18 November 2010

Penentuan Idul Adha; Haruskah Sama dengan Arab Saudi?


Penentuan Idul Adha; Haruskah Sama dengan Arab Saudi ?
Oleh; Rahmadi Wibowo*
Penetapan awal bulan Qamariyah sering mengundang perdebatan. Baik itu dari metode, penggunaan metode rukyat atau metode hisab. Dimana kedua-duanya mengklaim metodenya adalah yang paling akurat dan paling dekat dengan perintah Nabi. Namun permasalahan semakin meluas terkhusus penetapan Bulan Dzulhijjah. Bukan hanya sekedar rukyat dan hisab saja, namun pertanyaan berlanjut apakah harus sesuai dengan ketetapan Arab Saudi?. Pertayaan ini mengemuka disebabkan pelaksanaan ibadah haji terutama wukuf hanya dilakukan di Makkah. Tulisan ini akan sedikit membahas haruskan sama dengan ketetapan Arab Saudi dalam melaksanakan puasa Arafah dan beridul Adha bagi negara-negara selain Arab Saudi.

Rukyat Arab Saudi

Dikalangan umat Islam berkembang pemahaman bahwa untuk menetapkan bulan-bulan Qamariyah harus berkiblat ke Arab Saudi. Diantara negara yang mengunakan pemahaman seperti ini adalah Qatar, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Yaman, Turki, Irak, Yordan, Palestina, Lebanon dan Sudan. Ada pula faham hanya terkhusus Bulan Dzulhijah saja yang harus mengikuti dengan Arab Saudi namun untuk bulan-bulan yang lain berdasarkan rukyat lokal. Faham demikian antara lain di ikuti Negara Masir. Di Indonesia pun berkembang sebagaimana faham-faham diatas.

Metode yang digunakan oleh Arab Saudi dalam menentukan awal bulan-bulan Qamariyah berdasarkan Kalender Umul Qura. Namun terkhusus penetapan waktu ibadah Ramadan, Syawal, Dzulhijah mengunakan rukyat murni yang didasarkan persaksian orang yang adil. Kaidahnya sederhana "Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut".

Namun sayangnya Arab Saudi dalam melakukan isbat terhadap laporan rukyat sering menimbulkan kontroversi. Sebagai contoh dalam penetapan awal Dzulhijah 1428 H. Pada tanggal 10 Desember 2007 kantor Berita Arab Saudi (WAS) memberitakan maklumat masuknya bulan Dzulhijah 1428 H. Dalam maklumatnya menegaskan Majelis al-Qadha al-A’la menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah 1428H bertepatan dengan hari Senin, tanggal 10 Desember 2007. Ketetapan ini berdasarkan “kesaksian sejumlah saksi yang adil”. Memang Majlis al-Qadha al-A’la bermazhab rukyat murni dan didasarkan oleh persaksian seseorang yang adil. Sehingga ditetapkan wukuf di Arafah (9 Dzulhijah) jatuh pada hari selasa tanggal 18 desember 2007 dan Idul Adha pada 19 Desember 2007. Beberapa negara tetangga mengikuti ketetapan Saudi ini diantaranya Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Oman. Sedangkan Libya menetapkan 1 Dzulhijjah 1428 H pada hari Senin 10 Desember 2007, akan tetapi bukan karena mengikuti Arab Saudi tetapi mendasarkan ijtima’ Qabla Fajr (konjungsi sebelum fajar). Sedangkan di Indonesi sendiri mentapkan 1 Dzulhijjah 1428H pada 11 Desember 2007.

Jika keputusan Arab Saudi diatas dilihat dari segi astronomi maka tidak sesuai. Kesaksian tentang rukyat tersebut secara otomatis tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmah. Ini dikarenakan pada saat matahari tenggelam diufuk Makkah tanggal 9 Desember 2007 (sore Ahad) belum terjadi konjungsi. Dalam arti lain bulan dalam revolusinya terhadap bumi belum sampai pada titik finis (titik terdekat pada garis lurus antara titik pusat matahati dan titik pusat Bumi). Jadi bulan Dzulqa’dah belum genap satu bulan, seharusnya pada tanggal 10 Desember 2007 dihitung sebagai hari ke-30 dan penggenap. Maka semestinya 1 Dzulhijah 1428 H di Makkah jatuh pada hari selasa 11 Desember 2007, Arafah pada 19 Desember 2007 dan Idul Adha 20 Desember 2007, sama halnya dengan di Indonesia.

Berdasarkan data astronomis menjelang awal bulan Dzulhijah 1428 H bahwa konjungsi terjadi pada Ahad 9 Desember 2007 pukul 20:40 Waktu Makkah (WM). Matahari terbenam pukul 17:42 WM, dan Bulan terbenam pukul 17:19 WM. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada Ahad 9 Desember 2007 pada saat matahari tenggelam di ufuk Makkah Bulan baru belum lahir. Bulan baru akan lahir setelah 2 jam 58 menit kemudian. Selain itu Mukus hilal adalah minus 22 menit, artinya saat matahari tenggelam di ufuk Makkah bulan telah tenggelam terlebih dahulu selama 22 menit. Hal ini dapat disimpulkan, sesuatu yang dilihat oleh saksi adil tersebut bukan lah hilal melainkan benda langit lain. Mungkin saja awan tipis, pesawat udara, Venus atau bahkan bulu putih yang tumbuh di pelupuk mata mereka sendiri. Jika masih diyakini mereka melihat hilal maka sama halnya seseorang mengaku telah melihat bayi, padahal sang bayi belum lahir masih berada diperut ibunya dan akan lahir beberapa jam lagi.

Oleh karenanya penetapan Majelis al-Qadha al-A’la Arab Saudi atas dasar klaim rukyat tanggal 1 Dzulhijah tidak dapat dibenarkan secara syari’i maupun berdasar ilmu pengetahuan. Ini dikarenakan memulai bulan Dzulhijah padahal bulan Dzulqa’dah belum genap. Islamic Crescents' Observation Project (ICOP) secara resmi mengeluarkan peryataan resmi supaya klaim rukyat Saudi ini dicabut.

Sesungguhnya ketidak cermatan yang dilakukan Arab Saudi melalui Majlis al-Qadha al-A’la bukan pertama kali. Pada awal Dzulhijjah 1427 H tahun 2006 Majlis ini melakukan hal yang sama. Permasalahan rukyat Saudi tidak berhenti sampai disini saja, untuk Idul Fitri 1420 H mengundang Yusuf al-Qaradhawi mengeluarkan fatwa bahwa mereka yang meakukan lebaran Idul Fitri pada Jum’at 7 Januari 2000 harus mengqadha puasannya satu hari hilang. Ini dikarenakan pada hari jumat tersebut merupakan hari terakhir Ramadan. Ini diberdasarkan data astronmi bahwa tinggi bulan -3° 18’.

Dari hasil penkajian asronomi selama 46 tahun (1 Ramadan 1380 H- 1 Ramadhan 1425 H) tentang perilaku rukyah di Saudi hanya 6 kali (13%) yang sesuai dengan konferensi Istambul 1978. Selebihnya 40 kali (87%) bertentangan dengan konferensi tersebut. Yang sangat mencolok adalah 29 kali penetapan awal Ramadhan masih dibawah ufuk.

Kapan Melaksanakan Puasa Arafah?

Perbedaan penetapan 1 Dzulhijah ini menimbulkan kesukaran dalam melaksanakan ibadah puasa Arafah. Pertanyaannya puasa Arafah tersebut haruskan dilakukan sesuai yang ditetapkan Arab Saudi ataukan berdasarkan penanggalan masing-masing?.

Puasa Arafah pada dasarnya telah dilakukan Nabi bersamaan disyariatkanya Idul Adha. Adapun Idul Adha disyariatkan bersama Idul Fitri pada 2 H. Sejak tahun itu Nabi telah biasa melakukan puasa Arafah. Sebuah hadis yang menerangkan pertikaian para shahabat di Arafah pada waktu haji wada’ mengenai apakah nabi melakukan puasa atau tidak dihari itu, mengidikasikan bahwa Nabi telah biasa melakukan puasa Arafah saat di Madinah. Ketika Rasul melakukan puasa Arafah tentunya patokan utamanya adalah tanggal 9 Dzulhijah menurut penaggalan Madinah yang berlaku. Mungkin saja suatu ketika Nabi melakukan puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijah sedangkankan pada hari itu di Makkah tidak bertepatan dengan wukuf di Arafah.

Waktu ibadah dalam Islam sebenarnya bersifat lokal. Waktu salat dan puasa ditentukan secara lokal berdasarkan fenomena matahari ditempat tersebut. Ibadah haji pun ditentukan secara lokal di Arab Saudi. Belum pernah ada laporan Arab Saudi mengumpulkan informasi dari seluruh dunia sebelum memutuskan hari wukufnya. Kalau pun di Amerika terlihat hilal dan di Arab Saudi belum, yang secara astronomis memungkinkan, belum tentu Arab Saudi mengambilnya sebagai keputusan rukyatul hilal. Padahal orang yang selalu mengikuti keputusan Arab Saudi sering mencari pembenaran dengan alasan mengikuti rukyat global.

Dasar hukum rukyat lokal secara umum (termasuk penentuan awal Dzulhijjah) adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan awal Ramadhan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadis Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah.

Menyamakan dengan Saudi?

Menghadapi kasus "perbedaan" sering timbul pertanyaan mengapa tidak diseragamkan saja hari raya itu. Orang yang berpendapat seperti itu menghendaki bila di Arab Saudi Idul Adha mengapa di Indonesia dan belahan dunia lainnya tidak mengikutinya saja. Dengan kata lain, waktu Mekkah dijadikan sebagai acuan. Alasannya sederhana. Bukankah Mekah tempatnya Ka'bah, kiblatnya umat Islam sedunia. Sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) mengiblat juga ke Mekah. Di sisi lain, perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia bagian barat hanya empat jam, semestinya hari rayanya pun bisa dilaksanakan pada hari yang sama.

Sepintas pendapat itu tampak benar dan sederhana. Tetapi bila dikaji lebih mendalam hal itu tidak mempunyai landasan syar'i dan landasan ilmiahnya. Pendapat seperti itu muncul karena menghendaki keseragaman menurut tanggal syamsiah, tetapi mengabaikan tanggal qamariyah. Padahal waktu ibadah dalam Islam ditentukan menurut kalender qamariyah. Menyeragamkan Idul Adha, berarti memaksakan pelaksanaannya menjadi tanggal 9 Dzulhijjah, bukan 10 Dzulhijjah seperti disyariatkan.

Bagaimana dengan puasa hari Arafah? Bagi umat Islam yang tidak melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah itu disunahkan berpuasa. Menurut hadits Rasulullah SAW yang diceritakan Abu Qatadah, puasa hari Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang berlalu dan tahun mendatang. Oleh karenanya puasa hari Arafah ini tergolong puasa sunnah yang muakad (utama) sehingga banyak orang yang melaksanakannya. Hari Arafah di Makkah adalah 9 Dzulhijjah. Belum tentu ditempat lain hari dan tanggalnya sama, bisa jadi tanggal 10 Dzulhijjah. Menurut Nabi SAW, berpuasa pada hari raya haram hukumnya.

Apakah definisi "sama" harinya? Pengertian "sama" sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, definisi "sama" harinya malah berbeda tanggal. Tanggal 2 januari di Arab Saudi berarti tanggal 1 januari di Hawaii.


Penutup

Dalam logika astronomi, usulan penyamaan puasa Arafah dan Idul Adha jelas sangat konyol dan tidak dapat diterima, karena letak bujur dan lintang kota Makkah itu tidak sama dengan lintang dan bujur dengan negara lainya. Yang berarti, kemungkinan keterlihatan letak matahari dan bulan dari bumi Makkah dan bumi negara lainya juga pasti tidak sama. Apalagi setelah diteliti, Pemerintah Arab saudi dalam melakukan penetapan awal bulan seringkali didasarkan pada dasar perhitungan yang kurang valid serta persaksian orang yang adil yang mengundang kontroversi.

Oleh karenannya orang yang melaksanakan ibadah haji di Makkah tidak mengapa mengikuti penetapan Saudi. Tetapi orang yang tidak melaksanakanya seharusnya mendasarkan pada penanggalan masing-masing. Wallāhu A’lam bi al-Sawwāb.



Makrom Abied, 30 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar