A. Pengertian dan Ruang Lingkup Ilmu
Geografi
“Geografi” berasal dari bahasa Yunani,
asal kata ”geo”berarti ”bumi” dan
”graphein” yang berarti ”lukisan” atau
”tulisan. Menurut pengertian yang
dikemukakan Eratosthenes, ”geographika”
berarti ”tulisan tentang bumi”
(Sumaatmadja, 1988: 31). Pengertian
”bumi”dalam geografi tersebut, tidak hanya
berkenaan dengan fisik alamiah bumi saja,
melainkan juga meliputi segala gejala
dan prosesnya, baik itu gejala dan proses
alamnya, maupun gejala dan proses
kehidupannya. Oleh karena itu dalam hal
gejala dan proses kehidupan, di
dalamnya termasuk kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia sebagai
penghuni bumi tersebut. Jadi, kalau
begitu apa pengertian geografi yang lebih
lengkap? Ternyata dari beberapa ahli geografi, dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Menurut Richoffen (Hartshorne, 1960: 173)
bahwa “Geography is the
study of the eart surface according to
its differences, or the study of different
areas of the earth surface…, in term of
total characteristics”. Bagi Richoffen
bahwa bidang kajian geografi tidak hanya
mengumpulkan bahan-bahan yang
kemudian disusun secara sistematik,
tetapi harus dilakukan penghubungan bahanbahan tersebut untuk dikaji sebab
akibatnya dari fenomena-fenomena di
permukaan bumi yang memberikan sifat
individualitas sesuatu wilayah. Sebab
ruang lingkup geografi tidak sekedar
fisik, melainkan jugatermasuk gejala
manusia dan lingkungan lainnya. Begitu
juga menurut Vidal de la Blache (1845-1919) dari Prancis yang dikenal sebagai
“Bapak Geografi Sosial Modern”,
mengemukakan bahwa “geography is the
science ofplaces, concerned with
qualities and potentialities of
contries”(Hartshorne, 1960: 13). Kemudian Karl
Ritter misalnya menyatakan bahwa
“geography to study the earth as the
dwelling-place of man”. Dalam pengertian
“the dwelling-place of man”tersebut
bahwa bumi tidak hanya terbatas kepada
bagian permukaan bumi yang dihuni
manusia saja, melainkan juga
wilayah-wilayah yang tidak dihuni manusia sejauh
wilayah itu penting artinya bagi
kehidupan manusia. Dengan demikian wilayah
studi geografi meliputi semua fenomena
yang terdapat di permukaan bumi, baik
alam organiknya maupun alam
anorganiknyadalam interelasi dan interaksinya
dalam ruang (spatial relationship), di
mana semuanya itu dikaji. Oleh karena itu
menurut Richard Hartshorne (1960: 47):
“geography is that discipline that seeks
to describe and interpret the variable
character from place to place of earth as
the world of man”. Mengingat ilmu
geografi tersebut sangat luas dapat
dianalogikan sebagai perpaduan dari
berbagai disiplin ilmu (murni, terapan,
eksak, non eksak), alam, sosial), maka
geografi sering disebut sebagai “ibu” atau
“induk” ilmu pengetahua. Seperti
halnyadikemukakan oleh Preston E. James (1959: 11): “Geography has sometimes
been called the mother of sciences, since
many fields of learning thatstarted with
observations ofthe actual face of earth
turned to the study of specific processes
whereever they might be located”
Sudah barang tentu pernyataan itu
didasarkan atas alasan yang kuat
ataupun bukan didasarkan alasan yang
dibuat-buat. Sebab bidang geografi yang
luas tersebut mencakup beberapa
aspek-aspek alamiah yang sifatnya eksak,
kemudian bidang-bidang sosial yang non-eksak. Selain itu alasan James
memberikan sebutan sebagai “induk ilmu
pengetahuan” kepada Geografi, bukan
hanya didasarkan atas relita bahwa
observasi dan pengkajian ilmu pengetahuan
lain diambil dari bagian-bagaian di permukaan bumi, melainkan didasarkan
bahwa perkembangan geografi ini telah
begitu tua, sejalan dengan pemikiran
filosofis tentang terjadinya alam semesta
dengan kehidupannya, mulai dari zaman
Herodotus pada tahun 480-430 sebelum
masehi.
Intrelasi dan integrasi keruangan gejala
di permukaan bumi dari suatu
wilayah ke wilayah lain selalu
menunjukkan perbedaan. Hal ini dapat kita kaji
sendiri bahwa ciri-ciri umum suatu
wilayah dapat membedakan diri dari wilayah
lainnya. Ciri umum yang merupakan hasil
interelasi, interaksi dan integrasi
unsur-unsur wilayah yang bersangkutan,
merupakan obyek studi gegrafi yang
komprehensif (Sumaatmadja, 1988: 33).
Dengan demikian ruang lingkup disiplin
geografi memang sangat luas dan mendasar,
seperti yang dikatakan Murphey
(1966: 5), mencakup “aspek alamiah” dan
“aspek insaniah”, yang kemudian
aspek-aspek tersebut dituangkan dalam
suatu ruang berdasarkan prinsip-prinsip
penyebaran, dan kronologinya.
Selanjutnyaprinsip relasi ini diterapkan untuk
menganalisa hubungan antara
masyarakatmanusia dengan alam lingkungannya,
yang dapat mengungkapkan perbedaan
arealnya serta persebaran dalam ruang.
Akhirnya prinsip relasi, penyebaran, dan
kronologinya pada kajian geografi ini
dapat mengungkapkan karakteristik suatu
wilayah yang berbeda dengan wilayah
lainnya. Dengan demikian terungkaplah
adanya region-region yang berbeda antara
region satu dengan lainnya.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa
cakupan dan peranan geografi itu
setidaknya memiliki empat hal,seperti yang dikemukakan dari hasil
penelitian UNESCO (1965: 12-35), maupun
Lounsbury (1975: 1-6), sebagai
berikut:
Pertama, geografi sebagai suatu sintesis.
Artinya pembahasan geografi itu
pada hakikatnya dapat menjawab substansi
pertanyaan-pertanyaan tentang; “what,
where, when, why, dan how”. Proses studi
semacam itu pada hakikatnya adalah
suatu sintesis, karena yang menjadi pokok
penelaahan mencakup: apanya yang
akan ditelaah, di mana adanya, mengapa
demikian, bilamana terjadinya, serta
bagaimana melaksanakannya ?
Kedua, geografi sebagai suatu
penelaahangejala dan relasi keruangan.
Dalam hal ini geografi berperan sebagai
pisau analisis terhadap fenomenafenomena baik alamiah maupun insaniah. Selain
itu dalam geografi juga berperan
sebagai suatu kajian yang menelaah tentang relasi, interaksi, bahkan
interdependisinya satu aspek tertentu
dengan lainnya .
Ketiga, geografi sebagai disiplin
tataguna lahan. Di sini titik beratnya
pada aspek pemanfaatan atau pendayagunaan
ruang geografi yang harus makin
ditingkatkan. Sebab, pertumbuhan penduduk yang begitu pesat dewasa ini,
menuntut peningkatan sarana yang
menunjangnya baik menyangkut kualitas
maupun kuantitasnya. Perluasan sarana
tersebut, seperti tempat pemukiman, jalan
raya, bangunan publik, tempat rekreasi,
dan sebagainya, semuanya
membutuhkan perencanaan yang lebih cermat
dan matang.
Keempat, geografi sebagai bidang ilmu
penelitian. Hal ini dimaksudkan
agar dua hal bisa tercapai, yaitu:
kesatu; meningkatkan pelaksanaan penelitian
ilmiah demi disiplin geogafi itu sendiri
yang dinamis sesuai dengan kebutuhan
pengembangan ilmu yang makin pesat. Oleh
karena itu dalam tataran ini perlu
dikembangkan lebih jauh tentang struktur
ilmu (menyangkut fakta, konsep,
generalisasi, dan teori) dari ilmu yang
bersangkutan. Kedua, meningkatkan
penelitian praktis untuk kepentingan
kehidupan dalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia umumnya
(Sumaatmadja, 1988: 41).
Dari tinjauan ilmuwan geografi
kontemporer, bahwa geografisecara
sederhana ‘geografi’ merupakan disiplin
akademik yang terutama berkenaan
dengan penguraian dan pemahaman atas
perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam
distribusi lokasi di permukaan bumi.
Fokusnya adalah sifat dan saling keterkaitan
antara tiga konsep ⎯
lingkungan, tata ruang, dantempat(Johnston, 2000: 403).
Kemudian dalam perkembangannya muncul
beberapa sub-bidang yang beragam,
seperti; geografi fisik, geografi manusia
(sosial), dan geografi regional. Geografi
fisik dan sosial memiliki cabang-cabang
yang sistematis, bergerak dari sifat
deskriptif menuju analitis dengan
pendekatan positivisme yang menekankan
pengujian hipotesis untuk merumuskan
hukum-hukum dan derivasi teori kian
menonjol. Untuk kajian geografi fisik dan
manusia ini akan diuaraikan pada
pembahasan selanjutnya. Sedangkan untuk
geografi regional yang mempelajari
sifat-sifat khusus masing-masing kawasan ⎯yang
didefinisikan sebagai wilayah
permukaan bumi, yang dibatasioleh
kriteria tertentu ⎯yang secara metodologis
adalah lemah.
Geografi sebagai disiplin ilmiah yang
hampir selalu ada pada tiap
universitas dan lembaga pendidikan, usia
ilmu ini secara formal dengan demikian
lebih dari satu abad. Sosok akademiknya
untuk pertama kalinya dibentuk di
Jerman yang secara menyebar ke
negara-negara lain, dan dimaksudkan
menyediakan sumber informasi yang tertata
mengenai tempat-tempat, yang
merupakan hal penting dan sering
digunakan oleh pemerintah kolonial ketika
terjadi konflik (Taylor, 1985). Selain
itu georafi juga diperkenalkan sebagai mata
pelajaran penting dalam dunia pendidikan
formal di berbagai negara, dengan
tujuan untuk meningkatkan wawasan dan
pengenalan dunia serta sebagai landasan
ideologis wawasan nasional (Johnston,
2000: 403).
Dengan berkembangnya universitas sebagai
lembaga pendidikan dan
penelitian, para ahli geografi berusaha
mencari kerangka yang terpadu untuk
menegakkan disiplin tersebut. Berbagai
definisi mengenai isi dan metode ilmu
geografi telah diusulkan untuk maksud
ini. Definisi yang paling terkenal dalam
bahasa Inggris barangkali adalah yang
dikemukakan olehHarstone dalam Nature
of Geography (1939) dan Wooldridge dan
East (1951) dala Spirit and Purpose of
Geography. Usulan-usulan definisi
ini sebagian besar kemudian ditolak, dan
perdebatannya terus berlangsung pada
tahun 1960-an dan decade seterusnya., kendati gagasan dari tokoh pendiri
disiplin ilmu ini ⎯khususnya Paul Vidal de
la Blache (Buttimer, 1971) ⎯tetap
menarik perhatian dan mendapat dukungan.
Dengan berbagai alas an, yang sebagian
besar berkaitan dengan posisi
mata pelajaran ini dalam system
pendidikan di beberapa negara Eropa dan
Amerika khususnya, geografi menjadi
disiplin ilmu yang sangat popular di
universitas di banyak negara. Hal ini
terlihat dari banyaknya mahasiswa maupun
banyaknya staf pengajar yang memperdalam
bidang kajian tersebut. Di dua benua
tersebut sejak tahun 1960-an telah
dikembangkan suatu etos universitas modern,
yang menitikberatkan pada bidang riset
sebagai dasar untuk pengajaran di tingkat
sarjana dan hasil riset dijadikan
kriteria utama dalam peningkatan karir. Hal ini
telah menjadi konteks terjadinya
lonjakanhasil riset yang cepat serta banyaknya
kegiatan eksperimen untuk
mendalamiepistemology, metodologi, serta pokok
bahasan alternatif. Dengan demikian
geografi menjadi disiplin ilmu yang amat
mendasar cakupan pembahasannya dan
besifat general termasuk staf pengajarnya
yang bersifat umum (Jonston, 1991).
Sebagaimana sebelumnya telah dikemukakan
bahwa dalam geografi terdiri
atas tiga cakupan kajian yang saling
mengait satu sama lain terutama mencakup;
(1) lingkungan, (2) tata ruang, (3)
tempat.
1. Lingkungan:
Lingkungan ‘alamiah’ pada suatu wilayah
terdiri atas permukaan lahan itu
sendiri (tidak banyak ahli geografi yang
meneliti laut), hidrologi permukaan air di
wilayah itu, flora dan fauna yang tinggal
di dalamnya, lapisan tanah yang
menutupi permukaan itu, dan atmosfir yang
terdapat di atasnya. Semua unsur ini
terjalin dalam suatu sistem lingkungan
yang kompleks ⎯flora suatu wilayah
misalnya mempengaruhi iklim di sekitarnya
dan pembentukan serta pengikisan
lapisan tanah di bawahnya (Johnston,
2000: 404). Walaupun demikian
kebanyakan ahli geografi fisik
memfokuskan pada salah satu aspek saja dari
lingkungan yang kompleks tersebut. Hal
ini dimaksudkan agar pemahaman
mereka terhadap asal-usul dan
kesinambungan perubahannya bisa dilakukan
secara detil (Gregory: 1985).
Pemokusan ini tercermin dari
berbagaisub-disiplin pada geografi fisik,
yang sebagian para ahli geografi lebih
suka menempatkan dirinya pada satu subdisiplin daripada geografi fisik secara
umum. Dalam hal ini, hampir semua
subdivisi berkaitan dengan dengan
ilmu-ilmu lain, dan sementara ahli geografi
fisik mengklaim bahwa lebih memiliki ketertarikan
dengan dengan disiplin luar
daripada disiplin mereka sendiri
(Johnston, 1991).
Beberapa sub-disiplin itu yang terbesar
adalah geomorfologi,yakni studi
tentang bentuk permukaan tanah dalam
berbagai skala ruang dan proses
pembentukannya.. Tidak sedikit para ahli
geomorfologi menaruh perhatian khusus
pada fungsi air sebagai salah satu
pembentuk permukaan tanah, sehingga
lemudian menjalin hubungan erat dengan
hidrologi. Sementara yang lain yang
berminat pada pertanahan berhubungan erat
dengan pedologi. Di samping itu
pengelompokkan yang lebih kecil lagi
adalah klimatologi ⎯yang berhubungan
dengan meteorologi, dan biogeografi,yang
lebih berfokus pada tumbuh-tumbuhan
daripada binatang dan dengan demikian lebih banyak kerjasama dengan para
ahli
ekologi dan botani daripada ahli zoologi
(Johnston, 2000: 404).
Kini, umumnya hampir semua ahli geografi
bekerja dalam salah satu
subdisiplin geografi, namun semakin
diakui pula bahwa sangat perlu untuk
mempelajari saling keterkaitan antara
berbagai sumber kompleksitas lingkungan
tersebut. Paling tidak mereka beranggapan
bahwa unsur-unsur lingkungan tersebut
saling berpengaruh satu sama lain,
seperti yang kita pahami sekarang ini bahwa
tentang cepatnya perubahan-perubahan
lingkungan yang sedemikian rupa.
Bagaimana tidak, karena kehadiranran
manusia selalu mempengaruhi keadaan
bumi, tanah, bahkan atmosfir, apa
lagiketika manusia melakukan proses
geomorfologi, hidrologi, biologi, maupun atmosfir, maka dampak-dampak
terhadap kemampuan lingkungan jangka
pendek dan panjang sangat dirasakan,
dan hal ini membutuhkan suatu riset yang
multidisipiner serta terkordinasi
(Turnet, 1990).
Walaupun kajian mengenai lingkungan fisik
hampir didominasi menjadi
lahan bagi ahli geografi fisik, namun
belakangan ini ahli geografi manusia juga
mulai menunjukkan perhatian pada lansekap
fisik, terutama yang berminat
menganalisis fungsi lansekap atau
tataruang sebagai bagian dari kehidupan
manusia. Bagi sebagian para ahli geografi
manusia, penafsiran terhadap
kedudukan lansekap fisik, adalah pusat
dari tuntutan kehidupan manusia, dan
konsepsi-konsepsi popular mengenai
bagaimana ‘bumi bekerja ’⎯misalnya
siklus hidrologis ⎯adalah
sumber penting bagipemahaman geografis. Begitu
juga bagi ahli lainnya, konsep alam itu
juga merupakan konstruksi sosial. Oleh
karena itu interpretasi-interpretasi
terhadap dunia fisik merupakan bagian dari
superstruktur ideologis manusia yang
terintegrasi.
2. Tata Ruang.
Sepintas secara implisit telah
dikemukakan bahwa, jika para ahli geografi
fisik lebih memfokuskan pada lingkungan
’alamiah’, maka untuk geografi
manusia lebih memfokuskan pada penempatan
dan penggunaan lahan oleh
manusia, dan inilah yag dikategorikan
tata ruang. Dengan demikian tata ruang
merupakan fokus kajian bagi para ahli
georafi manusia, hal ini bukan semata-mata
karena penggunaan lahan oleh manusia
telah sekian dekade menjadi topik yang
penuh perhatian, tetapi juga esensi dalam
berbagai skala (antara perkotaan dan
pedesaan) terdapat hubungan yang erat
selain dengan lingkungan fisiknya juga
sosialnya.
Sejak tahun 1950-an studi geografi
sebagai pengaruh gerakan di
Skandinavia yang dilakukan oleh ahli
ekonomi dan sosiologi telah mendorong
lahirnya perspektif lain dalam geografi
manusia yang berfokus pada cara
pengorganisasian ruang dalam
aktivitasmanusia di permukaan bumi ini.
Tujuannya untuk menata ulang sisi ilmiah
pada disiplin ini untuk mempelajari
hukum-hukum yang mengatur perilaku
keruangan secara individual maupun polapola keruangan dalam penyebaran
artefak-artefaknya (Johnston; 2000: :405).
Seperti kita hui bahwa pada mulanya,
jarak adalah sebuah rintangan bagi manusia,
karena perlu pengorbanan uang, waktu, dan energi khususnya untuk
memindahkan barang-barang ketempat lain.
Guna efisiensi tersebut, manusia
berupaya meminimalkan jarak, mengorganisasikan pemakaian ruang dan
sebagainya. Dengan demikian geografi
manusia tampil sebagai ‘ilmu mengenai
jarak’, di mana jarak adalah konsep kunci
yang membedakannya dengan ilmuilmu sosial lain; konsep-konsep ruang ditampilkan
sebagai landasan teretis dari
disiplin ilmu ini (Johnston, 1991).
Di sini kita berhadapan dengan pembahasan
berbagai upaya yang
dilakukan untuk mengkodifikasikan
pendekatan ini ke dalam geografi manusia
sejak tahun 1960-an dan 1970-an sebagai
bagian integral yang tak
terpisahkan.Tercatat sebagai upaya yang paling sukses dan banyak dikutip
tersebut yakni karya Haggett baik melaui
tulisannya dalam Locational Analysis in
Human Geography(1965) maupun dalam judul
yang sama namun telah direvisi
dan karya bersama dengan geographer lainnya
Cliff dan Frey, dalam Locational
Analysis in Human Geography (1978), yang
membagi pokok-pokok bahasan
disiplin geografi manusia ini menjadi:
pola-pola titik ⎯seperti
bagunanbangunan peternakan di daerah peratian; pola-pola garis ⎯khususnya
jaringan
transportasi; pola-pola pergerakkan ⎯seperti
aliran di antara berbagai jaringan,
orang, barang, dan informasi; variasi
bentuk permukaan dalam suatu fenomena
yang berkesinambungan ⎯misanya
peta kepadatan penduduk dan peta harga
tanah di suatu daerah perkotaan;
penyebaran dalan tata ruang ⎯seperti
penyebaran penyakit dalam suatu jaringan,
pelintasan permukaan wilayah.
Bahkan hal ini dapat juga untuk teritori,
pembagian suatu rung untuk menjadi
beberapa ruang kecil lainny ⎯seperti
negara, ghetto, maupun perkantoran.
Tetapi ada juga yang berusaha mencari
konsep-konsep dasar dalam disiplin
keruangan ini khususnya bagi Nystuen
(1963) dasar-dasar itu adalah konsep
tentang arah, jarak, hubungan satu sama
lain, dan mungkin juga mengenai batasbatasnya.
Perlu diketahui bahwa sebelum tahun
1960-an, geografi manusia memiliki
beberapa sub-bidang penting ⎯seperti
geografi sejarah. Namun sampai titik
tertentu pembagiannya dilakukan
berdasarkan wilayah dan bukan pokok bahasan
⎯artinya ilmu ini dibagi
berdasarkan minat praktisi dan belahan dunia tertentu.
Hal ini berubah cepat, dan pembagian
sektoral menjadi praktik yang lazim dalam
disiplin ini. Sub-sub displin menjadi
saling bersinggungan dan berpotongan.
Menurut Johnston (2000: 406),
terdapatempat sub-disiplin yang saling
bersinggungan dan berpotongan, yang
mencerminkan hubungannya dengannya
dengan ilmu sosial lain, yakni: (1)
geografi ekonomi yang bersinggungan dan
berpotongan dengan ilmu ekonomi; (2)
geografi sosial yang bersinggungan dan
berpotongan dengan sosiologi; (3)
geografi politik yang
bersinggungan/berpotongan dengan ilmu
politik; (4) dan geografi kultural yang
bersinggungan dan berpotongan dengan
antropologi budaya. Dari empat subdisiplin tersebut yang pertama dan kedua
tersebut yang paling dominan, yang
lainnya lamban. Kecuali di Amerika
Serikat jalinan geoografiantropologi juga
kuat. Di samping itu juga terdapat
sub-divisi kedua berdasarkan pembagian
geografi perkotaan dengan pedesaan (di
mana geografi pedesaan juga berbeda
dengan georafi agrikultural). Geografi
perkotaan memiliki sub-divisi lainnya,
seperti; geografi sosial perkotaan yang
mempelajari segregasi pemukiman kotakota, terpisah dari kajian ekonomi daerah
urban. Pada tahun 1970-an. Sekali lagi
sasarannya adalh hukum-hukum keruangan yang berkaitan
ativitas-aktitas sosial linnya yang
didasarkan pada evaluasikuantitatif atas
hipotesis-hipotesis yang diajukan.Di sini
baik geografi fisik maupun manusia
menggeser analisis berlandasakan pola
kartografi menjadi pola statistik dan
mengembangkan model matematiknya.
Disiplin tersebut berkembang sangat kuat
sejak tahun 1970-an hingga sekarang,
termasuk sebagai pendekatan ekonomi
politik, pendekatan struktural, dan
pendekatan realis terhadap ketidak seimbangan
pembangunan yang melahirkan sejumlah
ketimpangan-ketimpangan ekonomi
serta pergeseran budaya menjadi perlu
dikaji kembali dalam pengertian
pembanguna perlu diredefinisidan
direvitalisasi.
3. Tempat
Di atas telah dikemukakan bahwa geografi
muncul sebagai disiplin
akademis tentang tempat-tempat; di
dalamnya terdapat kegiatan mengidentikasi
interelasi, membanding-bandingkan, serta
menampilkan informasi mengenai
berbagai bagian dunia. Setelah berkembang
lebih jauh, para praktisi memandang
perlu untuk lebih mempercanggih
metodologi kerja daripada mengumpulkan
informasi, memetakan dan membuat katalog:
mereka menginginkan kerangka
intelektual yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan pengetahuan di
samping menyusun informasi. Pada tahun
1930-an determinisme lingkungan
contohnya digantikan oleh georafi
regional, di mana landasannya adalah sifatsifat khusus masing-masing
region/kawasan yang dibatasi oleh criteria-kriteria
tertentu, bisaanya dalam skala benua atau
sub-benua yang memiliki persamaanpersamaan khusus (Johnston, 2000: 407).
Ternyata gegrafi regional secara
metodologis lemah, misalnya dalam
mendefinisikan kriteria, cara-cara
menentukan batas-batas regional, dan protokolprotokol deskripsinya. Sebagian
besar kelemahan ini disebabkan masih
melekatnya pengaruh faktor paradigma
‘determinisme lingkungan’, di mana
argumen dasarnya adalah bahwa
karakteristik fisik permukaan bumi menentukan
bagaimana manusia menempati dan melakukan
aktitasnya. Argumen tersebut
ditentang habis pada tahun 1930-an, dan
digantikan oleh geografi regional, yang
landasannya bahwa sifat-sifat khusus
masing-masing kawasan (yang didefinisikan
sebagai permukaan bumi, yang dibatasi
oleh kriteria-kriteria tertentu). Dengan
demikian tiap ahli geografi menjadi ahli
geografi regional untuk wlaah tertentu,
yang biasanya berskala benua atau
sub-benua
Padahal dalam geografi regional lemah
secara metodologis, misalnya
dalam mendefinisikan kriteria, cara-cara
menentukan batas-batas regioanl, serta
protokol-protokol deskriptifnya.
Sebagianbesar dipengaruhi oleh paradigma
determinisme lingkungan. Hampir semua
ahli geografi regional berangkat dari
deskripsi-deskripsi lingkungan fisik
kewilayahan ⎯sebagai konteks bahkan
sebagai determinan ⎯terhadap
pola-pola kehidupan manusia. Namun tidak
sedikit bagi sebagian orang, yang
berasumsi bahwa geografi regional adalah seni
dalam bentuk lanjut yang tujuannya
mendeskrisikan variasi-variasi secara akurat
dan sifat-sifat wilayah tersebut.
Kemudian pendekatan ini juga semakin ditentang
pada tahun 1960-an, terutama oleh
paraahli geografi yang teriakat pada
paradigma ilmu keruangan, yakni ’geografi
sebagai disiplin tentang jarak’.
Pendekatan geografi regional dituduh sebagai sekedar metode pengumpul
dan
penyusun fakta dengan framewark-nya yang
kurang jelas, tidak ilmiah, serta
kurang memenuhi kriteria sebagai sebuah
disiplin ilmu. Akibatnya pendekatan
tersebut menjadi goyah dan banyak
ahli geografi pindah ke lain pendekatan
dengan meninggalkan geografi regional
(Johnston, 2000: 407).
Dampak yang paling dirasakan terhadap
studi ‘tempat’ atau ‘lokasi’ telah
banyak berkurang dari geografi, walaupun
pada tahun 1970-telah bangkit kembali
kendati dalam bentuk lain. Terutama dalam
bentuk ahli geografi sejarah dan
kultural yang mencoba mempelajari
hukum-hukum pola perilaku manusia.
Menurut mereka hukum-hukum tersebut
mengatasi kehendak individu dan dengan
demikian dapat mengalahkan
individualitas, kebudayaan dan pengambilan
keputusan (Gregory, 1978; Ley dan Samuel,
1978). Beberapa kecaman yang
serupa dialamatkan terhadap beberapa
karya geograperMarxis tentang
pembangunan yang tidak seimbang, yang
mengisyaratkan bahwa proses
kapitalisme merupakan determinan
struktural yang amat membatasi kebebasan
individu untuk beraktivitas.Tidak ada
pendekatan geografi regional, baik itu ilmu
keruangan maupun strukturalisme Marxis
(yang berkaitan berkaitan dengan
persepsi ahli geografi tentang dunia
empiris yang mengandung banyak sekali
variasi budaya, sosial, politik. Dan,
tentu saja tidak dapat dipukul rata begitu saja
menjadi diterminan ekonomi. Johnston,
2000: 408).
Timbul pandangan alternatif, yang
kemudian dikaitkan munculnya nuansa
kultural dalam ilmu-ilmu sosial pada
tahun 1980-an yang memiliki hubungan
dengan sejumlah perkembangan pemikiran
baru. Sebagai contoh, meningkatnya
gerakan feminisme tidak saja menunjukkann
betapa peran wanita telah
dimarjinalkan oleh pria pada hampirdi
semua masyarakat, namu juga
menunjukkan bahwa berbagai kelompok dalam
masyarakat sesungguhnya
memiliki sudut pandang yang berbeda
(Rose, 1992). Tidak satupun pandanagan
bisa dominan, kendati bisa saja salah
satu pandangan itu memberi pengaruh
akademik atau warna diskursus
lainnya(Gregory, 1994). Oleh karena itu dalam
kajian akademis geografi buka persamaan
yang dijadikan fokus kajiannya, namun
perbedaan.
Dalam hal ini, tempat merupakan pusat
bagi geografi karena peranannya
sebagai faktor pembatas dalam
perkembangan manusia , serta mengingat
pentingnya tempat sebagai konstruksi
dunia (Johnston, 2000: 408). Sebab
mengenal siapa dirinya dan orang lain,
juga didasarkan pada tempat. Mereka
mengembangkan identitas fisi dan sosial-budaya
juga dipengaruhi tempat.Tempat
merupakan lingkungan pergaulan,
diciptakan oleh manusia dalam konteks
peresepsi merekamengenai alam dan
sosialnya. Sebagai unsur penting dari tempat,
identitas bersifat menentang dari apa
yang bukan bagiannya. Dengan demikian
salah satu dari bagian definisi mengenai
sifat-sifat tempat, adalah perbedaanperbedaannya.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
bahwa geografi secara
makro dapat dikelompokkan dalam dua
sub-disiplin yakni georafi fisik, dan
geografi manusia yang sebagian para
ahlimenyebutnya sebagai geografi sosial.
Dalam kajian tulisan ini lebih
memfokuskan kepada kajian geografi manusia atau
Social
Geografi sosial adalahsebuah sub-disiplin geografi yang subyeknya
mengaitkan ilmu-ilmu sosial dan alamiah,
serta meliputi topik-topok mulai dari
tektonik sampai psikoanalisis (Smith,
2000: 981). Beberapa penulis geografi
sosial menyertakan geografi sosial dengan
keseluruhan geografi manusia, yaitu
dengan kekuatan ilmu sosial dari
disiplintersebut. Untuk pertama kalinya istilah
geografi sosial digunakan, yakni pada
tahun 1884 ketika Elise Reclus mengacunya
sebagai hubungan yang rumit antara
manusia (sosial) dengan alam (Dunbar,
1977). Ahli geografi yang lain
mendefinisikan bidang ini secara lebih sempit,
mengikuti pandangan Fitzgerald dalam
(1946), bahwa sebuah kepentingan dalam
sosial pada hakikatnya dapat dikejar
dalam pengertiannya sendiri, sebagai sebuah
wilayah yang berbeda dari kajian-kajian
aspek kehidupan politik dan ekonomi.
Namun kebanyakan para analis geografi
melihat bahwa wilayah geografi sosial
berada di antara dua kubu yang ekstrem
tersebut (Smith, 2000: 981).
Terdapat dua pendekatan dalam kajian
geografi manusia/sosial. Pertama,
pendekatan yang menekankan struktur dari
hubungan sosial sehingga bidang ini
layak sebagai ilmu sosial. Sebagai contoh
Jones dalam bukunya Reading in
Social Geography(1985: 3) melihat
geografi ssosial berhubungan dengan ”upaya
mendeskripsikan dan menerangkan
unsur-unsurspasial dari masyarakat dalam
hal struktur dari masyarakat tersebut”.
Sedangkan Jacson dan Smith dalam
bukunya Exploring Social Geography(1984
vii) menganggapnya bahwa geografi
sosial sebagai ’kajian bagaimana
kehidupan sosial terbentuk secara geografis
melalui struktur-struktur spasial dari
hubungan sosial”. Dengan orientasi tersebut
maka geografi sosial memiliki peran
penting dalam apa yang dinamakan Elyes
(1986) sebagai rekonstitusi georafi
manusia sebagai ilmu sosial.
Pendekatan kedua,dari rekonstitusi ini
tertuju pada pencarian relevansi di
akhir periode progresivisme. Menjelang
akhir tahun 1960-an, nampak bahwa
permasalahan soail di dunia semakin
memburuk, selain itu ketimpangan sosial
mengalami eskalasi. Sejak tahun 1970-an
terdapat dua teks utama yang membantu
para hli geografi sosial mengembangkan
sebuah peran kritis dan konstruktif dalam
tatanan masyarakat yang tidak adil.
Pertama, Karya David Harvey dalam bukunya
Social Justice and the City(1973) ia
membawa pesan politis yang kuat serta
menghancurkan ilmu sosial yang ”bebas
nilai” agar ilmu sosial mampu membawa
perubahan sosial yang radikal. Kedua,
adalah buku teks David Smith Human
dalam Geography: A Welfare Approach(1977)
yang menstimuli perkembangan
dari geografi sosial yang berorientasi
kepada kesejahteraan dan relevan dengan
kebijaksanaan. Karya tersebut telah
melandasi pendekatan berbasis permasalahan
geografi sosial yang terangkum dalam
koleksi yang diedit oleh Pacione (1987)
serta dikembangkan Cater dan Jones
(1989). Dalam pendekatan tersebut
mengkonseptualisasikan geografi sosial
sebagai suatu inkuiri terhadap alokasi
sumberdaya, dan telah membujuk para ahli
geografi untuk untuk mengkaji
ketimpangan spasial dalam bidang;
perumahan, kesempatan kerja, kesehatan,
pendidikan dan sebagainya.
Adapun cabang-cabang dari Geografi
Manusia (Human Geography)
mencakup; (1) geografi ekonomi (economic
geography), (2) geografi politik
(political georgaphy), (3) geografi
budaya (cultural geography), (4) geografi
sejarah (historical geography), (5) geografi perkotaan (urban
geography), dan
sebagainya
Dalam kajian georafi ekonomimenguraikan
tentang produksi, distribusi,
pertukaran/perdagangan, serta konsumsi
atas berbagai barang dan jasa yang
dilakukan pada tempat-tempat yang saling
berjauhan. Geografi ekonomi mulai
diakui sebagai bidang studi tersendiri
pada khir abadke-19, dan kebangkitannya
bertolak dari kolonialisme Eropa (Barnes,
2000: 267). Pertama, para perintisnya
dimulai dengan penyususnan daftar
kekayaan sumberdaya global yang bisa
diperdagangkan, dan kondisi-kondisi
produksinya (Chisholm, 1889), kedua,
mereka mencari justifikasi-justifikasi
intelektual atas ketimpangan ekonomi antara
penjajah dan yang dijajah. Dengan
demikianmereka mendasarkan diri pula pada
environmental determinism(Huntington,
1915).
Perubahan terjadi sejak tahun 1920-an, di
mana geografi ekonomi mulai
berorientasi ke dalam satu perekonomian
(negara dan menerapkan pendekatan
regional) untuk mencari penjelasan atas
keragaman kondisi ekonomi dari satu
daerah ke daerah lain dalam negarayang
sama. Beberapa hal yang sering
dibandingkan tingkat penyerapan sumber
daya yang dipilih ke sejumlah kategori
adalah; produksi, transportasi, pasar,
dan sebagainya. Hasil-hasilnya dibandingkan
tanpa mengganggu keunikan dan perbedaan
yang ditunjukkan oleh setiap daerah.
Kemudian pada dekade 1950-an, georafi ekonomi
mulai menerapkan metode
kuantitatif dan berbagaipendekatan
revolusioner lainnya termasuk aneka
perangkat statistika, sehingga
mentransformasikan bidang ini menjadi sebuah
ilmu spasial. Selanjutnya bidang ini banyak mengadopsi berbagai teori dasn
model, yang terutama dari empat sumber
utama (Barnes, 2000: 266).
Sumber pertama, adalah ekonomi neo-klasik
yang menyumbangkan
model-model umum kompetisi dan perilaku
rasional. Kedua,adalah fisika yang
memasok dasar-dasar analisis gravitasi
dan model entropi yang mengilhami
analisis tentang pola interaksi spasisal.
Ketiga,adalah model-model lokasional
Jerman, yang sebenarnya hampir terabaikan
oleh teori lokasi pertanian von
Thunen, teori lokasi industri Weber,
serta teori tempat sentral Loesch dan
Cristaller. Sedangkan keempatadalah
geometri, yang menyajikan berbagai
aksioma, hitungan baku dan teorema yang
melandasi hukum-hukum morfologi
spasial (Bunge, 1962) Para ahli geografi
ekonomi yang berpijak pada ilmu tata
ruang atau spasial itu percaya bahwa
karakteristik khas suatu daerah selalu
menentukan corak perekonomiannya, dan
mereka mencoba membuktikan hal itu
secara ilmiah.
Namun bukan berarti tanpa kelemahan
kajian ini. Pada tahun 1970-an
geografi ekonomi mulai dihujani banyak
kritik, karena memiliki kelemahan pada
asumsinya yang terletak bahwa unsur
spasial terpisah dari unsur sosial. Menurut
Harvey yang menulis buku Limits to
Capital(1982), seorang ahli geografi
beraliran Marxis, bahwa unsur spasial
hanya dapat dipahami melalui
sosialisasinya lewat mode produksi
dominan, yaitu mode kapitalis. Selain itu ia
menambahkan, jika para ahli
geografiekonomi hendak memahami perubahan
lansekap ekonomi kapitalis, mereka harus mengetahui ketegangan-ketegangan
non-spasial yang terkandung dalam sistem
kapitalisme itu sendiri. Baginya hal itu
hanya mungkin dengan analisis Marx
tentang ”penyusutan spasial oleh waktu”. Di
sini jasa Harvey secara
brilyantelah mengupayakan rekonstruksi geografi
akumulasi kapitalisme.
Walaupun pemikiran Harvey telah mengubah
paradigma geografi
ekononomi secara domian, namun tetap saja
geografi ekonomi yang baru-pun
mendapat kritik, yang meliputi; (1)
kritik terhadap ”perlunya unsur spasial yang
harus disososialisasikan” dikritik oleh
Doreen Massey dalam Spatial Divisions of
Labour: Social Structures and the
Geography of Production(1984); (2) adanya
gugatan hasil perumusan Harvey serta
perlunya memahami kemunculan industri
berteknologi tinggi, hal ini dikritik
olehMichel Storper dan Allen Scot dalam
bukunya Pathway to Industrialization and
Regional Development (1992); (3)
kritik juga datang dari kelompok feminis
di mana Harvey mengabaikan unsur
feminis maupun etnik, dikemukakan oleh
MacDowell dalam tulisannya ”Life
without father Ford: the new gender order
of post-Fordism”(1991)
Berbeda dengan geografi politik, yang
menekankan bahwa teritorial
ditafsirkan sebagai hubungan mendasar
antarakedaulatan negara dengan tanah air
nasional yang terletak di jantung
legitimasi dan praktik negara modern. Di mana
hasilnya adalah analisis-analisis atas
wilyah, kekuasaan dengan ruang yang
terfokus yang berpusat pada negara
(Taylor, 2000: 783).
Dalam sejarahnya, sejak awal terjadinya
geografi politik sebagai suatu
bangunan pengetahuan yang koheren pada
akhir abad ke-19, sub-disiplin ini telah
mengalami empat fase perkembangan utama,
yakni (1) lingkungan, (2)
fungsional, (3) analisis wilayah, dan (4)
pluralistik (Taylor, 2000: 784-784).
Pertama, geografi politik lingkungan:
Diawali dengan karya Friederich
Ratzel dalam bukunya Pitsche
Geographie(1897) di mana gagasannya tentang
determinisme lingkungan diterapkan
terhadap kajian negara. Kemudian pada
tahun 1904 Halford Mackinder menyuguhkan
teori ”daerah poros”(pivot area),
yang belakangan dinamakan kembali teori
”heartland”. Titik kulminasi dari
geografi lingkungan ini muncul dalam
kajian politik dan landasan serta pijakan
Derwent Whittlesey yang subtil dalam THE
Earth and the State, titik nadirnya
adalah geopolitik-nya Jerman terhadap
perluasan wilayah Third Reich.Bentuk
Geografi politik ini mundur ketika para
ahli Geografi pada umumnya mencoba
menggabungkan kajian-kajianya dengan
perkembangan-perkembangan dalam
ilmu-ilmu sosial. Ternyata kekurangan
geografi politik lingkungan ada pada
teorinya yang kurang memadai, di
mana ide-idenya hanya bertahan di luar
geografi, ketika para ahli ilmu politik
mengacu kepada pengaruh-pengaruh
geografi lingkungan sebagai faktor
geografis atau ketika gagasan-gagasan
geografi simplistik digunakan untuk
menjustifikasi kebijakan-kebijakan yang
menyokokng Perang Dingin yang agresif (Knox,
2000: 783).
Kedua, geografi politik fungsionnal. Ini
terjadi ketika pasca Perang Dunia
II. Dalam masa ini Richard Harstone
(1950) yang menempatkan negara dipandang
dalam posisi kesimbangan antara
sentrifugal dan sentrifetal. Ketiga, analisis
ruang dalam dalam geografi politik: Dalam
fase ini dimulai dengan adanya
kajian-kajian kuantitatif, namun dalam
geografi memiliki pengaruh sedikit
khususnya dalam geografi politik. Justru
pengaruh kuantifikasi ini terletak pada
kajian-kajian politik pinggiran, karena
sebagian besar tidak cocok untuk
dianalisis kuantitatif dalam geografi.
Pengaruh sekundernya adalah untuk
mengorientasikan ulang geografi politik menuju wilayah-wilayah di mana
banyak
sekali data-data untuk dianalisis.
Keempat, geografi politik pluralistik. Pada masa
ini geografi politik dituntutuntuk bisa
juga kajian-kajian tentang kekuasaan yang
sering diabaikan masa sebelumnya.
Perbaikan dalam penyimpangan ini telah
membawa hasil yang banyak. Di antaranya
tentang keragaman kontemporer
geografi politik Sumbangan Marxis
contohnyatelah menafsirkan politik negara
dalam aliansi-aliansi kelas berbaris
padaruang. Dari perspektif kultural bangsabangsa dan nasionalisme, telah dikaji
dalam hal keterkaitan khusus kepada tempat
(Taylor, 2000: 784).
Berbeda dengan geografi urban(geografi
perkotaan),berkaitan dengan
sifat-sifat tata raung kota kecil dan
besar, dan berbagai cara yang
mempengaruhi/dipengaruhi oleh proses
proses fisik, demografi, ekonomi, sosial,
budaya dan politik (Knox, 2000:
1112-1114). Sebvagaimana aspek-aspek lain
dalam geografi manusia, geografi
perkotaan berkaitan dengan variabilitas lokal
dalam suatu konteks umum (Johnston,
1984). Artinya, geografi jenis ini terkait
dengan dengan pemahaman terhadap berbagai
keistimewaankota dan segala
keteraturan yang ada dalam kota dan antar
kota dalam kerangka hubungan spasial
antar penghuni dan lingkungan mereka.
Beberapa pertanyaan yang sering
dimunculkan dalam geografi perkotaan
ini adalah: Atribut apa saja yang membuat
kota-kota besar dan wilayah sekitarnya
memiliki keistimewaan? Bagaimana
identitas –identitas istimewa ini
berkembang? Adakah
keteraturan-keteraturan yang signifikan dalam tata ruang
kota-kota kecil dan besar dibandingkan
wilayah atau negara lain? Bagaimana cara
orang-orang menentukan pilihan tinggal di kota-kota besar, dan dakah
keterbatasan-keterbatasan dalam
menentukan pilihannya tersebut? Dan
sebagainya.
Menurut Paul L. Knox (2000: 1113)untuk
menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut biasanya para ahli geografi perkotaan
menggunakan berbagai
macam pendekatan. Pertama, pendekatan
deskriptif langsung. Dalam hal ini para
pakar geografi memperhatikan diferensiasi
wilayah dan keistimewaan tempat
secara seksama. Dengan begitu kota-kota
besar dan kecil itu dianggap sebagai
mosaik lingkungan yang istimewa dan
satuan-satuan morfologik, atau sebagai
bagian dari sistem-sitem kota besar, yang
dklasifikasi dan diregionalisasi
berdasarkan fungsi-fungsi ekonomi atau
kualitas kehidupan yang terkait dengan
kota-kota lainnya. Kedua, pendekatan
analisis kuantitatif. Dengan pendekatan
yang bersifat positivis ini para ahli
geografi perkotaan mengarahkan dalam
penetapan model penetaan ruang
masyarakat. Ketiga, pendekatan behavioral.
Dalam pendekatan ini ditekankan pada
kajian tentang kegiatan masyarakat dan
proses pengambilan keputusan. Misalnya,
di mana untuk tempat pemukiman,
perindustrian, pertukaran/perdagangan,
hiburan, dan sebagainya. Keempat,
pendekatan struktural. Dalam pendekatan
ini menekankan kajian berbagai
kendala yang dipasksakan oleh perilaku individu
baik oleh organisasi masyarakat
secara keseluruhan, maupun oleh aktivitas
sejumlah kelompok dan lembagalembaga kuat yang ada di dalamnya. Kelima,
pendekatan post-strukturalis, yang
berusaha memadukanb interaksi berbagai
metastruktur (ekonomi, politik, budaya)
dengan agen kemanusiaan, dan untuk menjelaskan sistem lokal dari makna
bersama berdasarkan kerangka sosial
budaya yang lebih luas.
Keempat, sejarah georafi.an 437
Kelima, geografi populasi, halaman, 803
Keenam, geoografi sosial, halaman 981
Ketujuh,sistem informasi geografi,
halaman 402 (KALAU BELUM)
B.
Pendekatan, Metode, dan Ilmu Bantu
1.
Pendekatan
Perkembangan terakhir dalam ilmu georafi sejak geografi fisik dan
geografi manusia bergerak dari sifatnya
yang deskriptif menuju analitis pada
tahun 1950-an dan 1960-an, berkembanglah
faham positivisme yang menekankan
pengujian hipotesis untuk merumuskan
hukum-hukum dan derivasi teori yang
menonjol. Pendekatan ini berkaitan erat
dengan kuntifikasi dan keyakinan pada
keteratutran statistik merupakan bukti
adanya hubungan sebab akibat empiris
seperti yang disyaratkan oleh teorinya.
Walaupun pendekatan positivistik juga
benyak memiliki kelemahan, karena tidak
mampu mengakomodasi kekhususankekhususan yang bersifat kontekstual (Harvey,
1989). Namun pada umumnya
banyak para ahli geografi terus
mengembangkan pola pendekatan tersebut.
Pendekatan yang didasarkan pada pengukuran dalam disiplin ini
membutuhkan banyak eksperimentasi dan
inovasi dalam cara-cara pengumpulan
data lapangan, baik proses-proses dalam
lingkungan fisik maupun mengenai caracara individu membentuk tingkahlaku ruang
mereka. Hal ini dibantu oleh
penemuan teknologi informasi sehingga
pengumpulan, penyimpanan, penyajian
dan analisis data sangat membantu bagi
ahli geografi yang banyak memainkan
peran sebagai pelopornya. Kemajuan ini
yang pertama adalah bidang remote
sensing(penginderaan jarak jauh) yang
sering diasosiasikan dengan kegiatan
menceritakan bumi dari angkasa (Curran,
1987). Kuantitas data yang berkembang
cepat, yang diperoleh darisetelit dan
alat penginderaan jarak jauh lainnya,
memungkinkan para ahli geografi berada
pada lini depan dalam pengembaraan
cara-cara penafsiran data yang tersedia.
Teruta dengan menggunakan komputer
“bermemori raksasa” untuk
menggambarkanvariasi rinci dari permukaan bumi
dari waktu ke waktu. Penginderaan jarak
jauh ini begitu penting, bukan hanya
menyediakan materi baru untuk
menganalisis bumi, melainkan juga meninggalkan
banyak teka-teki teknis mengenai
bagaimana mentransformasi dan menafsirkan
materi itu demi mencapai tujuan riset
(Johnston, 2000).
Pada dasarnya hampir semua data geografis
mengacu kepada dua konteks
dimensional. Secara tradisional hal
itutelah ditampilkan dalam bentuk peta,
namun perkembangan sejak tahun 1970-an
dalam sistem-sistem informasi
geografis (Geographical Informatin
Systemsatau GIS) telah meningkatkan
kemampuan menyimpan, memvisualisasi, dan
menganalisisnya melalui
kemampuan melapis kumpulan-kumpulan data
satu sama lain ⎯sebagai contoh
hasil pengamatan hujuan digabungkan
dengan peta-peta topografi ⎯secara substansial telah memperkokoh kemampuan untuk
menyususn hipotesis yang bisa
diuji secara empiris serta kemampuan
menjalankan uji-coba itu sendiri (Maguire,
1991).
Di samping pendekatan-pendekatan yang
telah dijelaskan di atas, dalam
kajian geografi terdapat
beberapapendekatan yang sering digunakan.
Sumaatmadja (1988: 77-86) mengemukakan
secara garis besar terdapat empat
pendekatan, yakni: (1) pendekatan
keruanganatau spatial approach; pendekatan
ini dibagi-bagi lagi dalam beberapa
pendekatan seperti; (a) pendekatan topik; (b)
pendekatan aktivitas manusia; (c)
pendekatan regional; (2) pendekatan ekologi
atau ecological approach; (3) pendekatan
histories atau pendekatan kronologi;
(4) pendekatan sistem atau system
approach.
Pendekatan keruanganmerupakan pendekatan
yang sangat khas pada ilmu
geografi, dengan mengedepankan
prinsip-prinsip penyebaran, interelasi, dan
deskripsi. Adapun ragamnya yang termasuk
dalam pendekatan iniseperti yang
dinyatakan sebelumnya mencakup; (a)
pendekatan topik; (b) pendekatan aktivitas
manusia; (c) pendekatan regional. Dalam
pendekatan topik menekankan pada
bidang atau masalah apa yang paling
dominan yang menjadi pusat perhatian
dalam kajian itu. Kemudian setelah
diidentifikasi topiknya selanjutnya dari topik
tersebut dicari sebab-sebabnya, bentuk
dan jenisnya, penyebarannya,
intensitasnya, serta interelasinya dengan
fenomena-fenomena lain secara
keseluruhan. Sedangkan untuk
pendekatanaktivitas manusia, diarahkan pada
ektivitas manusia yang dilakukannya,
dengan pertanyaan utama; “bagaimana
kegiatan manusia atau penduduk di suatu
daerah/wilayah yang bersangkutan?”.
Seperti halnya pendekatantopik, maka
dalam pendekatan aktivitas manusia ini
juga dikaji penyebarannya, interelasinya,
dan deskripsinya dengan gejala-gejala
alainnya. Selanjutnya untuk pendekatan
regional, dikaji karaktersitik tertentu
yang membedakan dari region-region lain
dengan menekakan persamaan dalam
wilayah itu secara intern.
Pendekatan ekologi atau ecological
approachmerupakan pendekatan yang
berkenaan penelahan dan analisis sesuatu
gejala ekologis yang diarahkan
hubungan antara manusia sebagai mahluk
hidup dengan lingkungan alamnya.
Dalam pandangan ekologis tersebut suatu
daerah pemukiman ditinjau sebagai
suatu bentuk ekosistem hasil interaksi
penyebaran dan aktivitas manusia dengan
lingkungan alamnya. Demikian pula jika
kita mengkaji daerah-daerah pertanian,
daerah perindustrian, daerah perkotaan
dan lain-lainnya. Dengan demikian pula
dapat dikemukakan bahwa pendekatan
ekologi merupakan pendekatan pelengkap
untuk melakukan pengkajian
masalah-masalah yang sulit atau tidak dapat
dihampiri oleh pendekatan dan metode
lainnya.
Untuk
pendekatan historisataupun
kronologi,merupakan suatu
pendekatan yang menekankan perkembangan
dinamis dari suatu kajian geografis,
berdasarkan proses kronologis
denganmemahami kurun waktunya (James, 1959:
2; Jarstorne, 1960: 84)). Dengan memahami
dimensi urutan waktu atau dimensi
sejarah, kita tidak hanya dapat mengkaji
perkembangannya, melainkan dapat pula
melakukan prediksi proses gejala atau
masalah tersebut pada masa yang akan
datang. Selain itu melalui pendekatan
histories atau kronologi tersebut kita dapat
melakukan pengkajian dinamika dan
perkembangan suatu gejala geografi di
daerah atau wilayah tertentu Untuk menyususn suatu perencanaan
pembangunan
suatu aspek kehidupan yang menyangkut.
Dengan mengetahui perkembangan
sejarah kehidupan tadi, secara
mantap kita akan dapat menyusuan suatu
perencanaan yang serasi dan seimbang
untuk kepentingan hari mendatang. Di
sinilah letak hakikat pentingnya
pendekatan historis atau kronogi
tersebut
(Smaatmadja, 1988: 85).
Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan
sistematau system
approach, hal ini dapat dianalogikan
bahwa suatu ruang yang merupakan suatu
kebulatan, pada hakikatnya merupakan
suatu sistem keruangan (spatial system).
Sistem di sini dapat diartikan sebagai
tafsiran agak beragam tetapi serupa seperti:
“A system is a series of phenomena which
are interconnected by a common
process” (Dickinson: 1970: 58). A system is a set of object together with
relationships between the object and
between their attributes(Chadwick, 1971:
36). A system is a set of two or more
interrelated element of any kind; for
example, concepts )as in the number
system), objects (as in a telephone system or
human body), or people (as in a social
system) (Ackoff, 1974: 13).
Dengan demikian berdasarkan penjelasan di
atas bahwa sistem itu
memiliki pengertian konosi yang luas
sekali, seperti mencakup; rangkaian gejala,
alat atau pesawat elektronik, susunan
jasmaniah manusia dan lain-lain. Sedangkan
yang menjadi unsur penting dalam
criteriasistem itu adalah merupakan suatu
rangkaian satu kesatuan yang berproses
dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Dengan demikian pula dapat dikemukakan
bahwa dalam pendekatan sistem
tersebut merupakan mode berpikir sintetik
(mode berpikir yang didasarkan atas
doktrin ekspansionisme) secara teratur.
Dalam kaitannya dengan ilmu geografi
pendekatan sistem tersebutdapat diartikan
sebagai suatu yang metodologi yang
digunakan untuk mendekati, menelaah dan
mengkaji sistem gejala geografi dan
sistem keruangan, yang dilakukan oleh
para ahli gegrafi seperti Edward
Ackerman, Richard J. Chorley, D.R.
Stoddart, dan Brian J.L.Berry ( Davies,
1972: 255-326).
2. Metode dan Teknik Penelitian Geografi
a.
Metode Penelitian Geografi
1. Meode Deskriptif; metode ini banyak
digunakan sejak ilmu geografi
lahir sebagai disiplin ilmuyang bersifat
akademis. Sebagai karakteristik metode
ini adalah memberi penjelasan baik yang
bersifat ‘alamiah’ maupun ‘insaniah’
dengan mengungkap karaktersitik,
eksploratif, hubungan fungsional, maupun
dampaknya dari suatu fenomena maupun
peristiwa. Tujuan metode ini adalah
untuk mendeskripsikan atau menjelaskan
peristiwa dan kejadian yang ada pada
masa sekarang. Dalam metode ini
terbagi-bagi lagi seperti: metode survei, studi
kasus, dan studi pengembangan. Salah satu
hal penting tentang metode deskriptif
ini, bahwa pada masa berkembangngnya
metode deskripsi tersebut kartografi
dominan.
Metode Studi Kasus, merupakan metode
penelitian baik yag digunakan
untuk karakteristik tertentu, individu
maupun kelompok dengan mengungkap
kasus-kasus spesifik baik yang mencakup
pengkajian relasi, dan interelasinya
terhadap individu lainnya secara
mendalam dan biasanya dilakukan secara
longitudinal (Bailey, 1982: 486).
Metode Survei; meupakan metode penelitian
dengan teknik pengumpulan
data sepeti wawancara maupun kuesioner
(angket) dengan jumlah sampel besar
dan merupakan penelitian yang
menggambarkan keadaan kekinian untuk
memahami opini, pendapat, maupun
tanggapan publik pada umumnya (Bailey,
1982: 110).
Metode Studi Pengembangan; merupakan
metode penelitian yang
digunakan untuk mengembangkan suatu
penelitian secara mendalam untuk
memperoleh model baik dalam tataran
teoretis yang sebelumnya sudah ada
maupun belum ada (baru). Penelitian studi
pengembangan ini lazimnya banyak
di\kembangkan dalam dunia akademis pada
jenjang pascasarjana untuk
memperoleh gelar doktor.
2. Metode Eksperimen danKorelasi; hal ini
mulai dirasakan sejak geografi
fisik dan manusia bergerak dari
sifat-sifat deskriptif menuju analitis pada tahun
1950-an dan 1960-an, pendekatan
positivisme yang menekankan treatmentdan
pengujian hipotesis untuk merumuskan hukum-hukum
dan derivasi teori kian
menonjol. Pendekatan tersebut berkaitan
eratdengan kuantifikasi, keyakinan pada
keteraturan statistik merupakan bukti
adanya hubungan sebab-akibat empiris
secara seperti yang diisyaratkan oleh
teorinya. Pengukuran dan manipulasi data
menggantikan posisi penjelasan verbal dan
kartografis sebagai prosedur dalam
ilmu geografi (Johnston, 2000: 408).
Metode ex post facto; metode ini untuk
melihat dan mengkaji hubungan
antara dua variable atau lebih, di mana
variable yang dikaji telah terjadi
sebelumnya atau tidak diberi perlakuan
khusus. Ex post facto artinya sesudah
fakta, karena dalam penelitian ini
peneliti tidak perlu melakukan manipulasi atau
perlakuan terhadap variable
bebas.Hubungan yang dikaji bisa berbentuk
pengaruh, hubungan/korelasi, sumbangan,
maupun dampak yang bisa dinyatakan
dalam ukuran-ukuran statistika seperti
koefisien korelasi, determinasi, dan lainlain (Sudjana, 1991: 54).
b.
Teknik Pengumpulan Data Ilmu Geografi
Sebagai teknik penelitian dalam ilmu
geografi banyak digunakan seperti;
observasi lapangan, wawancara,
kuesioner,studi dokumentasi, dan studi literatur.
Observasi lapangan (field observation)
merupakan teknik alat
pengumpulan data dalam ilmu geografi yang
berusaha melihat langsung tentang
gejala dan masalah geografis. Teknik
banyak sekali digunakan untuk penelitianpenelitian geografis bahkan merupakan
teknik pengumpulan data yang paling
dominan (Sumaatmadja, 1988: 105).
Wawancaraatau interviu, merupakan teknik
alat pengumpul data dalam
ilmu gegrafi yang dilakukan oleh peneliti
(interviewer) terhadap responden
(interviewee) untuk memperoleh
keterangan yang lebih jauh dari sekedar
observasi, yang dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung
terhadap responden secara verbal baik
formal maupun informal. Maksud dari
wawancara ini, seperti yang dinyatakan
Lincoln dan Guba (1985: 226) adalah
untuk mengkonstruksi mengenai orang,
kejadian, kegiatan organisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Sedangkan ditinjau
bentuknya,
wawancara ini meliputi (a) wawancara
pembicaraan informal; (b) wawancara
menggunakan petunjuk umum wawancara;(c)
wawancara baku tapi terbuka
(Patton, 1980: 197).
Kuesioner atauAngket; merupakan teknik
alat pengumpul data dengan
menyebarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan
baik yang bersifat terbuka maupun
tertup dan dilakukan melalui
pertanyaan-pertanyaan tertulis jenis pertanyaannya.
Dilihat dari tujuannya hampir sama dengan
wawancara yaitu untuk
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,
kegiatan organisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, kepedulian dan
lain-lain (Fraenkel dan Wallen, 1993: 112-113).
Studi dokumenter; merupakan teknik alat
pengumpul data yang merupakan
upaya untuk mengkaji setiap bahan
tertulis ataupun film, serta catatan (record).
Dokumen dapat dibagi dalam dua kelompok
yaitu dokumen pribadi dan dokumen
resmi, dan dua-duanya sangat penting
dalam teknik penelitian geografi. Hal ini
dapat dipahami mengingat dokumen dan
record berguna sebagai sumber yang
stabil, kaya, serta mendorong untuk suatu
pengujian mengingat sifat dokumen
adalah tidak reaktif sehingga tidak sukar
diperoleh dengan teknik kajian isi
(Moleong, 1998: 161).
Studi kepustakaan; merupakan teknik atau
alat pengumpul data dengan
mengkaji berbagai teori, prinsip, konsep,
dan hukum-hukum yang berlaku dalam
ilmu geografi. Semuanya ini diperlukan
sebagai data teoretik yang relevan dengan
kebutuhan kajian atau penelitian. Oleh
karena itu suatu penelitian geografi yang
mustahil dilakukan, jika tanpa disertai
kajian perpustakaan (Sumaatmadja, 1988:
110).
C. Sejarah Lahir dan Perkembangan Ilmu
Geografi
Seperti halnya pada ilmu-ilmu
sosiallainnya, disiplin geografi pada
mulanya tidak tersusun secara sistematis
seperti sekarang ini. Pengetahuan
mengenai suatu wilayah yang meliputi
aspek-aspek alamiah dengan isnainya,
mula-mula hanya dalam bentuk cerita yang
disampaikan oleh seseorang kepada
yang lainnya. Terdorong oleh kebutuhan
untuk mempermudah perjalanan
berikutnya, secara sederhana pengalaman
perjalanan itu dilukiskan ke dalam
bentuk peta (Sumaatmadja, 1988; 13). Bagi
kepentingan perjalanan, perdagangan,
peperangan dan pertahanan, peta tersebut sangat membantu dalam
memvisualisasikan suatu objek telaahan.
Pada zaman Yunani kuno, pandangan faham
geografi sangat dipengaruhi
oleh pandangan filsafat spekulatif maupun
sejarawan, yang berusaha memadukan
ilmu pengetahuan geografi dengan sejarah.
Tidak sedikit uraian geografi bersifat
sejarah, atau sebaliknya uraian sejarah
bersifat geografi. Herodotus (485-425 S.M)
contohnya, seorang sejarawan telah
mengemukakan pendapatnya bahwa betapa
eratnya hubungan antara perkembangan
masyarakat dengan faktor-faktor geografi
di wilayah yang bersangkutan. Pandangan
ini sungguh tidak keliru karena kedua
disiplin sosial tersebut tidak bisa
melepaskan diri interaksi antara manusia dengan
lingkungannnya maupun keterikatannya
dengan aspek keruangan. Selanjutnya ia
menganjurkan adanya penulisan hubungan diantara sejarah dan geografi
(Lucile,
1960: 13). Hanya saja pandangan-pandangan
tersebut masih bersifat subjektif dan
cenderung spekulatif. Hal ini
terbukti,pada tahun 450 s.M, Herodotus telah
membuat peta dunia yang membaginya dalam
tiga bagian, yaitu; Eropa, Asia, dan
Libya (Afrika). Peta karya Herodotus
tersebut sangat sederhana jika dibandingkan
dengan peta yang kita kenal sekarang.
Pandangan Herodotus demikian yang
memusatkan Yunani sebagai poros dunia,
tidak lepas sebagai pandangan
tradisional yang bersifat kosmologis.
Pandangan ini beranggapan bahwa pada
setiap kelompok etnis maupun bangsa
menganggap dirinya terpenting dari segala
mahluk dan umat manusia di dunia.
Daerahnya adalah pusat dari kosmos yang
diberikan oleh Pencipta sebagai tempatia
hidup (Lapian,1980: 6). Walaupun
karya Herodotus perlu disempurnakan,
namun demikian pandangannya dan
karyanya tersebut jelas sangat berharga,
karena ia telah mampu memberikan
kontribusi pemikirannya yang berani dan
memiliki “kebenaran tertinggi” pada
masanya. Oleh karena itu wajar jika waktu
itu peta karya Hrodotus tersebut sering
menjadi acuan bagi kepentingan pelayaran,
perdagangan, maupun pengembangan
pengetahuan bangsa Yunani kuno khususnya.
Lebih-kurang empat abad kemudian, Starbo
(63-24 s.M.) seorang
sejarawan dan ahli geografi Yunani kuno,
telah menguraikan secara panjang lebar
betapa besar pengaruh lingkungan fisik manusia
terhadap pengelompokan
kebudayaan dan model-model pemerintahan.
Ia mengemukakan bahwa pengaruh
lingkungan tersebut sangat menentukan
corak budaya dan pemerintahan. Dari
penjelasan tersebut dapat menyimpulkan
bahwa Starbo tergolong environmental
determinismatau determinisme lingkungan
(Sumaatmadja, 1988: 15). Pada bagian
yang lain Starbo telah mengemukakan bahwa
geografi berkenaan dengan factor
lokasi, karakteristik tertentu, dan antar
hubungan satu tempat ke tempat lainnya di
permukaan bumi secara keseluruhan. Ide
kesatuan tunggal yang dikemukakan
Starbo ini, dijelaskansebagai konsep
natural attributes of place (“atribut
alamiah satu tempat”), adalah kerangka
relasi suatu tempat dengan tempat lainnya
di permukaan bumi. Pandangan demikian
hingga sekarang masih relevan sebagai
salah satu konsep dan prosedur geografi
modern hingga sekarang (Dickinson,
1970: 10). Bahkan dalam perkembangan
selanjutnya konsep ini berkembang
sebagai konsep regional. Selain itu juga
ia telah membuat peta yang terkenal
dengan dikenal dengan “Peta Strabo”,
merupakan penyempurnaan peta
Herodotus.
Pandangan determinisme lingkungan yang
dikemukakan Starbo, jika
ditelusuri lebih jauh sebenarnya berasal
dari Julius Caesar (100-44 s.M) dalam
tulisannya yang berjudul Gallic Wars. Caesar yang merupakan tokoh
pemerintahan dan ketentaraan Romawiyang
terkenal itu, pada tulisannya
mengemukakan faktor geografi terhadap
pemerintahannya, serta pengaruh
lingkungan alam terhadap kemenangannya.
Semua tokoh yang menguraikan
keseluruhan bumi berupa
keterangan-keterangan wilayah di permukaan bumi
yang tidak memperhatikan letak yang tepat
tersebut serta keadaan manusianya
juga secara tidak tepat (hanya
mengemukakan materi secara etnografis serta
kurang bersifat geografi), semuanya dapat
dikategorikan dalam kelompok “aliran
logoterapi” (Khiam, 1980: 7-8). Pelajaran geografi tentang bola bumi dengan
menggunakan pendekatan
dan pengukuran yang matematis, baru
dilakukan oleh Pythagoras. Ketelitian
demikian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoles, maupun Eratosthenes.
Keterampilan mereka sangat mempengaruhi
pendekatan dan pandangannya.
Bentuk bola bumi serta ukurannya di mana
pembagian bumi berdasarkan lintang
dan bujur, serta pergeseran matahari yang
mempengaruhi daerah iklim, berasal
dari pemikiran kelompok “aliran
matematik” (Kiam, 1980: 9). Dalam istilah
geographika hal itu berarti writing about the earth or description of the
earth
atau “deskripsi atau tulisan tentang
bumi” . Selain dari itu, ia juga telah
menghitung keliling bumi secara matematik
berdasarkan perhitungan jarak
Alexandria dengan Seyne (Aswan). Oleh
karena itu ia dianggap sebagai peletak
dasar Geografi yang pertama. Jasa
Ptolomaeus pada perkembangan geografi yaitu
pada pembuatan dan penggunaan peta.
Setelah didapatkannya alatpencetak, peta
Ptolomaeus dengan diubah sedikit, dicetak
sebagai Atlas Ptolomaeus (Mitchell,
1960: 34).
Dari penjelasan di atas telah membuktikan
bahwa geografi telah
berkembang sejak sebelum Masehi di Yunani
khususnya. Aktivitas manusia yang
paling banyak menuntut keterampilan
geografi adalah perjalanan yang dilakukan
para pedagang maupun tentara dalam
peperangan untuk perluasan wilayah. Di
antara perjalanan darat yang terkenal
adalah “Via Appia” antara Roma dan
Capua 350 s.M.) serta “Jalan Sutera”
antara Tiongkok dengan Timur Tengah
pada Abad Petengahan), telah menjadi
sumber materi geografi yang berharga saat
itu.
Selanjutnya, perjalanan-perjalanan yang
dilakukan oleh Columbus, Vasco
da Gama, Fernao de Magelhaens dan
lain-lain yang terkenal dengan misi 3 G
(Gold, Gospel, dan Glory) telah pula
menambah pengetahuan mengenai negeri
lain tentang penduduk dan
peradabannya. Pengetahuan ini selain
menambah
materi geografi, juga telah membukakan
kawasan manusia terhadap perwilayahan
di permukaan bumi.
Pada Abad Pertengahan, tokoh-tokoh ilmu
pengetahuan seperti Nicolaus
Copernicus (yang mengemukakan tentang
teori heliosentris), Galileo Galilei,
Johanes Kepler, Gerard Mercator, Wilem
Jansz, dan lain-lainya, besar sekali
jasanya terhadap perkembanagan Geografi
saat itu. Kemudian Bernard Varen
(Varenius) telah menentukan istilah
“general geography” atau “geographia
generalis” yang merupakan bagian dari
scienceyang mempelajari bumi secara
umum, menguraikan pembagian dan gejala
yang mempengaruhi bumi secara
keseluruhan. Hal yang dikemukakannyamerupakan
dasar dan hukum umum yang
dapat diterapkan pada geografi untuk
mempelajari suatu wilayah atau negara
secara khusus. Bagian geografi yang
tearkhir ini disebutnya sebagai special
geography atau“geographia specialis”
(Harstorne, 1960: 67). Kemudian bagaian
geografi ini menjadi geografi regional
(regional geography). Varenius juga
pernah mempublikasikan studi regional
mengenai Jepang dan Syam, dan uraian
ini lebih bersifat matematik campuran
(Sumaatmadja, 1988: 18).
Tokoh-tokoh geografi dari Jermanyang
sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan disiplin geografi,
diantaranya; Karl Ritter, Oscar Peschel,
Alexander von Humboldt, Friederich
Ratzel, ErnestKapp, Alfred Hettner.
Pandangan geografi dari tokoh-tokoh tersebut, secara singkat sebagai
berikut:
Alexander von Humboldt (1769-1859) dan
Karl Ritter (1779-1859), dianggap
sebagai peletak dasar “geografi modern”
(Sumaatmadja, 1988: 18). Kedua tokoh
ini berjasa dalam meletakkan dasar-dasar
ilmu-pengetahuan empiris (empirical
sciences) pada geografi. Prosedur
induktif melalui observasi dan penjelajaahan
dilakukan untuk menyusun hukum-hukum umum
pada studi geografi. Mereka
berpegang kepada konsep filsafat holisme
yang menghormati relevansi bumi
dengan manusia. Hal ini dapat kita lihat
dari pernyataanRitter (Harshorne (1960:
20), “Independent to Man, the earth is
also without him, to the scene of natural
phenomena; the law of its formulation can
not proceed from Man. In thescience of
the earth, theearth itself must be asked
for its laws”.Bagi Ritter faktor alam
menjad penentu bagi gejala kemanusiaan.
Pandangannya tersebut mempengaruhi
bagi ajaran Friederich Ratzel, di
manaRitter memasukkan faktormanusia sebagai
sebagai faktor penting pada studi
geografi. Hal ini bisa dilihat dari seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya bahwa
”geography to study the earth as the
dwelling place man”, dan nilah ang
membuat Ritter sebagai peletak dasar
Geografi Sosial Modern(Sumaatmadja, 1988:
19).
Selanjutnya adalah Emmanuel
Kant(1724-1804) yang mendapat julukan
”Bapak Geografi Politik”, di samping
sebagai peletak dasar Geografi Modern.
Kemudian Charles Darwin (1809-1882)
seorang ahli evolusi biologis Inggeris.
Konsep natural selection, merupakan
konsep yang terpenting dan berlaku hingga
kini, walaupun pernah diselewengkan
olehHitler dalam berbagai ekspansinya
melalui pengembangan doktrin survival of
the fittestyang sebetulnya berasal dari
Herbert Spencer dalam Darwinisme Sosial.
(Taylo, 2000: 783). Kemudian
Frederich Ratzel (1844-1904) yang
menerbitkan buku Pitsce Geographie (1897),
gagasan-gasan kontemporer tentang
determinisme lingkungan diterapkan pada
kajian negara. Memfokuskan lokasi
strategis pada skala global. Kemudian pada
tahun 1904 Harold Makinder
menyuguhkan “daerah poros” (pivot area),
belakangan dinamakan kembali dengan teori
“heartland”, yang menjadi landasan
kajian kajian-kajian Geografi (1904) .
Titik kulminasi dari geografi lingkungan ini
muncul dalam kajaian politik dan landasan
pijakan Dewrent Whittlesey yang
subtil dalam The Earth and the State,titik
nadirnya adalah legitimasi geopolitik
Jerman terhadap perluasan wilayah Third
Reichyang pernah disinggung di atas.
Namun perlu diketahui bahwa geopolitik
ini mundur ketika para ahli
Geografi pada umumnya mencoba
menggabungkan kajian-kajian mereka dengan
perkembangan baru dalam ilmu-ilmu sosial.
Kelemahan dalam geografi politik
lingkungan ternyata adala dalam teori
sosial yang tida memadai. Sebab ide-idenya
hanya hanya bisa bertahan di luar
Geografi, ketika para ahliilmu politik mengacu
kepada pengaruh-pengaruh geografi
lingkungan sebagai faktor geografis atau
ketika gagasan-gagasan geografi
simplistik digunakan untuk menjustifikasi
kebijakan-kebijakan Perang Dingin yang
agresif (Taylor, 2000: 783).
. Tokoh lain yang juga berfaham
determinisme itu adalah Ellsworth
Huntington yang menulis The Pulse of
Asia(1907), Palestine Its Transformation
(1911) Civilization and Climate(1915). Ia
seorang brilian, ahli geografi Amerika
Serikat ini terkesan oleh kontras antara
peradaban yang lur-biasa besar dari Asia
Tengah dan Asia Barat Daya (Duverger,
1985: 420), yang secara rinci anda dapat
membacanya isi teorinya tersebut pada sub-bab Teori-teori Geografi.
Kemudian
von Richthoffen (1838-1905), ia merupakan
tokoh geografer yang berpengaruh.
Sebagai seorang ahli Geologi, beliau
mengemukakan bahwa pengertian
permukaan bumi yakni bagian luar daribumi
yang terdiri dari geografi dan
termasuk segala gejala yang
bersangkutandengannya. Dia-lah yang memberikan
batasan eksplisit bahwa “Geography is the
study of the eart surface according to
its differences, or the study of
different areas of the earth surface…in term of total
characteristics”(Harsthorne, 1960: 173).
Dia juga yang memperkenalkan
“:korografi” yang merupakan studi
holistic tentang bumi dan interelsinya secara
sistematik.
Sedangkan untuk tokoh Prancis yang
berjasa mengembangkan geografi
adalah Paul Vidal de la Blache
(1845-1914) dan Jean Brunhes (1869-1930)..
Blace menulis Principes de geograhie
humanie (1922). Ia berusaha melepaskan
visi determinismenya, namun manusia
dipandang sebagai makhluk yang aktif
dalam kehidupannya Oleh karena itu ia
digelari sebagai “Bapak Geografi Sosial
Modern” di mana dalam pernyataannya bahwa
Geography is the science of
places, concerned with qualities and
potentialities of countries(Hartsorne, 1960:
13). Sedangkan Jean Brunhes ia menulis
Geographie humaie, edisi ketiga , 3 jilid
(1925), edisi singkat dalam satu jilid
tahun 1947 (Duverger, 1985: 411). Dalam
buku tersebut Brunches mengeluarkan teori
tentang “Konflik antara Suku Bangsa
Nomadik dengan Sedenter”, di mana
andadapat membacanya pada bagian teoriteori Geografi.
Adalah James Fairgrive, seorang geograf
Amerika Serikat yang
mengemukakan bahwa geografi memiliki
nilai edukatif, terutama untuk berpikir
kritss dan bertanggung jawab terhadap
kehidupan dunia. Manusialah yang bisa
mengubah secara positif lingkungan yang
dikehendaki sesuai dengan
kepentingan-kepentingan hidup yang
bertanggung jawab.Sedangkan Prestone E.
James dengan karyanya yang
terkenalAmerican Geography: Inventory and
Prospect, merupakan tulisan yang
mengetengahkan pandangannyatentang eratnya
hubungan Georafi dengan sejarah sehingga
dianalogikan sebagai ilmu dwi tunggal
antara tempat dan waktu. Kata-kata ini
sebenarnya tidak asing, karena sebelumnya
pernah menjadi slogan zaman Herodotus.
Namun tempat yang memberikan ruang
untuk memahami perubahan berdasarkan
waktu, dua-duanya tidak dapat
dipisahkan, mengingat waktu juga yang
menunjukkan adanaya perubahan dan
kemajuan/kemunduran di suatu tempat.
Demikian tentang perkembangan geografi,
sejak disiplin ini hanya
merupakan suatu cerita sampai kepada
suatu perkembangan disiplin ilmu yang
modern dengan pendekatan dan
metodenyayang kaya baik secara kealaman,
sosial, maupun humaniora, geografi
senantiasa merambah di antaranya. Sebagai
contoh misalnya; Geografi tata runag ini
baru muncul tahun 1960-an dan 1970-an,
dan mulai diperkenalkan di saat
terjadinya perkembangan dramatis studi geografi
di berbagai universitas, khususnya di
negara-negara yang berbahasa Inggersi. Para
“pendobrak kuantitatif dan teoretik”
tersebut dengan demikian dapat memperluas
pandangan mengenai disiplin itu dengan
bertambahnya jumlah posisi staf yang
tersedia dan riset-risetnya yang
memungkinkan dapat mengembangkan disiplin
ini. Contoh lain, tentang Geographical
Information Syastem(GIS) atau “Sistem
Informasi Geografis” yang merupakan sistem komputer yang terintegrasi,
yang
digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan,
menambah dan memanipulasi,
menganalisis, dan menampilakn semua
bentuk informasi berkenaan dengan
masalah geografis (Unwin, 2000: 402),
kini telah berkembang pesat terutama
sejak tahun 1980-an. Kini aplikasi GIS
kini terdapatalam semua disiplin
akademik di mana unsur lokasi menjadi hal
substansial, seperti geografi,
arkeologi, perencanaan lahan, pengolahan
sumber daya alam, dan demografi.
Begitu juga dalam industri dan
perdagangan, GIS dipakai oleh took eceran, sarana
umum, dan pemerintah local/daerah.
Karenalokasi ruang merupakan hal yang ada
di mana-mana, dapat dikemukakan bahwa GIS
akan menjadi salah satu aplikasi
komputer yang paling besar (Unwin, 2000:
402).
Geografi adalah disiplin akademis yang
luas dan dinamis, yang memiliki
akar-akarnya baik dalam ilmu pasti alam,
sosial, bahkan humaniora. Dalam
cakupannya yang begitu luas, terdapat kelompok
kelompok-kelompok yang
beringgungan dan beririsan, baik para
ahli riset maupun pengajar/pendidik, yang
kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman kita mengenai
lingkungan, tata ruang, dan tempat dengan
berbagai strategi dan teknik. Adanya
perbedaan kelompok-kelompok tersebut
menyebabkan perdebatan dinamis yang
tidak ada putus-putusnya mengenai
alternatif-alternatif tinjauannya. Tetapi di
sampin itu terdapat juga sekian banyak
riset dan aktivitas akademis yang
substansial telah berjasa meningkatkan
wawasan kita tentang bagaiamana
lingkungan fisik tersusun sedemikian rupa
dan bekerja. Bagaimana kehidupan
manusia diorganisir secara keruangan,
serta bagaimana pula tempat-tempat itu
dibuat sebagai lokasi kediaman yang
nayaman untuk kepentingan hidup kita.
D. Manfaat Terapan Ilmu Geografi
Sebagai disiplin akademis yang memiliki
potensi terapan untuk memehami
mengenai dunia, terdapat beberapa
pendapat seberapa perlunya segi terapan ini,
karena beragamnya tuntutan yang
dikemukakan kepada disiplin ini maupun
kepada akedisinya secara umum. Taylor
(1985) berpendapat bahwa negara-negara
yang menyediakan sebagian besar pendanaan
universitas, tampaknya lebih
mampu mendesakkan munculnya karya terapan
⎯di
mana akademisi diharapkan
langsung memenuhi kebutuhan masyarakat ⎯dalam periode resesi ekonomi
daripada dalam masa relatif makmur, yang
lebih memungkinkan dilakukannya
riset-riset murni atau non-terapan. Tentu
saja di sejumlah negara seperti Uni
Soviet dan Eropa Timur lainnya
antaratahun 1945 dan 1989, praktek geografi di
semua disiplin akademis lainnya
hampirseluruhnya ditentukan oleh tuntutan
aparat negara.
Nilai terapan dari geografi sangat
dihargai selama Perang Dunia II karena
kemampuan para ahli geografi untuk
menyediakan informasi mengenai negaranegara lain; keahlian kartografi serta
fotogrametrik mereka banyak dipakai dalam
dunia itelijen. Sejak tahun 1950-an,
peran geografi dalam pengumpulan data dan
analisisnya dipakai pula sebagai pedoman
dalam menyiapkan rencana-rencana
pembangunan kota dan kawasan, dan
beberapa perkembangan teknisnya (seperti
GIS) diarahkan untuk tujuan-tujuan
praktis. Ada yang berpendirian bahwa salah
satu peran pokok ahli geografi adalah memberikan nilai tambah pada data,
yang
kemudian bisa ‘dijual’ kepada para
pengambil keputusan (Rhind, 1989).
Makin meningkatnya minat pada isu-isu
lingkungan ⎯baik tingkat loal,
regional, nasional, maupun global ⎯telah
menjadi perhatian para ahli geografi.
Banyak karya mereka menekankan kedua
sisi: proses-proses yang terjadi dalam
lingkungan fisik dan dampak aktivitas
manusiaterhadap proses tersebut serta
hasil-hasilnya; hal inimisalnya tampak
dalam usaha penaksiran dampak-dampak
lingkungan.
Dalam kebanyakan karya terapan ini para
ahli geografi memakai aneka
metode dan orientasi positivis guna mencari
pemecahan dari sekian masalah yang
telah ditemukan; mereka terlibat dalam
rekayasa masa depan sosial berdasarkan
pemahaman ilmiah mereka. Pandangan
teknokratis seperti ini ditentang oleh ahliahli geografi lainnya yang melihat
karya seperti itu hanya akan melanggengkan
status quodalam masyarakat. Dengan
demikian mempertahankan banyak
ketimpangan dan ketidakadilan serta
berlanjutnya mode produksi kapitalis dan
para aparat negara yang bertujuan
mengangkat dan melegitimasi apa yang mereka
pandang sebagai sistem yang tidak adil.
Dalam menanggapi kritik-kritik seperti
ini, terdapat beberapa aturan penerapan
yang kemudian ditegakkan bagi para ahli
geografi dalam mengangkat kesadaran
terhadap sifat perubahan dunia di mana
kita tinggal dan dalam memajukan emansipasi,
di mana para warga bisa
memegang kendali atas masyarakat dan
mengarahkannya sesuai dengan tujuan
mereka sendiri. Dari masing-masing tujuan
itu sifatnya politis dan harus bersaing
dengan para pendukung sudut pandang lain.
Bahwa semua memandang geografi
sebagai pelayan bagi tujuan-tujuan
politiktertentu, kendati ada di antaranya yang
akan membantah hal ini dan mengatakan
bahwa mereka memainkan peran ilmiah
yang obyekti/netral serta berada dalam
batas-batas yang dibuat masyarakat ⎯di
mana para ahli geografi termasuk salah
satu bagiannya.
D. Konsep-konsep Geografi.
Adapun konsep-konsep geografi yang akan
dikemukakan dalam tulisan ini
mencakup; (1) tempat, (2) sensus
penduduk, (3) ilklim, (4) Laut, (5) lingkungan,
(6) benua, (7) urbanisasi; (8) peta, (9)
kota, (10) mortalitas, (11) khatulistiwa,
(12) demografi, (13) tanah,
(14)transmigrasi, (15) wilayah .
1.
Tempat
Konsep “tempat” (place) merujuk kepada
suatu wilayah di mana orang
hidup berada maupun kajian itu dilakukan
padalokasi tertentu.Dalam analisis
geografi, konsep “tempat” memiliki peran
penting karena kedudukan dan
kontribusi “tempat” memberi arti banyak
memberi makna bagi manusia dan
organisme lainnya. Sebut saja geographer
Jerman Friederich Ratzel dalam
tulisannya Pitche Geographie (1897) di mana
gagasan-gasan kontemporer tentang
determinisme lingkungan diterapkan
terhadap kajian negara. Memfokuskan lokasi
strategis pada skala global, padatahun
1904 Harold Mackinder menyuguhkan
teori “daerah poros” (pivot-area),
belakangan dinamakan kembali dengan
”heartlan theoryd” yang menjadi landasan
kajian-kajian geografi (Taylor, 2000:
783).
Belakangan ini salah seorang sosiolog Inggeris yang berusaha
menganalisis peranan “tempat’ ke dalam
ilmu-ilmu sosial adalah Anthony
Giddens dengan teori strukturasi (structuration)
dalam karyanya The Constitution
of Society(1984) di mana localemenjadi
kata kuncinya. Pengertian localeadalah
situasi di mana interaksi sosial terjadi,
dan karena semua interkasi memerlukan
orang-orang yang terlibat hadir di waktu
dan tempat tertentu, maka localesering
merupakan tempat. Begitu juga pada
gilirannya locale adalah wilayah penting di
mana nteraksi berlangsung dan identitas
kelompok berkembang (Johnston, 2000:
761-762).
Nampaknya Giddens terinpirasi oleh hasil
penelitian Torsten Hagerstrand
(1982) seorang ahli geografi Swedia yang
mengemukakan teori kontekstualnya
mengenai geografi waktu yang mengegaskan
bahwa proyek-proyek yang
melibatkan interaksi antar individu dapat
dilakukan jika hanya pihak-pihak yang
terlibat hadirditempat tersebut.
Mengingat s, sebuah tempat memiliki isi (siapa
yang berada di sana), waktu (kapan
seseorang berada di situ, dan dengan siapa
mereka berada), merupakan
pengaruh-pengaruh penting terhadap perilaku dan
sosilisasi individu dan kelompok terhadap
tempat (Johnston, 2000b: 762).
Studi lainnya tetang pentingnya
tempatjuga dikemukakan oleh Massey
dalam karyanya Spatial Division of
Labour(1984) mengatakan bahwa masalah
geografi dari restrukturisasi industri
dapat dipahami hanya jika konteks tempat
terjadinya peristiwa tersebut dipahami,
terutama yang menyangkut; sifat
hubungan sosial yang bervariasi antara
satu tempat dengan tempat lainnya,
dimana tempat satu dapat lebih menarik
bagi investor dibanding tempat lain. Hal
ini mendorong bentuk riset yang substansial
di mana tempat (place) dipandang
sama dengan lokalitas dalam struktur
ekonomi, sosial, budaya, dan politik diteliti
sebagai sarana dalam memahami hal apa
yang membuat lokalitas-lokalitas itu
berbeda dan apa implikasinya bagi
perubahan di masa depan.
2.
Sensus Peenduduk
“Sensus penduduk” merupakan suatu konsep
georafi sosial yang jika
dilihat dari sejarah aktivitasnya,
“sensus penduduk” merupakan salah satu
kegiatan statistik tertua dan terluas
yang dilakukan oleh pemerintah di seluruh
duia yang dahlunya lebih berorientasi
untuk taksiran kekuatan militer dan
perpajakan. Sensus juga dikembangkanuntuk
mengumpulkan informasi mengenai
perumahan, sektor manufaktur, pertanian
industri pertambangan, dan dunia
bisnis (Taeuber, 2000: 99).
Masyarakat Mesir kuno, Yunani kuno,
Jepang kuno, Ibrani, maupun
Persia Kuno, telah mengalami sensus
ribuan tahun yang lalu. Cuma karena
penduduknya yang dicacah juga terbatas
(misalnya laki-laki dewasa berpotensi
untuk menjadi tentara), hasilnya juga
sangat terbatas (biasanya dinyatakan sebagai
rahasia pemerintahan). Di Eropa, sensus
berskala kota telah dilaporkan sejak abad
ke 15 dan 16. India dilaporkan
pernahmenyelenggarakan sensus tahun 1678.
Selain itu banyak sensus yang dinyatakan
sebagai sensus pertama dalam era
modern. Sensus berkesinambungan tertua
dilakukan di Amerika Seikat, yakni
persepuluh tahunsekali sejak tahun 1790.
Inggeris baru mulai tahun 1801, dan
beberapa tahun kemudian ia jugamelakukan
sensus reguler lainnya. Manfaat sensus
dengan mengumpulkan data-data sensus kependudukan
acapkali digunakan sebagai landasan alokasi atau pembagian wilayah
administratif. Data sensus juga digunakan
secara luas oleh pemerintah di pelbagai
negara untuk mengadakan perencanaandan
pelaksanaan berbagai fungsi
pemerintah. Bahkan di sejumlah
negarajumlah perwakilan dalam parlemen
didasarkan atas sensus penduduk, begitu
jugadengan alokasi dana dari pemerintah
pusat. Dengan berkembangnya sistem
perekonomian pasar, maka penggunaan
data sensus penduduk kian menjadi luasdan
penting, termasuk untuk keperluan
perumusan strategi pemasaran dan berbagai
kegiatan bisnis lainnya. Begitu-pun
program-program kesehatan, pendidikan,
dan kesejahteraan sosial sangat
tergantung dari adanya data sensus
penduduk yang akurat (Taeuber, 2000: 100).
Dalam praktiknya terdapat perbedaan
klasik pelaksaan sensus penduduk.
Pertama, apa yang disebutnya sensus ”de
facto”; yaitu dalam sensus jenis ini
orang-orang dihitung atau didata sebagai
penduduk daerah di mana mereka berada
(ketika mereka ditemui selama sensus berlangsung).
Hal ini beda dengan praktik
jenis kedua yakni ”de jure”. Dalam sistem
ini setiap orang dihitung sebagai
anggota atau warga daerah asalnya
terlepas ketika sensus berlangsung orang
tersebut ada atau tidak. Persoalan yang
timbul dalam sistem de juretersebut apa
bila orang yang sedang berada di luaritu
dalam per unit keluarganya cukup
banyak.
3.
Iklim
“Iklim” menurut Ensiklopedi
Indonesia(1984: 1376-1377) adalah keadaan
rata-rata dari cuaca di suatu daerah
dalam periode tertentu; keadaan variasinya
dari tahun ke tahun dan keadaan
ekstemnya. Unsur-unsur yang menggambarkan
keadan cuaca/iklim meliputi suhu
udara,kelembaban udara, angin, curah hujan,
penyinaran matahari. Biasanya untuk
menggambarkan keadaan iklim, dibuat
klasifikasi iklim. Klasifikasi iklim yang
mempunyai tujuan yang berbeda-beda.
Ada yang bertujuan untuk digunakan dalam
bidang pertanian, perdagangan,
maupun perindustrian.
Klasifikasi iklim di dunia yang terkenal
adalah: Pertama; klasifikasi
Koppen, yang mendasaran pada curah hujan
dan suhu tahunan serta bulanan.
Berdasarkan penelitiannya, terdapat lima
lima golongan iklim, yaitu: (1) iklim
tropis penghujan atau tropical rainy
climate; (2) iklim kering atau dry climate;
(3) iklim sedang penghujan hangat atau
warm temperature rainy climate; (4)
iklim hujan salju dingin atau cold snow
forest climate; (5) iklim salju kutub atau
polar snow climate.
Kedua, klasifikasi iklim menurut
Thornthwaite yang membaginya atas
lima daerah kelembaban, dengan vegetasi
karakteristik sebagai berikut: (1) daerah
basah; hutan penghujan atau rain forest;
(2) daerah lembab; hutan atau forest; (3)
daerah setengah lembab; padang rumput
atau grass land; (4) daerah setengah
kering; padang rumput luas tanpa pohon
atau stepe; (5) daerah kering; gurun pasir.
4.
Laut
“Laut” dalam Ensiklopedi Indonesia(1984:
1974-1975) diartikan sebagai
“Keseseluruhan massa air yang saling
berhubungan, mengelilingi semua sisi
daratan di bumi. Laut yang besar dinyatakan sebagai samudera (lautan).
Dari
pantai ke lut dalam, pertama-tama terdapatsuatu
jalur dasar laut yang datar, yakni
dataran kontinental yang merupakan
lanjutan tanah daratan di bawah permukaan
laut. Dari kedalaman lebih kurang 180
meter kemiringan itu jadi lebih besar
berupa lereng kontinental, lanjutan
lereng daratan di bawah permukaan laut. Pada
kedalaman 3.000 – 6.000 meter baru
terletak dasar laut yang dalam, dalam bentuk
cekungan besar, yang dipisahkan oleh
punggung-punggung di bawah permukaan
laut.
Rata-rata kedalaman laut di dunia lebih
kurang 3.730 meter; yang paling
dalam adalah palung Marian di Samudera
Atlantik sedalam 11.515 meter. Makin
murni kadar air laut makin biru warnanya;
bahan-bahan organic dan benda-benda
mengapung membuat warna menjadi
kehijau-hijauan. Sedangkan kegelapan
dalam laut rata-rata 10% per meter dari
dalamnya; pada kedalaman 200 meter
sudah betul-betul gelap. Begitu juga pada
bagian-bagian yang lebih dalam, suhu
temperatur pada umumnya lebih rendah daripada di permukaan. Di bawah
kedalaman 1.000 meter biasanya
suhunyaadalah nol derajat Celcius.
5.
Lingkungan
“Lingkungan” dalam Ensiklopedi
Indonesia(1984: 2021) didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang ada di luar
sutu organisme, yang meliputi: Pertama,
lingkungan benda mati atau fisik: adalah
lingkungan di luar suatu organisme yang
terdiri atas benda atau faktor alam yang
tidak hidup; seperti bahan kimia, suhu,
cahaya, gravitasi, atmosfer dan
lain-lain. Kedua, Lingkungan hidup(biotik);
lingkungan di luar suatu organisme yang
terdiri atas organisme hidup; seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Kekuatan-kekuatan “lingkungan” dalam
hubungannya dengan kehidupan
manusia, menurut Pearce (2000: 298)
merupakan metafora yang melanggengkan
kontradiksi dasar manusia. Ia punya
kekuatan untuk menaklukkan, namun ia juga
diliputi berbagai kelemahan yang selalu
membuatnya terancam. Di satu sisi
manusia membuat berbagai perbaikan, namun
disi lain manusia membuat
kerusakan. Konflik antara individualisme,
konsumerisme, maupun dengan
idealisme dan solidaritas, tidak pernah
lepas dari masyarakat manusia.
Sudah menjadi adikodrati bahwa sebagai
manusia, betapa uniknya
kehidupan di bumi ini. Kosmos di manakita
hidup tak terperi dan juga tak
tergantikan, yang terbentuk darijutaan
proses kimiawi, biologis, dan fisik secara
terus menerus (Pearce, 2000: 300). Pengagungan
alam seperti ini dapat kita temui
dalam berbagai tulisan ilmiah, termasuk
karya cemerlang Lovelock dalam karya
besarnya Gaia The Practical Science of
Planetary Medicine(1992). Biosfer yang
menyangga kehidupan manusia
dilukiskansebagai suatu zona yang disebut Gaia.
Yang memiliki mekanisme pengaturan
tersendiri tapi sering terusik oleh ulah
manusia. Jika manusia tak mau memahami
dan menyeseuaikan dirinya, maka
alam akan memaksanya.
Inilah suatu pandangan environtalisme di
mana di dalamnya terdapat tiga
komponen, yakni; (1) teknosentrik,(2)
ekosentrik, dan (3) deep green. Hakikat
pandangan teknosentrikmenekankan bahwa
manusia sebagai manipulator alam.
Meskipun pandangan ini lugas dan
maskulin, justru pandangan ini aktif
mendorong dilaakaukannya konservasi secara nyata. Sebab eksploitasi dan
teknologi dipandang positif sejauh itu
tidak merusak alam fisik dan sosial secara
berlebihan. Kemudian pandangan
ekosentrik, juga bersifat optimis namun lebih
jauh lagi untuk melestarikan lingkungan.
Semua tindakan manusia sedapatdapatnya harus didasarkan pada usaha pelestarian
lingkunga. Sedangkan yang
terakhir pandangan deep green atau
istilah lainnya adalah deep ecology maupun
steady-state economic, bertumpu pada
struktur etika dan sosial yang radikal.
Pandangan ini menuntut ditingkatkannya
pola-pola hidup massal yang
dianggapnya harus melestarikan lingkungan
yang dekat dengan alam. Bahkan
secara ekstrem pandangan ini menolak
globalisme ekonomi dan ketergantungan
politik. Selain itu juga mereka juga
mempromosikan pasifisme untuk hidup
damai dan bersahaja, ecofeminisme
penegakan hak-hak konsumen demi
mengontrol produsen, serta pengakuan atas
hak hidup mahluk lain di laur manusia
(O’Riordan, 2000: 300).
6.
Benua
Istilah “benua” dalamEnsiklopedi Indonesi
(1984: 449) merujuk kepada
suatu daratan yang begitu luas, sehingga
bagian tengah daratan yang luas tersebut
tidak mendapat pengaruh angin laut sama
sekali. Dalam sejarah dikenal 5 benua
yang dihuni manusia, masing adalah benua
(1) Asia, (2) Eropa, (3) Amerika, (4)
Afrika, dan (5) Australia. Sedangkan
secara geografis pembagian benua tersebut
terbagi atas 3 benua, yakni; (1)
Erasia-Afrika, (2) Amerika, dan (3) Australia.
Secara keseluruhan luas benua tersebut
mencapai kurang lebih 29 % dari seluruh
muka bumi, dan sisanya (71%adalah luas
samudera.
Benua Asia merupakan benua terluas di
dunia dengan 44,18 juta km
persegi dan berpenduduk terbanyak di
antara benua lainnya. Dilihat dari
fisiografinya benua Asia tersebut juga
terdiri atas pegunungan tinggi. Bahkan
gunung tertinggi di dunia-pun ada di
benua ini yakni G.Evererest (Mount Everest)
= 8882 meter yang selalu diliputi salju
abadi. Benua Asia Juga merupakan tempat
lahirnya agama-agama besar di dunia
(Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, Kong
Hu Cu/Kung Fu-tse/Confucius, dan Shinto).
Benua ini dihuni oleh berapa ras
yang sebagian sudah berasimilasi, namun
ras domain adalah mongoloid (Asia
Timur), Kaukasid (Asia Tengah), dan
Negroid (Asia Barat Daya). Benua Eropa,
merupakan benua terkecil dari
Erasia-Afrika, memiliki luas 10,77 juta km
persegi. Fisiografinya juga menunjukkan
relief yang berbeda-beda. Benua ini
dihuni oleh ras Kaukasid khususnya
Eropid. Di benua ini terdapat beberapa
negara maju seperti, Inggeris,
Prancis,Jerman, dan Itali. Berbeda dengan Benua
Afrika yang merupakan benua terluas ke-3.
yang memiliki gunung tertingginya G.
Kilimanjaro = 6010 m dan G.Kenya = 5195
m. Benua ini dihuni oleh ras Negroid
yang pada umumnya taraf ekonominya kurang
maju, kecuali Afrika Selatan.
Berikutnya adalah benua Amerika, yang
merupakan benua terluas kedua,
dan penduduk aslinya Indian, kemudian
datang ras Eropid, disusul Negroid
akaibat masa-masa perdagangan budak
Secara regional benua ini terbagi atas
Amerika Utara (bekas jajahan Inggeris dan
Prancis, merupakan negara maju yakni
Amerika Serikat dan Kanada), dan Amerika
Latin (Amerika Tengah dan Selatan).
yang umumnya negara berkembang bekas
jajahan Spanyol. Sedangkan benua
Australia merupakan benua yang terkecil di antara 5 benua. Luasnya 7,6
juta km
persgi yang penduduk aslinya suku Aborigines
(kontinental) dan Maori (Kep.
Selandia Baru). Namun sekarang mayoritas
ras Eropid sejak benua ini menjadi
koloni Inggeris. Dalam sejarahnya yang
kelam Australlia pernah menjadi daerah
tempat pembuangan narapidana Inggeris.
7.
Urbanisasi
Konsep “urbanisasi” memiliki dua
pengertian. Pertama,para ahli
demografi lebih banyak untuk menunjukkan
redistribusi penduduk ataupun
perpindahan dari wilayah-wilayah pedesaan
ke perkotaan, memberikan maknanya
yang paling spesifik pada tingkat
konseptual. Kedua,dalam beberapa ilmu sosial
lainnya, terutama ekonomi, geografi, dan
sosiologi, urbanisasi merujuk kepada
struktur morfologik yang sedang berubah
dari berbagai pemusatan
(agglomeration) perkotaan dan
perkembangannya (Sly, 2000: 1116). Tentu saja
pada kajian ini lebih didasarkan pada
kajian yang pertama. Jikalau terdapat aspekaspek kajian kedua hanyalah sebagai
supplementkarena satu sama lainnya
berkaitan.
Sebagai kajian yang menekankan
redistribusi penduduk ─perpindahan
penduduk ─dari desa ke kota dalam suatu skala
dunia, dan pada tingkat, cara dan
pola diferensial dari redistribusi ini di
antara negara maju dan berkembang.
Hingga tahun 1950 diperkirakan hanya 28 %
penduduk dunia bertempat tinggal di
sektor-sektor perkotaan. Sedangkan pada
negara-negara maju jumlahnya tidak
lebih dari 15 %, padahal berdasarkan
estimasi mencapai 70%, sementara di
negara-negara berkembang 30%. Kemudian
antara tahun 1950 dan 1980, misalnya
penduduk perkotaan meningkat sebanyak
85%, sementara penduduk pedesaan
mengalami enurunan hingga lebih 10%. Di
negara-negara berkembang penduduk
perkotaan meningkatlebih dari 250%, dan
penduduk pedesaan meningkat hingga
lebih dari 60% (Sly, 2000: 1116).
Dari data dan penjelasan di atas, memaang
sulit untuk mengetahui
diferensial-diferensial penduduk antara
perkotaan dan pedesaan, namun yang pasti
kecenderungan historis yang dominandalam
redistribusi penduduk mengarah
kepada meningkatnya konsentrasi
padapenduduk perkotaan. Hal ini artinya
bahwa masalah urbanisasi yang semula
hanya merupakan gejala demografik, telah
merambah ke bidang-bidang ekonomi maupun
sosilogi. Sebab adanya pemusatan
kegiatan jasa ekonomi dalam lingkar
pinggiran (suburban) dan desentralisasi lebih
lanjut penduduk telah menambah masalah
baru. Sebab selain lingkar pinggiran
dalam hal ini, desentralisasi penduduk
akan terus bergerak menuju ekspansi
teritorial metropolitan yang lebih besar.
8.
Peta
”Peta” adalah pola permukaan bumi yang
dilukiskan pada bidang datar
(Ensiklopedi Indonesia, (1984:
2698-2699). Gambar itu dapat menyatakan kedaan
fisik bumi, keadaan budaya, ekonomi,
bahkan politik sekalipun. Biasanya tiap
titik peta itu menunjukkan kedudukan
geografismenurut skala dan proyeksi yang
telah ditentukan. Ternyata pada bangsa-bangsa
tertentuberdasarkan penelitian sejarah ilmu
tentang pembuatan peta yangdikenal
”Kartograf” telah lebih tua dikenal daripada
pengenalan manusia terhadap huruf.
Telaahini ditemukan beberapa peta purba
yang dibuat oleh bangsa-bangsa Mesir,
Babylonia, dan Cina. Peta tertua terbuat
berupa tablet tanah liat, sekarang
disimpan di Museum Semit di Harvard Amerika
Serikat. Pengukuran bumi yang pertama
sudah bersifat ilmiah yakni pengukuran
lintang dan bujur yang dilakukan oleh
Ptolomaeus pada abad ke 3 sM. Namun
masih ada kesalahan utamanya yang
terletakpada petanya tersebut karena terlalu
kecilnya ukuran bumi. Kemudian pada abad
pertengahan kartografi berkembang
dan dipelajari oleh bangsa Arab Al-Idrisi
(abad ke12) melanjutkan pekerjaan
Ptolomaeus.
Sekarang ini ”kartografi” telah
berkembang dengan pesat sebagai seni dan
teknologi pembuatan, serta penggunaan
peta untuk menggambarkan lokasi-lokasi
dan hubungan spasialnya Dikatakan seni
karena pembuatan peta tidak hanya
mengandalkan keterampilan grafis namun
juga estetika secara visual, sedangkan
dikatakan teknologi karena dalam
pembuatan peta tersebut banyak menggunakan
perangkat elektronik, mekanis, dan
fotografik (Monmonier, 2000: 96). Pada
mulanya para ahli geografi dan ilmuwan
sosial lainnya sering mengidentikan
kartografi sebagai pembuatan peta atau
desain dan pembuatan ilustrasi georafis
untuk meyertai narasi verbal. Namun
dengan semakin canggihnya proses
pembuatan peta, maka pembagian tugas perlu dilakukan, misalnya
antarakartografer yang menyususn peta dan
menulis teks, serta ilustrator
kartografis yang membuat gambar-gambarnya
(Monmonier, 2000: 97).
9.
Kota
Konsep “kota” merupakan sebenarnyamerujuk
kepada fenomena yang
sangat bervariasi sesuai dengan perbedaan
sejarah dan wilayah. Namun secara
umum istilah “kota” sebagai tempat di
wilayah tertentu yang dihuni oleh cukup
banyak orang dengan tingkat kepadatan
penduduk yang cukup tinggi pula. Studi
tentang masyarakat kota tidak hanya
terbatas menelaah masyarakat secara luas,
namun juga
karakteristik-karakteristiktertentu dari kehidupan internalnya
(Hannerz, 2000: 110).
Dilihat dari sejarahnya, budaya perkotaan
bermula di enam daerah pusat
peradaban kuno yang terpisah, yakni;
Mesopotamia, lembah Sungai Nil, Lembah
Sungai Indus, Cina Utara, Meso-Amerika,
Pegunungan Andes, dan Yorubaland di
Afrika barat (Wheatley, 1971). Di
pusat-pusat pemukiman itulah sentral
monarkhi dan lembaga keagamaan yang
masing-masing memiliki staf
administrasi dan pengawal resmi yang
berkuasa mengendalikan para petani dan
penduduk di tempat-tempat sekitarnya,
serta memanfaatkannya. Selain itu
bangunan-bangunan pusat budaya berkembang
menjadi serangklaian yang
kompleks arsitektur monumental yang
meliputi candi-candi, istana, gedung
peradilan, pasar dan sebagainya. Sebagai
contoh kota-kota di zaman GraecoRoman, dipenuhi oleh kaum elit pemilik tanah
dan panglima perang yang segala
aktivitasnya ditunjang oleh ribuan budak
(Hannerz, 2000: 111).
Seorang sejarawan Belgia yang memusatkan
perhatiannya pada kota-kota
tua adalah Henri Pirenne yang banyak
meneliti kota-kota tua di Eropa pada abd
pertengahan. Kemudian tokoh lainnya adalah Max Weber, seorang sosiolog
yang
dipengaruhi aliran filsafat historisme
mengembangkan suatu tipe kota ideal dalam
karyanya yang berjudul The
City(1958/[1921]). Pengertian ideal di sini adalah
suatu komunitas perkotaan dengan
pasar sebagai institusi sentralnya yang
ditunjang oleh sistem administrasi dan
hukum yang otonom. Weber juga
membandingkan antara kota-kota di
Eropadengan kota-kota Timur. Menurutnya
kota-kota Timur lebih terfragmentasi
secara internal dan lebih terkait secara
integratif dengan administrasi kerajaan.
Namun perubahan-perubahan urbanisme
sekarang dan mungkin juga masa
datang, secara kompleks akan dipengaruhi
oleh faktor-faktor demografi, ekonomi,
dan teknologi. Buktinya pada abad dua
puluh saja, kita telah menyaksikan suatu
perkembangan perkotaan yang amat cepat
dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Konsep-konsep “Megapolis” dan
Canurbation” merupakan konsep baru yang
merebak pada fenomena perkotaan di Dunia
Barat dan non-Barat. Begitu juga
mode-mode tansportasi serta
komunikasidalam masa globalisasi ini menjadi
trendbaru dalam tata kota modern yang
menarik perhatian (Hannerz, 2000: 113).
10. Mortalitas
Konsep “mortalitas” merujuk kepada
rangkuman tingkat kematian kotor
rata-rata (crude death rate disingkat
CDR) penduduk, yaitu jumlah kematian per
tahun per seribu penduduk (Ewbank, 2000:
684). Rangkuman yang sederhana
tersebut mengukur efek mortalitaspada
laju pertumbuhan penduduk.
Mortalitas/CDR dipengaruhi oleh
distribusi umum dari populasi. Oleh karena itu
tidak akan banyak berguna membandingkan
mortalitas padamasyarakat yang
memiliki tingkat fertiltas yang berbeda
atau pada masyarakat yang terpengaruh
oleh migrasi.
Pernghitungan yang lebih akurat, adalah
dengan menggunakan tingkat
kematian pada umur tertentu (angka
kematian tahunan dalam kelompok umur
tertentu). Ukuran yang digunakan adalah
angka kematian bayi (IMR = infant
mortality rate) IMR selama setahun adalah
angka kematian bayi (yaitu kematian
bayi yang terjadi sebelum bayi
memasukitahun pertama) selama satu tahun per
seribu kelahiran dalam tahun yang sama.
Bagi para pengikut kelahiran hidup Ilive
births), IMR adalah proporsi bayi yang
mati sebelum setahun. IMR bervariasi dari
yang rendah , yaitu sekitar 5, sampai
lebih dari 300 perseribu kelahiran. IMR
sering digunakan sbagai indikator
mortalitas daro keseluruhan masyarakat, karena
perkiraan kematian bayi lebih dapat
diandalkan dari pada perkiraan kematian
dewasa.
Penurunan mortalitas mendorong terjadinya
perubahan dalam struktur
sosial. Sebagai contoh, masyarakat yang
memiliki tingkat mortalitas tinggi,
terdapat proporsi penduduk janda dan
yatim piatu yang besar. Kemudian pada
masyarakat yang mortalitasnya rendah,
mekanisme ini tidak terlalu kuat dan
dukungan dari orang tua selama periode
sakit dan produktivitas ekonomi yang
rendah juga menjadi permasalahan yang
lebih penting. Meskipun distribusi umur
dari suatu masyarakat adalah faktor
penting yang membentuk struktur sosial,
mortalitas tidak memainkan peranan besar
di alamnya. Kemudian distribusi umur
dari orang-orang yang mati juga penting.
Di negara-negara yang mortalitasnya
tinggi, sekitar 15% dari populasi dan 40% dari yang mati berumur lebih
dari 75
tahun (44%) dibandingkan dengan 11%
kematian di negara yang mortalitasnya
tinggi. Distribusi ini mempengaruhi sikap budaya terhadap kehidupan dan
ematian. Sebagai contoh , di beberapa
masyarakat yang mortalitasnya tinggi anakanak tidak diberi nama sampai saat
mereka berhasil mengatasi minggu-minggu
pertama kehidupan mereka. Sebaliknya di kebanyakan
masyarakat tingkat
mortalitasnya bervariasi dengan indikator
status sosial seperti pendidikan,
penghasilan, dan jabatan.
Perbedaan-perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan
nutrisi, perumahan, kesehatan, dan
perbedaan perilaku seperti pemberian makanan
terhadap anak-anak; merokok; dan konsumsi
alkohol (Ewbank, 2000: 686).
11. Khatulistiwa (Ekuator)
“Khatulistiwa” atau ”ekuator”
adalahsebuah konsep yang merujuk kepada
garis khayal yang melingkari bola bumi
dan membelahnya menjadi dua bagian
sama besar yang masing-masing 180
derajat.Garis “ekuator” inilah yang sering
disebut garis “khatulistiwa” atau garis
lintang nol derajat (Shadily, 1984: 905).
Dari garis lintang nol derajat tersebut
untuk ke arah utara disebut garis lintang
utara, dan sebaliknya yang ke arah
selatan disebut garis lintang selatan. Beberapa
negara yang dilalui garis khatulistiwa
tersebut adalah; (1) Indonesia, (2) Ekuator,
(3) Colombia, (4) Brazilia, (5) Kenya,
(6) Kenya, (7) Uganda, (8) Zaire, (9)
Kongo, (10) Gabon. Di Indonesia garis
ekuator melintasi kota Pontianak
(Kalimantan Barat), Sasak (Sumatera
Barat), Teluk Gorontalo, Kalimantan Timur,
Bagian Selatan P.Halmahera, serta pesisir
utara P. Waigeo Irian Barat.
12. Demografi
Konsep “demografi” merujuk kepada
analisis terhadap berbagai variable
kependudukan. Di dalamnya mencakup
berbagai metode perhitungan dan hasil
substatif dalam riset mengenai angka
kematian (mortalitas), angka kelahiran
(natalitas), migrasi, dan jumlah serta
komposisi penduduk ataupopulasi (Keyfitz:
2000: 219).
Biasanya para ahli demografi mengumpulkan
data kependudukan dan
segenap komponen perubahannya, serta
membangun model-model dinamika
populasi. Mereka memiliki kontribusi
penting terhada bidang kependudukan yang
begitu luas, yang mencoba pula mengaitkan
perubahan kependudukan dengan
aspek-aspek non-demografi seperti
faktor-faktor sosial, politik, dan sebagainya.
Dengan demikian kajian demografi bersifat
interdisipliner, yang banyak
menggunakan konsep-konsep kajian
sosiologi, sejarah, ekonomi, antropologi,
psikologi, dan lain-lain. Begitu
jugadalam penggunaan metodenya-pun memakai
statistika dan analisis numeric.
Jika ditinjau dari jenis atau macam
variable kependudukannya, dalam
demografi terbagi atas dua jenis variable
kependudukan. Pertama,variable stok
(stock) yang bersifat statis. Variable
stok ini menggunakan sumber sensus-sensus
nasional yang bentuknya selalu berkembang
sejak abad 17 hingga sekarang
menjadi lebih modern. Beberapa informasi
crossectionalyang lazim dikumpulkan
dalam sensus tersebut adalah; usia dan
jenis kelamin serta distribusinya, status dan
mata pencaharian, serta tempat lahir.
Kedua, arus (flow) yang bersifat dinamis.
Gelombang modernisasi yang menurunkan angka kelahiran , ternyata
mempengaruhi berbagai sub-kelompok
masyarakat di suatu negara pada waktuwaktu yang berbeda. Sebagai
akibatnyatransisi demografis memperlihatkan
dirinya sebagai tingkat kesuburan yang
berbeda-beda. Kelompok kaya, mereka
tingga di kota-kota, golongan terdidik
suatu ketika cenderung mempunyai tingkat
kelahiran lebih rendah daripada kelompok
miskin, dan buta huruf. Begitu juga
perbedaan yang menyolok terjadi ketika
penghasilan meningkat dan distribusi
pendapatan menyempit. Dan beberapa
pertanyaan yang belum dapat terjawab
yang berkaitan dengan perubahan-perubahan
demografis dewasa ini adalah:
Sejauh mana turunnya kesuburan
demografisdipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan tingkat penghasilan (Keyfitz, 2000:
221).
13. Tanah
Istilah “tanah” merujuk kepada suatu
wilayah permukaan bumi yang ciri
khasnya mencakup segala sifat yang
sepatutnya stabil atau diperkirakan selalu
terulang kembali dari lingkungan hidup
yang lurus di atas atau di bawah wilayah
tersebut. Dengan demikian ia mencakup
udara di atasnya, bumi dan geologi yang
melandasinya, hidrologi, tumbuhan dan hewan
berikut akibat kegiatan manusia di
masa lalu dan kini, sejauh semua hal
tersebut menimbulkan pengaruh yang berarti
atas penggunaan tanah tersebut oleh
manusiakini dan kelak kemudian hari, (Vink,
1986: 194).
Tanah dan air adalah komponen bumi yang
mempunyai pengaruh yang
paling langsung atas pertumbuhan tanaman,
misalnya panen pertanian. Oleh
kerena itu survei tanah dan penelitian
air memainkan peranan penting untuk
menentukan dalam survei daerah untuk
perencanaan tataguna tanah. Sebab baik
tanah maupun air sangat erat hubungannya
dengan bentuk tanah.
Di sinilah kadang-kadang kurang diakui
tentang betapa pentingnya
geomorfologi untuk survei tanah dan untuk
perkiraan yang benar tentang cocok
tidaknya geomorfologi itu bagi tataguna
tanah. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam kaitan ini adalah:
(1) bentuk tanah yang terbagi atasrelief
makro, relief meso dan
relief mikro; (2) bentuk tanah menentukan
wujud pengaliran air
di permukaan dan penggenangannya di
tempat tertentu; (3)
bentuk tanah berkaitan erat dengan cirri-ciri khas yang
mendasar dari susunangeologis;(4) bentuk
tanah berkaitan
dengan tanah dalam berbagai cara; (5)
bentuk tanah pada
umumnya juga memberi petunjuk penting
umur permukaan
bumi sekaligus tentang erosi dan denudasi
(Vink, 1986: 195).
14. Transmigrasi
“Transmigrasi” adalah sutu sistem
pembangunan terpadu, suatu upaya untuk
mencapai keseimbangan penyebaran penduduk, juga dikamaksudkan untuk
menciptakan perluasan kesempatan kerja,
meningkatkan produktivitas dan
meningkatkan pendapatan melalui
pemindahan penduduk dari yang padat (Jawa,
Madura, Bali) ke daerah-daerah yang
jaranng penduduknya (Martono, 1986: 180).
Program transmigrasi tersebut menurut Swasono perlu ditempatkan dalam
proporsisi yang wajar di dalam proses
pembangunan. Mungkin akan
menggusarkan beberapa pihak dan tidak
enak didengar. Tetapi baginya bahwa
program tramsmigrasi tersebut harus
dilihat sebagai proyek turunan (derived
project) dan bukan sebagai proyek utama
(main project). Artinya transmigrasi
bukan merupakan proyeknya itu sendiri.
Transmigrasi ada karena adanya proyek
induk atau proyek utama, meskipun
demikian tidak berarti bahwa transmigrasi
tidak memegang peranan penting dalam
proyek itu. Sebab dalam keterkaitan
hubungan proyek utama dan turunan
tersebut bukanlah hubungan sub-ordinasi,
tetapi hubungan integratif (Swasono,
1986: 333). Sebab jika kita tetap
membiarkan semata-mata karena berpikir
demografis-sentris yang sama seperti
zaman Raffles dan Du Bus berlanjut ke
zaman Heyting (1905), zaman pra
Depernas, zaman Depernas sampai sekarang,
hal ini khawatirprogram-program
yang lebih mendasar di luar itu akan
terabaikan. Bukankah angka pemindahan
penduduk Jawa sepanjang sejarahnya tidak
pernah menunjukkan pertambahan
penduduk Jawa sekitar 2 juta jiwa per
tahunnya selama kita menlankan program
transmigrasi tersebut (Swasono, 1986:
332). Belum lagi masalah-masalah sosial
budaya yang terjadi antara penduduk
transmigran dengan pribumi, sering
menjadikan kendala pembatas antar etnis
tersebut..
15. Wilayah
Konsep ”wilayah” merujuk pada suatu area
di permukaan bumi yang
relatif homogen dan berbeda dengan
sekelilingnya berdasarkan beberapa kriteria
tertentu (Jonston, 2000: 910). Jadi
kuncinya dalam georafi kawasan tersebut
adalah kawasan yang dibangun di atas
sebuah unit spasial yang homogen: sebagai
inti dari disiplin, konsep ini tampil
sebagai kajian tentang bagaimana bagianbagian bumi begitu beragam akibat
distribusi yang tidak merata dari fenomena
alam dan manusinya (termasuk interaksi
keduanya). Berbagaijenis kumpulan
fenomena berada dalam berbagai wilayah,
menciptakan kawasan-kawasan,
sehingga kajian kawasanmenyoroti tentang
pembentukan kumpulan-kumpulan
tersebut dan menguraikan ciri-ciri khas
berbagai bagian dunia.
Studi dan deskripsi tentang ”wilayah”
tersebut merupakan perhatian utma
dari para ahli demografi pada pertengahan
abad 20, yang menginterpretasikan
peran menreka dalam dalam pembagian kerja
akademis yang menyebabkan
pembedaan wilayah yang mencirikan
permukaan bumi. Dengan demikian selama
beberapa dekade ”geografi kawasan” adalah
menjadi bagian penting dalam kajian
geografi keseluruhan (Wooddridge dan
East, 1958: 141).
Namun sejak tahun 1950-an, geografi
kawasan mulai dikecam keras
karena telah disalahfahami dan
dipraktekkan secara salah. Akibatnya reputasinyapun cepat tenggelam, kendati
konsep kawasan tersebut tetap eksis, dalam fungssi
baru untuk memberi batasan pada
wilayah-wilayah homogen untuk praktik
analisis spasial. Ironisnya geografi
kawasan tetap mendapat dukungan dari
kelompok-kelompok yang mengidentifikasi
peran pedagogis untuk deskripsi
kawasan sebagai cara-cara
meentransmisikan pengetahuan tentang diferensiasi
kewilayahan, yang tugasnya lebih berifat
”populer dan edukasioanal daripada
praktis atau profesional sempit”
(Paterson, 1974: 21). Malahan menurut seorang
ahli geografi Amerika Serikat terkenal mengklim bahwa geografi kawasan
adalah
bentuk tertinggi dari derajat seni
seorang ahli geografi, yang melibatkan produksi
”deskripsi evokatif yang memberi jalan
bagi pemahaman dan apresiasi terhadap
berbagai tempat” (Hart, 1982: 2).
D. Generalisasi-generalisasi Geografi
1. Tempat
Nilai penting karakteristik suatu tempat
dalam masa lalu, sekarang, maupun masa
depan terhadap suatu tempat-tempatyang
strategis secara ekonomi, selalu
menjadi memiliki daya tarik tersendiri
bagi pengembangan politik-ekonomi.
Karena makin meningkatnya mobilitas dua
faktor utama produks, yaitu; modal
dan tenaga kerja. Suatu tempatharus
memiliki daya tarik bagi investasi dan
pekerja, dan mereka yang terlibat dalam
manajemennya harus bekerja sesuai
dengan tujuan tersebut. Hal ini telah
menimbulkan ketertarikan untuk
menciptakan dan menjual tempat kepada
berbagai kelompok bisnis.
2. Sensus Penduduk
Sensus penduduk memiliki makna multi
dimensi, .karena dari hasil sensus
tersebut dapat memberikan informasi
tentang penduduk; angkatan kerja produktif,
perumahan, sektor manufaktur, pertanian,
perindustrian, pertambangan, dunia
bisnis dan lain-lain. Dalam praktinya
sesnsus penduduk dapat dilakukan secara
“defacto” maupun “de jure” (di mana
iadihitung walaupun tidak ada ketika
sensus berlangsung) (.Taeuber, 2000:
100).
3. Iklim
Masalah-masalah yang sering muncul dalam
pembangunan pertanian di daerah
tropis dariu segi iklim adalah; tanah di
daerah tropisberiklim lmbab, mungkin saja
sepanjang tahun dapat digunakan untuk
pertanian, tetapi sebagian tanah itu tidak
cocok untuk didayagunakan menurut pola
pertanian modern yang mengandalkan
penggunaan teknologi mutakhir, karena
tidak dapat dipupuk secara efektif dengan
pupuk mineral (Weischet, 1986: 1)
4. Laut
Sebagai negara bahari, bangsa Indonesia
belum optimal dalam melakukan
pemberdayaan “kelautan” atau apa yang
dinamakan “Revolusi Biru” masih jalan
ditempat. Padahal luas perairan laut kita
seluas 3.166.163 kilo meter persegi,
sedangkan luas daratan hanya 2.027.087
kilo meter persegi. Sampai sekarang ini
belum ada prestasi kelautan kita yang
dapat dibanggakan.
5. Lingkungan
Dalam setiap proyek pembangunan,
sebelumnya perlu dikakukan analisis
menyeluruh tentang dampak lingkungan yang
ditimbulkannya. Hal ini bukan
hanya kepada perusahaan-persahaan
pemerintah tetapi juga perusahaanperusahaan swasta, terutama sangat berperan
dalam memperolehizin resmi usaha
tersebut, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang dianggap peka terhadap
lingkungan ((O’Riodan, 2000: 299).
6. Benua
Sebagai benua yang paling banyak dan
padat penduduknya, bangsa Asia jauh
lebih kompleks manghadapi tantangan
kehidupan mendatang disbanding dengan
bangsa Auastralia. Yang lebih sedikit dan
rendah tingkat kepadatan
penduduknya.
7.Urbanisasi
Urbanisasimerupakan salah satu proses
perubahan sosial yang tercepat di negaranegara-negara berkembang khususnya
bahkan dunia. Transformasi-transformasi
sosial dan demografis bersamaan dengan
tumbuhnya penduduk kota di negaranegara berkembang tersebut telah menujukkan
pelipatgandaan pertumbuhan
demografis yang memprihatinkan (Ever,
1995: 49).
8. Peta
Para birokrat pemerintah, kaum
professional, maupun intelektual pada hakikatnya
memerlukan peta. Dari keperluan untuk
pembangunan ekonomi, pertahanan
nasinal, perlindungan lingkungan,
ekonomi, bisnis, wisata, industri, maupun untuk
memberikan eksplanasi visual dalam
ranah-ranah abstrak yang perlu dipahami
secara mendalam , apa lagi jika peta itu
bentuk dan disainnya lebih bersifat
dinamis dan interaktif karena dibuatnya
dengan teknologi yang kian canggih dan
menarik, jelas sangat diperlukan
(Monmonier, 2000: 96)
9. Kota
Dalam banyak hal tentang kontak-kontak
sosial di perkotaan, sebagai sesuatu
yang bersifat “impersonal, supervisial,
sementara, dan segmental”. Hal ini pula
yang dikhatirkan oleh beberapa sosiolog
bahwa memang cenderung pesimis
mengenai kemungkinan terciptanya
kehidupan manusiwi yang memuaskan di
perkotaan yang dipenuhi industri
(Hannerz, 2000: 111).
10. Mortalitas
Terjadinya transisi demografis
(demographic transition) yang dikenal sebagai
lingkaran siklus demografis,
menggambarkan proses perubahan tingkat mortalitas
dan natalitas pada suatu masyarakat dari
suatu situasi di mana angka keduaduanya menunjukkan angka yang tinggi (Caldwel,
2000: 218).
11. Khatulistiwa/Ekuator
Bagi negara-negara yang dilalui dengan
garis khatulistiwa, tidak ada lasan untuk
merasa takut kekurangan sinar matahari.
Hal ini jelas berbeda dengan daerahdaerah subtropics yang jauh dari garis
khatulistiwa, mereka hanya bulan-bulan
tertentu dapat menikmati hangatnya sinar
matahari.
12. Demografi
Ledakan demografidunia khususnya di
negara-negara berkembang,
memperlihatkan kecenderungan yang
mencemaskan. Di tahun 1825 selagi
Malthus membuat perubahan akhir atas karya
aslinya Essay on Population, kirakira satu milyar umat manusia mendiami planet
bumi. Tetapi menjelang itu,
industrialisasi dan kedokteran modern
memungkinkan penduduk bertambah
dengan laju kecepatan yang makin
meningkat. Dalam seratus tahun berikutnya,
penduduk dunia berlipat ganda menjadi
duamilyar, dan dalam setengah abad
berikut (dari tahun 1925 ke tahun 1976)
berlipat ganda lagi menjadi 4 miliar.,
menjelang tahun 1990, angka itu melaju
sampai 5,3 milyar (Kennedy, 28-29).
13. Tanah
Banyak pekerjaan dilaksanakan di atas
tanah yang diolah melalui sistem-sistem
hidrologi. Sistem-sistem ini kerapkali
juga menghubungkan tanah denganperairan
terbuka. Perairan terbuka ⎯sungai, danau, laut, samudera ⎯mempunyai
ekosistemn sendiri-sendiri yang juga
dapat diteliti dan dipetakan serta sangat
dipengaruhi oleh kegiatan manusia di
daratan (Vink, 1986: 199).
14. Transmigrasi
Bagi bangsa Indonesia program
tarnsmigrasi bukan sesuatu yang baru, sejak
pertengahan abad 19 dalam Etische
Politiek telah mempengaruhi parlemen
Belanda untuk mengetuk dan membuat
penelitian tantang kemakmuran rakyat
daerah-daerah pedesaan di Jawa (demindere
wel vaart onderzoek) yang akhirnya
mencanangkan dan melaksanakan
programtransmigrasi (Purboadiwidjojo, 1986:
9), walaupun pelaksanaannya bukan
semata-mata atas dasar kemanusiaan. Begitu
juga ketika Indonesia memasuki pasca
kemerdekaan, pemerintah segera
mencanangkan Program Transmigrasi
terutama untuk mengatasi
ketidakseimbangan demografis antara pulau
Jawa (termasuk Madura Bali) yang
padat penduduknya dn pulau-pulau luar
Jawa yang jarang penduduknya
(Swasono, 1986: xi; Scholz, 1986: 287)
15. Kawasan
Kompleksitas persoalan-persoalan
demografis kawasanAsia jauh melebihi
kompleksitas persoalan-persoalan
demografis kawasanAustralia, baik mengenai
natalitas, motalitas, proyeksi
kependudukan, serta kesejahteraannya.
H. Teori-teori Geografi
1. Teori Ledakan Penduduk Malthus
Thomas Robert Malthus lahir di
Ruckery-St. Catherina Inggeris pada
tanggal 14 Februari 1766 dan meninggal
pada tanggal 23 Desember 1834. Ia
seorang ahli ekonomi yang tergolong
ekonomi Mazhab Klasikbersama-sama
Adam Smith. Ajaran-ajarannya banyak
mempengaruhi pemikiran ekonom
lainnya seperti Ricardo, di mana perkembangan ekonomi diasumsikan cukup
suram itu berpengaruh besar pada abad
ke-19. Dalam ilmu geografi ekonomi dan
poppulasi nama dia juga dikenal sebagai
seorang pelopor yang mengukir pada
mazhab geografi tersebut. Selain itu nama Malthus kemudian diabadikan
juga
dalam istilah ”neomalthusianisme”. Adapun
teori Malthus tentang ledakan
penduduk ditulis dalam bukunya An Essay
on the Principles of Population(1798).
Dalam teorinya tersebut Malthus
berpendapat, bahwa:
a. Masyarakat manusia akan tetap miskin
karena terdapat kecenderungan
pertambahan penduduk berjalan lebih cepat
daripada persediaan makanan.
b. Pertambahan penduduk dapat diibaratkan
deret kali atau deret ukur sehingga
pelipat-gandaan jumlah penduduk dalam
setiap 25 tahun, sedangkan
peningkatan sarana-sarana kehidupan
berjalan lebih lambat, yankni menurut
deret hitung atau deret tambah.
c. Melalui tindakan pantang
seksual/pantangan kawin, perang, bahaya kelaparan,
dan bencana alam, jumlah penduduk setiap
kali memang diusahakan sesuai
dengan sarana kehidupanyang tersedia.
Namun cara itu tidak cukup untuk
meningkatkan kehidupan masarakat sampai
di atas batas minimum.
2.Teori Pengaruh Iklim Terhadap Peradaban
Elsworth Huntington
Ellswort Huntington adalah seorang ahli
geografi Amerika yang produktif
menulis berbagai buku ternama dan
teorinya tergolong fantastis imajinerdan
kadang dinilai bombaptis. Inti
teori-teorinya itu terdapat dalam tiga buku yakni:
The Pulse of Asia(1907); Palestine and
Its Transformation(1911), Civilization
and Climate(1915), yang secara garis
besar pokok-pokok pikirannya sebagai
berikut:
a. Peradaban besar yang ada di kawasan
Asia Tengah dan Barat Daya pada zaman
kuno dimana kondisi mengrikan sekarang
ini dari daerah-daerah tersebut, pada
awal abad ke-20 diperkirakan adanya
kemerosotan perabadaban yang terjadi
dan disebabkan oleh perubahan iklim.
b. Mekeringan di wilayah ini pada masa
sekarang kelihatannya tidak sesuai
dengan posisinya terdahulu sebagai pusat
kerajaan, dan dia mulai berpikir
bahwa iklimnya yang dahulu
seharusnyalebih lembab, bahwa wilayah ini
harus mengalami proses pengeringan yang
progresif.
c. Proses semacam ini harus menjadi
bagian dari suatu proses yang lebih besar
fenomena-fenomena ayang lebih umum.
Sesuai dengan itu iaterdorong untuk
membuat postulat tentang
mengeringnyabumi, yang terjadi dalam ”plsasi
ritmik, dengan periode-periode dari udara
kering dan basah.
d. Begitu-pun cerita pengembaraan bangsa
Ibrani (Yahudi) dalam kitab suci,
berhubungan dengantitik tengah antara
masa kekeringan dan masa kebasahan.
Ekspansi kerajaan Moghul, ekspansi
kerajaan barbar Mongol sampai ke
Eropa, adalah akibat dari
mengeringnyatempat tinggal asli dari kaum
penyerbu.
e. Proses pengeringan yang progresif dari bumi mengikuti arah tertentu
umumnya dari timur ke barat. Inilah yang
menjelaskan pergantian pusat-pusat
peradaban besar dari Babilonia, Mesir ke
Yunani, ke Roma, dari Roma ke
Prancis, dan dari Prancis keInggeris,
serta dari Inggeris ke Amerika Serikat.
3. Teori Lokasi Lahan von Thunen
Johann Hienrich von Thunen dalam Der Isolierte Staat(1826)
mengemukakan bahwa pada dasarnya
penggunaan lahan dapat dibagi dalam
beberapa penggunaan. Dengan mengambil
satu pusat kota sebagai satu-satunya
tempat memproduksi barang-barang
yang dibutuhkan seluruh negara,
daerahdaerah di sekitarnya hanya sebagai pemasok bahan mentah lain ke kota.
a. Lahan pertamaberada di dekat pusat
kota (pasar) akan dipakai untuk kegiatankegiatan intensif jenis tanaman yang
hasilnya cepat rusak, memakan tempat
dan berat dalam kaitannya dengan
transportasi.
b. Daerah keduamerupakan daerah hutan.
Hal ini bisa dipahami mengingat
masa itu kebutuhan hasil hutan untuk kayu
dan bahan bakar yang sifatnya
memakan tempat dan berat sehingga harus
ditempatkan agar dekat dari pusat
kota.
c. Daerah ketigadigunakan untuk menanam
tanaman sejenis gandum atau padipadian.
d. Daerah keempatberupa daerah
penggembalaan ternak.
e. Daerah kelima, merupakan daerah ’three field system’merupakan daerah
ilalang, daerah tandus.
f. Sedangkan daerah keenammerupakan
daerah perburuan.
g. Untuk memudahkan dan efisiensi
transportasi, diperlukan sungai yang
membelah kota, ternyata dapat menghemat
1/6 transportasi darat, sehingga
daerah pertama akan berkembang sepanjang
sungai.
h. Perlu dibuat kombinasi transportasi
darat dan sungai, sehingga akan sama
biaya transpor darat bagi daerah yang
tidak dapat menikmati adanya sungai.
4.Teori Daya Sentrifugal dan Sentripetal
Charles O. Colby
Charles O.Colby adalah penulis
artikelJurnal Annals pada Association of
American Geographers Vol 23.No.1
(Mar.1933), hlmn.1-20. yang menulis topik
“Centrifugal and Centripetal Forces in
Urban Geography”. Dalam tulisan
tersebut Colby menguraikan bahwa proses
berekspansinya kota yang makin
meluas dan berubahnya struktur tata guna
lahan sebagian besar disebabkan oleh
adanya daya sentrifugal dan
sentripetalpada beberapa kota. Daya sentrifugal;
mendorong gerak ke luar penduduk dan
usahanya sehingga terjadi disperse
kegiatan manusia dan elokasi
sector-sektor serta zone-zone kota. Sedangkan daya
sentripetal, mendorong penduduk bergerak
ke dalam kota dan berbagaiusahausahanya yang menimbulkan pemusatan
(konsentrasi) aktivitas masyarakat.
Adapun isi pokok teori tersebut, yang
menyebabkan pada masyarakat kota
terjadi daya sentfifugan dan sentripetal
tersebut, sebagai berikut: Pertama,untuk
daya sentrifugal:
a.
Terdapat gangguan yang sering berulang, seperti; macetnya lalu lintas,
polusi
udara dan bunyi, menyebabkan penduduk
kota merasa tidak nyaman
bertempat tinggal di situ.
b.
Dalam pengembangan industri modern dan besar-besaran, memerlukan
lahanlahan relatif luas serta menjamin kelancaran tranportas dan lalu-lintas.
Hal ini
hanya mungkin dapat dilakukan di
pinggiran kota, sebab kondisi kota-kota tua
demikian padat. c.
Harga sewa/beli tanah di pinggir atau luar kota, jauh lebih murah
daripada di
kota
d.
Di kota sudah dipenuhi gedung-gedung bertingkat tinggi, tidak mungkin
lagi
dapat dibangun bangunan baru, kecuali
dengan biaya yang sangat tingi.
e.
Kondisi perumahan kota umumnya padat dan sempit, sulit untuk
dikembangkan lebih lanjut, kecuali dengan
biaya yang tinggi. Berbeda dengan
pinggir atau luar kota, serba mungkin
untuk memperoleh perumahan yang
lebih nyaman, segar, dan murah.
f.
Hidup di kota, terasa sesak, penat, dan berjubel. Sedangkan di pinggir/
luar
kota lebih terasa asri, segar, sunyi, dan
nayaman.
Namun sebaliknya, banyak juga penduduk
luar/pinggir kota yang justru
menyenangi hidup tinggal di kota, inilah
yang keduaini termasuk daya sentripetal
yang penyebabnya, sebagai berikut:
a.
Memiliki tempat-tempat di pusat kota yang strategis, sangat cocok untuk
pengembangan industri dan merupakan
kemudahan tersendiri dalam operasi
industri.
b.
Berbagai perusahaan dan bisnis, biasanya lebih menyukai lokasi-lokasi
apakah
itu dekat stasion kereta api, pelabuhan,
maupun terminal bus, maupun pusatpusat keramaian publik lainnya.
c.
Dalam dunia bisnis, lebih menyukai dan berkecenderungan adanya
konsentrasi-konsentrasi penjual jasa
seperti, penjahit, tempat praktek para
dokter, pengacara, tukang gigi, pemangkas
rambut dan kecantikan, lokasinya
lebih menyukai berdekatan..
d.
Selain itu juga di kota-kota sudah sedemikian rupa tersusun pusat-pusat
perbelanjaan, seperti toko-toko; tekstil,
elektronik, perhiasan (emas dan
perak), pakaian jadi, makanan dan
minuman, barang-barang kelontong,
mainan anak, dan sebagainya.
e.
Banyaknya flat-falt/rumah bersusun untuk masyarakat kecil, setidaknya
dapat
meringankan harga sewa bagi penduduk
kota.
f.
Kota juga mnyediakan sejumlah tempat hiburan, olahraga, seni-budaya,
pendidikan, di samping menyediakan
pekerjaan.
g.
Para pegawai dan pekerja kota lainnya, lebih menyukai tempat tinggal
yang
tidak berjauhan dengan tempat
bekerja.Artinya kota tetap diminati sebagai
kebutuhan untuk bertempat tinggal
karenadekat dengan tempat bekerja.
5. Teori Kota Konsentris Burgess
E.W. Burgess adalah seorang geograf
Amerika Serikat yang mengkaji
struktur kota Chicago pada tahun 1920-an,
dan teori konsentrasi tersebut dimuat
dalam tulisannya yang berjudul The
Geography of City(1925). Inti teori kota
konsentris tersebut adalah:
a. Pada hakikatnya kota itu meluas secra
seimbang dan merata dari suatu
pusat/inti, sehingga muncul zone-zone
baru sebagai perluasannya.
b. Pada setiap saat dengan demikian dapat
ditemukan sejumlah zone yang
konsentris letaknya, sehingga struktur
kota menjadi bergelang (melingkar). c.
Di pusat kota terdapat Zone Pertama; Central Bisnis District(disingkat BCD)
jika di Chicago disebutnya Loop. Fungsi
Looptersebut untuk sebagai
pusat/jantung kehidupan perdagangan,
perekonomian, dan kemasyarakatan..
Zone Kedua; terdapat Zone Peralihan
(trantitional zone) merupakan kawasan
perindustrian, disertai oleh rumah-rumah
pribadi yang kuno. Bahkan jika
Chicago telah berubah menjadi Chines Town
maupun pertokoan dan
perkantoran berskala kecil. Namun jika
sudah bobrok banyak dimanfaatkan
oleh kaum gekandangan miskin. Zone Ketiga:
kawasan perumahan para
buruh kebanyakan adalah kaum imigran.
Zone Keempat: penghini kelas
menengah, cukup rapi memiliki jarak
sanitasi yang lebih memadai sebagai
tempat tinggal yang nnyaman dan baik.
Namun terdapat juga sebagian kecil
rumah berkelas elite. Sedangkan pada zone
kelima; merupakan Commuters
Zone, atau tempat orang yang pulang-pergi
setiap hari untuk bekerja. Kondisi
alamnya masih asri, luas, dan mewah serta
berfungsi sebagai kota kecil untuk
beristirahat/tidur atau dormitory towns,
maklum perumahan untuk orang-orang
kaya
6. Teori Konflik antara Suku Bangsa
Nomadik dengan Sedenter Jean Bunhes
Jean Bunhes seorang ahli geografi Prancis
murid Le Play yang meneliti
pengaruh kehidupan nomadik (barbar)
terhadap politik. Penelitiannya ini
dilakukan atas di beberapa kawasan
khususnya Afrika (Gurun Sahara dan Asia
Tengah yang beriklim keras, dengan sistem
keluarga yang ptrairkhal yang
menghasilkan otorianisme dalam bukunya
Geographie humanie(1925). Adapun
isi pokok teori tersebut, sebagai
berikut:
a.
Stepa-stepa padang rumput di Asia dengan musim dingin yang kejam, tidak
memungkinkan pengolahan alam yang
intensif. Hanya bibir-bir gunung yang
di mana oase-oase irigasi dibangun,
tanaman bisa tumbuh dan berkembang.
b.
Di mana-pun tanah secara alami sangat sesuai dengan jenis pastoral
(pastoralart) untuk memelihara kawanan
ternak dan hewan. Dan dengan
demikian wilayah penggembala diatas kuda,
kelompok-kelompok kecil
manusia yang tersebar dengan ternaknya
dalam suatu wilayah yang luas.
c.
Karena dihadapkan dengan suasana keharusan untuk bergerak keliling dan
untuk mengetahui sebelumnya tentang
wilayah perumputan serta sumbersumber air untuk jarak yang jauh, mereka
memperoleh rasa gerakan taktis dan
strategi yang menempatkan mereka dalam
posisi mendaulat terhadap rung dan
menguasai para tetangga mereka.
d.
Beberapa dari penakluk yang paling besar dan paling berani dalam
sejarah,
muncul dari stepa-stepa Jengis Khan,
Timur Leng, Khubilai Khan.
e.
Kualitas dan kemampuan yang menjadi alasan bagi kekuasaannya diperoleh
dari stepa, dari keterampilan yang
dianugerahkan kepada pstoral, dan dari
subordinasi geografisnya pada
lingkungannya.
f.
Kelompok penggembala ini bukan massa petani-petani kelompok kecil yang
mengerumuni seluruh Asia Selatan dan Asia
Timur, yang memimpin dunia.
Selama berabad-abad mereka menguasai
India, dan Cina berada di bawah
kekuasaan orang-orang Mongol, yaitu kaum
Nomad para penggembala Asia
yang perkasa (herdsman).
DAFTAR PUSTAKA
Ackoff, Russell, L. (1974) Redesigning
the Future, New York: John Willey &
Sons.
Andreae, Bernd (1986) Geografi Pertanian
di Daerah Tropis Beriklim Lembab”
dalam Pembangunan Pertanian daerah tropis
beriklim lembab” dalam
Jurgen H.Honholz, (Ed) Geografi Pedesaan:
Masalah Pengembangan
Pangan, PenerjemahThomas Rieger dan Sony
Keraf, Jakarta: Karya
Unipress.
Barnes, Trevor (2000) “Geografi Ekonomi”
dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,
hlmn.266-267.
Burgess, E.W. (1925) ”The Geography of
city” dalam R.E. Park et. Al. The City,
Chicago: Chacago University Press.
Buttimer, A. (1971) Society and Milleu in
the French Geographical Tradition,
Chicago.
Cater, J. dan Jones, T. (1989) Social
Geography: An Introduction to
Contemporary Issues,London.
Chadwick, George, (1971) A System View of
Planning, New York: Pergamon
Press.
Curran, P.J. (1987) “Remote sensing
methodologies and geography’,
International Journal of Remote
Sensing,8.
Davies, Wayne, K.D. (1972) The Conceptual
Revolution in Geography, London:
Universuty of London Press.
Dickinson, Robert, E. (1970) Regional
Ecology,New York: Jhon Willey & Sons.
Inc.
Domros, Mamfred (1986) Iklim Sebagai
Faktor Penghambat Pertanian Daerah
Tropis”, dalam dalam Pembangunan
Pertanian daerah tropis beriklim
lembab” dalam Jurgen H.Honholz, (Ed) Geografi Pedesaan: Masalah
Pengembangan Pangan, PenerjemahThomas
Rieger dan Sony Keraf,
Jakarta: Karya Unipress.
Dunbar, G. (1977) “Some early occurrence
of the term “social geography”,
Scottish Geographical Magazine,” 93.
43
Duverger, Murice (1985) Sosiologi
Politik, Penerjemah Daniel Dhakidae,
Penyunting dan Pengantar Alfian, Jakarta:
CV Rajawali.
Eyles, J. (ed) (1986) Social Geography in
International Perspective, London:
Universuty of London Press.
Fairchild, H.P. et.al. (1964) Dictionary
of Sociology and Related Sciences,New
Jersey: Littlefield, Adam & Co.
Fitgerald, W. (1946) “Geography and its
component”, dalam Geoigraphical
Journal, 197.
Evers, Hans-Dieter (1995) Sosiologi
Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah
di Indonesia dan Malaysia,Jakarta: LP3ES.
Ewbank, Douglas C. (2000) “Mortalitas,
dalam Adam Kupper & Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
685-686.
Fraenkel, Jack.R. dan Wallen, Norman, E.
(1993) How to Design and Evaluate
Research in Education,New York:
McGraw-Hill, Inc.
Giddens, Anthony (1984) The Constitution
of Society, Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Gregory, D. (1978) Ideology, Science and
Human Geography, London: PrenticeHall.
Gregory, K.J. (1985) The Nature of
Psysical Geography, London: Heinemas.
Gregory, K.J. (1994) Geographical
Imaginations,Oxford: Oxford University
Press.
Hagerstrand, T (1982) “Diorama, path and
project” dalam Tijdscrift voor
Economisce en Sociale Geografie,73.
Haggett, P., Cliff, A.D. dan Frey, A.E.
(1978) Locational Analysis in Human
Geography,edisi kedua, London: Harper and
Row.
Haggett, P. (1965) Locational Analysis in
Human Geography, London: Metuen.
Hannerz, Ulf (2000) “Kota” dalam Adam
Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
110-113
Harvey, D. (1982) Limits of Capital,
Chicago: Chicago of University Press.
44
Haring, L., Lloyd, Lounsbury, dan John.F.
(1975) Scientific Geographic
Research, Iowa: Wm. C. Brown Company
Publisher.
Harshorne, R. (1950) “The functional
approach in politicalgeography, dalam
Annals, Association of American
Geographers,10.
Harstshorne, R. (1939) The Nature of
Geography: A Critical Survey of Current
Thought in the Light of the Past,
Lancester, PA.
Hartshorne, R. (1960) Perspective on the
Nature of Geography, Chicago: Rend
McNally & Company.
Hart, J.E. (1982) “The highest form of
the geographer’s art,” Annals of the
Association of American Geographers, 72.
Harvey, D. (1989) “From Models to Marx:
notes on the project to “remodel”
contemporary geography, dalam B.
Macmillan (ed) Remodelling
Geography, Oxford.
Harvey, D. (1973) Social Justice and the
City, London: The English Universities
Press Limited.
Hightower, J. (1973) Hard Tomatoes, Hard
Times, Camridge, MA.
Huntington, Ellsworth, (1915)
Civilization and Climate, New Haven, CT.
James, Prestone E. (1959) New Viewpoint in Geography, Washington:
National
Council for the Social Studies..
Jacson, P. dan Smith, S.J. (1984)
Exploring Social Geography, London: The
English Universities Press Limited.
Johnston, R.J. (2000a) “Geografi” dalam
Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm.
403-411.
Johnston, R.J. (2000b) ”Tempat” dalam
Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
761-762.
Johnston, R.J. (2000c) ”Kawasan” dalam
Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
910-911.
45
Johnston, R.J. (1991) A Question of
Place: Exploring the Practice of Human
Geography, Oxord: Oxford University
Press.
Johnson, Doyle Paul, (1986a) Teori
Sosiologi: Klasikdan Modern, Jilid 1,,
Diindonesikan Oleh; Robert M.Z. Lawang,
Jakarta: PT Gramedia.
Johnson, Doyle Paul (1986b) Teori Sosiologi: Klasik dan Modrn, Jilid 2,
Diindonesikan Oleh; Robert M.Z. Lawang,
Jakarta: PT Gramedia.
Jones, E. (ed) (1985) Readings in Social
Geography, Oxford: Oxford University
Press.
Khiam, Kkhoe Soe (…?..) Ichtisar
Perkembangan Ilmu Bumi, Bandung : KPPKBPG
Kerliger, Fred, N. (2000) Asas-asas
Penelitian Behavioral, Penerjemah Landung
R. Simatumpang dan H.J. Koesoemo,
Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Keyfitz, Nathan, (2000) “Demografis”
dalam Adam Kupper & Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
219-223.
Knox, Paul L. (2000) “Geografi Perkotaan”
dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,
hlmn. 1112-1114..
Lapian, A.B (1980) “Memperluas Cakrawala
Melalui Sejarah Lokal”, dalam
Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, hlm.3-9.
Lavelock, J. (1992) Gaia: The Practical
Science of Planetary Medicine, Stroud.
Ley, D.F. dan Samuels M.S. (eds) (1978)
Humanistic Geography Prospects and
Problems,Chicago: Chicago University
Press.
Lincoln, Yvona.S dan Guba, Egon, G.
(1985) Naturalistic Inquiry, Beverly Hills:
Sage Publications
Long, Norman, (2000) “Sosiologi
Pedesaan”, dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,
hlmn. 941-944.
Long, Norman, (1977) Introduction to the
Sociology of Rural Development,
London: Longman.
46
Lucile, Carlson, (1960) Geography and
World Politics, Englewood Cliffs, New
York: Prentice Hall, Inc.
MacDowell, L. (1991) “Life without father
Ford: the new gender order of postFordism”, dalam Transactions: Institute of
British Geographers16.
Maguire, D.J. Goodchild, M.F, dan Rhind,
D.W., (eds) (1991) Geographical
Information System: Principles and
Aplication,London.
Martono, (1986) “Panca Matra Transmigrasi
Terpadu”dalam Sri-Edi Swasono
dan Masri Singarimbun, Transmigrasi Di
Indonesia 1905-1985, Jakarta:
UI Press, hlm.179-203
Massey, D. (1984) Spatial Divisions of
Labour: Social Structures and the
Geography of Production,London: Hogarth.
Massey, D. (1984) Spatial Divisions of
Labour: Social Structure and the
Geography of Production,London:
Mitchell,J.B. (1960) Historical
Geography, London: The English Universities
Press Limited.
Monmonier, Mark (2000) “Kartografi” dalam
Adam Kupper & Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
96-97.
Murphey, Rhoads, (1966) The Scope of
Geography, Chicago: Rand MacNally.
Newby, H. (1980) “Rural Sociology: a
trend report”, Current Sociology, 28.
Nystuen, J.D. (1963) “Identification of
some fundamental spatial concepts, dalam
Proceedings of the Michigan Academy of
Science, Arts and Letters, 48.
O’Riordan, Timothy, (2000) “Lingkungan”
dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.,
hlmn. 298-300.
Pacione, M. (1987) Social Geography: Progress
and Prospect, London.
Longman.
Pahl, R. (1966) “The Rural-Urban
Continum” Sociologia Ruralis, 6.
Paterson, J.L. (1974) “Writing regional
geography” dalam C. Board et al (eds)
Progres in Geography, vol. 6. London.
47
Patton, Michael, Quin (1980) Qualitative
Evaluation Methods, Baverly Hills:
Sage Publications.
Pearce, D.W. Turner, R.K. dan Bateman,I.
(1993) An Introduction to
Environmental Economic, London.
Purboadiwidjojo, Slamet (1986) Mencari
Suatu Sistem untuk Melaksanakan
Pemindahan Penduduk Secara Besar-besaran”
dalam Sri-Edi Swasono dan
Masri Singarimbun, Transmigrasi Di
Indonesia 1905-1985, Jakarta: UI
Press, hlm.8-31.
Rhind, D.W. (1989) “Computing, academic
geography, and the world outside’
dalam B. Macmillan (ed) Remodelling
Geography, Oxford: Oxford
University Press.
Rose, G (1992) Feminism and Geography:
The Limits of Geographical
Knowledge, Cambridge, UK.
Ruthenberg, Hans (1986) “ PendekatanBaru
dalam Usaha Peningkatan Produksi
Pertanian di Daerah Tropis” dalam dalam
Pembangunan Pertanian daerah
tropis beriklim lembab” dalam Jurgen
H.Honholz, (Ed) Geografi
Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan,
PenerjemahThomas Rieger
dan Sony Keraf, Jakarta: Karya Unipress.
Sly, David F. (2000) “Urbanisasi” dalam
Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
1116-1118.
Smith, Susan (2000) “Gegrafi Sosial”
dalam Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
981-982.
Smith, D.M. (1977) Human Geography: A
Welfare Approach, London: Longman.
Spencer, Herbert, (1965) The Man versus
the State, Caldwell, Idaho: Caxton.
Spencer, Herbert, (1967) Princilple of
Sociology, edited and with an introduction
by Robert L. Carneiro, Chicago:
University of Chicago Press.
Storper, M. dan Scott, A.J. (eds) (1992)
Pathways to Indistrialization and
Regional Development, London: Oxford
University Press.
Sumaatmadja, Nursid (1988) Studi Geografi:
Suatu Pendekatan dan Analisa
Keruangan, Bandung: Alumni.
48
Swasono, Sri-Edi (1986) “Transmigrasi di
Indonesia: Suatu Reorientasi” dalam
Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun,
Transmigrasi Di Indonesia
1905-1985, Jakarta: UI Press,
hlm.330-344.
Taylor, Peter, J. (2000) “Geografi
Politik” dalam Adam Kupper& Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.
298-300, hlmn 782-784.
Taylor, Peter,.J.(1993) Political
Geography: World Economiy, nation State, and
Locality,London.
Taylor, Peter.J. (1985) The Value of a
Geographical Perspective, dalam R.J.
Johnston (ed) The Future of Geography,
London.
Taeuber, Conrad, (2000) “Sensus Penduduk”
dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Turner, B.L. et al (eds) (1990 The Earth
as Transformed by Human Action:
Global and Regional Changes in the
Biosphere over the last 300 Years,
Cambridge, UK.
Turner, V. (1957) Schism and Continuity
in an African Society: A Study of
Ndembu Village Life,Manchester.
Vink, A.P.A. (1986) “Pembuatan Peta
Ekologi” dalam Pembangunan Pertanian
daerah tropis beriklim lembab” dalam
Jurgen H.Honholz, (Ed) Geografi
Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan,
PenerjemahThomas Rieger
dan Sony Keraf, Jakarta: Karya Unipress.
Weber, Max (1958 [1921]) The City, New
York: Free Press.
Weischet, Wolfgang (1986)
“Masalah-masalah dasar ekologi yang dihadapi dalam
Pembangunan Pertanian daerah tropis
beriklim lembab” dalam Jurgen
H.Honholz, (Ed) Geografi Pedesaan:
Masalah Pengembangan Pangan,
PenerjemahThomas Rieger dan Sony Keraf,
Jakarta: Karya Unipress.
Wooldridge, S.W. (1958) The Spirit and
Purpose of Geography, Edisi Kedua,
London.
Wooldridge, S.W. (1958) The Spirit and
Purpose of Geography, Edisi Kedua,
London.
Woodridge, S.W. dan East, W.G. (1958) The
Spirit and Purpose of Geography 2
nd
edn, London.