26 Juli 2009
Atmosfer dan Aktifitas Cuaca
1. Atmosfer
Atmosfer merupakan lapisan gas atau campuran gas yang menyelimuti bumi dengan ketebalan sekitar 1000 km dan terikat pada bumi oleh gaya gravitasi. Di antara campuran gas tersebut terdapat uap air, sedang campuran gas tanpa uap air dinamakan udara kering1.
Keberadaan uap air memegang peranan penting dalam proses fisis di atmosfer karena1 :
- Sumber dari semua bentuk kondensasi (pengembunan) dan presipitasi (curahan).
- Mempengaruhi suhu karena mampu menyerap radiasi.
- Mengandung panas laten.
- Mempengaruhi evaporasi (penguapan) dan evapotranspirasi.
- Dapat berubah fasa menjadi cair atau padat. Hal yang berbeda dengan gas lain di atmosfer.
- Mempengaruhi kestabilan atmosfer melalui pemanasan dan pendinginan adiabatik.
Berdasarkan variasi suhu terhadap ketinggian, maka struktur vertikal atmosfer dapat dibedakan menjadi empat lapisan yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer2.
Aktifitas cuaca terjadi pada lapisan troposfer3. Hal ini terjadi karena troposfer mengandung kira-kira 80 % dari total massa atmosfer dan memuat seluruh uap air dan aerosol1. Pada lapisan ini suhu maksimum terjadi didekat permukaan bumi dan akan menurun terhadap ketinggian dengan laju penurunan sebesar 6,5 0C tiap kilometer4. Puncak dari troposfer di sebut tropopause yang ditandai adanya inversi suhu, yaitu keadaan di mana suhu cenderung tetap dan atau naik terhadap ketinggian.
Di atas lapisan tropopause terdapat lapisan stratosfer di mana suhu udara justru naik terhadap ketinggian. Fenomena cuaca pada lapisan ini sangat kecil, adakalanya hanya berupa puncak awan thunderstorm3. Pada lapisan ini terdapat ozon yang berfungsi menyerap radiasi ultraviolet dari matahari.
2. Stabilitas atmosfer
Stabilitas atmosfer memungkinkan untuk mengetahui kecenderungan gerakan vertikal dari suatu massa udara di atmosfer. Perbedaan-perbedaan yang kecil dalam gerakan vertikal tersebut penting untuk menerangkan atau meramalkan pembentukan awan-awan konvektif, hujan ataupun wilayah daerah tekanan rendah5. Udara yang tidak stabil memungkinkan terbentuknya awan khususnya awan yang mempunyai ukuran vertikal yang mencolok dan yang biasanya menimbulkan cuaca buruk. Sebaliknya dengan cuaca cerah, tanpa awan adalah sebagai akibat udara yang stabil1.
Faktor utama stabilitas atmosfer adalah hubungan suhu dengan ketinggian. Tingkat di mana suhu bervariasi terhadap ketinggian disebut lajusurut itu. Lajusurut mempunyai pengaruh yang signifikan pada gerak vertikal udara. Mekanisme dimana udara dipindahkan secara vertikal terikat pada konsep lajusurut adiabatik6.
Tingkat stabilitas paket di atmosfer dibedakan menjadi
1. Kondisi Netral, dimana lajusurut aktual dan lajusurut adiabatik kering sama, sehingga suatu parsel udara yang berpindah (baik ke atas maupun ke bawah) akan mempunyai suhu yang sama dengan udara sekitarnya, densitas menjadi sama, dan akan berada dalam keseimbangan.
2. Kondisi Tidak Stabil, dimana lajusurut aktual lebih besar dibanding lajusurut adiabatik yang kering. Ketika parsel ini naik, suhunya lebih besar dari udara sekitarnya, densitasnya menjadi lebih kecil dan akan tetap begerak naik. Ketika parsel bergerak naik, perbedaan suhu bertambah dan mempercepat naiknya parsel udara.
3. Kondisi Stabil, dimana lajusurut aktual kurang dari lajusurut adiabatik kering. Ketika kenaikan parsel, suhunya kurang dari udara sekitar oleh karena itu densitasnya lebih besar dan parsel akan turun langsung di mana suhunya sama dengan udara sekitarnya.
Fenomena yang mudah mengenali stabilitas atmosfer adalah melihat pertumbuhan awan konvektif seperti Cumulonibus (CB). Pembentukan awan ini di awali dari kondisi atmosfer yang tidak stabil akibat pemanasan dari bawah oleh radiasi matahari yang menaikkan tempetatur tanah. Udara yang tidak stabil menimbulkan gangguan yang selanjutnya menyebabkan proses konvektif2. Cuaca buruk akibat awan ini antara lain adalah terjadinya badai guntur dan kilat3.
Proses kondensasi dan pembentukan awan di daerah tropis dan di daerah lintang menengah dan tinggi mempunyai perbedaan yang menyolok. Di daerah tropis umumnya proses kondensasi dan pembentukan awan dapat terjadi pada suhu tinggi (>0 0C) melalui pengangkatan udara atau konveksi yang diakibatkan oleh pemanasan yang kuat. Sedang di daerah lintang menengah dan tinggi proses yang terjadi umumnya karena adanya front yaitu pertemuan massa udara panas dan massa udara dingin1.
Cuaca di daerah tropis ditandai dengan perubahan yang cepat dan mendadak. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal seperti adanya garis ekuator dimana gaya coriolli mendekati nol, adanya ITCZ, ridge dan through, awan-awan konvektif, sel hadley dan sirkulasi walker.
Proses Kondensasi
Dalam atmosfer tetes awan terbentuk pada aerosol yang berfungsi sebagai inti kondensasi atau inti pengembunan. Kecepatan pembentukan tetes tersebut ditentukan oleh banyaknya inti kondensasi. Proses dimana tetes air dari fasa uap terbentuk pada inti kondensasi disebut pengintian heterogen. Adapun pembentukan tetes air dari fasa uap dalam suatu lingkungan murni yang memerlukan kondisi sangat jenuh (supersaturation) disebut pengintian homogen. Pengintian homogen yaitu pembekuan pada air murni hanya akan terjadi pada suhu dibawah -40 0C. Akan tetapi dengan keberadaan aerosol sebagai inti kondensasi maka pembekuan dapat terjadi pada suhu hanya beberapa derajat dibawah 0 0C2.
Inti kondensasi adalah partikel padat atau cair yang dapat berupa debu, asap, belerang dioksida, garam laut (NaCl) atau benda mikroskopik lainnya yang bersifat higroskopis, dengan ukuran 0,001 mm – 10 mm.
Secara singkat proses kondensasi dalam pembentukan awan adalah sebagai berikut :
- Udara yang bergerak ke atas akan mengalami pendinginan secara adiabatik sehingga kelembaban nisbinya (RH) akan bertambah, tetapi sebelum RH mencapai 100 %, yaitu sekitar 78 % kondensasi telah dimulai pada inti kondensasi yang lebih besar dan aktif. Perubahan RH terjadi karena adanya penambahan uap air oleh penguapan atau penurunan tekanan uap jenuh melalui pendinginan.
- Tetes air kemudian mulai tumbuh menjadi tetes awan pada saat RH mendekati 100 %. Karena uap air telah digunakan oleh inti-inti yang lebih besar dan inti yang lebih kecil kurang aktif tidak berperan maka volume tetes awan yang terbentuk jauh lebih kecil dari jumlah inti kondensasi.
- Tetes awan yang terbentuk umumnya mempunyai jari-jari 5 – 20 mm. Tetes dengan ukuran ini akan jatuh dengan kecepatan 0,01 – 5 cm/s sedang kecepatan aliran udara ke atas jauh lebih besar sehingga tetes awan tersebut tidak akan jatuh ke bumi. Bahkan jika kelembaban udara kurang dari 90 % maka tetes tersebut akan menguap. Untuk dapat jatuh ke bumi tanpa menguap maka diperlukan suatu tetes yang lebih besar yaitu sekitar 1 mm (1000 mm), karena hanya dengan ukuran demikian tetes tersebut dapat mengalahkan gerakan udara ke atas (Neiburger, et. al., 1995).
- Jadi perbedaan antara tetes awan dan tetes hujan adalah pada ukurannya.
Jika sebuah awan tumbuh secara kontinu, maka puncak awan akan melewati isoterm 0 0C. Tetapi sebagian tetes-tetes awan masih berbentuk cair dan sebagian lagi berbentuk padat atau kristal-kristal es jika terdapat inti pembekuan. Jika tidak terdapat inti pembekuan, maka tetes-tetes awan tetap berbentuk cair hingga mencapai suhu -40 0C bahkan lebih rendah lagi2.
Awan dan Presipitasi Tropis
Presipitasi merupakan jatuhan hydrometeor yang sampai ke bumi baik dalam bentuk cair (hujan) ataupun padat (es atau salju). Di wilayah tropis seperti Indonesia presipitasi lebih didefinisikan sebagai hujan karena sangat jarang terjadi presipitasi dalam bentuk jatuhan keping es.
Awan dan presipitasi merupakan bagian dari siklis hidrologi dan merupakan proses lanjutan dari kondensasi yaitu perubahan fasa dari uap air menjadi tetes-tetes air1. Kondensasi terjadi pada berbagai kondisi seperti perubahan volume udara, suhu, tekanan dan kelembaban, apabila :
- Udara didinginkan sampai titik embunnya meskipun volumenya tetap.
- Volume udara bertambah tanpa ada penambahan panas karena udara didinginkan melalui ekspansi adiabatik.
- Perubahan suhu dan volume mengurangi kapasitas kebasahan udara.
Di daerah tropis pembentukan awan terjadi pada suhu tinggi dan dengan kelembaban yang tinggi juga. Dengan demikian awan yang terbentuk mempunyai kandungan air-cair tinggi.
Presipitasi atau hujan berdasarkan mekanisme dominan dari gerak vertikal dibedakan menjadi3 :
1. Presipitasi stratiform.
Yaitu presipitasi dari awan stratifom yang terbentuk karena gerak vertikal yang kontinu dan menyebar luas. Hal ini terjadi karena kenaikan frontal atau orografik arau konvergensi dalam skala besar.
Presipitasi dari awan stratiform tumbuh dari proses kristal es. Awan ini mempunyai kadar air lebih rendah sehingga koalisensi tidak efektif. Masa hidup awan relatif lama. Jika suhu lingkungan awan mencapai -15 0C, maka proses kristal es dapat menyebabkan presipitasi.
2. Presipitasi konvektif.
Yaitu presipitasi dari awan konvektif karena kondisi udara yang tidak stabil yang menyebabkan gerak vertikal tetapi terlokalisir dalam skala yang tidak luas.
Hujan yang terjadi umumnya tiba-tiba dan sangat lebat (heavy shower) tetapi terjadi dalam waktu yang singkat. Dalam awan konvektif waktu presipitasi lebih pendek tetapi kadar air lebih tinggi dari stratiform sehingga koalisensi sangat berperan menghasilkan hujan.
Jadi mekanisme presipitasi antara awan stratiform dan awan konvektif sangat berbeda. Sebagai pendekatan, hujan kontinu dapat dipandang sebagai keadaan mantap (steady-state process) dimana besaran awan dapat berubah dengan ketinggian tetapi konstan terhadap waktu pada ketinggian tertentu. Sebaliknya, hujan shower dapat didekati sebagai sistem dimana sifat-sifat awan berubah dengan waktu tetapi konstan terhadap ketinggian pada waktu tertentu.
Berdasarkan ketinggian terbentuknya maka awan dibagi menjadi 3 kelompok3 yaitu :
- Awan rendah, yaitu awan yang mempunyai ketinggian dasar kurang dari 2 km meliputi jenis stratus (st), stratocumulus (sc), cumulus (cu), cumulonimbus (cb) dan nimbostratus (ns). Khusus cu, cb dan ns, mempunyai dasar sebagai awan rendah namun tumbuh secara vertikal yang puncaknya mencapai awan tinggi.
- Awan menengah, yaitu awan ketinggian dasar antara 2-7 km, meliputi jenis altocumulus (ac) dan altostratus (as)
- Awan tinggi, yaitu awan dengan ketinggian dasar lebih dari 7 km, meliputi cirrus (ci), cirrocumulus (cc) dan cirrostratus (cs).
SUMBER:http://dayant.blog.friendster.com/2008/01/petir-awan-dan-hujan-menurut-al-quran-5/
“Selimut”, kata ini bisa mewakili fungsi atmosfer bila dilihat dari beberapa segi. Selimut mempertahankan kehangatan untuk tubuh sekaligus menahan desiran udara dingin dari sisi luar. Demikian pula dengan beberapa fungsi atmosfer bumi yang tersusun dari berbagai macam gas. Gas-gas rumah kaca (greenhouse gases) berfungsi mempertahankan temperatur di permukaan bumi pada tingkat yang sesuai untuk kehidupan sedangkan gas ozon di lapisan stratosfer berfungsi menapis sinar Ultra Violet B & C yang dipancarkan matahari. Selain kedua fungsi tersebut, atmosfer kita masih memiliki beberapa fungsi lain, diantaranya: membakar meteor yang memasuki wilayah atmosfer bumi ・sehingga bumi tidak menjadi sasaran empuk bombardir meteor, menyediakan oksigen untuk pernafasan makhluk hidup, menyediakan karbon dioksida untuk keperluan tumbuhan, hingga memunculkan fenomena pelangi yang dikagumi. Aliran udara melewati sayap pesawat terbang menghasilkan gaya angkat pada pesawat ・fakta keberadaan atmosfer memungkinkan dilakukannya transportasi super cepat melalui udara.
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya keberadaan atmosfer bagi kehidupan makhluk di bumi. Namun demikian, salah satu masalah kontemporer utama abad ini adalah sakitnya atmosfer kita. Dua penyakit akut yang melanda atmosfer kita adalah penipisan lapisan ozon (atau lebih dikenal dengan sebutan ozone hole) dan pemanasan global.
Lubang ozon
Lapisan ozon yang melindungi makhluk di bumi dari sengatan sinar Ultra Violet B & C yang berbahaya. Konsentrasi ozon tertinggi terdapat di lapisan stratosfer yang berjarak 25 – 30 km. Lapisan ozon berada dalam situasi kritis manakala konsentrasinya turun di bawah 220 Dobson Unit (DU). Hipotesis mengenai rusaknya lapisan ozon akibat gas chlorofluoromethane (atau dikenal juga dengan nama chlorofluorocarbon = CFC) pertama kali disampaikan oleh Rowland dan Molina pada tahun 1974 di Jurnal Nature. Verifikasi kerusakan lapisan ozon ini mencapai puncaknya pada tahun 1985 manakala Farman dan kawan-kawan mempublikasikan hasil pengukuran yang menunjukkan rendahnya konsentrasi ozon di atas antartika di jurnal yang sama. Istilah ozone hole berkembang sejak saat itu.
Sinar Ultra Violet B & C merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang pendek (yakni antara 200 – 280 nano meter untuk UV C; dan 280 – 320 nano meter untuk UV B). Panjang gelombang sinar Ultra Violet yang pendek tersebut berkorelasi dengan tingginya energi yang dibawa sinar ini. Para ahli kesehatan mengungkapkan bahwa manusia yang terpapar sinar Ultra Violet B & C dengan intensitas yang tinggi bisa terkena penyakit kanker kulit, katarak mata, hingga penurunan sistem kekebalan tubuh. Sinar ini juga akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Intensitas radiasi sinar Ultra Violet B & C juga bisa membunuh plankton yang merupakan santapan ikan ・kurangnya plankton akan berkorelasi langsung dengan keberlangsungan hidup ikan.
Menyadari bahaya kerusakan lapisan ozon, berbagai negara kemudian bersepakat dalam Konvensi Wina (1985) yang selanjutnya menghasilkan Protokol Montreal (1987) untuk mengurangi emisi gas-gas yang berpotensi merusak lapisan ozon. Dua gas utama yang merusak lapisan ozon adalah gas chlorine yang utamanya berasal dari senyawa CFC dan gas bromine yang utamanya berasal dari senyawa methyl bromide dan halon. Pemerintah Indonesia telah turut meratifikasi Konvensi Wina dan Protokol Montreal berikut amandemen-amandemennya melalui beberapa Keputusan Presiden.
Sementara itu, sejak diketemukannya fenomena penipisan lapisan ozon, luas daerah yang memiliki konsentrasi ozon kurang dari 220 DU terus membesar. Untuk Tahun 2004, NASA melaporkan bahwa lubang ozon di atas kutub selatan telah mencapai 28 juta km2, yang berarti lebih dari dua kali lipat luas antartika itu sendiri (atau lebih besar dari daratan Amerika Utara). Jika hal ini tidak segera ditanggulangi, tidak tertutup kemungkinan bahwa lubang ozon ini bisa menjadi malapetaka global bagi kehidupan di muka bumi.
CFC pada umumnya digunakan di sektor pendingin (refrigerasi), busa, pelarut/pembersih (solvent), dan zat pendorong (propellant) seperti pada parfum. Saat ini, pengguna CFC terbesar adalah pada sektor refrigerasi. CFC, seperti R-12 atau Freon 12, masih banyak digunakan pada pendingin udara (AC) kendaraan dan chiller (mesin pendingin udara pada gedung). CFC jenis R-11 juga masih banyak digunakan pada chiller. Masyarakat bisa berperan besar dalam program perlindungan lapisan ozon ini dengan menggunakan produk-produk yang tidak menggunakan CFC. Di Indonesia, pemerintah akan menghentikan import CFC pada akhir tahun 2007. Karena tidak ada satu pun industri yang menghasilkan CFC di tanah air, maka penghentian import CFC akan menyebabkan kelangkaan CFC di dalam negeri. Hal ini perlu segera diantisipasi oleh para pengguna CFC; antara lain dengan menggunakan bahan-bahan non-CFC dan berbagai teknologi yang tidak menggunakan CFC.
Pemanasan Global
Sinar matahari yang berhasil menerobos atmosfer (setelah sebagiannya langsung dipantulkan oleh atmosfer ke angkasa) sebagian akan dipantulkan oleh permukaan bumi ke atmosfer dan sebagiannya lagi akan diserap oleh permukaan bumi. Terserapnya sinar matahari tersebut akan memanaskan permukaan bumi dan menyebabkan permukaan tersebut mampu memancarkan energi ke atmosfer (berupa sinar infra merah yang memiliki panjang gelombang relatif besar, sekitar 5 ・20 mikro meter). Keberadaan Gas Rumah Kaca (GRK) menyebabkan tidak semua sinar infra merah yang dipancarkan bumi bisa lolos ke angkasa; sebagian besar sinar tersebut diserap oleh GRK dan selanjutnya dipancarkan kembali ke permukaan bumi. Proses tersebut berulang dan menyebabkan kenaikan temperatur bumi. Gas Rumah Kaca (GRK) pada dasarnya berfungsi menjaga temperatur bumi pada tingkat yang seusai untuk kebutuhan makhluk hidup. Ketiadaan, atau kurangnya, GRK akan menyebabkan temperatur di permukaan sebuah planet akan sangat rendah (seperti permukaan Mars yang memiliki temperatur rata-rata -50oC); namun terlalu banyak GRK juga akan menyebabkan kenaikan temperatur (seperti permukaan Venus yang temperatur rata-ratanya 420oC). Syukur kepada Allah swt bahwa kecukupan GRK di bumi menyebabkan temperatur rata-rata bumi berada pada kisaran yang sesuai untuk kehidupan, yakni sekitar 15oC (Hamilton, CJ.)
Selimut yang terlalu tebal dan rapat menyebabkan ketidaknyamanan. Lonjakan jumlah GRK di atmosfer bumi tidak saja menimbulkan ketidaknyamanan, namun berpotensi menyebabkan bencana global. Dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim, beberapa jenis gas telah diidentifikasi sebagai GRK, yakni karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs), dan hidrofluorokarbon (HFCs). Ditinjau dari konsentrasinya, GRK yang dominan adalah CO2, N2O, dan CH4. CO2 umumnya dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (batubara, BBM, dan gas) di berbagai sektor (industri, transportasi, dan rumah tangga). Kebakaran hutan juga menyumbang produksi CO2 yang sangat besar. CH4 umumnya dihasilkan dari timbunan sampah, perubahan tata guna lahan dan kehutanan, pertanian, dan sektor energi. Sedangkan N2O umumnya dihasilkan dari sektor pertanian (pemanfaatan pupuk dan praktek pertanian).
Pemanasan global telah menyebabkan temperatur rata-rata bumi saat ini mengalami kenaikan hingga sebesar 2oC dibandingkan dengan tahun 1880 (US National Climate Data Center, 2001). Mayoritas ilmuwan saat ini telah bersepakat bahwa pemanasan global tersebut diakibatkan emisi GRK yang dihasilkan dari kegiatan manusia (antropogenik). Efek langsung pemanasan global yang bisa dideteksi secara jelas oleh para ilmuwan adalah mencairnya es di kutub-kutub bumi. Melelehnya es ini akan berdampak langsung terhadap ketinggian muka air laut, kehidupan biota laut, dan bisa mempengaruhi arus laut yang selama ini berfungsi sebagai heat engine untuk daratan Eropa.
Indonesia sebagai negara berkembang yang terletak di khatulistiwa, memiliki resiko yang besar akibat pemanasan global. Secara umum, kemampuan ekonomi dan teknologi di negara berkembang belumlah siap menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh pemanasan global. Menurut IPCC (Inter Governmental Panel on Climate Change), pada tahun 2030 bisa terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 8 ・29 cm dibandingkan dengan muka air laut saat ini. Bila hal ini terjadi, maka dikhawatirkan Indonesia bisa kehilangan sekitar 2000 pulau-pulau kecil yang secara langsung berdampak pada pengurangan luas wilayah Indonesia (Meiviana dkk., 2004). Peningkatan temperatur permukaan bumi juga dikhawatirkan akan menyebabkan pertanian di negara-negara di sekitar khatulistiwa akan terganggu; dikarenakan terjadinya pergeseran temperatur dari kondisi yang sudah optimal saat ini (Mendelsohn dkk., 2006).
Karena pemanasan global terjadi di lapisan troposfer (lapisan atmosfer terdekat dengan kehidupan manusia; tempat terjadinya berbagai fenomena cuaca), maka tidak bisa dipungkiri bahwa pemanasan global juga akan menyebabkan perubahan iklim (climate change). Diprediksikan bahwa perubahan iklim bisa menyebabkan musim kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang semakin pendek periodenya namun dengan peningkatan intensitas curah hujan (Meiviana dkk., 2004). Kedua hal tersebut: musim kemarau yang berkepanjangan serta tingginya curah hujan, sudah dirasakan masyarakat di tanah air. Kemarau panjang menyebabkan kegagalan pertanian dan kekurangan air bersih yang akut di berbagai tempat. Tingginya curah hujan menimbulkan bencana banjir di mana-mana. Beberapa ilmuwan juga mencoba menghubungkan perubahan iklim dengan semakin tingginya frekuensi dan intensitas badai (hurricane) yang terjadi di berbagai wilayah di bumi, utamanya belahan utara dan selatan bumi.
Beberapa masalah kesehatan, seperti penyakit malaria dan demam berdarah, juga ditengarai mengalami peningkatan akibat perubahan iklim (Meiviana dkk., 2004). Kenaikan temperatur bisa menyebabkan lebih singkatnya periode pertumbungan nyamuk yang selanjutnya berperan dalam peningkatan wabah malaria dan demam berdarah.
Melihat bahaya yang bisa ditimbulkannya, sudah sepantasnya bila warga bumi bersegera melakukan berbagai daya upaya agar gangguan terhadap iklim yang dipicu oleh pemanasan global tidak semakin parah. Berbagai anomali cuaca bisa saja terjadi bila perubahan iklim semakin menjadi. Anomali tersebut menyebabkan manusia akan semakin sulit melakukan prediksi terhadap cuaca, yang selanjutnya akan mempengaruhi dunia penerbangan, kelautan, hingga transportasi darat.
Karena GRK didominasi oleh CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, miyak bumi, dan gas alam, maka masyarakat bisa berperan serta dengan melakukan berbagai penghematan; baik penghematan energi ataupun penghematan penggunaan barang-barang (karena pada dasarnya produksi berbagai barang juga memerlukan suplai energi). Peran pemerintah sangat diperlukan dalam melakukan berbagai regulasi di sektor industri, transportasi, dan rumah tangga untuk menjamin terjadinya pengurangan emisi CO2. Sumber-sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, seperti energi matahari, angin, biofuel, geothermal, biogas, dsb., perlu secepatnya digali dan diimplementasikan.
Kita berharap agar bumi kita yang hanya satu ini masih mampu menampung generasi-generasi manusia di masa mendatang. Oleh karena itulah, merupakan tugas kita bersama untuk menyembuhkan atmosfer kita yang sedang sakit.
Atmosfer Bumi terdiri atas nitrogen (78.17%) dan oksigen (20.97%), dengan sedikit argon (0.9%), karbondioksida (variabel, tetapi sekitar 0.0357%), uap air, dan gas lainnya. Atmosfer melindungi kehidupan di bumi dengan menyerap radiasi sinar ultraviolet dari matahari dan mengurangi suhu ekstrem di antara siang dan malam. 75% dari atmosfer ada dalam 11 km dari permukaan planet.
Atmosfer tidak mempunyai batas mendadak, tetapi agak menipis lambat laun dengan menambah ketinggian, tidak ada batas pasti antara atmosfer dan angkasa luar.
Berikut nama-nama lapisat atmosfer dikenal :
Troposfer
Lapisan ini berada pada level yang paling rendah, di mana campuran gas-gasnya adalah yang paling ideal untuk menopang kehidupan di bumi. Di lapisan ini kehidupan juga terlindung dari sengatan radiasi yang dipancarkan oleh benda-benda langit lain. Dibandingkan dengan lapisan atmosfer yang lain, lapisan ini adalah yang paling tipis (kurang lebih 15 kilometer dari permukaan tanah). Di dalam lapisan ini, hampir semua jenis cuaca, perubahan suhu yang mendadak, angin tekanan dan kelembaban yang kita rasakan sehari-hari terjadi.
Ketinggian yang paling rendah adalah bagian yang paling hangat dari troposfer, karena permukaan bumi menyerap radiasi panas dari matahari dan menyalurkan panasnya ke udara. Biasanya, jika ketinggian bertambah, maka suhu udara akan berkurang secara tunak (steady), dari sekitar 17℃ sampai -52℃. Namun topografi di permukaan bumi, seperti pegunungan dan plato (dataran tinggi) dapat menyebabkan anomali terhadap gradien suhu tersebut.
Diantara stratosfer dan troposfer terdapat lapisan yang biasanya dilewati/digunakan pesawat Komersil mengudara yang disebut lapisan Tropopouse.
Stratosfer
Perubahan secara bertahap dari troposfer ke stratosfer dimulai dari ketinggian sekitar 11 km. Suhu di lapisan stratosfer yang paling bawah relatif stabil dan sangat dingin yaitu – 70oF atau sekitar – 57oC. Pada lapisan ini angin yang sangat kencang terjadi dengan pola aliran yang tertentu. Awan tinggi jenis cirrus kadang-kadang terjadi di lapisan paling bawah, namun tidak ada pola cuaca yang signifikan yang terjadi pada lapisan ini.
Dari bagian tengah stratosfer keatas, pola suhunya berubah menjadi semakin bertambah semakin naik, karena bertambahnya lapisan dengan konsentrasi ozon yang bertambah. Lapisan ozon ini menyerap radiasi sinar ultra ungu. Suhu pada lapisan ini bisa mencapai sekitar 18oC pada ketinggian sekitar 40 km. Lapisan stratopause memisahkan stratosfer dengan lapisan berikutnya.
Mesosfer
Kurang lebih 25 mil atau 40km diatas permukaan bumi terdapat lapisan transisi menuju lapisan mesosfer. Pada lapisan ini, suhu kembali turun ketika ketinggian bertambah, sampai menjadi sekitar – 143oC di dekat bagian atas dari lapisan ini, yaitu kurang lebih 81 km diatas permukaan bumi. Suhu serendah ini memungkinkan terjadi awan noctilucent, yang terbentuk dari kristal es.
Termosfer
Transisi dari mesosfer ke termosfer dimulai pada ketinggian sekitar 81 km. Dinamai termosfer karena terjadi kenaikan temperatur yang cukup tinggi pada lapisan ini yaitu sekitar 1982oC. Perubahan ini terjadi karena serapan radiasi sinar ultra ungu. Radiasi ini menyebabkan reaksi kimia sehingga membentuk lapisan bermuatan listrik yang dikenal dengan nama ionosfer, yang dapat memantulkan gelombang radio. Sebelum munculnya era satelit, lapisan ini berguna untuk membantu memancarkan gelombang radio jarak jauh.
Fenomena aurora yang dikenal juga dengan cahaya utara atau cahaya selatan terjadi disini.
Eksosfer
Adanya refleksi cahaya matahari yang dipantulkan oleh partikel debu meteoritik. Cahaya matahari yang dipantulkan tersebut juga disebut sebagai cahaya Zodiakal
Cahaya matahari merupakan fenomena yang penting, karena walaupun tidak terlihat secara langsung, tetapi memberikan pengaruh pada lingkungan bumi. Atmosfer bumi, walaupun secara tidak signifikan terganggu, tetapi memberikan pengaruh pada kondisi iklim, dan teknologi satelit, serta teknologi komunikasi saat ini.
Meskipun atmosfer bumi yang mendukung kehidupan hanyalah setinggi 10 km dari permukaan, lapisan atmosfer yang lebih di atas lagi mencapai ratusan kilometer, menipis seiring ketinggian. Pada fase solar maksimum, radiasi dengan panjang gelombang ultraviolet ekstrim memanaskan lapisan atas atmosfer ini, (disebut sebagai termosfer, dan berada pada ketinggian lebih dari 100 km). Banyak satelit yang terletak pada ketinggian ini. Meskipun termosfer sangatlah tidak rapat dibandingkan lapisan atmosfer bawah, tetapi kerapatannya tetap saja memberikan pengaruh hambatan pada lintasan orbit satelit yang berada disana.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar