Gempa Tasikmalaya Memicu Aktivitas Margin Lempeng Erasia
Gempa Tasikmalaya, Rabu 2 Sptember 2009, merupakan gempa tektonik yang terjadi pada pukul 14.55 WIB dengan kekuatan 7,3 skala richter (SR), pada posisi 8,24 LS - 107.32 BT dan kedalaman 30 kilometer. Gempa itu tergolong sangat spektakuler. Di samping banyaknya korban dan kerugian yang diakibatkannya, secara fisis gempa Tasikmalaya menarik untuk disimak agar kita lebih mampu memahami, mengapa sampai mengakibatkan kerusakan demikian parah dan mengapa guncangannya demikian kuat dirasakan di Jakarta dan kota-kota lain di Pulau Jawa.
Data intensitas menunjukkan bahwa gempa ini telah mengguncang areal yang sangat luas, yaitu sepanjang Bandar Lampung sampai Surabaya, dari Pelabuhan Ratu hingga Jakarta dengan bentangan intensitas tujuh skala MMI (mercalli modified intencity) di sepanjang pesisir selatan Jawa Barat hingga empat skala MMI di Jakarta, dua MMI di Lampung, serta dua MMI di Surabaya.
Sebagian besar laporan menyatakan, guncangan gempa itu sangat kuat ke arah horizontal, lebih dominan dibandingkan dengan arah vertikal, sehingga sangat wajar bila guncangannya mengakibatkan kerusakan yang sangat parah pada bangunan secara sporadis di sepanjang Tasikmalaya, Banjar, Ciamis, Garut, Bandung Selatan, Cianjur hingga kerusakan kecil di Jakarta. Karena komponen horizontal guncangan memang merupakan arah guncangan yang sangat rentan merusak bangunan. Pada struktur bumi itu sendiri sangat rentan mengakibatkan tanah longsor.
Gempa Tasikmalaya masih tetap pada sifatnya, seperti umumnya gempa-gempa di selatan Jawa Barat ( Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Garut, dan Tasikmalaya) yang merupakan gempa bumi tanpa gempa pendahuluan yang berarti. Sehingga, dalam waktu singkat sebelum gempa tidak ada yang memperhatikannya, walau secara probabilitas daerah-daerah itu memang merupakan daerah yang sudah waktunya memiliki kematangan energi gempa bumi.
Di samping yang diuraikan di atas, ternyata secara fisis gempa Tasikmalaya telah memicu aktivitas sisi Asia pertemuan lempeng -margin plate-, tepatnya sisi antara palung pertemuan lempeng Indo Australia dan Erasia dengan daratan bagian dari lempeng Erasia. Di sisi ini terjadi gempa-gempa yang cukup kuat setelah gempa Tasikmalaya.
Gempa-gempa tersebut di antaranya. Pertama, gempa Ujung Kulon, 4 September 2009, dengan kekuatan 5,6 SR. Kedua, gempa Wonosari (Yogyakarta) tanggal 7 September 2009 dengan kekuatan 6,8 SR. Ketiga, gempa Bintuhan, Bengkulu, 7 September 2009 dengan kekuatan 5,4 SR. Keempat, gempa Aceh, 8 September 2009 dengan kekuatan 5,3 SR. Kelima, gempa Muko-Muko, Bengkulu, 8 September 2009, dengan kekuatan 5,0 SR. Keenam, gempa Painan, Sumatera Barat, 9 September 2009, dan ketujuh, dan gempa Krui, Lampung, 9 September 2009, dengan kekuatan 5,2 SR. Guncangan semua gempa ini dirasakan di daerah sekitarnya.
Bila diperhatikan posisi gempa-gempa ini, terlihat bahwa posisinya ada pada margin lempeng Erasia, yang menunjukkan betapa derasnya tekanan relatif dari lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Erasia, di sisi selatan Indonesia bagian barat, sehingga sangat banyak segmen patahan yang aktif di kawasan ini, melepas energinya saat dipicu oleh guncangan gempa Tasikmalaya. Hal ini menunjukkan bahwa sangat besar kekuatan gempa Tasikmalaya hingga mampu memicu terjadinya gempa pada segmen-segmen sesar di sepanjang margin lempeng Erasia. Di samping kerusakan bangunan, struktur permukaan bumi, jumlah korban, dan luasnya daerah yang digoyang, kelihatannya gempa Tasikmalaya telah mampu memicu aktivitas gempa di sepanjang margin Erasia, yang sesisi dengannya.
Dampak Lain
Sering pula dipertanyakan oleh wartawan dampak lain gempa Tasikmalaya, seperti apakah ia akan memicu aktivitas vulkanik di daerah sekitarnya? Apakah aktivitas gempa Tasikmalaya akan memengaruhi letusan lumpur Sidoarjo? Memang sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini dengan pasti, mengingat sifat bumi kita yang tidak homogen, sehingga daerah satu dengan lainnya tidak dapat disamakan. Demikian juga fenomena fisis yang disebabkannya akan tidak serbasama.
Keterpengaruhan gempa bumi Tasikmalaya terhadap aktivitas vulkanik dan aktivitas lumpur Sidoarjo sangat bergantung pada mekanisme yang terjadi di dalam dapur masing-masing vulkanik (termasuk lumpur Sidoarjo yang merupakan lumpur vulkanik), karena statistik menunjukkan beberapa kawasan di Indonesia seperti Sumatera Barat, Merapi -terkait gempa Yogya tiga tahun yang lalu- memang menunjukkan adanya keterpengaruhan, sama seperti aktivitas vulkanik di Maluku Utara yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas gempa bumi di Laut Maluku.
Kalau dihubungkan dengan banyaknya gempa bumi yang dipicu oleh gempa Tasikmalaya, maka sangat kecil kemungkinan keterpengaruhannya terhadap aktivitas vulkanik, karena energi pada margin ini sudah banyak terlepas lewat gempa-gempa yang menyertai secara sporadis episenternya pascagempa Tasikmalaya. Pelepasan energi gempa-gempa ini meredam dampak tekanan, dan diharapkan dapat menurunkan tekanan terhadap perut bumi di bawah Pulau Jawa. Kalau ini yang terjadi, diharapkan aktivitas lumpur Sidoardjo akan dapat berkurang.
gempa subduksi di selatan Jabar bersifat periodik antara 15-50 tahun sekali. “Gempa besar di selatan Tasikmalaya terakhir terjadi pada 29 tahun lalu,” tuturnya.
Ketika itu, pada 1974, gempa berkekuatan 6,1 skala Ritcher mengakibatkan rusaknya 1.430 rumah dan merenggut sepuluh nyawa penduduk. Episenter gempa di 6,5 LS 105,3 BT. Saat itu, sempat dikabarkan terjadi tsunami di wilayah ini.
Enam tahun kemudian, terjadi gempa di daerah yang sama. Namun, episenter yang sedikit berbeda (8,25 LS 108,8 BT). Gempa yang berkekuatan 6,4 SR ini merusak 10 bangunan SD dan getarannya terasa hingga ke Bandung.
Berdasarkan catatan BMKG, wilayah selatan Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya dan Sukabumi, adalah daerah yang paling sering terkena gempa. Sebab, di selatan daerah ini, tepatnya di lepas pantai, terdapat zona subduksi pertemuan dua lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
GEMPA DAN BEBAN PULAU JAWA
GEMPA 7,3 skala Richter mengguncang Jawa Rabu pukul 14.53 WIB (2/9). Pusat gempa berada di 142 km barat daya Tasikmalaya dengan kedalaman 30 kilometer dari permukaan laut. Seluruh Jawa, termasuk gedung pencakar langit di Jakarta, Jogja, atau Bandung, bergoyang. Puluhan orang tewas, luka-luka, dan lainnya terkubur, serta ribuan rumah, masjid, dan fasilitas umum rusak (Jawa Pos 3/9/2009).
Gempa bumi datang tanpa permisi sehingga membuat kita terkejut. Namun, kalau sudah sejak dini dididik untuk mengenali lingkungan, kita akan sadar bahwa Jawa memang daerah rawan gempa. Sayang, sejak dahulu, nenek moyang kita, khususnya di Jawa, tak pernah dididik untuk menghadapi gempa. Tiap ada gempa, mereka memilih lari meninggalkan tempat tinggalnya, sambil meyakini mitos ada yang marah, sehingga gempa terjadi.
Ketika terjadi gempa di Jogjakarta, 27 Mei 2006, yang menewaskan 5.000 jiwa, berkembang mitos Nyai Roro Kidul sedang marah. Bahkan, ada anggota DPR yang berani menyebutkan itu di televisi. Tepatlah apa yang disebut almarhum Mochtar Lubis, jurnalis dan budayawan, bahwa bangsa ini begitu percaya kepada tahayul atau hal-hal mistis sehingga sukar maju. Padahal, kalau kita mau berpikir ilmiah sejak dini, sebagaimana warga Jepang, kita akan menyadari bahwa Pulau Jawa, Sumatera, Bali, NTT, Sulawesi, Maluku, dan Papua, khususnya yang menghadap ke Samudra Indonesia, memang merupakan daerah rawan gempa.
Belajar dari Jepang
Pola pikir mistis itu memang warisan dari nenek moyang yang seperti disebutkan di atas, suka lari tiap ada gempa, mengingat luasnya wilayah dan masih sedikitnya penduduk ketika itu. Berbeda dengan warga Jepang yang wilayahnya sangat terbatas sehingga mereka harus menghadapi gempa.
Sejak bayi, mulai di rumah hingga sekolah, warga Jepang sudah dididik untuk tahu dan sadar akan fakta bahwa mereka hidup di daerah rawan gempa. Mereka sudah tahu bagaimana membangun rumah, fasilitas umum, dan infrastruktur yang tahan gempa. Mereka juga sudah tahu bagaimana harus menyelamatkan diri tiap gempa terjadi. Kalau ada orang asing menjadi penduduk Jepang, sosialisasi akan gempa langsung diberikan. Sosialiasi semacam itu mendesak diajarkan dalam dunia pendidikan kita sehingga warga tidak terus terjebak dalam pola pikir mistis.
Pulau Jawa khususnya, seperti sudah disebutkan, memang rawan gempa. Gempa bisa tektonik atau vulkanik. Untuk memahami gempa tektonik, kita bisa memandang tanah di Jawa ibarat setumpuk kayu lapis yang masing-masing terbuat dari beragam kayu. Ada kayu jati, kayu mahoni, dan sebagainya yang daya tahannya berbeda. Kayu lapis itu terus ditekan oleh tiga ''buldoser'', yakni tiga lempeng tektonik, yaitu Asia, Australia, dan Pasifik. Lempeng tektonik adalah segmen keras kerak bumi yang mengapung di atas astenosfer yang cair dan panas sehingga bebas bergerak. Tiap lempeng berjalan dengan kekuatan satu skala Richter per tahun.
Gerakan dari tiga lempeng tektonik di Jawa, misalnya, bisa menimbulkan pergerakan pada tanah. Lapisan paling atas atau permukaan tanah biasanya bergerak paling keras sehingga kalau ada bangunan bisa roboh dan banyak orang di dalamnya jelas dalam bahaya.
Yang patut diwaspadai, gempa tektonik kali ini bisa pula mendorong terjadinya gempa vulkanik. Konsekuensinya, aktivitas gunung berapi di Jawa yang masih aktif, seperti Kelud atau Semeru, perlu diwaspadai dalam satu hingga dua pekan pascagempa yang berpusat di barat daya Tasikmalaya.
Beban Pulau Jawa
Selain soal sosialisasi gempa, perlu juga dipikirkan soal beban Pulau Jawa agar ke depan tidak makin banyak korban tiap ada gempa. Pulau Jawa memang menderita akibat beban berat. Data geospasial dan kependudukan memperlihatkan, luas Pulau Jawa 132.187 km2 atau 6,9 persen daratan Indonesia. Sayang, jumlah penduduknya sekitar 60 persen penduduk Indonesia. Berarti, kepadatan penduduk di Jawa 813 orang/km2. Relokasi penduduk dan industri ke luar Jawa merupakan langkah yang perlu segera diambil.
Sebab, kalau tidak, akan banyak korban berjatuhan setiap kali terjadi gempa. Dari perspektif ekologi, hutan, dan sumber air di Jawa juga kian tidak mencukupi lagi bagi manusia dan flora-faunanya. Ditambah kasus kebakaran hutan akhir-akhir ini dan rencana pembangunan tol Trans Jawa, pasti akan mengurangi ketersediaan air atau oksigen yang sangat vital bagi kehidupan kita.
Di Jawa, seiring banyaknya kasus alih fungsi hutan untuk lahan pertanian dan perumahan, banyak sumber air juga mulai tidak mengucur.Terlebih di musim kemarau seperti saat ini, banyak warga di Jawa, seperti di beberapa desa di Mojokerto, hingga minum air tercemar (Jawa Pos, 3/9/2009). Beberapa warga di daerah lain harus berjalan beberapa kilometer untuk mendapatkan seember air.
Itu salah satu bukti daya dukung lingkungan Pulau Jawa pun melemah. Jadi, daripada banyak korban berjatuhan tiap ada gempa, bencana, atau krisis air, sebaiknya program relokasi ke luar Jawa segera direalisasikan. Itu sungguh mendesak, daripada pulau-pula di luar kosong, dijual, atau diklaim negara lain. Pemerintahan SBY-Boediono, dengan kabinet barunya, harus bisa mengurangi beban Pulau Jawa.
Studi mekanisme gempa bumi dan tsunami pangandaran secara geodetik
GEMPA PANGANDARAN 17 JULI 2006
Pada tanggal 17 juli 2006 telah terjadi gempa di sebelah selatan pantai Pangandaran. Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika atau PGN BMG menyatakan gempa bumi yang terjadi di kawasan pantai Pangandaran tersebut terjadi pada pukul 15.19 berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), dengan pusat gempa tektonik pada kedalaman kurang dari 30 km di titik 9,4 Lintang Selatan, dan 107,2 Bujur Timur. Pusat gempa tepatnya berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 150 km, dan merupakan zona pertemuan dua lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman kurang dari 30 km.
Gempa bumi yang terjadi tersebut juga menyebabkan terjadinya gelombang tsunami yang menerjang pantai selatan Jawa Barat seperti Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur dan Sukabumi. Bahkan, gelombang tsunami juga menerjang Pantai Cilacap dan Kebumen, Jawa Tengah, serta pantai selatan Kab. Bantul, Yogyakarta. Gempa yang diiringi tsunami ini telah menelan korban jiwa hingga mencapai ratusan orang dan ratusan lainnya mengalami cedera, dan puluhan jiwa dinyatakan hilang. Ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, hancur. Demikian pula, hotel-hotel di sepanjang objek wisata pantai barat Pangandaran.
Getaran gempa tidak begitu terasa oleh masyarakat sepanjang pantai. Namun, kepanikan terjadi ketika muncul gelombang pasang. Akibat air pasang ini, kurang lebih 500 meter dari bibir pantai Pangandaran terendam hingga ketinggian sekitar lima meter. Getaran gempa cukup dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat sampai Jawa Tengah. Sementara itu menurut catatan dilaporkan di beberapa kota di Jawa Barat, di gedung berlantai tinggi, gempa cukup terasa.
—————————————————————————————————————————————————
Sejarah Kegempaan di sekitar Pantai Selatan Jawa
Bila melihat sejarah, menurut Dani Hilman (Geotek LIPI), zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude kegempaan lebih rendah dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera yang rata-rata di atas 8 skala Richter (SR). Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa lebih kecil dibandingkan Sumatera.”Selain itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas 150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau Jawa.
Sejarah gempa di Pulau Jawa yang dimiliki LIPI tidak begitu banyak, hanya untuk rentang waktu 1840-2000. Pada 20 Oktober 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Sedangkan 10 Juni 1867 terjadi gempa di Yogyakarta yang menewaskan 500 orang lebih. Pusat gempa diperkirakan sama dengan gempa yang terjadi di Yogyakarta, Mei 2006 lalu, namun magnitude pada 1867 lebih besar dengan perkiraan 8 SR dibandingkan pada 2006 yang hanya 6,3 SR. Sementara itu pada 11 September 1921 terjadi gempa yang pusatnya berdekatan dengan pusat gempa di Pangandaran pada bulan juli 2006.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Dr Heri Harjono, sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami di Selatan Jawa tidak “terekam” secara alami, seperti halnya di pantai barat Sumatera. Periode naik dan turunnya permukaan pesisir pantai barat Sumatera dalam periode ratusan tahun terekam pada terumbu karang yang hidup disana. Ketika gempa akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik, yang menyebabkan terumbu karang yang naik ke permukaan akan mati. Namun ketika pesisir itu tenggelam karena proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali. Dengan mengetahui sejarah terjadinya gempa besar yang disertai tsunami berdasarkan catatan itu, penduduk paling tidak dapat mengantisipasi periode pengulangan, dan berwaspada pada bahaya itu.
Sedangkan di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Di sekitar daerah ini memiliki topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan yang dangkal diantaranya. Padahal perairan dangkal memungkinkan tumbuhnya terumbu karang. Sejarah kegempaan dan tsunami di Jawa pernah dilaporkan Fisher, peneliti dari Belanda pada tahun 1920an. Laporannya antara lain menyebutkan daerah Pacitan pernah dilanda tsunami.
Dengan melihat fakta informasi yang minim mengenai kegempaan dan tsunami yang terjadi disekitar pantai selatan Jawa, maka wajar saja apabila kita tidak dapat menduga dengan baik potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini, dan bahkan muncul kontradiksi yang menyatakan pantai selatan Jawa aman dari tsunami, atau adanya pernyataan yang mengungkapkan kecilnya peluang untuk terjadi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini.
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti, maka sudah seharusnya penelitian yang lebih intensif dilakukan di sekitar pantai selatan Jawa, untuk melihat karakteristik potensi kegempaan dan tsunami di daerah ini. Salah satu kajian yang menarik setelah terjadinya gempa pangandaran 17 juli 2006 yaitu dengan melakukan penelitian mekanisme gempa yang terjadi di tahun 2006 tersebut dengan menerapkan berbagai metode dan teknologi yang ada.
—————————————————————————————————————————————————
STUDI MEKANISME GEMPA PANGANDARAN 2006 SECARA GEODETIK
Sebagai upaya pembelajaran bagaimana dapat memahami lebih karakteristik kegempaan dan tsunami di sekitar Pantai Selatan Jawa, untuk selanjutnya dijadikan bahan bagi langkah penanganan potensi gempa di masa yang datang khususnya di wilayah Pantai selatan Pangandaran dan sekitarnya, dan umumnya di deretan pantai selatan Jawa, maka salah satunya perlu untuk dilakukan penelitian mekanisme gempa bumi dan tsunami Pangandaran yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006, meski gempanya sudah terjadi.
Untuk melihat mekanisme dari gempa bumi dan tsunami di pangandaran tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan teknologi geodetik seperti Global Positioning System (GPS), untuk melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya Gempa Bumi (coseismic dan postseismic). Studi mengenai tahapan coseismic dan postseismic gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi nilai potensi energi pasca Bencana Alam gempa bumi, untuk dijadikan input upaya mitigasi dimasa datang.
Selain pengukuran dengan GPS, pengukuran tinggi tsunami berdasarkan bukti-bukti fisik di lapangan juga penting untuk dilakukan untuk memodelkan energi gempa yang menyebabkan tsunami dengan lebih baik lagi. Sementara itu tak kalah pentingnya mendapatkan informasi bagaimana penduduk merasakan gempa, getaran seperti apa yang dirasakan, yang akan menjadi salah satu faktor penting untuk memahami karakteristik gempa yang terjadi.
Upaya nyata penelitian pasca gempa di pangandaran 2006 dilakukan oleh KK Geodesi ITB bekerjasama dengan Tokyo University, Nagoya Univerisity, dan BPPT. Pekerjaan survai lapangan dilakukan selama kurang lebih 10 hari dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
1) Pengamatan GPS di titik BPN dan titik lainnya untuk melihat coseismic dan postseismic
2) Mengukur ketinggian tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan
3) Melakukan wawancara dengan penduduk tentang bagaimana mereka merasakan gempa
Di bawah ini adalah gambar dokumentasi dari pemasangan alat GPS di titik-titik BPN dan titik-titik lainnya yang dipilih untuk melihat melihat efek deformasi coseismik dan postseismic akibat dari gempa yang terjadi di Pangandaran 2006
Sementara itu gambar di bawah ini menunjukkan dokumentasi kegiatan pengukuran ketinggian tsunami berdasarkan data-data fisik di lapangan, dan kegiatan wawancara dengan penduduk tentang bagaimana mereka merasakan gempa pada tanggal 17 juli 2006 yang berujung pada terjadinya tsunami.
—————————————————————————————————————————————————
PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dari hasil pengolahan data GPS Pangandaran 2006 menggunakan sofware bernese 4.2 memperlihatkan deformasi coseismic yang cukup kecil besarnya sekitar 2 sentimeter, dengan pola arah menuju ke pusat gempa di selatan Pantai Pangandaran. Pola deformasi menunjukkan mekanisme gempa yang biasa terjadi di zona subduksi. Namun demikian, nilai deformasi yang kecil cukup menarik untuk di kaji lebih lanjut, mengingat gempa ternyata di barengi dengan tsunami.
Untuk mendapatkan deformasi postseismic terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran kembali satu atau dua tahun ke depan setelah gempa. Informasi postseismik akan berguna dalam mengkaji mekanisme release energy gempa, dan evaluasi pada potensi kegempaan untuk masa yang akan datang.
Hasil pengolahan data ketinggian tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan dari sampel yang diambil mulai dari pantai Pameungpeuk, Cipatujah, Sindangkerta, Pangandaran, Kali Peucang, hingga pantai Cilacap, yang diolah oleh Tokyo University (Kato et. Al, 2006), menunjukan ketinggian tsunami ternyata lebih besar nilainya dibandingkan dengan data hasil pemodelan sementara dari data inversi seismisitas. Bahkan di beberapa tempat tertentu tinggi tsunami ada yang mencapai 6 meter lebih.
Hasil wawancara dengan penduduk tentang getaran gempa yang dirasakan secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebagian dari mereka ketika ada di luar rumah dan sekitar pantai hampir tidak merasakan adanya getaran gempa. Orang-orang di sekitar pantai selatan yang berada di dalam rumah rata-rata merasakan adanya getaran gempa. Kemudian informasi penting yaitu jenis getaran yang lambat (slow shaking) dirasakan oleh mereka.
Dari hasil pengolahan data penelitian di atas, terlihat bahwa kejadian gempa di Pangandaran 2006 yang disertai tsunami memberikan mekanisme deformasi coseismic yang kecil (~2cm), kemudian catatan tinggi tsunami yang lebih besar dari pemodelan data seismisitas, dan terakhir gempa tidak terasa cukup kuat dan sifat gempa yang dirasakan berupa getaran lambat (slow shaking). Data-data ini selanjutnya akan digunakan untuk membuat model coseismic slip dan model tsunami. Kesimpulan sementara yang dapat menerangkan gempa diikuti tsunami yang terjadi 17 juli 2006 berdasarkan data-data penelitian di atas yaitu kemungkinan tipe gempa-ya adalah slow earthquake atau tsunami earthquake…
—————————————————————————————————————————————————
Slow Earthquake -Tsunami Earthquake?
Ketika kita menyatakan bahwa gempa dengan kekuatan lebih dari 6 skala richter yang terjadi di laut berpotensi menimbulkan tsunami, itu hanyalah baru sebagai hipotesa awal. Untuk mengetahui secara lebih baik lagi mekanisme gempa yang berpotensi kita harus banyak melakukan penelitian. Dari hasil penelitian yang ada sekarang ini muncul istilah tsunami earthquake atau slow earthquake.
Tsunami earthquake mengambil istilah dari earthquake atau gempa yang menimbulkan tsunami, sementara slow earthquake mengambil istilah dari sifat karakteristik getaran gempa yang lambat (slow shaking) yang dapat menimbulkan tsunami. Secara definisi detail bahwa yang dimaksud tsunami earthquake atau slow earthquake yaitu gempa yang cukup kuat (> 6 skala richter) dengan sifat getaran yang lambat (slow shaking) dan terjadi di laut, kemudian menimbulkan tsunami.
Sifat slow shaking ini yang memberikan respon terhadap dinamika air yang lebih besar dari pada fast shaking (getaran yang cepat). Respon besar inilah yang dapat membangkitkan gelombang tsunami. Getaran yang lambat ini salah satunya dapat disebabkan oleh tebalnya sedimen di sekitar pusat gempa di laut yang memberikan efek lubrikasi ketika gempa terjadi. Sifat getaran yang lambat ini dapat dicirikan dari rekaman long wavelength seismograf, orang merasakan getaran/goyangan yang lamban, dan perbedaan ketinggian model tsunami dengan data fisis di lapangan.
Gempa yang terjadi di Nikaragua tahun 1992 merupakan contoh slow earthquake - tsunami earthquake, dimana gempa pada waktu itu menimbulkan tsunami, dan rekaman gelombang seismik memperlihatkan gelombang long wavelength. Gempa yang terjadi di Pangandaran tahun 2006 mungkin merupakan contoh lain dari slow earthquake -tsunami earthquake apabila melihat data-data yang ada. Untuk memastikannya maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Gempa Selatan Tasikmalaya 26 Juni 2010
Posted on 26 Juni 2010 by Rovicky
1 Votes
Seperti yg sering saya tuliskan ttg hubungan bulan, gerhana, dan gempa. Hari ini kita lihat terjadinya gempa yg kebetulan berdekatan waktunya. Pak Awang menceriterakan kejadian gempa dibawah ini.
Bogor 26 Juni 2010 menjelang pukul 17.00 tengah gerimis turun, digoyang gempa yang cukup membuat pusing. Penduduk Jawa Barat sebelah selatan Bogor ke arah tenggara (Bandung, Garut, Tasikmalaya) pasti lebih kuat merasakannya sebab gempa berasal dari sebelah selatan Jawa Barat.
Sebuah gempa bermagnitude 5,8 Mw, dengan pusat di kedalaman 96,8 km telah terjadi pada 26 Juni 2010 pukul 16.50 WIB di Lautan Hindia sebelah selatan (80 km) Tasikmalaya. Dengan kedalaman hiposentrum seperti itu, bisa disimpulkan bahwa ini merupakan slab earthquake (patahan pada kerak samudera yang menunjam di bawah kerak akresi selatan Jawa Barat). Tahun lalu, gempa yang lokasinya di Samudera Hindia juga sekitar 80 km ke sebelah barat dari posisi sekarang terjadi lebih kuat (sekitar 7,0 SR) dan memakan banyak korban di bagian selatan Jawa Barat serta mengguncang Jakarta dengan kuat.
Semoga gempa sore ini yang baru berlalu tak banyak memakan korban. Guncangan di selatan Tasikmalaya sekitar IV-V MMI, di Bogor sekitar II-III MMI.
Jenis-jenis gempa
Ini bukan gempa yang akan menyebabkan tsunami sebab cukup dalam dan magnitude-nya relatif kurang untuk membangkitkan tsunami, gempa sedalam itu dengan magnitude di bawah 6,5 Mw biasanya hanya akan menghasilkan blind fault (dies out upsection).
Bulan sebagai pemicu gempa.
Kejadian gempa yang diceriterakan Pak Awang di atas tentusaja menarik karena bersamaan dengan fase bulan purnama dan saat terjadinya gerhana bulan sebagian pada hari yang sama. Salah satu dari sekian banyak faktor pemicu gempa diperkirakan adalah gaya tarik bulan. Dibawah ini tabel perigee dan apogee (jarak bumi bulan terdekat dan terjauh) tahun 2010
Memahami Bagian Bumi Yang Kita Huni
1
OKT
“Manusia Tidak Mungkin Bisa Menghentikan Gempa Bumi, Tapi Manusia Masih Bisa Mengurangi Korban Gempa Bumi Asal Manusia Mau Memahami Perilaku Buminya.” – Djajendra
Kita hidup di dalam bumi yang hidup. Bumi yang kita huni ini bukanlah benda mati, tapi dia hidup dan bernyawa seperti diri kita. Saat bumi harus meregangkan tubuhnya, maka gerakan-gerakan bumi menciptakan bencana-bencana buat kita. Sesungguhnya semua bencana yang dihasilkan bumi yang hidup ini bisa diatasi oleh manusia asal manusia mau memahami perilaku buminya dan mau menyesuaikan pola hidupnya sesuai dengan kebesaran buminya.
Sangatlah salah bila manusia menganggap bumi ini benda mati. Sangatlah salah bila manusia berpikir mampu mengeksplorasi bumi sesuka hati. Sangatlah salah jika manusia berpikir mampu menaklukkan bumi.
Bumi tidak pernah diam, bumi terus beraktifitas di dalam kehidupannya. Manusia harus menjadi lebih pintar dan lebih berempati kepada bumi, agar manusia yang menghuninya bisa menjalani kehidupan sambil memahami perilaku buminya.
Setelah serangkaian gempa-gempa besar di bumi Indonesia. Kita seharusnya banyak belajar bahwa bumi yang kita huni ini mengharuskan kita untuk menjalani pola kehidupan yang disesuaikan dengan kondisi bumi kita ini. Gedung-gedung bertingkat yang rubuh dan memperangkap saudara-saudara kita di kota padang oleh gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter, yang juga telah merusak banyak infrastruktur sumatra barat, seharusnya menjadi sebuah awal untuk menyesuaikan kualitas dan kekuatan bangunan infrastruktur yang mampu bertahan dari bumi yang bergerak dengan kekuatan tinggi.
Sebagian besar wilayah Jepang adalah daerah gempa, sama seperti wilayah Indonesia. Tetapi masyarakat Jepang sangat memahami bumi yang mereka huni, dan mereka pun mampu menyesuaikan kualitas dan kekuatan bangunan rumah dan fasilitas lainnya untuk menghadapi gempa-gempa besar. Beberapa gempa besar mulai dari tsunami Aceh, Nias, dan gempa Jogjakarta, Tasikmalaya, Sumatra Barat, dan bagian-bagian Indonesia yang lainnya, seharusnya menjadi titik awal kebangkitan Bangsa Indonesia untuk mulai memahami buminya, dan mulai memperhatikan setiap aspek kualitas gedung-gedung dan infrastruktur agar tahan gempa. Semoga kita mau belajar dari reruntuhan Hotel Ambacang dan gedung LIA di Padang.
Seperti kata sahabat saya si orang Jepang bahwa gempa merupakan bagian dari kehidupan dia sejak kecil. Sebab, bumi yang ia huni selalu bergoyang oleh gempa, tapi secara turun – temurun orang Jepang memahami hal ini, dan tidak berani membangun bangunan yang tidak sesuai dengan perilaku buminya. Kita semua sangat berdukacita melihat begitu banyak korban manusia oleh gempa-gempa yang terjadi di bumi kita. Mungkin kita semua harus segera menyesuaikan pola kehidupan kita dengan bumi kita, agar tidak ada lagi korban-korban yang berjumlah terlalu besar oleh gempa bumi.
Berumah di Tanah Gempa
Tanpa kita sadari, kita hidup di wilayah yang rawan gempa bumi. Sejak tahun 1899 hingga November 2009 terjadi 40 gempa berkekuatan dari 6,3 sampai 9,1 skala Richter. Semakin kemari, gempa dengan kekuatan cukup besar makin kerap terjadi.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Rumah Nias Utara
Gempa terkuat, 9,1 skala Richter (SR), terjadi di lepas pantai barat Aceh dan mengakibatkan tsunami pada 26 Desember 2004. Setelah itu terjadi gempa dalam jarak lebih rapat. Setelah gempa di lepas pantai barat daya Tasikmalaya pada Rabu, 2 September 2009 berkekuatan 7,3 SR, pada 30 September Padang dan Sumatera Barat diguncang gempa berkekuatan 7,6 SR, dan pada 9 November gempa berkekuatan 6,7 SR menggoyang Sumbawa.
Sampai kini belum ada yang dapat meramalkan datangnya gempa, tetapi pencatatan yang lebih baik memperlihatkan Indonesia adalah wilayah dengan kejadian kegempaan berskala besar yang cukup kerap (lihat Tabel halaman 35).
Budayawan Sardono W Kusumo yang terbiasa membaca kearifan lama dalam berkesenian tetap yakin dengan tesis yang dia kemukakan dalam wawancara dengan Kompas pada Agustus 2006. Menurut Sardono, jangan- jangan yang menyatukan bangsa Indonesia adalah unsur tanah dan air dalam arti fisik, bukan konsep.
Begitu banyak jejak sejarah terpampang gamblang. Perpindahan Kerajaan Mataram Hindu (sekitar abad ke-7 sampai abad ke-9) dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, misalnya, bukan tak mungkin disebabkan gempa mengingat peninggalannya, Candi Prambanan dan Candi Borobudur, runtuh dan terkubur sebelum kemudian direkonstruksi pada zaman Belanda sampai setelah Indonesia merdeka.
Ikon spiritual di Bali adalah mitos kehidupan berwujud Gunung Mahameru di atas punggung kura-kura. Di Jawa, visual naga dan makara di keraton dan candi terkait dengan mitos naga sakti Batara Antaboga yang terus menggeliat di perut Bumi.
Dari situ, Sardono menduga kuat faktor terpenting yang melatari kehidupan kita selama ini sebenarnya gempa. Bila saat ini kesadaran seperti itu menipis, tampaknya ada keterputusan pengetahuan.
Zonasi gempa
”Tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari, sejak dulu sebagian besar wilayah Indonesia rawan ancaman gempa bumi,” kata Kepala Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung Dr Ir Wayan Sengara. Keadaan itu berjalan dengan kondisi sosial-ekonomi serta peningkatan pengetahuan dan kemampuan menyiapkan konstruksi tahan gempa yang kalah cepat dari kejadian gempa itu sendiri.
Hasil penelitian bidang geologi, seismologi, teknik gempa, dan teknik sipil bangunan oleh ahli-ahli Indonesia sudah menghasilkan peta bahaya gempa dan zonasi peta gempa Indonesia. Pengetahuan itu melahirkan Standar Nasional Indonesia untuk bangunan tahan gempa.
Masalahnya, menurut Direktur International Association for Earthquake Engineering itu, apakah masyarakat menyadari suatu daerah rawan gempa, apakah desain bangunan memenuhi standar yang berlaku, serta apakah gambar dan spesifikasi teknis desain sesuai dengan kualitas konstruksi.
Dalam peristiwa gempa, korban manusia diakibatkan tertimpa bangunan roboh karena longsor, atau tsunami. ”Jika rumah tinggal dan atau gedung bertingkat dirancang dan dibangun sesuai kaidah teknik yang ada, maka keruntuhan bangunan dapat dikurangi,” kata Sangkertadi, guru besar Sains Bangunan Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (FT Unsrat), Manado.
Manado termasuk daerah yang sering diguncang gempa. Belum terlalu lama berselang pernah ada periode dalam satu minggu terjadi beberapa kali gempa dengan kekuatan 5-6,7 SR. Salah satu penyebab tidak terjadi kerusakan berarti pada bangunan rumah tinggal maupun bangunan umum adalah karena tanah di sana berbatuan keras. ”Penting memahami juga kondisi tanah dan sistem lateral yang akan meredam energi gempa,” papar Kepala Laboratorium Sains dan Teknologi Bangunan FT Unsrat itu.
Kearifan lokal
Keterputusan pengetahuan dari sejarah masa lalu itu tampak ketika terjadi gempa di Pulau Nias di Barat Sumatera pada akhir Maret 2005. Dari 800-an korban tewas, menurut Yori Antar, arsitek yang mendoku-mentasi arsitektur tradisional untuk menggali akar arsitektur Indonesia, sebagian besar karena tertimpa bangunan permanen/tembok.
”Data yang saya punya, hanya satu orang yang tinggal di rumah tradisional Nias meninggal. Itu pun karena rumahnya yang di lereng bukit terguling, bukan roboh,” kata Yori yang pergi ke Nias setelah gempa tersebut.
Padahal, rumah kayu tradisional Nias mendapatkan bentuknya yang sekarang setelah masyarakat Nias melalui pengalaman empiris di pulau yang cukup sering diguncang gempa itu. Struktur rumah tradisional Nias, menurut Yori, sangat maju dan rumit, memakai banyak tiang saling menyilang dan struktur segitiga yang membuatnya tahan gempa.
Ketika gempa berkekuatan 7,3 SR terjadi di barat daya Tasikmalaya, menurut Sangkertadi, rumah adat di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, dan di Kampung Naga, antara Garut dan Tasikmalaya, tetap utuh.
Ketika masyarakat makin makmur dan modern, rumah tradisional yang dibangun dengan desain dan struktur dalam tata ruang yang menyatu dengan lingkungan, berganti menjadi rumah tembok yang dianggap lambang kemajuan.
”Tidak apa-apa menggunakan bata, sepanjang masyarakat tahu status kerawanan daerahnya terhadap gempa dan paham bagaimana membangun di daerah itu,” ungkap Wayan.
Budaya dan hidup-mati
Yori mengakui, ada unsur kesalahan arsitek modern yang terlalu terpesona kemodernan sehingga meninggalkan akar arsitektur Indonesia. ”Kita putus hubungan dengan yang lalu. Tidak salah menjadi modern, tetapi harus punya akar, menggali prinsip arsitektur lokal untuk diterapkan dalam arsitektur modern,” kata Yori.
Jepang adalah contoh bangsa yang menjadi modern tanpa kehilangan akar, yaitu hidup di atas gempa, sehingga menghasilkan bangunan dan tata ruang yang merespons gempa.
Dalam pandangan Sardono, saat ini ketika masyarakat menyerap ketakutan nyata tentang gempa, adalah saat terbaik untuk menata ruang. Zonasi daerah gempa berikut aturan tinggal harus ditetapkan undang-undang. Pemerintah daerah yang dalam era otonomi daerah mencari jati diri seharusnya membangun budaya daerahnya di atas ekosistemnya yang unik, yaitu gempa.
Tanpa kesadaran bahwa karya cipta budaya adalah soal hidup dan mati, survival, bukan klangenan, dan hal paling mendasar adalah menyadari hidup di atas gempa, pembangunan menjadi tidak logis.
Tanpa peraturan yang mengikat secara nasional, akan ter-jadi bencana nasional terus-menerus. Investasi menjadi tidak berguna karena tiap kali hancur oleh gempa.
”Bangsa seperti ini tidak akan maju karena investasi tidak bisa digunakan membangun peradaban. Menemukan pembangunan dalam konteks kebudayaan adalah hal paling dasar,” tandas Sardono.
Kita Hidup di Atas Wilayah Gempa!
Belum kering air mata kesedihan kita terhadap korban gempa di Jawa Barat, ternyata bencana yang sama, bahkan lebih dahsyat, terjadi di kampung halaman saya, di Sumatera Barat, sekarang menyusul di Maluku. Bahkan belum hilang dari ingatan kita mengenai bencana yang melanda saudara kita di Aceh, lagi-lagi kita tidak berdaya menghadapi hukum alam. Kelihatannya ini terjadi di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Barat sampai ke Timur.
Dalam hari ini saja (Minggu, 25 Oktober 2009) telah terjadi 5 gempa di wilayah Indonesia .. NTT, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, dan Maluku .. (TV One)
Okelah, semua pertolongan sudah diupayakan secara maksimal di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Proses rekonstruksi sudah lama berjalan di Aceh, dan akan menyusul di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Mudah-mudahan di Maluku juga segera dilakukan.
Tetapi bagaimana rencana kita ke depan? Inilah yang pantas menjadi renungan bersama.
Kita memang hidup di atas wilayah gempa, yang terkenal dengan istilah Pasific Ring of Fire, yang terbentang mulai dari pesisir barat benua Amerika, terus menyeberang ke Asia, dan pesisi timur benua Asia, dan melintasi seluruh wilayah Indonesia hingga ke Selandia Baru. Jadi jelas sudah, kita memang hidup di atas wilayah gempa. Ini perlu menjadi kesadaran kolektif semua pihak pada bangsa Indonesia ini.
Oke, kalau begitu, so what? Kalau memang ini sudah menjadi fakta yang harus diterima, maka tentu saja kita harus mengembangkan budaya kehidupan yang mawas diri terhadap gempa. Menurut para ahlinya, gempa masih tidak bisa diprediksi kapan persisnya akan terjadi. Tetapi para ilmuwan geologi konon bisa membuat suatu prediksi berdasarkan data geologi atau seismik yang ada. Ini juga termasuk kegiatan gunung berapi yang masih banyak yang aktif di wilayah Indonesia.
Menurut para ahli, gempa itu sendiri tidak akan menyebabkan korban jiwa. Korban jiwa akibat gempa terjadi karena tertimpa reruntuhan bangunan, tanah longsor, atau tsunami. Okelah, untuk yang terakhir, tsunami, mungkin kita susah mencari solusi yang baik. Tetapi rasanya (menurut pandangan saya yang orang awam di bidang ini) kita bisa melakukan sesuatu untuk masalah bangunan dan tanah longsor.
(Gambar zona gempa di Indonesia, putih paling aman, merah paling rawan)
Saya berpendapat, kita perlu beberapa pendekatan untuk membuat mitigasi bencana gempa ini, suatu pendekatan yang sifatnya integratif dan masif.
Secara makro, perlu suatu pendekatan politis. Perlu suatu kesadaran makro bagi para pembuat kebijakan di negara ini, baik pihak eksekutif maupun legislatif, untuk mengakui secara nasional bahwa kita memang hidup di atas wilayah gempa. Apa implikasinya? Ini akan melahirkan berbagai kebijakan pada tingkat nasional mengenai program mitigasi bencana tingkat nasional, seperti tata ruang wilayah, perizinan bangunan, dan sebagainya. Jika ini tidak ada, maka negara ini tidak akan memiliki program mitigasi bencana yang handal secara nasional, dan jika bencana yang sama terjadi kembali, maka korban dalam jumlah besar akan berjatuhan kembali. Barangkali kita perlu belajar dari Jepang untuk hal ini.
Lalu perlu suatu program edukasi masal, apa itu gempa (dan bencana alam lainnya), bagaimana mitigasi bencana, serta apa-apa yang harus dilakukan. Edukasi ini mulai dilakukan di tingkat sekolah dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Jika ini dilakukan, maka akan memberikan kesadaran kolektif, serta kompetensi kolektif kepada masyarakat mengenai mitigasi bencana, dan ujung-ujungnya jika terjadi bencana, jumlah korban bisa minimal. Sekali lagi, kita mungkin perlu belajar dari Jepang untuk hal ini.
Bahkan sebenarnya, kita punya kearifan lokal atau local wisdom mengenai hal ini. Pengalaman masyarakat di pulau Simeulue di Aceh perlu mendapatkan perhatian. Mereka memiliki semacam folklore yang terinternalisasi menjadi kearifan lokal (berdasarkan tsunami tahun 1907), apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa. Makanya, sewaktu terjadi tsunami, jumlah korban agak minimal di sana.
Kampanya masal ini harus dilakukan. Menurut saya, bahkan sangat mendesak. Para ahli bahkan mulai mengidentifikasi titik-titik yang berpotensi menimbukan gempa dahsyat di wilayah Indonesia, misalnya patahan Lembang di Bandung, juga masih adanya seismic gap di sekitar selat Sunda yang menimbulkan kecurigaan.
Dalam skala yang lebih operasional, mari kita membenahi bangunan dan tempat tinggal kita masing-masing sehingga bisa mengakomodasi terjadinya gempa. Para ahli yang relevan perlu menyebarkan informasi kepada masyarakat luas secara nasional, bagaimana bangunan yang tahan gempa?
Intinya, tentu kita tidak ingin korban yang begitu banyak berjatuhan lagi di masa mendatang. Suka tidak suka, kita memang hidup di atas wilayah gempa.
Tuhan pun sudah jelas mengatakan kepada kita, Dia tidak akan memperbaiki nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak berupaya mengubahnya. Tuhan juga memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada manusia, untuk dipergunakan seoptimal mungkin dalam kehidupan. Barangkali sikap tidak peduli dan kepentingan jangka pendek yang menghalangi semua upaya ini … semoga tidak.
Gempa, Sains, dan Tuhan
Mayoritas warga kita memang beragama, tapi pakar Islam asal Belanda, Karel Steenbrink, pernah melontarkan kritik bahwa Indonesia itu "too much religions!". Maksudnya, segala sesuatu sering dikait-kaitkan dengan Tuhan, termasuk pada waktu gempa dan pada hari-hari terakhir ini.
Berhubung tidak punya pola pikir ilmiah, warga kita pun gampang dikelabui isu gempa, entah lewat kabar dari mulut ke mulut atau lewat SMS. Misalnya, di Jawa Timur pernah beredar isu lewat SMS yang menyebutkan pada Rabu, 7 Oktober 2008, pukul 1 dinihari, Jawa Timur akan diguncang oleh gempa bumi dengan kekuatan 8,8 pada skala Richter (SR). Warga pun panik luar biasa. Tak ketinggalan pula para orang tua siswa memaksa sekolah untuk mengakhiri proses belajar-mengajar lebih awal. Di Jakarta juga beredar SMS pada 24 Oktober bakal terjadi gempa. Ke depan, pasti akan ada SMS gempa seperti ini yang dilakukan oleh orang iseng.
Masih lakunya SMS seperti itu jelas menunjukkan sebagian besar dari kita memang belum berani berpikir kritis, benar, dan ilmiah, tanpa mengabaikan agama atau Tuhan. Ini jelas sebuah eskapisme keagamaan atau fatalisme iman daripada sebuah tindakan bertanggung jawab.
Tak mengherankan jika setiap terjadi bencana, yang paling sering dilakukan adalah melakukan simplikasi bahwa bencana itu sebagai hukuman atau kutukan. Bahkan ada ustad yang langsung mengutip ayat-ayat bencana dalam Al-Quran disertai nada yang sangat emosional, entah sebagai tanda penyerahan diri atau mungkin sebagai tanda ketidakberdayaan dalam memahami sains.
Kita tentu masih ingat, setelah gempa Sumatera Barat pada 30 September lalu, beredar SMS atau tulisan di Internet yang mengaitkan waktu terjadinya gempa di Sumatera Barat dengan ayat Al-Quran. Misalnya waktu terjadinya gempa itu, yakni 17.16 WIB, dikaitkan dengan QS 17:16 yang berbunyi, "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadap perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya."
Sedangkan gempa di Jambi, yang jatuh pada 1 Oktober 2009 pukul 8:52, dikaitkan dengan QS 8:52: "(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah mahakuat lagi amat keras siksaan-Nya."
Pengaitan waktu gempa dengan ayat Al-Quran sebenarnya kurang berdasar. Pasalnya, menurut BMKG, hampir tiap hari di negeri kita terjadi 10 hingga 20 gempa dari yang ringan, sedang, hingga kuat. Mengapa tidak tiap hari dicari ayatnya?
Ulama menolak
Ulama sekaliber Dr Yusuf Al-Qaradlawi pernah memfatwakan dan menyebut bid'ah setiap upaya menghubung-hubungkan segala kemukjizatan angka dengan Al-Quran. Jangan lupa pula, gempa bumi di Padang atau Tasikmalaya adalah suatu sunatullah atau hukum alam yang bahkan oleh para pakar gempa disebut sebagai suatu keniscayaan sama halnya dengan turunnya hujan, badai, kemarau, dan lain-lain. Jelas sebuah analisis dangkal mengaitkan waktu gempa dengan ayat Al-Quran. Di negara rentan gempa ini, sebenarnya tiap hari memang ada gempa, meski berkekuatan rendah. Mengapa ini tak dikaitkan dengan ayat Al-Quran? Menurut Goenawan Mohamad, kalau kita percaya Tuhan sebagai pemicu gempa, kita percaya pada Tuhan yang kejam.
Sekali lagi, kita memang belum mampu berpikir ilmiah sekaligus beragama dan beriman secara tepat, sehingga merespons secara keliru setiap kali terjadi gempa atau bencana alam. Kita harus kembali menyadari bahwa Tuhan menciptakan semesta alam ini dengan hukum-hukumnya sendiri. Menurut kajian geologi, bumi dengan berbagai lapisan tanahnya selalu berkembang, berubah, memuai. Tiap satu lapisan dengan lapisan lain bisa bertumbukan. Akibat tumbukan itu, muncullah gempa seperti di Sumatera Barat atau Jawa Barat. Gempa tetap akan terjadi di Sumatera Barat seandainya kawasan itu tidak dihuni manusia, karena memang sudah menjadi keniscayaan gempa itu terjadi.
Gempa di Sumatera Barat atau Jawa Barat membawa banyak korban manusia tewas, bukan karena gempa itu sendiri, melainkan karena rumah, gedung, dan infrastruktur yang dibuat manusia. Kebanyakan korban tertimpa atap, gedung, atau tertimbun di dalamnya sehingga tewas. Jadi ternyata penderitaan yang berkaitan dengan gempa sebenarnya dipicu oleh manusia sendiri. Hanya akibat manusia salah atau keliru di dalam mengenali hukum alam atau sunatullah, terjadilah penderitaan yang begitu luar biasa.
Hukum alam
Karena itu, yang perlu dilakukan ialah memahami hukum alam, mengerti geologi, memahami sains atau iptek sebagai turunan dari ilmu tauhid atau akidah. Selanjutnya, manusia yang cerdas perlu memilih tempat tinggal atau piawai dalam membangun infrastruktur yang tahan terhadap gempa.
Sangat disesalkan bahwa kita, yang secara geologis tinggal di wilayah rentan gempa, lebih suka merespons fenomena seperti gempa dari kacamata mistis atau pendekatan agama yang salah. Padahal, kondisi di wilayah rentan gempa jelas menuntut tindakan nyata untuk menyesuaikan dengan kondisinya. Di sinilah sangat mendesak diperlukan mitigasi bencana, yakni pemetaan atau kesiapan dengan membuat langkah untuk menghindari atau meminimalkan dampak dari suatu bencana seperti gempa bumi ini.
Jadi, meskipun manusia berdoa seribu kali kepada Tuhan agar dihindarkan dari gempa, kalau si manusia keliru dalam membangun rumah sehingga konstruksi dan bangunannya tidak tahan gempa, apalagi di kawasan rentan gempa, tetap saja manusia itu akan jadi korban gempa. Beriman kepada Tuhan juga perlu disertai bernalar secara ilmiah. Dan bernalar secara ilmiah bukan berarti menyepelekan Tuhan.
Bagaimanapun, Tuhan tetap punya kuasa atas alam, tetapi alam memiliki hukumnya sendiri sesuai dengan ketentuan Tuhan. Menurut Qur'an, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak terlebih dulu mengubah dirinya. Untuk itu, dunia iptek kita harus dibuat maju sehingga kita tidak terjebak dalam simplifikasi bencana seraya mengutip ayat-ayat bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar