Studi mekanisme gempa bumi dan tsunami pangandaran secara geodetik
GEMPA PANGANDARAN 17 JULI 2006
Pada tanggal 17 juli 2006 telah terjadi gempa di sebelah selatan pantai Pangandaran. Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika atau PGN BMG menyatakan gempa bumi yang terjadi di kawasan pantai Pangandaran tersebut terjadi pada pukul 15.19 berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), dengan pusat gempa tektonik pada kedalaman kurang dari 30 km di titik 9,4 Lintang Selatan, dan 107,2 Bujur Timur. Pusat gempa tepatnya berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 150 km, dan merupakan zona pertemuan dua lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman kurang dari 30 km.
Gempa bumi yang terjadi tersebut juga menyebabkan terjadinya gelombang tsunami yang menerjang pantai selatan Jawa Barat seperti Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur dan Sukabumi. Bahkan, gelombang tsunami juga menerjang Pantai Cilacap dan Kebumen, Jawa Tengah, serta pantai selatan Kab. Bantul, Yogyakarta. Gempa yang diiringi tsunami ini telah menelan korban jiwa hingga mencapai ratusan orang dan ratusan lainnya mengalami cedera, dan puluhan jiwa dinyatakan hilang. Ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai Krapyak, Kalipucang, Parigi, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya, hancur. Demikian pula, hotel-hotel di sepanjang objek wisata pantai barat Pangandaran.
Getaran gempa tidak begitu terasa oleh masyarakat sepanjang pantai. Namun, kepanikan terjadi ketika muncul gelombang pasang. Akibat air pasang ini, kurang lebih 500 meter dari bibir pantai Pangandaran terendam hingga ketinggian sekitar lima meter. Getaran gempa cukup dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalam rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat sampai Jawa Tengah. Sementara itu menurut catatan dilaporkan di beberapa kota di Jawa Barat, di gedung berlantai tinggi, gempa cukup terasa.
—————————————————————————————————————————————————
Sejarah Kegempaan di sekitar Pantai Selatan Jawa
Bila melihat sejarah, menurut Dani Hilman (Geotek LIPI), zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude kegempaan lebih rendah dibandingkan dengan zona subduksi Sumatera yang rata-rata di atas 8 skala Richter (SR). Sedangkan waktu terjadinya gempa pun di Jawa lebih kecil dibandingkan Sumatera.”Selain itu lempeng Jawa pun sudah tua, berusia di atas 150 juta tahun. Gerakan tektoniknya pun berat sehingga tidak terlalu menekan ke arah Pulau Jawa.
Sejarah gempa di Pulau Jawa yang dimiliki LIPI tidak begitu banyak, hanya untuk rentang waktu 1840-2000. Pada 20 Oktober 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Sedangkan 10 Juni 1867 terjadi gempa di Yogyakarta yang menewaskan 500 orang lebih. Pusat gempa diperkirakan sama dengan gempa yang terjadi di Yogyakarta, Mei 2006 lalu, namun magnitude pada 1867 lebih besar dengan perkiraan 8 SR dibandingkan pada 2006 yang hanya 6,3 SR. Sementara itu pada 11 September 1921 terjadi gempa yang pusatnya berdekatan dengan pusat gempa di Pangandaran pada bulan juli 2006.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Dr Heri Harjono, sejarah kegempaan yang menimbulkan tsunami di Selatan Jawa tidak “terekam” secara alami, seperti halnya di pantai barat Sumatera. Periode naik dan turunnya permukaan pesisir pantai barat Sumatera dalam periode ratusan tahun terekam pada terumbu karang yang hidup disana. Ketika gempa akibat sesar naik maka pesisir pantai akan naik, yang menyebabkan terumbu karang yang naik ke permukaan akan mati. Namun ketika pesisir itu tenggelam karena proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali. Dengan mengetahui sejarah terjadinya gempa besar yang disertai tsunami berdasarkan catatan itu, penduduk paling tidak dapat mengantisipasi periode pengulangan, dan berwaspada pada bahaya itu.
Sedangkan di pesisir selatan Jawa tidak ditemukan koloni terumbu karang. Di sekitar daerah ini memiliki topografi yang berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan yang dangkal diantaranya. Padahal perairan dangkal memungkinkan tumbuhnya terumbu karang. Sejarah kegempaan dan tsunami di Jawa pernah dilaporkan Fisher, peneliti dari Belanda pada tahun 1920an. Laporannya antara lain menyebutkan daerah Pacitan pernah dilanda tsunami.
Dengan melihat fakta informasi yang minim mengenai kegempaan dan tsunami yang terjadi disekitar pantai selatan Jawa, maka wajar saja apabila kita tidak dapat menduga dengan baik potensi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini, dan bahkan muncul kontradiksi yang menyatakan pantai selatan Jawa aman dari tsunami, atau adanya pernyataan yang mengungkapkan kecilnya peluang untuk terjadi gempa yang diiringi tsunami di daerah ini.
Untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti, maka sudah seharusnya penelitian yang lebih intensif dilakukan di sekitar pantai selatan Jawa, untuk melihat karakteristik potensi kegempaan dan tsunami di daerah ini. Salah satu kajian yang menarik setelah terjadinya gempa pangandaran 17 juli 2006 yaitu dengan melakukan penelitian mekanisme gempa yang terjadi di tahun 2006 tersebut dengan menerapkan berbagai metode dan teknologi yang ada.
—————————————————————————————————————————————————
STUDI MEKANISME GEMPA PANGANDARAN 2006 SECARA GEODETIK
Sebagai upaya pembelajaran bagaimana dapat memahami lebih karakteristik kegempaan dan tsunami di sekitar Pantai Selatan Jawa, untuk selanjutnya dijadikan bahan bagi langkah penanganan potensi gempa di masa yang datang khususnya di wilayah Pantai selatan Pangandaran dan sekitarnya, dan umumnya di deretan pantai selatan Jawa, maka salah satunya perlu untuk dilakukan penelitian mekanisme gempa bumi dan tsunami Pangandaran yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006, meski gempanya sudah terjadi.
Untuk melihat mekanisme dari gempa bumi dan tsunami di pangandaran tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan teknologi geodetik seperti Global Positioning System (GPS), untuk melihat deformasi yang mengiringi tahapan mekanisme terjadinya Gempa Bumi (coseismic dan postseismic). Studi mengenai tahapan coseismic dan postseismic gempa ini akan sangat berguna dalam melakukan evaluasi nilai potensi energi pasca Bencana Alam gempa bumi, untuk dijadikan input upaya mitigasi dimasa datang.
Selain pengukuran dengan GPS, pengukuran tinggi tsunami berdasarkan bukti-bukti fisik di lapangan juga penting untuk dilakukan untuk memodelkan energi gempa yang menyebabkan tsunami dengan lebih baik lagi. Sementara itu tak kalah pentingnya mendapatkan informasi bagaimana penduduk merasakan gempa, getaran seperti apa yang dirasakan, yang akan menjadi salah satu faktor penting untuk memahami karakteristik gempa yang terjadi.
Upaya nyata penelitian pasca gempa di pangandaran 2006 dilakukan oleh KK Geodesi ITB bekerjasama dengan Tokyo University, Nagoya Univerisity, dan BPPT. Pekerjaan survai lapangan dilakukan selama kurang lebih 10 hari dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
1) Pengamatan GPS di titik BPN dan titik lainnya untuk melihat coseismic dan postseismic
2) Mengukur ketinggian tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan
3) Melakukan wawancara dengan penduduk tentang bagaimana mereka merasakan gempa
Di bawah ini adalah gambar dokumentasi dari pemasangan alat GPS di titik-titik BPN dan titik-titik lainnya yang dipilih untuk melihat melihat efek deformasi coseismik dan postseismic akibat dari gempa yang terjadi di Pangandaran 2006
Sementara itu gambar di bawah ini menunjukkan dokumentasi kegiatan pengukuran ketinggian tsunami berdasarkan data-data fisik di lapangan, dan kegiatan wawancara dengan penduduk tentang bagaimana mereka merasakan gempa pada tanggal 17 juli 2006 yang berujung pada terjadinya tsunami.
—————————————————————————————————————————————————
PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dari hasil pengolahan data GPS Pangandaran 2006 menggunakan sofware bernese 4.2 memperlihatkan deformasi coseismic yang cukup kecil besarnya sekitar 2 sentimeter, dengan pola arah menuju ke pusat gempa di selatan Pantai Pangandaran. Pola deformasi menunjukkan mekanisme gempa yang biasa terjadi di zona subduksi. Namun demikian, nilai deformasi yang kecil cukup menarik untuk di kaji lebih lanjut, mengingat gempa ternyata di barengi dengan tsunami.
Untuk mendapatkan deformasi postseismic terlebih dahulu harus dilakukan pengukuran kembali satu atau dua tahun ke depan setelah gempa. Informasi postseismik akan berguna dalam mengkaji mekanisme release energy gempa, dan evaluasi pada potensi kegempaan untuk masa yang akan datang.
Hasil pengolahan data ketinggian tsunami berdasarkan bukti fisik di lapangan dari sampel yang diambil mulai dari pantai Pameungpeuk, Cipatujah, Sindangkerta, Pangandaran, Kali Peucang, hingga pantai Cilacap, yang diolah oleh Tokyo University (Kato et. Al, 2006), menunjukan ketinggian tsunami ternyata lebih besar nilainya dibandingkan dengan data hasil pemodelan sementara dari data inversi seismisitas. Bahkan di beberapa tempat tertentu tinggi tsunami ada yang mencapai 6 meter lebih.
Hasil wawancara dengan penduduk tentang getaran gempa yang dirasakan secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebagian dari mereka ketika ada di luar rumah dan sekitar pantai hampir tidak merasakan adanya getaran gempa. Orang-orang di sekitar pantai selatan yang berada di dalam rumah rata-rata merasakan adanya getaran gempa. Kemudian informasi penting yaitu jenis getaran yang lambat (slow shaking) dirasakan oleh mereka.
Dari hasil pengolahan data penelitian di atas, terlihat bahwa kejadian gempa di Pangandaran 2006 yang disertai tsunami memberikan mekanisme deformasi coseismic yang kecil (~2cm), kemudian catatan tinggi tsunami yang lebih besar dari pemodelan data seismisitas, dan terakhir gempa tidak terasa cukup kuat dan sifat gempa yang dirasakan berupa getaran lambat (slow shaking). Data-data ini selanjutnya akan digunakan untuk membuat model coseismic slip dan model tsunami. Kesimpulan sementara yang dapat menerangkan gempa diikuti tsunami yang terjadi 17 juli 2006 berdasarkan data-data penelitian di atas yaitu kemungkinan tipe gempa-ya adalah slow earthquake atau tsunami earthquake…
—————————————————————————————————————————————————
Slow Earthquake -Tsunami Earthquake?
Ketika kita menyatakan bahwa gempa dengan kekuatan lebih dari 6 skala richter yang terjadi di laut berpotensi menimbulkan tsunami, itu hanyalah baru sebagai hipotesa awal. Untuk mengetahui secara lebih baik lagi mekanisme gempa yang berpotensi kita harus banyak melakukan penelitian. Dari hasil penelitian yang ada sekarang ini muncul istilah tsunami earthquake atau slow earthquake.
Tsunami earthquake mengambil istilah dari earthquake atau gempa yang menimbulkan tsunami, sementara slow earthquake mengambil istilah dari sifat karakteristik getaran gempa yang lambat (slow shaking) yang dapat menimbulkan tsunami. Secara definisi detail bahwa yang dimaksud tsunami earthquake atau slow earthquake yaitu gempa yang cukup kuat (> 6 skala richter) dengan sifat getaran yang lambat (slow shaking) dan terjadi di laut, kemudian menimbulkan tsunami.
Sifat slow shaking ini yang memberikan respon terhadap dinamika air yang lebih besar dari pada fast shaking (getaran yang cepat). Respon besar inilah yang dapat membangkitkan gelombang tsunami. Getaran yang lambat ini salah satunya dapat disebabkan oleh tebalnya sedimen di sekitar pusat gempa di laut yang memberikan efek lubrikasi ketika gempa terjadi. Sifat getaran yang lambat ini dapat dicirikan dari rekaman long wavelength seismograf, orang merasakan getaran/goyangan yang lamban, dan perbedaan ketinggian model tsunami dengan data fisis di lapangan.
Gempa yang terjadi di Nikaragua tahun 1992 merupakan contoh slow earthquake - tsunami earthquake, dimana gempa pada waktu itu menimbulkan tsunami, dan rekaman gelombang seismik memperlihatkan gelombang long wavelength. Gempa yang terjadi di Pangandaran tahun 2006 mungkin merupakan contoh lain dari slow earthquake -tsunami earthquake apabila melihat data-data yang ada. Untuk memastikannya maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
LEMBANG, POTENSI GEMPA TERBESAR DI JAWA
Gempa masih rawan terjadi di Pulau Jawa sepanjang tahun depan.Adapun potensi gempa yang lebih besar berada di sekitar patahan utama gempa di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hery Harjono timnya akan fokus mengumpulkan data untuk menemukan pola gempa dan geofisika patahan di wilayah Lembang.
”Kami akan mulai dengan memetakan patahan-patahan aktif yang ada di sana,” kata Hery di Jakarta kemarin. Pulau Jawa, kata dia, rawan gempa sejak terjadi gempa bumi dan tsunami di Aceh, pada 2004 lalu. Maka itu,Pulau Jawa akan menjadi sasaran penelitian kegempaan setelah Pulau Sumatera.
“Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui secara persis lokasi sesar atau patahan. Kami tahu ada patahan, tapi tidak tahu di mana patahannya,” ujar Hery. Penelitian kegempaan di Pulau Jawa sudah dilakukan sejak 2005 dan diharapkan akan selesai dalam lima tahun. Selain daerah Lembang, LIPI juga akan meneliti daerah pantai seperti Pantai Pangandaran.
Sepanjang pantai selatan, menurut Hery, dihadapkan langsung pada zona subduksi atau pertemuan antara lempeng Australia dan Euroasia di Palung Jawa yang berada di Laut Hindia. Sedangkan di daratan,ada sejumlah patahan aktif dekat pemukiman padat penduduk, seperti Patahan Cimandiri yang melewati Sukabumi, patahan Lembang yang memotong Bandung, patahan Opak di Yogyakarta, dan patahan lain di bagian utara Jawa.
Nantinya, LIPI juga berencana menganalisis sejarah tsunami di Jawa dengan melakukan pemodelan pergerakan palung Jawa dan penggalian di beberapa titik sampel sepanjang pantai selatan Jawa. Namun, lanjut Hery, tujuan utama penelitian tersebut adalah sosialisasi kepada masyarakat agar siap menghadapi bencana.
”Untuk tahun 2009, penelitian gempa akan difokuskan di Cekungan Bandung, dan sekitarnya,”cetusnya. Sementara itu, ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Brahmantyo mengungkapkan, saat ini eksplorasi alam di Cekungan Bandung belum menjadi agenda utama pemerintah dalam menanggulangi permasalahan alam.
Padahal, pusat Cekungan Bandung yang berada di Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat memberikan sumbangan paling besar terhadap kerusakan alam. ”Jika Cekungan Bandung tak diperhatikan tak mustahil berpotensi menimbulkan bencana gempa bumi maha dahsyat,”ujarnya.
Budi menjelaskan, Cekungan Bandung yang memiliki luas 348.786 hektare mempunyai tiga kawasan yang memiliki potensi dan permasalahan alam berbeda. Cekungan Bandung membentang di empat kabupaten atau kota melewati Kota Bandung, Kota Cimahi,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.
Potensi Gempa Dari Lempeng Samudra
Potensi Gempa Dari Lempeng Samudra
Sejumlah warga dan aparat keamanan melakukan pencarian korban di daerah bencana tanah longsor akibat guncangan gempa di Desa Cikangkareng Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur Selatan, Jawa Barat, Jumat (4/9). (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Yogyakarta (ANTARA News) - Potensi gempa dari lempeng samudra masih menjadi kajian para ahli sepanjang zaman. Kajian itu di antaranya di Indonesia yang selama ini meneliti pergeseran lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
Gempa bumi tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter (SR) di laut selatan Jawa Barat atau di Samudra Hindia, Rabu (2/9) pukul 14.55 WIB dengan pusat gempa 104 km di barat daya Tasikmalaya, terjadi akibat penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia.
Pusat gempa berada di koordinat 8.24 Lintang Selatan (LS) - 107.32 Bujur Timur (BT) dengan kedalaman 30 kilometer.
Menurut pakar tsunami, Budi Waluyo, penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia selama ini terus terjadi sampai sekarang.
"Jika batuan pada lempeng Eurasia kuat menahan, terkumpul energi besar. Apabila suatu saat tak kuat menahan, energi tersebut lepas dan menjadi sumber kekuatan gempa," kata Kepala Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta itu.
Ia mengatakan dari penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia, terjadi pergeseran rata-rata tujuh sentimeter setiap tahun.
Menurut Budi, Samudra Hindia termasuk laut selatan Jawa merupakan kawasan rawan tsunami.
Ia menyebutkan akibat gempa tektonik berkekuatan 6,8 SR di laut selatan Jawa pada 17 Juli 2006 pukul 15.19.73 WIB terjadi tsunami yang melanda pantai selatan itu.
Tsunami terjadi pada pukul 15.39.45 WIB, atau sekitar 20 menit setelah gempa. Ketinggian gelombang tsunami bervariasi antara satu hingga 3,5 meter, dan rambahan 75 - 500 meter.
Pusat gempa saat itu berada di koordinat 9.295 LS - 107.347 BT pada kedalaman delapan kilometer.
Koordinat 9.295 LS - 107.347 BT tersebut berada dekat dengan pusat gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9) pukul 14.55 WIB di koordinat 8.24 LS - 107.32 BT dengan kedalaman 30 kilometer.
Berdasarkan hasil survei lapangan setelah terjadi gempa tektonik berkekuatan 6,8 SR di laut selatan Jawa pada 17 Juli 2006 pukul 15.19.73 WIB yang kemudian terjadi tsunami, terekam data tsunami melanda beberapa lokasi di sepanjang pantai selatan tersebut.
Survei lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) dan pengukuran jejak ketinggian serta jejak jarak rambahan, terekam data setelah gempa terjadi tsunami di beberapa lokasi di pantai selatan Jawa mulai dari Kebumen, Cilacap hingga Pangandaran.
Bahkan, menurut Budi Waluyo, tsunami yang terjadi saat itu sampai ke pantai Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Memang ketika itu tidak sampai diberitakan media massa, sehingga tidak banyak diketahui masyarakat bahwa pantai Sadeng dilanda tsunami," katanya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan warga pantai selatan Jawa selalu waspada terhadap kemungkinan terjadi gempa di Samudra Hindia dengan kekuatan besar dan pusat gempa dangkal, karena berpotensi menyebabkan tsunami.
Terkait dengan gempa di laut selatan Jawa Barat, Rabu, 2 September 2009 pukul 14.55 WIB yang pusat gempanya di 104 km barat daya Tasikmalaya itu, BMKG sempat mengeluarkan peringatan dini bahaya tsunami.
Namun, setengah jam kemudian BMKG mencabut peringatan dini itu, karena tidak terjadi tsunami.
Gerak sesar naik
Dari analisa terhadap gempa tektonik berkekuatan 6,8 SR di laut selatan Jawa pada 17 Juli 2006 pukul 15.19.73 WIB yang kemudian terjadi tsunami, berdasarkan posisi pusat gempa saat itu, dan kedalaman serta mekanisme fokal, diperkirakan telah terjadi mekanisme gerak sesar naik di dasar samudra dengan patahan berarah U 270 derajat - 300 derajat T, dan kemiringan sekitar 7 derajat ke utara.
Patahan tersebut kemungkinan besar berhubungan dengan pergerakan dan runtuhan dari prisma akresi yang dipicu oleh penunjaman lempeng Indo-Australia.
Patahan itu menyebabkan terjadinya dislokasi masa batuan, yang kemudian mendorong sejumlah besar volume air laut, sehingga membentuk gelombang pasang yang bergerak secara radikal menjauhi pusat gempa.
Berdasarkan hasil pengukuran ketinggian dan rambahan tsunami di beberapa lokasi, terlihat kecenderungan terjadi penguatan amplitudo (atenuasi) gelombang tsunami di teluk-teluk yang langsung menghadap laut lepas.
Keberadaan paparan pantai dengan kedalaman air relatif dangkal kemungkinan menyebabkan pecahnya gelombang tsunami pada saat menghantam pantai, sehingga menimbulkan kerusakan parah sampai radius 100 - 300 meter dari titik pasang tertinggi.
Rekaman data lapangan di sepanjang wilayah bencana menunjukkan pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat terlanda tsunami paling berat.
Pantai Pangandaran bagian barat relatif mengalami kerusakan lebih parah akibat terjangan gelombang pasang, jika dibandingkan Pantai Pangandaran bagian timur.
Keberadaan Semenanjung Pananjung relatif melindungi Pantai Pangandaran bagian timur dari terjangan gelombang pasang.
Pada saat kejadian, gelombang pasang yang menghantam Semenanjung Pananjung dipantulkan, sehingga bergerak menuju Pantai Pangandaran bagian barat dengan ketinggian sekitar dua meter pada jarak sekitar 200 meter dari garis pantai.
Berdasarkan data ketinggian dan rambahan tsunami, diharapkan ada interpretasi tentang zona-zona rawan, dan ini sebagai masukan bagi penataan kembali tata ruang di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa.
Bukan rambatan Sumatra
Pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Afnimar mengatakan gempa Tasikmalaya, Jabar berkekuatan 7,3 SR, Rabu (2/9) pukul 14.55 WIB bukan merupakan rambatan gempa dari Siberut, Sumatra Barat pada pagi harinya, Rabu pukul 09.08 WIB.
"Gempa Sumatra memicu gempa di Jawa, secara saintifik tidak masuk akal, karena lokasinya terlalu jauh," kata Afnimar.
Menurut dia, semua kawasan di sepanjang pantai barat Sumatra hingga pantai selatan Jawa sampai pantai selatan Nusa Tenggara berpotensi terjadi gempa, karena terletak di tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.
Artinya, kata dia, masing-masing lokasi di kawasan itu memiliki zona gempa sendiri-sendiri yang tidak saling terkait antara zona satu dengan zona lainnya.
"Kebetulan saja terjadi dua gempa yang dirasakan dalam satu hari," katanya.
Ia mengatakan gempa tersebut terjadi jika di suatu lokasi terdapat akumulasi energi yang sudah tidak bisa ditahan lagi oleh titik tersebut.
"Gempa itu bisa saja memicu gempa susulan di sekitarnya, tetapi masih tetap di zona yang sama," katanya.
Namun, Afnimar sependapat bahwa suatu gempa yang besar bisa saja dirasakan hingga ke lokasi yang sangat jauh, misalnya gempa yang berpusat di 104 barat daya Tasikmalaya itu juga dirasakan oleh penduduk Denpasar, Bali.
"Gempa tersebut getarannya bisa saja dirasakan hingga ke seluruh dunia, apabila gempanya sangat besar. Kalau gempa Tasikmalaya, tentu saja tidak akan bisa dirasakan di Amerika Serikat, karena terlalu jauh," katanya.
Menurut BMKG, gempa Tasikmalaya pada Rabu 2 September 2009 itu terasa di Jakarta sebesar IV modified mercalli intensity (MMI).
Pada III-IV MMI gempa dirasakan semua orang, IV-V MMI gempa dirasakan semua orang tanpa ada kerusakan bangunan, dan MMI V-VI gempa mengakibatkan kerusakan bangunan.
Sedangkan dari Bandung dilaporkan guncangan sekitar II-III MMI, II-III MMI di Tangerang , II MMI di Tegal, V-VI MMI di Puncak, IV-V MMI di Depok, II-III MMI di Subang, VI MMI di Sukabumi, III MMI di Cibinong, IV-V MMI di Purwokerto, II MMI di Klaten, III MMI di Bekasi, II MMI di Wonosari (Gunungkidul), II-III MMI di Denpasar. (*)
Indonesia tampaknya tidak pernah lepas dari tsunami. Setelah beberapa tahun lalu dikagetkan dengan tsunami yang melanda Aceh dan Nias, kini bahaya serupa kembali mengancam Indonesia. Tepatnya berada di sekitar Bengkulu.
Sejumlah peneliti menemukan adanya potensi tsunami dan gempa berkekuatan 9 skala Richter (SR) pada titik sekitar 140 kilometer dari lepas pantai Bengkulu. Saat ini, titik tersebut masih terkunci. Namun tidak diketahui kapan titik tersebut akan terbuka.
Jika tsunami tersebut benar terjadi, maka kecepatan gempanya mencapai 7.000 kilometer per jam. Sedangkan kecepatan tsunaminya 150 kilometer per jam. Dalam waktu 15-20 menit, ombak setinggi 10 meter akan menghantam dataran dan merusak segalanya.
“Saat ini masih terkunci. Energi yang dimilikinya kalau tidak salah sama dengan tsunami di Aceh beberapa tahun lalu. Setiap bulan, para peneliti terus melakukan penelitian di dataran maupun kedalaman laut,” ujar Kepala Pusat Penelitian Geologi Kelautan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Subaktian Lubis usai Seminar Nasional Geomorfologi LIPI di Gedung Pusat Oseanografi LIPI, Ancol, Jakarta Utara, kemarin.
Menurut Subaktian, potensi tsunami yang cukup besar tersebut berada lokasi yang bernama prima akresi. Tempat ini berada di antara lantai samudera dengan palung laut. Perbatasan keduanya disebut prima akresi. “Lempengan samudera di Aceh sudah patah. Begitu juga lempengan di selatan Pulau Jawa. Yang belum patah hanya di sekitar Bengkulu tersebut. Namun, belum diketahui kapan lempengan tersebut juga akan patah,”terangnya.
Dijelaskan Subaktian, patahan lempeng terjadi karena menyesuaikan dengan lempeng sebelumnya yang sudah patah di Aceh. Setiap tahun lempengan samudera bergerak 6-7 centimeter. Diperkirakan, patahan tersebut baru akan terjadi 2030 mendatang.
Pada 1833 di tempat tersebut juga pernah terjadi patahan yang sama. Biasanya, patahan akan kembali terjadi 50-80 tahun kemudian pada titik serupa. Tsunami paling parah akan terjadi kalau terjadi patahan vertikal. “Prima akresi yang berada di Barat Sumatera dan Selatan Jawa panjangnya mencapai ribuan kilometer mulai Adaman Aceh hingga Laut Banda,” katanya.
Peneliti Geologi Kelautan lainnya, Ediar Usman, mengatakan, panjang titik yang rawan gempa dan tsunami di Selatan Pulau Jawa mencapai 1.500 kilometer. Gempa dan tsunami kemungkinan terjadi di daerah teluk. Sedangkan konsentrasi penduduk dan ekonomi banyak di wilayah tersebut.
“Kemungkinan terjadinya tsunami 70-80 persen. Khusus untuk teluk. Penduduk harus waspada jika terjadi gempa di laut,” bebernya.
Ediar mengimbau, penduduk yang berada di teluk agar berpindah ke daerah yang memiliki ketinggian minimal 10 meter dari permukaan laut. Sebab, tsunami yang kemungkinan terjadi ketinggiannya tidak lebih dari 10 meter. “Ada 3 zona rawan. Yaitu zona bahaya kuat sejauh 200 meter. Zona bahaya ringan 200-500 meter. Dan zona bahaya ringan di atas 500 meter. Kalau sudah 1 kilometer tidak akan ada gelombang lagi,” pungkasnya. (cdl)
GEJALA AKAN TERJADI TSUNAMI
Tanda-tanda datangnya tsunami di daerah pinggir pantai :
* Air laut yang surut secara tiba-tiba.
* Bau asin yang sangat menyengat.
* Dari kejauhan tampak gelombang putih dan suara gemuruh yang sangat keras.
Tsunami terjadi jika :
* Gempa besar dengan kekuatan gempa melebihi 6,3 SR.
* Lokasi pusat gempa di laut.
* Kedalaman dangkal, kurang dari 40 Km.
* Terjadi deformasi vertikal dasar laut.
Potensi Tsunami di Indonesia :
1. Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap tsunami, terutama kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng, antara lain Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Utara Papua, Sulawesi dan Maluku, serta Timur Kalimantan.
2. Tsunami di Indonesia pada umumnya tsunami lokal, dimana waktu antara terjadinya gempa bumi dan datangnya gelombang tsunami antara 20 s/d 30 menit.
3. Gempa yang menimbulkan tsunami sebagian besar berupa gempa yang mempunyai mekanisme fokus dengan komponen dip-slip, yang terbanyak adalah tipe thrust (Flores 1992) dan sebagian kecil tipe normal (Sumba 1977).Gempa dengan mekanisme fokus strike slip kecil sekali kemungkinan untuk menimbulkan tsunami.
Penyebab gelombang Tsunami
Gempa bumi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gelombang tsunami. Gempa bumi biasanya terjadi karena adanya pergeseran lempeng yang terdapat di dasar laut. Selain itu, penyebab lainnya adalah meletusnya gunung berapi yang menyebabkan pergerakan air di laut/perairan sekitarnya menjadi sangat tinggi.
Pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengingatkan ada potensi gempa jauh lebih besar dibandingkan gempa yang terjadi di Padang Pariaman, Sumatera Barat.
"Kekuatan gempa tersebut sebesar 8,8 SR dengan energi 30 kali lipat lebih besar dibandingkan di Padang dengan skala 7,6 SR," kata Dr Danny Hilman Natawidjaya, pakar gempa LIPI dalam penjelasannya kepada VIVAnews di Jakarta, Jumat 2 Oktober 2009.
"Posisi pusat gempa berada di segmen Mentawai, Sumatera Barat," katanya. Sedangkan, gempa yang terjadi di Padang tidak mengurangi potensi pelepasan energi di segmen Mentawai, justru memicu pelepasan energi lebih cepat.
Dia mengatakan Tim Peneliti gempa dari LabEarth LIPI dan Tim Prof. Kerry Sieh dari Earth Observatory of Singapore, NTU sudah mulai meneliti sumber-sumber gempa bumi di Sumatra sejak tahun 1990 sehingga karakteristik kegempaan di Sumatera sudah cukup diketahui.
Menurut dia, dari penelitian itu dapat direkonstruksi siklus gempa besar di (zona subduksi) Mentawai sejak 100 tahun lalu yang menurut rekonstruksi siklus tersebut periode ulangnya sekitar 200 tahunan.
Perioda gempa-gempa besar terakhir terjadi tahun 1797 dan 1833. Menariknya, kata dia, pelepasan akumulasi tektonik di akhir siklus gempa tersebut hampir selalu berupa kejadian gempa besar lebih dari satu kali.
Nah sejak gempa besar kembar tahun 1797 & 1833 tersebut status “zona subduksi (atau biasa disebut juga sebagai “megathrust”) dari segmen Mentawai sudah berada di siklus akhir. Gempa megathrust yang terjadi pada September 2007 bisa dianggap sebagai permulaan periode pelepasan tekanan tektonik tersebut.
"Dari hasil kalkulasi kami gempa 2007 tersebut hanya melepaskan tidak lebih dari 1/3 jumlah energi tekanan tektonik yang terakumulasi di Mentawai," kata dia.
Artinya, dia mengingatkan masih ada sekitar 2/3 energi lagi yang tersimpan. Apabila 2/3 ini dilepaskan sekaligus maka bisa menghasilkan gempa dengan kekuatan sampai 8,8 SR.
Ahli gempa ITB, Wahyu Triyoso menyatakan potensi gempa di laut selatan Pulau Jawa memang tidak terdeteksi dengan baik. Penyebabnya, tidak ada catatan sejarah yang berlimpah atas kejadian gempa di wilayah itu pada masa lampau.
Langkah observasi intensif seperti halnya gempa Sumatera juga terlambat dilakukan. Di sisi lain, semakin sering munculnya gempa besar di zona tersebut memunculkan kekhawatiran, segmen-segmen di antara pertemuan lempeng tektonik Indo Australia-Eurasia memang telah memasuki waktunya untuk terus merilis energinya setelah sekian lama terkunci.
Pada Rabu pukul 14.55 Wib, gempa 7,3 pada SR menyebar dari episentrum di selatan Jawa. Sebelumnya, di zona tersebut, gempa besar dengan magnitude 6,8 pada SR juga telah pecah menyisakan Tsunami Pangandaran pada 17 Juli 2006.
"Takutnya, eranya sekarang ini. Secara mekanikal potensinya ada, tapi data kita tidak komplit," katanya saat dihubungi Suara Merdeka pada Kamis malam.
Menurut dia, teknologi GPS (global positioning system) telah digunakan untuk mengamati kawasan tersebut tak lama setelah tsunami itu terjadi. Hanya, datanya belum dapat dijadikan bahan kajian terlebih mengeluarkan perkiraan. "Setahun paling laju gerak yang terekam setengah centimeter. Landasannya kurang kuat," katanya.
Selain dua kejadian hebat itu, gempa hebat lainnya terjadi pada 1907. Dampak kerusakan terhadap warga pada saat itu cukup hebat sehingga diperkirakan skalanya hampir mendekati 8 pada SR. Data-data itu dinilai periodesasinya terlalu pendek.
Pengamatan potensi gempa di Sumatera sendiri dilengkapi dengan observasi yang intens sejak awal 1990-an sehingga datanya bisa dirilis untuk melakukan prakiran termasuk besaran skalanya sehingga apa yang harus dilakukan masyarakat untuk melakukan antisipasi.
Wahyu memperkirakan tiga kejadian gempa di selatan Jawa memiliki episentrum yang tidak berjauhan. Selain itu, ada kecenderungan gerakan episentrum itu bergerak ke arah barat. Apakah akan berakhir di sekitar Krakatau di Selat Sunda, Wahyu tak mau terlalu berspekulasi.
Hanya, dia mejelaskan bahwa letusan gunung berapi memiliki kecenderungan untuk meredam periodesasi energi yang dirilis pergerakan lempeng. Pasalnya, letusan itu membuat sebagian tekanan yang dimiliki lempeng itu berkurang. "Ketika gunung meletus, baru lempeng stay untuk beberapa era."
Terkait kemungkinan gempa besar berikutnya, Wahyu menyarankan agar data arsip peninggalan Belanda di Museum Arsip Nasional dibongkar habis. Siapa tahu, catatan lengkap tentang kejadian gempa besar di selatan Jawa ternyata ada yang masih terselip. Catatan sejarah kejadian gempa itu akan membantu terhadap upaya mitigasi.
Untuk saat ini, imbuh Wahyu, tak ada yang bisa dilakukan selain masyarakat lebih adaptif terhadap resiko gempa yang kemunculannya memang tidak bisa diprediksi. Termasuk dalam urusan tempat tinggal.
Dia menengarai keberadaan rumah panggung di sebagian masyarakat kita dulu memang ditujukan untuk menghadapi kondisi tersebut. Terlebih, mereka tinggal di lapisan tanah yang rawan getaran karena merupakan bekas lapisan material gunung api. Ketika akhirnya rumah beton menjamur, katanya, sudah saatnya warisan itu dipahami. "Rumah panggung lebih elastis sementara beton diterjang gelombang geser saja bisa pecah.
Setelah Chile, para pakar menanti sebuah gempa besar di Sumatera. Wilayah Padang dinilai semacam sumbu gempa dan diasumsikan akan terjadi dalam kurun waktu 10 tahun.
Geolog Senior Awang H Satyana mengatakan, potensi gempa di Indonesia dengan di Amerika Selatan termasuk Haiti dan Chili sama-sama berbahaya. Namun pengamatan selama berpuluh tahun, Sumatra lebih aktif.
"Untuk di Sumatra, lempeng Hindia di Sumatera terus-menerus bergerak menekan ke utara," ujarnya di Jakarta, kemarin. Ia mengatakan seluruh kota di pantai barat Sumatera dan pantai selatan Pulau Jawa sangat rawan terhadap gempa, termasuk Yogyakarta, Cilacap, Banyumas, Sukabumi, dan Pelabuhan Ratu.
Meskipun di Amerika selatan termasuk Haiti terdapat titik potensial yang mirip, tetapi jumlahnya tidak sebanyak di Sumatera. "Ahli geologi hanya bisa melihat potensi gempa, tetapi tidak bisa menentukan kapan waktunya. Jika ada sebuah daerah yang berada di area rawan gempa dan lama tidak terjadi gempa, hal tersebut bukan berarti aman, melainkan sedang membangun gaya. Harus diwaspadai," tegas Awang.
Ia menegaskan manusia tidak bisa memprediksikan kapan terjadi gempa. Saat ini yang bisa dilakukan hanya mengetahui skala waktu, yang bisa jadi adalah bulanan atau tahunan.
Ada satu gempa besar yang diramalkan banyak ahli akan terjadi di Sumatera. Gempa itu diperkirakan lebih besar daripada gempa terakhir yang berpusat di 53 km Kota Pariaman.
"Gempa besar tersebut belum terjadi kemungkinan karena adanya penggembosan di berbagai wilayah sekitarnya di Nias dan Bengkulu misalnya. Padang itu semacam pentil atau sumbu gempa. Asumsinya dalam 10 tahun akan terjadi," tandas Awang.
Ia mengatakan Indonesia sering terjadi gempa karena merupakan pertemuan tiga lempeng. Hal itu yang menyebabkan Indonesia memiliki potensi gempa paling tinggi di dunia. "Ibaratnya masyarakat Indonesia sleeping with earthquake," imbuh Awang.
Sementara untuk memperkecil korban ditentukan oleh faktor besarnya gempa dan manusia yang tinggal di wilayah itu. Gempa diukur dengan skala richter menyangkut kekuatan gempanya. Sedangkan skala Mercalli berhubungan dengan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh sebuah peristiwa gempa.
"Daerah rawan gempa harus menyesuaikan diri dengan kondisi alamiah yang melekat, ada pengukuran kode bangunan sebelum dibangun agar tahan gempa. Misalnya Jakarta bangunannya harus tahan terhadap gempa 7 skala richter," ujar Awang.
Sementara bagi masyarakat umum seperti di Padang sudah terdapat rambu-rambu yang memberikan solusi ketika terjadi gempa. Masyarakat di wilayah yang potensial gempanya tinggi sudah diberikan simulasi dan dididik untuk mengantisipasi gempa.
"Sosialisasi pada masyarakat di Indonesia sudah cukup, Padang sebagai prototipe. Potensi gempa dan tsunami di pantai barat Sumatera lebih berbahaya daripada pantai selatan pulau Jawa, karena topografi pantainya yang terbuka dan landai ke laut. Kalau ingin aman, ya tinggal di Kalimantan atau Papua," tegas Awang.
Di Simeuleue ada teknologi model rumah yang bentuk bangunannya bertingkat. Jadi ketika ada tsunami maka air akan melalui kolong rumah itu. Sementara jika sedang berada di kantor, maka tidak dianjurkan lari ke arah tangga karena merupakan alat evakuasi kebakaran bukan untuk gempa.
Yang paling baik adalah berlindung di pilar-pilar utama, dan yang paling mudah adalah mendekat lift karena merupakan pilar utama. Manusia Indonesia sudah saatnya beradaptasi dengan alam. Tiga benda minimal utama yang harus disiapkan untuk menghadapi gempa adalah peluit, senter dan air mineral, tegas Awang.
Lalu mengapa korban gempa dan tsunami dahsyat di Chili bisa diminimalisir? Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Jan Sopaheluwakan mengatakan episentrum gempa sangat tergantung dari skala dan kedalaman dari permukaan bumi. "Di Haiti kedalaman episentrumnya dangkal yakni 30 km-an jadi korbannya sangat besar, sedangkan di Padang 50 km-an," katanya.
Ia mengatakan masyarakat harus dilatih jika ingin mengurangi korban jiwa. "Chili, Hawai dan Jepang sudah lebih baik dari Indonesia dalam hal edukasi. Agar korban minimal, selain bangunan yang tahan gempa, pemerintah harus meningkatkan peran setiap institusi baik LIPI, BMKG dan BNPB," tegas Ian.
Edukasi yang baik menyebabkan korban Chile jauh lebih sedikit dibanding gempa Aceh 2004 lalu. RI harus sadar sebagai negara dengan potensi gempa paling tinggi di dunia.<
Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Jan Sopaheluwakan mengatakan potensi gempa Indonesia sangat tinggi. Setiap hari puluhan gempa terjadi di Indonesia dengan titik episentrum baik dangkal, menengah maupun dalam. Titik-titik ini juga tersebar merata di setiap wilayah Indonesia kecuali Kalimantan.
"Bisa dikatakan Indonesia potensi gempanya paling tinggi di dunia, istilah sleeping with earthquake memang sangat cocok dengan kondisi geologi di Indonesia. Pertemuan tiga lempeng lebih banyak dari dua lempeng di Jepang," kata Jan di Jakarta, kemarin.
Menyangkut antisipasi jumlah korban, Jan mengatakan saat ini tidak ada sistem peringatan dini terhadap gempa. Tindakan baru diambil 5 menit setelah terjadinya gempa.
Tetapi untuk tsunami, Indonesia memiliki sistem peringatan dini disebut Indonesian Tsunami Warning System.
Dalam waktu 10 menit, sistem bisa langsung memberitahu pada pemerintah daerah untuk segera melakukan tindakan pencegahan dan evakuasi agar korban dapat diminimalisir. "BMKG punya teknologi tersebut," ujar Jan. Selain itu, Jan menilai edukasi di Jepang dan Chile mengenai gempa dan tsunami jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.
Kepala Bidang Gempa Bumi dan Gerakan Tanah Badan Geologi, I Gede Suantika mengatakan Indonesia merupakan kawasan yang sangat rawan gempa, karena terletak di antara pertemuan tiga lempeng yaitu Asia, Pasifik dan Australia. Daerah yang masuk rawan gempa adalah sepanjang pantai barat Sumatera, sepanjang pantai selatan Jawa, Maluku dan Papua. Daerah yang tidak dilewati lempengan adalah Kalimantan.
Ia mengatakan untuk mengantisipasi agar korban bisa diminimalisir, selain masyarakat diberi pendidikan mengenai waspada bencana, juga perlu dipersiapkan infra struktur yang tahan gempa.
Menyangkut jumlah gempa Chile yang jauh lebih sedikit dibandingkan Aceh ia beralasan kekuatannya berbeda. Meskipun terlihat hanya kecil 8,8 SR dengan di 9,4 SR, namun angka itu merupakan beda yang cukup besar.
"Beda satu tingkat, berarti satu tingkat lebih besar di Aceh. Korban di Chile menurut saya sudah sangat banyak, meskipun tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan Aceh. Pertama karena gempa yang tidak sama besar dan kekuatan tsunami pun jauh lebih besar di Aceh," katanya.
Ia mengatakan dampak tsunami yang timbul di dua negara juga berbeda. Tsunami Aceh disebabkan gesekan lempengan yang terletak di depan laut. Sehingga tekanan air lebih besar dan gelombang tsunami juga lebih besar.
Sedangkan di Chile, gempa terjadi di pesisir pantai sehingga tidak terlalu menyebabkan gelombang tsunami yang tinggi. "Sederhananya, kerusakan Aceh lebih parah karena tsunami dibandingkan gempa. Sedangkan Chili parah karena gempa dibandingkan tsunami," katanya.
Sementara Kepala Pusat Sains LAPAN Thomas Djamaludin mengatakan Indonesia sebenarnya sama rawannya dengan Jepang. "Oleh karena itu yang penting adalah memberikan informasi kepada masyarakat untuk waspada dan sigap gempa. Contohnya, memberikan pendidikan kepada siswa, seperti yang telah dilakukan saat ini," katanya.
Lalu apakah masyarakat perlu waspada saat bulan purnama akan terjadi gempa dan tsunami? Thomas mengatakan LAPAN masih meneliti dampak bulan purnama terhadap gempa dan tsunami. LAPAN meneliti masalah itu karena kontroversial dan masih banyak yang meragukannya.
"Kemungkinan itu kami teliti. Secara sederhana, kami melihat bahwa efek pasang surut bulan dan matahari juga mempengaruhi jumlah maksimum air laut. Jumlah air laut ini mempengaruhi besar dari tsunami atau gempa. Karena pada dasarnya, gesekan dari lempengan akan menghasilkan energi potensial gempa. Energi potensial ini salah satu pendorongnya adalah kuantitas air laut," imbuhnya.
Potensi Gempa Dahsyat di Papua Bukan di Aceh
Gempa 7,2 SR baru saja menghantam Aceh dan menimbulkan peringatan tsunami. Namun gempa sangat dahsyat diperkirakan bukan di Aceh, tapi jauh di ujung timur Indonesia, Papua.
Kepala Bidang Pengamatan Pergerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi Bandung I Gde Suantika mengatakan dari sisi statistik, kemungkinan terjadinya gempa paling kuat justru ada Irian Jaya. Hal itu karena seismisitasnya cukup sering dan lebih dangkal dibandingkan Aceh.
“Aceh mengapa bisa menjadi juara pada 2004 karena tidak pernah muncul dan tidak ada catatan gempa sebelum 2004, nah jika berakumulasi, Irian Jaya pun saat ini potensinya sama dengan Aceh,” ujar Gde saat dihubungi dari Jakarta, kemarin.
Ia menjelaskan ada teori seismik jet yang menerangkan tentang gempa super besar atau the big one. Teori itu menyangkut sebuah area zona gempa misalnya Sumatera, yang bertahun-tahun tidak pernah ada gempa padahal merupakan pertemuan lempeng.
Menurut teori itu, yang berbahaya adalah daerah yang tidak pernah terjadi gempa. Jika suatu daerah merupakan seismik jet, tetapi ‘diam’ maka potensi the big one bisa muncul secara tiba-tiba.
“Seandainya di wilayah seismik jet ini sudah timbul gempa kecil dengan energi yang juga kecil dengan angka 5 atau 6 skala richter, maka hal tersebut yang menyebabkan tidak akan terjadi gempa besar,” jelasnya.
Gempa ‘the big one’ menurut teori seismik jet bisa terjadi secara periodik di suatu wilayah tertentu. Mungkin suatu wilayah yang pernah mengalami gempa, terjadi kembali karena faktor jenjang jajaran dan arahnya dalam beberapa tahun menurut pola seperti deret.
“Jadi prinsipnya di daerah Mentawai, yakni dari Aceh hingga Lampung telah dibagi segmen sehingga bisa dihitung deret waktunya per segmen, patut dicurigai segmen yang belum muncul gempa kecil sama sekali,” ujar Gde.
Ia menambahkan segmen tersebut diawasi oleh para ahli seismologi. Jika sebuah wilayah memang dicurigai akan terjadi gempa besar, harus dipantau terus menerus energinya baik yang masih tersimpan maupun yang sudah keluar.
“Wilayah Indonesia yang potensial selain pantai barat Sumatera adalah utara Papua, pulau Seram, antara pulau Sulawesi dan Halmahera, Flores, dan antara pulau Sumba. Wilayah Indonesia yang tidak dilewati jalur gempa memang hanya Kalimantan,” ujar Gde.
Kepala Bidang Informasi Dini Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Jaya Murjaya mengatakan potensi gempa di wilayah barat dan timur Indonesia tidak bisa dibandingkan karena sangat kompleks dan butuh penelitian khusus dengan melihat sejarah gempa di masing-masing daerah.
Ia juga menilai sulit menentukan gempa the big one karena wilayah Indonesia yang luas. Banyak ahli baik dari barat maupun Indonesia yang mengetahui gempa the big one, tetapi sulit memastikan titik pertemuan tiga lempeng tektonik tersebut yang sangat berpotensi menimbulkan gempa besar.
“Tolong diperhitung energi yang pernah dilepas oleh suatu wilayah dalam setiap peristiwa gempa. Tidak bisa disamaratakan meskipun Aceh pernah gempa sangat besar dan mengakibatkan tsunami, bisa saja daerah lainnya di Indonesia karena di sepanjang wilayah Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng,” ujarnya.
“Jika Papua lebih banyak menyimpan potensi gempa tidak juga, karena Sumatera dan Jawa pun sama banyaknya,” tambahnya. Ia menjelaskan lepas pantai barat Sumatera memang daerah gempa, jadi tidak aneh jika sering terjadi gempa 5 atau 6 skala richter. Hal itu karena daerah tersebut merupakan area subduksi, sehingga tidak ada hal yang istimewa.
Meskipun terjadi berkali-kali gempa di wilayah tersebut energinya tidak habis-habis. Hal itu karena wilayah tersebut memang area subduksi, di mana patahannya saling menyusup satu sama lain.
Secara teori energinya terakumulasi kemudian lepas, dan terus berulang seperti itu. “Bukan hanya pantai barat Sumatera, tetapi sisi selatan pulau Jawa pun ada, pantai timur dan utara Papua juga ada,” tambah Jaya
Gempa masih akan terus melanda kawasan Indonesia mengingat negeri ini dilalui lempeng gempa. Yang perlu diwaspadai adalah gempa berkekuatan besar yang kemungkinan terjadi di Banten yang berefek hingga ke Jakarta.
"Ini memang ada sistem bermain di situ, memang ada satu kemungkinan akumulasi energi di situ. Kita tidak tahu kapan akan terjadi seperti itu. Potensi (gempa) di darat dan di laut terjadi di sebelah selatan Lampung, di Jawa Barat dan di Banten antara Selat Sunda. Kekuatannya sekitar 8 skala Richter (SR)," kata Direktur Teknologi Sumber Daya Mineral BPPT Yusuf Surachman, saat dihubungi melalui telepon, Kamis (3/9/2009).
Potensi seperti muncul karena tabrakan lempeng Indoaustralia dan lempeng Sumatera dan Jawa.
"Bagaimana mekanismenya? Ada subduksi lempeng oceanic menyusup ke dalam lempeng benua. Karena ada sistem terkunci maka ada potensi gempa seperti itu. Jadi lempeng Indoaustralia bergerak terus di selatan Jawa dan menekan hingga 7 cm pertahun," jelasnya.
Apalagi, saat ini lempeng itu sudah memasuki periode matang. "Pergerakan centimeter pertahun saja sudah tertekan, sekarang saja banyak terjadi gempa meski berkekuatan kecil menyebar di seluruh Indonesia, kondisi ini sama dengan 1 abad lalu, sekitar tahun 1800-an,
gempa berkekuatan 6 skala Richter ber-pusat di dasar laut pada kedalaman 10km pada posisi 10.545°S, 108.065°E…sekitar 260 km sebelah timur Christmas Island (pulau ini terlihat di peta di pinggir sebelah kiri tengah)…dan 355 km sebelah selatan kota Tasikmalaya…
kalo ngeliat data2 di atas seperti-nya data2 itu menggiring kita untuk waspada akan adanya potensi tsunami…tapi kalo baca berita2 hari ini seperti-nya nggak ada laporan muncul-nya tsunami di selatan jawa (mudah2an memang nggak bakalan ada)…tapi teuteup kita harus waspada…sikap yg paling baik dalam menghadapi gempa adalah waspada, aware akan segala sesuatu yg harus di-lakukan seandai-nya gempa sampe ke daratan apalagi sampe ada potensi tsunami…
antisipasi seperti apa yg harus kita ketahui kalo ada gempa…? ini ada panduan dr Badan Meteorologi dan Geofisika untuk sebelum, saat dan sesudah terjadi gempa:
SEBELUM TERJADI GEMPABUMI:
1. Mengenali apa yang disebut gempabumi
2. Memastikan bahwa struktur dan letak rumah anda dapat terhindar dari bahaya yang disebabkan gempabumi (longsor, liquefaction dll)
3. Mengevaluasi dan merenovasi ulang struktur bangunan anda agar terhindar bahaya gempabumi
4. Memperhatikan letak pintu, lift serta tangga darurat, apabila terjadi gempabumi, sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung.
5. Belajar melakukan P3K
6. Belajar menggunakan Pemadam Kebakaran
7. Mencatat Nomor Telpon Penting yang dapat dihubungi pada saat terjadi gempabumi
8. Perabotan (Lemari, Cabinet, dll) diatur menempel pada dinding (di paku/ di ikat dll) untuk menghindari jatuh, roboh, bergeser pada saat terjadi gempabumi
9. Menyimpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah pecah, agar terhindar dari kebakaran.
10. Selalu mematikan air, gas dan listrik apa bila sedang tidak digunakan
11. Atur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah.
12. Cek kestabilan benda yang tergantung yang dapat jatuh pada saat gempabumi terjadi (mis: lampu dll)
13. Siapkan Kotak P3K, Senter/lampu Battery, Radio, Makanan Suplemen dan Air
SAAT TERJADI GEMPA BUMI:
Jika anda berada dalam bangunan:
1. Lindungi kepala dan badan anda dari reruntuhan bangunan (dengan bersembunyi dibawah meja dll).
2. Mencari tempat yang paling aman dari reruntuhan goncangan.
3. Berlari keluar apabila masih dapat dilakukan.
Jika berada diluar bangunan atau area terbuka:
1. Menghindari dari bangunan yang ada di sekitar anda (seperti gedung, tiang listrik, pohon dll).
2. Perhatikan tempat anda berpijak hindari apabila terjadi rekahan tanah.
Jika anda sedang mengendarai mobil:
1. Keluar, turun dan menjauh dari mobil hindari jika terjadi pergeseran atau kebakaran.
2. Lakukan poin 2.
Jika anda tinggal atau berada di pantai, jauhi pantai untuk menghindari terjadinya Tsunami.
Jika anda tinggal didaerah pegunungan, apabila terjadi gempabumi hindari daerah yang mungkin terjadi longsoran.
SESUDAH TERJADI GEMPABUMI:
Jika anda berada dalam bangunan:
1. Keluar dari bangunan tesebut dengan tertib.
2. Jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakan tangga biasa.
3. Periksa apa ada yang terluka, lakukan P3K.
4. Telpon/minta pertolongan apabila terjadi luka parah pada anda atau sekitar anda.
Periksa lingkungan sekitar anda:
1. Periksa apabila terjadi kebakan.
2. Periksa apabila terjadi kebocoran gas.
3. Periksa apabila terjadi arus pendek.
4. Periksa aliran dan pipa air.
5. Periksa segala hal yang dapat membahayakan (mematikan listrik, tidak menyalakan api dll)
Jangan masuk kebangunan yang sudah terjadi gempa, karena kemungkian masih terdapat reruntuhan.
Jangan berjalan disekitar daerah gempa, kemungkinan terjadi bahaya susulan masih ada.
Mendengarkan informasi mengenai gempa dari radio (apabila terjadi gempa susulan).
Mengisi angket yang diberikan oleh Instansi Terkait untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang terjadi.
ada banyak item yg harus di-perhati-in memang…tapi paling nggak bisa di-mulai dgn pengenalan terhadap gempa itu sendiri, kenapa sampe terjadi gempa terutama di Indonesia…kenapa di Kalimantan malah jarang ketemu gempa…? kenapa ada tsunami…? kapan bisa terjadi tsunami…? silakan baca2 di blog ini, udah ada banyak penjelasan kok…mudah2an bisa membantu…
Potensi Gempa Dari Lempeng Samudra
Potensi gempa dari lempeng samudra masih menjadi kajian para ahli sepanjang zaman. Kajian itu di antaranya di Indonesia yang selama ini meneliti pergeseran lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Gempa bumi tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter (SR) di laut selatan Jawa Barat atau di Samudra Hindia, Rabu (2/9) pukul 14.55 WIB dengan pusat gempa 104 km di barat daya Tasikmalaya, terjadi akibat penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia.
Pusat gempa berada di koordinat 8.24 Lintang Selatan (LS) - 107.32 Bujur Timur (BT) dengan kedalaman 30 kilometer.
Menurut pakar tsunami, Budi Waluyo, penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia selama ini terus terjadi sampai sekarang.
"Jika batuan pada lempeng Eurasia kuat menahan, terkumpul energi besar. Apabila suatu saat tak kuat menahan, energi tersebut lepas dan menjadi sumber kekuatan gempa," kata Kepala Stasiun Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta itu.
Ia mengatakan dari penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia, terjadi pergeseran rata-rata tujuh sentimeter setiap tahun.
Menurut Budi, Samudra Hindia termasuk laut selatan Jawa merupakan kawasan rawan tsunami.
Ia menyebutkan akibat gempa tektonik berkekuatan 6,8 SR di laut selatan Jawa pada 17 Juli 2006 pukul 15.19.73 WIB terjadi tsunami yang melanda pantai selatan itu.
Tsunami terjadi pada pukul 15.39.45 WIB, atau sekitar 20 menit setelah gempa. Ketinggian gelombang tsunami bervariasi antara satu hingga 3,5 meter, dan rambahan 75 - 500 meter.
Pusat gempa saat itu berada di koordinat 9.295 LS - 107.347 BT pada kedalaman delapan kilometer.
Koordinat 9.295 LS - 107.347 BT tersebut berada dekat dengan pusat gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9) pukul 14.55 WIB di koordinat 8.24 LS - 107.32 BT dengan kedalaman 30 kilometer.
Berdasarkan hasil survei lapangan setelah terjadi gempa tektonik berkekuatan 6,8 SR di laut selatan Jawa pada 17 Juli 2006 pukul 15.19.73 WIB yang kemudian terjadi tsunami, terekam data tsunami melanda beberapa lokasi di sepanjang pantai selatan tersebut.
Survei lapangan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) dan pengukuran jejak ketinggian serta jejak jarak rambahan, terekam data setelah gempa terjadi tsunami di beberapa lokasi di pantai selatan Jawa mulai dari Kebumen, Cilacap hingga Pangandaran.
Bahkan, menurut Budi Waluyo, tsunami yang terjadi saat itu sampai ke pantai Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
"Memang ketika itu tidak sampai diberitakan media massa, sehingga tidak banyak diketahui masyarakat bahwa pantai Sadeng dilanda tsunami," katanya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan warga pantai selatan Jawa selalu waspada terhadap kemungkinan terjadi gempa di Samudra Hindia dengan kekuatan besar dan pusat gempa dangkal, karena berpotensi menyebabkan tsunami.
Terkait dengan gempa di laut selatan Jawa Barat, Rabu, 2 September 2009 pukul 14.55 WIB yang pusat gempanya di 104 km barat daya Tasikmalaya itu, BMKG sempat mengeluarkan peringatan dini bahaya tsunami.
Namun, setengah jam kemudian BMKG mencabut peringatan dini itu, karena tidak terjadi tsunami.
Gerak sesar naik
Dari analisa terhadap gempa tektonik berkekuatan 6,8 SR di laut selatan Jawa pada 17 Juli 2006 pukul 15.19.73 WIB yang kemudian terjadi tsunami, berdasarkan posisi pusat gempa saat itu, dan kedalaman serta mekanisme fokal, diperkirakan telah terjadi mekanisme gerak sesar naik di dasar samudra dengan patahan berarah U 270 derajat - 300 derajat T, dan kemiringan sekitar 7 derajat ke utara.
Patahan tersebut kemungkinan besar berhubungan dengan pergerakan dan runtuhan dari prisma akresi yang dipicu oleh penunjaman lempeng Indo-Australia.
Patahan itu menyebabkan terjadinya dislokasi masa batuan, yang kemudian mendorong sejumlah besar volume air laut, sehingga membentuk gelombang pasang yang bergerak secara radikal menjauhi pusat gempa.
Berdasarkan hasil pengukuran ketinggian dan rambahan tsunami di beberapa lokasi, terlihat kecenderungan terjadi penguatan amplitudo (atenuasi) gelombang tsunami di teluk-teluk yang langsung menghadap laut lepas.
Keberadaan paparan pantai dengan kedalaman air relatif dangkal kemungkinan menyebabkan pecahnya gelombang tsunami pada saat menghantam pantai, sehingga menimbulkan kerusakan parah sampai radius 100 - 300 meter dari titik pasang tertinggi.
Rekaman data lapangan di sepanjang wilayah bencana menunjukkan pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat terlanda tsunami paling berat.
Pantai Pangandaran bagian barat relatif mengalami kerusakan lebih parah akibat terjangan gelombang pasang, jika dibandingkan Pantai Pangandaran bagian timur.
Keberadaan Semenanjung Pananjung relatif melindungi Pantai Pangandaran bagian timur dari terjangan gelombang pasang.
Pada saat kejadian, gelombang pasang yang menghantam Semenanjung Pananjung dipantulkan, sehingga bergerak menuju Pantai Pangandaran bagian barat dengan ketinggian sekitar dua meter pada jarak sekitar 200 meter dari garis pantai.
Berdasarkan data ketinggian dan rambahan tsunami, diharapkan ada interpretasi tentang zona-zona rawan, dan ini sebagai masukan bagi penataan kembali tata ruang di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa.
Bukan rambatan Sumatra
Pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Afnimar mengatakan gempa Tasikmalaya, Jabar berkekuatan 7,3 SR, Rabu (2/9) pukul 14.55 WIB bukan merupakan rambatan gempa dari Siberut, Sumatra Barat pada pagi harinya, Rabu pukul 09.08 WIB.
"Gempa Sumatra memicu gempa di Jawa, secara saintifik tidak masuk akal, karena lokasinya terlalu jauh," kata Afnimar.
Menurut dia, semua kawasan di sepanjang pantai barat Sumatra hingga pantai selatan Jawa sampai pantai selatan Nusa Tenggara berpotensi terjadi gempa, karena terletak di tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.
Artinya, kata dia, masing-masing lokasi di kawasan itu memiliki zona gempa sendiri-sendiri yang tidak saling terkait antara zona satu dengan zona lainnya.
"Kebetulan saja terjadi dua gempa yang dirasakan dalam satu hari," katanya.
Ia mengatakan gempa tersebut terjadi jika di suatu lokasi terdapat akumulasi energi yang sudah tidak bisa ditahan lagi oleh titik tersebut.
"Gempa itu bisa saja memicu gempa susulan di sekitarnya, tetapi masih tetap di zona yang sama," katanya.
Namun, Afnimar sependapat bahwa suatu gempa yang besar bisa saja dirasakan hingga ke lokasi yang sangat jauh, misalnya gempa yang berpusat di 104 barat daya Tasikmalaya itu juga dirasakan oleh penduduk Denpasar, Bali.
"Gempa tersebut getarannya bisa saja dirasakan hingga ke seluruh dunia, apabila gempanya sangat besar. Kalau gempa Tasikmalaya, tentu saja tidak akan bisa dirasakan di Amerika Serikat, karena terlalu jauh," katanya.
Menurut BMKG, gempa Tasikmalaya pada Rabu 2 September 2009 itu terasa di Jakarta sebesar IV modified mercalli intensity (MMI).
Pada III-IV MMI gempa dirasakan semua orang, IV-V MMI gempa dirasakan semua orang tanpa ada kerusakan bangunan, dan MMI V-VI gempa mengakibatkan kerusakan bangunan.
Potensi Gempa Besar Harus Diwaspadai
Ahli Gempa ITB, Sri Widiyantoro menyatakan bahwa potensi gempa besar termasuk yang bersumber di selatan Pulau Jawa masih harus diwaspadai. Khusus selatan Jawa, dia mengingatkan bahwa sejauh ini zona terkunci di kawasan tersebut belum terpetakan sebaik gempa dari lepas pantai barat Sumatera.
Kejadian-kejadian seperti Gempa Pangandaran pada 2006 dan Gempa Tasikmalaya pada 2009 lalu diharapkan tetap dapat mengingatkan masyarakat. Belum lagi, imbuhnya, gempa-gempa kecil yang bermunculan.
"Itu menunjukan bahwa potensi gempa itu tetap ada," tandasnya seusai Confrence of The Earth and Space Sciences di Campus Center ITB Bandung, Kamis (7/1). Pakar gempa dari Universitas Kyoto Jepang, Jim Mori menyatakan, untuk mendeteksi gempa, semua pihak hendaknya tidak terpaku pada ramalan gempa yang muncul. Ada hal yang jauh lebih penting dilakukan, yakni mereduksi bencana yang ditimbulkan.
Dia menyatakan bahwa Jepang memang dipandang tanggap dalam menyiasati gempa yang kerap melanda negerinya. Itu bisa terjadi karena sistem di negeri "Matahari Terbit" itu, termasuk peringatan dini sudah berjalan baik. Kondisi itu ditunjang pula oleh edukasi bencana sejak dini kepada masyarakat, teknologi, dan sistem informasi yang mengolah data gempa. Sistem informasi ini penting dilakukan karena akan memandu langkah penyelamatan masyarakat secara cepat, dalam hitungan detik bahkan ketika gempa itu terjadi.
Disinggung apakah sistem Jepang bisa diadopsi, Jim Mori pesimis dapat dilakukan. Pasalnya, hal itu kemungkinan terbentur oleh kesiapan infrastruktur. Ini berarti menuntut dana yang besar yang belum tentu bisa disanggupi. Untuk menjamin sistem peringatan dini itu berjalan baik, Jepang yang luasnya seperlima dari Indonesia melengkapi diri dengan lebih dari 1000 seismograf, alat pencatat gempa. Berdasarkan keterangan Sri Widiyantoro, Indonesia hanya memiliki 150 seismograf pasca gempa besar dan tsunami melanda Aceh. "Itu pun sistemnya dari Jerman yang rekaman gempanya terbilang jarang,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar