16 September 2020

Gempa Bumi

 Bencana Gempa Bumi Memang Disinggung Dalam Al Quran Setidaknya ada dua ayat dalam Al Quran yang langsung menyatakan tentang bencana gempa bumi. Bunyinya demikian: Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka (Al Quran Surat Al A’raf ayat 78 dan ayat 91). Ayat tersebut saya kira lebih tepat jika hendak mengaitkan Gempa Bumi di Padang yang baru lalu dan gempa bumi lain yang pernah terjadi di Indonesia, atau bahkan gempa bumi yang pernah terjadi di seluruh dunia dari dulu hingga sekarang.

Saya menggunakan kata Setidaknya di awal paragraf di atas karena baru sebatas itu pencarian saya di dalam Al Quran. Tapi jika gempa bumi disinonimkan dengan kalimat Ketika Bumi Diguncangkan, Ketika Negeri Dibinasakan, Ketika Negeri Ditenggelamkan, Ketika Gunung Dihancurkan, atau ayat ini : Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia bergerak seperti awan (Surat An-Naml, ayat 88), maka beberapa kalimat yang senada memang ada di dalam Al Quran.

Mengapa kemudian ada yang mencoba mengaitkan ayat-ayat Al Qur’an dengan jam atau  waktu saat gempa bumi terjadi di Padang dan Jambi? Apakah mereka sekedar iseng? Atau apa? Mengapa tidak mengaitkannya dengan spektrum yang lebih luas ketimbang sekedar mengutip ayat Al Qur’an?

Sebagai seorang Muslim, saya sangat percaya Kekuatan Maha Besar, Allah SWT, ada di balik semua peristiwa gempa bumi dalam sejarah manusia. Itu di satu sisi. Di sisi lain, Saya juga mencoba memahami sudut pandang ilmiah mengapa, bagaimana dan apa penyebab gempa bumi terjadi. Jika kemudian KITA BELUM MAMPU MEMPREDIKSI KAPAN GEMPA BUMI TERJADI, maka ini juga Saya yakini sebagai bagian dari Rahasia Ilahi. Ini domain Ilahi, bukan domain atau wilayah manusiawi. Pada tataran domain manusiawi inilah, menjadi mungkin terjadi spekulasi, seperti percobaan otak-atik waktu jam atau waktu terjadinya gempa kemudian mengaitkannya dengan terjadinya gempa bumi.

Sahabat Blogger, jika ada waktu luang, silakan cek kebenaran ayat yang saya kutip pada paragraf pertama di atas. Barangkali saja saya salah mengutip. Tapi sudah saya usahakan untuk sesuai dengan Al Qur’an terjemahan yang saya miliki. Dengan cara demikian, kita akan mengetahui ayat-ayat sebelum dan ayat-ayat sesudah ayat tersebut di atas, sehingga pemahamannya tidak parsial atau bahkan spekulatif.

Sedikit komplement: Ayat di atas mengkisahkan umat Nabi Sholih yang dikenal dengan Kaum Tsamud dan umat Nabi Syu’aib yang dikenal dengan Penduduk Madyan yang bengal dan mengingkari Risalah Kenabian yang mereka bawa sebagai Utusan Allah SWT hingga Allah SWT menurunkan bencana gempa bumi. Peristiwa ribuan tahun yang lalu direkam oleh Al Qur’an, jauh sebelum manusia modern mengenali penyebab gempa bumi sebagai akibat bertumbukkannya lempeng bumi.

Jika kemudian sampai hari ini gempa bumi masih terus terjadi, rasanya kita tidak cukup jika hanya merenungkannya. Sebab merenung cenderung pasif. Akan lebih baik jika dibarengi dengan tindakan yang nyata. Seperti apa? Membangun diri dan keluarga agar siaga terhadap bencana dengan tetap menjaga kualitas aqidah yang kita miliki. Sehingga kalaupun kita harus menjadi korban meninggal akibat bencana gempa bumi misalnya, kita tetap teguh dalam aqidah dan keimanan kita.

SKALA RICHTER

Skala Richter pertama kali dikembangkan oleh ahli seismografi asal Institut Teknologi California bernama Charles Richter yang dibantu koleganya Beno Guttenberg di tahun 1935. Skala Richter ini didasarkan pada pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh alat yang bernama seismograf yang paling idealnya (menurut salah seorang ahli geologi Jepang yang saya lihat di sebuah acara di stasiun TV NHK World lewat jaringan TV kabel) diletakkan sekitar 100 km atau 62 mil dari pusat gempa (epicentre). Skala Richter ini merupakan skala logaritmik, bukan skala aritmatik. Jadi misalnya ada dua buah gempa, yang satu berkekuatan 2 skala Richter, yang satu lagi berkekuatan 4 skala Richter, bagi mereka yang belum tahu mungkin akan mengira bahwa gempa yang berkekuatan 4 skala Richter ini berkekuatan 2 kali dari gempa yang berkekuatan 2 pada skala Richter. Perkiraan itu salah, pada kenyataannya gempa yang berkekuatan 4 pada skala Richter tersebut berkekuatan 100 kali dari gempa yang berkekuatan 2 pada skala Richter. Lha, dari mana angka 100 itu? Mudah saja, untuk mengerti skala logaritma tidak memerlukan keahlian matematika khusus, cukup hanya bekal ilmu matematika setingkat SMP saja. Sayapun bukan ahli matematika dan dapat mengerti dengan cukup baik skala Richter ini, anda tentu juga akan mudah untuk mengerti skala Richter ini.

Misalkan: gempa X berkekuatan 4 skala Richter, dan gempa Y berkekuatan 2 pada skala Richter, maka:

log X = 4, maka X = {10}^{4} = 10.000.

log Y = 2, maka Y = {10}^{2} = 100

maka kekuatan gempa X adalah \frac{{10}^{4}}{{10}^{2}} atau \frac{10.000}{100} = 100 kali kekuatan gempa Y.

Nah, sekarang coba kita bandingkan kekuatan gempa di perairan Sumatra 2004 yang mengakibatkan tsunami besar di berbagai negara Asia yang berkekuatan 9,2 skala Richter (menurut yang tercatat di salah satu stasiun gempa di AS) dengan gempa bumi San Francisco di Amerika Serikat tahun 1989 yang berkekuatan 7,1 pada skala Richter. Misalkan gempa di Sumatra kita singkat jadi Sm, dan gempa di San Francisco kita singkat jadi Sf.

Log Sm = 9,2, maka Sm = {10}^{9,2} = 1,58\:\times\:{10}^{9}

Log Sf = 7,1 maka Sf = {10}^{7,1} = 1,26\:\times\:{10}^{7}

Jadi kekuatan gempa Sm adalah \frac{1,58\:\times\:{10}^{9}}{1,26\:\times\:{10}^{7}} = 125,4 kali kekuatan gempa Sf.

Menentukan Hari dalam Kalender dengan Aritmatika Sederhana

Kalender Gregorius dan Kalender Julius. Kalender yang kita pakai sekarang ini, yang berdasarkan peredaran Bumi mengelilingi matahari yang disebut kalender syamsiah atau solar calendar dimulai dari sekitar tahun 45 SM. Waktu itu Julius Cæsar, kaisar Romawi waktu itu memerintahkan bulan Januari dan Februari untuk diletakkan di awal tahun (sebelumnya dua bulan tersebut diletakkan di akhir tahun!). Pada saat yang bersamaan di zaman Julius Cæsar ini diperkenalkan pula sistem tahun kabisat yang setiap 4 tahun sekali bulan Februari ditambah satu hari menjadi 29 hari di tahun-tahun yang bisa dibagi 4. Itulah kenapa pada awal penerapan penanggalan syamsiah Romawi pada awalnya disebut dengan kalender Julius (Julian Calendar) dari nama Julius atau Iulius Cæsar. Namun karena penanggalan Julius ini sangat kurang akurat, maka tahun 1582, yang seharusnya dimulainya musim semi jatuh tanggal 21 Maret ternyata sudah bergeser sekitar 10 hari yang membuat gereja Katolik Roma menemui kesulitan untuk menentukan hari Paskah. Untuk itu Paus Gregorius XIII memerintahkan ‘pemotongan’ kalender selama 10 hari yaitu pada Hari Kamis tanggal 4 Oktober 1582 yang besoknya dinobatkan menjadi hari Jumat 15 Oktober 1582. Jadi tanggal 5 Oktober hingga tanggal 14 Oktober 1582, tidak pernah ada dalam sejarah. Dan sejak itulah Kalender yang kita pakai sekarang ini dinamakan kalender Gregorius (Gregorian Calendar). Dalam kalender Gregorius ini juga diadakan perbaikan sehingga lebih akurat lagi, yaitu setiap akhir abad, tahun yang bisa dibagi dengan 100 namun yang tidak bisa dibagi 400 (seperti tahun 1800, 1900, 2100, 2200, dan sebagainya) dinyatakan BUKAN LAGI sebagai tahun kabisat walaupun tahun-tahun tersebut dapat dibagi dengan 4. Ok mari sekarang kita mulai dengan ‘proyek’ kita yaitu menentukan hari dalam kalender.

Yang pertama kali harus diketahui. Kita mengetahui bahwa 1 tahun sama dengan 365 hari atau di tahun kabisat sama dengan 366 hari. Nah 365 hari ini mempunyai 52 minggu (365 hari dibagi 7) dengan sisa 1 hari. Nah, sisa 1 hari (yang belum genap 1 minggu) ini dinamakan 1 hari yang menyendiri atau hari menyendiri. Sedangkan di tahun kabisat tentu saja jadinya punya 2 hari menyendiri. Sekarang mari kita hitung 1 abad mempunyai berapa hari menyendiri? Untuk Kalender Gregorius (untuk mencari hari sesudah tanggal 4 Oktober 1582) dan untuk Kalender Julius (mencari hari sebelum tanggal 15 Oktober 1582) mempunyai teknik tersendiri. Mari kita mulai dari kalender Gregorius dulu yang sekarang kita pakai.

Kalender GregoriusOk, dalam Kalender Gregorius, 1 abad mempunyai 24 tahun kabisat ditambah 76 tahun biasa. Sebenarnya 1 abad mempunyai 100 dibagi 4 sama dengan 25 tahun kabisat, namun karena dalam kalender Gregorius tahun 100 bukanlah tahun kabisat maka banyaknya tahun kabisat harus dikurangi 1. Nah, jadi 1 abad mempunyai 24 kali 2 hari menyendiri ditambah 76 kali 1 hari menyendiri atau sama dengan 124 hari menyendiri. Tentu 124 hari menyendiri ini bisa dikelompokkan per minggu lagi, sehingga 124 dibagi 7 adalah 17 minggu dengan sisa 5 hari. Nah jadi satu abad mempunyai 5 hari yang menyendiri. Hari menyendiri ini penting karena kita akan menentukan hari nanti berdasarkan banyaknya hari menyendiri ini. Dan hari menyendiri ini harus antara 0 (nol) sampai dengan 6. Hari menyendiri tak boleh lebih dari 6, karena kalau lebih dari 6, ia sudah bisa membentuk 1 minggu. Ok, sekarang mari kita lanjutkan lagi.

Ok, tadi kita mengetahui bahwa dalam 1 abad terdapat 5 hari menyendiri. Maka sekarang dalam 2 abad terdapat: 2 dikali 5 hari menyendiri sama dengan 10 hari menyendiri yang berarti mempunyai 3 hari menyendiri (10 dibagi 7, sisanya adalah 3). Dalam 3 abad hari menyendiri yang ada adalah 3 dikali 5 sama dengan 15, berarti mempunyai 1 hari menyendiri. Nah, dalam 4 abad terdapat 4 dikali 5 sama dengan 20 hari menyendiri. Tetapi ingat dalam kalender Gregorius setiap 400 tahun sekali ditambahkan 1 hari karena setiap akhir abad (seperti tahun 1600, 2000, 2400, dsb.) yang bisa dibagi 400 ditetapkan sebagai tahun kabisat sehingga dalam 4 abad (400 tahun) kalender Gregorius terdapat 20 hari + 1 hari menyendiri = 21 hari menyendiri atau 0 hari menyendiri. Begitu pula dengan 800 tahun (8 abad), 1200 tahun, 1600 tahun dan seterusnya yang tahunnya dapat dibagi 400,  juga mempunyai 0 hari menyendiri. Nah, sekarang ingat-ingat angka hari menyendiri yang berwarna ungu di atas.

Langkah-Langkah menentukan hari dalam kalender.

  1. Tentukan  banyaknya hari menyendiri hingga abad terakhir yang sudah dilalui. Misalkan tahun 1976, maka tentukan berapa hari menyendiri hingga tahun 1900.
  2. Tentukan banyaknya hari menyendiri mulai dari awal abad hingga akhir tahun yang sudah dilalui. Misalkan contoh tahun 1976 di atas, maka tentukan banyaknya hari menyendiri dari awal tahun 1901 hingga akhir tahun 1975.
  3. Tentukan banyaknya hari menyendiri mulai dari awal tahun hingga tanggal dari hari yang akan kita cari. Misalkan 17 Maret 1976. Maka tentukan banyaknya hari menyendiri mulai dari 1 Januari 1976 hingga 17 Maret 1976.
  4. Jumlahkan total hari menyendiri di atas dan tentukan harinya.

Nah, hanya 4 langkah saja! :D Sekarang yang perlu diingat adalah jika  hasil akhir adalah:

  • 0 hari menyendiri, maka hari tersebut jatuh pada hari Minggu
  • 1 hari menyendiri, hari Senin
  • 2 hari menyendiri, hari Selasa
  • 3 hari menyendiri, hari Rabu
  • 4 hari menyendiri, hari Kamis
  • 5 hari menyendiri, hari Jumat
  • 6 hari menyendiri, hari Sabtu

Ayo kita mulai prakteknya. Misalkan kita ingin menentukan hari apa tanggal 17 Agustus 1945 itu, hari kemerdekaan kita. Ok, langkah-langkahnya adalah:

  1. Tentukan hari menyendiri hingga tahun 1900. Nah, 1900 tahun = 1600 tahun + 300 tahun. Kita tahu di atas bahwa 1600 tahun mempunyai 0 hari menyendiri, sedangkan 300 tahun (3 abad) mempunyai 1 hari menyendiri. Jadi total adalah 0 + 1 = 1 hari menyendiri.
  2. Tentukan hari menyendiri mulai dari awal tahun 1901 hingga akhir tahun 1944. Kita mengetahui bahwa 44 tahun itu mempunyai (44 bagi 4) 11 tahun kabisat dan 33 tahun biasa. Kita mengetahui dari bahasan kita di atas bahwa setiap tahun kabisat mempunyai 2 hari menyendiri sedangkan setiap tahun biasa mempunyai 1 hari menyendiri, hingga total adalah 11 X 2 + 33 X 1 = 55 hari menyendiri, atau jika dibagi 7 maka sisa hari menyendirinya adalah sebesar 6 hari menyendiri.
  3. Tentukan banyaknya hari menyendiri mulai dari 1 Januari 1945 hingga 17 Agustus 1945. Banyaknya hari mulai 1 Januari 1945 hingga 17 Agustus 1945 adalah (31 + 28 + 31 + 30 + 31 + 30 + 31 + 17) = 229 hari. 229 hari dibagi 7 sisanya adalah 5 hari menyendiri.
  4. Sekarang mari kita jumlahkan: 1 + 6 + 5 = 12 hari menyendiri, kalau dibagi 7 maka akan sisa 5 hari menyendiri. Maka berdasarkan tabel hari menyendiri di atas 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jumat!

Contoh 2: Mari kita tentukan hari apa tanggal 28 Oktober 1928, hari sumpah pemuda!

  1. 1900 tahun (sama seperti di atas) adalah 1 hari menyendiri.
  2. Hingga akhir tahun 1927. Nah, 27 tahun mempunyai 6 tahun kabisat dan 21 tahun biasa berarti mempunyai: 6 X 2 + 21 X 1 = 33 hari menyendiri atau 5 hari menyendiri.
  3. 1 Januari 1928 hingga 28 Oktober 1928 adalah 302 hari lamanya berarti dia mempunyai 302 bagi 7, sisanya adalah 1 hari menyendiri.
  4. 1 + 5 + = 7 hari menyendiri = 0 hari menyendiri. Jadi 28 Oktober 1928 jatuh pada hari Minggu!

Kalender Julius. Ok Mari kita sekarang mencoba untuk menentukan suatu hari untuk sebuah tanggal untuk kalender Julius. Kalender Julius ini dipakai mulai tahun 45 SM hingga 4 Oktober 1582. Namun kita akan menggunakan metode di atas untuk penanggalan mulai dari 1 Januari tahun 1 hingga tanggal 4 Oktober 1582. (Perlu anda ketahui bahwa sebelum tahun 1 bukanlah tahun 0 melainkan tahun 1 SM, karena sistem bilangan Romawi tidak mengenal angka ‘0′!) Untuk kalender Julius sebenarnya tekniknya sama saja, hanya saja yang perlu disesuaikan adalah penentuan banyaknya hari menyendirinya untuk 100 tahun dan juga tabel hasil akhir hari menyendirinya. Ok untuk tabel akhir hari menyendiri untuk kalender Julius adalah sebagai berikut:

  • 0 hari menyendiri, maka tanggal tersebut jatuh pada hari Jumat
  • 1 hari menyendiri, hari Sabtu
  • 2 hari menyendiri, Minggu
  • 3 hari menyendiri, Senin
  • 4 hari menyendiri, Selasa
  • 5 hari menyendiri, Rabu
  • 6 hari menyendiri, Kamis

Nah, sekarang bagaimana menentukan banyaknya hari menyendiri untuk 100 tahunan atau 1 abad pada kalender Julius? Perlu diingat bahwa dalam Kalender Julius semua tahun yang dapat dibagi 100 adalah tahun kabisat. Berbeda dengan kalender Gregorius, di mana tahun yang dapat dibagi 100 tidak semuanya tahun kabisat, hanya tahun-tahun habis dibagi 100 yang juga dapat dibagi 400 saja yang merupakan tahun kabisat. Jadi dalam kalender Julius ini, 100 tahun atau 1 abad terdiri dari 25 tahun kabisat ditambah 75 tahun biasa. Kita telah mengetahui bahwa di dalam satu tahun kabisat terdapat 2 hari menyendiri dan di dalam satu tahun biasa terdapat 1 hari menyendiri. Berarti dalam 100 tahun kalender Julius terdapat 25 X 2 + 75 X 1 = 125 hari menyendiri atau kalau dibagi 7 maka akan sisa 6 hari menyendiri. Nah sekarang berarti dalam:

  • 200 tahun terdapat 2 X 6 = 12 hari menyendiri atau 5 hari menyendiri
  • 300 tahun terdapat 3 X 6 = 18 hari menyendiri atau 4 hari menyendiri
  • 400 tahun terdapat 3 hari menyendiri
  • 500 tahun terdapat 2 hari menyendiri
  • 600 tahun terdapat 1 hari menyendiri
  • 700 tahun terdapat 0 hari menyendiri
  • 800 tahun terdapat 6 hari menyendiri lagi
  • 900 tahun terdapat 5 hari menyendiri lagi
  • dst.

Untuk langkah-langkah pencarian hari dalam kalender Julius, serupa dengan langkah-langkah pencarian hari dalam kalender Gregorius. Sekarang mari kita ambil contoh tanggal 4 Oktober 1582 (hari terakhir berlakunya kalender Julius) jatuh pada hari apa?

  1. Tentukan hari menyendiri hingga tahun 1500. Dari data di atas kita dapat mencari bahwa dalam 1500 tahun (700 tahun+700 tahun+100 tahun ataupun 900 tahun+600 tahun, terserah anda, akan sama hasilnya!)  terdapat 6 hari menyendiri.
  2. Tentukan hari menyendiri dari awal tahun 1501 hingga akhir tahun 1581. Dalam 81 tahun tersebut terdapat 20 tahun kabisat ditambah 61 tahun biasa. Berarti terdapat 20 X 2 + 61 X 1 = 101 hari menyendiri atau kalau dibagi 7 sisanya menjadi 3 hari menyendiri.
  3. Sekarang cari banyaknya hari menyendiri mulai dari tanggal 1 Januari 1582 hingga 4 Oktober 1582. Banyaknya hari antara tanggal 1 Januari hingga 4 Oktober adalah (31+28+31+30+31+30+31+31+30+4) adalah 277 hari, jadi kalau dibagi 7, sisanya adalah 4 hari menyendiri.
  4. Sekarang jumlahkan total hari menyendiri yang diwarnai biru di atas yaitu: 3 + 4 = 13 hari menyendiri atau 6 hari menyendiri. Berarti 4 Oktober 1582 jatuh pada hari Kamis!

Nah, caranya sama saja bukan? Ternyata dengan aritmatika sederhana kita dapat mengerjakan hal-hal yang cukup berguna dalam kehidupan kita. Sekarang sebagai penutup cobalah mencari tanggal-tanggal bersejarah di bawah ini:

  • 1 September 1939. Inilah dimulainya Perang Dunia II. Pada tanggal tersebut Nazi Jerman menyerang Polandia. Jerman yang sebelumnya sudah mencaplok Austria dan daerah Sudetenland yang merupakan bagian dari Cekoslowakia yang banyak keturunan Jerman-nya, tidak menyangka bahwa kali ini Inggris dan Perancis akan bertindak keras. Ya, pada akhirnya 2 hari kemudian, Inggris dan Perancis menyatakan perang dengan Jerman yang menandakan benar-benar dimulainya Perang Dunia II.
  • 7 Desember 1941. Saat inilah Jepang, yang waktu itu bersekutu dengan Jerman,  menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, kepulauan Hawaii. Peristiwa ini menandakan dimulainya perang Asia Timur Raya atau perang Pasifik. Amerika Serikat yang waktu itu berusaha keras untuk menjaga netralitasnya akhirnya terjun ke dalam Perang Dunia II dan bergabung dengan aliansi Sekutu. Besoknya AS menyatakan perang dengan Jepang yang menandakan awalnya keterlibatan AS dalam Perang Dunia II. Perang Asia Timur Raya khususnya dan Perang Dunia II pada umumnya juga mempunyai pengaruh penting dalam sejarah modern Indonesia, karena tanpa terjadinya Perang Dunia II, belum tentu negara kita ini dapat merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.
  • 4 Oktober 1957. Inilah tanggal lahirnya abad angkasa dengan diluncurkannya pertama kali satelit buatan manusia Sputnik I oleh Uni Soviet. Amerika Serikat yang sehabis Perang Dunia II sebenarnya mendapatkan ahli-ahli roket Jerman kelas I seperti Wernher von Braun, merasa sangat kecolongan. Wernher von Braun adalah ahli roket Jerman yang menjadi warga negara AS, dan orang yang sangat berperan pada keberhasilan pendaratan Apollo 11 di bulan oleh NASA.
  • 21 Juli 1969. Inilah pertama kalinya manusia mendarat di bulan. Orang yang pertama kali menjejakkan kakinya di bulan adalah Neil Armstrong dengan pesawat modulnya Apollo 11. Banyak teori konspirasi yang menyatakan bahwa pendaratan manusia di bulan ini adalah palsu (saya pernah melihat acara tersebut di stasiun TV Star World). Hal yang paling membuat para pendukung teori konspirasi tersebut yakin akan kepalsuan itu adalah karena hampir 40 tahun setelah keberhasilan tersebut, NASA tidak pernah mengirimkan manusia ke bulan lagi!

 

Gempa Bumi

Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat; dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)-nya; dan manusiapun bertanya; “apa yang terjadi pada bumi ini? Pada hari itu, bumi menyampaikan beritanya; karena sesungguhnya Allah SWT, Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) padanya…. ( Al Qur’an, Surat Al Zalzalah; 1-5). Gempa bumi kembali mengguncang wilayah Indonesia. Apa itu gempa bumi? Bagaimana proses gempa bumi terjadi? Mengapa Indonesia masuk dalam wilayah yang sangat rentan terhadap terjadinya bencana alam gempa bumi? Siapa yang memperkenalkan Skala Richter untuk mengukur kekuatan guncangan akibat gempa bumi?

Indonesia Negeri Gempa Bumi

Gempa Bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, oleh patahan aktif aktivitas gunung berapi atau runtuhan batuan. Kekuatan gempa bumi akibat aktivitas gunung berapi dan runtuhan batuan relatif kecil frekuensi kejadiannya dibandingkan dengan  gempa bumi akibat tumbukan antar lempeng bumi dan patahan aktif.

Lempeng Samudera yang rapat massanya lebih besar ketika bertumbukkan dengan lempeng benua di zona tumbukan (subduksi) akan menyusup ke bawah. Gerakan lempeng itu akan mengalami perlambatan akibat gesekan dari selubung bumi. Perlambatan gerak itu menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona patahan.

Akibatnya di zona-zona itu terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui, maka terjadilah patahan batuan yang diikuti oleh lepasnya energi secara tiba-tiba. Proses ini menimbukan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa bumi.

Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng utama dunia yaitu Lempeng AustraliaEurasia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan Australia bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera, lepas pantai selatan pulau Jawa, lepas pantai Selatan kepulauan Nusatenggara, dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng Australia dan Pasifik terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Sementara pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itulah sebabnya mengapa di pulau-pulau sekitar pertemuan 3 lempeng itu sering terjadi gempa bumi.

Intensitas gempabumi adalah tingkat kerusakan yang terasa pada lokasi terjadinya. Angkanya ditentukan dengan menilai kerusakan yang dihasilkannya, pengaruhnya pada benda-benda, bangunan, dan tanah, dan akibatnya pada orang-orang. Skala ini disebut MMI (Modified Mercalli Intensity) diperkenalkan oleh Giuseppe Mercalli pada tahun 1902.

Magnituda adalah parameter gempa yang diukur berdasarkan yang terjadi pada daerah tertentu, akibat goncangan gempa pada sumbernya. Satuan yang digunakan adalah Skala Richter. Skala ini diperkenalkan oleh Charles F. Richter tahun 1934. Sebagai contoh, gempabumi dengan kekuatan 8 Skala Richter setara kekuatan bahan peledak TNT seberat 1 gigaton atau 1 milyar ton.

Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari beberaap kasus bencana alam gempa bumi di Indonesia, dulu dan di masa yang akan datang. Sebab, berdasarkan penjelasan di atas, gempa bumi termasuk satu-satunya jenis bencana alam yang potensi dan intensitas kejadiannya sangat tinggi dan sangat sering terjadi.

Sumber Tulisan http://www.esdm.go.id/publikasi/lainlain/doc_download/488-pengenalan-gempabumi.html

Lempeng Bumi

Sudah sering disebutkan bahwa wilayah Indonesia terletak di antara 3 lempeng bumi yang aktif, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Lempeng aktif artinya lempeng tersebut selalu bergerak dan saling berinteraksi. Lempeng Pasifik bergerak relatif ke Barat, lempeng Indo-Australia relatif ke utara dan lempeng Eurasia bergerak relatif ke tenggara. Dari teori tektonik diketahui, secara keseluruhan lempeng bumi ada  delapan selain ketiga lempeng tersebut di atas, yaitu lempeng Amerika Utara, lempeng Afrika, lempeng Amerika Selatan dan lempeng Nazca. Ketiga lapisan ini berbeda jenis material penyusunannya sehingga berpengaruh pada sifat fisiknya. Ia antara lain mempengaruhi kecepatan gelombang air yang merambat pada setiap lapisan.

Para pakar membagi struktur bumi menjadi tiga bagian, yaitu kerak bumi, selimut bumi dan inti bumi. Kerak bumi terbagi menjadi dua bagian, masing-maisng kerak samudera (permukaan yang ada di dalam samudera) dan kerak benua atau permukaan daratan. Kerak bumi memiliki ketebalan yang variatif. Antara 0 kilometer sampai dengan 50 kilometer. Pada setiap lokasi, berbeda ketebalannya. Sementara Kerak Samudera memiliki ketebalan yang variatif tapi lebih tipis daripada kerak bumi, yaitu antara 10-12 kilometer (Geologi dan Mineralogi Tanah, 1996).

Di dalam lapisan selimut bumi tersebut terdapat lapisan yang dikenal dengan astenosfer (asthenosphere) yang bersifat cair kental dengan suhu mencapai ribuan derajat celcius. Lempeng-lempeng bumi tadi bergerak mengambang di atas cairan kentalk dan panas tadi dan selalu berinteraksi satu sama lain. Kecepatan pergerakan lempeng-lempeng bumi ini antara 1 centimeter sampai dengan 13 centimeter setiap tahunnya dengan arah tertentu untuk setiap lempengnya.

Pertemuan antar-lempeng dapat berupa subduksi (penunjaman), seperti antara lempeng Indo-Australia yang menunjam ke lempeng Eurasia, atau saling tarik menarik (divergensi), atau saling bergeser. Daerah penunjaman dua lempeng bumi inilah yang disebut dengan zona subduksi.

Daerah batas antar-lempeng ditandai dengan adanya palung, punggungan samudera (deretan gunung dan pegunungan di laut) dan pengunungan yang sejajar pantai, seperti pegunungan Bukit Barisan di Sumatera. Dengan memperhitungkan daerah-daerah antar-lempeng tersebut dapat dibuat zonasi daerah rawan bencana gempa bumi. Daerah yang berdekatan dengan daerah pertemuan dua lempeng, seperti zona subduksi, adalah termasuk daerah rawan bencana gempa bumi.

Daerah rawan bencana gempa bumi di Indonesia berderet sesuai dengan jalur zona subduksi itu. Masing-masing diketahui; di sebelah barat Pulau Sumatera, Selatan Pulau Jawa, Nusatenggara, Maluku dan Papua. Adapun Pulau Kalimantan dapat dikatakan relativf aman karena jaraknya agak jauh dari daerah pertemuan antar-lempeng atau zona subduksi.

Di daerah pertemuan antar-lempeng bumi pada waktu tertentu akan terjadi penumpukkan energi akibat tekanan antar-lepmeng yang menyebabkan instabilitas. Karena bebatuan pada daerah tersebut tidak mampu lagi menahan tekanan, maka bebatuan tersebut bisa patah sambil melepaskan energi. Pelepasan energi tersebut menjalar ke permukaan bumi dengan gelombang vertical dan horizontal yang menggoyangkan semua yang ada di permukaan bumi. Inilah yang kemudian kita rasakan sebagai goncangan besar atau gempa bumi.

Menurut Briggita Isworo (1995), peristiwa gempa bumi dari rentetan pergerakan lempeng bumi itulah yang bakal terjadi secara berulang-ulang di negeri Indonesia ini, sejalan dengan posisi sejumlah daerah di wilayah Indonesia yang posisisnya dekat dengan zona subduksi. Artinya, bencana gempa bumi masih terus akan terjadi dan mengancam bumi Indonesia.

Kapan gempa bumi terjadi? Wallohu A’lam. Allah SWT Maha Tahu.

Pengertian Dan Istilah-Istilah Bencana Alam

Terjadinya bencana alam gempa bumi secara beruntun di Pariaman, Padang Sumatera Barat dan di Sungaipenuh Jambi menggerakkan hati saya untuk berbagi informasi terkait beberapa pengertian dan istilah yang terkait dengan bencana alam. Dengan cara demikian, kita akan semakin memiliki pengetahuan tentang bencana alam sekaligus bagaimana pemerintah Indonesia mengatur penanggulangan bencana.

Secara etimologis, bencana adalah gangguan, goodaan, tipuan atau sesuatu yang menyebabkan dan menimbulkan kesusakan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya. Kata bencana selalu identik dengan sesuatu dan stuasi negatif yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata disater. Disaster berasal dari Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang berarti peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi.

Pengertian bencana atau disaster menurt Wikipedia: disaster is the impact of a natural or man-made hazards that negatively effects society or environment (bencana adalah pengaruh alam atau ancaman yang dibuat manusia yang berdampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan). Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana.

  1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
  2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
  3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
  4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
  5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
  6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
  7. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
  8. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
  9. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
  10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
  11. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
  12. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayahpascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
  13. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.
  14. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
  15. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.
  16. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
  17. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
  18. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
  19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk jangka waktu  tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.
  20. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.
  21. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.

Masih banyak istilah-istilah yang berhubungan dengan bencana alam. Untuk mengetahui lebih detail, saya sarankan anda untuk Download Undang-Undang Penanggulangan Bencana Di Sini dengan file berektensi pdf. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

Pengurangan Risiko Bencana

Risiko Bencana memiliki pengertian: potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Melihat pengertian tersebut, maka kita sebenarnya sedang hidup bersama risiko bencana. Bencana yang setiap saat bisa mengancam, mungkin tidak bisa dicegah, tapi kita bisa melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Oleh sebab itu, kita perlu memperkaya wawasan tekait bagaimana konsep dasar dan pengertian pengurangan risiko bencana.

Pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) merupakan suatu pendekatan praktis sistematis untuk mengidentifikasi atau mengenali, mengkaji dan mengurangi risiko yang ditimbulkan akibat kejadian bencana. Tujuan pengurangan risiko bencana untuk mengurangi kerentanan-kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun yang lain yang menimbulkan kerentanan.

Pengurangan risiko bencana merupakan tanggungjawab lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan maupun lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan. Pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian terpadu dan pekerjaan organisasi-lembaga semacam itu dengan prinsip community based, berbasis masyarakat, agar terintegrasi dengan pendekatan pengurangan risiko bencana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Pengurangan risiko bencana juga merupakan kegiatan yang luas cakupannya. Mengenali risiko bencana merupakan hal yang perlu, bahkan sampai pada tingkatan tertentu merupakan hal yang mutlak.  Mengenali resiko bencana bisa dimulai dari mengenali lingkungan di mana kita hidup. Beberapa contoh:

  1. Jika kita hidup di wilayah pegunungan atau perbukitan terjal, maka resiko bencana bisa dikenali yaitu, apapun yang bisa menyebabkan tanah longsor.
  2. Jika kita hidup dan menetap di sekitar gunung berapi, maka resiko bencana bisa dikenali seperti efek letusan gunung berapi.
  3. Jika kita hidup di bantaran sungai atau daerah aliran sungai, maka risiko bencana bisa dikenali seperti banjir, banjir bandang,  tanggul yang jebol.
  4. Jika kita hidup di wilayah yang rawan gempa bumi, maka risiko bencana bisa dikenali seperti robohnya bangunan dan rumah, tanah retak-retak hingga longsor.
  5. Jika kita hidup di wilayah pemukiman yang padat penduduk, maka resiko bencana bisa dikenali, yaitu apapun yang bisa menyebabkan terjadinya  kebakaran.

Risiko bencana tersebut hanya beberapa contoh saja yang berpotensi menjadi sebuah kenyataan bencana atau bencana yang senyata-nyatanya. Mungkin kita berpandangan bahwa bencana, apapun bentuknya, tidak bisa dicegah kejadiannya. Ketika terjadi bencana kebakaran, kita tidak bisa menghentikan saat itu juga api yang sedang berkobar. Namun kita bisa mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana kebakaran tersebut dengan cara menyelamatkan jiwa dan harta benda yang masih mungkin diselamatkan. Setelah mengenali risiko bencana, maka baik pula untuk mengenali langkah-langkah pengurangan risiko bencana. Artikelnya akan diposting di kemudian hari alias bersambung.

Indonesia Negeri Sejuta Bencana

Bencana didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh proses alam atau ulah manusia yang dapat terjadi secara bertahap atau mendadak yang mengakibatkan kehilangan jiwa manusia, kerusakan dan kehilangan harta benda dan kerusakan lingkungan. Pemerintah Republik Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Ada bebrapa jenis bencana yang pernah terjadi di negara kita, antara lain; gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, kekeringan dan kebakaran hutan, kebakaran, letusan gunung berapi, gelombang pasang, tsunami, wabah penyakit. Dari beberapa bencana tersebut, kerugian material dan immaterial sudah tak terhitung jumlahnya. Tapi, bencana masih terus mengancam kita.

Secara geologis, negara kita dilalui oleh lempeng Eurasia, Australia dan Pasifik yang selalu bergerak. Pertemuan antar lempeng itu dalam jangka panjang akan menghimpun energi. Pada saat energi itu dilepaskan, maka terjadilah gempa bumi dengan atau tanpa potensi tsunami. Selain itu, negera kita juga memiliki sekitar 250 lebih gunung api aktif yang pada saat-saat tertentu dalam meletus dan menimbulkan bencana.

Dari serangkaian kejadian bencana alam maupun karena ulah manusia, kita bisa melakukan lesson learned, mengambil pelajaran untuk dipetik sebagai mana berikut:

  1. Pada umumnya, bencana terjadi pada saat kita dalam keadaan tidak siap. Bisa pada malam hari, tengah malam atau dinihari, atau bahkan di siang bolong di saat masyarakat sedang konsentrasi ke pekerjaan.
  2. Situasi tidak siap bisa karena soal waktu, bisa karena masalah ketidaksiapan yang bersifat tehnis karena memang tidak memiliki pengetahuan tentang kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Ini antara lain karena faktor pemahaman bahwa bencana itu takdir. Padahal, bencana bukan sekedar takdir.
  3. Untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, perlu didukung oleh semua elemen masyarakat, terutama pemerintah sebagai policy maker dengan menyediakan sumber daya manusia dalam penanggulangan bencana dan sumber dananya sekaligus.
  4. Dalam skala yang terjangkau langkah-langkah tersebut untuk melindungi masyarakat saat bencana terjadi meliputi; pengelolaan tanggap darurat dan rekonstruksi atau rehabilitasi pasca bencana dengan tetap memperhatikan kearifan local. Bagaimana bencana tidak menjadi lahan “rebutan pemiliki bendera tertentu”, maka perlu melakukan pemberdayaan masyarakat, khususnya di daerah-daerah rawan bencana.
  5. Pemberdayaan masyarakat meliputi; pelatihan-pelatihan gladi penanggulangan bencana, dapur umum, evakuasi, taruna siaga bencana, untuk tujuan yang lebih komprehensif; yaitu, bahwa bencana tidak bisa diprediksi kedatangannya, namun bisa dikurangi resikonya, baik korban jiwa maupun harta benda.
  6. Bencana dan resikonya merupakan dua sisi mata uang yang bersifat dinamis. Satu bencana bisa mengakibatkan risiko terjadinya bencana lain; banjir menyebabkan datangnya wabah penyakit. Disini perlu dilakukan mitigasi bencana secara terus menerus sehingga meskipun bencana tidak bisa dicegah, namun resikonya bisa ditekan sedemikian rupa setelah melalui rangkain tahapan sesuai amanat undang-undang nomor 24 tahun 2007.

Postingan ini merupakan resume dan oleh-oleh dari Focus Group Discussion tentang Penyusunan Buku Pengurangan Risiko Bencana dalam Perspektif Islam yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu di Jakarta. Masih banyak yang mungkin bisa saya tulis di blog ini untuk tujuan sharing dengan pengunjung blog saya. Mudah-mudahan saya bisa menyampaikannya di lain waktu.

Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana

Ketika saya memilih memakai judul posting Indonesia Negeri Sejuta Bencana sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai asumsi kalkulatif frekuensi terjadinya bencana alam di Indonesia. Maksud saya sangat sederhana tapi mungkin sangat serius; bahwa Indonesia memang berada dalam wilayah geografis yang sangat rentan terhadap terjadinya bencana alam. Oleh sebab itu, keseriusan pun muncul bahwa masalah penanggulangan bencana harus lebih ditekankan kepada perlunya melakukan perubahan paradigma dalam memandang eksistensi bencana.

Paradigma harus dirubah dari penanggulangan bencana menuju pengelolaan bencana. Singkat kalimat, bencana dengan segala aspeknya sudah masuk dalam domain pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan managemen yang  berkelanjutan pula. Ini terjadi sejak bangsa Indonesia melewati bencana terbesar sepanjang sejarah yaitu gempa bumi yang diikuti terjangan gelombang tsunami Aceh 2004 dan gempa bumi Jogjakarta dengan resiko korban baik materi maupun korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya.

Perubahan menuju paradigma pengelolaan bencana tersebut setidaknya mencakup tiga aspek berikut ini; 1) penanganan bencana tidak lagi difokuskan pada aspek tanggap darurat saja, tetapi lebih pada keseluruhan managemen resiko; 2) perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah merupakan wujd pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata kewajiban pemerintah; 3) penanganan bencana bukan lagi menjadi semata-mata tanggungjawab pemerintah tetapi menjadi urusan bersama (antara pemerintah dengan) masyarakat.

Ketiga aspek tersebut didukung dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN-PRB). Mengapa Pengurangan Resiko Bencana? Ya. Karena secara ilmiah maupun hukum alam; bencana tidak bisa diprediksi dengan akurat apalagi prediksi menyangkut resiko yang ditimbulkannya. Apa masyarakat yang tinggal di sekitar Situ Gintung Tangerang yang kemarin jebol tanggulnya sudah memiliki prediksi tentang hal itu? Saya kira tidak, atau belum, bahkan BMG dan pihak berwenang sekalipun. Ini bagian dari Misteri Ilahi. Manusia wajib berikhtiar.

Ikhtiar kemanusiaan kemudian muncul membingkai RAN Pengurangan Resiko Bencana tersebut. Ikhitar tersebut sedikitnya menyangkut lima aspek;

  1. meletakkan paradigma pengurangan resiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat;
  2. mengidentifikasi, mengkaji dan memantau resiko bencana serta menetapkan system peringatan dini;
  3. memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat;
  4. mengurangi factor-faktor yang bisa menyebabkan munculnya resiko bencana;
  5. memperkuat kesiapan (kesiapsiagaan) menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respon yang dilakukan bisa berjalan lebih efektif.

Kelima aspek tersebut secara ideal bisa menjadi acuan untuk mengimplementasikan dan menjawab pertanyaan mengapa pengurangan resiko bencana menjadi prioritas. Sahabat Blogger…., Anda memiliki pengalaman pengelolaan (penanggulangan) bencana? Jika ia, tentu melalui kelembagaan baik pemerintah maupun non-pemerintah, bukan?. Ya, karena penanggulangan, pengelolaan dan pengurangan resiko bencana tidak lagi bisa dilakukan oleh individu-individu masyarakat. Ini barangkali refleksi point pertama.

Tindakan dalam point ke dua tidak serta merta dilakukan pasca bencana, akan tetapi malah lebih tepat dilakukan pra bencana yang berarti bahwa proses identifikasi, pengkajian dan pemantauan resiko bencana harus menjadi aktifitas harian kelembagaan yang menangani hal itu. Dengan memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan dikandung maksud -pada point tiga-untuk menciptakan masyarakat yang sadar akan bencana dan memunculkan masyarakat siaga bencana. Apa itu masyarakat siaga bencana? Terlalu luas jika saya sampaikan di sini.

Masyarakat yang hidup di wilayah yang rentan bencana seperti lereng gunung, pesisir pantai, di bantaran sungai atau di pemukiman padat penduduk dengan potensi bencana kebakaran merupakan cikal bakal bagaimana resiko bencana bisa dieksplorasi lebih lanjut untuk dijadikan pengetahuan bersama dalam konteks kesiapsiagaan tersebut dengan cara mengetahui kemudian melakukan tindakan-tindakan dalam rangka pengurangan resiko bencana.

Kita hidup di Negara Hukum. Sadar akan hal itu, muncullah kemudian bahwa penanggulangan bencana perlu mendapatkan legitimasi hukum dengan munculnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Undang-undang ini harus diimplementasikan di daerah menjadi Peraturan Daerah, lepas maupun terkait bahwa daerah tersebut rawan atau tidak rawan munculnya bencana. Toh, di manapun bencana bisa muncul, bukan?

Gempabumi Tasikmalaya 10 Jan '10

Laporan tanggapan terjadinya gempabumi di Perairan Selatan Tasikmalaya, Jawa Barat berdasarkan informasi yang diperoleh dari BMKG, Jakarta, USGS, Amerika Serikat dan data-data lainnya sebagai berikut:

1.    Gempabumi terjadi pada hari Minggu, 10 Januari 2010. Berdasarkan informasi dari BMKG gempabumi terjadi pada pukul 07:25:04 WIB, pusat gempa berada pada koordinat 8.02°LS dan 107,91°BT dengan magnituda 5,4 SR pada kedalaman 14 km, berada pada 84 km baratdaya Tasikmalaya, Jawa Barat. Berdasakan USGS, pusat gempabumi berada pada koordinat 7.830°LS dan 107,926°BT dengan magnituda 5,0 SR pada kedalaman 69.7 km, berada pada 60 km selatan-baratdaya Tasikmalaya, Jawa Barat.

 2.    Kondisi geologi daerah terkena gempabumi:

Wlayah selatan Jawa Barat pada umumnya disusun oleh batuan sedimen, batuan gunungapi, dan batuan berumur Tersier lainnya yang telah mengalami pelapukan. Di sebelah utaranya disusun oleh alluvium, batuan gunungapi dan batuan lainnya berumur Kwarter. Batuan-batuan tersebut bersifat urai, lepas, unconsolidated  sehingga bersifat memperkuat efek goncangan gempa.

3.   Penyebab gempabumi:

Gempabumi ini disebabkan oleh aktifitas penujaman (subduksi) lempeng Samudra Hindia ke arah bawah lempeng Eurasia.

4.    Dampak gempabumi:

Menurut hasil rekaman seismometer di Pos Gunungapi Galunggung di Tasikmalaya, gempabumi ini memiliki lama gempa 250 detik dengan intensitas gempabumi yang dirasakan sebesar II-III pada skala MMI (Modified Mercalli Intensity). Rekaman seismometer di Pos Gunungapi Guntur di Garut, gempabumi ini memiliki lama gempa 300 detik dengan intensitas gempabumi yang dirasakan sebesar II-III MMI. Hasil penyelidikan lapangan oleh Pengamat Gunungapi Galunggung dan Guntur, belum dilaporkan adanya kerusakan akibat gempabumi ini. Informasi dari BMG dan USGS, gempabumi dirasakan di Garut dengan intensitas IV-V MMI, di Pangandaran dan Ciamis IV MMI, di Bandung III-IV MMI, di Cianjur III MMI dan di Ciampea II MMI. Pusat gempabumi ini berada pada kedalaman 50-100 km dari sehingga dampaknya bersifat meluas namun dengan intensitas yang relatif kecil. Hingga laporan ini dibuat, belum ada laporan korban jiwa maupun kerusakan akibat gempabumi ini.

5.    Rekomendasi:

·      Masyarakat dihimbau untuk tetap tenang dan mengikuti arahan serta informasi dari petugas Satlak PB dan Satkorlak PB. Jangan terpancing oleh isu yang tidak bertanggung jawab mengenai gempabumi dan tsunami.

·      Masyarakat agar tetap waspada dengan kejadian gempa susulan, yang energinya lebih kecil dari gempa utama.

·      Gempabumi ini tidak menimbulkan tsunami, karena walaupun gempabumi berpusat di laut, namun energinya tidak cukup kuat untuk memicu tsunami.

Demikian tanggapan kejadian gempabumi di perairan selatan Tasikmalaya ini kami sampaikan dan terima kasih atas perhatiannya. Jika ada perkembangan lebih lanjut mengenai gempabumi ini akan segera kami laporkan kembali.


Gempa Chili 2010

Masih ingat gempa besar awal tahun 2010 di Chili? Negara Chili memang jauh dari Indonesia, tapi tidak ada batas daratan di antara kita dan negara ini.


1diggdigg

Cukup berlayar ke arah timur hingga lepas ke samudera pasifik, kemudian setelah mengarungi lautan ini, kita akan tiba di pantai negara tersebut. Akibatnya sempat terjadi kekhawatiran tentang adanya tsunami besar di perairan Nusantara.

Apakah gempa ini berkorelasi langsung atau tidak langsung dengan kebejatan moral? Tentu saja tidak. Laporan hasil penelitian terbaru dari jurnal ilmiah Nature edisi 9 September 2010 berjudul 2010 Maule earthquake slip correlates with pre-seismic locking of Andean subduction zone menjelaskan apa yang berkorelasi dengannya. Lihat kata korelasi disitu. Gempa Maule, nama lokasi gempa Chili tersebut, berkorelasi dengan penguncian zona subduksi Andes pra gempa. Well, istilah “penguncian zona subduksi pra gempa” mungkin terlalu teknis dan sulit dimengerti bagi anda, tapi istilah itu sama sekali bukan berarti kebejatan moral.

Peta lengseran yang terjadi sebelum dan sesudah gempa dari UCSB

Mungkin akan lebih dimengerti apa yang dimaksud para ilmuan tersebut memakai analogi. Saya akan membawa sebuah istilah yang membuat anda gatal menyebutnya kebejatan moral, istilah itu adalah restleting. Yup. Gempa Maule tanggal 27 februari 2010 itu bisa di analogikan sebagai restleting celana. Yup. Restleting celana seorang yang gemuk. Ia merasa perutnya semakin gemuk dan pada akhirnya terpaksa melepas restleting celananya, dan terjadilah gempa.

Kondisi pasca tsunami karena gempa di pantai Chili

Marcos Moreno, Matthias Rosenau dan Onno Oncken, tiga peneliti dari Pusat Penelitian Geosains Jerman, GFZ,  memeriksa data pergerakan daerah tersebut selama 13 tahun sebelumnya (1996 – 2008). Mereka juga mempelajari pola retakan rumit yang dihasilkan oleh gempa sebesar 8.8 skala richter tersebut. Hasilnya, mereka menemukan sebuah model matematika yang sesuai. Sebuah model yang menghubungkan antara data pergerakan dengan pola retakan gempa tersebut.

Pengamatan GPS 13 tahun tersebut menunjukkan pola regangan yang telah menumpuk di sepanjang gerakan lempeng selama 175 tahun terakhir. Persebaran regangan yang diambil dari pengamatan tersebut ternyata berkorelasi langsung secara signifikan dengan persebaran retakan saat gempa Maule. Guncangan yang dihasilkan gempa Maule pada dasarnya membuang semua regangan yang telah menumpuk semenjak gempa terakhir di daerah ini. Gempa terakhir terjadi tahun 1835, yang juga disaksikan oleh Charles Darwin saat ia berlayar ke Galapagos. Dengan lepasnya semua regangan ini, gempa yang besarnya kurang lebih sama dengan kemarin tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Sebuah museum yang rusak karena gempa

Seperti anda telah lihat paparannya, sang pria gemuk tersebut adalah pegunungan Andes di jantung Amerika Selatan. Regangan yang menumpuk adalah perutnya yang bertambah gemuk dan gempa tersebut adalah saat terbukanya restleting untuk membuat lega perut yang buncit tersebut.

Menurut penjelasan profesor Onno Oncken, ketua jurusan geodinamika di Pusat Penelitian Geosains Jerman, gempa Maule merupakan gempa terbesar yang tercatat sepenuhnya lewat jaringan geodetik ruang angkasa dan perlengkapan geofisika di bumi. Karena ini, lebih mudah bagi para ilmuan untuk mempelajarinya lebih detil.

Pengukuran menggunakan sistem navigasi satelit GPS menunjukkan kalau lantai lautan di lempeng Nazca di Samudera Pasifik tidak menggeser dengan sama besar di bawah perbatasan barat benua Amerika Selatan. Justru yang tampak dari pengukuran GPS adalah sebagian lantai samudera ini terkunci dengan sub permukaan benua. Hasilnya adalah regangan yang tidak sama dan akhirnya terlepas pada tanggal 27 Februari. Tepat seperti sebuah restleting, bagian yang terkunci itu tersobek satu demi satu. Hasilnya, celah seismik di lepas pantai Chili sekarang tertutup, satu celah terakhir tetap ada di utara Chili. Disini, para ilmuan GFZ membuat pusat pengamatan perbatasan lempeng, untuk menggunakan sejumlah besar peralatan ilmu bumi guna mencatat kondisi sebelumnya, saat dan setelah gempa terjadi, inilah langkah penting dalam memahami proses tektonik lempeng.

Sains kebumian modern mungkin masih belum mampu meramalkan lokasi, waktu dan besarnya sebuah gempa. Namun penelitian Moreno et al menawarkan sudut pandang yang optimistik mengenai kemampuan meramalkan pola retakan dan besarnya gempa.  Memang cukup ironis kalau kita belajar hal seperti ini setelah sebuah bencana sebesar gempa Chili, tapi hey, setidaknya kita tidak menyalahkan siapa-siapa. Lagi pula gempa Chili yang sebesar 8.8 skala richter hanya menelan korban 802 orang, bandingkan dengan gempa di negara kita.

Referensi utama

1.      Moreno, M., Rosenau, M., Oncken, O, 2010. 2010 Maule earthquake slip correlates with pre-seismic locking of Andean subduction zone, Nature, Vol 467, issue 7312, pp 198-202

Referensi silang

1.      Kelleher, J. Rupture zones of large South American earthquakes and some predictions. J. Geophys. Res. 77, 2087–2103 (1972).

2.      Nishenko, R. Seismic potential for large and great intraplate earthquakes along the Chilean and Southern Peruvian margins of South America: a quantitative reappraisalJ. Geophys. Res. 90, 3589–3615 (1985).

3.      Plafker, G. & Savage, J. C. Mechanism of the Chilean earthquake of May 21 and 22, 1960. Geol. Soc. Am. Bull. 81, 1001–1030 (1970).http://www.google.co.id/#hl=id&cp=7&gs_id=q&xhr=t&q=SMA+MUHammadiyah&pf=p&sclient=psy&site=&source=hp&pbx=1&oq=SMA+MUH&aq=0&aqi=g5&aql=&gs_sm=&gs_upl=&fp=512a0d732b385ed4&biw=1366&bih=615

Tidak ada komentar:

Posting Komentar