, biasanya pada partikel-partikel debu kecil di udara. Ketika kondensasi terjadi dapat berubah menjadi cair kembali atau langsung berubah menjadi padat (es, salju, hujan batu (hail)). Partikel-partikel air ini kemudian berkumpul dan membentuk awan.

Presipitasi
Presipitasi pada pembentukan hujan, salju dan hujan batu (hail) yang berasal dari kumpulan awan. Awan-awan tersebut bergerak mengelilingi dunia, yang diatur oleh arus udara. Sebagai contoh, ketika awan-awan tersebut bergerak menuju pegunungan, awan-awan tersebut menjadi dingin, dan kemudian segera menjadi jenuh air yang kemudian air tersebut jatuh sebagai hujan, salju, dan hujan batu (hail), tergantung pada suhu udara sekitarnya.

Perkolasi / Infiltrasi
Beberapa presipitasi dan salju cair bergerak ke lapisan bawah tanah, mengalir secara infiltrasi atau perkolasi melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan sehingga mencapai muka air tanah (water table) yang kemudian menjadi air bawah tanah.

Mimpikah Tentang Mega-Minyak di Aceh??

Klaim BPPT menemukan potensi minyak raksasa dipertanyakan. Jepang digandeng untuk membuktikannya.
Berkas fotokopi dengan kop Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi masih tersimpan di tas berwarna hitam. Jana T. Anggadiredja, pemilik tas tersebut, telah menyampaikan berkas yang asli kepada Profesor Asahiko Taira di Tokyo, Jepang, Kamis pekan lalu. “Beliau setuju dengan proposal yang kami ajukan,” ujar Profesor Jana, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam.BPPT memang mengusulkan kepada pentolan konsorsium Integrated Ocean Drilling Program itu agar melakukan pengeboran di lokasi gempa Aceh dengan kapal riset Chikyu. Kapal milik Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (Jamstec) ini dipilih karena mampu mengebor di laut sampai kedalaman 7.500 meter dari dasar samudra. Dengan kapal ini BPPT ingin membuktikan ada-tidaknya potensi 320 miliar barel hidrokarbon di perairan barat Aceh.Selain menjadi koordinator konsorsium, Profesor Taira adalah petinggi Jamstec. Dalam rencana penelitian lembaga ini, tahun depan Chikyu bakal mengebor di perairan Selat Makassar. Menurut Jana, pihaknya mengusulkan agar Chikyu juga melakukan aktivitas yang sama di perairan antara Pulau Simeulue dan pesisir barat Aceh. “Mereka sedang membahas rincian pembiayaannya,” ujar Jana.Dalam kunjungannya itu, Jana didampingi Dr. Yusuf Surachman, Kepala Pusat Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT. Kedua pejabat ini tampaknya harus ngebut untuk menjawab kritik sejumlah ahli geologi atas klaim BPPT yang dahsyat itu.Menurut Kepala BPPT Prof. Dr. Said D. Djenie, minimal terdapat 107,5 miliar barel dan maksimai 320,79 miliar barel hidrokarbon, bahan dasar minyak, di daerah cekungan busur muka Pulau Simeulue, Aceh. Jika benar ada, potensi itu jelas raksasa. Cadangan hidrokarbon terbesar di dunia saat ini berada di Arab Saudi, sebanyak 264,21 miliar barel. Di lapangan Banyu Urip, Cepu, yang merupakan cadangan minyak terbesar Indonesia saat ini, cuma ada 450 juta barel.

Said menjelaskan, akhir 2006, BPPT mengirim informasi itu ke Departemen Energi dan Mineral, namun hingga saat ini tidak ada tanggapan. “Pemerintah harus melakukan pengamanan agar lokasi ini dikuasai negara,” kata Said, yang mensinyalir awal bulan lalu kapal survei investor asing di bidang perminyakan berada di lokasi itu.

Maka, temuan BPPT itu pun menghiasi halaman muka sejumlah koran. Maklum, dengan minyak sebesar itu, sebagian masalah ekonomi yang selama ini melilit Indonesia bakal teratasi. Temuan itu juga menjadi menarik karena selama ini eksplorasi minyak dan gas di Indonesia berada di daerah busur belakang (lihat peta). Artinya, daerah cekungan busur muka lainnya seperti Bengkulu, Banten, Lombok, dan Laut Sulawesi juga ada kemungkinan kaya akan hidrokarbon.

Sejumlah ahli geologi dan pengeboran menganggap klaim BPPT itu terlalu dini. Mereka khawatir informasi yang dikeluarkan BPPT seperti kasus Busang yang meledak pada 1997. Ketika itu, perusahaan Bre-X mengklaim menemukan cadangan emas 6.200 ton di Busang, Kalimantan. Harga saham perusahaan Kanada ini pun melambung. Nyatanya, dari hasil penyelidikan, sampel yang diambil itu palsu.

Awang Harun Satyana, ahli geologi di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), mengibaratkan BPPT baru melihat bagian luar rumah, tapi seolah sudah tahu isi di dalamnya. “Padahal mereka belum tahu barang apa yang ada di dalamnya,” katanya. Menurut Awang, banyak perusahaan tertipu oleh adanya bright spot atau tampilan data seismik yang lebih terang dari daerah sekitarnya. Pernah ada perusahaan yang mengebor di laut dalam Selat Makassar berdasarkan data semacam itu, ternyata tidak menemukan minyak atau gas.

Kelemahan lain yang dilihat Awang menyangkut lintasan survei seismik yang terlalu panjang dan cara perhitungan kasar. Menurut dia, data prospek bisa diperoleh oleh survei seismik dengan jarak rapat, di bawah lima kilometer. Sementara data BPPT diperoleh dari survei dengan jarak lintasan 60 kilometer.

Awang menyarankan BPPT melaku¬kan survei lebih lanjut, antara lain penelitian tentang gaya berat dan magnetik guna mengetahui konfigurasi cekungan. Lalu survei seismik dua dimensi dengan kerapatan antara 5 sampai 10 kilometer. Setelah itu dilakukan analisis kemungkinan keberadaan hidrokarbon. “Jika dari kajian ini positif, baru dilakukan pengeboran,” ujarnya.

Konsultan geologi Andang Bachtiar memperkirakan butuh waktu tiga tahun untuk membuktikan temuan itu. “Biayanya paling tidak tiga sampai lima juta dolar Amerika,” kata mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia ini. Sedangkan untuk sampai tahap eksplorasi, menurut dia, perlu waktu tujuh tahun.

Peneliti BPPT sendiri tidak sengaja menemukan lokasi itu. Awalnya mereka bersama Institut Geologi dan Sumber Daya Alam Jerman (BGR) melakukan studi pascagempa tsunami di Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004. Penelitian gabungan ini menggunakan kapal riset Sonne untuk mengetahui mekanisme terjadinya bencana dahsyat itu dan melihat deformasi struktur geologi di daerah busur muka perairan barat Sumatra.

Sampailah mereka ke perairan timur laut Pulau Simeulue. “Kami menemukan struktur geologi yang berasosiasi dengan keberadaan hidrokarbon,” ujar Yusuf yang menjadi koordinator peneliti dari BPPT. Struktur ini memiliki sejumlah bagian (lihat infografik) dan ketebalan sedimen mencapai 5.000 meter. Yusuf mengakui, harus ada parameter lain sehingga hidrokarbon terbentuk di struktur itu.

Dalam teori pembentukan minyak dan gas, cekungan bisa dianalogikan dengan dapur. Batuan yang mengandung karbon dapat menghasilkan minyak ketika terendapkan dan terkubur. Semakin dalam terkubur bakal semakin panas sehingga terjadi proses pematangan dari batuan induk. Memang tidak semua karbon akan dapat “dimasak” dalam dapur minyak ini.

Dari hasil analisis dan interpretasi seismik, peneliti BPPT berkesimpulan bahwa struktur jebakan geologi menyebar di cekungan Simeulue. Biasanya terumbu gamping (carbonate build up) adalah jenis struktur jebakan geologi yang diisi fluida seperti hidrokarbon, gas, atau hanya air. Di perairan barat Aceh, struktur ini terdiri dari berbagai ukuran dan terdapat pada kedalaman 500—800 meter dari dasar laut. Dasar laut perairan ini memiliki kedalaman 1.100 meter dari permukaannya.

Volume batuan penyusunan tangki dihitung berdasarkan metode seismik dua dimensi (2D). Jejeran terumbu berbentuk me1ingkar. Yusuf menghitung volumenya minimal 107,5 miliar barel dan maksimal 320,79 miliar barel. Diakui volume ini hanya merepresentasikan ruang dalam batuan atau tangki. “Jadi, belum tentu seluruhnya diisi hidrokarbon, bisa saja cuma air,” katanya.

Menurut Ir Kersam, yang sudah cukup punya banyak pengalaman melakukan pengeboran, klaim BPPT itu tidak bisa dianggap hanya pepesan kosong sampai dibuktikan. Untuk itulah Jana dan Yusuf berangkat ke Jepang untuk mengajak tim dari Negara Matahari Terbit itu bekerja sama melakukan eksplorasi. Namanya juga usaha.

Karena Amanah Bukan Serakah

susiLAUT kita kaya raya. Sungguh itu bukan isapan jempol belaka. Susi Pudjiastuti, juragan ikan asal Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, sudah membuktikannya.

Saking kewalahan memenuhi pasar, Susi sampai-sampai perlu membeli dua pesawat Cessna Grand Caravan buatan Amerika Serikat. Pesawat yang mulai beroperasi Desember 2004 ini untuk membawa ikan, lobster, dan hasil laut lainnya langsung dari nelayan di kawasan selatan Pulau Jawa.

Menurut rencana, satu pesawat akan digunakan mengangkut hasil nelayan ke pabrik pemrosesan dan pengepakan di Pangandaran. Sedang satu lagi menerbangkannya ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Selanjutnya dikirim ke negara-negara tujuan seperi Asia, Eropa, dan Jepang serta Australia. “Sekarang ekspor hasil laut tidak lagi terkendala oleh lamanya waktu pengangkutan melalui kontainer,” kata Susi.

Susi mengaku membeli pesawat untuk mengimbangi volume ekspor perusahaannya yang terus meningkat. Saat ini setiap bulan perusahaannya mampu menjual hasil laut ke beberapa negara di Asia, Eropa, dan Amerika, antara 50-60 ton. Bahkan sejak merebaknya isu daging sapi gila dan flu burung di dunia terutama di Asia, ekspor udang dan ikan naik sampai 80 ton per bulan.

Pengoperasian pesawat itu diharapkan meningkatkan omzet PT ASI Pudjiastuti dari US$ 2 juta menjadi US$5 juta pertahun. Menurut ibu tiga anak ini, kalau ikan dan udang segar sampai ke Jepang kurang dari 24 jam, maka perbedaan harganya bisa 50%. Misalnya, ikan laut yang biasanya US$ 3 per kilogram, kalau tiba kurang dari sehari semalam, harganya bisa menjadi US$ 8 per kilogram.

Tentu itu akan membuat Susi terus berkibar. Dalam lima tahun mendatang dia berencana membeli delapan buah lagi pesawat caravan. Lima pesawat rencananya akan dioperasikan di pulau Jawa, dua pesawat di Sumatera, tiga pesawat di Indonesia Bagian Timur. Bahkan Susi juga sudah berencana membeli kapal feri eks Belgia yang akan dijadikan pabrik terapung.

Pabrik tersebut dirancang mengolah hasil laut dari pulau sekitarnya dan langsung diekspor ke Darwin, Australia. “Kita dianugerahi hasil laut yang luar biasa, tinggal bagaimana kita mengelolanya,” kata Susi.

Susi tak asal omong. Tiap hari, berton-ton hasil laut diolah di pabriknya. Sekitar 95% hasil produksinya diekspor ke Hong Kong, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Komoditas utamanya lobster, udang, kakap, dan tuna.

Dia memang kenyang pengalaman. Sejak kecil dia memang tinggal di Pangandaran. Baru saat SMA dia bersekolah di Yogyakarta. Itu pun tak sampai tamat. Ia malah ingin mandiri. Berbekal uang Rp 750 hasil tabungannya, tahun 1983 Susi mulai berusaha menjadi pengepul ikan. “Mula-mula saya baru sanggup beli 1 kg, tapi makin hari makin bertambah,” kata Susi. Perjalanan hidup kemudian mengantarnya ke Cirebon dan Sumatera.

Pengalaman bertahun-tahun menjadi pengepul ikan membuat Susi kesal dengan pabrik yang suka memainkan harga. Dia lalu bertekad mengekspor sendiri hasil lautnya. Tahun 1996 ia kemudian mendirikan PT ASI Pudjiastuti.

Diatas tanah dua hektar warisan orang tuanya, Susi membangun pabrik pengolahan ikan. Hasil produksinya disukai karena pabriknya ramah lingkungan. Dia sama sekali tak menggunakan bahan pengawet. “Dari segi rasa dan kesehatan hasilnya lebih oke,” kata Susi.

Pabriknya juga menggunakan alat-alat yang ramah lingkungan. Untuk pendingin, misalnya, dia memilih menggunakan amoniak ketimbang freon yang bisa merusak ozon. Selain itu, pabriknya juga tak menghasilkan limbah. “Semua sampah disini bisa dimanfaatkan kembali. Kulit udang atau ikan bisa dijadikan pakan ternak,” kata Susi.

Saat krisis ekonomi melanda, Susi malah makin berjaya. Maklum, hasil produknya dibayar dengan dolar. Maka dia bisa membangun pabrik kedua seharga Rp 35 milyar. Kapasitas pabrik ini setiap harinya bisa memproses dan menyimpan stok ikan maupun udang sampai 15 hingga 20 ton per hari. Teknologi yang digunakan semuanya termodern. Sehingga bisa disebut pabriknya ini merupakan perusahaan perikanan termodern di Indonesia.

Teknologi baru yang digunakan antara lain, tujuh myocon 700 Hp. Lalu, ice flate kapasitas 13 ton per hari, contact plate dari Denmark dengan kapasitas 450 kg per jam, blast freezer kapasitas 1.000 kg per tiga jam. Adventec tunbel untuk 500 kg per jam dari Swedia, water chiller, AC centralized seluruh ruangan anteroom, dan lainnya. Semuanya untuk memproses agar ikan, udang, dan lobster yang akan dikirim ke luar tetap segar. Selain itu, waktu proses pengolahan juga makin cepat.

Boleh jadi, kunci sukses yang dicapainya itu berkat kesadaran bahwa apa yang didapatnya itu adalah amanah. “Karena itu, meski ini bisnis, saya selalu berusaha tak pernah melupakan kepedulian sosial,” katanya.

Susi tidak serakah meraup untung. Misalnya, ikan kakap. Ikan itu diambil dagingnya saja untuk dijadikan fillet. Kepalanya yang masih banyak daging itu dijualnya ke penduduk sekitar dengan harga hanya Rp 750 perkilo. Padahal, bisa saja kepala ikan itu dijual ke restoran di Jakarta dengan harga 10 kali lipat.

Susi mengaku tak keberatan membagi pengalamannya kepada nelayan lain. Namun dia mematok persyaratan ketat. “Saya hanya akan mengeksplorasi hasil laut yang berwawasan lingkungan,” katanya. Bahkan kepada pemerintah daerah sekalipun. Dia, misalnya, sempat menjalin kerja sama dengan Pemerintah Maluku Tenggara Barat untuk mengembangkan hasil laut di sana. “Perairan Maluku itu luar biasa. Seperti kolam ikan saja,” ceritanya.

Menurutnya, sudah saatnya pemerintah lebih serius menggarap kelautan. Misalnya dengan memberi bantuan pembelian kapal dan kelengkapan alat tangkap bagi para nelayan. Selain itu, pemerintah juga mesti membangun pelabuhan besar yang bisa menarik kapal agar bisa berlabuh. Dengan demikian akan memberikan kontribusi besar buat pembangunan daerah. Baik dari retribusi lelang ikan maupun banyaknya kapal yang masuk ke pelabuhan.

Laut kita memang bisa membuat orang kaya raya.

Kekuatan Tersembunyi Petir

sumber : harun yahya

Satu kilatan petir menghasilkan listrik lebih besar daripada yang dihasilkan Amerika.
Di malam hari, saat hujan deras, langit tiba-tiba menyala, tak lama kemudian disusul oleh suara menggelegar. Tahukah Anda bagaimanakah petir luar biasa yang menerangi langit muncul? Tahukah Anda seberapa banyak cahaya yang dipancarkannya? Atau seberapa besar panas yang dilepaskannya?

Satu kilatan petir adalah cahaya terang yang terbentuk selama pelepasan listrik di atmosfer saat hujan badai. Petir dapat terjadi ketika tegangan listrik pada dua titik terpisah di atmosfer – masih dalam satu awan, atau antara awan dan permukaan tanah, atau antara dua permukaan tanah – mencapai tingkat tinggi.

Sebuah sambaran petir berukuran rata-rata memiliki energi yang dapat menyalakan sebuah bola lampu 100 watt selama lebih dari 3 bulan. Sebuah sambaran kilat berukuran rata-rata mengandung kekuatan listrik sebesar 20.000 amp. Sebuah las menggunakan 250-400 amp untuk mengelas baja. Kilat bergerak dengan kecepatan 150.000 km/detik, atau setengah kecepatan cahaya, dan 100.000 kali lipat lebih cepat daripada suara.

Kilat petir terjadi dalam bentuk setidaknya dua sambaran. Pada sambaran pertama muatan negatif (-) mengalir dari awan ke permukaan tanah. Ini bukanlah kilatan yang sangat terang. Sejumlah kilat percabangan biasanya dapat terlihat menyebar keluar dari jalur kilat utama. Ketika sambaran pertama ini mencapai permukaan tanah, sebuah muatan berlawanan terbentuk pada titik yang akan disambarnya dan arus kilat kedua yang bermuatan positif terbentuk dari dalam jalur kilat utama tersebut langsung menuju awan. Dua kilat tersebut biasanya beradu sekitar 50 meter di atas permukaan tanah. Arus pendek terbentuk di titik pertemuan antara awan dan permukaan tanah tersebut, dan hasilnya sebuah arus listrik yang sangat kuat dan terang mengalir dari dalam jalur kilat utama itu menuju awan. Perbedaan tegangan pada aliran listrik antara awan dan permukaan tanah ini melebihi beberapa juta volt.

Energi yang dilepaskan oleh satu sambaran petir lebih besar daripada yang dihasilkan oleh seluruh pusat pembangkit tenaga listrik di Amerika. Suhu pada jalur di mana petir terbentuk dapat mencapai 10.000 derajat Celcius. Suhu di dalam tanur untuk meleburkan besi adalah antara 1.050 dan 1.100 derajat Celcius. Panas yang dihasilkan oleh sambaran petir terkecil dapat mencapai 10 kali lipatnya. Panas yang luar biasa ini berarti bahwa petir dapat dengan mudah membakar dan menghancurkan seluruh unsur yang ada di muka bumi. Perbandingan lainnya, suhu permukaan matahari tingginya 700.000 derajat Celcius. Dengan kata lain, suhu petir adalah 1/70 dari suhu permukaan matahari. Cahaya yang dikeluarkan oleh petir lebih terang daripada cahaya 10 juta bola lampu pijar berdaya 100 watt. Sebagai pembanding, satu kilatan petir menyinari sekelilinginya secara lebih terang dibandingkan ketika satu lampu pijar dinyalakan di setiap rumah di Istanbul. Allah mengarahkan perhatian pada kilauan luar biasa dari petir ini dalam Qur’an,

“…Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS. An Nuur, 24:43)

Kilatan yang terbentuk turun sangat cepat ke bumi dengan kecepatan 96.000 km/jam. Sambaran pertama mencapai titik pertemuan atau permukaan bumi dalam waktu 20 milidetik, dan sambaran dengan arah berlawanan menuju ke awan dalam tempo 70 mikrodetik. Secara keseluruhan petir berlangsung dalam waktu hingga setengah detik. Suara guruh yang mengikutinya disebabkan oleh pemanasan mendadak dari udara di sekitar jalur petir. Akibatnya, udara tersebut memuai dengan kecepatan melebihi kecepatan suara, meskipun gelombang kejutnya kembali ke gelombang suara normal dalam rentang beberapa meter. Gelombang suara terbentuk mengikuti udara atmosfer dan bentuk permukaan setelahnya. Itulah alasan terjadinya guntur dan petir yang susul-menyusul.

Saat kita merenungi semua perihal petir ini, kita dapat memahami bahwa peristiwa alam ini adalah sesuatu yang menakjubkan. Bagaimana sebuah kekuatan luar biasa semacam itu muncul dari partikel bermuatan positif dan negatif, yang tak terlihat oleh mata telanjang, menunjukkan bahwa petir diciptakan dengan sengaja. Lebih jauh lagi, kenyataan bahwa molekul-molekul nitrogen, yang sangat penting untuk tumbuhan, muncul dari kekuatan ini, sekali lagi membuktikan bahwa petir diciptakan dengan kearifan khusus.

Allah secara khusus menarik perhatian kita pada petir ini dalam Al Qur’an. Arti surat Ar Ra’d, salah satu surat Al Qur’an, sesungguhnya adalah “Guruh”. Dalam ayat-ayat tentang petir Allah berfirman bahwa Dia menghadirkan petir pada manusia sebagai sumber rasa takut dan harapan. Allah juga berfirman bahwa guruh yang muncul saat petir menyambar bertasbih memujiNya. Allah telah menciptakan sejumlah tanda-tanda bagi kita pada petir. Kita wajib berpikir dan bersyukur bahwa guruh, yang mungkin belum pernah dipikirkan banyak orang seteliti ini dan yang menimbulkan perasaan takut dan pengharapan dalam diri manusia, adalah sebuah sarana yang dengannya rasa takut kepada Allah semakin bertambah dan yang dikirim olehNya untuk tujuan tertentu sebagaimana yang Dia kehendaki.

Advokasi Pesisir dan Laut

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias daratan, akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.

Kekayaan sumberdaya laut tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an, fenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai).

Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu karang, dan estuari berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener, dan produktivitas tangkap udang.

Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Sehingga persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya.

Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya.

Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan sustainable (berkelanjutan). Banyak faktor-faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property), tetapi berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Namun, ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi (quasi private proverty). Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property).

Perbedaan penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini mendorong ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang berhak untuk mengelolanya. Hal ini mendorong berbagai stakeholder untuk mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.
Pada dasarnya, hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.

Dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan, terdapat 20 undang-undang, 5 konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yang memberi legal mandat terhadap 14 sektor pembangunan dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir, baik langsung maupun tidak langsung. Kegiatan diatur dalam perundang-undangan tersebut umumnya bersifat sektoral dan difokuskan pada eksploitasi sumberdaya pesisir tertentu. Undang-undang tersebut terdikotomi untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir di darat saja atau di perairan laut saja.

Keempat belas sektor tersebut, meliputi sektor pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan umum, pertahanan, keuangan, dan pemerintahan daerah. Visi sektoral pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir, telah mendorong departemen-departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat peraturan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir sesuai dengan kepentingannya.

Ada juga kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan demikian, telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil review terhadap perundang-undangan dan konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial, yaitu:

* Konflik antar Undang-Undang;
* Konflik antara UU dengan Hukum Adat;
* Kekosongan Hukum; dan
* Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut.

Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.

Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia.

Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang, ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.

Ketiga masalah krusial tersebut, bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik kewenangan, dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya pesisir. Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya pun harus terpadu melalui undang-undang baru yang mengintegrasi pengelolaan wilayah pesisir. Saat ini, Pemerintah dalam proses menyusun RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan akan mengusulkannya ke DPR RI tahun 2003 ini.

Pulau-Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang berbeda dibandingkan dengan pulau besar. Namun, demikian selama ini pengetahuan mengenai karakteristik pulau-pulau kecil sangat minim. Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan pulau besar (mainland). Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi.
Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:

1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang;
2. Secara ekologis, terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular;
3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi;
4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil, sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
5. Dari segi sosial, ekonomi, dan budaya, masyarakat pulau-pulau bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil. Di sinilah ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove) ditemukan. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Pada sisi yang lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi (penenggelaman). Oleh karena itu, pilihan pembangunan pulau-pulau kecil merupakan gabungan dari 2 sisi ini. Kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitatif), seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi air, dan sebagainya, merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas ekstraktif justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya lain, dan mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam. Negara-negara yang telah maju dalam mengelola pulau-pulau kecilnya, di antaranya Fiji, mengandalkan pariwisata dan budidaya perikanan berbasis masyarakat sebagai strategi pembangunannya.

Sumber: Wikipedia

Haruskah Tambak Merusak Ekosistem Pesisir?

Beberapa puluh tahun yang lalu, di Indonesia terdapat hutan mangrove yang sangat luas. Hutan mangrove pada masa itu banyak memberikan manfaat kepada para penduduk dan nelayan disekitarnya sebagai penahan ombak dan angin kencang sehingga pantai terhindar dari abrasi. Selain itu daerah ini merupakan tempat berlindung binatang air seperti udang dan ikan dari pemangsa (predator), untuk bertelur dan berganti kulit. Banyak burung bersarang dan bertelur di tempat ini sehingga menambah asrinya suasana di sekitar pantai tersebut. Pada masa itu penduduk sangat mudah mencari ikan dan udang di sekitar mangrove. Suasana ini berubah drastis pada tahun-tahun terakhir ini, dimana banyak perusahaan yang membuka usaha tambak dengan membabat habis ratusan dan bahkan ribuan hektar hutan mangrove untuk dijadikan tambak intensif. Parahnya lagi, perusahaan tersebut membuat unit sumur dalam (deep well) dengan kedalaman mencapai 100 meter. Air tawar digunakan untuk mengurangi salinitas air laut agar menjadi kondisi payau ramah bagi pertambakan udang. Akibat penyedotan air tanah yang terus menerus dalam jumlah yang besar, terjadi infiltrasi air laut ke dalam sumur penduduk sekitar sehingga tidak layak di konsumsi. Mulai masa inilah sedikit demi sedikit mulai timbul masalah yang dirasakan oleh masyarakat sekitar seperti kualitas air laut yang menurun akibat proses produksi tambak yang tidak ramah lingkungan, abrasi dan erosi pantai yang mengkhawatirkan, menurunnya hasil tangkap nelayan pesisir, yang secara keseluruhan, mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Oleh karena itu terjadi penurunan produksi tambak sehingga banyak perusahaan tambak yang merugi. Puncaknya terjadi pada tahun 1997 dimana terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia. Harga pakan melambung tinggi sedangkan harga jual udang dan bandeng sangat rendah. Inilah yang menyebabkan sebagian besar perusahaan tambak di Indonesia mengalami kebangkrutan dan akhirnya gulung tikar.

Permasalahan-permasalahan utama berhubungan dengan kegagalan usaha pertambakan adalah kelemahan dalam aspek perencanaan. Rencana sering tidak memperhitungkan lebih dahulu: (i) faktor lingkungan alam, sosial, ekonomi dan kemungkinan konflik dengan pemakai Sumber Daya Alam (SDA) lain; (ii) kondisi fisik lokasi yang tidak memenuhi persyaratan dasar untuk kriteria pertambakan misalnya tingkat kesuburan tanah, kadar zat sulfida, sumber air tawar yang cukup, dan tingkat pasang-surut air laut; dan (iii) masukan dari penyuluh teknis Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam tahap pemilihan dan desain lokasi. Agar kelestarian alam dan kelangsungan hidup manusia sekitarnya tidak dikorbankan, aturan-aturan yang sudah dibuat perlu ditegaskan. Perijinan untuk usaha pertambakan harus berdasar pada perencanaan yang mantap dan teknologi ramah lingkungan. Dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem pesisir ketika membuka tambak, akan mempengaruhi secara positif keberlangsungan hidup organisme disekitarnya dan secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan penghasilan petani tambak itu sendiri.

Sumber: SHVOONG
Membandingkan Gempa Sichuan dan Gempa Yogya

Hingga seminggu pasca gempa tektonik Sichuan yang memiliki moment magnitude 7,9 Mw itu, korban tewas telah mencapai 50.000 orang sementara ribuan lainnya masih terkubur di bawah timbunan puing, entah hidup atau tidak. Beberapa kota “terhapus” dari peta karena tidak ada lagi satupun bangunan yang tegak berdiri utuh.
Sichuan adalah salah satu propinsi di Cina barat daya yang berbatasan dengan Tibet (yang selalu membara) dan Yunnan (yang punya arti penting bagi Asia Tenggara karena disinilah asal rumpun bangsa Austronesia dengan kebudayaan Bacson Hoabinh dan Dongson-nya sebelum bermigrasi ke selatan). Sichuan terkenal dengan seni kulinernya yang berkelas. Mendiang Deng Xiaoping, mantan orang paling sakti di Cina yang berasal dari Sichuan, pun dikenal jago memasak.
Sebagian besar wilayah Sichuan berdiri di atas dataran rendah lembah Sichuan, tempat berdirinya kota utama Chengdu dan kota-kota penting lain seperti Mianyang, Beichuan, Mianzhu dan lain-lain. Di utara lembah ini membentang Pegunungan Longmen Shan yang menjadi tempat hidup kawanan panda, dengan beberapa puncak menjulang hingga ketinggian 4.000 meter lebih. Pegunungan Longmen Shan tidak bisa dipisahkan dengan Dataran Tinggi Tibet dan Pegunungan Himalaya, sebagai jajaran pegunungan lipatan yang terbentuk ketika Lempeng India yang bergerak ke utara dengan kecepatan 5 cm/tahun mendesak Lempeng Eurasia yang stabil. Transfer tekanan yang didesakkan lempeng India lebih dominan ke bagian timur jajaran pegunungan lipatan ini, sehingga kerak Bumi di wilayah Sichuan terbelah menjadi belasan patahan aktif yang rumit. Aktifnya wilayah ini bisa dilihat dari USGS Historic Moment Tensor Solutions yang mencatat 10 kejadian gempa bumi dengan Mw > 5 hanya dalam kurun 1981
- 2002 dan semuanya bersumber dari kedalaman sangat dangkal.
Salah satu patahan tersebut adalah patahan Longmen Shan, yang membujur sepanjang 250-an km di dalam Pegunungan Longmen Shan. Dan Senin 12 Mei 2008 pukul 06:48 GMT lalu ujung barat daya patahan ini mendadak terpatahkan secara naik dan miring (oblique thrust faulting). Pematahan menjalar di sepanjang lintasan patahan ke arah timur laut sehingga terbentuk zona rekahan sepanjang 220 km dengan lebar 36 km. Seluruh zona rekahan melenting sejauh 400 cm dari lokasinya semula, bahkan pada titik tertentu pelentingan mencapai 900 cm. Energi yang dilepaskan mencapai 10,7 megaton TNT atau 530 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom Hiroshima. Dan dynamic stress yang ditimbulkannya diestimasikan mencapai 3 MPa, angka yang cukup untuk memicu letusan gunung berapi jikalau ada vulkan didekatnya.
Akibat pelentingan, permukaan tanah Pegunungan Longmen Shan terguncang sangat keras dengan intensitas 9 MMI yang menghasilkan percepatan tanah maksimum 102 % G (1 G = 9,81 m/det2). Inilah yang menimbulkan longsoran besar yang menutup aliran sungai sehingga menciptakan danau-danau baru, seperti pernah terjadi dalam Gempa Hebgen 1958, Montana (http://neic.usgs.gov/neis/eq_depot/usa/1959_08_18.html). Danau baru ini mengkhawatirkan karena bisa jebol kapan saja mengingat material bendungannya yang rapuh.
Kawasan lembah Sichuan dari kaki Pegunungan Longmen Shan hingga ke sekitar kota Chengdu menderita guncangan berintensitas 7 - 9 MMI. Ditunjang dengan berdirinya bangunan-bangunan yang berkonstruksi jelek, yang sudah mulai rusak ketika dilanda guncangan berintensitas 6 MMI, maka guncangan sebesar itu sudah cukup mampu untuk membuat bangunan rusak berat atau malah bahkan roboh. Inilah kontributor utama besarnya korban jiwa yang terenggut dalam gempa ini.
Gempa Sichuan ini hampir mirip dengan Gempa Yogya 27 Mei 2006, meski dalam skala dan mekanisme sumber berbeda. Gempa Yogya juga meletup di patahan yang membatasi jajaran Pegunungan Selatan (Pegunungan Sewu) dengan lembah tempat berdirinya pusat2 pemukiman di Bantul, Yogyakarta dan Prambanan.
Meski BMG dan USGS dalam release awalnya menyebut episentrum Gempa Yogya berada di lepas pantai Parangtritis, namun kajian lapangan, analisis posisi episentrum gempa-gempa susulan (aftershocks) dan re-analisis USGS menunjukkan Gempa Yogya bersumber dari pematahan batuan secara mendatar mengiri (left lateral strike-slip faulting) pada kedalaman 17 km di sekitar pertemuan Sungai Opak dan Oya, berdekatan dengan kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri. Pematahan lalu menjalar ke timur laut mengikuti jejak lintasan patahan Opak hingga terbentuk zona rekahan sepanjang 25 km dengan lebar 12 km yang melenting sejauh 60 cm (rata-rata) dari posisinya semula, meski pada titik tertentu pelentingan bahkan mencapai 120 cm. Ini menghasilkan gempa tektonik dengan moment magnitude 6,4 Mw (body-wave magnitude 5,9 skala Richter) yang melepaskan energi sebesar 60 kiloton TNT atau 3 kali lipat bom Hiroshima.
Akibatnya daratan Bantul bergeser sejauh 9 cm ke selatan dari posisinya semula, sementara Yogyakarta dan Klaten masing-masing bergeser 7 cm dan 1 cm. Pergeseran nampak jelas pada rel KA yang bengkok di antara Stasiun Srowot dan Prambanan serta terpelintirnya candi-candi utama di kompleks percandian Prambanan, yang kebetulan berdiri di ujung zona rekahan. Wilayah Prambanan merupakan triple junction (tempat bertemunya tiga patahan) yakni patahan Opak dan patahan Baturagung (yang membatasi Pegunungan Selatan dengan dataran rendah disekitarnya) serta patahan transversal Jawa Tengah (yang menjadi landasan berdirinya Gunung Ungaran, Soropati - Telomoyo, Merbabu dan Merapi). Di sini energi gempa lebih dominan ditransfer ke patahan Baturagung sehingga kerusakan meluas ke bagian selatan wilayah Klaten. Namun fraksi energi yang ditransfer ke utara masih sanggup menghasilkan dynamic stress sebesar 60 kPa pada kantung magma Merapi, sehingga meningkatkan volume
pertumbuhan kubah lava dari 50.000 meter kubik/hari menjadi 150.00 meter kubik/hari dan sekaligus meningkatkan jumlah kejadian awan panas dari 34 kali/hari (rata-rata) menjadi 95 kali/hari (rata-rata).
Dikombinasikan dengan sedimen setempat yang belum kompak hasil muntahan Merapi, Bantul menderita guncangan berintensitas 8 MMI sementara Yogyakarta sampai 7 MMI. Seperti Sichuan, mutu bangunan di Indonesia pun buruk sehingga sudah rusak saat terkena guncangan 5 MMI dan bisa runtuh oleh guncangan 6 MMI. Inilah penyebab jatuhnya korban jiwa hingga > 6.000 orang dalam Gempa Yogya.
Next ?
Sangat jarang dipahami bahwa gempa bumi adalah suatu siklus dan akan berulang kembali pada periode tertentu yang khas untuk satu wilayah. Gempa terjadi ketika suatu patahan tertahan gerakannya oleh mekanisme tertentu di sepanjang bidang patahan, padahal seharusnya ia bisa bergerak bebas sesuai dengan kecepatan pergeserannya. Kondisi ini membuat patahan terkunci (locked), sementara tekanan tektonis yang datang dari desakan lempeng terus menerus berlangsung. Akibatnya ketika tekanan yang terakumulasikan tak sanggup lagi ditahan oleh kekuatan batuan dalam patahan, patahlah ia dan terjadilah pelentingan yang jauhnya setara dengan akumulasi kecepatan pergeseran patahan dikalikan waktu sejak gempa sebelumnya.
Sebelum 2006, wilayah Yogakarta pernah dilanda gempa kuat pada 1867 dan 1943 yang bersumber pada patahan Opak, maka bisa dikatakan di wilayah ini periode gempanya 70 tahun dengan ketidakpastian beberapa tahun. Pada umumnya patahan-patahan di Jawa dan Sumatra bergeser 10 mm/tahun, bila tidak terkunci. So, dengan pelentingan 60 cm, maka terjadi penguncian sebesar 60/70 = 0,86 cm/tahun atau sekitar 9 mm/tahun. Sehingga pergeseran yang tersisa tinggallah 10 - 9 = 1 mm/tahun. Pergeseran 1 mm/tahun di patahan Opak ini sangat kecil untuk dideteksi terlebih jika akurasi instrumen GPS yang digunakan melebihi angka tersebut, sehingga bisa saja ditafsirkan patahan yang bersangkuan tidak aktif lagi. Sebelum 2006, patahan Opak pernah dinyatakan bukan patahan aktif.
Dengan periode ulang gempa 70 tahun, maka gempa 6,4 Mw seperti Gempa Yogya 2006 itu kemungkinan baru akan terjadi lagi di sekitar 2076 mendatang. Tentu saja prediksi ini sangat berpotensi untuk meleset, mengingat tiap kejadian gempa merubah sifat batuan yang bersentuhan di sepanjang bidang patahan, sehingga mekanisme penguncian selanjutnya pun bisa saja berubah dari sebelumnya.
Periode ulang 70 tahun ini hanya khas untuk wilayah Yogyakarta saja, dan terbatas pada magnitude sekitar 6 Mw. Untuk wilayah yang lain tentu berbeda. Padahal 60 % pemukiman di Indonesia berdiri di atas patahan, baik yang aktif maupun tidak aktif. Dan sebagian besar patahan itu belum pernah diselidiki mengingat keterbatasan sumberdaya. Di Jawa Tengah bagian selatan misalnya, selain patahan Opak, juga membentang patahan Progo (yang melintasi Wates dan Purworejo), Lukulo/Kedungbener (melintasi Kebumen), Kroya serta Bumiayu (di dekat Purwokerto) yang belum jelas benar apakah sudah diselidiki apa belum. Sementara catatan sejarah (misalnya dari PVMBG) menunjukkan ada kejadian gempa kuat di masa silam yang mungkin berkaitan dengan patahan ini.
WAWASAN GURU GEOGRAFI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar