Dalam buku Dare to Try di awali dengan tulisan sbb:
We were born to Try …
try to walk,
try to talk,
try tpo read,
try to graduate from school,
try to achieve great career,
try to build a business,
try to love someone,
try to build a family,
try to make a better life,
try to survive,
We’ll never stop trying unless we have died.
All things that have happened to us are the result of our trial.
Jika kita perhatikan tulisan di atas, tampak bahwa keseluruhan hidup manusia adalah terdiri dari rangkaian mencoba dan mencoba. Mulai dari mencoba belajar berjalan, sampai dengan membangun keluarga adalah diawali dengan aktivitas mencoba. Bayangkan seandainya anak kecil tidak berani mencoba memulai belajar berjalan, anak-anak takut mencoba belajar membaca, remaja takut mencoba menjalin hubungan cinta, dan orang-orang dewasa takut mencoba survival. Apa jadinya ? Tentu tidak akan ada kehidupan.
Lalu apa jadinya jika ada individu tidak memiliki keberanian untuk melakukan percobaan-percobaan seperti itu ? Tentulah, he has died. Kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang mati alias hidup dalam kematian.
David Mc Clelland membuat kupasan yang menarik dari sisi psikologi tentang entrepreneur ini. Dalam bukunya The Achieving Society ( 1961 ), ia menguraikan bahwa ‘dorongan untuk mencapai keberhasilan’ merupakan faktor determinan, tidak saja bagi keberhasilan individu, tapi juga bangsa dalam memperoleh kemajuan hidup. Artinya, berhasil tidaknya sebuah bangsa dalam melaksanakan pembangunan bergantung pada jumlah penduduk yang mempunyai ‘dorongan untuk berhasil’ need for achieving ini. Dorongan ini oleh David Mc Clelland dinamakan ‘virus N Ach’.
Mengapa disebut virus ? Dalam penelitiannya terhadap bangsa-bangsa, Mc Clelland menemukan unsur-unsur yang dapat menggerakkan penduduk agar memiliki nilai-nilai yang mampu mendorong orang untuk selalu ingin berprestasi.
Nilai-nilai yang bagaimanakah yang disebut Mc Clelland virus tersebut ?
Menurut ahli psikologi ini, “seseorang yang terjangkit virus ini menampilkan perilaku yang berani mengambil resiko selalu ingin meraih prestasi, bekerja keras, , dan penuh tanggungjawab.”
Jadi, keberanian untuk mengambil resiko merupakan dasar dari orang yang selalu ingin meraih prestasi. Setelah itu, barulah kegemaran bekerja keras dan dimilikinya mental tanggung jawab. Mengapa keberanian mengambil resiko diletakkan sebagai basic dari “need for achievemen” ? Karena tidak akan ada kegemaran bekerja keras dan mental bertanggungjawab dari orang-orang yang tidak memiliki keberanian untuk mengambil resiko.
Orang yang tidak berani mengambil resiko sama dengan orang yang tidak berani mencoba segala hal. Setiap mencoba sesuatu, kita pasti dihadapkan dengan salah satu dari dua akibat, yakni keberhasilan dan kegagalan.
Orang-orang yang tidak berani mengambil resiko adalah orang-orang yang tidak memiliki kesiapan menerima kegagalan. Sebenarnya kegagalan tersebut tidak pernah menyakiti seseorang. Kegagalan bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Tapi, mengapa kebanyakan orang takut mengalami kegagalan ?
Hal ini merupakan kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang dewasa. Mereka ini menyebarkan tahayul-tahayul mengenai kegagalan ini :“kegagalan adalah aib yang memalukan”, “kegagalan menunjukkan kebodohan, dan tersingkapnya kebodohan merupakan sesuatu yang memalukan”, “kegagalan menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmampuan ini merupakan sesuatu yang memalukan”, dan seterusnya.
Jadi, kegagalan bukanlah sesuatu yang menyakitkan, tetapi pandangan kita yang berupa tahayul-tahayul itulah yang membuat kita merasa sakit ketika menerima kegagalan. Karena ketakutan menerima kesakitan itulah yang menyebabkan kita tidak berani menerima kegagalan, yang selanjutnya menjadi tidak berani mencoba.
Fitrah Manusia : Berani Mencoba
Tuhan memberkati semua manusia tanpa terkecuali dengan keberanian untuk mencoba. Buktinya: Setiap anak yang tidak cacat pasti bisa berjalan dan berbicara. Bukankah kemampuan berbicara dan berjalan pasti dimulai dengan mencoba belajar berjalan dan berbicara. Dan dalam percobaan tersebut pasti menglami berkali-kali kegagalan ? Tapi karena anak-anak belum ‘terjangkiti tahayul-tahayul mengenai kegagalan’ anak-anak tetap bersemangat untuk mencobanya lagi hingga akhirnya berhasil.
Tapi sayangnya, berkah Tuhan tersebut ‘dicemari oleh tahayul-tahayul yang dibuat oleh manusia sendiri. Internalisasi tahayul-tahayul tersebut terutama diawali dalam dunia pendidikan formal, sebuah institusi masyarakat yang seharusnya mendukung aspek-aspek kehidupan manusia yang positif. Bobbi de Porter dkk dalam buku Quantum Learning memberi ilustrasi sebagai berikut :
Marilah kita lihat beberapa tonggak belajar pada usia awal seorang anak yang normal dan sehat. Peluangnya adalah bahwa anak ini sangat mirip dengan Anda dahulu. Saat Anda merayakan ulang tahun pertama, mungkin Anda telah belajar berjalan- suatu proses yang rumit yang hampir-hampir mustahil untuk dijelaskan dengan kata-kata atau diajarkan tanpa mendemonstrasikannya. Meski demikian,Anda dapat melakukannya walau dengan berkali-kali terjatuh. Mengapa begitu ? Sebagai orang dewasa, tentu Anda dapat mengingat beberapa kasus ketika Anda menyerah mempelajari sesuatu yang baru setelah gagal satu atau dua kali. Jadi, mengapa Anda mencoba dan mencoba lagi ketika Anda sedang belajar berjalan ?
Jawabnya adalah Anda tidak mengenal konsep kegagalan.Untuk membantu,orang tua Anda meyakinkan bahwa Anda bisa melakukannya jika terus berusaha dan mereka selalu mendampingi Anda untuk memberi dorongan. Setiap keberhasilan diakhiri dengan kegembiraan dan tepukan, yang memompa diri Anda.
Saat Anda berusia sekitar dua tahun, Anda mulai berkomunikasi dengan ketrampilan yang Anda pelajari tanpa buku tata bahasa, sekolah, atau ujian. Nyatanya, sebelum ulang tahun kelima,Anda sudah mempelajari 90% semua kata yang selalu Anda gunakan selama hidup. Dan jika Anda tinggal di dalam rumah yang menggunakan lebih dari satu bahasa, mungkin Anda akan lancar menggunakan kedua bahasa tersebut.
Pada usia enam tahun,Anda memasuki sebuah fase ,yang oleh para ahli disebut tersulit-yakni Anda belajar membaca. Anda melakukan ini berkat kekuatan luar biasa otak Anda.
Lalu pada suatu hari, mungkin di kelas satu atau kelas dua, guru Anda berkata,”Siapa yang dapat menjawab pertanyaan ini ?” Anda mengacungkan tangan sembari bergeser ke ujung tempat duduk dengan bersemangat hingga guru itu memanggil nama Anda. Dengan penuh keyakinan Anda menjawabnmya.Lalu Anda mendengar beberapa anak tertawa dan guru Anda berkata,”Tidak, itu salah. Saya heran melihatmu.”
Anda merasa malu sekali dihadapan teman-teman dan guru Anda, yang merupakan tokoh penting dalam hidup Anda saat itu. Keyakinan Anda terguncang, dan benih-benih keraguan mulai tertanam dalam jiwa Anda. Bagi banyak orang, inilah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu, belajar menjadi tugas berat. Keraguan tumbuh dalam diri Anda, dan Anda mulai mengurangi resiko sedikit demi sedikit.
Jack Canfield, pakar kepercayaan-diri, melaporkan bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung. Umpan balik negatif yang kontinyu ini sangat berbahaya. Setelah beberapa tahun bersekolah, “kemandekan belajar” yang sesungguhnya terjadi, dan anak-anak menghalangi/menutupi pengalaman belajar secara tidak sadar. Saat lulus Sekolah Dasar, kata belajar membuat murid merasa tegang dan terbebani. Dengan fakta ini, membuat kita harus segera sadar bahwa komentar-komentar negatif dapat membuat citra diri yang negatif. Karena itu jika suatu saat Anda menerima komentar semacam itu, abaikanlah!
Karena kita semua telah terjangkit tahayul-tahayul yang dibuat umat manusia sehingga selalu mengalami ketakutan untuk mencoba sesuatu, maka tugas kita adalah membenahi diri dengan membuang tahayul-tahayul tersebut. Membaca buku Dare to Try merupakan salah satu upaya tersebut.
oleh : Rohadi Wicaksono (Ketua Pengurus Yayasan Putera Indonesia Malang )
( http://rohadieducation.wordpress.com )
We were born to Try …
try to walk,
try to talk,
try tpo read,
try to graduate from school,
try to achieve great career,
try to build a business,
try to love someone,
try to build a family,
try to make a better life,
try to survive,
We’ll never stop trying unless we have died.
All things that have happened to us are the result of our trial.
Jika kita perhatikan tulisan di atas, tampak bahwa keseluruhan hidup manusia adalah terdiri dari rangkaian mencoba dan mencoba. Mulai dari mencoba belajar berjalan, sampai dengan membangun keluarga adalah diawali dengan aktivitas mencoba. Bayangkan seandainya anak kecil tidak berani mencoba memulai belajar berjalan, anak-anak takut mencoba belajar membaca, remaja takut mencoba menjalin hubungan cinta, dan orang-orang dewasa takut mencoba survival. Apa jadinya ? Tentu tidak akan ada kehidupan.
Lalu apa jadinya jika ada individu tidak memiliki keberanian untuk melakukan percobaan-percobaan seperti itu ? Tentulah, he has died. Kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang mati alias hidup dalam kematian.
David Mc Clelland membuat kupasan yang menarik dari sisi psikologi tentang entrepreneur ini. Dalam bukunya The Achieving Society ( 1961 ), ia menguraikan bahwa ‘dorongan untuk mencapai keberhasilan’ merupakan faktor determinan, tidak saja bagi keberhasilan individu, tapi juga bangsa dalam memperoleh kemajuan hidup. Artinya, berhasil tidaknya sebuah bangsa dalam melaksanakan pembangunan bergantung pada jumlah penduduk yang mempunyai ‘dorongan untuk berhasil’ need for achieving ini. Dorongan ini oleh David Mc Clelland dinamakan ‘virus N Ach’.
Mengapa disebut virus ? Dalam penelitiannya terhadap bangsa-bangsa, Mc Clelland menemukan unsur-unsur yang dapat menggerakkan penduduk agar memiliki nilai-nilai yang mampu mendorong orang untuk selalu ingin berprestasi.
Nilai-nilai yang bagaimanakah yang disebut Mc Clelland virus tersebut ?
Menurut ahli psikologi ini, “seseorang yang terjangkit virus ini menampilkan perilaku yang berani mengambil resiko selalu ingin meraih prestasi, bekerja keras, , dan penuh tanggungjawab.”
Jadi, keberanian untuk mengambil resiko merupakan dasar dari orang yang selalu ingin meraih prestasi. Setelah itu, barulah kegemaran bekerja keras dan dimilikinya mental tanggung jawab. Mengapa keberanian mengambil resiko diletakkan sebagai basic dari “need for achievemen” ? Karena tidak akan ada kegemaran bekerja keras dan mental bertanggungjawab dari orang-orang yang tidak memiliki keberanian untuk mengambil resiko.
Orang yang tidak berani mengambil resiko sama dengan orang yang tidak berani mencoba segala hal. Setiap mencoba sesuatu, kita pasti dihadapkan dengan salah satu dari dua akibat, yakni keberhasilan dan kegagalan.
Orang-orang yang tidak berani mengambil resiko adalah orang-orang yang tidak memiliki kesiapan menerima kegagalan. Sebenarnya kegagalan tersebut tidak pernah menyakiti seseorang. Kegagalan bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Tapi, mengapa kebanyakan orang takut mengalami kegagalan ?
Hal ini merupakan kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang dewasa. Mereka ini menyebarkan tahayul-tahayul mengenai kegagalan ini :“kegagalan adalah aib yang memalukan”, “kegagalan menunjukkan kebodohan, dan tersingkapnya kebodohan merupakan sesuatu yang memalukan”, “kegagalan menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakmampuan ini merupakan sesuatu yang memalukan”, dan seterusnya.
Jadi, kegagalan bukanlah sesuatu yang menyakitkan, tetapi pandangan kita yang berupa tahayul-tahayul itulah yang membuat kita merasa sakit ketika menerima kegagalan. Karena ketakutan menerima kesakitan itulah yang menyebabkan kita tidak berani menerima kegagalan, yang selanjutnya menjadi tidak berani mencoba.
Fitrah Manusia : Berani Mencoba
Tuhan memberkati semua manusia tanpa terkecuali dengan keberanian untuk mencoba. Buktinya: Setiap anak yang tidak cacat pasti bisa berjalan dan berbicara. Bukankah kemampuan berbicara dan berjalan pasti dimulai dengan mencoba belajar berjalan dan berbicara. Dan dalam percobaan tersebut pasti menglami berkali-kali kegagalan ? Tapi karena anak-anak belum ‘terjangkiti tahayul-tahayul mengenai kegagalan’ anak-anak tetap bersemangat untuk mencobanya lagi hingga akhirnya berhasil.
Tapi sayangnya, berkah Tuhan tersebut ‘dicemari oleh tahayul-tahayul yang dibuat oleh manusia sendiri. Internalisasi tahayul-tahayul tersebut terutama diawali dalam dunia pendidikan formal, sebuah institusi masyarakat yang seharusnya mendukung aspek-aspek kehidupan manusia yang positif. Bobbi de Porter dkk dalam buku Quantum Learning memberi ilustrasi sebagai berikut :
Marilah kita lihat beberapa tonggak belajar pada usia awal seorang anak yang normal dan sehat. Peluangnya adalah bahwa anak ini sangat mirip dengan Anda dahulu. Saat Anda merayakan ulang tahun pertama, mungkin Anda telah belajar berjalan- suatu proses yang rumit yang hampir-hampir mustahil untuk dijelaskan dengan kata-kata atau diajarkan tanpa mendemonstrasikannya. Meski demikian,Anda dapat melakukannya walau dengan berkali-kali terjatuh. Mengapa begitu ? Sebagai orang dewasa, tentu Anda dapat mengingat beberapa kasus ketika Anda menyerah mempelajari sesuatu yang baru setelah gagal satu atau dua kali. Jadi, mengapa Anda mencoba dan mencoba lagi ketika Anda sedang belajar berjalan ?
Jawabnya adalah Anda tidak mengenal konsep kegagalan.Untuk membantu,orang tua Anda meyakinkan bahwa Anda bisa melakukannya jika terus berusaha dan mereka selalu mendampingi Anda untuk memberi dorongan. Setiap keberhasilan diakhiri dengan kegembiraan dan tepukan, yang memompa diri Anda.
Saat Anda berusia sekitar dua tahun, Anda mulai berkomunikasi dengan ketrampilan yang Anda pelajari tanpa buku tata bahasa, sekolah, atau ujian. Nyatanya, sebelum ulang tahun kelima,Anda sudah mempelajari 90% semua kata yang selalu Anda gunakan selama hidup. Dan jika Anda tinggal di dalam rumah yang menggunakan lebih dari satu bahasa, mungkin Anda akan lancar menggunakan kedua bahasa tersebut.
Pada usia enam tahun,Anda memasuki sebuah fase ,yang oleh para ahli disebut tersulit-yakni Anda belajar membaca. Anda melakukan ini berkat kekuatan luar biasa otak Anda.
Lalu pada suatu hari, mungkin di kelas satu atau kelas dua, guru Anda berkata,”Siapa yang dapat menjawab pertanyaan ini ?” Anda mengacungkan tangan sembari bergeser ke ujung tempat duduk dengan bersemangat hingga guru itu memanggil nama Anda. Dengan penuh keyakinan Anda menjawabnmya.Lalu Anda mendengar beberapa anak tertawa dan guru Anda berkata,”Tidak, itu salah. Saya heran melihatmu.”
Anda merasa malu sekali dihadapan teman-teman dan guru Anda, yang merupakan tokoh penting dalam hidup Anda saat itu. Keyakinan Anda terguncang, dan benih-benih keraguan mulai tertanam dalam jiwa Anda. Bagi banyak orang, inilah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu, belajar menjadi tugas berat. Keraguan tumbuh dalam diri Anda, dan Anda mulai mengurangi resiko sedikit demi sedikit.
Jack Canfield, pakar kepercayaan-diri, melaporkan bahwa setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif atau yang bersifat mendukung. Umpan balik negatif yang kontinyu ini sangat berbahaya. Setelah beberapa tahun bersekolah, “kemandekan belajar” yang sesungguhnya terjadi, dan anak-anak menghalangi/menutupi pengalaman belajar secara tidak sadar. Saat lulus Sekolah Dasar, kata belajar membuat murid merasa tegang dan terbebani. Dengan fakta ini, membuat kita harus segera sadar bahwa komentar-komentar negatif dapat membuat citra diri yang negatif. Karena itu jika suatu saat Anda menerima komentar semacam itu, abaikanlah!
Karena kita semua telah terjangkit tahayul-tahayul yang dibuat umat manusia sehingga selalu mengalami ketakutan untuk mencoba sesuatu, maka tugas kita adalah membenahi diri dengan membuang tahayul-tahayul tersebut. Membaca buku Dare to Try merupakan salah satu upaya tersebut.
oleh : Rohadi Wicaksono (Ketua Pengurus Yayasan Putera Indonesia Malang )
( http://rohadieducation.wordpress.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar