04 April 2013

GEOGRAFI DAN PENATAAN RUANG

Geografi merupakan disiplin yang mempelajari permukaan bumi, penyebaran dan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Pengertian geografi berkembang dinamis dan terus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Dinamika pemahaman atas pengertian tersebut berpengaruh terhadap implementasi geografi dalam berbagai bidang, termasuk dalam penataan ruang. Sebagai disiplin yang cukup tua, geografi telah memberikan kontribusi signifikan terhadap penyelenggaraan penataan ruang, khususnya di Indonesia. 

PENGERTIAN GEOGRAFI DAN PENATAAN RUANG
Seabad sebelum masehi, pengertian geografi masih bernuansa astronomi dan matematika. Pada abad pertengahan dan renaissance, pengertian geografi menjadi suatu cabang pengetahuan yang mempelajari proses dan fenomena alamiah seperti yang terjadi di litosfer, hidrosfer dan atmosfer. Pandangan geografi modern, dimotori oleh Immanuel Kant (1724-1804), yang menjelaskan pengertian geografi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari fakta yang berasosiasi dengan ruang. Pada masa yang hampir bersamaan, Alexander von Humboldt menambah pengertian tersebut dengan mengkaitkannya pada aspek manusia. Sementara itu, pada akhir abad 19 geografi memusatkan perhatian pada iklim, tumbuhan dan hewan, terutama terhadap 
bentang alamnya. Dalam perkembangannya, Wrigley (1965) 
berpendapat, geografi merupakan disiplin yang berorientasi pada 
masalah (problem oriented) dalam rangka interaksi antara manusia 
dengan lingkungan. 
Peter Haggett (1970) membedakan geografi dalam dua 
struktur, yaitu geografi ortodoks dan geografi terpadu. Dalam struktur 
geografi ortodoks dibedakan antara geografi fisikal, geografi 
manusia, geografi regional dan teknik geografi. Geografi fisikal 
mencakup kajian, antara lain, geomorfologi, hidrologi, klimatologi dan 
pedologi. Geografi manusia, antara lain, mencakup geografi ekonomi, 
geografi penduduk, geografi perdesaan, geografi perkotaan dan 
geografi kemasyarakatan. 
Sementara geografi regional mencakup kajian geografi 
menurut wilayah, seperti geografi Asia Tenggara, Geografi Eropa dan 
lainnya. Berbeda dengan ketiga hal tersebut, teknik geografi 
mencakup kartografi, penginderaan jauh, metode kuantitatif, statistik 
dan sistem informasi geografi. Pandangan tersebut berbeda dengan 
pandangan dalam struktur geografi terpadu yang hanya 
membedakan analisa keruangan, analisa ekologi dan analisa 
kompleks wilayah.Memahami dinamika perkembangan pandangan geografi 
dalam berbagai madzhab luar negeri, ahli Geografi Indonesia yang 
dimotori oleh Bintarto dan Surastopo pada awal tahun 1970-an mendorong kita agar tidak terlalu terpengaruh terhadap fanatisme 
madzhab tersebut. Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat 
menyampaikan kuliah, beliau berdua lebih mendorong pemahaman 
geografi dengan menggunakan pendekatan analisa keruangan, 
analisa ekologi, dan analisa kompleks wilayah. Sikap konsisten 
tersebut dituangkan dalam salah satu tulisan berjudul “Metode 
Analisa Geografi” (LP3ES. 1979). 
Konsistensi dua sesepuh geografi tersebut berlanjut dengan 
perkembangan penggunaan berbagai cara seperti statistik, pemetaan 
(remote sensing) dan sistem informasi geografi sebagai pelengkap 
dalam mempermudah implementasi pendekatan-pendekatan di atas. 
Dalam berbagai pengertian yang berkembang, terlihat ada tiga 
kesamaan pandangan yang disepakati semua madzhab, yaitu (a) 
bahwa arena yang menjadi titik perhatian adalah permukaan bumi, 
bukan ruang yang abstrak; (b) bahwa semua madzhab memperhatikan penyebaran manusia pada ruang dalam kaitan manusia dengan lingkungannya; (c) bahwa dalam geografi terdapat 
unsur-unsur utama seperti jarak, interaksi, gerakan dan penyebaran. 
Titik perhatian tersebut sedikit berbeda dengan penataan 
ruang yang tidak hanya memperhatikan aspek darat dan laut (muka 
bumi) saja, tetapi juga udara dan bawah permukaan bumi. Namun, 
aspek perhatian dari geografi terhadap manusia dan lingkungannya 
sangat berimpit, dengan tujuan penataan ruang untuk menjaga 
sustainabilitas (kualitas) lingkungan dan kesejahteraan manusianya. 
Ada pun jarak, interaksi dan gerakan manusia merupakan dimensidimensi utama dalam penataan ruang. 
Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, 
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU 
Nomor 24/1992). Dari pengertian ini, secara ideal hasil dari penataan 
ruang adalah suatu ruang yang tertata (bermutu) untuk kehidupan 
(human being). Namun dalam praktek, banyak ditemukan perkembangan ruang yang menyimpang dari rencana tata ruang, sementara 
ruang yang bermutu sulit ditemukan. Dengan kata lain, yang ditemui 
adalah kondisi ruang yang merupakan hasil dari proses penyesuaian 
dari human being pada dan di sekitar ruang tersebut dengan alam 
sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya, secara fisik, ekonomi 
maupun sosial. Dalam konteks penulisan ini, penataan ruang dipahami 
sebagai upaya yang seharusnya dilaksanakan seluruh pelaku untuk 
mewujudkan keseimbangan dan sustainabilitas lingkungan dalam 
menopang kehidupan. Penataan ruang merupakan proses mengelola 
wadah (ruang) yang meliputi daratan, lautan dan udara sebagai 
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan 
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidup. Oleh 
karena itu, uraian dalam tulisan ini akan difokuskan pada seberapa 
jauh teknik dan pendekatan geografi telah memberikan kontribusi 
terhadap proses perwujudan ruang yang seimbang dan sustainable 
tersebut. 
Pendekatan Geografi 
Dalam ruang lingkup seperti yang dikemukakan di atas, maka 
pendekatan yang dibahas dibatasi pada kelompok struktur geografi 
terpadu. Seperti telah dijelaskan, dalam geografi terpadu dikenal tiga 
pendekatan geografi, yaitu analisa keruangan, analisa ekologi dan analisa kompleks wilayah. Meski secara formal pendekatan tersebut 
baru dipopulerkan oleh Peter Hagget pada tahun 1970, tetapi wacana 
pengelompokannya telah berkembang puluhan tahun sebelumnya. 
Untuk itu penulis mencoba melakukan analisis peranan geografi 
dalam penataan ruang berdasarkan tiga pendekatan tersebut, yang 
mempunyai ciri dan karakteristik berbeda. 
Pendekatan Keruangan 
Sesuai dengan namanya, pendekatan ini menilai lokasi atau 
ruang dari sudut pandang penyebaran penggunaannya dan 
penyediaannya untuk berbagai keperluan. Ada dua macam 
pengertian penyebaran, yaitu penyebaran ekspansi (expansion 
diffusion) dan penyebaran penampungan (relocation diffusion). 
Pengertian penyebaran ekspansi digunakan untuk memahami 
proses di mana informasi, material atau jenis benda lain menjalar 
melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah lain. Material 
yang disebarkan tetap ada dan terkadang menjadi lebih intensif di 
tempat asalnya. Hal ini berarti terjadi penambahan luas dibanding 
aslinya karena mendapat anggota dan wilayah baru. Dari hal ini, 
dikenal dua terminologi penyebaran, yaitu penyebaran menjalar 
(contagious diffusion) yaitu yang proses menjalarnya melalui kontak 
langsung antarmanusia atau antardaerah; dan penyebaran kaskade 
(cascade diffusion) dimana proses penjalarannya melalui hirarki. 
Sementara itu, penyebaran penampungan merupakan proses 
penyebaran keruangan di mana informasi atau material yang disebar 
meninggalkan daerah yang lama dan berpindah atau ditampung di 
daerah yang baru. 
Pendekatan Ekologi 
Dalam pendekatan ini yang dikaji bukan hanya ketertarikan 
manusia atas tanggapan dan penyesuaian terhadap lingkungan fisik 
saja, tetapi juga interaksi dengan manusia lain yaitu ruang sosial. 
Untuk itu, pendalaman mengenai ekologi dan ekosistem menjadi 
penting untuk mengimplementasikan pendekatan ekologi. Dinamika 
yang terdapat dalam lingkungan sosial dapat menimbulkan 
perubahan gagasan manusia, sehingga dapat menimbulka penyesuaian dan pembaruan sikap dan tindakan terhadap 
lingkungan tempat hidupnya. Pada sisi lain, lingkungan fisik dimana manusia hidup dapat pula mengalami perubahan bentuk dan fungsi 
yang disebabkan oleh campur tangan manusia. 
Dalam konteks ini, William Kirk (1963) memperkenalkan 
terminologi geografi lingkungan, geografi perencanaan, geografi 
hayati dan geografi tanah. Geografi lingkungan merupakan suatu 
kajian geografi dengan mengutamakan pendekatan lingkungan. 
Geografi perencanaan merupakan kajian geografi yang lebih concern
dalam membantu tahapan-tahapan perencanaan. Geografi hayati 
merupakan suatu kajian geografi yang concern pada aspek-aspek 
kehidupan manusia dan flora-faunanya. Geografi tanah merupakan 
kajian geografi yang mengutamakan analisis tentang aspek tanah 
dan sebarannya. 
Pendekatan Kompleks Wilayah 
Pendekatan ini merupakan perpaduan pendekatan keruangan 
dan ekologi. Interaksi antar wilayah akan berkembang karena 
hakekatnya suatu wilayah berbeda dengan wilayah lain karena ada 
perbedaan permintaan dan penawaran antarwilayah tersebut. Pada 
pendekatan ini analisa keruangan dan analisa ekologi atas wilayah 
dan atas interaksi antarwilayah tersebut tak hanya dipandang dari sisi 
penyebaran penggunaannya serta penyediaannya saja, tapi juga 
interaksinya dengan manusia pada wilayah tersebut. 
Dalam konteks pendekatan ini dikenal terminologi 
pewilayahan dan klasifikasi wilayah. Dikenal pula uniform region yaitu 
pewilayahan berdasar keseragaman atau kesamaan dalam kriteria 
tertentu; nodal region, yaitu wilayah yang dalam banyak hal diatur 
beberapa pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis 
melingkar, generic region merupakan klasifikasi wilayah yang 
menekankan pada jenisnya, fungsi wilayah kurang diperhatikan, dan 
akhirnya specific region merupakan klasifikasi wilayah menurut 
kekhususannya, merupakan daerah tunggal, mempunyai ciri geografi 
khusus. 
GEOGRAFI DAN PENATAAN RUANG PERIODE 1960-1970 AN
Pendekatan dan Prakteknya 
Pada era konsolidasi bangsa dan awal Repelita I yang 
didominasi pencarian format baku pembangunan fisik, pendekatan yang digunakan masih sangat parsial, sektoral dan bernuansa 
memperkuat semangat wawasan nusantara. Untuk itu kelompok 
pendekatan keruangan lebih menonjol dibandingkan pendekatan 
lainnya. Hal tersebut ditandai pula dengan awal berkembangnya 
konsep pembagian wilayah pembangunan nasional. Pada era 
tersebut pemanfatan teknik geografi masih terbatas pada 
penggunaan peta dasar produk Jawatan Topografi, Angkatan Darat 
yang masih mencakup skala kecil untuk wilayah Indonesia karena 
peta skala besar masih terbatas coverage-nya. Pendekatan 
keruangan yang menekankan aspek geografi manusia dalam struktur 
geografi ortodoks, lebih mendominasi pelaksanaan pembangunan 
pada era tersebut. Kondisi tersebut agak berubah pada akhir dekade 
dimana mulai muncul konsep pendekatan ekologis. Konsep 
pendekatan tersebut walau belum terkenal telah banyak dielaborasi 
untuk mendukung analisa-analisa pembangunan infrastruktur fisik. Evaluasi Praktek Pelaksanaan 
Meski pendekatan keruangan yang lebih menekankan aspek 
geografi manusia telah dimanfaatkan, tetapi dalam implementasinya 
belum sepenuhnya menempatkan manusia sebagai subyek
pembangunan. Pendekatan tersebut masih terlalu kental dengan 
nuansa untuk menempatkan manusia sebagai obyek pembangunan. 
Hal tersebut kental pula dengan pendekatan sentralistik yang 
diwarnai target pertumbuhan ekonomi wilayah yang cenderung 
merusak sumber alam. 
GEOGRAFI DAN PENATAAN RUANG PERIODE 1970-1980 AN
Pendekatan dan Prakteknya 
Periode tahun 1970-an merupakan tahapan awal dari 
pembangunan terencana, ditandai dengan hampir berakhirnya 
Repelita I dan berawalnya Repelita II, yang lebih mengarah pada 
dominasi pembangunan fisik dengan tidak hanya pembangunan per 
sektor, tetapi sudah menggabungkan berbagai sektor dan juga 
persebaran pembangunan di daerah. Pada masa yang kental dengan 
implementasi konsep wawasan nusantara, pembangunan bertitik 
berat pada penyediaan infrastruktur fisik untuk meningkatkan 
pertumbuhan wilayah. Pada masa ini, pemunculan sekaligus 
implementasi pengembangan wilayah yang mengacu pada satuan 
wilayah pengembangan (SWP) yang antara lain mengelompokkan wilayah nasional menjadi 4 wilayah pembangunan utama dan 10 
wilayah pembangunan menjadi sangat diminati para pelaku 
pembangunan. 
Walau diintrodusir permasalahan lingkungan hidup dalam 
konferensi PBB di Stocholm (1972), namun pembangunan pada 
dekade ini kental dengan nuansa sentralistik, di mana perencanaan, 
pelaksanaan bahkan pengawasan di daerah yang jauh dari ibukota 
dan juga dari pusat kota dilakukan dan dikoordinasikan di dan oleh 
pemerintahan pusat. Sebagian kecil pekerjaan pembangunan yang 
diperbantukan dan didekonsentrasikan ke daerah. Dalam kondisi 
tersebut pemerintah pusat berperan dominan. Hal ini membawa 
konsekuensi bahwa birokrat pusat dan tenaga ahli yang 
bergandengan erat dengan pusat, termasuk dari perguruan tinggi 
yang berlokasi dekat dengan pusat pemerintahan mendapat cipratan
mandat untuk terlibat lebih intens dalam pembangunan sentralistik 
tersebut. 
Pada masa tersebut bermunculan apilkasi yang diwarnai 
pendekatan atau analisis kewilayahan yang lebih menekankan aspek 
geografi fisik, juga walau tidak secara dominan dipertimbangkan pula 
aspek geografi regional. Sebagai contoh adalah membludaknya 
pendekatan kewilayahan seperti SWP dan SP (Satuan 
Pengembangan) untuk mendorong kegiatan transmigrasi. 
Pendekatan tersebut berakibat pada miskinnya pertimbangan atau 
kajian sosial yang menempatkan manusia sebagai subjek 
pembangunan. Evaluasi Praktek Pelaksanaan 
Meski pendekatan yang mempertimbangkan aspek sosial, 
yang dimotori oleh kelompok geografi manusia dan geografi regional 
telah berkembang dan didorong pula untuk tidak ditinggalkan dalam 
implementasi, tetapi dalam prakteknya masih kurang mendapat 
respons. Hal ini disebabkan ada persepsi bahwa untuk 
mempertimbangkan aspek sosial perlu waktu lebih lama dan 
kompleks, sehingga yang lebih berkembang adalah pertimbangan 
fisik karena akan lebih cepat dan kasat mata atau terlihat nyata 
dalam mendukung justifikasi untuk membangun. Aspek ekologi dan 
sosial sebagai bagian yang telah juga diintrodusir, antara lain oleh 
geografi manusia, masih jauh dari target untuk dipertimbangkan 
secara seksama. Hal itu menunjukkan, sebenarnya telah diintrodusir 
pendekatan yang telah memadukan pendekatan fisik dan pendekatan 
sosial dalam perencanaan pengembangan wilayah, khususnya dalam 
aspek rencana tata ruang. Namun, ada faktor lain yang perlu 
diperhatikan seperti peningkatan pertumbuhan wilayah yang sangat 
pesat. 
GEOGRAFI DAN PENATAAN RUANG PERIODE 1980-1990 AN
Pendekatan dan Prakteknya 
Ditandai dengan munculnya UU No. 4/1982 tentang 
“Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup” disertai dengan produk hukum 
turunannya, maka banyak pendekatan dan analisis yang mengedepankan aspek ekologi, satuan wilayah sungai (SWS) dan juga 
sustainabilitas. Kondisi tersebut mendorong berkembanganya 
pendekatan ekologi sebagai salah satu pendekatan yang diyakini 
para ahli geografi. Euforia tersebut juga ditandai dengan 
bermunculannya Pusat-Pusat Studi Lingkungan Hidup di berbagai 
Perguruan Tinggi yang banyak sekali mendorong berkembangnya 
analisa berbasis lingkungan seperti AMDAL dan lainnya. 
Pendekatan satu sungai satu manajemen pun mulai mencuat 
untuk diimplementasikan pada dekade ini. Hal ini ditandai dengan 
munculnya pengelolaan sungai besar yang mengalir pada wilayah 
lintas batas administrasi, terutama di Jawa, dalam satu manajemen. 
Tidak kalah penting, juga penegasan pendekatan penataan ruang 
yang disebutkan dalam dokumen Repelita V telah ikut mendorong 
pendekatan ekologi dan pendekatan keruangan dalam disiplin 
geografi berkembang pesat. Pendekatan-pendekatan tersebut telah 
mendorong pula perkembangan teknik geografi seperti
diidentifikasinya teknik interpretasi foto udara, citra satelit (remote 
sensing) dan sistem informasi geografi (SIG) berbasis computer dan 
ICT (Information and Communication Tecnology) yang real time
dengan berbagai kecanggihan dan kelemahannya. 
Evaluasi Praktek Pelaksanaan 
Pendekatan itu, dalam prakteknya belum dilaksanakan secara 
optimal. AMDAL misalnya lebih banyak sebagai pelengkap saja, 
belum diterapkan secara konsisten. Hal ini tampak dengan munculnya kasus AMDAL setelah atau saat proyek dilakukan. Bukan hanya pendekatan itu saja yang mengalami de-optimalisasi implementasi, 
tapi penggunaan teknik geografi seperti SIG juga masih terbatas 
pada tataran wacana, belum pada track dalam tatanan pengambilan 
keputusan. Implementasi pemetaan (remote sensing) dan SIG masih 
digunakan secara sektoral dan terpisah, belum terintegrasi. Namun, 
di sisi lain, semangat menggunakan SIG sebagai alat bantu penataan 
ruang dalam berbagai kegiatan tampak sekali meningkat. 
Lebih jauh, kian jelas terlihat, bahwa aspek manusia (atau 
masyarakat) sebagai satu elemen penting dalam pembangunan 
belum diposisikan seperti yang seharusnya. Hal ini terlihat jelas 
dengan belum tingginya praktek memperankan masyarakat dalam 
pembangunan dan juga semakin bersemangatnya pembangunan 
yang masih kental dengan nuansa fisik. 
GEOGRAFI DAN PENATAAN RUANG PERIODE 1990-2000 AN
Pendekatan dan Prakteknya 
Deklarasi mengenai pembangunan dan lingkungan atau 
Agenda 21 (1992) telah mendorong paradigma baru dalam 
pembangunan wilayah di Indonesia. Hal tersebut ditandai antara lain 
dengan munculnya UU No. 24/1992 tentang “Penataan Ruang”, juga 
PP No.45/1992 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah”. Hal ini 
telah mengendepankan aspek manusia (masyarakat) sebagai 
konsideran penting dalam setiap kegiatan pembangunan. Selain itu, 
juga mengangkat teknik geografi seperti SIG menjadi alat bantu 
penataan ruang yang perlu terus dikembangkan. 
Pendekatan kompleks wilayah (geografi terintegrasi) yang 
lebih menonjolkan aspek masyarakat, yaitu yang mengedepankan 
konsiderasi sosial dan HAM (Hak Asasi Manusia), dan dianalisis 
dengan pendekatan kuantitatif dan lebih mantap lagi setelah 
munculnya UU No.22/ 1999 tentang “Pemerintahan Daerah” dan UU 
No. 25/1999 tentang “Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah”. 
Pendekatan kompleks wilayah ini tampaknya cenderung berkembang 
dengan dipasarkannya citra satelit skala besar seperti ikonos beserta 
kecanggihan SIG yang berbasis web. Evaluasi Praktek Pelaksanaan 
Walau analisa kuantitatif yang ditetapkan dalam pendekatan 
kompleks wilayah mulai menonjol, namun dalam pelaksanaannya 
belum seperti yang diharapkan, terutama belum dimanfaatkannya 
secara baik GPS (Geo Positioning Sattelite) sebagai elemen 
penambah ketelitian spasial (lokasi) yang akan sangat membantu 
akurasi analisa. 
Aspek masyarakat (manusia) memang telah mulai diangkat 
dalam pendekatan-pendekatan geografi, namun implementasinya 
masih terlihat belum serius dan konsisten. Kata masyarakat atau 
publik lebih banyak digunakan sebagai wahana untuk menjustifikasi 
sesuatu yang menguntungkan satu fihak saja, belum diletakkan 
dalam posisi yang seharusnya diajak bersama berbuat sesuatu. 
KESIMPULAN
Sebagai disiplin yang mempelajari permukaan bumi, 
penyebaran dan interaksi antara manusia dengan lingkungannya, 
geografi selalu terkait dengan ruang dan interaksi human being-nya. 
Dalam upaya mewujudkan ruang yang bermutu, pendekatan geografi 
yang mencakup pendekatan keruangan, pendekatan ekologi dan 
pendekatan kompleks wilayah, memberikan kontribusi signifikan dan 
dinamis sesuai perkembangan jaman, dalam konsep maupun implementasi penataan ruang di tanah air. 
Meski tidak mudah untuk dikuantifikasikan, namun peranan 
geografi dalam penataan ruang dapat dengan mudah dirasakan 
secara rasional. Sebagai disiplin yang sama-sama mengkaji masalah 
wilayah atau ruang, geografi dan penataan ruang merupakan dua hal 
yang saling melengkapi, dalam kerangka teori maupun praktek. 

DAFTAR PUSTAKA
1. BKTRN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Jakarta. 1992. 
2. Dokumen Rencana Pembangunan Lima Tahunan I-V. Jakarta. 
3. E.A.Wrigley. Changes in the Philosophy of Geography dalam 
R.J Chorley and P. Haggett, Frontiers in Geographical 
Teaching. London. 1965. 
4. Hagget, Petter. Locational Analysis in Human Geography. 
London: Edward Arnold. 1970. 
5. Rahardjo Adisasmita. Kumpulan Karya Ilmiah dalam Bidang 
Perencanaan dan Pembangunan Regional. Ujung Pandang. 
1977/1978. 
6. R. Bintarto dan Surastopo H. Metode Analisa Geografi. 
LP3ES. Jakarta. 1979. 
7. William Kirk. Problems in Geography. No. 221. vol XLVIII. 
1963. 

SUMBER : PERANAN GEOGRAFI DALAM PENATAAN RUANG
DI INDONESIA
Oleh Muh. Dimyati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar