Periodisasi Masa Jabatan Kepala Sekolah
Kepsek Maksimal Dua Periode: Permendiknas No 28 tahun 2010
Lulus Pelatihan 100 Jam, Praktik Lapangan 3 Bulan
Menjadi kepala sekolah, kini tidak mudah lagi. Mengacu pada aturan baru Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah, orang yang memimpin sebuah sekolah harus memiliki kompetensi dan professional memadai.
“Dalam Permendiknas No28 itu, ada syarat khusus untuk bisa menjadi kepala sekolah (kepsek). Kepala daerah juga tidak bisa lagi seenaknya mengangkat kepala sekolah baru sesuai keinginannya.
Diketahui, Permendiknas No28 merupakan pengganti Kepmendiknas No 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, ke depan proses pengangkatan calon kepala sekolah baik tingkat SD, SMP maupun SMA sederajat sudah mempunyai acuan yang jelas. Semuanya bertujuan agar didapatkan kepala sekolah dengan kemampuan memimpin dan memajukan sekolah yang mumpuni.
Nah, untuk bisa menjadi seorang kepala sekolah, perlu ada persiapan-persiapan khusus. Mulai proses administrasi hingga akademik yang harus terpenuhi. Calon kepala sekolah wajib mengikuti proses pendidikan dan pelatihan minimal 100 jam serta praktik lapangan minimal tiga bulan.
Selain itu, harus ada suatu bukti bahwa calon kepala sekolah tersebut berkompeten dan punya keterampilan manajerial di dalam mengelola sekolah. Dengan begitu, diharapkan pengangkatan kepala sekolah tidak lagi didasarkan pada prinsip like and dislike.
Dalam proses pengangkatannya, calon kepala sekolah/madrasah harus pula melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh pemerintah. Baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota atau penyelenggara sekolah/madrasah.
Lalu, masa jabatan kepala sekolah pun saat ini dibatasi. Seorang kepsek diperbolehkan menjabat kedua kalinya bila dinilai memiliki prestasi dan kinerja minimal baik.
Sebelum bisa diangkat lagi, kepala sekolah itu harus turun jabatan dulu menjadi guru biasa. Sayangnya, penerapan ketentuan-ketentuan dalam Permendiknas baru ini sedikit banyak mengalami kendala di daerah. Pasalnya, tidak semua daerah kondisinya sama. Misalnya saja, kualitas sumber daya manusia (SDM) dari jenjang pendidikan calon kepala sekolah tiap daerah berbeda-beda.
”Faktanya, tidak semua siap menerapkan aturan baru ini. Makanya, penerapan Permendiknas itu akan sangat tergantung pada kepala daerah dan kondisi daerah masing-masing. Bukan dalam artian pemerintah daerah ’menipu’ aturan yang berlaku tersebut. Namun, dengan keterbatasan kesiapan daerah tentu saja ketentuan dalam Permendiknas No 28 Tahun 2010 itu tidak akan bisa diterapkan seluruhnya
Proses rekrutmen kepala sekolah yang baik belum cukup untuk menghasilkan kepala sekolah yang tangguh dan profesional jika tidak disertai pembinaan yang baik, yaitu pembinaan yang berorientasi pada kinerja dan prestasi dengan ”reward & punishment” yang tegas dan konsisten. Pembinaan kepala sekolah seperti yang berlaku selama ini ’kepala sekolah berprestasi maupun tidak berprestasi tetap aman menjadi kepala sekolah’, bahkan kepala sekolah yang sarat dengan masalahpun tetap aman pada posisinya sampai pensiun, kecil kemungkinan lahir kepala sekolah yang tangguh dan profesional. Dibutuhkan sistem pembinaan yang menimbulkan motivasi berprestasi, seperti penghargaan dan promosi bagi kepala sekolah berprestasi dan sebaliknya peninjauan kembali jabatan kepala sekolah bagi mereka yang tidak berprestasi.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0296/U/1996, tanggal 1 Oktober 1996 tentang Penugasan Guru Pegawai Negeri Sipil sebagai Kepala Sekolah di lingkungan Depdikbud dan disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor : 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah telah mengarah pasa sistim pembinaan di atas. Ada dua aspek penting dalam kedua Kepmen tersebut yaitu : Kepala Sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah dan masa jabatan Kepala Sekolah selama 4 (empat) tahun serta dapat diperpanjang kembali selama satu masa tugas berikutnya bagi kepala sekolah yang berprestasi sangat baik. Status Kepala Sekolah adalah guru dan tetap harus menjalankan tugas-tugas guru, mengajar dalam kelas minimal 6 jam dalam satu minggu di samping menjalankan tugas sebagai seorang manajer sekolah. Begitu juga ketika masa tugas tambahan berakhir maka statusnya kembali menjadi guru murni dan kembali mengajar di sekolah.
Pada tataran praktis implementasi kedua Kepmen tersebut tidak berjalan mulus. Banyak daerah yang tidak memperdulikannya. Kepmen 0296/U/1996 yang berlaku saat pengelolaan pendidikan dilaksanakan secara terpusat disiasati dengan memutihkan masa jabatan kepala sekolah setiap terjadi rotasi. Kepala Sekolah yang hampir habis masa jabatannya dirotasi dan masa jabatannya kembali ke nol tahun. Nasib Kepmen 162/U/2003 tidak jauh berbeda walaupun relatif lebih baik. Beberapa daerah sudah mulai melaksanakan Kepmen tersebut. Namun masih banyak yang belum merealisasikan permen tersebut karena benturan kepentingan dan sulitnya merubah kultur.
Periodisasi masa jabatan Kepala sekolah yang dilaksanakan secara konsisten dengan penilaian kinerja yang akuntabel serta transfaran akan mendorong peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah. Kepala Sekolah akan bekerja keras untuk meningkatkan prestasi sekolahnya sebagai bukti prestasi kinerjanya, sehingga masa jabatannya bisa diperpanjang atau mendapat promosi jabatan yang lebih tinggi. Prestasi yang diraih sekolah-sekolah akan meningkatkan mutu pendidikan di daerah dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Tidak ada lagi istilah berprestasi atau tidak berprestasi, bermasalah atau tidak bermasalah tetap aman. Hanya ada dua pilihan, kembali menjadi guru dengan predikat tidak berprestasi atau kembali menjadi guru dengan terhormat karena sudah menjalani periode maksimal bahkan mendapat promosi.
Keberhasilan pelaksanaan periodisasi masa jabatan kepala sekolah sangat tergantung pada akuntabilitas penilaian kinerja kepala sekolah. Penilaian yang berbau KKN tidak akan memberikan perubahan yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan. Penilaian harus dilakukan secara objektif, transfaran dan melibatkan guru sekolah yang kepala sekolahnya dinilai. Keterlibatan guru dalam penilaian kinerja kepala sekolah mutlak karena gurulah yang paling tahu kenerja kepala sekolah sehari-harinya. Dengan demikian objektifitas penilaian akan terjaga karena penilaian tidak hanya bersifat administratif dari atasan saja, tetap penilaian dilakukan secara autentik, sehingga subjektifitas penilaian seperti kedekatan dengan atasan dapat dihindari. Penilaian yang transfaran dan objektif dengan melibatkan guru akan memaksa kepala sekolah memaksimalkan kinerjanya dan akan mendorong peningkatan kinerja sekolah, sehingga prestasi sekolah dan mutu pendidikan akan meningkat.
Kepsek Maksimal Dua Periode: Permendiknas No 28 tahun 2010
Lulus Pelatihan 100 Jam, Praktik Lapangan 3 Bulan
Menjadi kepala sekolah, kini tidak mudah lagi. Mengacu pada aturan baru Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Menjadi Kepala Sekolah, orang yang memimpin sebuah sekolah harus memiliki kompetensi dan professional memadai.
“Dalam Permendiknas No28 itu, ada syarat khusus untuk bisa menjadi kepala sekolah (kepsek). Kepala daerah juga tidak bisa lagi seenaknya mengangkat kepala sekolah baru sesuai keinginannya.
Diketahui, Permendiknas No28 merupakan pengganti Kepmendiknas No 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah, ke depan proses pengangkatan calon kepala sekolah baik tingkat SD, SMP maupun SMA sederajat sudah mempunyai acuan yang jelas. Semuanya bertujuan agar didapatkan kepala sekolah dengan kemampuan memimpin dan memajukan sekolah yang mumpuni.
Nah, untuk bisa menjadi seorang kepala sekolah, perlu ada persiapan-persiapan khusus. Mulai proses administrasi hingga akademik yang harus terpenuhi. Calon kepala sekolah wajib mengikuti proses pendidikan dan pelatihan minimal 100 jam serta praktik lapangan minimal tiga bulan.
Selain itu, harus ada suatu bukti bahwa calon kepala sekolah tersebut berkompeten dan punya keterampilan manajerial di dalam mengelola sekolah. Dengan begitu, diharapkan pengangkatan kepala sekolah tidak lagi didasarkan pada prinsip like and dislike.
Dalam proses pengangkatannya, calon kepala sekolah/madrasah harus pula melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan oleh pemerintah. Baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota atau penyelenggara sekolah/madrasah.
Lalu, masa jabatan kepala sekolah pun saat ini dibatasi. Seorang kepsek diperbolehkan menjabat kedua kalinya bila dinilai memiliki prestasi dan kinerja minimal baik.
Sebelum bisa diangkat lagi, kepala sekolah itu harus turun jabatan dulu menjadi guru biasa. Sayangnya, penerapan ketentuan-ketentuan dalam Permendiknas baru ini sedikit banyak mengalami kendala di daerah. Pasalnya, tidak semua daerah kondisinya sama. Misalnya saja, kualitas sumber daya manusia (SDM) dari jenjang pendidikan calon kepala sekolah tiap daerah berbeda-beda.
”Faktanya, tidak semua siap menerapkan aturan baru ini. Makanya, penerapan Permendiknas itu akan sangat tergantung pada kepala daerah dan kondisi daerah masing-masing. Bukan dalam artian pemerintah daerah ’menipu’ aturan yang berlaku tersebut. Namun, dengan keterbatasan kesiapan daerah tentu saja ketentuan dalam Permendiknas No 28 Tahun 2010 itu tidak akan bisa diterapkan seluruhnya
Bagi guru, menjadi kepala sekolah bisa disebut sebagai puncak karier yang paling realistis yang bisa diraih untuk saat ini.
Sebab, sekalipun dimungkinkan untuk meniti karier sebagai pejabat struktural, seperti menjadi kepala seksi, kepala bidang, kepala dinas di dinas pendidikan, atau pejabat struktural di Kementrian Pendidikan Nasional, bahkan menjadi atase pendidikan, namun jabatan seperti itu tentu sangatlah tidak mudah untuk ditembus oleh guru. Selain karena kesempatannya sangat terbatas, “anak tangga” yang harus dilalui menuju puncak karier seperti itu juga cenderung tidak jelas.
Dengan sangat terbatasnya jenjang karier yang bisa diraih guru saat ini, maka seorang guru yang diangkat menjadi kepala sekolah sudah sangat patut bersyukur dan bergembira. Sebab, hanya sebagian kecil saja dari hampir 3 juta guru Indonesia yang bisa menjadi kepala sekolah. Namun, selain rasa syukur dan bangga diangkat menjadi kepala sekolah, cepat atau lambat akan muncul pula pertanyaan di hati mereka: “Sampai kapan saya bisa menjadi kepala sekolah?”
Pertanyaan di atas memang sangat wajar diajukan. Sebab, lamanya jabatan seorang kepala sekolah tidak ditegaskan secara eksplisit ketika diangkat. Tidak ada periodisasi jabatan kepala sekolah, misalnya saja “Kepala SMP Negeri Kota Padang Periode 2011-2015”. Dengan demikian, tidak ada kepastian masa jabatan kepala sekolah, bisa sebentar dan bisa pula lama.
Bila kita menengok kenyataan di lapangan, ternyata lamanya seorang guru menjadi kepala sekolah memang cukup beragam. Ada yang tidak cukup 4 tahun lalu sudah diberhentikan menjadi kepala sekolah. Namun ada pula yang hingga belasan tahun tetap bisa bercokol menjadi kepala sekolah. Bahkan ada yang dari pertama diangkat baru berhenti menjadi kepala sekolah setelah datangnya masa pensiun, seakan-akan tidak ada guru-guru lain yang bisa menjadi kepala sekolah.
Dengan demikian lamanya seorang guru bisa menjadi kepala sekolah memang tidak mudah untuk ditebak. Apalagi saat ini nasib kepala sekolah sangat ditentukan oleh kepala daerah yang nasibnya juga ditentukan lewat pemilukada setiap 5 tahun sekali. Di sini pula biasanya berlaku ungkapan: Sakali aie gadang sakali tapian barubah.
Sekalipun dalam realitasnya tidak ada kepastian masa jabatan kepala sekolah, namun secara yuridis sesungguhnya persoalan ini telah diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 tahun 2010. Dalam peraturan ini (pasal 10 ayat 1) ditegaskan bahwa masa tugas kepala sekolah ialah 4 tahun. Namun pasal 10 ayat 3 memberikan peluang seorang guru menjadi kepala sekolah lebih dari dua periode atau lebih dari 8 tahun berturut-turut jika kepala sekolah tersebut memiliki prestasi yang istimewa.
Sayangnya, sebagian kepala daerah sepertinya kurang mempedulikan peraturan ini. Buktinya, cukup banyak kepala sekolah tanpa prestasi yang istimewa tetap bercokol selama belasan tahun menjadi kepala sekolah. Kondisi ini tentu akan semakin merugikan dunia pendidikan.
Menurut hemat penulis, agaknya patut dipertimbangkan perlunya memberikan kepastian masa jabatan kepala sekolah dengan menegaskan periode jabatan mereka, seperti yang berlaku dalam masa jabatan seorang rektor perguruan tinggi. Tentu cukup lucu, jika jabatan presiden, kepala daerah, hingga wali nagari dibatasi dengan periode tertentu serta dijalankan secara konsisten. Sementara jabatan kepala sekolah tidak diberikan kepastian periodenya ketika mereka diangkat serta tidak pula dijalankan secara konsisten bahwa masa tugas kepala sekolah ialah 4 tahun.
Dengan adanya periodisasi jabatan kepala sekolah, misalnya Kepala Sekolah SMP Negeri kota Padang Periode 2011-2015, maka setidaknya ada beberapa manfaat yang bisa dipetik, antara lain seperti: pertama, akan memberikan kepastian dan ketenangan dalam bekerja kepada kepala sekolah. Dengan adanya kepastian masa jabatan, maka kepala sekolah akan bisa bekerja menjalankan tugasnya dengan tenang, tanpa perasaan was-was dan tidak akan terpengaruh dengan berbagai situasi politik yang terjadi di daerahnya. Kepala sekolahpun tidak perlu lagi kasak kusuk, sehingga perhatian terhadap sekolahpun menjadi berkurang, ketika setiap kali mendengar angin mutasi.
Kedua, dengan adanya periodesasi jabatan kepala sekolah akan memberikan kesempatan kepada kepala sekolah untuk merancang, merencanakan, melaksanakan dan menuntaskan dengan baik program-program sekolah selama periode jabatannya. Kepala sekolah akan lebih leluasa untuk menyusun target-target yang hendak dicapai selama kurun waktu kepemimpinannya. Sebaliknya pihak-pihak yang berkepentingan untuk menilai kinerja kepala sekolah juga akan terbantu dan lebih mudah menilai kinerja kepala sekolah dalam rentangan waktu yang sudah jelas dan dengan target yang juga jelas. Dengan demikian penilaian kinerja kepala sekolah diharapkan akan lebih objektif, transparan, akuntabel serta juga bisa dibandingkan dengan kinerja kepala sekolah lainnya yang seangkatan atau sama periodenya. Sehingga akan lebih nampak kepala sekolah yang berhasil dan yang belum berhasil.
Ketiga, dengan adanya periodesasi jabatan kepala sekolah juga bermanfaat untuk menyiapkan mental kepala sekolah untuk berhenti menjadi kepala sekolah dan kembali mengajar menjadi guru biasa setelah masa jabatannya berakhir.
Agaknya patut diakui bahwa selama ini cukup banyak kepala sekolah yang kurang siap mental untuk kembali ke “habitatnya”, mengajar menjadi guru biasa setelah ia tidak lagi terpilih menjadi kepala sekolah. Akibatnya kepala sekolah yang tidak lagi “terpakai” ini berupaya untuk pindah ke jabatan lain seperti menjadi pengawas sekolah.
Namun seiring dengan diberlakukannya Permendiknas nomor 12 tahun 2007 tentang standar kompetensi pengawas sekolah/madrasah, tentu kini tidak sembarang orang lagi yang bisa menjadi pengawas sekolah. Sebab, dalam peraturan ini ditegaskan persyaratan seseorang bisa menjadi pengawas sekolah/madrasah antara lain berusia maksimal 50 tahun dan berpendidikan minimal S.2.
Dengan adanya periodesasi jabatan kepala sekolah, maka kepala sekolah sudah tahu kapan masa jabatannya akan berakhir, sehingga diharapkan mentalnya sudah siap untuk berhenti menjadi kepala sekolah dan kembali mengajar menjadi guru biasa. Dengan demikian mental seorang kepala sekolah diharapkan sama seperti mental seorang rektor perguruan tinggi yang tetap dengan “kepala tegak” untuk kembali mengajar sebagai seorang dosen biasa ketika ia tidak lagi terpilih menjadi rektor.
Keempat, periodesasi jabatan kepala sekolah juga bermanfaat untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan kepala sekolah secara teratur, berkelanjutan, serta lebih dinamis dan demokratis. Kepala sekolah tidak lagi orang-orangnya harus itu-itu juga terus menerus sampai mereka pensiun.
Mutasi kepala sekolah tidak pula lagi harus seperti permainan catur yang hanya sekedar menukar posisinya saja. Mereka yang sudah lulus tes dan memiliki persyaratan yang lengkap sebagai calon kepala sekolah tidak pula lagi harus menunggu bertahun-tahun untuk diangkat menjadi kepala sekolah. Apabila regenerasi kepemimpinan kepala sekolah ini berjalan dengan baik, maka tentu juga bisa menumbuhkan semangat guru yang belum menjadi kepala sekolah untuk meningkatkan kinerjanya sekaligus juga turut berkompetisi secara sehat agar bisa pula terpilih menjadi kepala sekolah.
Kelima, dengan adanya periodesasi jabatan kepala sekolah juga bisa menghindari “kesewenangan” kepala daerah dalam mengangkat, memberhentikan, atau memutasi kepala sekolah. Selain itu, juga bisa menghindari masuknya kepentingan politik ke dalam dunia pendidikan.
Mutasi kepala sekolah bukan lagi hanya karena keinginan dan kepentingan politik kepala daerah, atau bukan pula karena tinggi rendahnya “IP” atau “ilmu Pendekatan kepala sekolah, tapi justru benar-benar karena didasari oleh prestasi kerja kepala sekolah.
Menyikapi Kepala Sekolah Dimutasi Jadi Guru Biasa
Memutasi kepala sekolah menjadi guru kita disikapi secara wajar karena dasarnya sudah jelas yaitu Permen Nomor 28 tahun 2010. Yang perlu kita cermati pada pengangkatan Kepala Sekolah baru dalam jumlah besar berdasarkan hasil evaluasi dan ternyata masih ada yang tidak sesuai kriteria. Sebetulnya jika pemerintah daerah mengacu pada peraturan yang ada, hasilnya bisa lebih objektif dan diterima semua orang.” Dalam Permendiknas No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah, sudah jelas aturannya.”Pengangkatan kepala sekolah/madrasah dilakukan melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan pengangkatan kepala sekolah/madrasah. (Pasal 9 Ayat 1).Tim pertimbangan melibatkan unsur pengawas sekolah/madrasah dan dewan pendidikan. (Pasal 9 Ayat 3). Nah apakah hal ini sudah dilakukan oleh para kepala daerah.
Pengangkatan Kepala Sekolah juga harus dipertimbangkan dengan asas profesionalitas dengan persyaratan ketat. Manajemen Berbasis Sekolah perlu dilanjutkan akan tetapi akan lebih baik jika kepala sekolah bukan kepanjangan birokrasi pendidikan, sekolah harus dihentikan sebagai mesin ATM birokrasi.
Ada anggapan jabatan Kepala Sekolah adalah suatu jabatan yang prestisius, sehingga perlu dipertahankan dengan segala cara. Karakter ini harus sudah dikubur habis-habis karena tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan azas demokrasi mental seperti ini sisa-sisa karakter peodal warisan penjajah. Jabatan Kepsek sendiri adalah seorang guru yang diberi tugas tambahan, artinya ketika masa jabatanya selama 8 tahun itu sudah habis kepsek habis kembali menjadi tenaga pengajar. Dan jabatan kepsek digantikan oleh tenaga pengajar lainya yang dilihat dari masa kerja dan pangkat golonganya.“Umumnya kepsek yang telah habis masa jabatanya enggan kembali menjadi guru seperti semula, mungkin karena gengsi sehingga dia memaksakan tetap bertahan menjadi Kepsek hingga pensiun,” kata salah seorang tenaga pengajar yang namanya enggan disebutkan. Hanya saja, kepsek yang saat dilakukan uji kinerja memiliki prestasi istimewa, termasuk prestasi tingkat kabupten, provinsi dan nasional dapat diangkat kembali menjadi kepala sekolah namun ditempatkan pada sekolah yang kualitasnya lebih rendah. Selain itu kepsek yang kembali menjadi jadi guru masih memiliki kesempatan untuk diangkat kembali setelah satu kali periode.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar