GEOGRAFI
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Ilmu Geografi
“Geografi” berasal dari bahasa Yunani, asal kata ”geo” berarti ”bumi” dan
”graphein” yang berarti ”lukisan” atau ”tulisan. Menurut pengertian yang
dikemukakan Eratosthenes, ”geographika” berarti ”tulisan tentang bumi”
(Sumaatmadja, 1988: 31). Pengertian ”bumi” dalam geografi tersebut, tidak hanya
berkenaan dengan fisik alamiah bumi saja, melainkan juga meliputi segala gejala
dan prosesnya, baik itu gejala dan proses alamnya, maupun gejala dan proses
kehidupannya. Oleh karena itu dalam hal gejala dan proses kehidupan, di
dalamnya termasuk kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia sebagai
penghuni bumi tersebut. Jadi, kalau begitu apa pengertian geografi yang lebih
lengkap? Ternyata dari beberapa ahli geografi, dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Menurut Richoffen (Hartshorne, 1960: 173) bahwa “Geography is the
study of the eart surface according to its differences, or the study of different
areas of the earth surface…, in term of total characteristics”. Bagi Richoffen
bahwa bidang kajian geografi tidak hanya mengumpulkan bahan-bahan yang
kemudian disusun secara sistematik, tetapi harus dilakukan penghubungan bahanbahan tersebut untuk dikaji sebab akibatnya dari fenomena-fenomena di
permukaan bumi yang memberikan sifat individualitas sesuatu wilayah. Sebab
ruang lingkup geografi tidak sekedar fisik, melainkan juga termasuk gejala
manusia dan lingkungan lainnya. Begitu juga menurut Vidal de la Blache (1845-
1919) dari Prancis yang dikenal sebagai “Bapak Geografi Sosial Modern”,
mengemukakan bahwa “geography is the science of places, concerned with
qualities and potentialities of contries”(Hartshorne, 1960: 13). Kemudian Karl
Ritter misalnya menyatakan bahwa “geography to study the earth as the
dwelling-place of man”. Dalam pengertian “the dwelling-place of man” tersebut
bahwa bumi tidak hanya terbatas kepada bagian permukaan bumi yang dihuni
manusia saja, melainkan juga wilayah-wilayah yang tidak dihuni manusia sejauh
wilayah itu penting artinya bagi kehidupan manusia. Dengan demikian wilayah
studi geografi meliputi semua fenomena yang terdapat di permukaan bumi, baik
alam organiknya maupun alam anorganiknya dalam interelasi dan interaksinya
dalam ruang (spatial relationship), di mana semuanya itu dikaji. Oleh karena itu
menurut Richard Hartshorne (1960: 47): “geography is that discipline that seeks
to describe and interpret the variable character from place to place of earth as
the world of man”. Mengingat ilmu geografi tersebut sangat luas dapat
dianalogikan sebagai perpaduan dari berbagai disiplin ilmu (murni, terapan,
eksak, non eksak), alam, sosial), maka geografi sering disebut sebagai “ibu” atau
“induk” ilmu pengetahua. Seperti halnya dikemukakan oleh Preston E. James 2
(1959: 11): “Geography has sometimes been called the mother of sciences, since
many fields of learning that started with observations of the actual face of earth
turned to the study of specific processes whereever they might be located”
Sudah barang tentu pernyataan itu didasarkan atas alasan yang kuat
ataupun bukan didasarkan alasan yang dibuat-buat. Sebab bidang geografi yang
luas tersebut mencakup beberapa aspek-aspek alamiah yang sifatnya eksak,
kemudian bidang-bidang sosial yang non-eksak. Selain itu alasan James
memberikan sebutan sebagai “induk ilmu pengetahuan” kepada Geografi, bukan
hanya didasarkan atas relita bahwa observasi dan pengkajian ilmu pengetahuan
lain diambil dari bagian-bagaian di permukaan bumi, melainkan didasarkan
bahwa perkembangan geografi ini telah begitu tua, sejalan dengan pemikiran
filosofis tentang terjadinya alam semesta dengan kehidupannya, mulai dari zaman
Herodotus pada tahun 480-430 sebelum masehi.
Intrelasi dan integrasi keruangan gejala di permukaan bumi dari suatu
wilayah ke wilayah lain selalu menunjukkan perbedaan. Hal ini dapat kita kaji
sendiri bahwa ciri-ciri umum suatu wilayah dapat membedakan diri dari wilayah
lainnya. Ciri umum yang merupakan hasil interelasi, interaksi dan integrasi
unsur-unsur wilayah yang bersangkutan, merupakan obyek studi gegrafi yang
komprehensif (Sumaatmadja, 1988: 33). Dengan demikian ruang lingkup disiplin
geografi memang sangat luas dan mendasar, seperti yang dikatakan Murphey
(1966: 5), mencakup “aspek alamiah” dan “aspek insaniah”, yang kemudian
aspek-aspek tersebut dituangkan dalam suatu ruang berdasarkan prinsip-prinsip
penyebaran, dan kronologinya. Selanjutnya prinsip relasi ini diterapkan untuk
menganalisa hubungan antara masyarakat manusia dengan alam lingkungannya,
yang dapat mengungkapkan perbedaan arealnya serta persebaran dalam ruang.
Akhirnya prinsip relasi, penyebaran, dan kronologinya pada kajian geografi ini
dapat mengungkapkan karakteristik suatu wilayah yang berbeda dengan wilayah
lainnya. Dengan demikian terungkaplah adanya region-region yang berbeda antara
region satu dengan lainnya.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa cakupan dan peranan
geografi itu setidaknya memiliki empat hal, seperti yang dikemukakan dari hasil
penelitian UNESCO (1965: 12-35), maupun Lounsbury (1975: 1-6), sebagai
berikut:
Pertama, geografi sebagai suatu sintesis. Artinya pembahasan geografi itu
pada hakikatnya dapat menjawab substansi pertanyaan-pertanyaan tentang; “what,
where, when, why, dan how”. Proses studi semacam itu pada hakikatnya adalah
suatu sintesis, karena yang menjadi pokok penelaahan mencakup: apanya yang
akan ditelaah, di mana adanya, mengapa demikian, bilamana terjadinya, serta
bagaimana melaksanakannya ?
Kedua, geografi sebagai suatu penelaahan gejala dan relasi keruangan.
Dalam hal ini geografi berperan sebagai pisau analisis terhadap fenomenafenomena baik alamiah maupun insaniah. Selain itu dalam geografi juga berperan
sebagai suatu kajian yang menelaah tentang relasi, interaksi, bahkan
interdependisinya satu aspek tertentu dengan lainnya .
Ketiga, geografi sebagai disiplin tataguna lahan. Di sini titik beratnya
pada aspek pemanfaatan atau pendayagunaan ruang geografi yang harus makin 3
ditingkatkan. Sebab, pertumbuhan penduduk yang begitu pesat dewasa ini,
menuntut peningkatan sarana yang menunjangnya baik menyangkut kualitas
maupun kuantitasnya. Perluasan sarana tersebut, seperti tempat pemukiman, jalan
raya, bangunan publik, tempat rekreasi, dan sebagainya, semuanya
membutuhkan perencanaan yang lebih cermat dan matang.
Keempat, geografi sebagai bidang ilmu penelitian. Hal ini dimaksudkan
agar dua hal bisa tercapai, yaitu: kesatu; meningkatkan pelaksanaan penelitian
ilmiah demi disiplin geogafi itu sendiri yang dinamis sesuai dengan kebutuhan
pengembangan ilmu yang makin pesat. Oleh karena itu dalam tataran ini perlu
dikembangkan lebih jauh tentang struktur ilmu (menyangkut fakta, konsep,
generalisasi, dan teori) dari ilmu yang bersangkutan. Kedua, meningkatkan
penelitian praktis untuk kepentingan kehidupan dalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia umumnya (Sumaatmadja, 1988: 41).
Dari tinjauan ilmuwan geografi kontemporer, bahwa geografi secara
sederhana ‘geografi’ merupakan disiplin akademik yang terutama berkenaan
dengan penguraian dan pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam
distribusi lokasi di permukaan bumi. Fokusnya adalah sifat dan saling keterkaitan
antara tiga konsep ⎯ lingkungan, tata ruang, dan tempat (Johnston, 2000: 403).
Kemudian dalam perkembangannya muncul beberapa sub-bidang yang beragam,
seperti; geografi fisik, geografi manusia (sosial), dan geografi regional. Geografi
fisik dan sosial memiliki cabang-cabang yang sistematis, bergerak dari sifat
deskriptif menuju analitis dengan pendekatan positivisme yang menekankan
pengujian hipotesis untuk merumuskan hukum-hukum dan derivasi teori kian
menonjol. Untuk kajian geografi fisik dan manusia ini akan diuaraikan pada
pembahasan selanjutnya. Sedangkan untuk geografi regional yang mempelajari
sifat-sifat khusus masing-masing kawasan ⎯ yang didefinisikan sebagai wilayah
permukaan bumi, yang dibatasi oleh kriteria tertentu ⎯ yang secara metodologis
adalah lemah.
Geografi sebagai disiplin ilmiah yang hampir selalu ada pada tiap
universitas dan lembaga pendidikan, usia ilmu ini secara formal dengan demikian
lebih dari satu abad. Sosok akademiknya untuk pertama kalinya dibentuk di
Jerman yang secara menyebar ke negara-negara lain, dan dimaksudkan
menyediakan sumber informasi yang tertata mengenai tempat-tempat, yang
merupakan hal penting dan sering digunakan oleh pemerintah kolonial ketika
terjadi konflik (Taylor, 1985). Selain itu georafi juga diperkenalkan sebagai mata
pelajaran penting dalam dunia pendidikan formal di berbagai negara, dengan
tujuan untuk meningkatkan wawasan dan pengenalan dunia serta sebagai landasan
ideologis wawasan nasional (Johnston, 2000: 403).
Dengan berkembangnya universitas sebagai lembaga pendidikan dan
penelitian, para ahli geografi berusaha mencari kerangka yang terpadu untuk
menegakkan disiplin tersebut. Berbagai definisi mengenai isi dan metode ilmu
geografi telah diusulkan untuk maksud ini. Definisi yang paling terkenal dalam
bahasa Inggris barangkali adalah yang dikemukakan oleh Harstone dalam Nature
of Geography (1939) dan Wooldridge dan East (1951) dala Spirit and Purpose of
Geography. Usulan-usulan definisi ini sebagian besar kemudian ditolak, dan
perdebatannya terus berlangsung pada tahun 1960-an dan decade seterusnya., 4
kendati gagasan dari tokoh pendiri disiplin ilmu ini ⎯ khususnya Paul Vidal de
la Blache (Buttimer, 1971) ⎯ tetap menarik perhatian dan mendapat dukungan.
Dengan berbagai alas an, yang sebagian besar berkaitan dengan posisi
mata pelajaran ini dalam system pendidikan di beberapa negara Eropa dan
Amerika khususnya, geografi menjadi disiplin ilmu yang sangat popular di
universitas di banyak negara. Hal ini terlihat dari banyaknya mahasiswa maupun
banyaknya staf pengajar yang memperdalam bidang kajian tersebut. Di dua benua
tersebut sejak tahun 1960-an telah dikembangkan suatu etos universitas modern,
yang menitikberatkan pada bidang riset sebagai dasar untuk pengajaran di tingkat
sarjana dan hasil riset dijadikan kriteria utama dalam peningkatan karir. Hal ini
telah menjadi konteks terjadinya lonjakan hasil riset yang cepat serta banyaknya
kegiatan eksperimen untuk mendalami epistemology, metodologi, serta pokok
bahasan alternatif. Dengan demikian geografi menjadi disiplin ilmu yang amat
mendasar cakupan pembahasannya dan besifat general termasuk staf pengajarnya
yang bersifat umum (Jonston, 1991).
Sebagaimana sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam geografi terdiri
atas tiga cakupan kajian yang saling mengait satu sama lain terutama mencakup;
(1) lingkungan, (2) tata ruang, (3) tempat.
1. Lingkungan:
Lingkungan ‘alamiah’ pada suatu wilayah terdiri atas permukaan lahan itu
sendiri (tidak banyak ahli geografi yang meneliti laut), hidrologi permukaan air di
wilayah itu, flora dan fauna yang tinggal di dalamnya, lapisan tanah yang
menutupi permukaan itu, dan atmosfir yang terdapat di atasnya. Semua unsur ini
terjalin dalam suatu sistem lingkungan yang kompleks ⎯ flora suatu wilayah
misalnya mempengaruhi iklim di sekitarnya dan pembentukan serta pengikisan
lapisan tanah di bawahnya (Johnston, 2000: 404). Walaupun demikian
kebanyakan ahli geografi fisik memfokuskan pada salah satu aspek saja dari
lingkungan yang kompleks tersebut. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman
mereka terhadap asal-usul dan kesinambungan perubahannya bisa dilakukan
secara detil (Gregory: 1985).
Pemokusan ini tercermin dari berbagai sub-disiplin pada geografi fisik,
yang sebagian para ahli geografi lebih suka menempatkan dirinya pada satu subdisiplin daripada geografi fisik secara umum. Dalam hal ini, hampir semua
subdivisi berkaitan dengan dengan ilmu-ilmu lain, dan sementara ahli geografi
fisik mengklaim bahwa lebih memiliki ketertarikan dengan dengan disiplin luar
daripada disiplin mereka sendiri (Johnston, 1991).
Beberapa sub-disiplin itu yang terbesar adalah geomorfologi, yakni studi
tentang bentuk permukaan tanah dalam berbagai skala ruang dan proses
pembentukannya.. Tidak sedikit para ahli geomorfologi menaruh perhatian khusus
pada fungsi air sebagai salah satu pembentuk permukaan tanah, sehingga
lemudian menjalin hubungan erat dengan hidrologi. Sementara yang lain yang
berminat pada pertanahan berhubungan erat dengan pedologi. Di samping itu
pengelompokkan yang lebih kecil lagi adalah klimatologi ⎯ yang berhubungan
dengan meteorologi, dan biogeografi, yang lebih berfokus pada tumbuh-tumbuhan 5
daripada binatang dan dengan demikian lebih banyak kerjasama dengan para ahli
ekologi dan botani daripada ahli zoologi (Johnston, 2000: 404).
Kini, umumnya hampir semua ahli geografi bekerja dalam salah satu
subdisiplin geografi, namun semakin diakui pula bahwa sangat perlu untuk
mempelajari saling keterkaitan antara berbagai sumber kompleksitas lingkungan
tersebut. Paling tidak mereka beranggapan bahwa unsur-unsur lingkungan tersebut
saling berpengaruh satu sama lain, seperti yang kita pahami sekarang ini bahwa
tentang cepatnya perubahan-perubahan lingkungan yang sedemikian rupa.
Bagaimana tidak, karena kehadiranran manusia selalu mempengaruhi keadaan
bumi, tanah, bahkan atmosfir, apa lagi ketika manusia melakukan proses
geomorfologi, hidrologi, biologi, maupun atmosfir, maka dampak-dampak
terhadap kemampuan lingkungan jangka pendek dan panjang sangat dirasakan,
dan hal ini membutuhkan suatu riset yang multidisipiner serta terkordinasi
(Turnet, 1990).
Walaupun kajian mengenai lingkungan fisik hampir didominasi menjadi
lahan bagi ahli geografi fisik, namun belakangan ini ahli geografi manusia juga
mulai menunjukkan perhatian pada lansekap fisik, terutama yang berminat
menganalisis fungsi lansekap atau tata ruang sebagai bagian dari kehidupan
manusia. Bagi sebagian para ahli geografi manusia, penafsiran terhadap
kedudukan lansekap fisik, adalah pusat dari tuntutan kehidupan manusia, dan
konsepsi-konsepsi popular mengenai bagaimana ‘bumi bekerja ’⎯ misalnya
siklus hidrologis ⎯ adalah sumber penting bagi pemahaman geografis. Begitu
juga bagi ahli lainnya, konsep alam itu juga merupakan konstruksi sosial. Oleh
karena itu interpretasi-interpretasi terhadap dunia fisik merupakan bagian dari
superstruktur ideologis manusia yang terintegrasi.
2. Tata Ruang.
Sepintas secara implisit telah dikemukakan bahwa, jika para ahli geografi
fisik lebih memfokuskan pada lingkungan ’alamiah’, maka untuk geografi
manusia lebih memfokuskan pada penempatan dan penggunaan lahan oleh
manusia, dan inilah yag dikategorikan tata ruang. Dengan demikian tata ruang
merupakan fokus kajian bagi para ahli georafi manusia, hal ini bukan semata-mata
karena penggunaan lahan oleh manusia telah sekian dekade menjadi topik yang
penuh perhatian, tetapi juga esensi dalam berbagai skala (antara perkotaan dan
pedesaan) terdapat hubungan yang erat selain dengan lingkungan fisiknya juga
sosialnya.
Sejak tahun 1950-an studi geografi sebagai pengaruh gerakan di
Skandinavia yang dilakukan oleh ahli ekonomi dan sosiologi telah mendorong
lahirnya perspektif lain dalam geografi manusia yang berfokus pada cara
pengorganisasian ruang dalam aktivitas manusia di permukaan bumi ini.
Tujuannya untuk menata ulang sisi ilmiah pada disiplin ini untuk mempelajari
hukum-hukum yang mengatur perilaku keruangan secara individual maupun polapola keruangan dalam penyebaran artefak-artefaknya (Johnston; 2000: :405).
Seperti kita hui bahwa pada mulanya, jarak adalah sebuah rintangan bagi manusia,
karena perlu pengorbanan uang, waktu, dan energi khususnya untuk
memindahkan barang-barang ketempat lain. Guna efisiensi tersebut, manusia 6
berupaya meminimalkan jarak, mengorganisasikan pemakaian ruang dan
sebagainya. Dengan demikian geografi manusia tampil sebagai ‘ilmu mengenai
jarak’, di mana jarak adalah konsep kunci yang membedakannya dengan ilmuilmu sosial lain; konsep-konsep ruang ditampilkan sebagai landasan teretis dari
disiplin ilmu ini (Johnston, 1991).
Di sini kita berhadapan dengan pembahasan berbagai upaya yang
dilakukan untuk mengkodifikasikan pendekatan ini ke dalam geografi manusia
sejak tahun 1960-an dan 1970-an sebagai bagian integral yang tak
terpisahkan.Tercatat sebagai upaya yang paling sukses dan banyak dikutip
tersebut yakni karya Haggett baik melaui tulisannya dalam Locational Analysis in
Human Geography (1965) maupun dalam judul yang sama namun telah direvisi
dan karya bersama dengan geographer lainnya Cliff dan Frey, dalam Locational
Analysis in Human Geography (1978), yang membagi pokok-pokok bahasan
disiplin geografi manusia ini menjadi: pola-pola titik ⎯ seperti bagunanbangunan peternakan di daerah peratian; pola-pola garis ⎯ khususnya jaringan
transportasi; pola-pola pergerakkan ⎯ seperti aliran di antara berbagai jaringan,
orang, barang, dan informasi; variasi bentuk permukaan dalam suatu fenomena
yang berkesinambungan ⎯ misanya peta kepadatan penduduk dan peta harga
tanah di suatu daerah perkotaan; penyebaran dalan tata ruang ⎯ seperti
penyebaran penyakit dalam suatu jaringan, pelintasan permukaan wilayah.
Bahkan hal ini dapat juga untuk teritori, pembagian suatu rung untuk menjadi
beberapa ruang kecil lainny ⎯ seperti negara, ghetto, maupun perkantoran.
Tetapi ada juga yang berusaha mencari konsep-konsep dasar dalam disiplin
keruangan ini khususnya bagi Nystuen (1963) dasar-dasar itu adalah konsep
tentang arah, jarak, hubungan satu sama lain, dan mungkin juga mengenai batasbatasnya.
Perlu diketahui bahwa sebelum tahun 1960-an, geografi manusia memiliki
beberapa sub-bidang penting ⎯ seperti geografi sejarah. Namun sampai titik
tertentu pembagiannya dilakukan berdasarkan wilayah dan bukan pokok bahasan
⎯ artinya ilmu ini dibagi berdasarkan minat praktisi dan belahan dunia tertentu.
Hal ini berubah cepat, dan pembagian sektoral menjadi praktik yang lazim dalam
disiplin ini. Sub-sub displin menjadi saling bersinggungan dan berpotongan.
Menurut Johnston (2000: 406), terdapat empat sub-disiplin yang saling
bersinggungan dan berpotongan, yang mencerminkan hubungannya dengannya
dengan ilmu sosial lain, yakni: (1) geografi ekonomi yang bersinggungan dan
berpotongan dengan ilmu ekonomi; (2) geografi sosial yang bersinggungan dan
berpotongan dengan sosiologi; (3) geografi politik yang
bersinggungan/berpotongan dengan ilmu politik; (4) dan geografi kultural yang
bersinggungan dan berpotongan dengan antropologi budaya. Dari empat subdisiplin tersebut yang pertama dan kedua tersebut yang paling dominan, yang
lainnya lamban. Kecuali di Amerika Serikat jalinan geoografi antropologi juga
kuat. Di samping itu juga terdapat sub-divisi kedua berdasarkan pembagian
geografi perkotaan dengan pedesaan (di mana geografi pedesaan juga berbeda
dengan georafi agrikultural). Geografi perkotaan memiliki sub-divisi lainnya,
seperti; geografi sosial perkotaan yang mempelajari segregasi pemukiman kotakota, terpisah dari kajian ekonomi daerah urban. Pada tahun 1970-an. 7
Sekali lagi sasarannya adalh hukum-hukum keruangan yang berkaitan
ativitas-aktitas sosial linnya yang didasarkan pada evaluasi kuantitatif atas
hipotesis-hipotesis yang diajukan.Di sini baik geografi fisik maupun manusia
menggeser analisis berlandasakan pola kartografi menjadi pola statistik dan
mengembangkan model matematiknya. Disiplin tersebut berkembang sangat kuat
sejak tahun 1970-an hingga sekarang, termasuk sebagai pendekatan ekonomi
politik, pendekatan struktural, dan pendekatan realis terhadap ketidak seimbangan
pembangunan yang melahirkan sejumlah ketimpangan-ketimpangan ekonomi
serta pergeseran budaya menjadi perlu dikaji kembali dalam pengertian
pembanguna perlu diredefinisi dan direvitalisasi.
3. Tempat
Di atas telah dikemukakan bahwa geografi muncul sebagai disiplin
akademis tentang tempat-tempat; di dalamnya terdapat kegiatan mengidentikasi
interelasi, membanding-bandingkan, serta menampilkan informasi mengenai
berbagai bagian dunia. Setelah berkembang lebih jauh, para praktisi memandang
perlu untuk lebih mempercanggih metodologi kerja daripada mengumpulkan
informasi, memetakan dan membuat katalog: mereka menginginkan kerangka
intelektual yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan pengetahuan di
samping menyusun informasi. Pada tahun 1930-an determinisme lingkungan
contohnya digantikan oleh georafi regional, di mana landasannya adalah sifatsifat khusus masing-masing region/kawasan yang dibatasi oleh criteria-kriteria
tertentu, bisaanya dalam skala benua atau sub-benua yang memiliki persamaanpersamaan khusus (Johnston, 2000: 407).
Ternyata gegrafi regional secara metodologis lemah, misalnya dalam
mendefinisikan kriteria, cara-cara menentukan batas-batas regional, dan protokolprotokol deskripsinya. Sebagian besar kelemahan ini disebabkan masih
melekatnya pengaruh faktor paradigma ‘determinisme lingkungan’, di mana
argumen dasarnya adalah bahwa karakteristik fisik permukaan bumi menentukan
bagaimana manusia menempati dan melakukan aktitasnya. Argumen tersebut
ditentang habis pada tahun 1930-an, dan digantikan oleh geografi regional, yang
landasannya bahwa sifat-sifat khusus masing-masing kawasan (yang didefinisikan
sebagai permukaan bumi, yang dibatasi oleh kriteria-kriteria tertentu). Dengan
demikian tiap ahli geografi menjadi ahli geografi regional untuk wlaah tertentu,
yang biasanya berskala benua atau sub-benua
Padahal dalam geografi regional lemah secara metodologis, misalnya
dalam mendefinisikan kriteria, cara-cara menentukan batas-batas regioanl, serta
protokol-protokol deskriptifnya. Sebagian besar dipengaruhi oleh paradigma
determinisme lingkungan. Hampir semua ahli geografi regional berangkat dari
deskripsi-deskripsi lingkungan fisik kewilayahan ⎯ sebagai konteks bahkan
sebagai determinan ⎯ terhadap pola-pola kehidupan manusia. Namun tidak
sedikit bagi sebagian orang, yang berasumsi bahwa geografi regional adalah seni
dalam bentuk lanjut yang tujuannya mendeskrisikan variasi-variasi secara akurat
dan sifat-sifat wilayah tersebut. Kemudian pendekatan ini juga semakin ditentang
pada tahun 1960-an, terutama oleh para ahli geografi yang teriakat pada
paradigma ilmu keruangan, yakni ’geografi sebagai disiplin tentang jarak’. 8
Pendekatan geografi regional dituduh sebagai sekedar metode pengumpul dan
penyusun fakta dengan framewark-nya yang kurang jelas, tidak ilmiah, serta
kurang memenuhi kriteria sebagai sebuah disiplin ilmu. Akibatnya pendekatan
tersebut menjadi goyah dan banyak ahli geografi pindah ke lain pendekatan
dengan meninggalkan geografi regional (Johnston, 2000: 407).
Dampak yang paling dirasakan terhadap studi ‘tempat’ atau ‘lokasi’ telah
banyak berkurang dari geografi, walaupun pada tahun 1970-telah bangkit kembali
kendati dalam bentuk lain. Terutama dalam bentuk ahli geografi sejarah dan
kultural yang mencoba mempelajari hukum-hukum pola perilaku manusia.
Menurut mereka hukum-hukum tersebut mengatasi kehendak individu dan dengan
demikian dapat mengalahkan individualitas, kebudayaan dan pengambilan
keputusan (Gregory, 1978; Ley dan Samuel, 1978). Beberapa kecaman yang
serupa dialamatkan terhadap beberapa karya geograper Marxis tentang
pembangunan yang tidak seimbang, yang mengisyaratkan bahwa proses
kapitalisme merupakan determinan struktural yang amat membatasi kebebasan
individu untuk beraktivitas.Tidak ada pendekatan geografi regional, baik itu ilmu
keruangan maupun strukturalisme Marxis (yang berkaitan berkaitan dengan
persepsi ahli geografi tentang dunia empiris yang mengandung banyak sekali
variasi budaya, sosial, politik. Dan, tentu saja tidak dapat dipukul rata begitu saja
menjadi diterminan ekonomi. Johnston, 2000: 408).
Timbul pandangan alternatif, yang kemudian dikaitkan munculnya nuansa
kultural dalam ilmu-ilmu sosial pada tahun 1980-an yang memiliki hubungan
dengan sejumlah perkembangan pemikiran baru. Sebagai contoh, meningkatnya
gerakan feminisme tidak saja menunjukkann betapa peran wanita telah
dimarjinalkan oleh pria pada hampir di semua masyarakat, namu juga
menunjukkan bahwa berbagai kelompok dalam masyarakat sesungguhnya
memiliki sudut pandang yang berbeda (Rose, 1992). Tidak satupun pandanagan
bisa dominan, kendati bisa saja salah satu pandangan itu memberi pengaruh
akademik atau warna diskursus lainnya (Gregory, 1994). Oleh karena itu dalam
kajian akademis geografi buka persamaan yang dijadikan fokus kajiannya, namun
perbedaan.
Dalam hal ini, tempat merupakan pusat bagi geografi karena peranannya
sebagai faktor pembatas dalam perkembangan manusia , serta mengingat
pentingnya tempat sebagai konstruksi dunia (Johnston, 2000: 408). Sebab
mengenal siapa dirinya dan orang lain, juga didasarkan pada tempat. Mereka
mengembangkan identitas fisi dan sosial-budaya juga dipengaruhi tempat.Tempat
merupakan lingkungan pergaulan, diciptakan oleh manusia dalam konteks
peresepsi merekamengenai alam dan sosialnya. Sebagai unsur penting dari tempat,
identitas bersifat menentang dari apa yang bukan bagiannya. Dengan demikian
salah satu dari bagian definisi mengenai sifat-sifat tempat, adalah perbedaanperbedaannya.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa geografi secara
makro dapat dikelompokkan dalam dua sub-disiplin yakni georafi fisik, dan
geografi manusia yang sebagian para ahli menyebutnya sebagai geografi sosial.
Dalam kajian tulisan ini lebih memfokuskan kepada kajian geografi manusia atau
sosial 9
Geografi sosial adalah sebuah sub-disiplin geografi yang subyeknya
mengaitkan ilmu-ilmu sosial dan alamiah, serta meliputi topik-topok mulai dari
tektonik sampai psikoanalisis (Smith, 2000: 981). Beberapa penulis geografi
sosial menyertakan geografi sosial dengan keseluruhan geografi manusia, yaitu
dengan kekuatan ilmu sosial dari disiplin tersebut. Untuk pertama kalinya istilah
geografi sosial digunakan, yakni pada tahun 1884 ketika Elise Reclus mengacunya
sebagai hubungan yang rumit antara manusia (sosial) dengan alam (Dunbar,
1977). Ahli geografi yang lain mendefinisikan bidang ini secara lebih sempit,
mengikuti pandangan Fitzgerald dalam (1946), bahwa sebuah kepentingan dalam
sosial pada hakikatnya dapat dikejar dalam pengertiannya sendiri, sebagai sebuah
wilayah yang berbeda dari kajian-kajian aspek kehidupan politik dan ekonomi.
Namun kebanyakan para analis geografi melihat bahwa wilayah geografi sosial
berada di antara dua kubu yang ekstrem tersebut (Smith, 2000: 981).
Terdapat dua pendekatan dalam kajian geografi manusia/sosial. Pertama,
pendekatan yang menekankan struktur dari hubungan sosial sehingga bidang ini
layak sebagai ilmu sosial. Sebagai contoh Jones dalam bukunya Reading in
Social Geography (1985: 3) melihat geografi ssosial berhubungan dengan ”upaya
mendeskripsikan dan menerangkan unsur-unsur spasial dari masyarakat dalam
hal struktur dari masyarakat tersebut”. Sedangkan Jacson dan Smith dalam
bukunya Exploring Social Geography (1984 vii) menganggapnya bahwa geografi
sosial sebagai ’kajian bagaimana kehidupan sosial terbentuk secara geografis
melalui struktur-struktur spasial dari hubungan sosial”. Dengan orientasi tersebut
maka geografi sosial memiliki peran penting dalam apa yang dinamakan Elyes
(1986) sebagai rekonstitusi georafi manusia sebagai ilmu sosial.
Pendekatan kedua, dari rekonstitusi ini tertuju pada pencarian relevansi di
akhir periode progresivisme. Menjelang akhir tahun 1960-an, nampak bahwa
permasalahan soail di dunia semakin memburuk, selain itu ketimpangan sosial
mengalami eskalasi. Sejak tahun 1970-an terdapat dua teks utama yang membantu
para hli geografi sosial mengembangkan sebuah peran kritis dan konstruktif dalam
tatanan masyarakat yang tidak adil. Pertama, Karya David Harvey dalam bukunya
Social Justice and the City (1973) ia membawa pesan politis yang kuat serta
menghancurkan ilmu sosial yang ”bebas nilai” agar ilmu sosial mampu membawa
perubahan sosial yang radikal. Kedua, adalah buku teks David Smith Human
dalam Geography: A Welfare Approach (1977) yang menstimuli perkembangan
dari geografi sosial yang berorientasi kepada kesejahteraan dan relevan dengan
kebijaksanaan. Karya tersebut telah melandasi pendekatan berbasis permasalahan
geografi sosial yang terangkum dalam koleksi yang diedit oleh Pacione (1987)
serta dikembangkan Cater dan Jones (1989). Dalam pendekatan tersebut
mengkonseptualisasikan geografi sosial sebagai suatu inkuiri terhadap alokasi
sumberdaya, dan telah membujuk para ahli geografi untuk untuk mengkaji
ketimpangan spasial dalam bidang; perumahan, kesempatan kerja, kesehatan,
pendidikan dan sebagainya.
Adapun cabang-cabang dari Geografi Manusia (Human Geography)
mencakup; (1) geografi ekonomi (economic geography), (2) geografi politik
(political georgaphy), (3) geografi budaya (cultural geography), (4) geografi 10
sejarah (historical geography), (5) geografi perkotaan (urban geography), dan
sebagainya
Dalam kajian georafi ekonomi menguraikan tentang produksi, distribusi,
pertukaran/perdagangan, serta konsumsi atas berbagai barang dan jasa yang
dilakukan pada tempat-tempat yang saling berjauhan. Geografi ekonomi mulai
diakui sebagai bidang studi tersendiri pada khir abad ke-19, dan kebangkitannya
bertolak dari kolonialisme Eropa (Barnes, 2000: 267). Pertama, para perintisnya
dimulai dengan penyususnan daftar kekayaan sumberdaya global yang bisa
diperdagangkan, dan kondisi-kondisi produksinya (Chisholm, 1889), kedua,
mereka mencari justifikasi-justifikasi intelektual atas ketimpangan ekonomi antara
penjajah dan yang dijajah. Dengan demikian mereka mendasarkan diri pula pada
environmental determinism (Huntington, 1915).
Perubahan terjadi sejak tahun 1920-an, di mana geografi ekonomi mulai
berorientasi ke dalam satu perekonomian (negara dan menerapkan pendekatan
regional) untuk mencari penjelasan atas keragaman kondisi ekonomi dari satu
daerah ke daerah lain dalam negara yang sama. Beberapa hal yang sering
dibandingkan tingkat penyerapan sumber daya yang dipilih ke sejumlah kategori
adalah; produksi, transportasi, pasar, dan sebagainya. Hasil-hasilnya dibandingkan
tanpa mengganggu keunikan dan perbedaan yang ditunjukkan oleh setiap daerah.
Kemudian pada dekade 1950-an, georafi ekonomi mulai menerapkan metode
kuantitatif dan berbagai pendekatan revolusioner lainnya termasuk aneka
perangkat statistika, sehingga mentransformasikan bidang ini menjadi sebuah
ilmu spasial. Selanjutnya bidang ini banyak mengadopsi berbagai teori dasn
model, yang terutama dari empat sumber utama (Barnes, 2000: 266).
Sumber pertama, adalah ekonomi neo-klasik yang menyumbangkan
model-model umum kompetisi dan perilaku rasional. Kedua, adalah fisika yang
memasok dasar-dasar analisis gravitasi dan model entropi yang mengilhami
analisis tentang pola interaksi spasisal. Ketiga, adalah model-model lokasional
Jerman, yang sebenarnya hampir terabaikan oleh teori lokasi pertanian von
Thunen, teori lokasi industri Weber, serta teori tempat sentral Loesch dan
Cristaller. Sedangkan keempat adalah geometri, yang menyajikan berbagai
aksioma, hitungan baku dan teorema yang melandasi hukum-hukum morfologi
spasial (Bunge, 1962) Para ahli geografi ekonomi yang berpijak pada ilmu tata
ruang atau spasial itu percaya bahwa karakteristik khas suatu daerah selalu
menentukan corak perekonomiannya, dan mereka mencoba membuktikan hal itu
secara ilmiah.
Namun bukan berarti tanpa kelemahan kajian ini. Pada tahun 1970-an
geografi ekonomi mulai dihujani banyak kritik, karena memiliki kelemahan pada
asumsinya yang terletak bahwa unsur spasial terpisah dari unsur sosial. Menurut
Harvey yang menulis buku Limits to Capital (1982), seorang ahli geografi
beraliran Marxis, bahwa unsur spasial hanya dapat dipahami melalui
sosialisasinya lewat mode produksi dominan, yaitu mode kapitalis. Selain itu ia
menambahkan, jika para ahli geografi ekonomi hendak memahami perubahan
lansekap ekonomi kapitalis, mereka harus mengetahui ketegangan-ketegangan
non-spasial yang terkandung dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Baginya hal itu
hanya mungkin dengan analisis Marx tentang ”penyusutan spasial oleh waktu”. Di 11
sini jasa Harvey secara brilyan telah mengupayakan rekonstruksi geografi
akumulasi kapitalisme.
Walaupun pemikiran Harvey telah mengubah paradigma geografi
ekononomi secara domian, namun tetap saja geografi ekonomi yang baru-pun
mendapat kritik, yang meliputi; (1) kritik terhadap ”perlunya unsur spasial yang
harus disososialisasikan” dikritik oleh Doreen Massey dalam Spatial Divisions of
Labour: Social Structures and the Geography of Production (1984); (2) adanya
gugatan hasil perumusan Harvey serta perlunya memahami kemunculan industri
berteknologi tinggi, hal ini dikritik oleh Michel Storper dan Allen Scot dalam
bukunya Pathway to Industrialization and Regional Development (1992); (3)
kritik juga datang dari kelompok feminis di mana Harvey mengabaikan unsur
feminis maupun etnik, dikemukakan oleh MacDowell dalam tulisannya ”Life
without father Ford: the new gender order of post-Fordism”(1991)
Berbeda dengan geografi politik, yang menekankan bahwa teritorial
ditafsirkan sebagai hubungan mendasar antara kedaulatan negara dengan tanah air
nasional yang terletak di jantung legitimasi dan praktik negara modern. Di mana
hasilnya adalah analisis-analisis atas wilyah, kekuasaan dengan ruang yang
terfokus yang berpusat pada negara (Taylor, 2000: 783).
Dalam sejarahnya, sejak awal terjadinya geografi politik sebagai suatu
bangunan pengetahuan yang koheren pada akhir abad ke-19, sub-disiplin ini telah
mengalami empat fase perkembangan utama, yakni (1) lingkungan, (2)
fungsional, (3) analisis wilayah, dan (4) pluralistik (Taylor, 2000: 784-784).
Pertama, geografi politik lingkungan: Diawali dengan karya Friederich
Ratzel dalam bukunya Pitsche Geographie (1897) di mana gagasannya tentang
determinisme lingkungan diterapkan terhadap kajian negara. Kemudian pada
tahun 1904 Halford Mackinder menyuguhkan teori ”daerah poros”(pivot area),
yang belakangan dinamakan kembali teori ”heartland”. Titik kulminasi dari
geografi lingkungan ini muncul dalam kajian politik dan landasan serta pijakan
Derwent Whittlesey yang subtil dalam THE Earth and the State, titik nadirnya
adalah geopolitik-nya Jerman terhadap perluasan wilayah Third Reich. Bentuk
Geografi politik ini mundur ketika para ahli Geografi pada umumnya mencoba
menggabungkan kajian-kajianya dengan perkembangan-perkembangan dalam
ilmu-ilmu sosial. Ternyata kekurangan geografi politik lingkungan ada pada
teorinya yang kurang memadai, di mana ide-idenya hanya bertahan di luar
geografi, ketika para ahli ilmu politik mengacu kepada pengaruh-pengaruh
geografi lingkungan sebagai faktor geografis atau ketika gagasan-gagasan
geografi simplistik digunakan untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan yang
menyokokng Perang Dingin yang agresif (Knox, 2000: 783).
Kedua, geografi politik fungsionnal. Ini terjadi ketika pasca Perang Dunia
II. Dalam masa ini Richard Harstone (1950) yang menempatkan negara dipandang
dalam posisi kesimbangan antara sentrifugal dan sentrifetal. Ketiga, analisis
ruang dalam dalam geografi politik: Dalam fase ini dimulai dengan adanya
kajian-kajian kuantitatif, namun dalam geografi memiliki pengaruh sedikit
khususnya dalam geografi politik. Justru pengaruh kuantifikasi ini terletak pada
kajian-kajian politik pinggiran, karena sebagian besar tidak cocok untuk
dianalisis kuantitatif dalam geografi. Pengaruh sekundernya adalah untuk 12
mengorientasikan ulang geografi politik menuju wilayah-wilayah di mana banyak
sekali data-data untuk dianalisis. Keempat, geografi politik pluralistik. Pada masa
ini geografi politik dituntut untuk bisa juga kajian-kajian tentang kekuasaan yang
sering diabaikan masa sebelumnya. Perbaikan dalam penyimpangan ini telah
membawa hasil yang banyak. Di antaranya tentang keragaman kontemporer
geografi politik Sumbangan Marxis contohnya telah menafsirkan politik negara
dalam aliansi-aliansi kelas berbaris pada ruang. Dari perspektif kultural bangsabangsa dan nasionalisme, telah dikaji dalam hal keterkaitan khusus kepada tempat
(Taylor, 2000: 784).
Berbeda dengan geografi urban (geografi perkotaan), berkaitan dengan
sifat-sifat tata raung kota kecil dan besar, dan berbagai cara yang
mempengaruhi/dipengaruhi oleh proses proses fisik, demografi, ekonomi, sosial,
budaya dan politik (Knox, 2000: 1112-1114). Sebvagaimana aspek-aspek lain
dalam geografi manusia, geografi perkotaan berkaitan dengan variabilitas lokal
dalam suatu konteks umum (Johnston, 1984). Artinya, geografi jenis ini terkait
dengan dengan pemahaman terhadap berbagai keistimewaan kota dan segala
keteraturan yang ada dalam kota dan antar kota dalam kerangka hubungan spasial
antar penghuni dan lingkungan mereka.
Beberapa pertanyaan yang sering dimunculkan dalam geografi perkotaan
ini adalah: Atribut apa saja yang membuat kota-kota besar dan wilayah sekitarnya
memiliki keistimewaan? Bagaimana identitas –identitas istimewa ini
berkembang? Adakah keteraturan-keteraturan yang signifikan dalam tata ruang
kota-kota kecil dan besar dibandingkan wilayah atau negara lain? Bagaimana cara
orang-orang menentukan pilihan tinggal di kota-kota besar, dan dakah
keterbatasan-keterbatasan dalam menentukan pilihannya tersebut? Dan
sebagainya.
Menurut Paul L. Knox (2000: 1113) untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut biasanya para ahli geografi perkotaan menggunakan berbagai
macam pendekatan. Pertama, pendekatan deskriptif langsung. Dalam hal ini para
pakar geografi memperhatikan diferensiasi wilayah dan keistimewaan tempat
secara seksama. Dengan begitu kota-kota besar dan kecil itu dianggap sebagai
mosaik lingkungan yang istimewa dan satuan-satuan morfologik, atau sebagai
bagian dari sistem-sitem kota besar, yang dklasifikasi dan diregionalisasi
berdasarkan fungsi-fungsi ekonomi atau kualitas kehidupan yang terkait dengan
kota-kota lainnya. Kedua, pendekatan analisis kuantitatif. Dengan pendekatan
yang bersifat positivis ini para ahli geografi perkotaan mengarahkan dalam
penetapan model penetaan ruang masyarakat. Ketiga, pendekatan behavioral.
Dalam pendekatan ini ditekankan pada kajian tentang kegiatan masyarakat dan
proses pengambilan keputusan. Misalnya, di mana untuk tempat pemukiman,
perindustrian, pertukaran/perdagangan, hiburan, dan sebagainya. Keempat,
pendekatan struktural. Dalam pendekatan ini menekankan kajian berbagai
kendala yang dipasksakan oleh perilaku individu baik oleh organisasi masyarakat
secara keseluruhan, maupun oleh aktivitas sejumlah kelompok dan lembagalembaga kuat yang ada di dalamnya. Kelima, pendekatan post-strukturalis, yang
berusaha memadukanb interaksi berbagai metastruktur (ekonomi, politik, budaya) 13
dengan agen kemanusiaan, dan untuk menjelaskan sistem lokal dari makna
bersama berdasarkan kerangka sosial budaya yang lebih luas.
Keempat, sejarah georafi.an 437
Kelima, geografi populasi, halaman, 803
Keenam, geoografi sosial, halaman 981
Ketujuh, sistem informasi geografi, halaman 402 (KALAU BELUM)
B. Pendekatan, Metode, dan Ilmu Bantu
1. Pendekatan
Perkembangan terakhir dalam ilmu georafi sejak geografi fisik dan
geografi manusia bergerak dari sifatnya yang deskriptif menuju analitis pada
tahun 1950-an dan 1960-an, berkembanglah faham positivisme yang menekankan
pengujian hipotesis untuk merumuskan hukum-hukum dan derivasi teori yang
menonjol. Pendekatan ini berkaitan erat dengan kuntifikasi dan keyakinan pada
keteratutran statistik merupakan bukti adanya hubungan sebab akibat empiris
seperti yang disyaratkan oleh teorinya. Walaupun pendekatan positivistik juga
benyak memiliki kelemahan, karena tidak mampu mengakomodasi kekhususankekhususan yang bersifat kontekstual (Harvey, 1989). Namun pada umumnya
banyak para ahli geografi terus mengembangkan pola pendekatan tersebut.
Pendekatan yang didasarkan pada pengukuran dalam disiplin ini
membutuhkan banyak eksperimentasi dan inovasi dalam cara-cara pengumpulan
data lapangan, baik proses-proses dalam lingkungan fisik maupun mengenai caracara individu membentuk tingkahlaku ruang mereka. Hal ini dibantu oleh
penemuan teknologi informasi sehingga pengumpulan, penyimpanan, penyajian
dan analisis data sangat membantu bagi ahli geografi yang banyak memainkan
peran sebagai pelopornya. Kemajuan ini yang pertama adalah bidang remote
sensing (penginderaan jarak jauh) yang sering diasosiasikan dengan kegiatan
menceritakan bumi dari angkasa (Curran, 1987). Kuantitas data yang berkembang
cepat, yang diperoleh dari setelit dan alat penginderaan jarak jauh lainnya,
memungkinkan para ahli geografi berada pada lini depan dalam pengembaraan
cara-cara penafsiran data yang tersedia. Teruta dengan menggunakan komputer
“bermemori raksasa” untuk menggambarkan variasi rinci dari permukaan bumi
dari waktu ke waktu. Penginderaan jarak jauh ini begitu penting, bukan hanya
menyediakan materi baru untuk menganalisis bumi, melainkan juga meninggalkan
banyak teka-teki teknis mengenai bagaimana mentransformasi dan menafsirkan
materi itu demi mencapai tujuan riset (Johnston, 2000).
Pada dasarnya hampir semua data geografis mengacu kepada dua konteks
dimensional. Secara tradisional hal itu telah ditampilkan dalam bentuk peta,
namun perkembangan sejak tahun 1970-an dalam sistem-sistem informasi
geografis (Geographical Informatin Systems atau GIS) telah meningkatkan
kemampuan menyimpan, memvisualisasi, dan menganalisisnya melalui
kemampuan melapis kumpulan-kumpulan data satu sama lain ⎯ sebagai contoh
hasil pengamatan hujuan digabungkan dengan peta-peta topografi ⎯ secara 14
substansial telah memperkokoh kemampuan untuk menyususn hipotesis yang bisa
diuji secara empiris serta kemampuan menjalankan uji-coba itu sendiri (Maguire,
1991).
Di samping pendekatan-pendekatan yang telah dijelaskan di atas, dalam
kajian geografi terdapat beberapa pendekatan yang sering digunakan.
Sumaatmadja (1988: 77-86) mengemukakan secara garis besar terdapat empat
pendekatan, yakni: (1) pendekatan keruangan atau spatial approach; pendekatan
ini dibagi-bagi lagi dalam beberapa pendekatan seperti; (a) pendekatan topik; (b)
pendekatan aktivitas manusia; (c) pendekatan regional; (2) pendekatan ekologi
atau ecological approach; (3) pendekatan histories atau pendekatan kronologi;
(4) pendekatan sistem atau system approach.
Pendekatan keruangan merupakan pendekatan yang sangat khas pada ilmu
geografi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip penyebaran, interelasi, dan
deskripsi. Adapun ragamnya yang termasuk dalam pendekatan iniseperti yang
dinyatakan sebelumnya mencakup; (a) pendekatan topik; (b) pendekatan aktivitas
manusia; (c) pendekatan regional. Dalam pendekatan topik menekankan pada
bidang atau masalah apa yang paling dominan yang menjadi pusat perhatian
dalam kajian itu. Kemudian setelah diidentifikasi topiknya selanjutnya dari topik
tersebut dicari sebab-sebabnya, bentuk dan jenisnya, penyebarannya,
intensitasnya, serta interelasinya dengan fenomena-fenomena lain secara
keseluruhan. Sedangkan untuk pendekatan aktivitas manusia, diarahkan pada
ektivitas manusia yang dilakukannya, dengan pertanyaan utama; “bagaimana
kegiatan manusia atau penduduk di suatu daerah/wilayah yang bersangkutan?”.
Seperti halnya pendekatan topik, maka dalam pendekatan aktivitas manusia ini
juga dikaji penyebarannya, interelasinya, dan deskripsinya dengan gejala-gejala
alainnya. Selanjutnya untuk pendekatan regional, dikaji karaktersitik tertentu
yang membedakan dari region-region lain dengan menekakan persamaan dalam
wilayah itu secara intern.
Pendekatan ekologi atau ecological approach merupakan pendekatan yang
berkenaan penelahan dan analisis sesuatu gejala ekologis yang diarahkan
hubungan antara manusia sebagai mahluk hidup dengan lingkungan alamnya.
Dalam pandangan ekologis tersebut suatu daerah pemukiman ditinjau sebagai
suatu bentuk ekosistem hasil interaksi penyebaran dan aktivitas manusia dengan
lingkungan alamnya. Demikian pula jika kita mengkaji daerah-daerah pertanian,
daerah perindustrian, daerah perkotaan dan lain-lainnya. Dengan demikian pula
dapat dikemukakan bahwa pendekatan ekologi merupakan pendekatan pelengkap
untuk melakukan pengkajian masalah-masalah yang sulit atau tidak dapat
dihampiri oleh pendekatan dan metode lainnya.
Untuk pendekatan historis ataupun kronologi, merupakan suatu
pendekatan yang menekankan perkembangan dinamis dari suatu kajian geografis,
berdasarkan proses kronologis dengan memahami kurun waktunya (James, 1959:
2; Jarstorne, 1960: 84)). Dengan memahami dimensi urutan waktu atau dimensi
sejarah, kita tidak hanya dapat mengkaji perkembangannya, melainkan dapat pula
melakukan prediksi proses gejala atau masalah tersebut pada masa yang akan
datang. Selain itu melalui pendekatan histories atau kronologi tersebut kita dapat
melakukan pengkajian dinamika dan perkembangan suatu gejala geografi di 15
daerah atau wilayah tertentu Untuk menyususn suatu perencanaan pembangunan
suatu aspek kehidupan yang menyangkut. Dengan mengetahui perkembangan
sejarah kehidupan tadi, secara mantap kita akan dapat menyusuan suatu
perencanaan yang serasi dan seimbang untuk kepentingan hari mendatang. Di
sinilah letak hakikat pentingnya pendekatan historis atau kronogi tersebut
(Smaatmadja, 1988: 85).
Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan sistem atau system
approach, hal ini dapat dianalogikan bahwa suatu ruang yang merupakan suatu
kebulatan, pada hakikatnya merupakan suatu sistem keruangan (spatial system).
Sistem di sini dapat diartikan sebagai tafsiran agak beragam tetapi serupa seperti:
“A system is a series of phenomena which are interconnected by a common
process” (Dickinson: 1970: 58). A system is a set of object together with
relationships between the object and between their attributes (Chadwick, 1971:
36). A system is a set of two or more interrelated element of any kind; for
example, concepts )as in the number system), objects (as in a telephone system or
human body), or people (as in a social system) (Ackoff, 1974: 13).
Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas bahwa sistem itu
memiliki pengertian konosi yang luas sekali, seperti mencakup; rangkaian gejala,
alat atau pesawat elektronik, susunan jasmaniah manusia dan lain-lain. Sedangkan
yang menjadi unsur penting dalam criteria sistem itu adalah merupakan suatu
rangkaian satu kesatuan yang berproses dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Dengan demikian pula dapat dikemukakan bahwa dalam pendekatan sistem
tersebut merupakan mode berpikir sintetik (mode berpikir yang didasarkan atas
doktrin ekspansionisme) secara teratur. Dalam kaitannya dengan ilmu geografi
pendekatan sistem tersebut dapat diartikan sebagai suatu yang metodologi yang
digunakan untuk mendekati, menelaah dan mengkaji sistem gejala geografi dan
sistem keruangan, yang dilakukan oleh para ahli gegrafi seperti Edward
Ackerman, Richard J. Chorley, D.R. Stoddart, dan Brian J.L. Berry ( Davies,
1972: 255-326).
2. Metode dan Teknik Penelitian Geografi
a. Metode Penelitian Geografi
1. Meode Deskriptif; metode ini banyak digunakan sejak ilmu geografi
lahir sebagai disiplin ilmu yang bersifat akademis. Sebagai karakteristik metode
ini adalah memberi penjelasan baik yang bersifat ‘alamiah’ maupun ‘insaniah’
dengan mengungkap karaktersitik, eksploratif, hubungan fungsional, maupun
dampaknya dari suatu fenomena maupun peristiwa. Tujuan metode ini adalah
untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian yang ada pada
masa sekarang. Dalam metode ini terbagi-bagi lagi seperti: metode survei, studi
kasus, dan studi pengembangan. Salah satu hal penting tentang metode deskriptif
ini, bahwa pada masa berkembangngnya metode deskripsi tersebut kartografi
dominan.
Metode Studi Kasus, merupakan metode penelitian baik yag digunakan
untuk karakteristik tertentu, individu maupun kelompok dengan mengungkap
kasus-kasus spesifik baik yang mencakup pengkajian relasi, dan interelasinya 16
terhadap individu lainnya secara mendalam dan biasanya dilakukan secara
longitudinal (Bailey, 1982: 486).
Metode Survei; meupakan metode penelitian dengan teknik pengumpulan
data sepeti wawancara maupun kuesioner (angket) dengan jumlah sampel besar
dan merupakan penelitian yang menggambarkan keadaan kekinian untuk
memahami opini, pendapat, maupun tanggapan publik pada umumnya (Bailey,
1982: 110).
Metode Studi Pengembangan; merupakan metode penelitian yang
digunakan untuk mengembangkan suatu penelitian secara mendalam untuk
memperoleh model baik dalam tataran teoretis yang sebelumnya sudah ada
maupun belum ada (baru). Penelitian studi pengembangan ini lazimnya banyak
di\kembangkan dalam dunia akademis pada jenjang pascasarjana untuk
memperoleh gelar doktor.
2. Metode Eksperimen dan Korelasi; hal ini mulai dirasakan sejak geografi
fisik dan manusia bergerak dari sifat-sifat deskriptif menuju analitis pada tahun
1950-an dan 1960-an, pendekatan positivisme yang menekankan treatment dan
pengujian hipotesis untuk merumuskan hukum-hukum dan derivasi teori kian
menonjol. Pendekatan tersebut berkaitan erat dengan kuantifikasi, keyakinan pada
keteraturan statistik merupakan bukti adanya hubungan sebab-akibat empiris
secara seperti yang diisyaratkan oleh teorinya. Pengukuran dan manipulasi data
menggantikan posisi penjelasan verbal dan kartografis sebagai prosedur dalam
ilmu geografi (Johnston, 2000: 408).
Metode ex post facto; metode ini untuk melihat dan mengkaji hubungan
antara dua variable atau lebih, di mana variable yang dikaji telah terjadi
sebelumnya atau tidak diberi perlakuan khusus. Ex post facto artinya sesudah
fakta, karena dalam penelitian ini peneliti tidak perlu melakukan manipulasi atau
perlakuan terhadap variable bebas. Hubungan yang dikaji bisa berbentuk
pengaruh, hubungan/korelasi, sumbangan, maupun dampak yang bisa dinyatakan
dalam ukuran-ukuran statistika seperti koefisien korelasi, determinasi, dan lainlain (Sudjana, 1991: 54).
b. Teknik Pengumpulan Data Ilmu Geografi
Sebagai teknik penelitian dalam ilmu geografi banyak digunakan seperti;
observasi lapangan, wawancara, kuesioner, studi dokumentasi, dan studi literatur.
Observasi lapangan (field observation) merupakan teknik alat
pengumpulan data dalam ilmu geografi yang berusaha melihat langsung tentang
gejala dan masalah geografis. Teknik banyak sekali digunakan untuk penelitianpenelitian geografis bahkan merupakan teknik pengumpulan data yang paling
dominan (Sumaatmadja, 1988: 105).
Wawancara atau interviu, merupakan teknik alat pengumpul data dalam
ilmu gegrafi yang dilakukan oleh peneliti (interviewer) terhadap responden
(interviewee) untuk memperoleh keterangan yang lebih jauh dari sekedar
observasi, yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung
terhadap responden secara verbal baik formal maupun informal. Maksud dari
wawancara ini, seperti yang dinyatakan Lincoln dan Guba (1985: 226) adalah
untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan, 17
motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain. Sedangkan ditinjau bentuknya,
wawancara ini meliputi (a) wawancara pembicaraan informal; (b) wawancara
menggunakan petunjuk umum wawancara; (c) wawancara baku tapi terbuka
(Patton, 1980: 197).
Kuesioner atau Angket; merupakan teknik alat pengumpul data dengan
menyebarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan baik yang bersifat terbuka maupun
tertup dan dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis jenis pertanyaannya.
Dilihat dari tujuannya hampir sama dengan wawancara yaitu untuk
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain (Fraenkel dan Wallen, 1993: 112-
113).
Studi dokumenter; merupakan teknik alat pengumpul data yang merupakan
upaya untuk mengkaji setiap bahan tertulis ataupun film, serta catatan (record).
Dokumen dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu dokumen pribadi dan dokumen
resmi, dan dua-duanya sangat penting dalam teknik penelitian geografi. Hal ini
dapat dipahami mengingat dokumen dan record berguna sebagai sumber yang
stabil, kaya, serta mendorong untuk suatu pengujian mengingat sifat dokumen
adalah tidak reaktif sehingga tidak sukar diperoleh dengan teknik kajian isi
(Moleong, 1998: 161).
Studi kepustakaan; merupakan teknik atau alat pengumpul data dengan
mengkaji berbagai teori, prinsip, konsep, dan hukum-hukum yang berlaku dalam
ilmu geografi. Semuanya ini diperlukan sebagai data teoretik yang relevan dengan
kebutuhan kajian atau penelitian. Oleh karena itu suatu penelitian geografi yang
mustahil dilakukan, jika tanpa disertai kajian perpustakaan (Sumaatmadja, 1988:
110).
C. Sejarah Lahir dan Perkembangan Ilmu Geografi
Seperti halnya pada ilmu-ilmu sosial lainnya, disiplin geografi pada
mulanya tidak tersusun secara sistematis seperti sekarang ini. Pengetahuan
mengenai suatu wilayah yang meliputi aspek-aspek alamiah dengan isnainya,
mula-mula hanya dalam bentuk cerita yang disampaikan oleh seseorang kepada
yang lainnya. Terdorong oleh kebutuhan untuk mempermudah perjalanan
berikutnya, secara sederhana pengalaman perjalanan itu dilukiskan ke dalam
bentuk peta (Sumaatmadja, 1988; 13). Bagi kepentingan perjalanan, perdagangan,
peperangan dan pertahanan, peta tersebut sangat membantu dalam
memvisualisasikan suatu objek telaahan.
Pada zaman Yunani kuno, pandangan faham geografi sangat dipengaruhi
oleh pandangan filsafat spekulatif maupun sejarawan, yang berusaha memadukan
ilmu pengetahuan geografi dengan sejarah. Tidak sedikit uraian geografi bersifat
sejarah, atau sebaliknya uraian sejarah bersifat geografi. Herodotus (485-425 S.M)
contohnya, seorang sejarawan telah mengemukakan pendapatnya bahwa betapa
eratnya hubungan antara perkembangan masyarakat dengan faktor-faktor geografi
di wilayah yang bersangkutan. Pandangan ini sungguh tidak keliru karena kedua
disiplin sosial tersebut tidak bisa melepaskan diri interaksi antara manusia dengan
lingkungannnya maupun keterikatannya dengan aspek keruangan. Selanjutnya ia 18
menganjurkan adanya penulisan hubungan di antara sejarah dan geografi (Lucile,
1960: 13). Hanya saja pandangan-pandangan tersebut masih bersifat subjektif dan
cenderung spekulatif. Hal ini terbukti, pada tahun 450 s.M, Herodotus telah
membuat peta dunia yang membaginya dalam tiga bagian, yaitu; Eropa, Asia, dan
Libya (Afrika). Peta karya Herodotus tersebut sangat sederhana jika dibandingkan
dengan peta yang kita kenal sekarang. Pandangan Herodotus demikian yang
memusatkan Yunani sebagai poros dunia, tidak lepas sebagai pandangan
tradisional yang bersifat kosmologis. Pandangan ini beranggapan bahwa pada
setiap kelompok etnis maupun bangsa menganggap dirinya terpenting dari segala
mahluk dan umat manusia di dunia. Daerahnya adalah pusat dari kosmos yang
diberikan oleh Pencipta sebagai tempat ia hidup (Lapian, 1980: 6). Walaupun
karya Herodotus perlu disempurnakan, namun demikian pandangannya dan
karyanya tersebut jelas sangat berharga, karena ia telah mampu memberikan
kontribusi pemikirannya yang berani dan memiliki “kebenaran tertinggi” pada
masanya. Oleh karena itu wajar jika waktu itu peta karya Hrodotus tersebut sering
menjadi acuan bagi kepentingan pelayaran, perdagangan, maupun pengembangan
pengetahuan bangsa Yunani kuno khususnya.
Lebih-kurang empat abad kemudian, Starbo (63-24 s.M.) seorang
sejarawan dan ahli geografi Yunani kuno, telah menguraikan secara panjang lebar
betapa besar pengaruh lingkungan fisik manusia terhadap pengelompokan
kebudayaan dan model-model pemerintahan. Ia mengemukakan bahwa pengaruh
lingkungan tersebut sangat menentukan corak budaya dan pemerintahan. Dari
penjelasan tersebut dapat menyimpulkan bahwa Starbo tergolong environmental
determinism atau determinisme lingkungan (Sumaatmadja, 1988: 15). Pada bagian
yang lain Starbo telah mengemukakan bahwa geografi berkenaan dengan factor
lokasi, karakteristik tertentu, dan antar hubungan satu tempat ke tempat lainnya di
permukaan bumi secara keseluruhan. Ide kesatuan tunggal yang dikemukakan
Starbo ini, dijelaskan sebagai konsep natural attributes of place (“atribut
alamiah satu tempat”), adalah kerangka relasi suatu tempat dengan tempat lainnya
di permukaan bumi. Pandangan demikian hingga sekarang masih relevan sebagai
salah satu konsep dan prosedur geografi modern hingga sekarang (Dickinson,
1970: 10). Bahkan dalam perkembangan selanjutnya konsep ini berkembang
sebagai konsep regional. Selain itu juga ia telah membuat peta yang terkenal
dengan dikenal dengan “Peta Strabo”, merupakan penyempurnaan peta
Herodotus.
Pandangan determinisme lingkungan yang dikemukakan Starbo, jika
ditelusuri lebih jauh sebenarnya berasal dari Julius Caesar (100-44 s.M) dalam
tulisannya yang berjudul Gallic Wars. Caesar yang merupakan tokoh
pemerintahan dan ketentaraan Romawi yang terkenal itu, pada tulisannya
mengemukakan faktor geografi terhadap pemerintahannya, serta pengaruh
lingkungan alam terhadap kemenangannya. Semua tokoh yang menguraikan
keseluruhan bumi berupa keterangan-keterangan wilayah di permukaan bumi
yang tidak memperhatikan letak yang tepat tersebut serta keadaan manusianya
juga secara tidak tepat (hanya mengemukakan materi secara etnografis serta
kurang bersifat geografi), semuanya dapat dikategorikan dalam kelompok “aliran
logoterapi” (Khiam, 1980: 7-8). 19
Pelajaran geografi tentang bola bumi dengan menggunakan pendekatan
dan pengukuran yang matematis, baru dilakukan oleh Pythagoras. Ketelitian
demikian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoles, maupun Eratosthenes.
Keterampilan mereka sangat mempengaruhi pendekatan dan pandangannya.
Bentuk bola bumi serta ukurannya di mana pembagian bumi berdasarkan lintang
dan bujur, serta pergeseran matahari yang mempengaruhi daerah iklim, berasal
dari pemikiran kelompok “aliran matematik” (Kiam, 1980: 9). Dalam istilah
geographika hal itu berarti writing about the earth or description of the earth
atau “deskripsi atau tulisan tentang bumi” . Selain dari itu, ia juga telah
menghitung keliling bumi secara matematik berdasarkan perhitungan jarak
Alexandria dengan Seyne (Aswan). Oleh karena itu ia dianggap sebagai peletak
dasar Geografi yang pertama. Jasa Ptolomaeus pada perkembangan geografi yaitu
pada pembuatan dan penggunaan peta. Setelah didapatkannya alat pencetak, peta
Ptolomaeus dengan diubah sedikit, dicetak sebagai Atlas Ptolomaeus (Mitchell,
1960: 34).
Dari penjelasan di atas telah membuktikan bahwa geografi telah
berkembang sejak sebelum Masehi di Yunani khususnya. Aktivitas manusia yang
paling banyak menuntut keterampilan geografi adalah perjalanan yang dilakukan
para pedagang maupun tentara dalam peperangan untuk perluasan wilayah. Di
antara perjalanan darat yang terkenal adalah “Via Appia” antara Roma dan
Capua 350 s.M.) serta “Jalan Sutera” antara Tiongkok dengan Timur Tengah
pada Abad Petengahan), telah menjadi sumber materi geografi yang berharga saat
itu.
Selanjutnya, perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh Columbus, Vasco
da Gama, Fernao de Magelhaens dan lain-lain yang terkenal dengan misi 3 G
(Gold, Gospel, dan Glory) telah pula menambah pengetahuan mengenai negeri
lain tentang penduduk dan peradabannya. Pengetahuan ini selain menambah
materi geografi, juga telah membukakan kawasan manusia terhadap perwilayahan
di permukaan bumi.
Pada Abad Pertengahan, tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti Nicolaus
Copernicus (yang mengemukakan tentang teori heliosentris), Galileo Galilei,
Johanes Kepler, Gerard Mercator, Wilem Jansz, dan lain-lainya, besar sekali
jasanya terhadap perkembanagan Geografi saat itu. Kemudian Bernard Varen
(Varenius) telah menentukan istilah “general geography” atau “geographia
generalis” yang merupakan bagian dari science yang mempelajari bumi secara
umum, menguraikan pembagian dan gejala yang mempengaruhi bumi secara
keseluruhan. Hal yang dikemukakannya merupakan dasar dan hukum umum yang
dapat diterapkan pada geografi untuk mempelajari suatu wilayah atau negara
secara khusus. Bagian geografi yang tearkhir ini disebutnya sebagai special
geography atau “geographia specialis” (Harstorne, 1960: 67). Kemudian bagaian
geografi ini menjadi geografi regional (regional geography). Varenius juga
pernah mempublikasikan studi regional mengenai Jepang dan Syam, dan uraian
ini lebih bersifat matematik campuran (Sumaatmadja, 1988: 18).
Tokoh-tokoh geografi dari Jerman yang sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan disiplin geografi, di antaranya; Karl Ritter, Oscar Peschel,
Alexander von Humboldt, Friederich Ratzel, Ernest Kapp, Alfred Hettner. 20
Pandangan geografi dari tokoh-tokoh tersebut, secara singkat sebagai berikut:
Alexander von Humboldt (1769-1859) dan Karl Ritter (1779-1859), dianggap
sebagai peletak dasar “geografi modern” (Sumaatmadja, 1988: 18). Kedua tokoh
ini berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu-pengetahuan empiris (empirical
sciences) pada geografi. Prosedur induktif melalui observasi dan penjelajaahan
dilakukan untuk menyusun hukum-hukum umum pada studi geografi. Mereka
berpegang kepada konsep filsafat holisme yang menghormati relevansi bumi
dengan manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan Ritter (Harshorne (1960:
20), “Independent to Man, the earth is also without him, to the scene of natural
phenomena; the law of its formulation can not proceed from Man. In thescience of
the earth, theearth itself must be asked for its laws”. Bagi Ritter faktor alam
menjad penentu bagi gejala kemanusiaan. Pandangannya tersebut mempengaruhi
bagi ajaran Friederich Ratzel, di mana Ritter memasukkan faktormanusia sebagai
sebagai faktor penting pada studi geografi. Hal ini bisa dilihat dari seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya bahwa ”geography to study the earth as the
dwelling place man”, dan nilah ang membuat Ritter sebagai peletak dasar
Geografi Sosial Modern (Sumaatmadja, 1988: 19).
Selanjutnya adalah Emmanuel Kant (1724-1804) yang mendapat julukan
”Bapak Geografi Politik”, di samping sebagai peletak dasar Geografi Modern.
Kemudian Charles Darwin (1809-1882) seorang ahli evolusi biologis Inggeris.
Konsep natural selection, merupakan konsep yang terpenting dan berlaku hingga
kini, walaupun pernah diselewengkan oleh Hitler dalam berbagai ekspansinya
melalui pengembangan doktrin survival of the fittest yang sebetulnya berasal dari
Herbert Spencer dalam Darwinisme Sosial. (Taylo, 2000: 783). Kemudian
Frederich Ratzel (1844-1904) yang menerbitkan buku Pitsce Geographie (1897),
gagasan-gasan kontemporer tentang determinisme lingkungan diterapkan pada
kajian negara. Memfokuskan lokasi strategis pada skala global. Kemudian pada
tahun 1904 Harold Makinder menyuguhkan “daerah poros” (pivot area),
belakangan dinamakan kembali dengan teori “heartland”, yang menjadi landasan
kajian kajian-kajian Geografi (1904) . Titik kulminasi dari geografi lingkungan ini
muncul dalam kajaian politik dan landasan pijakan Dewrent Whittlesey yang
subtil dalam The Earth and the State, titik nadirnya adalah legitimasi geopolitik
Jerman terhadap perluasan wilayah Third Reich yang pernah disinggung di atas.
Namun perlu diketahui bahwa geopolitik ini mundur ketika para ahli
Geografi pada umumnya mencoba menggabungkan kajian-kajian mereka dengan
perkembangan baru dalam ilmu-ilmu sosial. Kelemahan dalam geografi politik
lingkungan ternyata adala dalam teori sosial yang tida memadai. Sebab ide-idenya
hanya hanya bisa bertahan di luar Geografi, ketika para ahli ilmu politik mengacu
kepada pengaruh-pengaruh geografi lingkungan sebagai faktor geografis atau
ketika gagasan-gagasan geografi simplistik digunakan untuk menjustifikasi
kebijakan-kebijakan Perang Dingin yang agresif (Taylor, 2000: 783).
. Tokoh lain yang juga berfaham determinisme itu adalah Ellsworth
Huntington yang menulis The Pulse of Asia (1907), Palestine Its Transformation
(1911) Civilization and Climate (1915). Ia seorang brilian, ahli geografi Amerika
Serikat ini terkesan oleh kontras antara peradaban yang lur-biasa besar dari Asia
Tengah dan Asia Barat Daya (Duverger, 1985: 420), yang secara rinci anda dapat 21
membacanya isi teorinya tersebut pada sub-bab Teori-teori Geografi. Kemudian
von Richthoffen (1838-1905), ia merupakan tokoh geografer yang berpengaruh.
Sebagai seorang ahli Geologi, beliau mengemukakan bahwa pengertian
permukaan bumi yakni bagian luar dari bumi yang terdiri dari geografi dan
termasuk segala gejala yang bersangkutan dengannya. Dia-lah yang memberikan
batasan eksplisit bahwa “Geography is the study of the eart surface according to
its differences, or the study of different areas of the earth surface…in term of total
characteristics” (Harsthorne, 1960: 173). Dia juga yang memperkenalkan
“:korografi” yang merupakan studi holistic tentang bumi dan interelsinya secara
sistematik.
Sedangkan untuk tokoh Prancis yang berjasa mengembangkan geografi
adalah Paul Vidal de la Blache (1845-1914) dan Jean Brunhes (1869-1930)..
Blace menulis Principes de geograhie humanie (1922). Ia berusaha melepaskan
visi determinismenya, namun manusia dipandang sebagai makhluk yang aktif
dalam kehidupannya Oleh karena itu ia digelari sebagai “Bapak Geografi Sosial
Modern” di mana dalam pernyataannya bahwa Geography is the science of
places, concerned with qualities and potentialities of countries (Hartsorne, 1960:
13). Sedangkan Jean Brunhes ia menulis Geographie humaie, edisi ketiga , 3 jilid
(1925), edisi singkat dalam satu jilid tahun 1947 (Duverger, 1985: 411). Dalam
buku tersebut Brunches mengeluarkan teori tentang “Konflik antara Suku Bangsa
Nomadik dengan Sedenter”, di mana anda dapat membacanya pada bagian teoriteori Geografi.
Adalah James Fairgrive, seorang geograf Amerika Serikat yang
mengemukakan bahwa geografi memiliki nilai edukatif, terutama untuk berpikir
kritss dan bertanggung jawab terhadap kehidupan dunia. Manusialah yang bisa
mengubah secara positif lingkungan yang dikehendaki sesuai dengan
kepentingan-kepentingan hidup yang bertanggung jawab.Sedangkan Prestone E.
James dengan karyanya yang terkenal American Geography: Inventory and
Prospect, merupakan tulisan yang mengetengahkan pandangannya tentang eratnya
hubungan Georafi dengan sejarah sehingga dianalogikan sebagai ilmu dwi tunggal
antara tempat dan waktu. Kata-kata ini sebenarnya tidak asing, karena sebelumnya
pernah menjadi slogan zaman Herodotus. Namun tempat yang memberikan ruang
untuk memahami perubahan berdasarkan waktu, dua-duanya tidak dapat
dipisahkan, mengingat waktu juga yang menunjukkan adanaya perubahan dan
kemajuan/kemunduran di suatu tempat.
Demikian tentang perkembangan geografi, sejak disiplin ini hanya
merupakan suatu cerita sampai kepada suatu perkembangan disiplin ilmu yang
modern dengan pendekatan dan metodenya yang kaya baik secara kealaman,
sosial, maupun humaniora, geografi senantiasa merambah di antaranya. Sebagai
contoh misalnya; Geografi tata runag ini baru muncul tahun 1960-an dan 1970-an,
dan mulai diperkenalkan di saat terjadinya perkembangan dramatis studi geografi
di berbagai universitas, khususnya di negara-negara yang berbahasa Inggersi. Para
“pendobrak kuantitatif dan teoretik” tersebut dengan demikian dapat memperluas
pandangan mengenai disiplin itu dengan bertambahnya jumlah posisi staf yang
tersedia dan riset-risetnya yang memungkinkan dapat mengembangkan disiplin
ini. Contoh lain, tentang Geographical Information Syastem (GIS) atau “Sistem 22
Informasi Geografis” yang merupakan sistem komputer yang terintegrasi, yang
digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menambah dan memanipulasi,
menganalisis, dan menampilakn semua bentuk informasi berkenaan dengan
masalah geografis (Unwin, 2000: 402), kini telah berkembang pesat terutama
sejak tahun 1980-an. Kini aplikasi GIS kini terdapat alam semua disiplin
akademik di mana unsur lokasi menjadi hal substansial, seperti geografi,
arkeologi, perencanaan lahan, pengolahan sumber daya alam, dan demografi.
Begitu juga dalam industri dan perdagangan, GIS dipakai oleh took eceran, sarana
umum, dan pemerintah local/daerah. Karena lokasi ruang merupakan hal yang ada
di mana-mana, dapat dikemukakan bahwa GIS akan menjadi salah satu aplikasi
komputer yang paling besar (Unwin, 2000: 402).
Geografi adalah disiplin akademis yang luas dan dinamis, yang memiliki
akar-akarnya baik dalam ilmu pasti alam, sosial, bahkan humaniora. Dalam
cakupannya yang begitu luas, terdapat kelompok kelompok-kelompok yang
beringgungan dan beririsan, baik para ahli riset maupun pengajar/pendidik, yang
kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan pemahaman kita mengenai
lingkungan, tata ruang, dan tempat dengan berbagai strategi dan teknik. Adanya
perbedaan kelompok-kelompok tersebut menyebabkan perdebatan dinamis yang
tidak ada putus-putusnya mengenai alternatif-alternatif tinjauannya. Tetapi di
sampin itu terdapat juga sekian banyak riset dan aktivitas akademis yang
substansial telah berjasa meningkatkan wawasan kita tentang bagaiamana
lingkungan fisik tersusun sedemikian rupa dan bekerja. Bagaimana kehidupan
manusia diorganisir secara keruangan, serta bagaimana pula tempat-tempat itu
dibuat sebagai lokasi kediaman yang nayaman untuk kepentingan hidup kita.
D. Manfaat Terapan Ilmu Geografi
Sebagai disiplin akademis yang memiliki potensi terapan untuk memehami
mengenai dunia, terdapat beberapa pendapat seberapa perlunya segi terapan ini,
karena beragamnya tuntutan yang dikemukakan kepada disiplin ini maupun
kepada akedisinya secara umum. Taylor (1985) berpendapat bahwa negara-negara
yang menyediakan sebagian besar pendanaan universitas, tampaknya lebih
mampu mendesakkan munculnya karya terapan ⎯ di mana akademisi diharapkan
langsung memenuhi kebutuhan masyarakat ⎯ dalam periode resesi ekonomi
daripada dalam masa relatif makmur, yang lebih memungkinkan dilakukannya
riset-riset murni atau non-terapan. Tentu saja di sejumlah negara seperti Uni
Soviet dan Eropa Timur lainnya antara tahun 1945 dan 1989, praktek geografi di
semua disiplin akademis lainnya hampir seluruhnya ditentukan oleh tuntutan
aparat negara.
Nilai terapan dari geografi sangat dihargai selama Perang Dunia II karena
kemampuan para ahli geografi untuk menyediakan informasi mengenai negaranegara lain; keahlian kartografi serta fotogrametrik mereka banyak dipakai dalam
dunia itelijen. Sejak tahun 1950-an, peran geografi dalam pengumpulan data dan
analisisnya dipakai pula sebagai pedoman dalam menyiapkan rencana-rencana
pembangunan kota dan kawasan, dan beberapa perkembangan teknisnya (seperti
GIS) diarahkan untuk tujuan-tujuan praktis. Ada yang berpendirian bahwa salah 23
satu peran pokok ahli geografi adalah memberikan nilai tambah pada data, yang
kemudian bisa ‘dijual’ kepada para pengambil keputusan (Rhind, 1989).
Makin meningkatnya minat pada isu-isu lingkungan ⎯ baik tingkat loal,
regional, nasional, maupun global ⎯ telah menjadi perhatian para ahli geografi.
Banyak karya mereka menekankan kedua sisi: proses-proses yang terjadi dalam
lingkungan fisik dan dampak aktivitas manusia terhadap proses tersebut serta
hasil-hasilnya; hal inimisalnya tampak dalam usaha penaksiran dampak-dampak
lingkungan.
Dalam kebanyakan karya terapan ini para ahli geografi memakai aneka
metode dan orientasi positivis guna mencari pemecahan dari sekian masalah yang
telah ditemukan; mereka terlibat dalam rekayasa masa depan sosial berdasarkan
pemahaman ilmiah mereka. Pandangan teknokratis seperti ini ditentang oleh ahliahli geografi lainnya yang melihat karya seperti itu hanya akan melanggengkan
status quo dalam masyarakat. Dengan demikian mempertahankan banyak
ketimpangan dan ketidakadilan serta berlanjutnya mode produksi kapitalis dan
para aparat negara yang bertujuan mengangkat dan melegitimasi apa yang mereka
pandang sebagai sistem yang tidak adil. Dalam menanggapi kritik-kritik seperti
ini, terdapat beberapa aturan penerapan yang kemudian ditegakkan bagi para ahli
geografi dalam mengangkat kesadaran terhadap sifat perubahan dunia di mana
kita tinggal dan dalam memajukan emansipasi, di mana para warga bisa
memegang kendali atas masyarakat dan mengarahkannya sesuai dengan tujuan
mereka sendiri. Dari masing-masing tujuan itu sifatnya politis dan harus bersaing
dengan para pendukung sudut pandang lain. Bahwa semua memandang geografi
sebagai pelayan bagi tujuan-tujuan politik tertentu, kendati ada di antaranya yang
akan membantah hal ini dan mengatakan bahwa mereka memainkan peran ilmiah
yang obyekti/netral serta berada dalam batas-batas yang dibuat masyarakat ⎯ di
mana para ahli geografi termasuk salah satu bagiannya.
D. Konsep-konsep Geografi.
Adapun konsep-konsep geografi yang akan dikemukakan dalam tulisan ini
mencakup; (1) tempat, (2) sensus penduduk, (3) ilklim, (4) Laut, (5) lingkungan,
(6) benua, (7) urbanisasi; (8) peta, (9) kota, (10) mortalitas, (11) khatulistiwa,
(12) demografi, (13) tanah, (14) transmigrasi, (15) wilayah .
1. Tempat
Konsep “tempat” (place) merujuk kepada suatu wilayah di mana orang
hidup berada maupun kajian itu dilakukan pada lokasi tertentu.Dalam analisis
geografi, konsep “tempat” memiliki peran penting karena kedudukan dan
kontribusi “tempat” memberi arti banyak memberi makna bagi manusia dan
organisme lainnya. Sebut saja geographer Jerman Friederich Ratzel dalam
tulisannya Pitche Geographie (1897) di mana gagasan-gasan kontemporer tentang
determinisme lingkungan diterapkan terhadap kajian negara. Memfokuskan lokasi
strategis pada skala global, pada tahun 1904 Harold Mackinder menyuguhkan
teori “daerah poros” (pivot-area), belakangan dinamakan kembali dengan
”heartlan theoryd” yang menjadi landasan kajian-kajian geografi (Taylor, 2000:
783). 24
Belakangan ini salah seorang sosiolog Inggeris yang berusaha
menganalisis peranan “tempat’ ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah Anthony
Giddens dengan teori strukturasi (structuration) dalam karyanya The Constitution
of Society (1984) di mana locale menjadi kata kuncinya. Pengertian locale adalah
situasi di mana interaksi sosial terjadi, dan karena semua interkasi memerlukan
orang-orang yang terlibat hadir di waktu dan tempat tertentu, maka locale sering
merupakan tempat. Begitu juga pada gilirannya locale adalah wilayah penting di
mana nteraksi berlangsung dan identitas kelompok berkembang (Johnston, 2000:
761-762).
Nampaknya Giddens terinpirasi oleh hasil penelitian Torsten Hagerstrand
(1982) seorang ahli geografi Swedia yang mengemukakan teori kontekstualnya
mengenai geografi waktu yang mengegaskan bahwa proyek-proyek yang
melibatkan interaksi antar individu dapat dilakukan jika hanya pihak-pihak yang
terlibat hadirditempat tersebut. Mengingat s, sebuah tempat memiliki isi (siapa
yang berada di sana), waktu (kapan seseorang berada di situ, dan dengan siapa
mereka berada), merupakan pengaruh-pengaruh penting terhadap perilaku dan
sosilisasi individu dan kelompok terhadap tempat (Johnston, 2000b: 762).
Studi lainnya tetang pentingnya tempat juga dikemukakan oleh Massey
dalam karyanya Spatial Division of Labour (1984) mengatakan bahwa masalah
geografi dari restrukturisasi industri dapat dipahami hanya jika konteks tempat
terjadinya peristiwa tersebut dipahami, terutama yang menyangkut; sifat
hubungan sosial yang bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya,
dimana tempat satu dapat lebih menarik bagi investor dibanding tempat lain. Hal
ini mendorong bentuk riset yang substansial di mana tempat (place) dipandang
sama dengan lokalitas dalam struktur ekonomi, sosial, budaya, dan politik diteliti
sebagai sarana dalam memahami hal apa yang membuat lokalitas-lokalitas itu
berbeda dan apa implikasinya bagi perubahan di masa depan.
2. Sensus Peenduduk
“Sensus penduduk” merupakan suatu konsep georafi sosial yang jika
dilihat dari sejarah aktivitasnya, “sensus penduduk” merupakan salah satu
kegiatan statistik tertua dan terluas yang dilakukan oleh pemerintah di seluruh
duia yang dahlunya lebih berorientasi untuk taksiran kekuatan militer dan
perpajakan. Sensus juga dikembangkan untuk mengumpulkan informasi mengenai
perumahan, sektor manufaktur, pertanian industri pertambangan, dan dunia
bisnis (Taeuber, 2000: 99).
Masyarakat Mesir kuno, Yunani kuno, Jepang kuno, Ibrani, maupun
Persia Kuno, telah mengalami sensus ribuan tahun yang lalu. Cuma karena
penduduknya yang dicacah juga terbatas (misalnya laki-laki dewasa berpotensi
untuk menjadi tentara), hasilnya juga sangat terbatas (biasanya dinyatakan sebagai
rahasia pemerintahan). Di Eropa, sensus berskala kota telah dilaporkan sejak abad
ke 15 dan 16. India dilaporkan pernah menyelenggarakan sensus tahun 1678.
Selain itu banyak sensus yang dinyatakan sebagai sensus pertama dalam era
modern. Sensus berkesinambungan tertua dilakukan di Amerika Seikat, yakni
persepuluh tahunsekali sejak tahun 1790. Inggeris baru mulai tahun 1801, dan
beberapa tahun kemudian ia juga melakukan sensus reguler lainnya. 25
Manfaat sensus dengan mengumpulkan data-data sensus kependudukan
acapkali digunakan sebagai landasan alokasi atau pembagian wilayah
administratif. Data sensus juga digunakan secara luas oleh pemerintah di pelbagai
negara untuk mengadakan perencanaan dan pelaksanaan berbagai fungsi
pemerintah. Bahkan di sejumlah negara jumlah perwakilan dalam parlemen
didasarkan atas sensus penduduk, begitu juga dengan alokasi dana dari pemerintah
pusat. Dengan berkembangnya sistem perekonomian pasar, maka penggunaan
data sensus penduduk kian menjadi luas dan penting, termasuk untuk keperluan
perumusan strategi pemasaran dan berbagai kegiatan bisnis lainnya. Begitu-pun
program-program kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial sangat
tergantung dari adanya data sensus penduduk yang akurat (Taeuber, 2000: 100).
Dalam praktiknya terdapat perbedaan klasik pelaksaan sensus penduduk.
Pertama, apa yang disebutnya sensus ”de facto”; yaitu dalam sensus jenis ini
orang-orang dihitung atau didata sebagai penduduk daerah di mana mereka berada
(ketika mereka ditemui selama sensus berlangsung). Hal ini beda dengan praktik
jenis kedua yakni ”de jure”. Dalam sistem ini setiap orang dihitung sebagai
anggota atau warga daerah asalnya terlepas ketika sensus berlangsung orang
tersebut ada atau tidak. Persoalan yang timbul dalam sistem de jure tersebut apa
bila orang yang sedang berada di luar itu dalam per unit keluarganya cukup
banyak.
3. Iklim
“Iklim” menurut Ensiklopedi Indonesia (1984: 1376-1377) adalah keadaan
rata-rata dari cuaca di suatu daerah dalam periode tertentu; keadaan variasinya
dari tahun ke tahun dan keadaan ekstemnya. Unsur-unsur yang menggambarkan
keadan cuaca/iklim meliputi suhu udara, kelembaban udara, angin, curah hujan,
penyinaran matahari. Biasanya untuk menggambarkan keadaan iklim, dibuat
klasifikasi iklim. Klasifikasi iklim yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda.
Ada yang bertujuan untuk digunakan dalam bidang pertanian, perdagangan,
maupun perindustrian.
Klasifikasi iklim di dunia yang terkenal adalah: Pertama; klasifikasi
Koppen, yang mendasaran pada curah hujan dan suhu tahunan serta bulanan.
Berdasarkan penelitiannya, terdapat lima lima golongan iklim, yaitu: (1) iklim
tropis penghujan atau tropical rainy climate; (2) iklim kering atau dry climate;
(3) iklim sedang penghujan hangat atau warm temperature rainy climate; (4)
iklim hujan salju dingin atau cold snow forest climate; (5) iklim salju kutub atau
polar snow climate.
Kedua, klasifikasi iklim menurut Thornthwaite yang membaginya atas
lima daerah kelembaban, dengan vegetasi karakteristik sebagai berikut: (1) daerah
basah; hutan penghujan atau rain forest; (2) daerah lembab; hutan atau forest; (3)
daerah setengah lembab; padang rumput atau grass land; (4) daerah setengah
kering; padang rumput luas tanpa pohon atau stepe; (5) daerah kering; gurun pasir.
4. Laut
“Laut” dalam Ensiklopedi Indonesia (1984: 1974-1975) diartikan sebagai
“Keseseluruhan massa air yang saling berhubungan, mengelilingi semua sisi 26
daratan di bumi. Laut yang besar dinyatakan sebagai samudera (lautan). Dari
pantai ke lut dalam, pertama-tama terdapat suatu jalur dasar laut yang datar, yakni
dataran kontinental yang merupakan lanjutan tanah daratan di bawah permukaan
laut. Dari kedalaman lebih kurang 180 meter kemiringan itu jadi lebih besar
berupa lereng kontinental, lanjutan lereng daratan di bawah permukaan laut. Pada
kedalaman 3.000 – 6.000 meter baru terletak dasar laut yang dalam, dalam bentuk
cekungan besar, yang dipisahkan oleh punggung-punggung di bawah permukaan
laut.
Rata-rata kedalaman laut di dunia lebih kurang 3.730 meter; yang paling
dalam adalah palung Marian di Samudera Atlantik sedalam 11.515 meter. Makin
murni kadar air laut makin biru warnanya; bahan-bahan organic dan benda-benda
mengapung membuat warna menjadi kehijau-hijauan. Sedangkan kegelapan
dalam laut rata-rata 10% per meter dari dalamnya; pada kedalaman 200 meter
sudah betul-betul gelap. Begitu juga pada bagian-bagian yang lebih dalam, suhu
temperatur pada umumnya lebih rendah daripada di permukaan. Di bawah
kedalaman 1.000 meter biasanya suhunya adalah nol derajat Celcius.
5. Lingkungan
“Lingkungan” dalam Ensiklopedi Indonesia (1984: 2021) didefinisikan
sebagai segala sesuatu yang ada di luar sutu organisme, yang meliputi: Pertama,
lingkungan benda mati atau fisik: adalah lingkungan di luar suatu organisme yang
terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup; seperti bahan kimia, suhu,
cahaya, gravitasi, atmosfer dan lain-lain. Kedua, Lingkungan hidup (biotik);
lingkungan di luar suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup; seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Kekuatan-kekuatan “lingkungan” dalam hubungannya dengan kehidupan
manusia, menurut Pearce (2000: 298) merupakan metafora yang melanggengkan
kontradiksi dasar manusia. Ia punya kekuatan untuk menaklukkan, namun ia juga
diliputi berbagai kelemahan yang selalu membuatnya terancam. Di satu sisi
manusia membuat berbagai perbaikan, namun disi lain manusia membuat
kerusakan. Konflik antara individualisme, konsumerisme, maupun dengan
idealisme dan solidaritas, tidak pernah lepas dari masyarakat manusia.
Sudah menjadi adikodrati bahwa sebagai manusia, betapa uniknya
kehidupan di bumi ini. Kosmos di mana kita hidup tak terperi dan juga tak
tergantikan, yang terbentuk dari jutaan proses kimiawi, biologis, dan fisik secara
terus menerus (Pearce, 2000: 300). Pengagungan alam seperti ini dapat kita temui
dalam berbagai tulisan ilmiah, termasuk karya cemerlang Lovelock dalam karya
besarnya Gaia The Practical Science of Planetary Medicine (1992). Biosfer yang
menyangga kehidupan manusia dilukiskan sebagai suatu zona yang disebut Gaia.
Yang memiliki mekanisme pengaturan tersendiri tapi sering terusik oleh ulah
manusia. Jika manusia tak mau memahami dan menyeseuaikan dirinya, maka
alam akan memaksanya.
Inilah suatu pandangan environtalisme di mana di dalamnya terdapat tiga
komponen, yakni; (1) teknosentrik, (2) ekosentrik, dan (3) deep green. Hakikat
pandangan teknosentrik menekankan bahwa manusia sebagai manipulator alam.
Meskipun pandangan ini lugas dan maskulin, justru pandangan ini aktif 27
mendorong dilaakaukannya konservasi secara nyata. Sebab eksploitasi dan
teknologi dipandang positif sejauh itu tidak merusak alam fisik dan sosial secara
berlebihan. Kemudian pandangan ekosentrik, juga bersifat optimis namun lebih
jauh lagi untuk melestarikan lingkungan. Semua tindakan manusia sedapatdapatnya harus didasarkan pada usaha pelestarian lingkunga. Sedangkan yang
terakhir pandangan deep green atau istilah lainnya adalah deep ecology maupun
steady-state economic, bertumpu pada struktur etika dan sosial yang radikal.
Pandangan ini menuntut ditingkatkannya pola-pola hidup massal yang
dianggapnya harus melestarikan lingkungan yang dekat dengan alam. Bahkan
secara ekstrem pandangan ini menolak globalisme ekonomi dan ketergantungan
politik. Selain itu juga mereka juga mempromosikan pasifisme untuk hidup
damai dan bersahaja, ecofeminisme penegakan hak-hak konsumen demi
mengontrol produsen, serta pengakuan atas hak hidup mahluk lain di laur manusia
(O’Riordan, 2000: 300).
6. Benua
Istilah “benua” dalam Ensiklopedi Indonesi (1984: 449) merujuk kepada
suatu daratan yang begitu luas, sehingga bagian tengah daratan yang luas tersebut
tidak mendapat pengaruh angin laut sama sekali. Dalam sejarah dikenal 5 benua
yang dihuni manusia, masing adalah benua (1) Asia, (2) Eropa, (3) Amerika, (4)
Afrika, dan (5) Australia. Sedangkan secara geografis pembagian benua tersebut
terbagi atas 3 benua, yakni; (1) Erasia-Afrika, (2) Amerika, dan (3) Australia.
Secara keseluruhan luas benua tersebut mencapai kurang lebih 29 % dari seluruh
muka bumi, dan sisanya (71% adalah luas samudera.
Benua Asia merupakan benua terluas di dunia dengan 44,18 juta km
persegi dan berpenduduk terbanyak di antara benua lainnya. Dilihat dari
fisiografinya benua Asia tersebut juga terdiri atas pegunungan tinggi. Bahkan
gunung tertinggi di dunia-pun ada di benua ini yakni G.Evererest (Mount Everest)
= 8882 meter yang selalu diliputi salju abadi. Benua Asia Juga merupakan tempat
lahirnya agama-agama besar di dunia (Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, Kong
Hu Cu/Kung Fu-tse/Confucius, dan Shinto). Benua ini dihuni oleh berapa ras
yang sebagian sudah berasimilasi, namun ras domain adalah mongoloid (Asia
Timur), Kaukasid (Asia Tengah), dan Negroid (Asia Barat Daya). Benua Eropa,
merupakan benua terkecil dari Erasia-Afrika, memiliki luas 10,77 juta km
persegi. Fisiografinya juga menunjukkan relief yang berbeda-beda. Benua ini
dihuni oleh ras Kaukasid khususnya Eropid. Di benua ini terdapat beberapa
negara maju seperti, Inggeris, Prancis, Jerman, dan Itali. Berbeda dengan Benua
Afrika yang merupakan benua terluas ke-3. yang memiliki gunung tertingginya G.
Kilimanjaro = 6010 m dan G.Kenya = 5195 m. Benua ini dihuni oleh ras Negroid
yang pada umumnya taraf ekonominya kurang maju, kecuali Afrika Selatan.
Berikutnya adalah benua Amerika, yang merupakan benua terluas kedua,
dan penduduk aslinya Indian, kemudian datang ras Eropid, disusul Negroid
akaibat masa-masa perdagangan budak Secara regional benua ini terbagi atas
Amerika Utara (bekas jajahan Inggeris dan Prancis, merupakan negara maju yakni
Amerika Serikat dan Kanada), dan Amerika Latin (Amerika Tengah dan Selatan).
yang umumnya negara berkembang bekas jajahan Spanyol. Sedangkan benua 28
Australia merupakan benua yang terkecil di antara 5 benua. Luasnya 7,6 juta km
persgi yang penduduk aslinya suku Aborigines (kontinental) dan Maori (Kep.
Selandia Baru). Namun sekarang mayoritas ras Eropid sejak benua ini menjadi
koloni Inggeris. Dalam sejarahnya yang kelam Australlia pernah menjadi daerah
tempat pembuangan narapidana Inggeris.
7. Urbanisasi
Konsep “urbanisasi” memiliki dua pengertian. Pertama, para ahli
demografi lebih banyak untuk menunjukkan redistribusi penduduk ataupun
perpindahan dari wilayah-wilayah pedesaan ke perkotaan, memberikan maknanya
yang paling spesifik pada tingkat konseptual. Kedua, dalam beberapa ilmu sosial
lainnya, terutama ekonomi, geografi, dan sosiologi, urbanisasi merujuk kepada
struktur morfologik yang sedang berubah dari berbagai pemusatan
(agglomeration) perkotaan dan perkembangannya (Sly, 2000: 1116). Tentu saja
pada kajian ini lebih didasarkan pada kajian yang pertama. Jikalau terdapat aspekaspek kajian kedua hanyalah sebagai supplement karena satu sama lainnya
berkaitan.
Sebagai kajian yang menekankan redistribusi penduduk ─ perpindahan
penduduk ─ dari desa ke kota dalam suatu skala dunia, dan pada tingkat, cara dan
pola diferensial dari redistribusi ini di antara negara maju dan berkembang.
Hingga tahun 1950 diperkirakan hanya 28 % penduduk dunia bertempat tinggal di
sektor-sektor perkotaan. Sedangkan pada negara-negara maju jumlahnya tidak
lebih dari 15 %, padahal berdasarkan estimasi mencapai 70%, sementara di
negara-negara berkembang 30%. Kemudian antara tahun 1950 dan 1980, misalnya
penduduk perkotaan meningkat sebanyak 85%, sementara penduduk pedesaan
mengalami enurunan hingga lebih 10%. Di negara-negara berkembang penduduk
perkotaan meningkatlebih dari 250%, dan penduduk pedesaan meningkat hingga
lebih dari 60% (Sly, 2000: 1116).
Dari data dan penjelasan di atas, memaang sulit untuk mengetahui
diferensial-diferensial penduduk antara perkotaan dan pedesaan, namun yang pasti
kecenderungan historis yang dominan dalam redistribusi penduduk mengarah
kepada meningkatnya konsentrasi pada penduduk perkotaan. Hal ini artinya
bahwa masalah urbanisasi yang semula hanya merupakan gejala demografik, telah
merambah ke bidang-bidang ekonomi maupun sosilogi. Sebab adanya pemusatan
kegiatan jasa ekonomi dalam lingkar pinggiran (suburban) dan desentralisasi lebih
lanjut penduduk telah menambah masalah baru. Sebab selain lingkar pinggiran
dalam hal ini, desentralisasi penduduk akan terus bergerak menuju ekspansi
teritorial metropolitan yang lebih besar.
8. Peta
”Peta” adalah pola permukaan bumi yang dilukiskan pada bidang datar
(Ensiklopedi Indonesia, (1984: 2698-2699). Gambar itu dapat menyatakan kedaan
fisik bumi, keadaan budaya, ekonomi, bahkan politik sekalipun. Biasanya tiap
titik peta itu menunjukkan kedudukan geografis menurut skala dan proyeksi yang
telah ditentukan. 29
Ternyata pada bangsa-bangsa tertentu berdasarkan penelitian sejarah ilmu
tentang pembuatan peta yangdikenal ”Kartograf” telah lebih tua dikenal daripada
pengenalan manusia terhadap huruf. Telaah ini ditemukan beberapa peta purba
yang dibuat oleh bangsa-bangsa Mesir, Babylonia, dan Cina. Peta tertua terbuat
berupa tablet tanah liat, sekarang disimpan di Museum Semit di Harvard Amerika
Serikat. Pengukuran bumi yang pertama sudah bersifat ilmiah yakni pengukuran
lintang dan bujur yang dilakukan oleh Ptolomaeus pada abad ke 3 sM. Namun
masih ada kesalahan utamanya yang terletak pada petanya tersebut karena terlalu
kecilnya ukuran bumi. Kemudian pada abad pertengahan kartografi berkembang
dan dipelajari oleh bangsa Arab Al-Idrisi (abad ke12) melanjutkan pekerjaan
Ptolomaeus.
Sekarang ini ”kartografi” telah berkembang dengan pesat sebagai seni dan
teknologi pembuatan, serta penggunaan peta untuk menggambarkan lokasi-lokasi
dan hubungan spasialnya Dikatakan seni karena pembuatan peta tidak hanya
mengandalkan keterampilan grafis namun juga estetika secara visual, sedangkan
dikatakan teknologi karena dalam pembuatan peta tersebut banyak menggunakan
perangkat elektronik, mekanis, dan fotografik (Monmonier, 2000: 96). Pada
mulanya para ahli geografi dan ilmuwan sosial lainnya sering mengidentikan
kartografi sebagai pembuatan peta atau desain dan pembuatan ilustrasi georafis
untuk meyertai narasi verbal. Namun dengan semakin canggihnya proses
pembuatan peta, maka pembagian tugas perlu dilakukan, misalnya
antarakartografer yang menyususn peta dan menulis teks, serta ilustrator
kartografis yang membuat gambar-gambarnya (Monmonier, 2000: 97).
9. Kota
Konsep “kota” merupakan sebenarnya merujuk kepada fenomena yang
sangat bervariasi sesuai dengan perbedaan sejarah dan wilayah. Namun secara
umum istilah “kota” sebagai tempat di wilayah tertentu yang dihuni oleh cukup
banyak orang dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi pula. Studi
tentang masyarakat kota tidak hanya terbatas menelaah masyarakat secara luas,
namun juga karakteristik-karakteristik tertentu dari kehidupan internalnya
(Hannerz, 2000: 110).
Dilihat dari sejarahnya, budaya perkotaan bermula di enam daerah pusat
peradaban kuno yang terpisah, yakni; Mesopotamia, lembah Sungai Nil, Lembah
Sungai Indus, Cina Utara, Meso-Amerika, Pegunungan Andes, dan Yorubaland di
Afrika barat (Wheatley, 1971). Di pusat-pusat pemukiman itulah sentral
monarkhi dan lembaga keagamaan yang masing-masing memiliki staf
administrasi dan pengawal resmi yang berkuasa mengendalikan para petani dan
penduduk di tempat-tempat sekitarnya, serta memanfaatkannya. Selain itu
bangunan-bangunan pusat budaya berkembang menjadi serangklaian yang
kompleks arsitektur monumental yang meliputi candi-candi, istana, gedung
peradilan, pasar dan sebagainya. Sebagai contoh kota-kota di zaman GraecoRoman, dipenuhi oleh kaum elit pemilik tanah dan panglima perang yang segala
aktivitasnya ditunjang oleh ribuan budak (Hannerz, 2000: 111).
Seorang sejarawan Belgia yang memusatkan perhatiannya pada kota-kota
tua adalah Henri Pirenne yang banyak meneliti kota-kota tua di Eropa pada abd 30
pertengahan. Kemudian tokoh lainnya adalah Max Weber, seorang sosiolog yang
dipengaruhi aliran filsafat historisme mengembangkan suatu tipe kota ideal dalam
karyanya yang berjudul The City (1958/[1921]). Pengertian ideal di sini adalah
suatu komunitas perkotaan dengan pasar sebagai institusi sentralnya yang
ditunjang oleh sistem administrasi dan hukum yang otonom. Weber juga
membandingkan antara kota-kota di Eropa dengan kota-kota Timur. Menurutnya
kota-kota Timur lebih terfragmentasi secara internal dan lebih terkait secara
integratif dengan administrasi kerajaan.
Namun perubahan-perubahan urbanisme sekarang dan mungkin juga masa
datang, secara kompleks akan dipengaruhi oleh faktor-faktor demografi, ekonomi,
dan teknologi. Buktinya pada abad dua puluh saja, kita telah menyaksikan suatu
perkembangan perkotaan yang amat cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Konsep-konsep “Megapolis” dan Canurbation” merupakan konsep baru yang
merebak pada fenomena perkotaan di Dunia Barat dan non-Barat. Begitu juga
mode-mode tansportasi serta komunikasi dalam masa globalisasi ini menjadi
trend baru dalam tata kota modern yang menarik perhatian (Hannerz, 2000: 113).
10. Mortalitas
Konsep “mortalitas” merujuk kepada rangkuman tingkat kematian kotor
rata-rata (crude death rate disingkat CDR) penduduk, yaitu jumlah kematian per
tahun per seribu penduduk (Ewbank, 2000: 684). Rangkuman yang sederhana
tersebut mengukur efek mortalitas pada laju pertumbuhan penduduk.
Mortalitas/CDR dipengaruhi oleh distribusi umum dari populasi. Oleh karena itu
tidak akan banyak berguna membandingkan mortalitas pada masyarakat yang
memiliki tingkat fertiltas yang berbeda atau pada masyarakat yang terpengaruh
oleh migrasi.
Pernghitungan yang lebih akurat, adalah dengan menggunakan tingkat
kematian pada umur tertentu (angka kematian tahunan dalam kelompok umur
tertentu). Ukuran yang digunakan adalah angka kematian bayi (IMR = infant
mortality rate) IMR selama setahun adalah angka kematian bayi (yaitu kematian
bayi yang terjadi sebelum bayi memasuki tahun pertama) selama satu tahun per
seribu kelahiran dalam tahun yang sama. Bagi para pengikut kelahiran hidup Ilive
births), IMR adalah proporsi bayi yang mati sebelum setahun. IMR bervariasi dari
yang rendah , yaitu sekitar 5, sampai lebih dari 300 perseribu kelahiran. IMR
sering digunakan sbagai indikator mortalitas daro keseluruhan masyarakat, karena
perkiraan kematian bayi lebih dapat diandalkan dari pada perkiraan kematian
dewasa.
Penurunan mortalitas mendorong terjadinya perubahan dalam struktur
sosial. Sebagai contoh, masyarakat yang memiliki tingkat mortalitas tinggi,
terdapat proporsi penduduk janda dan yatim piatu yang besar. Kemudian pada
masyarakat yang mortalitasnya rendah, mekanisme ini tidak terlalu kuat dan
dukungan dari orang tua selama periode sakit dan produktivitas ekonomi yang
rendah juga menjadi permasalahan yang lebih penting. Meskipun distribusi umur
dari suatu masyarakat adalah faktor penting yang membentuk struktur sosial,
mortalitas tidak memainkan peranan besar di alamnya. Kemudian distribusi umur
dari orang-orang yang mati juga penting. Di negara-negara yang mortalitasnya 31
tinggi, sekitar 15% dari populasi dan 40% dari yang mati berumur lebih dari 75
tahun (44%) dibandingkan dengan 11% kematian di negara yang mortalitasnya
tinggi. Distribusi ini mempengaruhi sikap budaya terhadap kehidupan dan
ematian. Sebagai contoh , di beberapa masyarakat yang mortalitasnya tinggi anakanak tidak diberi nama sampai saat mereka berhasil mengatasi minggu-minggu
pertama kehidupan mereka. Sebaliknya di kebanyakan masyarakat tingkat
mortalitasnya bervariasi dengan indikator status sosial seperti pendidikan,
penghasilan, dan jabatan. Perbedaan-perbedaan ini berkaitan dengan perbedaan
nutrisi, perumahan, kesehatan, dan perbedaan perilaku seperti pemberian makanan
terhadap anak-anak; merokok; dan konsumsi alkohol (Ewbank, 2000: 686).
11. Khatulistiwa (Ekuator)
“Khatulistiwa” atau ”ekuator” adalah sebuah konsep yang merujuk kepada
garis khayal yang melingkari bola bumi dan membelahnya menjadi dua bagian
sama besar yang masing-masing 180 derajat. Garis “ekuator” inilah yang sering
disebut garis “khatulistiwa” atau garis lintang nol derajat (Shadily, 1984: 905).
Dari garis lintang nol derajat tersebut untuk ke arah utara disebut garis lintang
utara, dan sebaliknya yang ke arah selatan disebut garis lintang selatan. Beberapa
negara yang dilalui garis khatulistiwa tersebut adalah; (1) Indonesia, (2) Ekuator,
(3) Colombia, (4) Brazilia, (5) Kenya, (6) Kenya, (7) Uganda, (8) Zaire, (9)
Kongo, (10) Gabon. Di Indonesia garis ekuator melintasi kota Pontianak
(Kalimantan Barat), Sasak (Sumatera Barat), Teluk Gorontalo, Kalimantan Timur,
Bagian Selatan P.Halmahera, serta pesisir utara P. Waigeo Irian Barat.
12. Demografi
Konsep “demografi” merujuk kepada analisis terhadap berbagai variable
kependudukan. Di dalamnya mencakup berbagai metode perhitungan dan hasil
substatif dalam riset mengenai angka kematian (mortalitas), angka kelahiran
(natalitas), migrasi, dan jumlah serta komposisi penduduk atau populasi (Keyfitz:
2000: 219).
Biasanya para ahli demografi mengumpulkan data kependudukan dan
segenap komponen perubahannya, serta membangun model-model dinamika
populasi. Mereka memiliki kontribusi penting terhada bidang kependudukan yang
begitu luas, yang mencoba pula mengaitkan perubahan kependudukan dengan
aspek-aspek non-demografi seperti faktor-faktor sosial, politik, dan sebagainya.
Dengan demikian kajian demografi bersifat interdisipliner, yang banyak
menggunakan konsep-konsep kajian sosiologi, sejarah, ekonomi, antropologi,
psikologi, dan lain-lain. Begitu juga dalam penggunaan metodenya-pun memakai
statistika dan analisis numeric.
Jika ditinjau dari jenis atau macam variable kependudukannya, dalam
demografi terbagi atas dua jenis variable kependudukan. Pertama, variable stok
(stock) yang bersifat statis. Variable stok ini menggunakan sumber sensus-sensus
nasional yang bentuknya selalu berkembang sejak abad 17 hingga sekarang
menjadi lebih modern. Beberapa informasi crossectional yang lazim dikumpulkan
dalam sensus tersebut adalah; usia dan jenis kelamin serta distribusinya, status dan
mata pencaharian, serta tempat lahir. Kedua, arus (flow) yang bersifat dinamis. 32
Gelombang modernisasi yang menurunkan angka kelahiran , ternyata
mempengaruhi berbagai sub-kelompok masyarakat di suatu negara pada waktuwaktu yang berbeda. Sebagai akibatnya transisi demografis memperlihatkan
dirinya sebagai tingkat kesuburan yang berbeda-beda. Kelompok kaya, mereka
tingga di kota-kota, golongan terdidik suatu ketika cenderung mempunyai tingkat
kelahiran lebih rendah daripada kelompok miskin, dan buta huruf. Begitu juga
perbedaan yang menyolok terjadi ketika penghasilan meningkat dan distribusi
pendapatan menyempit. Dan beberapa pertanyaan yang belum dapat terjawab
yang berkaitan dengan perubahan-perubahan demografis dewasa ini adalah:
Sejauh mana turunnya kesuburan demografis dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan tingkat penghasilan (Keyfitz, 2000: 221).
13. Tanah
Istilah “tanah” merujuk kepada suatu wilayah permukaan bumi yang ciri
khasnya mencakup segala sifat yang sepatutnya stabil atau diperkirakan selalu
terulang kembali dari lingkungan hidup yang lurus di atas atau di bawah wilayah
tersebut. Dengan demikian ia mencakup udara di atasnya, bumi dan geologi yang
melandasinya, hidrologi, tumbuhan dan hewan berikut akibat kegiatan manusia di
masa lalu dan kini, sejauh semua hal tersebut menimbulkan pengaruh yang berarti
atas penggunaan tanah tersebut oleh manusia kini dan kelak kemudian hari, (Vink,
1986: 194).
Tanah dan air adalah komponen bumi yang mempunyai pengaruh yang
paling langsung atas pertumbuhan tanaman, misalnya panen pertanian. Oleh
kerena itu survei tanah dan penelitian air memainkan peranan penting untuk
menentukan dalam survei daerah untuk perencanaan tataguna tanah. Sebab baik
tanah maupun air sangat erat hubungannya dengan bentuk tanah.
Di sinilah kadang-kadang kurang diakui tentang betapa pentingnya
geomorfologi untuk survei tanah dan untuk perkiraan yang benar tentang cocok
tidaknya geomorfologi itu bagi tataguna tanah. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam kaitan ini adalah:
(1) bentuk tanah yang terbagi atas relief makro, relief meso dan
relief mikro; (2) bentuk tanah menentukan wujud pengaliran air
di permukaan dan penggenangannya di tempat tertentu; (3)
bentuk tanah berkaitan erat dengan cirri-ciri khas yang
mendasar dari susunangeologis; (4) bentuk tanah berkaitan
dengan tanah dalam berbagai cara; (5) bentuk tanah pada
umumnya juga memberi petunjuk penting umur permukaan
bumi sekaligus tentang erosi dan denudasi (Vink, 1986: 195).
14. Transmigrasi
“Transmigrasi” adalah sutu sistem pembangunan terpadu, suatu upaya
untuk mencapai keseimbangan penyebaran penduduk, juga dikamaksudkan untuk
menciptakan perluasan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas dan
meningkatkan pendapatan melalui pemindahan penduduk dari yang padat (Jawa,
Madura, Bali) ke daerah-daerah yang jaranng penduduknya (Martono, 1986: 180). 33
Program transmigrasi tersebut menurut Swasono perlu ditempatkan dalam
proporsisi yang wajar di dalam proses pembangunan. Mungkin akan
menggusarkan beberapa pihak dan tidak enak didengar. Tetapi baginya bahwa
program tramsmigrasi tersebut harus dilihat sebagai proyek turunan (derived
project) dan bukan sebagai proyek utama (main project). Artinya transmigrasi
bukan merupakan proyeknya itu sendiri. Transmigrasi ada karena adanya proyek
induk atau proyek utama, meskipun demikian tidak berarti bahwa transmigrasi
tidak memegang peranan penting dalam proyek itu. Sebab dalam keterkaitan
hubungan proyek utama dan turunan tersebut bukanlah hubungan sub-ordinasi,
tetapi hubungan integratif (Swasono, 1986: 333). Sebab jika kita tetap
membiarkan semata-mata karena berpikir demografis-sentris yang sama seperti
zaman Raffles dan Du Bus berlanjut ke zaman Heyting (1905), zaman pra
Depernas, zaman Depernas sampai sekarang, hal ini khawatir program-program
yang lebih mendasar di luar itu akan terabaikan. Bukankah angka pemindahan
penduduk Jawa sepanjang sejarahnya tidak pernah menunjukkan pertambahan
penduduk Jawa sekitar 2 juta jiwa per tahunnya selama kita menlankan program
transmigrasi tersebut (Swasono, 1986: 332). Belum lagi masalah-masalah sosial
budaya yang terjadi antara penduduk transmigran dengan pribumi, sering
menjadikan kendala pembatas antar etnis tersebut..
15. Wilayah
Konsep ”wilayah” merujuk pada suatu area di permukaan bumi yang
relatif homogen dan berbeda dengan sekelilingnya berdasarkan beberapa kriteria
tertentu (Jonston, 2000: 910). Jadi kuncinya dalam georafi kawasan tersebut
adalah kawasan yang dibangun di atas sebuah unit spasial yang homogen: sebagai
inti dari disiplin, konsep ini tampil sebagai kajian tentang bagaimana bagianbagian bumi begitu beragam akibat distribusi yang tidak merata dari fenomena
alam dan manusinya (termasuk interaksi keduanya). Berbagai jenis kumpulan
fenomena berada dalam berbagai wilayah, menciptakan kawasan-kawasan,
sehingga kajian kawasanmenyoroti tentang pembentukan kumpulan-kumpulan
tersebut dan menguraikan ciri-ciri khas berbagai bagian dunia.
Studi dan deskripsi tentang ”wilayah” tersebut merupakan perhatian utma
dari para ahli demografi pada pertengahan abad 20, yang menginterpretasikan
peran menreka dalam dalam pembagian kerja akademis yang menyebabkan
pembedaan wilayah yang mencirikan permukaan bumi. Dengan demikian selama
beberapa dekade ”geografi kawasan” adalah menjadi bagian penting dalam kajian
geografi keseluruhan (Wooddridge dan East, 1958: 141).
Namun sejak tahun 1950-an, geografi kawasan mulai dikecam keras
karena telah disalahfahami dan dipraktekkan secara salah. Akibatnya reputasinyapun cepat tenggelam, kendati konsep kawasan tersebut tetap eksis, dalam fungssi
baru untuk memberi batasan pada wilayah-wilayah homogen untuk praktik
analisis spasial. Ironisnya geografi kawasan tetap mendapat dukungan dari
kelompok-kelompok yang mengidentifikasi peran pedagogis untuk deskripsi
kawasan sebagai cara-cara meentransmisikan pengetahuan tentang diferensiasi
kewilayahan, yang tugasnya lebih berifat ”populer dan edukasioanal daripada
praktis atau profesional sempit” (Paterson, 1974: 21). Malahan menurut seorang 34
ahli geografi Amerika Serikat terkenal mengklim bahwa geografi kawasan adalah
bentuk tertinggi dari derajat seni seorang ahli geografi, yang melibatkan produksi
”deskripsi evokatif yang memberi jalan bagi pemahaman dan apresiasi terhadap
berbagai tempat” (Hart, 1982: 2).
D. Generalisasi-generalisasi Geografi
1. Tempat
Nilai penting karakteristik suatu tempat dalam masa lalu, sekarang, maupun masa
depan terhadap suatu tempat-tempat yang strategis secara ekonomi, selalu
menjadi memiliki daya tarik tersendiri bagi pengembangan politik-ekonomi.
Karena makin meningkatnya mobilitas dua faktor utama produks, yaitu; modal
dan tenaga kerja. Suatu tempat harus memiliki daya tarik bagi investasi dan
pekerja, dan mereka yang terlibat dalam manajemennya harus bekerja sesuai
dengan tujuan tersebut. Hal ini telah menimbulkan ketertarikan untuk
menciptakan dan menjual tempat kepada berbagai kelompok bisnis.
2. Sensus Penduduk
Sensus penduduk memiliki makna multi dimensi, .karena dari hasil sensus
tersebut dapat memberikan informasi tentang penduduk; angkatan kerja produktif,
perumahan, sektor manufaktur, pertanian, perindustrian, pertambangan, dunia
bisnis dan lain-lain. Dalam praktinya sesnsus penduduk dapat dilakukan secara
“defacto” maupun “de jure” (di mana ia dihitung walaupun tidak ada ketika
sensus berlangsung) (.Taeuber, 2000: 100).
3. Iklim
Masalah-masalah yang sering muncul dalam pembangunan pertanian di daerah
tropis dariu segi iklim adalah; tanah di daerah tropis beriklim lmbab, mungkin saja
sepanjang tahun dapat digunakan untuk pertanian, tetapi sebagian tanah itu tidak
cocok untuk didayagunakan menurut pola pertanian modern yang mengandalkan
penggunaan teknologi mutakhir, karena tidak dapat dipupuk secara efektif dengan
pupuk mineral (Weischet, 1986: 1)
4. Laut
Sebagai negara bahari, bangsa Indonesia belum optimal dalam melakukan
pemberdayaan “kelautan” atau apa yang dinamakan “Revolusi Biru” masih jalan
ditempat. Padahal luas perairan laut kita seluas 3.166.163 kilo meter persegi,
sedangkan luas daratan hanya 2.027.087 kilo meter persegi. Sampai sekarang ini
belum ada prestasi kelautan kita yang dapat dibanggakan.
5. Lingkungan
Dalam setiap proyek pembangunan, sebelumnya perlu dikakukan analisis
menyeluruh tentang dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Hal ini bukan
hanya kepada perusahaan-persahaan pemerintah tetapi juga perusahaanperusahaan swasta, terutama sangat berperan dalam memperoleh izin resmi usaha 35
tersebut, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang dianggap peka terhadap
lingkungan ((O’Riodan, 2000: 299).
6. Benua
Sebagai benua yang paling banyak dan padat penduduknya, bangsa Asia jauh
lebih kompleks manghadapi tantangan kehidupan mendatang disbanding dengan
bangsa Auastralia. Yang lebih sedikit dan rendah tingkat kepadatan
penduduknya.
7.Urbanisasi
Urbanisasi merupakan salah satu proses perubahan sosial yang tercepat di negaranegara-negara berkembang khususnya bahkan dunia. Transformasi-transformasi
sosial dan demografis bersamaan dengan tumbuhnya penduduk kota di negaranegara berkembang tersebut telah menujukkan pelipatgandaan pertumbuhan
demografis yang memprihatinkan (Ever, 1995: 49).
8. Peta
Para birokrat pemerintah, kaum professional, maupun intelektual pada hakikatnya
memerlukan peta. Dari keperluan untuk pembangunan ekonomi, pertahanan
nasinal, perlindungan lingkungan, ekonomi, bisnis, wisata, industri, maupun untuk
memberikan eksplanasi visual dalam ranah-ranah abstrak yang perlu dipahami
secara mendalam , apa lagi jika peta itu bentuk dan disainnya lebih bersifat
dinamis dan interaktif karena dibuatnya dengan teknologi yang kian canggih dan
menarik, jelas sangat diperlukan (Monmonier, 2000: 96)
9. Kota
Dalam banyak hal tentang kontak-kontak sosial di perkotaan, sebagai sesuatu
yang bersifat “impersonal, supervisial, sementara, dan segmental”. Hal ini pula
yang dikhatirkan oleh beberapa sosiolog bahwa memang cenderung pesimis
mengenai kemungkinan terciptanya kehidupan manusiwi yang memuaskan di
perkotaan yang dipenuhi industri (Hannerz, 2000: 111).
10. Mortalitas
Terjadinya transisi demografis (demographic transition) yang dikenal sebagai
lingkaran siklus demografis, menggambarkan proses perubahan tingkat mortalitas
dan natalitas pada suatu masyarakat dari suatu situasi di mana angka keduaduanya menunjukkan angka yang tinggi (Caldwel, 2000: 218).
11. Khatulistiwa/Ekuator
Bagi negara-negara yang dilalui dengan garis khatulistiwa, tidak ada lasan untuk
merasa takut kekurangan sinar matahari. Hal ini jelas berbeda dengan daerahdaerah subtropics yang jauh dari garis khatulistiwa, mereka hanya bulan-bulan
tertentu dapat menikmati hangatnya sinar matahari.
12. Demografi 36
Ledakan demografi dunia khususnya di negara-negara berkembang,
memperlihatkan kecenderungan yang mencemaskan. Di tahun 1825 selagi
Malthus membuat perubahan akhir atas karya aslinya Essay on Population, kirakira satu milyar umat manusia mendiami planet bumi. Tetapi menjelang itu,
industrialisasi dan kedokteran modern memungkinkan penduduk bertambah
dengan laju kecepatan yang makin meningkat. Dalam seratus tahun berikutnya,
penduduk dunia berlipat ganda menjadi dua milyar, dan dalam setengah abad
berikut (dari tahun 1925 ke tahun 1976) berlipat ganda lagi menjadi 4 miliar.,
menjelang tahun 1990, angka itu melaju sampai 5,3 milyar (Kennedy, 28-29).
13. Tanah
Banyak pekerjaan dilaksanakan di atas tanah yang diolah melalui sistem-sistem
hidrologi. Sistem-sistem ini kerapkali juga menghubungkan tanah denganperairan
terbuka. Perairan terbuka ⎯ sungai, danau, laut, samudera ⎯ mempunyai
ekosistemn sendiri-sendiri yang juga dapat diteliti dan dipetakan serta sangat
dipengaruhi oleh kegiatan manusia di daratan (Vink, 1986: 199).
14. Transmigrasi
Bagi bangsa Indonesia program tarnsmigrasi bukan sesuatu yang baru, sejak
pertengahan abad 19 dalam Etische Politiek telah mempengaruhi parlemen
Belanda untuk mengetuk dan membuat penelitian tantang kemakmuran rakyat
daerah-daerah pedesaan di Jawa (demindere wel vaart onderzoek) yang akhirnya
mencanangkan dan melaksanakan program transmigrasi (Purboadiwidjojo, 1986:
9), walaupun pelaksanaannya bukan semata-mata atas dasar kemanusiaan. Begitu
juga ketika Indonesia memasuki pasca kemerdekaan, pemerintah segera
mencanangkan Program Transmigrasi terutama untuk mengatasi
ketidakseimbangan demografis antara pulau Jawa (termasuk Madura Bali) yang
padat penduduknya dn pulau-pulau luar Jawa yang jarang penduduknya
(Swasono, 1986: xi; Scholz, 1986: 287)
15. Kawasan
Kompleksitas persoalan-persoalan demografis kawasan Asia jauh melebihi
kompleksitas persoalan-persoalan demografis kawasan Australia, baik mengenai
natalitas, motalitas, proyeksi kependudukan, serta kesejahteraannya.
H. Teori-teori Geografi
1. Teori Ledakan Penduduk Malthus
Thomas Robert Malthus lahir di Ruckery-St. Catherina Inggeris pada
tanggal 14 Februari 1766 dan meninggal pada tanggal 23 Desember 1834. Ia
seorang ahli ekonomi yang tergolong ekonomi Mazhab Klasik bersama-sama
Adam Smith. Ajaran-ajarannya banyak mempengaruhi pemikiran ekonom
lainnya seperti Ricardo, di mana perkembangan ekonomi diasumsikan cukup
suram itu berpengaruh besar pada abad ke-19. Dalam ilmu geografi ekonomi dan
poppulasi nama dia juga dikenal sebagai seorang pelopor yang mengukir pada 37
mazhab geografi tersebut. Selain itu nama Malthus kemudian diabadikan juga
dalam istilah ”neomalthusianisme”. Adapun teori Malthus tentang ledakan
penduduk ditulis dalam bukunya An Essay on the Principles of Population (1798).
Dalam teorinya tersebut Malthus berpendapat, bahwa:
a. Masyarakat manusia akan tetap miskin karena terdapat kecenderungan
pertambahan penduduk berjalan lebih cepat daripada persediaan makanan.
b. Pertambahan penduduk dapat diibaratkan deret kali atau deret ukur sehingga
pelipat-gandaan jumlah penduduk dalam setiap 25 tahun, sedangkan
peningkatan sarana-sarana kehidupan berjalan lebih lambat, yankni menurut
deret hitung atau deret tambah.
c. Melalui tindakan pantang seksual/pantangan kawin, perang, bahaya kelaparan,
dan bencana alam, jumlah penduduk setiap kali memang diusahakan sesuai
dengan sarana kehidupan yang tersedia. Namun cara itu tidak cukup untuk
meningkatkan kehidupan masarakat sampai di atas batas minimum.
2.Teori Pengaruh Iklim Terhadap Peradaban Elsworth Huntington
Ellswort Huntington adalah seorang ahli geografi Amerika yang produktif
menulis berbagai buku ternama dan teorinya tergolong fantastis imajiner dan
kadang dinilai bombaptis. Inti teori-teorinya itu terdapat dalam tiga buku yakni:
The Pulse of Asia (1907); Palestine and Its Transformation (1911), Civilization
and Climate (1915), yang secara garis besar pokok-pokok pikirannya sebagai
berikut:
a. Peradaban besar yang ada di kawasan Asia Tengah dan Barat Daya pada zaman
kuno dimana kondisi mengrikan sekarang ini dari daerah-daerah tersebut, pada
awal abad ke-20 diperkirakan adanya kemerosotan perabadaban yang terjadi
dan disebabkan oleh perubahan iklim.
b. Mekeringan di wilayah ini pada masa sekarang kelihatannya tidak sesuai
dengan posisinya terdahulu sebagai pusat kerajaan, dan dia mulai berpikir
bahwa iklimnya yang dahulu seharusnya lebih lembab, bahwa wilayah ini
harus mengalami proses pengeringan yang progresif.
c. Proses semacam ini harus menjadi bagian dari suatu proses yang lebih besar
fenomena-fenomena ayang lebih umum. Sesuai dengan itu ia terdorong untuk
membuat postulat tentang mengeringnya bumi, yang terjadi dalam ”plsasi
ritmik, dengan periode-periode dari udara kering dan basah.
d. Begitu-pun cerita pengembaraan bangsa Ibrani (Yahudi) dalam kitab suci,
berhubungan dengantitik tengah antara masa kekeringan dan masa kebasahan.
Ekspansi kerajaan Moghul, ekspansi kerajaan barbar Mongol sampai ke
Eropa, adalah akibat dari mengeringnya tempat tinggal asli dari kaum
penyerbu.
e. Proses pengeringan yang progresif dari bumi mengikuti arah tertentu
umumnya dari timur ke barat. Inilah yang menjelaskan pergantian pusat-pusat
peradaban besar dari Babilonia, Mesir ke Yunani, ke Roma, dari Roma ke
Prancis, dan dari Prancis ke Inggeris, serta dari Inggeris ke Amerika Serikat.
3. Teori Lokasi Lahan von Thunen 38
Johann Hienrich von Thunen dalam Der Isolierte Staat (1826)
mengemukakan bahwa pada dasarnya penggunaan lahan dapat dibagi dalam
beberapa penggunaan. Dengan mengambil satu pusat kota sebagai satu-satunya
tempat memproduksi barang-barang yang dibutuhkan seluruh negara, daerahdaerah di sekitarnya hanya sebagai pemasok bahan mentah lain ke kota.
a. Lahan pertama berada di dekat pusat kota (pasar) akan dipakai untuk kegiatankegiatan intensif jenis tanaman yang hasilnya cepat rusak, memakan tempat
dan berat dalam kaitannya dengan transportasi.
b. Daerah kedua merupakan daerah hutan. Hal ini bisa dipahami mengingat
masa itu kebutuhan hasil hutan untuk kayu dan bahan bakar yang sifatnya
memakan tempat dan berat sehingga harus ditempatkan agar dekat dari pusat
kota.
c. Daerah ketiga digunakan untuk menanam tanaman sejenis gandum atau padipadian.
d. Daerah keempat berupa daerah penggembalaan ternak.
e. Daerah kelima, merupakan daerah ’three field system’ merupakan daerah
ilalang, daerah tandus.
f. Sedangkan daerah keenam merupakan daerah perburuan.
g. Untuk memudahkan dan efisiensi transportasi, diperlukan sungai yang
membelah kota, ternyata dapat menghemat 1/6 transportasi darat, sehingga
daerah pertama akan berkembang sepanjang sungai.
h. Perlu dibuat kombinasi transportasi darat dan sungai, sehingga akan sama
biaya transpor darat bagi daerah yang tidak dapat menikmati adanya sungai.
4.Teori Daya Sentrifugal dan Sentripetal Charles O. Colby
Charles O.Colby adalah penulis artikel Jurnal Annals pada Association of
American Geographers Vol 23.No.1 (Mar.1933), hlmn.1-20. yang menulis topik
“Centrifugal and Centripetal Forces in Urban Geography”. Dalam tulisan
tersebut Colby menguraikan bahwa proses berekspansinya kota yang makin
meluas dan berubahnya struktur tata guna lahan sebagian besar disebabkan oleh
adanya daya sentrifugal dan sentripetal pada beberapa kota. Daya sentrifugal;
mendorong gerak ke luar penduduk dan usahanya sehingga terjadi disperse
kegiatan manusia dan elokasi sector-sektor serta zone-zone kota. Sedangkan daya
sentripetal, mendorong penduduk bergerak ke dalam kota dan berbagaiusahausahanya yang menimbulkan pemusatan (konsentrasi) aktivitas masyarakat.
Adapun isi pokok teori tersebut, yang menyebabkan pada masyarakat kota
terjadi daya sentfifugan dan sentripetal tersebut, sebagai berikut: Pertama, untuk
daya sentrifugal:
a. Terdapat gangguan yang sering berulang, seperti; macetnya lalu lintas, polusi
udara dan bunyi, menyebabkan penduduk kota merasa tidak nyaman
bertempat tinggal di situ.
b. Dalam pengembangan industri modern dan besar-besaran, memerlukan lahanlahan relatif luas serta menjamin kelancaran tranportas dan lalu-lintas. Hal ini
hanya mungkin dapat dilakukan di pinggiran kota, sebab kondisi kota-kota tua
demikian padat. 39
c. Harga sewa/beli tanah di pinggir atau luar kota, jauh lebih murah daripada di
kota
d. Di kota sudah dipenuhi gedung-gedung bertingkat tinggi, tidak mungkin lagi
dapat dibangun bangunan baru, kecuali dengan biaya yang sangat tingi.
e. Kondisi perumahan kota umumnya padat dan sempit, sulit untuk
dikembangkan lebih lanjut, kecuali dengan biaya yang tinggi. Berbeda dengan
pinggir atau luar kota, serba mungkin untuk memperoleh perumahan yang
lebih nyaman, segar, dan murah.
f. Hidup di kota, terasa sesak, penat, dan berjubel. Sedangkan di pinggir/ luar
kota lebih terasa asri, segar, sunyi, dan nayaman.
Namun sebaliknya, banyak juga penduduk luar/pinggir kota yang justru
menyenangi hidup tinggal di kota, inilah yang kedua ini termasuk daya sentripetal
yang penyebabnya, sebagai berikut:
a. Memiliki tempat-tempat di pusat kota yang strategis, sangat cocok untuk
pengembangan industri dan merupakan kemudahan tersendiri dalam operasi
industri.
b. Berbagai perusahaan dan bisnis, biasanya lebih menyukai lokasi-lokasi apakah
itu dekat stasion kereta api, pelabuhan, maupun terminal bus, maupun pusatpusat keramaian publik lainnya.
c. Dalam dunia bisnis, lebih menyukai dan berkecenderungan adanya
konsentrasi-konsentrasi penjual jasa seperti, penjahit, tempat praktek para
dokter, pengacara, tukang gigi, pemangkas rambut dan kecantikan, lokasinya
lebih menyukai berdekatan..
d. Selain itu juga di kota-kota sudah sedemikian rupa tersusun pusat-pusat
perbelanjaan, seperti toko-toko; tekstil, elektronik, perhiasan (emas dan
perak), pakaian jadi, makanan dan minuman, barang-barang kelontong,
mainan anak, dan sebagainya.
e. Banyaknya flat-falt/rumah bersusun untuk masyarakat kecil, setidaknya dapat
meringankan harga sewa bagi penduduk kota.
f. Kota juga mnyediakan sejumlah tempat hiburan, olahraga, seni-budaya,
pendidikan, di samping menyediakan pekerjaan.
g. Para pegawai dan pekerja kota lainnya, lebih menyukai tempat tinggal yang
tidak berjauhan dengan tempat bekerja. Artinya kota tetap diminati sebagai
kebutuhan untuk bertempat tinggal karena dekat dengan tempat bekerja.
5. Teori Kota Konsentris Burgess
E.W. Burgess adalah seorang geograf Amerika Serikat yang mengkaji
struktur kota Chicago pada tahun 1920-an, dan teori konsentrasi tersebut dimuat
dalam tulisannya yang berjudul The Geography of City (1925). Inti teori kota
konsentris tersebut adalah:
a. Pada hakikatnya kota itu meluas secra seimbang dan merata dari suatu
pusat/inti, sehingga muncul zone-zone baru sebagai perluasannya.
b. Pada setiap saat dengan demikian dapat ditemukan sejumlah zone yang
konsentris letaknya, sehingga struktur kota menjadi bergelang (melingkar). 40
c. Di pusat kota terdapat Zone Pertama; Central Bisnis District (disingkat BCD)
jika di Chicago disebutnya Loop. Fungsi Loop tersebut untuk sebagai
pusat/jantung kehidupan perdagangan, perekonomian, dan kemasyarakatan..
Zone Kedua; terdapat Zone Peralihan (trantitional zone) merupakan kawasan
perindustrian, disertai oleh rumah-rumah pribadi yang kuno. Bahkan jika
Chicago telah berubah menjadi Chines Town maupun pertokoan dan
perkantoran berskala kecil. Namun jika sudah bobrok banyak dimanfaatkan
oleh kaum gekandangan miskin. Zone Ketiga: kawasan perumahan para
buruh kebanyakan adalah kaum imigran. Zone Keempat: penghini kelas
menengah, cukup rapi memiliki jarak sanitasi yang lebih memadai sebagai
tempat tinggal yang nnyaman dan baik. Namun terdapat juga sebagian kecil
rumah berkelas elite. Sedangkan pada zone kelima; merupakan Commuters
Zone, atau tempat orang yang pulang-pergi setiap hari untuk bekerja. Kondisi
alamnya masih asri, luas, dan mewah serta berfungsi sebagai kota kecil untuk
beristirahat/tidur atau dormitory towns, maklum perumahan untuk orang-orang
kaya
d. Secara keseluruhan deskripsi teori konsentris yang ideal ini dapat dilihat pada
gambar 3-1 berikut ini
Gambar 3-1
Kota Model Konsentris Burgess
6
5
4
3
2
1 41
1. Pusat Dagang / CBD
2. Zone Transisi (Perdag. Besar & Industri Kecil)
3 Zone Pemukiman Buruh Rendahan
4. Zone Pemukiman Buruh Menengah
5. Zone Zone Pemukiman Kaum Elite
6. Zone Kaum Elite PP Tiap Hari Kerja
6. Teori Konflik antara Suku Bangsa Nomadik dengan Sedenter Jean Bunhes
Jean Bunhes seorang ahli geografi Prancis murid Le Play yang meneliti
pengaruh kehidupan nomadik (barbar) terhadap politik. Penelitiannya ini
dilakukan atas di beberapa kawasan khususnya Afrika (Gurun Sahara dan Asia
Tengah yang beriklim keras, dengan sistem keluarga yang ptrairkhal yang
menghasilkan otorianisme dalam bukunya Geographie humanie (1925). Adapun
isi pokok teori tersebut, sebagai berikut:
a. Stepa-stepa padang rumput di Asia dengan musim dingin yang kejam, tidak
memungkinkan pengolahan alam yang intensif. Hanya bibir-bir gunung yang
di mana oase-oase irigasi dibangun, tanaman bisa tumbuh dan berkembang.
b. Di mana-pun tanah secara alami sangat sesuai dengan jenis pastoral
(pastoralart) untuk memelihara kawanan ternak dan hewan. Dan dengan
demikian wilayah penggembala di atas kuda, kelompok-kelompok kecil
manusia yang tersebar dengan ternaknya dalam suatu wilayah yang luas.
c. Karena dihadapkan dengan suasana keharusan untuk bergerak keliling dan
untuk mengetahui sebelumnya tentang wilayah perumputan serta sumbersumber air untuk jarak yang jauh, mereka memperoleh rasa gerakan taktis dan
strategi yang menempatkan mereka dalam posisi mendaulat terhadap rung dan
menguasai para tetangga mereka.
d. Beberapa dari penakluk yang paling besar dan paling berani dalam sejarah,
muncul dari stepa-stepa Jengis Khan, Timur Leng, Khubilai Khan.
e. Kualitas dan kemampuan yang menjadi alasan bagi kekuasaannya diperoleh
dari stepa, dari keterampilan yang dianugerahkan kepada pstoral, dan dari
subordinasi geografisnya pada lingkungannya.
f. Kelompok penggembala ini bukan massa petani-petani kelompok kecil yang
mengerumuni seluruh Asia Selatan dan Asia Timur, yang memimpin dunia.
Selama berabad-abad mereka menguasai India, dan Cina berada di bawah
kekuasaan orang-orang Mongol, yaitu kaum Nomad para penggembala Asia
yang perkasa (herdsman). 42
DAFTAR PUSTAKA
Ackoff, Russell, L. (1974) Redesigning the Future, New York: John Willey &
Sons.
Andreae, Bernd (1986) Geografi Pertanian di Daerah Tropis Beriklim Lembab”
dalam Pembangunan Pertanian daerah tropis beriklim lembab” dalam
Jurgen H.Honholz, (Ed) Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan
Pangan, PenerjemahThomas Rieger dan Sony Keraf, Jakarta: Karya
Unipress.
Barnes, Trevor (2000) “Geografi Ekonomi” dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn.266-267.
Burgess, E.W. (1925) ”The Geography of city” dalam R.E. Park et. Al. The City,
Chicago: Chacago University Press.
Buttimer, A. (1971) Society and Milleu in the French Geographical Tradition,
Chicago.
Cater, J. dan Jones, T. (1989) Social Geography: An Introduction to
Contemporary Issues, London.
Chadwick, George, (1971) A System View of Planning, New York: Pergamon
Press.
Curran, P.J. (1987) “Remote sensing methodologies and geography’,
International Journal of Remote Sensing, 8.
Davies, Wayne, K.D. (1972) The Conceptual Revolution in Geography, London:
Universuty of London Press.
Dickinson, Robert, E. (1970) Regional Ecology, New York: Jhon Willey & Sons.
Inc.
Domros, Mamfred (1986) Iklim Sebagai Faktor Penghambat Pertanian Daerah
Tropis”, dalam dalam Pembangunan Pertanian daerah tropis beriklim
lembab” dalam Jurgen H.Honholz, (Ed) Geografi Pedesaan: Masalah
Pengembangan Pangan, PenerjemahThomas Rieger dan Sony Keraf,
Jakarta: Karya Unipress.
Dunbar, G. (1977) “Some early occurrence of the term “social geography”,
Scottish Geographical Magazine,” 93. 43
Duverger, Murice (1985) Sosiologi Politik, Penerjemah Daniel Dhakidae,
Penyunting dan Pengantar Alfian, Jakarta: CV Rajawali.
Eyles, J. (ed) (1986) Social Geography in International Perspective, London:
Universuty of London Press.
Fairchild, H.P. et.al. (1964) Dictionary of Sociology and Related Sciences, New
Jersey: Littlefield, Adam & Co.
Fitgerald, W. (1946) “Geography and its component”, dalam Geoigraphical
Journal, 197.
Evers, Hans-Dieter (1995) Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah
di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: LP3ES.
Ewbank, Douglas C. (2000) “Mortalitas, dalam Adam Kupper & Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 685-686.
Fraenkel, Jack.R. dan Wallen, Norman, E. (1993) How to Design and Evaluate
Research in Education, New York: McGraw-Hill, Inc.
Giddens, Anthony (1984) The Constitution of Society, Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Gregory, D. (1978) Ideology, Science and Human Geography, London: PrenticeHall.
Gregory, K.J. (1985) The Nature of Psysical Geography, London: Heinemas.
Gregory, K.J. (1994) Geographical Imaginations, Oxford: Oxford University
Press.
Hagerstrand, T (1982) “Diorama, path and project” dalam Tijdscrift voor
Economisce en Sociale Geografie, 73.
Haggett, P., Cliff, A.D. dan Frey, A.E. (1978) Locational Analysis in Human
Geography, edisi kedua, London: Harper and Row.
Haggett, P. (1965) Locational Analysis in Human Geography, London: Metuen.
Hannerz, Ulf (2000) “Kota” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 110-113
Harvey, D. (1982) Limits of Capital, Chicago: Chicago of University Press. 44
Haring, L., Lloyd, Lounsbury, dan John.F. (1975) Scientific Geographic
Research, Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher.
Harshorne, R. (1950) “The functional approach in political geography, dalam
Annals, Association of American Geographers, 10.
Harstshorne, R. (1939) The Nature of Geography: A Critical Survey of Current
Thought in the Light of the Past, Lancester, PA.
Hartshorne, R. (1960) Perspective on the Nature of Geography, Chicago: Rend
McNally & Company.
Hart, J.E. (1982) “The highest form of the geographer’s art,” Annals of the
Association of American Geographers, 72.
Harvey, D. (1989) “From Models to Marx: notes on the project to “remodel”
contemporary geography, dalam B. Macmillan (ed) Remodelling
Geography, Oxford.
Harvey, D. (1973) Social Justice and the City, London: The English Universities
Press Limited.
Hightower, J. (1973) Hard Tomatoes, Hard Times, Camridge, MA.
Huntington, Ellsworth, (1915) Civilization and Climate, New Haven, CT.
James, Prestone E. (1959) New Viewpoint in Geography, Washington: National
Council for the Social Studies..
Jacson, P. dan Smith, S.J. (1984) Exploring Social Geography, London: The
English Universities Press Limited.
Johnston, R.J. (2000a) “Geografi” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 403-411.
Johnston, R.J. (2000b) ”Tempat” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 761-762.
Johnston, R.J. (2000c) ”Kawasan” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 910-911. 45
Johnston, R.J. (1991) A Question of Place: Exploring the Practice of Human
Geography, Oxord: Oxford University Press.
Johnson, Doyle Paul, (1986a) Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid 1,,
Diindonesikan Oleh; Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia.
Johnson, Doyle Paul (1986b) Teori Sosiologi: Klasik dan Modrn, Jilid 2,
Diindonesikan Oleh; Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia.
Jones, E. (ed) (1985) Readings in Social Geography, Oxford: Oxford University
Press.
Khiam, Kkhoe Soe (…?..) Ichtisar Perkembangan Ilmu Bumi, Bandung : KPPKBPG
Kerliger, Fred, N. (2000) Asas-asas Penelitian Behavioral, Penerjemah Landung
R. Simatumpang dan H.J. Koesoemo, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Keyfitz, Nathan, (2000) “Demografis” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 219-223.
Knox, Paul L. (2000) “Geografi Perkotaan” dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 1112-1114..
Lapian, A.B (1980) “Memperluas Cakrawala Melalui Sejarah Lokal”, dalam
Prisma, No. 8, Jakarta: LP3ES, hlm.3-9.
Lavelock, J. (1992) Gaia: The Practical Science of Planetary Medicine, Stroud.
Ley, D.F. dan Samuels M.S. (eds) (1978) Humanistic Geography Prospects and
Problems, Chicago: Chicago University Press.
Lincoln, Yvona.S dan Guba, Egon, G. (1985) Naturalistic Inquiry, Beverly Hills:
Sage Publications
Long, Norman, (2000) “Sosiologi Pedesaan”, dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 941-944.
Long, Norman, (1977) Introduction to the Sociology of Rural Development,
London: Longman. 46
Lucile, Carlson, (1960) Geography and World Politics, Englewood Cliffs, New
York: Prentice Hall, Inc.
MacDowell, L. (1991) “Life without father Ford: the new gender order of postFordism”, dalam Transactions: Institute of British Geographers 16.
Maguire, D.J. Goodchild, M.F, dan Rhind, D.W., (eds) (1991) Geographical
Information System: Principles and Aplication, London.
Martono, (1986) “Panca Matra Transmigrasi Terpadu” dalam Sri-Edi Swasono
dan Masri Singarimbun, Transmigrasi Di Indonesia 1905-1985, Jakarta:
UI Press, hlm.179-203
Massey, D. (1984) Spatial Divisions of Labour: Social Structures and the
Geography of Production, London: Hogarth.
Massey, D. (1984) Spatial Divisions of Labour: Social Structure and the
Geography of Production, London:
Mitchell,J.B. (1960) Historical Geography, London: The English Universities
Press Limited.
Monmonier, Mark (2000) “Kartografi” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 96-97.
Murphey, Rhoads, (1966) The Scope of Geography, Chicago: Rand MacNally.
Newby, H. (1980) “Rural Sociology: a trend report”, Current Sociology, 28.
Nystuen, J.D. (1963) “Identification of some fundamental spatial concepts, dalam
Proceedings of the Michigan Academy of Science, Arts and Letters, 48.
O’Riordan, Timothy, (2000) “Lingkungan” dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 298-300.
Pacione, M. (1987) Social Geography: Progress and Prospect, London.
Longman.
Pahl, R. (1966) “The Rural-Urban Continum” Sociologia Ruralis, 6.
Paterson, J.L. (1974) “Writing regional geography” dalam C. Board et al (eds)
Progres in Geography, vol. 6. London. 47
Patton, Michael, Quin (1980) Qualitative Evaluation Methods, Baverly Hills:
Sage Publications.
Pearce, D.W. Turner, R.K. dan Bateman,I. (1993) An Introduction to
Environmental Economic, London.
Purboadiwidjojo, Slamet (1986) Mencari Suatu Sistem untuk Melaksanakan
Pemindahan Penduduk Secara Besar-besaran” dalam Sri-Edi Swasono dan
Masri Singarimbun, Transmigrasi Di Indonesia 1905-1985, Jakarta: UI
Press, hlm.8-31.
Rhind, D.W. (1989) “Computing, academic geography, and the world outside’
dalam B. Macmillan (ed) Remodelling Geography, Oxford: Oxford
University Press.
Rose, G (1992) Feminism and Geography: The Limits of Geographical
Knowledge, Cambridge, UK.
Ruthenberg, Hans (1986) “ Pendekatan Baru dalam Usaha Peningkatan Produksi
Pertanian di Daerah Tropis” dalam dalam Pembangunan Pertanian daerah
tropis beriklim lembab” dalam Jurgen H.Honholz, (Ed) Geografi
Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan, PenerjemahThomas Rieger
dan Sony Keraf, Jakarta: Karya Unipress.
Sly, David F. (2000) “Urbanisasi” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 1116-1118.
Smith, Susan (2000) “Gegrafi Sosial” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper, Ed.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 981-982.
Smith, D.M. (1977) Human Geography: A Welfare Approach, London: Longman.
Spencer, Herbert, (1965) The Man versus the State, Caldwell, Idaho: Caxton.
Spencer, Herbert, (1967) Princilple of Sociology, edited and with an introduction
by Robert L. Carneiro, Chicago: University of Chicago Press.
Storper, M. dan Scott, A.J. (eds) (1992) Pathways to Indistrialization and
Regional Development, London: Oxford University Press.
Sumaatmadja, Nursid (1988) Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa
Keruangan, Bandung: Alumni. 48
Swasono, Sri-Edi (1986) “Transmigrasi di Indonesia: Suatu Reorientasi” dalam
Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun, Transmigrasi Di Indonesia
1905-1985, Jakarta: UI Press, hlm.330-344.
Taylor, Peter, J. (2000) “Geografi Politik” dalam Adam Kupper & Jessica Kupper,
Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar dkk.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., hlmn. 298-300, hlmn 782-784.
Taylor, Peter,.J.(1993) Political Geography: World Economiy, nation State, and
Locality, London.
Taylor, Peter.J. (1985) The Value of a Geographical Perspective, dalam R.J.
Johnston (ed) The Future of Geography, London.
Taeuber, Conrad, (2000) “Sensus Penduduk” dalam Adam Kupper & Jessica
Kupper, Ed. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Haris Munandar
dkk. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Turner, B.L. et al (eds) (1990 The Earth as Transformed by Human Action:
Global and Regional Changes in the Biosphere over the last 300 Years,
Cambridge, UK.
Turner, V. (1957) Schism and Continuity in an African Society: A Study of
Ndembu Village Life, Manchester.
Vink, A.P.A. (1986) “Pembuatan Peta Ekologi” dalam Pembangunan Pertanian
daerah tropis beriklim lembab” dalam Jurgen H.Honholz, (Ed) Geografi
Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan, PenerjemahThomas Rieger
dan Sony Keraf, Jakarta: Karya Unipress.
Weber, Max (1958 [1921]) The City, New York: Free Press.
Weischet, Wolfgang (1986) “Masalah-masalah dasar ekologi yang dihadapi dalam
Pembangunan Pertanian daerah tropis beriklim lembab” dalam Jurgen
H.Honholz, (Ed) Geografi Pedesaan: Masalah Pengembangan Pangan,
PenerjemahThomas Rieger dan Sony Keraf, Jakarta: Karya Unipress.
Wooldridge, S.W. (1958) The Spirit and Purpose of Geography, Edisi Kedua,
London.
Wooldridge, S.W. (1958) The Spirit and Purpose of Geography, Edisi Kedua,
London.
Woodridge, S.W. dan East, W.G. (1958) The Spirit and Purpose of Geography 2
nd
edn, London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar