19 Juli 2010

Geografi politik

TINJAUAN POLITIK KERUANGAN NASIONAL INDONESIA

A. Hakekat Ruang
Hingga saat ini belum ada definsi tunggal tentang “ruang” yang dapat diterima secara universal. Perdebatan mengenai definisi ruang senantiasa bergerak di antara dua titik ekstrem yang berseberangan, yaitu ruang ideal (ideal space) dan ruang yang dirasakan (perceived space). Ide mengenai ruang ideal pertama kali dimunculkan oleh Euclid, seorang ilmuwan matematika dari Yunani. Konsepsi Euclid imemahami ruang sebagai sebuah bentuk tiga dimensi yang bersifat seragam dan statis (Cavallaro, 2001:304).
Konsep Euclid ini seringkali disebut sebagai ruang Euclidian atau ruang geometris. Pemahaman ruang secara geometris ini merupakan upaya untuk menyajikan ruang secara sistematis sebagai wujud yang stabil, obyektif, dan netral. Seperti yang dinyatakan oleh Henry Lafebvre (1974) dalam bukunya The Production of Space, makna geometris tersebut memunculkan gagasan bahwa ruang semata-mata sebagai sebuah area kosong (immaterial) yang teramati dan terukur.
Realitas fisik tersebut tidak dipengaruhi oleh Benda-benda di dalamnya dan bagaimana benda-benda tersebut dipahami. Berdasarkan pemahaman ini, maka ruang semata-mata diposisikan sebagai sebuah latar belakang pasif yang sulit dihilangkan. Dalam konteks kepentingan apapun, tidak ada keterkaitan sedikit pun antara ruang dan aktivitas atau obyek di dalamnya. Kalau pun ada, keterkaitan tersebut terbungkus dalam hubungan yang dingin dan tidak mengakar. Tak ada emosi atau kegairahan yang terbangun. Ruang hanya dipahami sebagai obyek yang hadir dengan “sendirinya”.
Berdasarkan sudut pandang yang berbeda, para filsuf ilmu sosial yang lebih humanis memahami ruang sebagai sebuah setting bagi tindakan manusia. Edward T. Hall dalam bukunya yang berjudul The Hidden Dimension (1966) mengutarakan bahwa ruang akan dirasakan, dipahami, ditata, dan kemudian dimanfaatkan sesuai dengan konteks kepentingan. Dalam pemahaman ini sesungguhnya manusia dapat merancang dan mengendalikan ruang melalui praktik-praktik spasial. Kemunculan dan keberagaman praktikpraktik spasial itu sendiri sangat ditentukan oleh bagaimana ruang tersebut dirasakan dan diyakini.
Dengan demikian, ruang tidak lagi bersifat fisik, namun bersifat abstrak. Bahasa matematika yang sangat menekankan pada ketepatan absolut, parameter, ukuran, dan possibilitas ruang menjadi tidak berarti lagi. Seperti dinyatakan oleh Philpott (2003:56), ruang menjadi sebuah fenomena diskursif yang menghasilkan pengetahuan dan tindakan sehingga ruang tidak akan tampil apa adanya. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa ruang adalah “suatu cara ketika lokasi dibayangkan dan diberi makna”. Atau dengan kata lain, ruang adalah arena interpretasi manusia akan diri dan lingkungannya.(1)
Akibatnya, ruang menjadi bersifat cair dan dinamis, tergantung secara subyektif pada sense manusia yang berupaya memahaminya. Dengan demikian, batas-batas atau ukuran ruang menjadi tidak pasti, tergantung pada konteks kepentingan manusia. Dan lebih dari pada itu, ruang bukanlah sebuah area kosong melainkan sebuah perwujudan dari realitas yang terbentuk melalui proses-proses alam, sosial, kultural, politik, dan psikologis yang berlangsung di dalamnya.
Sebagai sebuah arena interpertasi, pemahaman akan ruang bisa berada dalam ranah konseptual maupun pengalaman. Tuan (1977:17) menyatakan adanya tiga bentuk dasar ruang yang saling overlap, yaitu
a) Mythical.
b) pragmatic.
c) abstract.
Mythical space merujukpada pengertian ruang secara konseptual, sedangkan pragmatic space merujuk padapengertian ruang sebagai tempat berlangsungnya aktivitas manusia terutama aktivitasekonomi. Sementera abstract space merupakan hasil visualisasi persepsi manusia.

1)Disajikan dalam Seminar “Membangun Infrastruktur Sebagai Salah Satu Solusi Mengurangi Kesenjangan Antar Daerah”tanggal 25-26 Juli 2007 di Hotel Grand Cempaka, Jakarta
Staf pengajar dan Ketua Kelompok Bidang Peminatan Pengembangan Wilayah pada Departemen Geografi FMIPA ‐ UI

B. Epistemologis Barat, Kolonialisme, dan Gagasan Ruang
Sistim pengetahuan, khususnya epistemologis Barat, terasa begitu mendominasi hingga saat ini sebagai konsekuensi dari banyaknya teori yang dibangun oleh studi-studi mereka di berbagai belahan dunia yang kemudian direfleksikan dan diformulasikan kembali dalam konteks kepentingan Barat. Banyak pendapat yang mengutarakan bahwa melalui imperialisme, bangsa-bangsa Barat telah memaksakan ide dan konsep ke dalam pranata kehidupan masyarakat jajahan. Gejala di atas juga menjadi seorang ahli kebudayaan dan sosiolog berkebangsaan Inggris.(2)
Dengan mengembangkan dan mengoptimalkan penggunaan sistim klasifikasi dan
representasi yang mereka miliki, berbagai gagasan mengenai manusia, kebudayaan, nilai sosial, serta konsepsi ruang dan waktu dimainkan dalam sebuah sistim kekuasaan dan dominasi atas bangsa-bangsa jajahan (Smith, 2005:50). Menurut Nandy terdapat dua tipe kolonialisme yaitu
a) berupa penaklukan sebanyak mungkin terirori secara fisik dalam satu kekuasaan.
b) berupa penaklukan dan penjajahan jiwa, pikiran, dan budaya.
Edward Said dalam bukunya yang berjudul Orientalism (1995) juga menyatakan bahwa bahwa eksistensi “Timur” hanya dapat ditemukan dalam perbuatan, praktek, serta kata-kata yang dilakukan oleh aktor-aktor Barat. Dengan demikian, menurutnya dunia Timur dilahirkan oleh sentralitas Barat. Dalam pengertian ini, Barat bukan sekedar memunculkan, tetapi juga menyesuaikan, merekonstruksi, serta mengilustrasikan Timur sesuai dengan logika dan kesadaran Barat.
Sementara itu, Phlipot (2003) menguraikan bagaimana para ahli dan pengambil kebijakan politik Barat mencoba untuk terus mempertahankan dan memperbesar hegemoni mereka atas dunia Timur dengan mengembangkan berbagai studi kawasan. Jejak dan kenangan sebagai masyarakat yang tersubordinasi akan tetap membekas dan mempengaruhi berbagai segi kehidupan.

2)Stuart Hall menunjukkan bahwa Barat adalah sebuah ide atau konsep, sebuah bahasa untuk
membayangkan kompleksnya rangkaian cerita, ide, peristiwa sejarah dan hubungan sosial. Hall
menandaskan bahwa konsep tentang Barat berfungsi dalam cara yang (1) memungkinkan
“kita” mengkarakterisasi dan mengklasifikasikan masyarakat ke dalam berbagai kategori, (2)
memadatkan citra kompleks masyarakat lain melalui sistim representasi, (3) menyediakan
sebuah model standar, dan (4) menyediakan kriteria evaluasi yang bisa memperingatkan
masyarakat-masyarakat lain. Dengan prosedur itulah bangsa pribumi dan berikut masyarakat
mereka dikodekan ke dalam sistim pengetahuan Barat.
Sehingga harapan akan kemunculan secara ajaib sebuah tatanan yang sama sekali baru pada masyarakat koloni seringkali berujung pada kekecewaan. Menurutnya, hal tersebut antara lain disebabkan oleh adanya pertentangan antara “kedatangan dan kepergian” serta “kemandirian dan ketergantungan” yang mewarnai fondasi kehidupan bangsa-bangsa bekas jajahan. inilah yang menyebabkan Said mensinyalir bahwa dalam banyak hal kemerdekaan nasional bangsa-bangsa jajahan telah menciptakan kamuflase terhadap kerusakan sesungguhnya pada fondasi ekonomi dan sosial masyarakat terjajah.
Dalam kaitannya dengan imperialisme, Smith (2005:61-66) menyatakan bahwa alam pemikiran Barat pada dasarnya memandang ruang secara statis dan oleh karenanya “terlepas” dari unsur waktu. Gagasan tersebut telah terkodefikasi dalam bahasa, filsafat, dan sistim pengetahuan Barat. Konsepsi filosofis Barat tersebut senantiasa terkait dengan keberadaan ruang secara rasional serta metode pengukurannya. Oleh sebab itu, gagasan masyarakat Barat selalu melibatkan proses penandaan, pendefinisian, dan pengontrolan ruang. Secara implisit, gagasan ini menunjukkan bahwa ruang adalah sesuatu yang harus ditaklukkan, dijinakkan, dan kemudian dikendalikan.
Hal ini terkait erat dengan keyakinan akan keampuhan paham deterministik-mekanistik yang menyatakan bahwa penataan spasial merupakan syarat penting untuk kehidupan sosial. Menurut Smith, gagasan ini jelas memiliki revelansi kuat dengan kolonialisme karena melalui gagasan tersebutlah masyarakat Barat merasa memperoleh justifikasi untuk merepresentasikan ulang ‘ruang dunia’ dengan cara tertentu bagi kepentingan Barat.
Manipulasi kartografis, penamaan tempat-tempat, serta penciptaan jarak menjadi bagian penting dari upaya Barat untuk mewujudkan ruang sesuai dengan kepentingannya. Dan dengan cara itulah Negara-negara jajahan ditransformasikan secara radikal ke dalam citra keruangan Barat. Argumentasi Smith tersebut diperkuat dengan hasil penelitiannya di Selandia Baru yang memperlihatkan bahwa konsep tentang garis, pusat, dan luar telah diterapkan secara efektif oleh Barat untuk menandai kekuasaan kolonial, membangun orientasi pada kekuasaan, dan menempatkan orang atau wilayah lain pada suatu hubungan yang berlawanan dengan pusat (3)

3)Pandangan Edward Said ini saya kutip dari buku Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritariansime karya SimonPhilpot yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta tahun 2003, khususnya halaman 6 dan 21.

C. Memahami “Ruang Indonesia”: Peninggalan Abadi Imperialisme Barat?
Bukunya yang berjudul asli Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism, and Identity (2000), Simon Phlipot mencoba untuk menggunakan ide Michel Foulcout dan Edward Said dalam mengkaji genealogi Indonesia. Berlandaskan pada ide “kekuasaan heterogen” versi Foulcout dan ide “orientalisme” versi Said, Philpot sampai pada suatu kesimpulan bahwa gambaran mengenai Indonesia yang dimunculkan dalam berbagai kajian sangat kental dengan cara pandang Barat. Dengan mengupas studi yang antara lain dilakukan oleh ahli-ahli Indonesia.
Phlipot memperlihatkan bahwa pengabaian atas obyek-obyek kajian tertentu serta berbagai bentuk pemaksaan metode analisis akhirnya hanya menghasilkan ‘realitas’ Indonesia yang telah disesuaikan dengan kepentingan Barat, yaitu sebagai kawasan yang “berbahaya, tidak stabil, dan menimbulkan ancaman”.
Terkait dengan realitas, tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan ruang Indonesia seperti saat ini merupakan hasil dari deteritorialisasi batas-batas kolonialisme Hindia Belanda. Artinya, “mau atau tidak mau” serta ”suka atau tidak suka” kita harus menerima kenyataan bahwa – seperti halnya Negara-negara bekas jajahan lainnya di Asia dan Afrika ruang Indonesia baik secara fisik maupun sosial adalah “buah” dari imperialisme Barat.
Ruang yang di tempati merupakan sebagai sebuah bangsa merupakan hasil kerja para penjelajah Barat. Adalah Joseph Banks, George Earl, Stamford Raffels, dan John Logan yang mencoba untuk memberikan nama kepada sebuah entitas geografis “kepulauan aneh yang dihuni oleh ras coklat India”. Dengan mengadopsi istilah latin Indus (India) dan Nesos (pulau), pada tahun 1850 munculah istilah “Indonesian” versi Earl yang kemudian diubah menjadi “Indonesia” oleh Logan (4).

4)Pengamatan taksonomi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa menjadi awal pendefinisian.
sesuatu yang akhirnya menjadi Indonesia. Earl dan Logan bukanlah leluhur Indonesia
kontemporer. Akan tetapi, diskursus pemerintahan kolonial, antropologis, ahli etnografi,
pedagang, dan penulis lain, adalah bagian dari ikhtiar panjang dan tidak pasti yang dikemudian
hari menjadi Indonesia. Penamaan Indonesia berarti pengidentifikasian karakteristiknya,
batas‐batas spasialnya, dan memutuskan siapakah yang bisa dimasukkan sebagai orang
Indonesia dan siapa yang tidak. Indonesia adalah suatu invensi (Philpot, 2003 hal 13)

Sebenarnya ruang Indonesia mulai terjadi pada saat masuknya pengaruh India (Indianisasi) ke nusantara. Lombard (2005b : 16) mengatakan “meskipun tidak cukup bukti bahwa kehadiran budaya Hindu dan Budha (Indianisasi) memberikan kontribusi besar bagi budi daya padi, namun kedua budaya tersebut mempunyai andil besar dalam penggabungan wilayah dalam bentuk konsep kerajaan”.
George Kahin, ahli Indonesia asal Amerika Serikat, menyebut fenomena Indianisasi tersebut sebagai faktor subsider dalam pembentukan nasionalisme Indonesia. Sebagaimana dikutip oleh Philpot (2003:90), Kahin memperkuat argumennya berdasarkan asumsi bahwa batas teritorial Hindia Timur yang berkesesuaian dengan teritorial Sriwijaya dan Mojopahit memberikan nilai penting pada ide ruang yang abstrak dalam perkembangan kesadaran Indonesia. Namun, bagi Kahin, bagaimana pun juga kenyataan spasial sebagai sebuah kolonilah yang memunculkan keinginan untuk membentuk “negara Indonesia” karena dalam teritori kolonial tersebutlah timbul “kesadaran dan kesamaan ke dalam satu unit politik”.
Lombard (2005) mengkritik cara pandang yang melihat dominasi lima pulau besar sebagai “cara pandang orang luar yang mengabaikan peranan perairan sebagai alat pemersatu”. Cara pandang tersebut seolah-olah telah memastikan bahwa masing-masing pulau besar tersebut merupakan kesatuan geografis yang saling terpisah. “Jarak” yang terbentuk oleh bentangan fisik perairan dengan sendirinya dianggap sebagai faktor utama pembentuk kesatuan ruang. Sebagai alternatifnya, Lombard menawarkan sebuah “pembagian geografis baru” bagi ruang Indonesia yang memposisikan laut (bukan pulau) sebagai titik beratnya yaitu:
a) daerah yang mencakup kedua sisi Selat Malaka.
b) Daerah yang mencakup kedua sisi Selat Sunda.
c) daerah yang mencakup kedua sisi Laut Jawa.
d) daerah yang mencakup kedua sisi Selat Makasar hingga ke bagian selatan hingga mencapai Kepulauan Sunda Kecil.
e) daerah di sekitar Laut Maluku yang menghubungkan beberapa pulau rempah-rempah, Kepulauan Sulu, daerah pantai Papua bahkan hingga Mindanao di utara.
Dari kalangan nasional, dalam sejarah Indonesia modern proses abstraksi ruang nasional dimulai dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Para pemuda yang berasal dari berbagai tempat mengumandangkan sumpah tentang persatuan dan kebangsaan Indonesia berdasarkan ikatan ruang (satu tumpah darah), ikatan nasionalisme (satu bangsa), dan ikatan kultural (satu bahasa). Abstraksi ruang Indonesia kembali mendapatkan semangatnya melalui pidato Ir. Soekarno di depan pengadilan Belanda tahun 1930. Pidato yang berjudul “Indonesia Menggugat” tersebut mampu menyentak kesadaran ‘Indonesia’ meskipun negara Indonesia belum lagi berdiri. Bersama-sama dengan Sumpah Pemuda, pandangan Soekarno juga mencerminkan imajinasi ruang dan kebangsaan Indonesia.
Imajinasi tersebut dibangun di tengah kesadaran sebagai “negara terjajah”, namun dengan tekad besar untuk melawan imperialisme Barat. Puncak kulminasi abstraksi ruang Indonesia terjadi pada saat Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945. Pada saat itulah ruang Indonesia mewujud dalam realitas kedaulatan, emosi kebangsaan, pemerintahan dan sosial politik. Setelah itu, imajinasi ruang Indonesia terus berlanjut dengan munculnya konsepsi Wawasan Nusantara yang dilandasi oleh DeklarasiJuanda tahun 1957. Sebagai pandangan geopolitik, Wawasan Nusantara menunjukkan adanya kesadaran sebagai sebuah negara kepulauan untuk memberikan penekanan pada integrasi teritorial antar pulau dengan laut sebagai penghubung. Dengan demikian, dunia telah terintegrasi ke dalam suatu sistem koneksi global yang semakin intensif. Sistem koneksi ini telah mempertemukan dua struktur ruang yang memiliki karakteristik berbeda, yaitu “global space” dan “local space”. Struktur ruang global mengandung kekuatan internasionalisasi dan universalisasi dalam bidang ekonomi, budaya, maupun nilai sosial; sementara itu struktur ruang lokal mengandung kekuatan sejarah, adat istiadat, serta kebiasaan hidup sehari-hari.

D. Wilayah Tertinggal : Antara Realitas dan Penafsiran Ruang
Istilah “daerah tertinggal” relatif muncul belum terlalu lama. Selama ini istilah yang umum digunakan adalah “daerah terbelakang”. Untuk menjelaskan tentang “wilayah tertinggal” atau “wilayah terbelakang” umumnya dicirikan dengan “ketidakmajuan dan serba kekurangan”. Banyak teori pembangunan yang mencoba untuk menjelaskan factor-faktor penyebab situasi di atas.

Faktor-faktor tersebut di antaranya:
a) Keterisolasian wilayah.
b) perekonomian subsisten.
c) kelangkaan sumberdaya
Bahwa ‘wilayah tertinggal’ adalah memang sebuah realitas. Sebagai sebuah realitas, ‘wilayah tertinggal’ harus ditafsirkan agar dapat mewujudkan apa yang disebut oleh Piliang (2004:35) sebagai realitas sejati. Selain itu, penafsiran juga ditujukan untuk melahirkan mekanismemekanisme dengan persoalan sesungguhnya dari sebuah realitas, yaitu ia memiliki tafsir yang sangat majemuk. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa semua penafsiran yang muncul mengklaim dirinya sebagai kebenaran. Dengan demikian, akan berhadapan dengan kebenaran yang begitu banyak pula. Di sinilah letaknya tantangan bagi “pengetahuan kritis”, yaitu mencari sebuah kebenaran yang paling sahih.
Budiman (2003:18) yang menyebut fenomena ‘wilayah tertinggal’ sebagai “realitas patologis” atau realitas yang menggambarkan adanya hambatan kemanusiaan. wilayah tertinggal dalam ruang diskrit atau ruang yang terkotakkotak, maka sesungguhnya daerah tertinggal sebagai the other dari ‘wilayah maju’. Atau dengan kata lain, keduanya adalah dua entitas yang berbeda. Dalam konteks ini pembahasan tentang wilayah tertinggal akan berada pada ‘kotak’ yang berbeda dengan daerah maju.

E. Penataan Ruang Nasional Dan Tantangan Perubahan Zaman
Pada era globalisasi saat ini, dunia telah terintegrasi ke dalam suatu sistem koneksi global yang semakin intensif. Sistem koneksi ini telah mempertemukan dua struktur ruang yang memiliki karakteristik berbeda, yaitu “global space” dan “local space”. Struktur ruang global mengandung kekuatan internasionalisasi dan universalisasi dalam bidang ekonomi, budaya, maupun nilai sosial; sementara itu struktur ruang lokal mengandung kekuatan sejarah, adat istiadat, serta kebiasaan hidup sehari-hari. Bertemunya atau berpadunya kedua struktur ruang tersebut telah menciptakan ruang kehidupan (life space) yang bervariasi bukan saja antara satu tempat dan tempat lainnya. Dalam dunia yang terintegrasi tersebut, batas-batas politik semakin kabur, sementara eksistensi dan reputasi individu semakin mendapat kekuatan untuk menerobos sekat-sekat formalisme. Thomas L Friedman, melalui buku berjudul Understanding Globalization: Lexus and Olive Tree (2002) yang menyatakan bahwa integrasi yang terjadi dalam era globalisasi ini ditopang oleh tiga keseimbangan baru yang saling terkait yaitu
a) keseimbangan yang secara tradisional menandai hubungan antar bangsa.
b) keseimbangan antara suatu bangsa (negara) denga pasar ekonomi dunia.
c) keseimbangan antara individu dengan negara .
Pada skala nasional, dewasa ini Kepulauan Nusantara juga sedang mengalami proses transformasi yang dramatis. Kebijakan desentralisasi telah menimbulkan “big bang” dalam sistem pembangunan nasional. Pada sisi lain, konstelasi ruang juga telah dan terus semakin meluas hingga skala global. Seiring dengan devolusi kekuasaan dari pusat ke pinggiran, tarik menarik antara kepentingan lokal, nasional, dan global juga semakin mengemuka. Persaingan dan konflik terus bergerak melintasi batas-batas teritorial politik.
Keteraturan ruang pun senantiasa berubah secara tak terduga. Mencermati situasi di atas, tampaknya “kepastian” akan menjadi hal yang semakin langka. Dalam dunia yang semakin terintegrasi, dinamis, dan berubah ini, satu-satunya hal yang pasti adalah “perubahan” itu sendiri. Oleh karena itu banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa perkembangan ini akan menggiring dunia masuk ke dalam situasi chaos. Untuk menjawab situasi tersebut, Deleuze dan Guattari (1983) mendesak agar masyarakat dunia, terutama para pemimpin negara dan perusahaan, mengubah cara pandang mereka terhadap dunia. Menurutnya, dunia tidak dapat lagi dipandang seperti pohon yang cenderung bersifat sentralistik, hirarkis, birokratis; namun kini harus dilihat seperti tumbuhan merambat (rhizome).
Dalam perspektif ekologis holistik, dalam sebuah sistim terbuka senantiasa terjadi aliran energi dan materi. Bila aliran meningkat sistim akan bergerak menuju bentuk keseimbangan baru. Dalam rangka mencapai keseimbangan baru tersebut, sistim akan melalui sebuah titik ketidakseimbangan. Fritjof Capra (2004:24) menyebut titik tersebut sebagai ‘titik bifurkasi’ , yaitu tempat sistim bisa bercabang menjadi suatu keadaan yang sama sekali baru di mana struktur dan bentuk keteraturan baru dapat muncul.
Epistemologis ini penuh dengan ciri-ciri strukturalis mekanistik deterministik. Ia senantiasa berorientasi pada hal-hal yang “mewujud dan terukur”, sementara ranah kognisi cenderung diabaikan. Oleh sebab itu, perhatian utama dalam penataan ruang terletak pada materi dan bentuk ruang, sementara proses pembentukan dan pemaknaan ruang relatif terabaikan. Kalaupun ada, proses pembentukan dan pemaknaan ruang tersebut telah “terbungkus rapi” dalam berbagai prosedur dan istilahistilah normatif. Dapat diduga dengan mudah bahwa tujuan akhir dari semua itu adalah mengupayakan “keteraturan yang sedapat mungkin dapat bertahan lama
Proses devolusi kekuasaan yang bergeser ke daerah pun tidak mampu merubah struktur “pohon” menjadi “rhizoma”. Hal ini nampaknya disebabkan oleh kekhawatiran besar bahwa proses yang membentuk teritori-teritiori kecil tersebut dikhawatirkan akan mengarah pada disintegrasi nasional. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat saat ini sudah terlihat munculnya gejala postautonomy . Euforia kekuasan di daerah semakin mengikis prinsip-prinsip ekologis yang mengutamakan kerjasama. Batas‐batas administrasi seolaholah menjadi ‘pagar beton’ yang memungkinkan penghuni di dalamnya berperilaku tanpa merasa perlu berkomunikasi dengan tetangganya atau merasa khawatir menggangu lingkungan sekitarnya. Tak ada proses dialog, tak ada pembagian peran, dan tak ada proses integralisasi.(5)
F. Pandangan Alternatif
Paradigma perencanaan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi pada hal-hal yang bersifat real dan terukur (tangible) perlu segera digeser ke arah paradigma pembangunan yang juga memperhatikan aspek pembangunan yang relative tidak nyata dan sulit diukur (intangible). Paradigma pembangunan yang pertama tentunya akan membawa perencanaan pembangunan yang lebih bernuansa saintifik dibandingkan paradigma yang kedua. Namun demikian, pendekatan saintifik ini dengan sendirinya harus melakukan penyederhanaan terhadap komplekstitas dunia nyata sehingga pembahasannya akan cenderung spesifik atau terkotak-kotak. Sedangkan paradigma kedua diharapkan dapat membawa proses perencanaan menjadi sesuatu yang bersifat holistik terutama dalam upaya mengintegrasikan hal yang bersifat nyata dan hal yang bersifat tidak nyata.

5)Menurut Capra terdapat dua tingkat kesadaran, yaitu kesadaran primer dan kesadaran tingkat tinggi. Kesadaran primer
dibentuk oleh pengalaman perseptual, indrawi, dan emosional dasar. Sedangkan kesadaran tingkat tinggi dibentuk oleh prosesberpikir dan merenung. Capra menamakan kesadaran tingkat tinggi sebagai kesadaran reflektif. Lebih jelasnya lihat Capra, F(2004). The Hidden Connection: Strategi Sistematik Melawan Kapitalisme Baru. Yogyakarta: Jalasutra. halaman 51‐52.

Dengan demikian akan tercipta diskursus yang produktif tentang “ruang Indonesia” sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran manusia.(6) Demi mewujudkan integrasi nasional sekaligus mengoptimal pengembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar