02 Juni 2011
ANTARA MENGAJARKAN,MENDIDIK DAN MENGINSPIRASI
Sekolah yang menginspirasi adalah dambaan semua pengelola sekolah, guru , orang tua dan siswa. Inspirasi yang saya maksud antara lain sebuah perwujudan rasa saling memberi semangat untuk menghasilkan yang terbaik. Pengelola sekolah diharapkan bisa membuat semua warga di sekolah menemukan ‘rumah’ kedua, guru mau memberikan kontribusi yang terbaik, orang tua merasa difasilitasi, siswa merasa didengar dan diberikan peluang untuk maju. Jika semua syarat itu terpenuhi, luar biasa, maka sekolah Pak Arfan di dalam film ‘Laskar Pelangi’ akan tercipta dimana-mana di seluruh Indonesia.
Berbicara sekolah yang menginspirasi bukan bicara fasilitas atau dana, walaupun semua tadi penting, tapi lebih pada niat semangat dan tujuan bersama yang jernih dalam membuat tujuan, visi misi sekolah menjadi berhasil diwujudkan bersama. Bersama komunitas di SDIT Buah Hati sebuah sekolah progresive dalam penerapan kecerdasan majemuk, saya berbagi yang mengenai bagaimana sekolah yang menginspirasi dijalankan.
Dalam tulisan ini saya akan membantu anda mengenali bagaimana sebuah sekolah yang menginspirasi dijalankan.
Keputusan-keputusan di sekolah diambil dengan melibatkan semua warga di sekolah. Dari hal yang kecil sampai visi misi sekolah. Dengan cara apapun, dengan atau tanpa teknologi, sekolah bisa melibatkan pengambilan keputusan di sekolah dengan melibatkan semua komponen di sekolah.
Pemimpin sekolah mudah dilihat dan dijangkau, maksudnya ia menjadi orang yang gampang ditemui. Seorang pemimpin di sekolah memang sudah menjadi pekerjaannya untuk rapat sana dan sini, akan lebih baik jika semua komponen di sekolah tahu akan kesibukan apa yang dilakukan dan dikerjakan. Lewat blog dan twitter, pemimpin sekolah sebenarnya bisa membuka dialog dengan warga sekolahnya.
Kepala sekolah datang ke kelas bukan hanya untuk bertemu guru dan membicarakan persoalan administrasi atau hanya datang setahun sekali untuk mengobservasi kinerja, tetapi ia datang untuk sesekali diluar kegiatannya yang sibuk, menikmati pembelajaran bersama siswa di kelas. Apalagi jika saat yang sama guru juga sedang melakukan pembelajaran yang menarik dan bermakna bersama siswanya, maka seorang kepala sekolah bisa berperan sebagai guru asisten atau malah berperan menjadi ‘murid’.
Guru senang dan berminat ikut pelatihan atau kegiatan apapun yang diselenggarakan untuk peningkatan kemampuan professional. Indikatornya adalah mereka datang tepat waktu dan aktif dan giat terlibat saat pelatihan. Guru juga bersedia untuk memberikan sekolah usul mengenai pelatihan apa yang diinginkannya.
Jika guru atau siswa bersalah atau melakukan kesalahan maka kesalahan pertama dianggap sebagai bagian dari ‘belajar’. Artinya sebuah kesalahan tidak malah dijadikan cap atau label yang membuat orang yang bersangkutan sulit untuk bergerak dimasa depan.
Ada otonomi yang guru pegang dan gunakan untk kebaikan sebagai seorang professional dikelas. Dengan otonomi guru dianggap seorang pemimpin. Kontrol memang penting tapi dengan memberikan otonomi kontrol akan malah jadi lebih efektif.
Hierarki memang penting, tapi yang lebih penting adalah rasa percaya. Jika guru percaya kepala sekolah, siswa percaya gurunya, orang tua percaya sekolah beserta guru-gurunya, maka sekolah akan lebih mudah menjadi sekolah yang menginspirasi.
Komunikasi berjalan dengan baik. Sekolah punya saluran informasi yang baik dan bisa diandalkan. Guru juga menjadi individu yang senang memberikan kontribusi dan bukan tipe yang senang bicara dibelakang. Artinya jika sekolah meminta pendapatnya dengan serta merta guru mau memberikan pendapat dan pandangan kepada perbaikan sekolah.
Guru memaknai keberadaan dirinya didalam kelas dengan sangat mahal. Artinya setiap waktu berharga, dengan demikian guru akan berusaha mengelola waktu dengan baik, pembelajaran dilaksanakan bukan sekedar membunuh waktu atau sekedar membuat siswa sibuk, tapi memang benar-benar semuanya demi masa depan dan pengetahuan siswa.
An ordinary teacher only can TELL
A good teacher can EXPLAIN
An exellent teacher can DEMONSTRATE
A great teacher INSPIRES
Ungkapan di atas penulis dapat saat mengikuti PLPG ( Pendidikan Dan Latihan Profesi Guru ) di Unimed Medan penghujung 2009 hampir setahun lalu. Dan terus terang sampai sekarang apa yang diucapkan oleh salah seorang asesor tersebut seperti magnet kuat yang menarik saya untuk tidak henti-hentinya mengevaluasi dan menebak-nebak di strata mana posisi saya berada.
Apakah pada tataran guru biasa yang cuma mampu bercerita tak ubahnya bagai pendongeng kepada anak didiknya? Atau setingkat lebih tinggi sebagai guru yang mampu memikat siswa dengan penjelasan yang memukau namun tanpa aplikasi konkret di lapangan ? Atau boleh jadi di peringkat seterusnya dan seterusnya.
Namun lepas dari di posisi manapun itu point utama saya sebenarnya adalah pada ungkapan A great teacher inspires. Terjemahan bebasnya kurang lebih Guru luar biasa adalah guru yang menginspirasi. Mengapa ungkapan ini menggelitik untuk di analisa ? Jawabannya tentu karena kita melihat betapa sulitnya menemukan guru yang bisa di gugu dan ditiru di Republik Indonesia ini. Padahal profesi keguruan akhir-akhir ini mengalami booming yang luarbiasa dari generasi muda bangsa. Lihat saja Perguruan Tinggi atau Sekolah Tinggi yang membuka jurusan keguruan baik negeri maupun swasta, cenderung dibanjiri oleh mahasiswa. Meski dengan latar belakang dan alasan yang berbeda-beda tetapi paling tidak dengan semakin banyaknya anak bangsa yang memilih guru sebagai pekerjaan atau profesi semestinya akan berdampak positif bagi kesinambungan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
Akan tetapi pada gilirannya kita kemudian dihadapkan pada kenyataan yang mencengangkan. Indeks pembangunan manusia Indonesia bukannya semakin baik malah cenderung menurun sampai berada di bawah Malaysia dan Singapura. Jumlah guru yang bertambah secara kuantitas ternyata tidak serta-merta menjadi jaminan kalau kualitas pendidikan di negara kita ikut terdongkrak naik. Ada apa ini ? Pertanyaan besar yang mengusik benak saya untuk mencoba mengurai akar persoalannya. Mengapa input yang begitu besar tidak menghasilkan output yang maksimal?
Dan ternyata satu dari sekian penyebabnya adalah kita “ miskin “ sosok guru yang mampu menginspirasi siswa.
Selama ini terminologi Guru sebagai orang yang digugu dan ditiru diterjemahkan sebagai “manusia setengah dewa” yang faham segala hal tentang problem di jagad raya yang multi kompleks ini. Meski tidak sepenuhnya salah, tetapi pada dasarnya guru adalah manusia biasa juga yang pasti memiliki kekurangan dan kelemahan sehingga konteks digugu dan ditiru itu seharusnya didudukkan pada proporsi yang sebenarnya.
Dalam proses belajar mengajar terdapat tiga komponen yang menjadi indikator berhasil tidaknya sebuah pendidikan. Ketiganya adalah : Sekolah, Guru dan Murid. Sebagai salah satu elemen penting, sudah sewajarnya seorang pendidik menjadi sosok yang digugu dan ditiru para muridnya. Tapi bukan sebagai sosok yang “serba tahu” melainkan lebih tepat sebagai inovator dan motivator sekaligus mediator transformasi ilmu dan informasi dalam rangka membangun kesadaran siswa untuk belajar dengan sepenuh hati.
Pada titik inilah kemudian kita disadarkan bahwa kebanyakan guru dalam melakukan aktivitas mengajarnya lebih terfokus pada materi pengajaran dan melupakan siswa sebagai mitra ajar yang memiliki rasa dan keinginan seperti manusia lainnya. Akibatnya kegiatan pembelajaran yang sejogyanya bisa berlangsung menyenangkan berubah menjadi membosankan karena siswa dipaksa menjadi pendengar budiman tanpa pernah diminta partisipasi dan pendapatnya.
Seorang guru yang luar biasa ( great teacher ) pada hakekatnya adalah guru yang memiliki multi talenta dan menyadari sepenuhnya beban tanggung jawab yang ada di pundaknya. Kesadaran yang kemudian melahirkan sikap totalitas dalam pengabdian bagi memanusiakan manusia dalam artian sebagai makhluk yang cerdas secara akademis dan bermoral.
Sehingga bukan hal yang aneh jika satu waktu dia berfungsi sebagai guru di depan kelas tetapi dilain ketika bertukar menjadi teman, menjadi orang-tua, menjadi pemecah masalah (problem solver) sekaligus tempat curhat yang kompeten bagi siswanya baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah.
Cerminan ini sama sebangun dengan yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara tentang peran seorang guru di sekolah yakni di depan memberi teladan, ing ngarso sung tulodo, di tengah menumbuhkan kreativitas, ing madya mangun karso, dan di belakang menumbuhkan semangat, Tut wuri Handayani.
Kalau komunikasi dua arah seperti itu sudah berjalan dengan harmonis, maka sosok guru pastilah akan diapresiasi oleh siswa dalam artian yang sebenarnya. Dan selanjutnya otomatis segala tindak tanduk dan perilaku guru akan menginspirasi murid untuk berbuat yang terbaik dalam kehidupannya.
Transformasi ilmu dari guru ke muridpun akan berlangsung lebih mudah karena guru mampu memacu siswa untuk berfikir kreatif mengembangkan sendiri ilmu yang diperolehnya.
Lebih jauh lagi kesadaran untuk mencari dan menambah wawasan keilmuan dengan sendirinya akan tumbuh berkembang tanpa perlu didikte dan dipaksakan.
Barangkali hanya ini yang bisa saya tuliskan sebagai bahan renungan bagi saya dan kawan-kawan guru se-bangsa se-tanah air. Harapan saya semoga kita bisa mengevaluasi diri masing-masing. Memperbaiki kelemahan dan meningkatkan kelebihan tanpa harus mengintip-intip kesalahan orang lain. Biar bagaimanapun juga profesi guru merupakan pekerjaan terhormat dan mulia di mata Tuhan.
SUMBER:PARIDUL AZWAR HASIBUAN
Memang, setiap orang bisa menjadi guru. Tetapi, tak bisa disangkal jika tidak semua orang mampu menjadi guru yang baik, mengobarkan semangat, memberi inspirasi, memancarkan energi, mencerahkan, sekaligus menanamkan pengaruh yang luar biasa sehingga bisa membekas sepanjang hidup di benak anak didik.
Padahal guru yang mampu menginspirasi dan mencerahkan itulah yang saat ini dibutuhkan di negeri ini, karena guru semacam itu akan mengantarkan kesuksesan siswa di kelak kemudian hari dan membawa kemajuan bangsa.
Sayangnya, guru yang inspiratif dan mencerahkan seperti itu tidak banyak. Sebagian besar guru tidak jarang hanya guru kurikulum, tidak meninggalkan kesan mendalam di benak siswa karena tidak banyak hal penting yang diwariskan. Apa yang diberikan tak lebih sekedar pengetahuan dan wawasan yang menjadi tugasnya –”sosok guru yang hanya patuh pada kurikulum” sebagaimana isi buku yang ditugaskan sesuai dengan acuan kurikulum.
Guru yang sekedar mengajar tetapi tidak dapat berperan sekaligus sebagai pendidik. Padahal, untuk mencapai kemajuan dan kesuksesan siswa, jelas dibutuhkan guru yang tidak sekedar mengajar sesuai kurikulum melainkan dapat menginspirasi dan mempengaruhi sekaligus mengubah jalan hidup anak didik jadi lebih baik. Lebih ironis, tidak jarang ada sosok guru justru tampil dengan wajah sangar, menakutkan, dan tak menjadikan murid tumbuh semangat untuk menuntut ilmu.
Fenomena mengenaskan tentang angka kelulusan UN tahun ini dan minimnya guru inspiratif (dan tak sedikit guru yang menakutkan di sisi yang lain) menjadikan buku karya Ngainun Na`im yang berjudul Menjadi Guru Inspiratif: Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa ini patut direnungkan. Penulis (yang juga staff pendidik di STAIN Tulungagung) tak hanya menggugat potensi guru yang tak kompeten, melainkan juga memantik kesadaran guru untuk menjadi “sosok yang inspiratif dan mampu mengubah” kehidupan siswa. Karena keberadaan guru inspiratif seperti itu –di mata penulis– yang kini ini menempuh pendidikan S3 Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini bisa mengantarkan murid meraih kehidupan yang bermakna dan berkualitas.
Harapan penulis dapat dipahami, karena guru inspiratif adalah guru yang mampu menularkan pengetahuan dan sekaligus menggerakan perubahan dan mempengaruhi siswa. Jadi guru inspiratif bukanlah sekedar guru kurikulum, tapi mampu mengembangkan potensi dan kemampuan siswa, berpikir kreatif dan mampu melahirkan siswa yang tangguh dan siap menghadapi aneka tantangan dan perubahan (hal. 73). Guru yang tidak sekadar mengajar sebagai kewajiban seperti ditentukan kurikulum tetapi senantiasa berusaha mengembangkan potensi, wawasan, cara pandang dan orientasi siswa. Kesuksesan mengajar seorang guru tak diukur secara kuantitatif dari angka-angka yang diperoleh dalam evaluasi, tetapi bagaimana guru itu memberi sumbangsih yang berarti bagi siswa dalam menjalani kehidupan selanjutnya setelah menyelesaikan masa studi.
Bagaimana menjadi guru yang inspiratif? Ngainun Naim sadar sepenuhnya, menjadi guru inspiratif tidak gampang. Hal itu dikarenakan, guru inspiratif tidak bersifat permanen. Spirit inspiratif -yang dimiliki oleh guru inspiratif– kadang bisa memudar. Tetapi, kalau jiwa guru itu sudah diberkati anugerah inspiratif, yang diperlukan adalah bagaimana ia selalu menemukan pemantik/penyulut spirit inspirasi. Untuk menyulut kembali spirit inspirasi itu, tentu setiap guru punya cara sendiri. Tapi bagi penulis buku ini setidaknya bisa dibangun lewat 3 elemen; komitmen (berkomitmen selalu menginspirasi siswa), cinta (memiliki kecintaan dalam mendidik) dan memiliki visi.
Dengan peran guru inspiratif yang memiliki komitmen, cinta dan visi itu, murid akan mampu terbangkit potensinya dan minatnya untuk menguasai pelajaran. Di sisi lain, memiliki sikap serta “semangat tinggi untuk maju”, kreatif, tercerahkan dan bahkan termotivasi untuk bisa sukses. Karena guru inspiratif semacam itu memiliki semangat terus belajar, kompeten, ikhlas dalam mengajar, mendasarkan niat mengajar pada “landasan spiritualitas”, total, kreatif, dan selalu berusaha mendorong siswa untuk maju.
Potensi kreatif itulah yang menjadikan guru inspiratif tidak pernah kehilangan cara dan media dalam mendidik. Ia bisa membangun iklim pembelajaran dengan seribu cara. Tak salah, jika murid akan selalu merindukan guru semacam itu hadir di kelas hingga kadang tak terasa pelajaran yang sudah berlangsung dua jam seperti tidak terasa. Usai pelajaran, murid mendapat pencerahan, termotivasi dan pelajaran tertanam dalam benak para siswa. Lebih dari itu, siswa menjadi “inspiratif” sehingga mereka mengalami revolusi diri; berubah lebih baik, mengenal bakat terpendam yang dimiliki dan kreatif.
‘Mimpi adalah kunci untuk kita menapaki dunia… Berlarilah tanpa lelah hingga engkau meraihnya..’
Sekilas inspirasi yang coba dilontarkan untuk anak2 laskar pelangi dalam film laskar pelangi oleh bu guru muslimah dan kepala sekolahnya..
Demikian juga seorang guru bernama Balia yang menjadi sumber inspirasi bagi Ikal, Arai dan Jimbron dalam film ‘Sang Pemimpi’. Kelas Balia membawa mereka pada keajaiban ilmu pengetahuan dan luasnya kehidupan, tempat yang memberi mereka nafas untuk keluar dari tekanan hidup. Balia membarakan semangat mereka untuk menjelajahi Eropa dan bagian dunia lain untuk mengarungi kehidupan.
Ternyata inspirasi Guru lah yang mampu menyemangati, mengispirasi siswa siswanya untuk memiliki harapan dan impian di tengah ketakberdayaan hingga andrea herata (ikal) sampai di Paris impiannya dan mampu kuliah S2 di sana. Subhanallah.. dia mengatakan semuanya karna gurunya.. dan dia persembahkan karya karya terbaiknya, buku buku penuh inspirasi untuk orang yang telah memberinya inspirasi.
Hari ini kita membutuhkan kumpulan manusia yang penuh harapan, keyakinan dan keberanian untuk memiliki dan berusaha mewujudkan impian-impian besar. Kumpulan manusia seperti inilah yang akan mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa besar, bangsa yang tidak hanya mampu menyelesaikan persoalan dirinya, tapi juga mampu berkontribusi bagi perbaikan dunia. Semuanya bermula dari bangku bangku sekolah dengan guru – guru yang mampu mengarahkan segala harapan, keyakinan akan impian impian besar itu tervisualisasi di hadapan anak didiknya.
Disinilah sebenarnya peran utama seorang guru dalam menciptakan ruang – ruang kelasnya untuk mengekspresikan semua potensi anak didiknya dalam mewujudkan impiannya. Sehingga para guru itu mampu menciptakan situasi, dan mereka juga akan mengarahkan siswanya agar tidak terjebak dalam situasi yang seolah langka pilihan, Membiarkan diri dalam situasi langka pilihan sama saja dengan membiarkan lingkungan mendegradasi segala kecerdasan.
Lalu bagaimana dengan mereka, para guru yang hanya menjadikan ruangnya seolah hanya ruang kaku, tempat mentransfer ilmu, bukan mentransfer nilai dan tempat untuk menginspirasi. Lalu siapakah yang akan meyakinkan dan menciptakan ruang anak2 didik kita menjadi ruang penuh dengan semangat dan motivasi??
WS Rendra mengatakan “Terali besi takkan merubah rajawali menjadi burung nuri”
Kita menyaksikan banyak anak anak didik kita yang memiliki potensi yang luar biasa, namun berada dalam ruang sempit yang tak memungkinkannya mengekspresikan segala potensi yang mereka punya. Terali besi mewujud dalam bentuk lingkungan sosial, maupun lingkungan sekolahnya. Kita menyaksikan banyak anak yang memiliki potensi jauh melebihi kemampuan yang dimiliki, namun tetap bertahan dan memilih berkompromi dengan keadaan. Pada akhirnya kelebihan potensi yang dimiliki harus direlakan sehingga tak lebih hanya menjadi bakat terpendam yang tak pernah terekspresikan.
“Impian-impian besar memerlukan energi besar”, dan sesungguhnya gurulah yang memiliki peran besar disana. Energi yang cukup sungguh harus kita miliki untuk bisa mewujudkan segala mimpi anak didiknya. Bagi yang belajar Fisika, tentu sangat familiar dengan formula energi yang dirumuskan Einstein. Energi menurutnya adalah fungsi dari massa (bobot) dikalikan kuadrat dari kecepatannya (E=MC2). Jadi kalau kita ingin meningkatkan energi anak didik kita, menurut teori ini, kita bisa melakukannya dengan meningkatkan bobot, kecepatan atau kedua-duanya.
Kehidupan selalu diciptakan dalam dua proses penciptaan. Pertama, apa yang disebut sebagai penciptaan intelektual (intellectual creation). Penciptaan ini dilakukan oleh fikiran dan jiwa, yakni ketika kita membayangkan dikepala kita mengenai apa yang ingin kita wujudkan. Kedua adalah penciptaan fisik (physical creation), yakni ketika kita berusaha mewujudkan apa yang ada difikiran menjadi kenyataan.
Bobot manusia tidak terletak pada besar kecilnya fisik yang dimiliki, melainkan pada seberapa beriman dan berilmu dia. Alquran mengatakan bahwa Allah meninggikan orang beriman dan berilmu beberapa derajat (QS. Mujadalah:11). Mengenai kecepatan, hal ini terletak dari kesegeraan manusia dalam melakukan berbagai kebaikan.
Alquran dalam surat Al Baqarah 246-251 menceritakan kisah menarik yang menjelaskan betapa energi manusia ternyata tidak tergantung pada banyaknya logistik yang dikonsumsi, melainkan seberapa tinggi keyakinan dan ketaatannya pada perintah Allah. Kisah ini dimulai saat Musa telah meninggal dan Bani Israil menjadi bangsa yang lemah lagi terancam.
Ketika mengajar di kelas 6, saya selalu memberi tugas siswa untuk menuliskan visi hidup mereka. Tulisan mereka sangat beragam, dari mulai yang sangat luas seperti “ingin menjadi manusia bermanfaat” sampai yang spesifik, bahkan ada juga yang jujur mengatakan tidak punya bayangan.
Salah satu siswa saya di SD Alkhairiyah 1 menuliskan visinya 20 tahun yang akan datang seperti ini “Menjadi Pengusaha Sukses di Indonesia”.
Saat dia presentasi teman-temannya tertawa, sementara dia begitu serius menyampaikan visi dan strategi apa yang akan dilakukan untuk meraihnya. Saya sempat heran ketika siswa yang lain justru tertawa. Mungkin mereka menganggapnya seperti dagelan, atau mimpi disiang bolong yang tidak mungkin bisa diwujudkan. Sayangnya mereka yang tertawa itu tidak memiliki visi yang lebih menarik dari siswa tadi.
Menjadi kerang mutiara atau menjadi kerang rebus adalah sebuah pilihan (motivasi jamil azzaini dalam proposal hidupku.red), “Allah Maha Besar, Aku telah dikaruniai kunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah (Rumawi) begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa umatku akan menguasai semua itu” (Impian Rosulullah SAW bersamaan memecahkan batu di perang Qondak), begitu juga impian Habiebie mantan Presiden RI menjadikan PT.IPTN sebagai kebanggan negeri karena mampu memproduksi pesawat.
Semoga sekuat itulah azzam kita untuk mewujudkan cita-cita anak didik kita, semua butuh proses, semua butuh waktu. sekarang tugas kita adalah meyakinkan anak didik kita untuk selalu bergerak menuju cita-cita tersebut.
Selamat berkarya para guru penuh inspirasi, semoga Allah SWT memberikan Ridho-Nya mengemban amanah ini …
Menurut Rhenald Kasali
Dalam hidup ini kita mengenal 2 jenis guru: Guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer seluruh isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standard (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99% seluruh guru yang saya temui.
Guru inspiratif jumlahnya sangat terbatas, populasinya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, melainkan yang mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Kalau guru kurikulum melahirkan manajer-manajer handal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaharu yang berani menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama.
Dunia memerlukan dua-duanya seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan. Tapi sayangnya sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan sangat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
Freedom Writers Karya-karya pembaharuan, baik temuan-temuan spektakuler keilmuan, produk-produk komersial, maupun gerakan-gerakan sosial akan tampak di masyarakat. Tetapi tak dapat dipungkiri semua itu berawal dari bangku sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki, dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected).
Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat dalam diri Erin Gruwell, guru perempuan yang ditempatkan di sebuah kelas “bodoh”, yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antar geng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan “honors students”, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.Erin memulainya dengan segala kesulitan. Selain katanya “bodoh” dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, terlibat kekerasan antargeng, saling melecehkan, tempramen, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.
Kelas itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak super nakal tak boleh disekolahkan bersama-sama distinguised scholars. Tetapi Erin tak putus asa, Ia membuat “kurikulum”-nya sendiri. Kurikulum itu bukan berisi ajaran-ajaran pengetahuan biasa (hard skill), melainkan pengetahuan hidup.
Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai dan membagi mereka ke dalam dua kelompok di kiri dan di kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antar geng.
Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama was-was, hidup penuh ancaman, curiga pada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relax terhadap guru dan teman-temannya dan sepakat saling memperbaharui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi, sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Karya-karya mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers (FW). Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku-pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film FW yang dibintangi Hilary Swank.
Keluar dari BelengguApa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar saja, melainkan juga pada pendidikan tinggi. Namun entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita semakin mengisolasi dirinya dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu oleh kurikulum.
Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan (meskipun pembacanya belum tentu memadai), dan rajin mengisi absen. Dengarlah protes Kazuo Murakami., Ph.D, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke Amerika saat menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang yang membangun benteng hirarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak perduli dengan apa yang telah terjadi di luar.
Meski belum begitu menonjol dalam masyarakat kita, peranan guru-guru inspiratif ini sangat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih sangat terbatas, dan lulusan-lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.
Ada 2 masalah yang perlu kita renungkan disini. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student’s ability). Ia hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Sedangkan guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, melainkan ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat “Aku ingin jadi seperti dia” atau “Aku bisa lebih hebat lagi”.
Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons tekanan-tekanan eksternal, dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Setiap upaya yang dilakukan guru-guru kreatif untuk meremajakannya dianggap sebagai ancaman, bahkan dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral
Saya masih ingat betul, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang sangat saya kenal. Pada tahun 2005 Ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya dalam bidang pendidikan. Penghargaan serupa dalam masing-masing bidang saat itu juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Tapi tak banyak yang tahu hari-hari itu Ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar “kurikulum”. Kesalahannya adalah telah memperbaharui metode pengajaran agar murid-muridnya menjadi lebih artikulatif. Muridnya senang belum berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya namanya dicoret dari daftar pengajar. Karir gurubesarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.
Kata Jagdish N. Sheth, begitu orang-orang lama menyangkal realita baru, maka mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Prilaku internal itu adalah belenggu innertia, yang disebutnya sebagai destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimilikinya.
Sudah saatnya benteng innertia seperti ini dihapuskan dengan “memanusiawikan” kurikulum dengan memberi ruang yang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.(Kompas.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
nice artikel and inspiratif. Salam kenal pak Guru. Izin titip link, ya : http://smkikhwan.blogspot.com.
BalasHapus