21 September 2020

ISLAM TIONGHOA INDONESIA

  MIGRASI ORANG TIONGHOA INDONESIA



Lasem adalah sebuah kota Kecamatan di pantai Utara Jawa. Kotanya terkenal sebagai kota

kuno yang bernuansa China. Banyak sekali peninggalan bangunan yang bernuansa arsitektur China

disana. Sekarang perkembangan kota Lasem seolah-olah mengalami suatu diskontinuitas dengan

masa lalunya. Padahal pemahaman tentang sejarah kota sangat penting bagi perencana dan

perancang kota. Karena kebanyakan teknik perencanaan kota tergantung pada ekstrapolasi dari

kecenderungan masa lalu yang bersumber pada sejarah kotanya sendiri. Oleh sebab itu

pengetahuan perkembangan kota dimasa lalu perlu dicermati sebagai bekal untuk perkembangan

dimasa datang. Kota Lasem sekarang ini seolah-olah mengalami suatu disorientasi dalam

perkembangannya. Dengan mengambil ‘kelenteng’ (rumah ibadah China) sebagai salah satu

‘tengaran’ (landmark), diharapkan bisa dipakai sebagai pemicu dalam menciptakan kembali sense of

continuity bagi perkembangan kota nya. Tentu saja dalam alam reformasi ini kita harus

menghilangkan prasangka dan mengedepankan pluralitas yang hidup dalam masyarakat yang

majemuk ini.

Kata Kunci: Perkembangan kota di Jawa, Kelenteng, Lasem

ABSTRACT

Lasem is a district town in the northern coastline of Java. It is well known as an ancient town with

strong Chinese nuances. There are numbers of old buildings with Chinese architecture. Today’s

development of Lasem seems to experience a discontinuity of its past. It’s a pity because

knowledge of a town/city history is very important for urban planners as most techniques of urban

planning depend on the extrapolation of the tendencies in the past which emerged from the town

itself. Therefore, knowledge of a town’s past development shoud be observed as the resources of

future development. Present Lasem seems to experience a disorientation in its development.

Taking the ‘klentengs’ (Chinese temple) as the landmark, it is expected that they can be used as

the trigger to recreate the sense of continuity for the current development of Lasem. Obviously, in

this reformation era we should eliminate prejudice and put plurality forward in this diverse society.

Key Words: The growth of town in Java, Kelenteng (Chinese Temple), Lasem.

2

PENDAHULUAN

Lasem sering disebut oleh turis Perancis sebagai “Petit Chinois”(China kecil),

karena banyaknya peninggalan berupa kebudayaan seperti upacara-upacara

perayaan keagamaan serta arsitektur orang China-Indonesia yang ada disana.

Sekarang status Lasem adalah sebuah kota kecamatan di Jawa Tengah yang

terletak dipesisir Utara Jawa1. Lokasinya sangat strategis karena ada ditengah-

Kerajaan Lasem sudah ada sejak th. 1351 masehi, dibawah imperium Majapahit. Kerajaannya

dipimpin oleh Ratu Dewi Indu atau Bhre Lasem, yang menurut buku Badra Santi, masih keponakan

raja Hayam Wuruk

“Dhek nalika taun Syaka 1273 sing dadi Ratu aneng Lasem iku asma Dewi Indu, adhik

nakdulur misane Prabu Hayam Wuruk ing Wilwatikta” (Kamzah, 1858:10)

Gb.no.1. Lasem terletak antara Semarang sebagai ibukota propinsi Jawa Tengah dan

Surabaya sebagai ibikota propinsi Jawa Timur.

SEMARANG LASEM SURABAYA

Jarak kurang lebih 110 km

3

tengah jalan utama ( dulu disebut sebagai grotepostweg - Jalan Raya Pos) yang

menghubungkan antara Surabaya (ibukota Jatim) dan Semarang (ibukota Jateng).

Jumlah penduduk nya pada sensus th. 2000 tercatat sebanyak 24.065 orang. Data

statistik pemeluk agama pada th. 2000 tercatat sbb: 21.244 adalah muslim, 1203

pemeluk agama Katholik Roma, 987 pemeluk agama Kristen Protestan dan 631

adalah pemeluk agama Hindu, Budha dan Confusius. Disamping beberapa mesjid,

mushola dan langgar di Lasem terdapat sebuah Katedral, 6 gereja Protestan dan 3

kelenteng.

Kalau dilihat dari catatan jumlah penduduk serta komposisi pemeluk agama

rasanya tidak ada sesuatu yang istimewa di kota kecamatan ini2. Kita baru bisa

melihat perbedaan dengan kota-kota lain, pada saat perayaan hari raya China3

berlangsung, suasana kota berubah total. Pada hari-hari seperti itu ribuan orang

keluar ke jalan dan suasana kota hidup dengan gairah tinggi, lalu tampaklah dengan

jelas, pengaruh kebudayaan China masih mendominasi kehidupan kota Lasem4.

Maka disinilah peran ketiga kelenteng yang telah berumur ratusan tahun tersebut

ikut mengambil bagian dalam perayaan ini. Pada peristiwa seperti ini kelenteng

betul-betul berfungsi sebagai ‘tengaran’(landmark) bagi kota Lasem.

Kelenteng bukan hanya tempat kehidupan keagamaan berlangsung,

melainkan pula ungkapan lahiriah masyarakat yang mendukungnya. Oleh karena itu,

suatu penyelidikan mengenai kelenteng dapat memberikan sumbangan sangat

Pada jaman kolonial status kota Lasem adalah sebuah kota Kabupaten. Tapi sejak th. 1750,

Kabupatennya dipindahkan ke Rembang, diikuti dengan pindahnya benteng VOC dari kota tersebut

pada tahun itu. Sejak th. 1751 Lasem berstatus sebagai kota Kecamatan sampai sekarang.

Tentang keseharian kehidupan di kota Lasem masa kini, dilukiskan dengan baik sekali oleh Pratiwo

dalam bab: Urban Life in Small Town pada tulisannya yang berjudul The Chinese Town Lasem, dalam

buku: The Indonsian Town Revisited, Lit Verlag, Institute Of Southeast Asian Studies, Singapore,

hal.147-171..

Tidak semua hari raya China dirayakan secara besar-besaranUntuk mengetahui lebih lanjut

tentang hari raya orang China di Indonesia baca: Han Swan Tiem (1953), Hari Raya Tionghoa, J.B.

Wolters, Jakarta, Groningen. Lihat juga Salmon, Literature, 360; Basuki Soedjatmiko (ed), Hari

Raya Tionghoa Tempo Doeloe di Hindia Belanda 1885 (Surabaya:Rama Press, 1983); 100 pp.

Pada tahun 1967 rezim ‘orde baru’ mengeluarkan Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 14 Tahun 1967,

yang isinya melarang perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat China. Baru pada pasca

kerusuhan Mei 1998, bermacam-macam kelonggaran diberikan kepada komunitas China. Pada masa

pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dikeluarkan Kepres (Keputusan Presiden) Nomor 6

Tahun 2000, tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Ini merupakan pengakuan bahwa

masyarakat China adalah bagian dari bangsa Indonesia. Bahkan pada masa pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri , Hari Raya Imlek ditetapkan dalam daftar tanggal merah almanak Indonesia.

4

berharga untuk memahami sejarah sosial masyarakat yang bersangkutan (Salmon,

1985:85). Penyelidikan kelenteng-kelenteng dapat membantu memahami

perkembangan masyarakat yang beranekaragam itu dalam rangka menjalani proses

transformasinya (Salmon, 1985:97).

Tulisan ini tidak membahas tentang arsitektur kelenteng. Tapi lebih

difokuskan pada dua hal. Pertama adalah kelenteng sebagai ‘tengaran’ (landmark)

bagi kota Lasem. Kedua adalah pengaruh timbal balik antara perkembangan tata

ruang kota Lasem dengan perletakan ketiga kelenteng tersebut.

DISKRIPSI SINGKAT TENTANG KETIGA KELENTENG DI LASEM.

Kelenteng Cu An Kiong Jl. Dasun, 19, Lasem.

Kelenteng Cu An Kiong terletak di Jalan Dasun, di tepi sebelah Timur sungai

Lasem yang mengalir ke Utara, kearah laut. Jalan Dasun termasuk jalan paling tua di

kota Lasem (lihat gb.no.9.). Cu An Kiong atau “Temple of Mercy and Peace”,

merupakan bangunan seluas kurang lebih 150 m2. Tidak jelas kapan kelenteng ini

didirikan5. Pada prasasti yang tertua di dalam kelenteng tersebut dijelaskan bahwa

Banyak orang tua setempat mengatakan bahwa kelenteng tersebut sudah ada sejak abad ke 15,

tapi tidak ada bukti tertulis mengenai hal itu. Hilangnya bukti awal pendirian sebuah kelenteng

disebabkan karena kelenteng (terutama di daerah pantai Utara Jawa) sering mengalami berbagai

peristiwa ‘jatuh bangun’, akibat pertikaian sosial. Sehingga sebuah kelenteng sering rusak atau

dirobohkan kemudian dibangun kembali setelah keadaan memungkinkan. Tulisan H.J.De Graff

(1985:297) menjelaskan: “ Selama kira-kira seratus tahun, dari pertengahan abad ke 16 sampai pertengahan

abad ke 17, empat orang raja (terutama yang kedua dan yang keempat yaitu Penembahan Senopati dan Sultan

Agung) dengan kekuatan dan kekerasan telah memaksa hampir semua raja Jawa Tengah dan Jawa Timur

tunduk pada kekuasaan tertinggi Mataram. Pada waktu itu banyak tempat kediaman raja, yang merupakan pusat

lalu lintas perdagangan, ilmu pengetahuan Islam dan pusat kesusasteraan dan kesenian Jawa yang terletak

didaerah sepanjang pantai Utara Jawa (mulai dari Jepara dan Demak sampai Panarukan dan Blambangan),

mengalami kehancuran “.

Ada dugaan beberapa bangunan kelenteng di pantai Utara Jawa dulunya adalah mesjid yang

didirikan oleh anak buah laksamana Zheng He (Cheng Ho), yang beragama Islam mahzab Hanafi

dan berasal dari Yunan, ketika ‘menguasai’ daerah Nanyang (laut Selatan) antara th.1405-1425.

Tercatat dari kronik Sam Po Kong ( Sjamsudduha, Sejarah Sunan Ampel, JP Press, 2004:87), mereka

ini mendirikan mesjid di : Ancol Jakarta, Semarang, Sembung (Cirebon), Lasem, Tuban, Tse Tsun

(Gresik), Jiaotung ( Joratan), Cangki (Mojokerto), Jepara (lihat gb.no. 8.) dsb.nya. Salah satu sumber

yang belum dipastikan kebenarannya mengatakan bahwa: sekitar th. 1450-1475 dengan mundurnya

dinasti Ming, hubungan antara Tiongkok dengan masyarakat China-Islam di Jawa terputus. Pada

waktu bersamaan banyak pendatang baru dari Tiongkok Selatan (Fujian, Guandong dsb.nya)

menggeser kepercayaan orang China-Islam yang terutama tinggal di Pantai Utara Jawa. Akibatnya

banyak mesjid yang dikelola orang China-Islam kemudian berubah menjadi kelenteng.

5

pada th. 1838, atas prakarsa dari KapitanLin Changling diadakan perbaikan

bangunan atas kelenteng tersebut (lihat gb.no.2.). Halaman depan kelenteng, cukup

luas. Jalan masuk utama menuju halaman depan terdapat pintu gerbang yang

indah. Pada balok pintu gerbang tersebut tertulis nama kelenteng dalam aksara

China, sedang pada kedua kolomnya bertuliskan puji-pujian yang diperuntukkan

bagi ‘Tianhou’ (dewi utama yang dipuja di kelenteng tersebut). Dua singa bergaya

Barat berdiri sebelum pintu gerbang tersebut. Pintu gerbang ini didirikan atas

prakarsa dari Kapitan Huang Xingguo (Oei Ek Thay – Hokkian 7) pada th. 1922,

kemudian diperbaiki lagi pada th. 1950 dan awal tahun 1960 an (lihat gb.no.3.).

Istilah Kapitein ( Kapitan-Indonesia), berasal dari bahasa Spanyol untuk “Kapten”, tapi dalam hal ini

tidak ada hubungannya dengan urusan militer. Kapitan adalah sebuah gelar yang diberikan kepada

kepala kelompok ras (dalam hal ini kelompok China). Seorang Kapitan diberikan kekuasaan oleh

pemerintah kolonial untuk mengatur urusan kelompok ras tersebut yang berkenaan dengan agama

dan adat istiadat. Ia juga diharapkan untuk menyelesaikan pertikaian diantara kelompok rasnya

sehubungan dengan hukum adat ( Suryadinata,2002:74)

Meskipun punya bentuk tulisan yang sama, aksara China bisa diucapkan secara berbeda dalam

berbagai dialek. Contoh: pada aksara yang sama nama Huang Xingguo (Mandarin), bisa

diucapkan menjadi Ong Ek Thay dalam dialek Hokkian.

Sumber Franke, 1997:465:

Gb.no.2. Inskripsi dari batu yang terdapat di kelenteng

Cu An Kiong, yang didirikan oleh kapitan Lin Changling

untuk memperingati restorasi kelenteng tersebut pada

th. 1838. Pada batu peringatan tersebut tercantum nama

105 orang penyumbang. Jadi mestinya kelenteng Cu An

Kiong, sudah ada jauh sebelum th. 1838.

6

Altar utama di kelenteng ini dipersembahkan kepada ‘Tianhouatau ‘The Qeen of

Heaven’, tapi disamping itu di juga dipuja gambar dan patung dari Confucius, ‘Jialan

ye’ dan ‘Fude zhengshen’yang terletak di altar samping. Pada ruang samping dari

kelenteng ini terletak ’joli’ (kio – Hokkian), konon merupakan ‘joli’ yang terindah di

Jawa. Pada pesta hari raya besar, patung ‘tianhou’ yang dinaikkan ‘joli’ sering diarak

keliling kota Lasem atau dibawa ke kelenteng Poo An Kiong di Karangturi VII/15,

untuk kemudian dikembalikan lagi ketempat semula.

Yang tidak kalah menariknya adalah batu prasasti dan papan bertulis dalam

bentuk melintang (bian-e) atau membujur (dui-lian), yang memenuhi ‘ruang dalam’

kelenteng tersebut (lihat gb.no.4.) Banyak informasi tentang sejarah dan pemuka

masyarakat China pada masa lalu bisa ditelusuri dari tulisan yang terdapat disana.

Tianhou atau Ma Zu atau Mak Co (Hokkian), juga dikenal dengan sebutan Tian Shang Sheng Mu (

Mandarin) atau Thian Siang Sing Bo adalah dewi pelindung bagi pelaut asal Fujian (Hokkian). Banyak

kelenteng Tianhou menyebar sepanjang kota-kota pantai di Asia Tenggara. Hal ini menandakan route

perjalanan orang-orang asal propisi Fujian yang mengembara ke laut Selatan atau Nanyang. Tentang

riwayat Thian Siang Sing Bo lihat http://www.kelenteng.com/dewadewi/tianshangshengmu.shtml

Fude zhengshen adalah ‘dewa bumi dan kekayaan’. Oleh orang Fujian disebut sebagai Hok tek

ceng sin atau Toa pe kong (Da bo gong- Mandarin). Dewa ini juga banyak didapati pada kelentengkelenteng

diseluruh Jawa.

Sumber: Franke, 1997:464

Gb.no.3. Tampak depan kelenteng Cu An Kiong yang terletak di Jl. Dasun no. 19, Lasem.

Kelenteng Cu An Kiong ini merupakan kelenteng yang tertua di Lasem.

7

Maka tidak salah kalau dikatakan bahwa : “kelenteng bukan hanya tempat

kehidupan keagamaan berlangsung, melainkan pula ungkapan lahiriah masyarakat

yang mendukungnya” (Salmon, 1985:85).

Didepan bangunan utama di kenteng Cu An Kiong terdapat sebuah gedung

(rupanya baru) semacam aula yang digunakan untuk pertemuan dan kegiatan sosial

lainnya.

Kelenteng Gie Yong Bio, Jl. Babagan No. 7, Lasem.

Gie Yong Bio, sekarang terletak ditepi jalan Raya (dulu Grotepostweg).

Kelenteng ini didirikan bersamaan dengan berkembangnya penduduk golongan

China ke daerah Babagan yang terletak ditepi sebelah Selatan jalan Raya tersebut

(lihat peta gb.no.9). Rumah ibadah ini juga sering disebut sebagai ‘Yiyong Gong

Miao’ (Mandarin) atau “Temple of the valiant men”. Kapan kelenteng ini dibangun,

tidak ada keterangan yang pasti. Sedikitnya ada tiga versi tentang alasan pendirian

kelenteng tersebut. Yang pertama, pendirian kelenteng diperuntukan bagi dua orang

pahlawan terkenal dari dinasti Ming (1368-1644), yaitu Chen (Tan) Sixian dan Huang

(Oei) Daozhou, keduanya dipuja pada altar utama di dalam kelenteng tersebut.

Pemujaan terhadap kedua pahlawan ini berasal dari kelenteng di kota Longxi,

Kabupaten Zhangzhou, propinsi Fujian, pada th. 1746, dimana sebagian besar

orang China Lasem berasal. Kemudian kelenteng itu dinamakan ‘Chen Huang

ergongci’ atau “Temple of the Two Lords Chen and Huang”.

Sumber:Franke, 1997:473

Gb.no.4. Salah satu papan melintang bertuliskan huruf

China, yang berisi pujian kepada ‘Tianhou’ yang terdapat di

kelenteng Cu An Kiong. Papan tersebut disumbang oleh Lu

Fulong, yang berangka tahun 1911.

8

Versi kedua mengatakan bahwa dua orang marga ‘Tan’ (Chen) dan ’Oei’

(Huang), yang gagah berani tersebut, merupakan dua orang China pertama yang

mendarat di Lasem. Sesudah mereka meninggal, kemudian didewakan dan dipuja,

tidak hanya di Lasem tapi juga di daerah sekitarnya seperti Rembang dan Juana.

Versi ketiga, yaitu versi yang paling populer dan dipercaya oleh masyarakat

setempat ialah bahwa, dua orang ini (Oei Ing Kiat dan Tan Pan Jiang), merupakan

pahlawan China yang meninggal dalam perang menentang VOC pada th. 1740 an.

Penduduk lokal kemudian membangun kelenteng tersebut sebagai penghormatan

atas kedua orang ini.

Pada kelenteng tersebut juga dipuja dewa-dewa seperti ‘Fude zhengshen

dan ‘Confusius’ di altar yang berbeda. Inskripsi yang tertua di kelenteng ini berangka

tahuan 1829, yang dibuat untuk memperingati perbaikan sebuah altar.

Aslinya kelenteng ini menghadap ke arah Timur. Tapi setelah jalan Daendels

(jalan Raya) bertambah ramai maka orientasinya dihadapkan ke jalan raya, yaitu ke

arah Utara. Perpindahan orientasi ini dilakukan bertepatan dengan perbaikan

kelenteng tersebut yang dilakukan pada th. 1915.

Sumber: Franke, 1997:475.

Gb.no.5. Tampak depan kelenteng Gie Yong Bio, jalan Babagan no.7, Lasem.

Kelenteng ini diperkirakan sebagai kelenteng ketiga yang tertua di Lasem. Gerbang yang asli

menghadap kearah Timur. Baru pada th. 1915, pintu masuknya dihadapkan kearah ke Utara yaitu

Jl. Raya (dulu Grotepostweg) Lasem.

9

Kelenteng Poo An Bio, Jl. Karangturi VII/13, Lasem.

Rumah ibadah ini terletak ditepi Kali Lasem yang dulunya merupakan sarana

transportasi dari daerah pedalaman ke daerah pantai (lihat gb. no.9). Kelenteng ini

juga terkenal dengan nama ‘Kong Tik Cun Ong Bio’ (Guangze zun wang miao -

Mandarin), atau ‘Temple to Holy King of Wide Extended Favour’. Seperti kedua

kelenteng lainnya di Lasem, tanggal pendirian kelenteng ini juga tidak diketahui

dengan pasti. Tapi menurut masyarakat setempat kelenteng ini merupakan tempat

ibadah kedua tertua di Lasem setelah kelenteng Cu An Kiong. Poo An Bio didirikan

bersamaan dengan berkembangnya permukiman China ke daerah Karangturi

(setelah th. 1600) yang terletak sebelah Selatan dari jalan raya utama kota Lasem

(grotepostweg) dan tidak jauh kali Lasem yang dulunya merupakan transportasi

utama menuju ke dermaga (pelabuhan Lasem).

Kelenteng ini dipersembahkan kepada ‘Kwee Sing Ong’ (Guo Shen Wang-

Mandarin), seorang dewa yang kelenteng aslinya berada di desa Baijio di kabupaten

Zhangzhou, propinsi Fujian, Tiongkok Selatan, dimana banyak warga China Lasem

dulunya yang berasal dari sana. Inskripsi yang paling tua yang terdapat di dalam

kelenteng tersebut berangka tahun 1895. Kelenteng ini kemudian diperbaiki lagi

pada th. 1919 dan 1927, seperti yang tertera pada dua batu prasasti yang terdapat

di kelenteng tersebut. Pada hari besar tertentu patung dewi ‘Tianhou’ (makco) dari

kelenteng Cu An Kiong diarak keliling kota, kemudian disemayamkan di kelenteng

Poo An Kiong, keesokan harinya diarak kembali ke kelenteng Cu An Kiong di Jl.

Dasun. Pertunjukan yang dilakukan oleh Tangsin (orang yang dianggap sakti),

seperti berjalan diatas bara api, mandi minyak panas, dan penyembuhan penyakit

juga diadakan di kelenteng ini.

10

Dari deskripsi singkat tentang ketiga kelenteng di Lasem tersebut dapat

diambil kesimpulan sbb:

1. Sebuah kelenteng akan didirikan oleh masyarakat China setelah mereka

memutuskan diri untuk menetap di suatu tempat10. Jadi kelenteng merupakan

pusat keagamaan dan pusat kegiatan sosial bagi masyarakat China

pendukungnya. Perkembangan permukiman baru bagi orang China yang

cukup luas pada sebuah kota, selalu diikuti dengan pendirian kelenteng baru.

2. Mengingat bahwa kelenteng bukan hanya tempat kehidupan keagamaan

berlangsung, melainkan pula ungkapan lahiriah masyarakat yang

mendukungnya (terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara

organisasi dan pemimpin masyarakat China seperti kapiten, letnan dsbnya,

dengan kehadiran kelenteng tersebut ). Maka keberadaan kelenteng bisa

dipakai sebagai titik tolak untuk mengetahui perkembangan masyarakat

pendukungnya. Dalam hal kota Lasem (yang dimasa lalu mempunyai jumlah

penduduk China cukup dominan11), bisa dipakai untuk menganalisis

perkembangan kotanya.

3. Diantara ketiga bangunan kelenteng yang ada di kota Lasem, yang tertua

adalah kelenteng Cu An Kiong di Jl. Dasun no.7 (kelenteng Dasun), kedua

adalah kelenteng Poo An Kiong di Jl. Karang turi VII/13 (kelenteng

10 Tentang hubungan sejarah perkembangan kota-kota pantai di sepanjang Asia Tenggara dan

permukiman orang China dengan kelentengnya lihat : Widodo, Yohannes (1996), The Urban

History of The Southeast Asian Coastal CitiesPh.D. Dissertation, University Of Tokyo.

11 Pada th. 1815, jumlah penduduk China di Kabupaten Rembang (termasuk kota kecamatan

Lasem) adalah 3.891 (2,45% dari penduduk keseluruhan yang berjumlah 158.530). Ini termasuk

yang tertinggi karena pada waktu itu untuk Jawa Timur dan Jawa Tengah, jumlah orang China

rata-rata hanya 1.03% saja dari keseluruhan jumlah penduduk.

Sumber: Franke, 1997:481

Gb.no.6. Tampak depan kelenteng Po An Bio, Jl. Karangturi VII/13, Lasem. Po

An Bio merupakan kelenteng kedua tertua di Lasem, didirkan bersamaan

setelah berkembangnya permukiman orang China di daerah Karangturi.

11

Karangturi), dan ketiga adalah kelenteng Gie Yong Bio di Jl. Babagan no.7

(kelenteng Babagan)

4. Melihat umur kelenteng-kelenteng yang sudah ratusan tahun (antara abad ke

16-18), maka prosesi upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh

ketiga kelenteng di Lasem diduga juga seumur dengan kelentengnya. Situasi

prosesi keagamaan yang berpengaruh dalam menghidupkan suasana

seluruh kota tersebut ikut menjadikannya sebagai bagian dari ‘jiwa’ sebuah

kota, yang selama jaman ‘orde baru’ se-olah-olah kehilangan ‘roh’ nya.

Gb.no.8. Sebuah Mesjid yang dilukis oleh pelaut Belanda

waktu mengunjungi kota-kota di pantai Utara Jawa pada abad

ke 17 di kota Jepara (sebuah kota sebelah Barat Lasem).

..

Gb.no.7. Joli (Kio) yang ada di

Kelenteng Cu An Kiong. Pada hari

Raya China tertentu, di dalam Joli

tersebut diletakkan patung ‘Tianhou’,

yang diarak mengelilingi kota Lasem.

12

PERLETAKAN KELENTENG DAN PERKEMBANGAN KOTA LASEM.

Architecture Of The Street

Traditionally there have never been plazas or squares in oriental cities. Their

functions have been performed by streets. These Indian town plans had no plazas

or square. The first step in town planning was to draw a line between to points

(east-west) set by a sundial. A trunk road was built along the north-south line of

this road and was called the Rajabata, or King’s road. Crossing roads were named

the Mahakara, boulevard. These two types of road formed the basic skeleton of

the town. Social space was provided by two roads, Rajabata, which be called the

‘sun road’ since the sun shone on it throughout the day, and the Mahakara, a

ready passage for wind and hence the ‘Wind Road’. Public building and temples

were erected along the Rajabata and Mahakara, and a linden tree was planted at

their intersection.The temples and public buildings was built along boulevards

instead of being concentrated in the centre when they might enclose a public

square or form the nucleus of the city. One possible reason why this arrangement

was adopted was that it was convenient for festivals which in the east were mostly

in the the form of processions rather than mass assemblies in a plaza. The main

street was the scen of festive processionsKurokawa, 1977: 135-142)

Kelenteng Gie Yong Bio, Jl.Babagan,

No..7, Lasem.

Kelenteng Cu An Kiong, Jl. Dasun,

No.19, Lasem.

Kelenteng Poo An Bio, Jl. Karangturi

VII/13, Lasem.

Kali Lasem

Jalan Raya Daendels

Gb.no.9. Situasi peta kota Lasem dengan perletakan ketiga buah kelentengnya.

Daerah permukiman Pribumi

Stasiun kereta api

13

Kota-kota kuno di Asia yang mendapat pengaruh Hindu/Budha seperti halnya

di Jawa ini pada umumnya tidak pernah mempunyai apa yang sekarang disebut

sebagai ‘plaza’12. ‘Jalan’ yang digunakan sebagai ‘ruang publik’ untuk suatu

kegiatan ritual keagamaan bukan suatu barang baru bagi kota-kota di Asia, atau

Jawa pada khususnya. Kota Jogjakarta yang merupakan kota terakhir yang

dirancang oleh orang Jawa sendiri (Sultan Hamengkubuwono I, pada th.1755),

menyediakan jalan Malioboro yang digunakan untuk keperluan ini13.

Di Lasem kelenteng benar-benar merupakan ‘tengaran’ (landmark) bagi

kotanya. Pada perayaan hari raya China (misalnya Imlek atau Cap Go Me), maka

peran ‘jalan’ yang dipergunakan sebagai ‘ruang publik’ pada waktu perayaan

keagamaan (hari besar orang China), akan terlihat dengan jelas. ‘Jalan’ sebagai

tempat prosesi perayaan tersebut memang tidak dirancang sebelumnya, tapi terjadi

sebagai akibat dari perletakan ketiga kelenteng yang ada di Lasem. Berdirinya

kelenteng baru tersebut sebagai akibat dari berkembangnya permukiman China di

sana. Prosesi perayaan pada hari raya China ini diperkirakan sudah berusia ratusan

tahun sesuai dengan berdirinya kelenteng-kelenteng di kota Lasem14.

Prosesi perayaan yang terbesar setelah pelarangan selama orde baru terjadi

pada bulan Oktober th. 2001. Perayaan ini diselengarakan selama 3 hari (tgl 6 s/d 8

Oktober 2001). Prosesi dimulai pagi hari dengan upacara sembayang di kelenteng

Cu An Kiong di jalan Dasun. Kemudian disusul dengan pertunjukan tarian Barongsai

dan Liang-Liong (naga) di halaman depan kelenteng tersebut. Setelah itu ‘joli’ (kio)

yang di dalamnya terdapat patung ‘tianhou’ dibawa bersama dengan tarian

12 Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini baca Kurokawa, Kisho (1977), Metabolism In

Architecture, Studio Vista, London, pada Bab 3, hal. 135-142.

13 Alun-alun pada awal perkembangannya bukan merupakan ‘ruang publik seperti “Agora’ di

Yunani. Alun-alun, pada awalnya merupakan bagian ‘sakral’ dari komplek keraton. Orang harus

turun dari kendaraan kalau memasuki alun-alun. Penjelasan selanjutnya tentang awal

perkembangan alun-alun baca: Pigeaud, Theodore.G.Th. (1940), De Noorder Aloen-Aloen te

Yogyakarta, dalam majalah Djawa no.3, Mei 1940, hal.176-184. Jalan Malioboro lah yang pada

awalnya disediakan bagi ‘ruang publik’. Tentang jalan Malioboro yang disediakan sebagai ‘ruang

publik’ lihat: Carey, Peter (1984) Jalan Maliabara (‘Garland Bearing Street’); The Etymology And

Historical Origins Of A Much Misunderstood Yogyakarta Street Name, Archipel 27, hal. 51-63.

14 Arak-arakan prosesi hari besar orang China ini sempat terhenti selama orde baru (th. 1967 s/d

th.2000.).

14

Barongsai dan Liang-Liong yang diiringi dengan musik perkusi dan tambur yang

menambah meriah suasana berkeliling kota dengan penonton yang mengikuti

sepanjang jalan. Setelah itu ‘joli’ tersebut dibawa ke kelenteng Poo An Bio di Jl.

Karangturi VII/13, untuk disembayangkan. Malam harinya diadakan ritual Tang-Sin

(pendeta suci) yang mandi minyak panas serta menginjak bara api yang ditonton

oleh banyak penduduk kota. Kesokan harinya juga dilakukan berbagai pertunjukan

seperti penyembuhan, pada jaman sekarang ditambah dengan sulap dsb.nya. Baru

kesokan harinya ‘joli’ tersebut diarak kembali ke kelenteng Cu An Kiong di Jl. Dasun.

Pada waktu itu seluruh kota seolah-olah sedang berpesta. ‘Jalan’ betul-betul

berfungsi sebagai ‘ruang publik’. Mungkin itulah sebabnya rumah-rumah kuno orang

China di Lasem (daerah Jl. Dasun dan Jl. Raya) dulu bentuknya sangat tertutup

sekali. Batas antara ruang private dan ruang publik (jalan), adalah tembok pagar

yang tinggi, dengan gerbang pintu masuk/keluar rumah yang diberi atap gaya

arsitektur China yang khas.

Dibawah ini terdapat daftar acara prosesi perayaan pada hari raya Imlek th.

2001 yang lalu sbb:

Hari Sabtu tanggal 6 Oktober 2001 (Imlek 20 Pe Gwee 2552 15)

11.00 -12.00 Yang Mulia KongCo Li Lo Jia dan MakCo Thian Siang

Sing Bo naik Kio, Jut Bio dari kelenteng Cu An Kiong ke

Kelenteng Poo An Bio

12.00 – 15.00 Penerimaan Kiem Sien dari luar kota.

15.00 – 17.00 Pertunjukan Barongsay dan Liong.

17.00 – 20.00 Lelang & Sulap Mr. Robin dari Bandung.

20.00 – Selesai Upacara ritual Tang-sin mandi minyak dan menginjak

bara api.

Yang mulia KongCo Li Lo Jia dan KongCo Kong Tik Cun

Ong, naik Kio berjalan menginjak bara api.

Hari Minggu tanggal 7 Oktober 2001 (Imlek 21 Pe Gwee 2552)

10.00 - 17.00 Lomba Lukis dan ketangkasan anak-anak.

14.00 -18.00 Pengobatan oleh Tang-sin

19.00 – 21.00 Hiburan: Sulap, Akrobat, Tari-tarian dari Bandung.

23.00 – Selesai Upacara sembahyangan King Mie Swaa.

15 Penanggalan (Almanak) Tionghoa.

15

Hari Senin tanggal 8 Oktober 2001 (Imlek 22 Pe Gwee 2552)

10.30–Selesai Upacara Sembahyangan She-Jiet nya Yang Mulia

KongCo Kong Tik Cun Ong

13.00 KongCo Li Lo Jia dan MakCo Thian Siang Sing Bo naik

Kio kembali ke Kelenteng Cu An Kiong.

Meskipun prosesi perayaan tersebut sudah mengalami transformasi, seperti

dimasukkannya acara: lomba lukis, sulap dsb.nya. Tapi peran ketiga buah kelenteng

sebagai ‘tengaran’ (landmark) kota dan inti dari perayaan yang membuat ‘jalan’

sebagai ‘ruang publik’ masih merupakan ciri khas kota Lasem, yang sekaligus

sudah menjadi ‘jiwa’ dari kotanya. Jalan benar-benar berfungsi sebagai ‘architecture

of the street’ pada waktu perayaan berlangsung. Dan kelenteng-kelenteng tersebut

se-olah-olah telah mendapatkan ‘roh’nya kembali.

Perkembangan Kota Dan Perletakan Ketiga Kelenteng Di Lasem.

Adanya sungai yang mengalir tegak lurus kearah garis pantai (dalam hal ini

Kali Lasem) yang dipergunakan sebagai sarana transportasi untuk penukaran hasil

pertanian dari pedalaman. Kemudian dilanjutkan dengan berkembangnya penguasa

setempat (dalam hal ini Ratu Dewi Indu atau Bre Lasem 16) atas hasil perdagangan

antara penduduk setempat dengan pedagang dari daerah lain atau pedagang asing

(pedagang China). Merupakan cerita klasik dalam sejarah terbentuknya kota-kota

disepanjang pantai Utara Jawa. (lihat: Widodo (1996), Reid, Peter J.M. Nas, dsbnya).

Perkembangan permukiman orang China yang pada mulanya hanya disekitar

dermaga di tepi kali Lasem dengan pusat nya kelenteng Cu An Kiong. Pusat

pemerintahan ada di jalan utama kota (kelak menjadi jalan raya Daendels), berupa

bangunan keraton dengan alun-alun di depannya. Jadi pada mulanya terdapat dua

buah pusat di kota Lasem. Yang pertama adalah ‘pusat pemerintahan’ yang ada di

keraton. Dan yang kedua adalah ‘pusat perdagangan’ yang ada di dermaga tepi Kali

Lasem. Permukiman orang China tersebut selanjutnya berkembang ke jalan raya

16 Sumber utama sejarah masa lalu Lasem didapat dari Kamzah, R. Panji (1858), Carita (Sejarah)

Lasem, katurun/kajiplak dening R. Panji Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, rumpakanipun mPu

Santibadra , hal.10-65. Buku tersebut ditulis dalam bhs Jawa.

16

(kelak menjadi grotepostweg), sampai ke alun-alun17. Sampai th. 1600 an tidak ada

permukiman yang berarti disebelah Barat Kali Lasem (lihat gb. no.10).

10

Setelah th. 1600, banyak terjadi Imigrasi orang China terutama darii propinsi

Fujian ke Lasem, karena dirasa banyak sanak saudara maupun rekannya yang telah

tinggal disana18. Maka permukiman orang China di Lasem berkembang kearah

Selatan jalan raya (kelak jalan Daendels), ditepi kali Lasem. Permukiman baru ini

17 Dalam kasus negara kota seperti Lasem tersebut ‘pasar’ sebagai ‘pusat perekonomian’ dan

‘istana’ sebagai ‘pusat politik/kekuasaan’ memiliki nilai-nilai yang berbeda. Ketika pertumbuhan

perdagangan sangat cepat, mungkin pasar mendapat hasil yang lebih besar dari istana/keraton.

18 Menurut catatan kebanyakan mereka ini berasal dari desa Baijio di kabupaten Zhangzhou,

propinsi Fujian, Tiongkok Selatan.

sumber asli sebelum perubahan: Sunartio, 2001

Gb.no.10. Perkembangan penduduk China di kota Lasem

sampai th.1600, dengan kelenteng Dasun sebagai pusat

kegiatan keagamaan dan sosial.

Kali Lasem

Kelenteng Dasun

Cikal bakal Jl. Raya Daendels

sumber: Sunartio, 2001

Gb.no.11. Detail perletakan kelenteng Cu An Kiong

Dan perumahan komuitas China di Lasem

sekarang. Kelihatannya tidak ada sistim penataan

tertentu antara kelenteng dengan permukiman

pendukungnya.

Jalan Raya

(Grotepostweg)

5 rumah orang Tionghoa yang tertua

di Lasem

Kali Lasem

17

dinamakan Karangturi (lihat gb.no.12). Segera setelah itu didirikan sebuah kelenteng

baru yang dinamakan Poo An Kiong. Belanda (VOC) menguasai Lasem pada th.

1679. Permukiman disebelah Barat Kali Lasem masih kelihatan kosong tanpa

penghuni (lihat gb.no.12). Pusat kekuasaan yang ada di keraton depan alun-alun

yang terletak ditepi jalan raya, mulai dibawah kontrol kekuasaan Belanda. Pasukan

Belanda sendiri mendirikan bentengnya didaerah Tulis. Pada tahun 1750 benteng

tersebut dipindahkan ke Rembang, dan pada tahun berikutnya kota Lasem

diturunkan derajatnya dari kota Kabupaten menjadi kota Kecamatan sampai

sekarang. Pusat kekuasaan yang ada didepan alun-alun kemudian berubah menjadi

pusat perdagangan. Sedangkan pusat pemerintahannya berpindah ke Rembang

(kota sebelah Barat, 13 km dari Lasem)

Sekitar th. 1740 terjadi huru hara pembunuhan orang China di Batavia, yang

berakhir dengan banyak nya orang China yang mengungsi kearah Timur. Lasem

adalah salah satu kota yang dituju mengingat kota ini mempunyai banyak penduduk

China. Untuk menampung perkembangan penduduk China ini maka dibukalah

Sumber asli sebelum Perubahan: Sunartio, 2001

Gb.no 12. Peta Kota Lasem setelah th. 1600. Daerah

permukiman Tionghoa berkembang kearah Selatan jalan raya,

disebelah Timur Kali Lasem.

Permukiman baru dengan pusatnya kelenteng Poo An Kiong

tersebut dinamakan Karangturi.

Kelenteng Dasun

Kelenteng Karangturi

Kali Lasem

Jalan Raya Daendels

Daerah Karangturi

Daerah Permukiman Pribumi

18

daerah disebelah Barat kali Lasem yang berdekatan dengan jalan raya (kelak

menjadi jalan Daendels). Daerah baru ini dinamakan Babagan (lihat gb. no.13).

Segera setelah itu didirikan sebuah kelenteng baru yang dinamakan Gie Yong Bio,

sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan sosial bagi penduduk daerah baru

tersebut. Pada th. 1808, Daendels menjadikan jalan Raya Lasem sebagai bagian

dari jalan Raya Pos (grotepostweg) dari Anyer sampai Panarukan. Sejak saat itu

sungai Lasem yang mulai mengalami pendangkalan sudah tidak banyak berperan

sebagai sarana pengangkutan dari pedalaman ke daerah pantai. Orientasi kota

Lasem beralih dari sungai Lasem kearah Jalan Raya Daendels (grotepostweg)

tersebut.

Puncak kejayaan kota Lasem adalah pada waktu akhir abad ke 19. Pada

waktu itu dibangun jalan kereta api yang menghubungkan Lasem dengan kota-kota

pedalaman seperti Bojonegoro sampai Surabaya disebelah Timur dan sampai

Semarang disebelah Barat19. Penyelundupan Opium, yang merupakan bagian

jaringan perdagangan opium di Jawa lewat pelabuhan Lasem dan Rembang, ikut

membuat sebagian orang China Lasem menjadi kaya20. Dalam waktu yang

bersamaan berkembanglah permukiman China kearah Barat Kali Lasem dan

sebelah Utara jalan Daendels. Daerah permukiman baru tersebut dinamakan

‘Gedong Mulyo’ (lihat gb.no.13).

Daerah Gedong Mulyo dirancang dengan jalan-jalan berpola ‘grid’ yang

efisien. Rupanya daerah baru diakhir abad ke 19 ini dirancang oleh pemerintah

Belanda. Di daerah baru ini tidak didirikan kelenteng. Gedung Mulyo merupakan

permukiman China terakhir di kota Lasem. Dalam perkembangan selanjutnya daerah

Gedong Mulyo ini juga merupakan permukiman berbagai etnis dari kelas menengah

di Lasem. Permukiman orang Belanda secara khusus tidak ada di Lasem. Inilah

yang membedakan perkembangan kota Lasem dengan kota-kota besar yang

terletak di pantai Utara Jawa lainnya.

19 Stasiun kereta api Lasem ditutup pada th. 1989, karena dianggap tidak efisien akibat sudah

banyaknya kendaraan angkutan umum yang lewat jalan raya.

20 Tentang perdagangan dan penyelundupan opium di Jawa lihat: Rush, James R. (2000), Opium

To Java, Jawa Dalam Cengkraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910,

Mata Bangsa , Yogyakarta

19

Dari akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 21, boleh dikatakan tidak terjadi

perkembangan yang signifikan pada kota Lasem. Bahkan boleh dikatakan

mengalami kemandegan atau bahkan kemunduran. Penghancuran bangunan serta

lingkungan kuno yang khas China-Lasem terus dilakukan terutama selama ‘orde

baru’. Kelenteng sudah tidak populer lagi bagi angkatan muda Lasem. Tapi diawal

abad ke 21 ini ada tanda-tanda mulai hidupnya kembali perayaan hari besar China

di Lasem21. Apakah kelenteng yang menjadi ‘tengaran’ (landmark) ini bisa menjadi

pemicu akan kemajuan kotanya? Semoga.

KESIMPULAN

Sebuah kota bukanlah merupakan hasil cipta satu generasi. Sebuah kota

akan terus tumbuh dari satu generasi ke genersi lainnya. Pada dasarnya bentuk kota

21 Wawancara penulis dengan tokoh Tionghoa masyarakat Lasem,antara lain dengan Bp. Sigit

Wicaksono (Njo Tjoen Hian) dan kaum muda nya mengatakan: bahwa pada umumnya mereka

sudah beragama Katholik atau Kristen, tapi mereka masih punya hubungan erat dengan kelenteng,

yang mereka anggap sebagai warisan adat nenek moyang yang harus dihormati dan dilestarikan.

Gb.no.13. Peta terakhir perkembangan Kota Lasem

Daerah Gedong Mulyo

Daerah Babagan

Daerah Karangturi

Jalan Raya Daendels

Kelenteng Karangturi

Kelenteng Babagan

Kelenteng Dasun

Daerah permukiman Pribumi

20

yang ada sekarang merupakan proses interaksi antar generasi. Bentuk kota yang

ada sekarang merupakan lapisan-lapisan (layers) dari satu generasi ke generasi

berikutnya, yang telah mengalami perkembangan dan saling bertumpukan

(superimposed). Jadi bentuk kota sesungguhnya merupakan kolasi-kolasi sejarah.

Yang penting dalam pemekaran sebuah kota adalah bagaimana menciptakan suatu

perkembangan yang mampu memberikan kesan yang berkesinambungan (sense of

continuity) bagi warga atau penghuninya.

Lasem sebuah kota tua yang sudah berumur ratusan tahun. Perkembangan

kotanya dari satu generasi ke generasi lainnya selalu dipicu oleh perkembangan

permukiman orang China yang disusul dengan pendirian kelenteng sebagai pusat

orientasi kehidupan masyarakatnya (pada waktu itu). Sehingga pendirian sebuah

kelenteng baru bisa dipakai sebagai tanda pemekaran permukiman orang China di

Lasem. Tapi hal ini hanya berlaku sampai abad ke 19 saja. Karena sesudah itu

pemekaran permukiman (daerah Gedong Mulyo) tidak disertai lagi dengan

pembangunan kelenteng.

Sekarang perkembangan kota Lasem seolah-olah mengalami suatu

diskontinuitas dengan masa lalunya. Oleh sebab itu pengetahuan perkembangan

kota dimasa lalu perlu dicermati sebagai bekal untuk perkembangan dimasa datang.

Kota Lasem sekarang ini seolah-olah mengalami suatu disorientasi dalam

perkembangannya. Dengan mengambil kelenteng sebagai salah satu ‘tengaran’

(landmark)22, diharapkan bisa dipakai sebagai pemicu dalam menciptakan kembali

sense of continuity bagi perkembangan kota nya. Tentu saja dalam alam reformasi

ini kita harus menghilangkan prasangka dan mengedepankan pluralitas yang hidup

dalam masyarakat yang majemuk ini.

Daftar Pustaka.

Carrey, Peter (1986), Orang Jawa Dan Masyarakat Cina 1755-1825, Pustaka

Azet, Jakarta.

22 Kelenteng dan alun-alun merupakan ‘tengaran’ (landmark) bagi kota Lasem yang bisa digunakan

sebagai titik tolak untuk menghidupkan kembali kota Lasem yang sekarang kelihatan makin

merosot citranya.

21

Franke, Wolfgang (1997) diedit oleh Claudine Salmon & Anthony K.K. Siu,

Chinese Epigraphic Materials in Indonesia, Volume 2 Part 2 Java, South

Seas Society, Singapore, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Paris,

Association Archipel, Paris.

Graaf, H. J. De & Th. G. Th. Pigeuad (1985), Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, PT

Grafiti Pers, Jakarta. Terutama Bab X : Sejarah Kerajaan-Kerajaan Daerah-

Daerah Pantai Utara Jawa Timur Pada Abad ke 16: Tuban, hal. 163-171. dan

Bab XXI : Sebab-Sebab Kekalahan Kerajaan Jawa Timur Dan Pesisir Dalam

Perang Melawan Mataram Pada Abad ke 16 dan 17, hal. 297-304.

Graaf H.J. De & Th.G. Th. Pigeaud (1997), Cina Muslim Di Jawa Abad XV dan

XVI Antara Historis Dan Mitos (terjemahan dari: Chinese Muslim In Java in

The 15 th And 16 th Centuries: The Malay Annals Of Semarang And Cerbon)

, PT. Tiara Wacana Yogyakarta.

Handinoto (1990) Sekilas Tentang Arsitektur Cina Pada Akhir Abad Ke XIX di

Pasuruan , Dalam Majalah Dimensi Arsitektur Vol. 15/1990.

Handinoto (1999), Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota Di Jawa Pada

Masa Kolonial, dalam majalah Dimensi Arsitektur no.27/Juli 1999.

Kamzah, R. Panji (1858), Carita (Sejarah) Lasem, katurun/kajiplak dening R. Panji

Karsono (1920), dalam buku Badra Santi, rumpakanipun mPu Santibadra ,

hal.10-65.

Khol, David G. (1984), Chinese Architecture in The Straits Settlements and

Western Malaya: Temples Kongsis and Houses, Heineman Asia, Kuala

Lumpur.

Kurokawa, Kisho (1977), Metabolism In Architecture, Studio Vista, London.

Levathes, Louise (1994), When Cina Ruled The Sea, The Treasure Fleet Of The

Dragon Throne, 1405-1433, Simon & Schuster, New York.

Nas, Peter J.M. (1997), The Colonial City, Leiden.

http://www.leidenuniv.nl/fsw/nas/pub_ColonialCity.htm

Nas, Peter J.M. dan Pratiwo (2002), Java and De Groote Postweg, La Grande

Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos, dalam Bijdragen 158.4, 2002,

hal.707-725.

Pratiwo (1990), The Architecture Of Lasem: Typo-Morphological Approach For

Redefining Chinese Architecture In Lasem, Katholieke Uniersiteit Leuven.

Pratiwo (1996), The Transformation of Traditional Chinese Architecture: A

Way to Interpret Issues on Modernisation and Urban Development on

the North-Eastern Coast of Central Java, Indonesia, Aachen, Ph.D

Thesis.

Pratiwo (2002), The Chinese Town Lasem dalam buku The Indonesian Town

Rivisited, LIT Verlag, Germany, Peter J.M. Nas (ed) hal.147-171.

Reid, Anthony (1996), Flows and Sweepages in the Long-term Chinese Interaction

with Southeast Asia, dalam buku Sojourners and Settler: Histories of

Southeast Asia and the Chinese, University Of Hawai’i Press, Honolulu,

hal. 15 - 50.

Reid, Anthony (2004), Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Sebuah

Pemetaan, Pustaka LP3ES Indonesia. Terjemahan dari Charting The Shape

Of Early Modern Asia.

22

Rush, James R. (2000), Opium To Java, Jawa Dalam Cengkraman Bandar-

Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910, Mata Bangsa ,

Yogyakarta.

Salmon, Claudine & Denys Lombard (1985), Klenteng-Klenteng Masyarakat

Tionghoa di Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.

Salmon, Claudine & Denys Lombard (1991)The Han Family of East Java

Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)dalam majalah Archipel

41 (1991), hal.53-87.

Sunartio, Anindhita N. (2001), Perancangan Kawasan Pusat Kota Lama Lasem,

Studi Kasus: Lingkungan Sekitar Alun-Alun Lasem, Program Magister

Arsitektur, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.

Suryadinata, Leo (1986), Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942,

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Suryadinata, Leo (2002), Negara Dan Etnis Tionghoa, LP3ES, Jakarta.

Toer, Pramoedya Ananta (1996), Arus Balik, Hasta Mitra, Jakarta.

Viaro, Alain (1992), Is The Chinese Shophouse Chinese? (Draft English

translation from ”Le compartiment Chinois est-il Chinois?, publ.in :Les

Cahiers de la Recherche Architecturale “Arcitectures et cultures”, 27-

28/1992, Ed. Parentheses, Marseille:139-150)

Widodo, Johannes (1996), The Urban History of The Southeast Asian Coastal

Cities, disertasi Doktor, University Of Tokyo.

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG

KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA

SEBAGAI KOTA PANTAI

TUGAS AKHIR

Oleh:

M Anwar Hidayat

L2D 306 015

JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2009

ABSTRAK

Sejarah pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia lebih banyak dimulai dari wilayah pantai. Salah

satunya wilayah pesisir Kabupaten Rembang lebih tepatnya di wilayah Kecamatan Lasem yang pada abad

ke XVI memiliki daerah pelabuhan yang sering disinggahi oleh kapal-kapal pedagang asing yang bertujuan

untuk berdagang di wilayah tanah Jawa. Beberapa kapal yang singgah di pelabuhan Lasem selain berasal

dari daerah kepulauan nusantara juga banyak yang berasal dari wilayah mancanegara diantaranya berasal

dari negeri Cina. Hal itu dibuktikan dengan adanya situs-situs peninggalan sejarah berupa kawasan

pemukiman Cina yang tumbuh berdampingan dengan pemukiman masyarakat setempat. Kondisi ini secara

fisik menunjukkan suatu pola struktur ruang dan karakter pemukiman masyarakat yang sangat spesifik, unik

dan khas, yang selain dibentuk oleh konsep pertumbuhan pantura di wilayah timur Propinsi Jawa Tengah,

juga dibentuk oleh pola sosial-budaya masyarakat setempat.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian mengenai pola struktur ruang Kota Lasem

dilihat dari sejarahnya sebagai kota pantai, melalui pendekatan teori rancang kota yang dibatasi pada

materi sejarah perkembangan, morfologi kawasan, dan sistem aktivitas masyarakat setempat. Kegiatan studi

ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh sejarah Kota Lasem terhadap pola struktur ruang

wilayah studi, serta melihat kecendrungan perkembangan di masa yang akan datang. Dengan tercapainya

tujuan tersebut maka akan membantu dalam memberikan rekomendasi baik terhadap pemerintah daerah,

masyarakat setempat, maupun terhadap rekomendasi studi lanjutan.

Jenis studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (field research).

Metode analisisnya berupa deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan hasil analisis perkembangan sejarah,

kondisi fisik dan non fisik kawasan studi berdasarkan landasan teori yang digunakan. Pendekatan kualitatif

pada penelitian ini fokus pada pendekatan Sejarah, morfologi dan pendekatan sistem aktivitas di kawasan

studi. Dimana pendekatan sejarah digunakan untuk melakukan analisis urban tissue dan pola perkembangan

wilayah, selanjutnya pendekatan morfologi digunakan untuk melakukan analisis kondisi fisik wilayah studi,

dan terakhir pendekatan sistem aktivitas digunakan untuk melakukan analisis kondisi non fisik wilayah studi.

Pengumpulan data dalam studi ini dilakukan melalui pengamatan langsung, wawancara dan pengumpulan

data sekunder.Dalam melakukan wawancara digunakan teknik purposive sampling, dimana metodenya yaitu

bersifat snowballing. Berdasarkan metode pengumpulan data tersebut maka data-data yang diperoleh akan

digunakan untuk menganalisis sejarah perkembangan wilayah studi melalu analisis urban tissue dan analisis

pola perkembangan kawasan. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap kondisi ruang fisik kawasan melalui

analisis figure ground, linkage system, place theory dan bentuk kawasan. Dan yang terakhir dilakukan

analisis terhadap kondisi non fisik kawasan yaitu melalui jenis sistem aktifitas yang ada di wilayah studi.

Hasil analisis yang diperoleh adalah wilayah studi terdiri dari dua kawasan yaitu kawasan pusat kota

yang cenderung memiliki bentuk kawasan gurita/ bintang (octopus/ star shaped cities) dan kawasan pesisir

pantai utara Lasem yang cenderung memiliki bentuk kawasan kipas (fan shaped cities). Kemudian tekstur

figure ground sebagai sebuah unit perkotaan tergolong pada tipe grid kawasan. Pola jaringan jalan utama

yaitu berupa jalur pantura memiliki bentuk linier dan terpadu dengan sistem jalan lingkungan yang berpola

grid. Dilihat dari tingkatan hirarkinya maka pemanfaatan ruang untuk aktivitas perdagangan dan jasa di

sekitar Jalan Sultan Agung dan Jalan Untung Suropati menempati hirarki tertinggi. Berdasarkan hasil

analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa wilayah studi memiliki pola struktur ruang konsentris yang

terpadu dengan linier. Jika dilihat melalui pola perkembangannya maka dari awal wilayah studi tumbuh

secara horisontal, namun khusus disekitar Jalan Sultan Agung dan Untung Suropati pertumbuhan kota

tumbuh secara vertical hal itu dipengaruhi oleh kondisi kepadatan bangunan dan harga lahan yang

cenderung lebih mahal dibanding dengan daerah lain.

Temuan studi yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pertumbuhan kawasan yang ada di dalam

wilayah studi cederung tumbuh secara alami. Selanjutnya berdasarkan analisis kondisi fisik juga diketahui

bahwa wilayah studi terdiri dari dua kawasan yang berberda yaitu kawasan pusat kota dengan kondisi

topografi yang relatif datar dan kawasan pesisir pantai utara Lasem dengan kondisi topografi yang relatif

berkontur. Temuan studi yang lain adalah berdasakan analisis sistem aktivitas diketahui bahwa kondisi

sosial-budaya masyarakat kawasan pusat kota dan kawasan pesisir pantai utara Lasem memiliki beberapa

perbedaan sosial-kebudayaan yaitu kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan masyarakat pribumi Lasem.

Kata Kunci : Pola Struktur Ruang dan Sejarah Kota Pantai

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir pantai memiliki arti dan tujuan yang strategis, jika dilihat dari artinya

wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat

meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh

sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut,

sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang

terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh

kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan permukiman

serta intensifikasi pertanian (UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau kecil). Dan jika dilihat dari tujuannya wilayah pesisir salah satunya adalah bertujuan

untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan (UU No. 27 Tahun

2007 Tentang PWP dan PPK).

Sejarah perkembangan kota pantai (historical waterfront)adalah pelengkap dari

kebudayaan maritim, dan beberapa diantaranya berhubungan erat dengan awal kemakmuran dan

awal pembangunan ekonomi. Kota pantai mampu menjaga sejarah kawasan pantainya dengan

pesona masa lampau yang dimilikinya untuk kehidupan modern (Breen dan Rigby, 1996: 115).

Pengembangan wilayah pantai di Indonesia tidak terlepas dari sejarah yang mengiringi

sebelumnya. Sejarah pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia lebih banyak dimulai dari wilayah

pantai, hal itu tidak terlepas bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan. Sejarah

Nusantara yang merupakan wilayah kepulauan dapat ditelusuri melalui bukti sejarah perkembangan

pusat-pusat kerajaan di wilayah pantai dan berhubungan dengan sistem sungai dalam

pengembangan wilayah pedalaman. Pada periode abad ke VII sampai ke XVII, secara silih berganti

bermunculan kerajaan berbasis wilayah pantai seperti Sriwijaya, Samudra Pasai, Kasultanan

Banten, Kasultanan Demak, Kasultanan Ternate yang pada periode keemasannya mengembangkan

perdagangan baik di perairan Nusantara hingga Mancanegara (Baiquni, 2005: 2).

Propinsi Jawa Tengah memiliki panjang pantai sekitar 656,1 km (atau 0,81% dari

keseluruhan panjang pantai Indonesia) yang terbagi dalam wilayah utara mulai dari pantai Kota

Dalam kamus Inggris Indonesia karangan John M. Echols dan Hasan Sadili, menyebutkan bahwa arti dari

Historic adalah bersejarah, sedangkan arti Historical adalah yang berhubungan dengan sejarah. Dan

Waterfront berarti tepi laut atau daerah kota yang berbatasan dengan air.

1

2

Brebes menuju Kota Rembang adalah sepanjang 453,9 km dan wilayah pantai selatan mulai dari

pantai Kota Cilacap menuju Kota Yogyakarta adalah sepanjang 202,9 km (Badan Pusat Statistik,

2000 dalam Ekaputra, 2003: 1). Propinsi Jawa Tengah sebagai bagian dari wilayah kepulauan Jawa

memiliki sejarah yang panjang terkait dengan kota-kota pinggir pantai (Coastal city)2, terbukti

terdapat dua sejarah kerajaan Islam yaitu Kerajaan Islam Demak yang berada di pantai utara dan

Kerjaan Mataram Islam (Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) berada di wilayah

pesisir selatan Jawa Tengah. Kedua kerajaan Islam tersebut meninggalkan pengaruh struktur

pemerintahan yang berpengaruh pada pola penataan ruang wilayah pesisir yang sangat kental,

dimana dibuktikan dengan adanya pola permukiman, sistem sosial budaya, ekonomi, dan sistem

jaringan perdagangan yang menempati pusat-pusat strategis terhadap wilayah hinterlandnya

(Baiquni, 2005: 2).

Sejarahnya yang panjang tentang kota-kota pantai di wilayah Jawa yang memiliki

hubungan dengan beberapa wilayah kepulauan nusantara dan beberapa wilayah mancanegara

seperti Myanmar, Vietnam, Tiongkok, Arab, Eropa dan sampai pada Afrika Selatan menunjukan

bahwa pelabuhan Pulau Jawa telah menjadi suatu jalur perdagangan internasional. Pada

perkembangan selanjutnya kawasan pantai menjadi tempat yang menarik untuk dikembangkan

menjadi permukiman. Hal tersebut beralasan karena wilayah pantai merupakan kawasan alternatif

permukiman kota bagi kaum urbanis miskin, memberikan kemudahan transportasi, dan menjadi

pintu gerbang alami untuk perdagangan antar tempat yang terpisahkan oleh laut (Suprijanto, 2000:

290). Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan tingginya laju pertumbuhan perkotaan, dimana

kawasan kota pantai cenderung tumbuh lebih cepat, baik secara sosial kependudukan maupun

ekonomis daripada kota-kota di wilayah lain.

Lasem merupakan kota kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Rembang tepatnya

di pesisir utara Pulau Jawa, dan berada di kawasan paling timur pesisir Pantai Utara Jawa Tengah.

Lasem memiliki sejarah perkembangan kota pesisirdimana pada abad ke XVI Lasem memiliki

daerah pelabuhan yang sering disinggahi oleh kapal-kapal pedagang asing yang bertujuan untuk

berdagang di wilayah tanah Jawa. Beberapa kapal yang singgah di pelabuhan Lasem selain berasal

dari daerah-daerah kepulauan nusantara juga disinggahi oleh kapal-kapal mancanegara diantaranya

adalah berasal dari Cina. Pada awalnya Lasem merupakan tempat mendaratnya pedagang-pedagang

Cina di Jawa. Selain itu Lasem juga merupakan pusat perdagangan candu. Sejak abad ke-16 sudah

banyak penduduk Tionghoa yang menetap di Lasem (Hastari, 2007: 1). Mereka juga sudah

berakulturasi dengan penduduk pribumi, hal itu dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa

kawasan pemukiman Cina yang tumbuh berdampingan dengan masyarakat setempat. Ada beberapa

Istilah Coastal City yang berarti kawasan kota tepi laut/ pantai diambil dari penelitiannya Iwan Suprijanto

tentang “Karakteristik Spesifik Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi Laut/ Pantai”.

3

bentuk ornamen perpaduan antara kebudayaan Cina dengan kebudayaan lain di Kota Lasem,

diantaranya yaitu perkampungan pecinan yang memiliki bentuk arsitektur khas Cina dan berpadu

dengan ciri khas kebudayaan masyarakat Jawa (Hastari, 2007: 2).

Adanya bentuk perkampungan pecinan yang menggerombol dengan ditandai oleh pagarpagar

bangunan yang tinggi memberikan kesan tertutup dengan dunia luar, namun ada juga

beberapa bangunan pecinan yang menyatu dengan beberapa bangunan masyarakat setempat.

Kondisi ini secara fisik menunjukkan suatu pola ruang dan karakter pemukiman yang sangat

spesifik, unik dan khas, yang selain dibentuk oleh konsep pertumbuhan pantura di wilayah timur

Propinsi Jawa Tengah, juga dibentuk oleh pola sosial budaya masyarakat setempat. Pada

perkembangan selanjutnya keberadaan Pelabuhan Lasem mulai surut dan menghilang yang

akhirnya berpindah ke wilayah Rembang dimana secara geografis letaknya tepat di sebelah barat

Kota Lasem. Berpindahnya Pelabuhan Lasem ke wilayah Rembang diikuti dengan berpindahnya

pusat pemerintahan kabupaten dari wilayah Lasem menuju Rembang yang akhirnya berpengaruh

pada pola struktur permukiman, sosial budaya, dan ekonomi masyarakat setempat, dimana hal itu

merupakan kebijakan dari pemerintah Kolonial Belanda (Hadinoto dan Hartono, 2006: 17).

Ditambah dengan semakin meningkatnya perkembangan teknologi transportasi darat berpengaruh

pada peningkatan pusat-pusat pertumbuhan baru yang ada di luar kawasan pantai Lasem. Hal itu

menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan kawasan Kota Lasem mengalami kemandekan

(stagnasi), bahkan terjadi penurunan perkembangan kawasan yang ditandai dengan semakin

sepinya aktivitas permukiman, perdagangan, sosial budaya, dan bahkan ekonomi masyarakat

setempat.

Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan adanya kajian pola struktur ruang wilayah

Kota Lasem. Dimana dari kajian tersebut akan diketahui bagaimana pengaruh sejarah

perkembangan Kota Pantai Lasem terhadap pola perkembangan tata ruang kawasan sekitarnya.

Diharapkan dari hasil kajian tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan arahan

pembangunan penataan ruang selanjutnya, yang pada akhirnya dapat menghindari konflik

kepentingan antara usaha pengembangan wilayah (permukiman, perdagangan dan jasa, dll) dengan

usaha konservasi kawasan (daerah cagar budaya).

1.2 Perumusan Masalah

Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota tidak terlepas dari berbagai hambatan dan

permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Demikian halnya dengan Kota Lasem yang memiliki

beberapa permasalahan yang dihadapi, diantaranya adalah:

• Kota Lasem merupakan kota yang memiliki nilai sejarah yang panjang, banyaknya

peninggalan seni budaya menyebabkan sering terjadinya konflik kepentingan yaitu

Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten RembangJawa TengahIndonesia. Merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang.

Lasem dikenal juga sebagai "Tiongkok kecil" karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan tionghoa yang sangat banyak. Di Lasem juga terdapat patung Buddha Terbaring yang berlapis emas.

Batik Lasem sangat terkenal karena cirinya sebagai batik pesisir yang indah dengan pewarnaan yang berani.

Selain itu Lasem juga dikenal sebagai kota santri, kota pelajar dan salah satu daerah penghasil buah jambu dan mangga selain hasil dari laut seperti garam dan terasi.

Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan di pesisir pantai laut Jawa di kabupaten Rembang, berjarak lebih kurang 12 km ke arah timur dari ibukota kabupaten Rembang, dengan batas-batas wilayah meliputi:

Kecamatan Lasem mempunyai luas wilayah mulai dari pesisir laut Jawa hingga ke selatan. Di sebelah timur terdapat gunung Lasem. Wilayahnya seluas 4.504 ha. 505 ha diperuntukkan sebagai pemukiman, 281 ha sebagai lahan tambak, 624 ha sebagai hutan milik negara.

Letaknya yang dilewati oleh jalur pantura, menjadikan kota ini sebagai tempat yang strategis dalam perdagangan.

Doeto (bicara) 05:09, 30 November 2009 (UTC)

Kecamatan Lasem terdiri atas 20 desa yang terbagi ke dalam 84 Rukun Warga (RW) dan 219 Rukun Tetangga (RT). Dengan ibukota kecamatan di desa Soditan.

Adapun desa-desa tersebut adalah:

Empat desa diantaranya berada di lereng gunung Lasem yaitu desa Gowak, Kajar, Sengangcoyo dan Ngargomulyo sedangkan 5 desa diantaranya merupakan desa pesisir yang berbatasan langsung dengan laut Jawa. Lima desa tersebut adalah; Bonang, Dasun, Binangun, Gedongmulyo dan Tasiksono.

umlah penduduk kecamatan Lasem sejumlah 47.868 jiwa (tahun 2005). 23.846 jiwa diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya 24.022 perempuan. Sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani, pedagang dan nelayan.

Dibidang pendidikan, di kecamatan Lasem terdapat:

Dibidang keagamaan, di kecamatan Lasem terdapat 31 masjid, 130 mushalla dan 11 gereja Kristen, 12 Gereja Katholik dan 3 wihara.

Sejak dahulu kota kecamatan ini terkenal sebagai Kota Santri. Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. Banyak ulama-ulama karismatik yg wafat di kota yg terkenal dgn suhu udara yg panas ini. Sebut saja Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro, KH. Baidhowi, KH. Khalil, KH. Maksum, KH. Masduki dll. Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini

Setengah jam dari Rembang melewati kota Lasem, sebuah kota kecamatan yang keramiannya melebihi keramaian Ibu Kota kabupatennya, Rembang. Lasem dikenal sebagai kota santri. Di sana puluhan pondok pesantren berjajar di sekitar kota. Kota ini disebut Lasem konon karena di kampung Dasun adalah tempat tinggal salahsatu petinggi kerajaan Majapahit, Bhree Lasem. Sekitar dua kilometer sebelum pusat kota, akan nampak deretan truk-truk gandeng berada di pinggir jalan. Di tengah kota selalu ada bus atau angkutan desa yang berderet di situ. Becak dan ojek mewarnai keramaian kecil. Kalau kaki sedikit minat masuk ke dalam jalan gang akan didapati bangunan-bangunan Tua. Sebagian nampak berwajah keTionghoa-Tionghoaan, sebagian bernuansa Belanda. Gedung-gedung tua kokoh, sepertinya sebuah gudang atau mungkin dulunya pabrik. Sebagian orang-orang Lasem mengatakan pabrik tekstil dan batik, sebagian lain hanya sebagai penampung barang dagangan dari dermaga.
Pada masa dua abad setelah kerajaan Demak luluh lantak, Lasem mulai berkembang sebagai salahsatu kota yang cukup ramai, sebagai pusat perdagangan maritim. Di kota ini banyak saudagar Tionghoa yang juga senang bermain politik, bahkan mereka pernah melawan tentara Belanda. Di masa silam, kira-kira masa perang Diponegoro (1825-1830) di kota ini pernah menjadi pusat penampungan senjata impor ilegal para tentara diponegoro dari selat Malaka. Para pengimpor yang ketangkap kumpeni ditangkap dan digantung di depan umum. Di masa pendudukan Jepang Lasem juga memainkan peranan konflik yang cukup panjang. Jepang melihat Lasem sebagai kota alternatif gerilya melumpuhkan Belanda karena di sini memiliki banyat aset perdagangan yang bisa dijarah.

Satu hal yang tak boleh di lupakan dari Lasem adalah batik. Kota tua ini memiliki batik tua yang pemasarannya lebih luas dari daerah lain, bahkan hanya sebagian saja yang beredar di pasar lokal karena pangsa ekspornya yang begitu luas. Orang-orang Tionghoa Lasem kalau ditanya mengenai identitas batiknya ia akan bilang, ciri khasnya terletak pada kerumitan hiasnya. Kerumitan ini terjadi karena pembatik Lasem memilih paduan hias bergaya Tionghoa yang dikombinasikan dengan hias lokal. Batik Lasem bermutu tinggi karena menjaga kualitas produksi. Pembatik Lasem sangat selektif dalam menentukan tata warna dan proses bahan pembuatan zat pewarnanya juga sangat serius. Kebanyakan pengusaha batik Lasem adalah keturunan Tionghoa. Sampai sekarang mereka mewarisi usaha nenek-moyangnya yang datang sejak awal di pantai utara bersamaan dengan masuknya Islam. Tak mudah untuk mengenal seluk beluk cara membuat batik ini. Para pembatik Lasem bersikap tertutup karena mereka tidak mau proses kreasinya dijiplak orang luar.

Hanya beberapa menit kendaraan melewati Lasem. Tak ada hambatan yang berarti, kecuali saat hendak menyalip truk-truk gandeng yang jalannya megal-megol itu. Setelah itu kendaraan akan melintasi pedalaman dan melewati Binangun, sebuah pantai yang sangat indah dengan perbukitan di sekitarnya. Dari dalam bus mata para penumpang dipastikan tertambat pada sebuah jalan menanjak.

Di atas bukit ketinggian 500 meter itu sejarah Islam Jawa kembali terkuak. Puncak bukit di kawasan Binangun ini adalah bekas petilasan, atau pasujudan Bong Tak Ang salah seorang anggota Walisongo yang meninggal tahun 1525 Masehi pada umur 60 tahun. Sebagian orang menganggap ini adalah kuburannya, tetapi data yang paling valid ini hanyalah sebuah petilasan, tempat persemediannya. Kuburan Bong Tak Ang sendiri berada di tengah Kota Tuban Jawa Timur. Di puncak bukit itu juga terdapat makam Putri Campa Ibunya. Pada situs itu tertulis tarikh Jawa 1370 (1448 Masehi). Putri Campa ini bernama Andarawati, istri dari Bong Swie Ho seorang Wali Songo senior di Surabaya. Kabarnya makam Putri Campa tidak berada di bukit itu, tetapi di Dukuh Unguh-Unguhan, Trowulan Jawa Timur. Bong Tak Ang memindahkan makam Ibunya itu karena (menurut sejarahwan Graaf dan Pideaud) saat itu terjadi perampasan barang-barang berharga milik kerajaan Demak yang sedang diserang Mataram.

Jalanan di kampung Binangun nampak lengang. Lepas Binangun, jalanan berkelok-kelok. Sebuah pemandangan yang menakjubkan akan terlibat kemudian di sekitar desa bonang. Kaki-kaki bukit manancap tajam di perut bumi, dan kendaraan yang melewati jalanan itu seolah-olah sedang mengelilingi raksasa congkak. Para buih di pantai berarak menggulung lalu bersorak dengan cipratan-cipratan air yang berbuih putih. Di jauh laut, nampak warna biru agak kelam, sedangkan di bagian atas, langit membiru, sebagian memutih pudar. Air bergulung-gulung itu nampak lebih berwarna hijau berbalut gulungan air putih. Sementara di perbukitan pepohonan hijau berderet tak henti-hentinya bergoyang.

Pastilah merugi jika pengendara melewati jalanan ini di malam hari, atau tertidur. Sebuah panorama yang tak akan membosankan bagi pejalan. Setelah perbukitan yang memantai itu terlewati, kendaraan akan bersua dengan perkampungan nelayan Sluke, kemudian kampung nelayan Pandangan. Keduanya nampak sepi, seperti Bonang. Baru kemudian ada sedikit keramaian saat melewati kampung nelayan dan pasar ikan Kraggan, kemudian lebih ramai lagi adalah perkampungan nelayan dan kampung santri Perbatasan.

Melewati kota-kota tua pesisir dengan cerita-cerita kuno kehidupan itu rasanya tiada lengkap jika menghapus kenangan masa lalu sebelum 1910, di mana pada tahun-tahun selanjutnya era kebangkitan nasional semakin tumbuh berkembang. Selama tahun 1910-1920 benih-benih nasionalisme telah tumbuh. Reformisme golongan kelas pedagang perkotaan di hampir semua kota di Pulau Jawa bangun dari keterpurukannya sebagai hamba, menjadi manusia-manusia borjuis yang memiliki pandangan untuk mengubah sesuatu menjadi baik, memiliki etika kehidupan yang tak pernah puas dengan keadaan masyarakat sekitarnya. Organisasi bernama Serikat Islam adalah potret emborjuasi progresif dengan karakter etisnya yang khas.

Tak seperti halnya kota2 kecil lainnya di Jawa, Lasem mempunyai sejarah panjang dan catatan penting dan menarik untuk diikuti dan dikuliti. Sbg sebuah kota kecamatan, secara fisikal tampak lebih berkilau. Denyut perekonomian lebih berkembang dibanding kecamatan2 lainnya di penjuru kabupaten Rembang. Bahkan sampai pada dekade 90'an lasem nampak lebih mempesona dibanding Kota Rembang itu sendiri. Jadi tak heran warga lasem jaman dulu atau bahkan sampai sekarang lebih bangga mengaku warga Lasem daripada warga Rembang.

Akar Budaya Tionghoa-Islam
Memasuki kota Lasem anda akan dibuat takjub dg bangunan2 super tua gaya arsitek tionghoa bertebaran disisi jalan utama. Apalagi jika anda mau "blusukan" di gang2 atau jalan2 kecil ke arah kanan atau kiri jalan sultan agung, untung suropati atau jalur selatan menuju jatirogo/bojonegoro yakni jalan eyang sambu, anda seolah berada di cina tempoe dulu. Dgn tembok putih setinggi 3-4 meter dan gaya pintu khas cina menciptakan perkampungan pecinan yang eksotis. Aura kecina2an semakin tak terbantahkan dg bangunan 3 buah klenteng sbg bukti eksisitensi mereka masih terjaga sampai skrg. Julukan china town memang layak disandang kota ini, jejak kedatangan orang2 cina di lasem termasuk gelombang pertama orang2 cina masuk bumi jawa. Yakni sekitar abad 14 masehi. Di samping tembok2 menjulang tinggi di kawasan kota, anda juga bisa mendapati komunitas jawa (baca: islam). Ada belasan pondok pesantren bertebaran di kota yang pernah menjadi setting film "ca bau kan" ini. Sejarah islam juga cukup mengakar, ini bisa diruntut dari kiprah sunan bonang yang dipercaya pernah hidup lama sampai wafatnya di desa bonang 3 km arah utara kota lasem. Di sini terdapat rumah beliau, masjid, makam dan petilasan (semacam tempat khalwat) beliau. Makam istri sunan bonang keturunan cina (putri campa) juga dapat ditelusuri jejaknya. Memang banyak versi ttg dimana sunan bonang dikebumikan. Dalam buku2 sejarah perkembangan islam di jawa yg selama ini saya pelajari, selalu saja menyebutkan beliau seolah menetap dan hidup di wilayah tuban. Padahal situs2 peninggalan beliau tumpleg-bleg ada di desa bonang dan sekitarnya. banyak cerita2 yang beredar tentang keberadaan beliau di wilayah bonang. cerita perkelahian antara sunan bonang dan saudagar cina dampo awang di pantai binangun dekat bonang salah satunya. Kapal sang saudagar karam jangkarnya terdampar di Rembang (jangkar raksasa ini sampai skrg msh bs anda saksikan di komplek Taman Rekreasi Pantai Kartini). Dan layarnya mendarat di bukit pantai binangun (masyarakat menyebut bukit tsb dgn watu layar). ada pula kisah tentang bendi becak, asal usul lontong tuyuhan, dan lain sebagainya yg disandarkan pada sosok sunan bonang Tapi menurut sebagian masyarakat lainnya, meski percaya sunan bonang pernah tinggal dan wafat di bonang-lasem tapi makamnya tetap mereka anggap berada di tuban. Sebagai seorang ulama, murid beliau menyebar di penjuru nusantara. Ketika beliau wafat di bonang, murid2nya dari daerah madura/bawean mencoba membawa jasad sunan untuk disemayamkan di daerahnya. Namun, santri2 dr tuban merasa berhak juga atas jasad kanjeng sunan. Walhasil, pertempuran di perairan tuban tak bisa dihindarkan. Dan murid2 tuban dpt mendaratkan jasad beliau dan di kebumikan di komplek masjid agung tuban kota. Jadi jangan heran jika di tiap tahunnya haul sunan yang punya nama asli maulana malik makdum ini diselenggarakan di 3 tempat yang berbeda, yakni: Di bonang Lasem, Tuban dan bawean.

Batik Tulis Lasem
Ada banyak keistimewaan lain dari kota yang punya latar belakang 2 etnis ini (tionghoa-jawa). Salah satunya adalah batik tulis hasil karya perpaduan budaya yang sarat dg cita rasa khas dan bermotif sangat nglasemi (pesisir). Singkronisasi 2 unsur budaya cina dan jawa yg saling "ngeloni" satu dgn yg lainnya menghasilkan maha karya yang waskito dan unik. Cara pengerjaannya terbilang lebih rumit dibanding batik2 dr daerah solo, jogja ataupun pekalongan.

Wisata kuliner
Bicara ttg kota lasem memang tak ada matinya, coba rasakan kedahsyatan selera lidah anda. Sajian khas lontong tuyuhan akan memberi sensasi lain. Lontong berbentuk segitiga dg bungkus daun pisang ini disajikan dg kuah opor plus potongan ayam kampung yang pedasnya lumayan nonjok. Apalagi jk dinikmati di areal komplek warung lontong di desa tuyuhan, dg parkir luas dan tempat yang nyaman disertai latar blkg hamparan sawah dan bukit dan gunung lasem semakin menambah gayeng makan sore anda. Mau mencoba menu lain? Ada mangut khas lasem, sayur mrica, kue gedumbeg, atau sate serepeh.

Wisata Rohani
Tak hanya budaya dan wisata kuliner bisa anda temukan di kota ini. Wisata religi juga dapat anda rasakan auranya. Seperti disebutkan sebelumnya, 3 klenteng di lasem bisa jadi rujukan jika ingin mengetahui lbh jauh ttg ajaran konghucu dan adat cina peranakan. Bahkan di salah satu klenteng digambarkan dg jelas perjuangan warga cina dan pribumi lasem yg bersatu padu melawan penjajah belanda yang dipimpin oleh 2 tokoh orang tionghoa dan 1 tokoh orang pribumi yang gugur pada tahun 1700an. Wisata religi lainnya yg tak kalah masyhurnya tentunya peninggalan Sunan Bonang di Bonang, seperti rumah peninggalan beliau, masjid tempat menggembleng murid2nya, pasujudan di atas bukit, tongkat yang di pajang di sisi jalan raya pantura, makam dan sebagainya. Selain itu, anda juga bisa berziarah di komplek pemakaman disebelah utara masjid jami' Lasem terdapat banyak makam ulama. Tercatat nama mbah sambu atau nama lengkapnya sayyid abdurrahman basyaiban.

MENCARI JEJAK DAKWAH ETNIS

TIONGHOA DI JAWA ABAD 15-16

MASEHI

Oleh : Muhammad Sulthon

 

PENGANTAR

Kiprah etnis Tionghoa di Indonesia menonjol dalam bidang ekonomi hingga kini.

Hal itu tentu tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka juga punya peran pada

bidang yang lain, seperti agama dan kepercayaan. Khusus untuk bidang agama,

terutama kemungkinan mereka memiliki kiprah di bidang dakwah Islam

didasarkan pada pemikiran bahwa sepanjang dapat ditemukan masyarakat Islam

di kalangan mereka, maka tentu dapat diasumsikan ada gerakan dakwah oleh dan

kepada mereka. Hal itu disebabkan, kegiatan dakwah dapat difikirkan sebagai

kegiatan yang melekat dengan pelaksanaan ajaran Islam. Dakwah adalah

pengamalan ajaran Islam yang bertujuan mempengaruhi orang lain.

Dalam makalah ini, penulis berusaha menggambarkan beberapa hal tentang dakwah

mereka di Jawa pada masa awal kehadiran mereka di sana. Periode itu ada yang

menyebutnya sebagai zaman Cheng Ho dan ada pula yang menyebut periode

generasi pertama Muslim Tionghoa di Jawa. Makalah ini akan lebih

menitikberatkan pada deskripsi seorang dai Tionghoa yang bernama Bong Swi Ho.

Untuk melakukan rekonstruksi terkait dengan tujuan itu, penulis mendasarkan

sumber utamanya pada Catatan Tahunan Melayu. Catatan tahunan Melayu adalah

hasil penelitian Poortman terhadap tulisan-tulisan atau dokumen yang tersimpan di

kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan kelenteng Talang di Cirebon. Penelitian

Poortman itu dimaksudkan mencari klarifikasi mengenai Panembahan Jin Bun atau

Radebn patah.

Pada tahun 1964 Catatan itu disunting dan dikomentari oleh Ir. Manggaradja

Onggan Parlindungan dan disebutkan dalam lampiran legenda Sumatra, sebagai

bahan kajian untuk bukunya yang berjudul Tuanku Rao. Pada tahun 1968,

catatan tahunan itu dipakai oleh Mr. Slamet Muljana sebagai sumber utama dalam

bukunya tentang munculnya negara-negara Islam di Indonesia. Buku karya Slamet

Mulyana berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negaranegara

Islam di Nusantara yang pada tahun 1971 dilarang beredar di Indonesia.

Pada tahun 1984, H.J. De Graaf dan th. G Pigeaud menyusun buku tentang Muslim

Cina di Jawa pada abad 15-16 M. Di antara sumber yang dipakai adalah Catatan

Tahunan Melayu seperti disunting oleh Parlindungan. Terhadap Catatan itu H.J.

De Graaf dan th. G Pigeaud melakukan analisis perbandingan dengan tiga sumber

utama sejarah Jawa yaitu (1) Catatan Pengembara Portugal, Tom Pires, (2) Catatan-

Catatan dokumenter Cina Daratan dan (3) Babad Tanah Jawa.

Menurut beberapa peneliti, seperti Denys Lombard, MC. Ricklefs, Liem Ek Hian

dan Leonard Blusse, naskah asli yang dipakai oleh Poortman tidak ditemukan,

demikian juga hasil penelitian Poortman yang konon dicetak tidak lebih dari 5

eksemplar dinyatakan hilang. Dengan kenyataan itu, beberapa ahli menyatakan

bahwa Naskah Poortman itu hanya bikinan Ir Parlindungan saja. Dalam banyak

hal, makalah ini disusun dengan mengacu pada buku karya H.J. De Graaf dan th. G

Pigeaud serta laporan penelitian Poortman. Laporan penelitian Poortman disebut

dengan Catatan Tahunan Melayu yang dipakai dalam penelitian ini dikutip dari

lampiran dalam karya tulisnya Ir. Manggaradja Onggan Parlindungan.

KEHADIRAN TIONGHOA

Dilihat dari agama yang dipeluk, awal kehadiran Tionghoa di Jawa berhubungan

dengan pembentukan pertama masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia. Menurut

Catatan Greif, kehadiran mereka berlangsung bersamaan waktunya dengan

kekacauan yang melanda pusat pemerintahan di Tiongkok. Dinasti Manchu yang

menggantikan pemerintah sebelumnya menjadi salah satu pemicu perpindahan

penduduk Tiongkok ke luar daerah, diantaranya ke Jawa. Di bawah kekuasaan

Dinasti Manchu (1644-1912 M) masyarakat Islam Tiongkok mengalami penindasan

dari pemerintah. Dengan demikian, Greif agaknya sedang menyebutkan, etnis

Tionghoa yang datang ke Jawa itu kemungkinan besar beragama Islam, yaitu agama

yang secara resmi dinyatakan pertama kali datang ke Tiongkok pada masa

pemerintahan Yong Hui dari dinasti Tang (649-651).

Lebih tua dari tahun yang dperkirakan dari pendapat Greif tersebut, ada sumber

sejarah yang melaporkan kesan-kesan terhadap masyarakat Tionghoa Islam pertama

di Jawa. Sumber yang dimaksud adalah buku laporan perjalanan laksamana Ceng Ho

antara lain ke Jawa yang selesai ditulis tahun 1416 M oleh Haji Ma Huan, sekretaris

dan juru bicara Ceng Ho. Laporan itu kemudian disempurnakan dengan

pengurangan dan penambahan seusai dua pelayaran berikutnya. Dengan

memperhatikan tahun penulisan itu, maka dapat di duga sebelum tahun 1416, di

Jawa telah ada masyarakat Tionghoa memeluk agama Islam, jauh sebelum tahun

yang diperoleh dari Catatan Greif. (1600-an Masehi).

Berkaitan dengan hal itu, sejumlah batu nisan yang terletak di komplek pemakaman

Islam di Tralaya, berada di sebelah selatan kawasan bekas tempat keraton Majapahit,

dapat membantu sedikit penelusuran tahun tertua pembentukan awal masyarakat

Tionghoa Muslim. Seperti dilaporkan oleh L.Ch. Darmais yang dikutip Amen

Budiman, di kawasan tersebut, ada sejumlah batu nisan yang memakai tahun Saka

dan sebuah di antaranya memakai tahun Arab. Batu-batu nisan yang memakai tahun

Saka itu menggunakan hiasan ayat-ayat al-Quran dan rumus-rumus ibadah,

sedangkan yang memakai tahun Hijriyah mempunyai sebuah inskrispi yang

menyebutkan nama Zaenudin. Sebuah batu nisan yang memakai tahun Saka di

kawasan itu memiliki titi mangsa tahun 1533 Saka yang bertepatan dengan tahun

1611 M. Selain itu, batu-batu nisan memiliki titi mangsa yang berkisar antara tahun

1298 sampai tahun 1397 Saka yang bertepatan dengan tahun 1376-1475 Masehi,

termasuk batu nisan yang memakai tahun Arab yang berasal dari tahun 874 H, yang

bertepatan dengan tahun 1391-1392 Saka atau tahun 1469-1470 M.

Dari batu-batu nisan itu dapat diperkirakan sejumlah informasi sejarah, bahwa

waktu kerajaan Majapahit berada dalam puncak kejayaannya pada masa

pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 M), di kawasan kerajaan itu dapat

ditemukan masyarakat Islam. Demikian juga halnya waktu Haji Ma Huan

mengunjungi daerah Jawa, ada beberapa kemungkinan informasi sejarah yang dapat

dikemukakan sebagai berikut. Ada kemungkinan sebagian dari masyarakat Islam

yang bermukim di sekitar keraton Majapahit berasal dari etnis Tionghoa. Hal itu

terhimpun dari laporan Haji Ma Huan ketika dia melihat dari dekat keadaan

masyarakat Islam Tionghoa di Jawa Timur. Menurut Haji Ma Huan, di Majapahit

terdapat lebih dari seribu keluarga bangsa asing. Sebagian besar dari mereka adalah

orang Tionghoa yang berasal dari pusat kerajaan Tiongkok. Mereka berasal dari

dinasti Tang, yang berasal dari propinsi Kanton, Zhangzhou, Qhuanzhau dan

daerah-daerah lain yang telah melarikan diri dari daerah mereka. Banyak diantara

mereka telah memeluk agama Islam.

Dalam kontaknya dengan masyarakat pribumi, menurut beberapa kesaksian orangorang

Eropa, kehadiran masyarakat Tionghoa dapat diterima dengan baik oleh

masyarakat pribumi di Jawa pada umumnya. Tome Pires termasuk mereka yang

pertama-tama memberitakan hal tersebut. Dalam salah satu tulisannya yang dibuat

kira-kira tahun 1544, Tome Pires menyebutkan bahwa kepulauan Maluku telah

lama memiliki hubungan dengan orang-orang Tionghoa. Kehadiran mereka sejak

zaman kuno telah dikenali dari gaya rumahnya dan dari kepeng Cina sebagai mata

uang.

Adapun Diego de Couto mencatat, banyak orang menegaskan bahwa orang Jawa

adalah keturunan Tionghoa. Kesaksian yang sama dikemukakan dalam salah satu

tulisan yang dibuat Edmund Scott. Penulis tersebut terakhir selama dua tahun

(antara 1603 sampai 1605 M) tinggal di Loji Inggris di Banten. Setelah melukiskan

sebuah perayaan besar di kota, ia mengakhirinya dengan pernyataan bahwa perayaan

itu dan semacamnya telah diajarkan oleh orang-orang Tionghoa sejak zaman kuno.

Wounter Schouten yang berada di Hindia selama kwartal ketiga abad ke-tujuh belas

menulis bahwa orang-orang Jawa merasa senang menyatakan diri sebagai keturunan

Tionghoa. Kebanggaan sebagai keturunan Tionghoa itu juga dilaporkan oleh Abbe

De Raynal yang disebut oleh Denys Lombard sebagai salah seorang penulis yang

memberikan kesaksian tentang keharmonisan hubungan social yang terjalin antara

orang-orang Jawa dengan Tionghoa.

Terlepas dari kesaksian-kesaksian itu, suatu keyataaan dapat ditegaskan bahwa aktor

agama cukup penting memainkan peran dalam proses pembauran itu. Dalam kasus

Tionghoa di Jawa ini, faktor agama dimaksud adalah Islam, karena seperti tersimpul

dari uraian di atas, Tionghoa yang datang itu beragama Islam. Di Jawa mereka

tinggal dan menetap di pelabuhan pesisir sebelah Timur, seperti Tuban, Gresik dan

Surabaya. Di samping itu, ditemukan pula masyarakat Tionghoa Islam pada masa

lalu yang menetap di Demak, Cirebon, Lasem, Banten dan Semarang.

Di Tuban mereka merupakan sebagian besar dari penduduk yang menurut taksiran

mencapai seribu keluarga lebih. Demikian juga di Gresik, ketika Cheng Ho

singgah, mereka ada sekitar seribu keluarga. Di Surabaya sejumlah besar

penduduknya juga orang Tionghoa. Tentang pusat kegiatan dakwah Tionghoa,

Catatan tahunan Melayu beberapa kali menyebutkan daerah Jiao Tung. Istilah itu

mungkin dari kata Cina dari daratan, suatu nama yang ditemukan di selatan

pelabuhan Gresik dan sebelah utara Surabaya. Kata yang disebut-sebut tidak muncul

dalam buku-buku cerita Jawa, namun ada kecocokan dengan laporan Belanda.

MADZHAB MUSLIM TIONGHOA

Masyarakat Tionghoa Muslim generasi pertama itu dilaporkan oleh Catatan

Tahunan Melayu bermadzhab Hanafi. Kutipan berikut menyatakan hal itu :

1411-1416

Muslim/Hanafi Chinese Communities dibentuk pula di Semenanjung Malaya,

di Pulau Djawa dan di Filipina. Di Pulau Djawa didirikan masjid-masjid di

Antjol/Djakarta, Sembung/Tjirebon, Lasem, Tuban, Tse Tsun/Gresik,

Djaotung/Djoratan, Tjangki/Mojokerto dan lain-lain lagi

Fakta tentang kepengikutan mereka pada madzhab Hanafi itu didukung oleh

beberapa sejarawan. Dalam salah satu bukunya, Dabri de Thiersant, seperti dikutip

De Graaf dan Pigeaud menyatakan bahwa di antara empat madzhab Sunni yang

paling terkenal adalah madzhab Abu Hanifah. Mayoritas muslim Tionghoa

tampaknya menganut madzhab ini, akan tetapi sebenarnya mereka merupkan sekte

baru. M. Rafiq Khan dari Akademi Nasional, New Delhi menegaskan dalam salah

satu bukunya Mereka (muslim Cina Tionghoa, pen) menamakan diri mereka

sebagai orang Hanafi, dan di antara madzhab Sunni, mereka hanya mengikuti Imam

Hanafi. Mereka tidak mengenal Syiah dan Sunni.

Catatan tahunan itu menyebutkan bahwa Dinasti Ming di Tiongkok telah menjalin

hubungan dakwah dengan Jawa. Jalinan itu tercermin pada apa yang disebutnya

sebagai pengiriman beberapa dai yang bertugas menangani perkembangan

masyarakat muslim Tionghoa bermadzhab Hanafi, dengan mengambil Campa

sebagai pusatnya. Di Campa ditempatkan dai yang bernama Bong Tak Keng. Ia

menugaskan H.Gan Eng Cu untuk membina masyarakat muslim Hanafi di Manila.

Pada 1423, H.Gan Eng Cu dipindah ke Tuban untuk tugas yang sama di Jawa,

Kokang (Palembang), dan Sambas (Kalimantan).

Adanya jalinan hubungan Jawa dengan Tiongkok itu dibenarkan pula oleh kajian

lain. Denis Lombard menyebutkan bahwa dari tahun 1370 sampai akhir abad ke-15,

sejarah Dinasti Ming menyebutkan tidak kurang dari 43 duta kerajaan ke Jawa.

Sebanyak 41 duta kerajaan di antaranya melakukan kunjungan ke Jawa sepanjang

jangka waktu kira-kira satu abad, dari 1370 sampai 1465. Jalinan hubungan itu

terjadi dalam bidang perdagangan. Pada tingkat diplomasi, hubungan Tiongkok-

Jawa senantiasa cukup baik selama kurun waktu tersebut di atas. Kira-kira tahun

1410, keraton Cina (Tionghoa, pen) dengan resmi memihak Jawa ketika terjadi

konflik antara Jawa dengan Malaka yang menuntut kedaulatan atas Palembang.

Keraton Tionghoa mengirim sepucuk surat yang mengandung keputusan untuk

memihak kepada penguasa Majapahit.

Dalam laporan Catatan Tahunan, hubungan baik itu berlangsung pada paruh

pertama abad 15 dan dilaporkan berakhir pada pertengahan abad tersebut. Tandatanda

terputusnya hubungan itu terjadi berkaitan dengan kemerosotan reputasi

Dinasti Ming di Tiongkok. Hal itupun tidak berarti ada indikasi keretakan

hubungan apalagi konflik antara Jawa dan Tiongkok. Meski tahun-tahun tersebut

misalnya, agaknya bisa diperdebatkan, namun akibat dari itu terhadap kegiatan

dakwah mereka di Jawa lebih menarik perhatian. Salah satu akibat yang dimaksud

adalah keterputusan hubungan dakwah antara Tiongkok dengan komunitas Muslim

Tionghoa di Jawa. Komunitas muslim Tionghoa di Jawa semakin terpuruk dan

terisolasi seiring dengan upaya-upaya tertentu yang dilakukan oleh orang-orang

Eropa pada abad 16, 17 dan 18.

Orang-orang Eropa pada abad-abad tersebut gencar berupaya memisahkan

hubungan social antara muslim Tionghoa di Jawa dengan masyarakat pribumi

pada umumnya. Orang-orang Eropa menyebarluaskan isu yang kurang lebih

berdampak pada munculnya persepsi yang menganggap muslim Tionghoa di Jawa

sebagai orang asing timur. Dilaporkan, pada abad 18, masyarakat Tionghoa

peranakan di Batavia minta ijin jika hendak membangun masjidnya sendiri.

Selanjutnya terkait dengan identitas diri masyarakat pribumi yang berkembang

waktu itu, seperti kebanggaan mereka dengan mengidentifikasikan diri sebagai

keturunan Tionghoa di kalangan orang-orang Jawa yang pernah terjadi pada abad

15 dan 19, berhasil semakin dipudarkan oleh orang-orang Eropa.

Masih berkaitan dengan keterputusan dengan masyarakat Muslim Tiongkok,

masyarakat Muslim Tionghoa di Jawa pada perkembangan selanjutnya mengambil

keputusan lain. Bong Swi Hoo sebagai salah satu dai Tionghoa mengambil inisiatif

untuk merubah strategi dakwahnya. Semula dia berdakwah hanya kepada sesame

etnis Tionghoa. Dengan perubahan konstelasi politik di Tiongkok khususnya yang

berdampak pada keterputusan hubungan antara Tiongkok dengan Jawa, maka Bong

Swi Hoo mengembangkan obyek dakwahnya disamping pada etnis Tionghoa juga

mengikutsertakan etnis lain sebagai bagian dari obyek dakwahnya, yaitu masyarakat

muslim Jawa. Bahkan lebih dari itu, dakwah Bong Swi Hoo sering juga

menggunakan bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa dakwah Bong

Swi Hoo menarik untuk dicermati. Sedikitnya, pembauran etnis Tionghoa dan

Jawa telah berjalan dengan baik. Di samping itu, dia juga melakukan peralihan

madzhab dari Hanafiyah ke madzhab Islam Syafii. Namun demikian, kiranya perlu

segera ditegaskan, madzhab Hanafi yang dimaksud berbeda dengan madzhab Syafii

hanya dalam aspek peribadatan ritual semata. Orang-orang Hanafi menggunakan

bahasa Cina dalam ibadah ritualnya (salatnya) sementara orang-orang Syafii

menggunakan bahasa Arab.

BONG SWI HOO

Keberadaan tokoh Bong Swi Ho di Jawa bisa ditemukan hubungannya dengan

penempatan beberapa nama pegawai utusan dinasti Ming ke wilayah kepualauan

Selatan. Nama-nama pegawai Muslim Tionghoa itu adalah Hok Tak Keng, Gan

Eng Cu dan Ma Hong Fu. Mang Hong Fu adalah Muslim Tionghoa yang bertugas

sebagai duta muslim Tiongkok di Keraton Majapahit selama masa kekuasaan Ratu

Suhita. Dia menikah dengan putri Bong Tak Keng (muslim Tiongoa yang

ditugaskan di Campa). Sedangkan Bok Tak Keng tidak lain adalah kakek Bong Swi

Hoo. Adapun Gang Eng Cu yang semula bertugas di Manila, oleh Bong Tak Keng

dipindah ke Tuban.

Ki Ageng Manila, anak Gan Eng Cu menikah dengan Bong Swi Hoo. Gan Eng Cu

adalah mertua Bong Swi Hoo. Selanjutnya dilaporkan dalam Babad Tanah Jawa,

saudara dan keponakan Bong Swi Hoo yang bernama Raden Santri dan Burereh

menikah dengan putri-putri penguasa aristokrat lama (Arya Teja).

Jalinan perkawinan itu menarik perhatian, karena punya nilai strategis bagi

pengembangan dakwah Islam di Jawa. Di samping itu, berita pernikahan semacam

itu disebut dalam Babad Tanah Jawa (Walisana) ketika memberitakan Sunan Ampel

(Raden Rahmat), Sunan Giri (Sunan Gresik) dan Raden Alim Abu Hurairah (Sunan

Majagung). Berita tentang Bong Tak Keng juga ada kecocokan dengan laporan dari

tradisi Jawa mengenai Raden Rahmat sebagai keponakan putri Campa. Bong Tak

Keng dari Campa dan seorang ulama yang bernama Makdum Ibrahim Asmara,

suami dari seorang putri Campa dan yang disebut oleh tradisi Jawa sebagai ayah

Raden Rakhmat, bisa jadi adalah ayah dan anak. Adanya kecocokan-kecocokan

tersebut, boleh jadi dapat menjadi dasar untuk dapat menerima suatu pendapat yang

menegaskan bahwa Bong Swi Hoo adalah Raden Rahmad (Sunan Ampel).

DAKWAH BONG SWI HOO

Buku-buku Cerita Jawa dan Catatan tahunan Melayu sama ketika menyebut asalusul

Bong Swi Hoo, yaitu Campa. Ada perbedaan antara keduanya, antara lain

dalam hal tempat pembinaan agama yang diperoleh sebelum pergi ke Jawa. Catatan

tahunan Melayu melaporkan Bong Swi Hoo tinggal di Kukang (Palembang)

sebelum pergi ke Jawa. Di kota itu ia membantu Swan Liong (Arya Damar), pejabat

Muslim kerajaan Majapahit yang tinggal di sana dalam bidang dakwah. Hubungan

kemitraan dalam bidang dakwah itu dalam kenyataannya dapat dipikirkan sebagai

suatu upaya pembekalan atau pendampingan sebelum akhirnya berkiprah secara

mandiri dalam kegiatan dakwah di Jawa.

Pembekalan bidang dakwah yang diperoleh dari Swan Liong itu tidak disebut dalam

buku-buku cerita Jawa, meskipun tradisi Jawa tidak menolak ada hubungan antara

Bong Swi Hoo dengan Swan Liong. Sebelumnya, ia telah mendapatkan semacam

pembekalan dakwah dari ayahnya sendiri di Campa, Maulana Ibrahim.

Kedatangannya dari Campa ke Jawa disertai dengan saudara dan keponakannya,

tanpa melakukan persinggahan ke Palembang.

Di Jawa dia menemui Gan Eng Cu (yang dalam Walisana diidentikkan dengan Arya

Teja). Pada saat yang telah ditentukan, perkawinannya dengan putri Gan Eng Cu

dilngsungkan. Kemudian Bong Swi Hoo, saudara dan keponakannya memperoleh

wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah dakwahnya. Wilayah dakwah Bong Swi

Hoo di Surabaya, Raden Ali memperoleh wilayah di Gresik, sedang Burereh di

Majagung (Cirebon). Catatan Tahunan Melayu tentang dakwah Bong Swi Hoo

menceritakan peranannya dalam mendirikan masyarakat muslim syafiiyah di

Surabaya samapai meninggal dunia (1478), tanpa diceritakan dengan jelas peralihan

Bong Swi Hoo dari madzhab Hanafi ke madzhan Syafii. Catatan itu menekankan

pada perkembangan Islam di daerah-daerah pantai Surabaya, Semarang dan Demak.

Hal itu agaknya hendak menginformasikan perihal perkembangan simbiosis antara

orang Jawa dengan Tionghoa dengan dasar agama yang sama, yaitu Islam.

Dengan uraian di atas, nampak bahwa Catatan Tahunan Melayu memuji Bong Swi

Hoo sebagai dai Islam yang paling berpengaruh di kalangan penduduk Jawa Timur.

Ia dipandang orang pertama di antara dai Tionghoa yang menggunakan bahasa Jawa

dalam kegiatan dakwah. Namun agaknya pantas dicatat bahwa Bong Swi Hoo

punya pengaruh cukup penting dalam lingkungan masyarakat muslim Tionghoa.

Hal itu nampak pada keberadaannya di Jawa bersamaan waktunya dengan peristiwa

perubahan cara beribadat dari penggunaan bahasa Cina ke bahasa Arab, seperti

tampak pada peralihan madzhab. Dalam kontek dakwah, peralihan itu penting

karena ketentuan normatif dari ajaran Islam mensyaratkan bahasa Arab yang harus

dipakai ketika melakukan ibadah ritual (sholat).

Tentang Bong Swi Hoo, kesaksian Walisana tidak menggambarkannya sebagai

unsure manusia dalam dakwah yang paling berpengaruh dalam pengislaman Jawa. Ia

dilaporkan tak lebih dari sekedar salah seorang diantara para wali biasa, tidak

sepadan jika dibandingkan dengan Giri, wali terkenal dari Surabaya Jawa Timur.

Dicatat juga, meski sunan-sunan dari Giri itu bukan berasal dari etnis Tionghoa,

namun mereka tidak mengabaikan peran yang bisa dimainkan oleh orang-orang

Tionghoa Muslim. Walisana melaporkan, orang-orang Tionghoa Muslim bertindak

secara aktif sebagai pembantu dalam dakwah yang diprakarsai oleh sunan-sunan dari

Giri.

Dalam versi lain, dalam cerita-cerita Jawa ditemukan laporan tentang peran dakwah

cukup penting telah dilakukan oleh Bong Swi Hoom terutama pada generasi

berikutnya baik dari anak ataupun murid-muridnya. Di antaranya Sunan Bonang,

Tionghoa peranakan keturunan Bong Swi Hoo dengan Dyah Manila adalah seorang

wali yang berhasil mengislamkan Gan Sie Cang (Sunan Kalijaga), seorang kapten

Tionghoa di Semarang yang menurut Walisana semula lebih dikenal dengan sebutan

Brandal. Setelah perubahannya menjadi muslim, Gan Sie Cang terkenal sebagai

salah seorang wali di Jawa, melebihi guru-gurunya dalam kiprah dakwah. Oleh

karena itu pantas dinyatakan bahwa, meski pada orde reformasi ini kiprah Tionghoa

Muslim di Indonesia dalam dakwah Islam tidak sejelas ketika kita menengok etnis

Arab, namun sejarah generasi pertama etnis Tionghoa muslim di Jawa cukup jelas

menampilkannya seperti terlihat pada sosok Bang Swi Hoo.

PENUTUP

Rekonstruksi sejarah etnis Tionghoa dalam bidang dakwah, seperti tersebut di atas

terkait dengan generasi awal sejarah etnis Tionghoa di Jawa. Sumber-sumber yang

dipakai untuk rekonstruksi itu, terutama Laporan Tahunan Melayu adalah hasil

penelitian Poorman yang dinilai kontroversial. Sebagai suatu wacana, temuan

Poorman itu menarik untuk dicermati. Keterlibatan etnis Tionghoa di masa lalu

dalam kegiatan dakwah Islam, tidak tertutup kemungkinan benar-benar terjadi di

masa lalu. Namun demikian, kita menemukan adanya kelangkaan dokumen sejarah

tertulis yang menguatkan hal itu. Oleh karena itulah, sejarah-tertulis kemudian

mengasumsikan sebaliknya.

Gorong-gorong jalur candu di bantaran Sungai Lasem, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sudah tidak bersisa lagi. Gorong-gorong itu sudah terkubur sedimen sungai yang ditumbuhi pohon bambu. Di bawah pohon itu bertengger WC alias kakus.

Bekas gorong-gorong yang menyerupai terowongan itu merupakan saksi bisu sejarah perdagangan candu di Lasem. Melalui gorong-gorong itu, para pedagang menyelundupkan candu menggunakan perahu jukung menuju gudang penyimpanan di belakang Klenteng Makco.

Warga Desa Dasun, Turi Prasetyo (38), mengatakan, sekitar dua tahun lalu pintu air fondasi itu diambil dan dijual sejumlah warga. Pintu itu terdiri dari empat papan kayu jati seluas sekitar 4 meter persegi yang dipasang berjejer. ”Di bagian bawah pintu air itu terdapat balok-balok kayu jati yang juga sudah diambil sejumlah penduduk,” kata warga yang bertempat tinggal di samping depan fondasi galangan kapal tersebut.

Dua pemandangan itu merupakan sejumlah sajian para penyusur Sungai Lasem yang dipromotori Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Rembang, Minggu (29/11). Penyusuran sungai bersejarah itu dimulai dari depan Klenteng Makco menuju Pulau Gosong yang berjarak sekitar 8 kilometer. ”Kami ingin menginventarisasi dan mendokumentasikan peninggalan-peninggalan sejarah di sepanjang bantaran Sungai Lasem,” kata Ketua Umum MSI Rembang Edi Winarno.

Sungai Lasem kerap disebut dan dikenal sebagai Sungai Babagan. Sungai tersebut berhulu di Pegunungan Lasem dan berhilir di Laut Jawa. Sungai itu membelah kota tua Lasem, kota bagian timur dan bagian barat.

Di kota tua bagian timur terdapat Desa Soditan, Karangturi, Jolotundo, Sumbergirang, dan Ngemplak. Adapun kota bagian barat terdapat Desa Gedangmulyo, Dorokandang, dan Babagan.

Buku Sabda Badra Santi yang digubah S Reksowardojo (1966) menyebutkan, Sungai Lasem mulai dari Desa Babagan hingga muara sungai merupakan buatan saudagar China. Pada 1730, para saudagar dan pedagang China memperlebar dan memperdalam Sungai Lasem untuk memperlancar arus transportasi perdagangan.

Pelebaran dan pendalaman itu terjadi pada masa pemerintahan Oei Ing Kiat. Dia adalah Adipati Lasem bergelar Tumenggung Widyaningrat yang diangkat Paku Buwono II pada 1727. Bersamaan dengan itu, Widyaningrat membangun pelabuhan di depan Klenteng Dewi Laut atau Makco Tian Shang Sheng Mu. Pelabuhan itu berkembang pesat menjadi pelabuhan perdagangan antarpulau dan bangsa. ”Batik Lasem merupakan salah satu komoditas perdagangan di pelabuhan itu, selain garam, kayu jati, dan kain,” kata Slamet Widjaya, tokoh setempat.

Galangan kapal
Galangan kapal yang semula untuk membuat kapal perang Majapahit mulai dikembangkan menjadi galangan kapal dagang. Pada 1856-1858, ketika di bawah perusahaan Brawne an co, galangan itu terkenal se-Asia Tenggara. Dalam kurun waktu dua tahun, galangan itu mampu membuat 35 kapal.

Pada zaman Jepang, galangan difungsikan untuk membuat kapal pengangkut perlengkapan militer untuk dibawa ke Morotai dan Papua. Pada 1942, Jepang berhasil memproduksi 150 kapal dan pada 1943 membuat 127 kapal. Pada 1944, Jepang merencanakan membuat 700 kapal, tetapi hanya terealisasi 343 kapal. ”Galangan kapal itu hancur terbakar akibat politik bumi hangus tentara Indonesia yang mengincar bangunan-bangunan vital penjajah. Kini tinggal menyisakan fondasinya,” kata Slamet Widjaya.

Koninklijk Instituut voor Taal-Land-enVolkenkunde (KITLV) mencatat lebih dari 50.000 batang dan 75.000 papan kayu jati dikirim ke Belanda melalui Batavia. Sebagian besar kayu ini diangkut para pelayar dan pengusaha Tionghoa, sedangkan sekitar 15 persennya diangkut kapal pribumi.

Perdagangan tersebut semakin mengembangkan pecinan, pergudangan, dan kawasan produksi pengusaha Tionghoa, baik di sebelah barat maupun timur sungai. Namun, sekarang keriuhan perdagangan tak lagi terdengar dan kelihatan.

Tim Susur Sungai Lasem menemukan sejumlah keprihatinan lingkungan. Misalnya, hampir di setiap bantaran sungai terdapat WC liar dan tempat pembuangan sampah, penumpukan sawah di sungai, hutan mangrove yang kian sedikit, dan sedimentasi muara sungai.

Guru besar sejarah maritim Universitas Diponegoro, Semarang, Singgih Tri Sulistiyono, mengatakan, salah satu faktor kuat pudarnya peradaban perdagangan Lasem terkait erat dengan pembatasan gerak pengusaha Tionghoa dalam berbisnis. Misalnya, Belanda mengharuskan setiap pengusaha Tionghoa menginduk pada perusahaan Belanda. Hal itu menyebabkan banyak pengusaha Tionghoa bangkrut dan pergi meninggalkan Lasem mencari tempat usaha baru. ”Peradaban perdagangan itu juga pudar lantaran jumlah bahan baku barang-barang impor, misalnya kayu jati, turun. Selain itu, Sungai Lasem juga tidak dapat disandari kapal-kapal dagang besar lantaran sedimentasi dan kerusakan lingkungan lain,” katanya.

Kejayaan Sungai Lasem yang masih tersisa dan mendapat penghargaan tinggi adalah Kelenteng Makco Dewi Laut. Menurut anggota MSI Jateng, Titiek Suliyati, klenteng itu dahulu sengaja dibangun di bantaran sungai. Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, air merupakan unsur penting dalam segi peruntungan dan jalur strategis berniaga. ”Air, dalam konteks ini adalah Sungai Lasem, merupakan sarana transportasi dan pendistribusian barang,” katanya.

Arsitek asal Semarang, Widya Wijayanti, yang mengikuti kegiatan itu mengusulkan agar pemerintah melalui MSI mengusulkan Sungai Lasem dan kota tua Lasem menjadi kota pusaka atau cagar budaya (heritage town).

Legenda Pendekar Islam Negeri Cina

Komandan Armada yang dikenal dengan nama Cheng Ho atau Zheng He ini memang beragama Islam, dimana dikisahkan ayahnya pernah naik haji dan ia sendiri disunat sejak kecil. Namun perjalanan armada Cheng Ho bukanlah untuk menyebar-nyebarkan agama Islam di tempat yang disinggahinya, walau ia muslim.

Lebih layak kalau perjalanan armadanya adalah untuk riset, menagih upeti dari Majapahit dan mengamankan Sriwijaya dari serangan bajak laut yang juga orang-orang Cina. Kota Palembang sekarang yang banyak dihuni orang-orang berwajah Cina tapi beragama Islam mungkin bisa dijadikan kunci untuk menelisik lebih jauh tentang peran Cina muslim dalam islamisasi di Indonesia. Juga tentang keberadaan preman-preman Palembang yang kondang mungkin bisa dihubungkan dengan adanya perkampungan yang dihuni para bajak laut di masa lalu. Bagaimana dengan mpek-mpek? di daerah Cina selatan dikabarkan ada makanan sejenis itu yang mungkin merupakan cikal bakal mpek mpek Palembang.

Siapakah Cheng Ho sebenarnya?
Kisah pelayaran Cheng Ho tidak hanya menorehkan jejak sejarah yang mengagumkan di setiap negara yang dilaluinya (laporan khusus Time di bawah tajuk The Asian Voyage: In the Wake of the Admiral, ed. August 20-27, 2001) tetapi juga telah mengilhami ratusan karya ilmiah baik fiksi maupun non-fiksi serta penemuan berbagai teknologi kelautan-perkapalan di Eropa khususnya pasca penjelajahan sang maestro.

Legenda Sinbad Sang Pelaut yang begitu populer di Timur Tengah juga terinspirasi oleh kisah legendaris Cheng Ho. Di Indonesia, terutama Jawa, juga terdapat jejak historis yang tak terbantahkan sebagai pengaruh misi muhibah Cheng Ho. Selain itu, juga cukup banyak berbagai karya sastra yang bertutur tentang Cheng Ho/Sam Poo Kong seperti yang ditulis Remy Silado (saya sendiri belum membaca, disarikan dari resensi seorang teman).

Cerita lisan Dampu Awang yang begitu kuat di masyarakat pesisir utara Jawa juga disinyalir merupakan pengaruh dari legenda itu. Jadi siapakah Cheng Ho sehingga pengaruhnya begitu besar?
Cheng Ho sebetulnya adalah nama yang diberikan oleh Cheng Tzu atau Chu Teh yang lebih populer dengan sebutan Yung Lo, kaisar ke-3 Dinasti Ming yang berkuasa dari tahun 1403 sampai 1424. Nama asalnya adalah Ma Ho, lahir 1370 M dari keluarga miskin etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas muslim Tionghoa campuran Mongol -Turki. Karena jasanya dalam turut mengkudeta Kien Wen, akhirnya Ma Ho diberi jabatan penting oleh Kaisar Yung Lo sebagai pemegang komando atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana yang melayani kaisar sebagai polisi rahasia (Seagrave, 1999).


Ini merupakan jabatan sangat berpengaruh, sebagai bukti kepercayaan sang kaisar pada Cheng Ho, ia diberi mandat untuk memimpin ekspedisi laut sebagai Commander in Chief lewat sebuah dekrit kerajaan (Imperial Decree). Sementara wakil dan sekretaris masing-masing dipegang oleh Laksamana Muda Heo Shien (Husain) dan Ma Huan serta Fei Shin (Faisal) sebagai juru bahasa Arab, selain Ma Huan yang memang mahir berbahasa Arab juga Hassan, seorang imam di bekas ibukota Sin An (Changan). Dalam menjalankan politik diplomasi laut ini, Kaisar Yung Lo mengeluarkan armada berjumlah 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran lebih kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk di dalamnya ahli astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa, ahli geografi, para tabib, juru tulis dan intelektual agama. Kisah itu kemudian ditulis antara lain di Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming).

Sejak 1405, awal mula Cheng Ho mengadakan pelayaran sampai wafatnya, 1433 ia telah mengadakan pelayaran selama 7 kali dan mengunjungi lebih dari 37 negara: dari berbagai pelabuhan di Nusantara dan Samudra Hindia sampai ke Sri Langka, Quilon (Selandia Baru), Kocin, Kalikut, Ormuz, Jeddah, Magadisco dan Malindi. Dari Campa hingga India, dan dari sepanjang Teluk Persia dan Laut Merah hingga pesisir Kenya.

Dilihat dari kuantitas dan waktu, ekspedisi Cheng Ho jauh melampaui para pengembara mana pun di Eropa: Chistopher Columbus, Vasco da Gama, Ferdinand Magellan, Francis Dranke dan lain-lain. Karena prestasinya yang luar biasa menjadikan Cheng Ho semakin dimitoskan dan diberi julukan kaisar sebagai Ma San Bao ("Ma" si Tiga Permata). Julukan sebagai ungkapan rasa sayang dalam adat Tionghoa. Setelah Cheng Ho meninggal dunia karena sakit pada tahun 1435, di usia 65 tahun, ia dimakamkan di Niushou (Bukit Kepala Banteng), Nanjing, Cina Daratan.

Dalam komunitas Tionghoa dewasa ini, terlepas dia seorang muslim atau tidak, tokoh Cheng Ho menjadi semacam tokoh mitologi yang diagungkan. Ia tidak hanya dipuja dan dikagumi sebagai seorang Bahariwan Agung tetapi juga disembah sebagai dewa di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Poo Kong terutama oleh penganut agama leluhur Tionghoa. Di kemudian hari,sang maestro ini dikenal dengan berbagai sebutan: Sam Poo Tay Djin, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa Lang dan lain-lain.

Ini adalah sebuah anakronisme historis. Sebab Cheng Ho yang manusia biasa dan muslim itu kemudian diberhalakan sebagai dewa yang disembah di kelenteng. Lebih menyedihkan lagi, sejarah Cheng Ho selalu ditulis secara hagiografis yaitu berlebih-lebihan yang cenderung melampaui manusia lumrah bukan menggunakan pendekatan sejarah kritis. Akibatnya, sosok Cheng Ho tampil sebagai manusia yang nyaris sempurna yang hanya pantas ada di alam mitos. Padahal Cheng Ho adalah seorang Muslim Tionghoa lumrah sebagaimana lainnya yang tentu memiliki berbagai keterbatasan. Jasa terbesar dia barangkali adalah telah menjalin persahabatan antara Tiongkok dengan negara atau kerajaan lain di dunia ini yang diperkukuh dengan pertukaran kebudayaan yang masih tampak hingga dewasa ini, termasuk di Jawa.

Sino-Javanese Muslim Cultures
Memang telah terjadi apa yang disebut "Sino-Javanese Muslim Cultures" yang membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan Tionghoa Islam lain dengan Jawa. Bentuk Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak hanya tampak dalam berbagai bangunan peribadatan Islam misalnya masjid, yang menunjukkan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga berbagai seni/sastra, batik, ukir dan unsur kebudayaan lain. Sayang, fenomena Sino-Javanese Muslim Cultures itu tidak terpelihara dengan baik bahkan oleh masyarakat Tionghoa muslim sendiri.

Banyak dari mereka yang tidak mengerti mengenai asal-usul/genealogi mereka. Para sejarawan Tanah Air juga sangat langka yang merawat atau memelihara kesejarahan akulturasi Tionghoa, Islam, Jawa ini. Mereka umumnya terkena penyakit intellectual laziesness atau kemalasan intelektual untuk melakukan penggalian sejarah yang memang minim dokumentasi tertulis ini.

Perpustakaan Nasional juga tidak menyimpan dokumen-dokumen berharga kaitannya dengan kesejarahan Jawa terutama Jawa prakolonial sebuah kurun di mana perjumpaan Tionghoa, Islam, Jawa mengalami intensitas tinggi. Oleh karena itu sangatlah wajar apabila setiap kali diadakan pembicaraan mengenai asal-usul Islam di Jawa, para sejarawan selalu mengulang-ulang teori klasik, sekaligus klise, yakni bahwa Islam yang tersebar di Jawa ini melalui para pedagang dari India Belakang (Gujarat) dan Timur Tengah terutama Persia. Padahal jika kita mau jujur, bangsa Tionghoa-lah sebetulnya yang memiliki peran cukup signifikan dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya.
Argumentasi ini tidak hanya didasarkan pada laporan sejarah yang dilakukan Ma Huan (seorang muslim Tionghoa yang juga sekretaris Cheng Ho) yang pada abad ke-15 mengunjungi pesisir Jawa tetapi juga oleh beberapa pengembara asing lain seperti de Baros (Portugis), Ibnu Battuta (Maghrib), dan Loedwicks (Belanda). Teks-teks babad lokal juga menceritakan adanya orang-orang Tionghoa muslim yang mempunyai pengaruh kuat dalam proses penyebaran Islam di Jawa.

Fakta yang tak terbantahkan tentu saja adalah apa yang saya sebut Sino-Javanese Muslim Cultures tadi. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan, Jepara , menara masjid di pecinan Banten (Jawa Barat), konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik (Jawa Timur), arsitektur Keraton dan Taman Sunyaragi di Cirebon (Jawa Barat), konstruksi Masjid Demak (Jawa Tengah) terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kuranya, konstruksi Masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya semuanya menunjukkan adanya keterpengaruhan budaya Tionghoa yang sangat kuat.

Peninggalan sejarah yang tak terelakkan dari masyarakat Tionghoa muslim adalah dua masjid kuno yang berdiri megah di Jakarta, yakni Masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai. Bukti-bukti kesejarahan ini belum termasuk kelenteng kontroversial yang diduga kuat oleh beberapa sejarawan sebagai bekas masjid yang dibangun masyarakat Tionghoa muslim pada abad ke-15/16. Kelenteng-kelenteng dimaksud adalah Kelenteng Ancol (Jakarta), Kelenteng Talang (Cirebon), Klenteng Gedung Batu (Simongan, Semarang), Kelenteng Sampokong (Tuban) dan Kelenteng Mbah Ratu (Surabaya). Inilah sekelumit dari fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas.

Fakta Sino-Javanese Muslim Cultures di atas sekaligus menunjukkan bahwa komunitas Tionghoa di negeri ini pernah hidup berdampingan secara damai dengan etnis lain, Jawa, Betawi. Mereka tidak hanya saling tukar-menukar kebudayaan tetapi lebih dari itu juga mengadakan perkawinan silang dengan perempuan setempat karena kita tahu para pengembara Tionghoa pada waktu itu semuanya laki-laki. Kata nyonya yang begitu melekat dalam masyarakat kita pada awalnya berasal dari akar kata Hokian "nio" atau "niowa" yang berarti perempuan lokal yang dinikahi laki-laki Tionghoa.

Dari sinilah maka tidak mengherankan apabila banyak masyarakat Indonesia yang sebetulnya masih memiliki darah Tionghoa. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan adanya tembong biru pada pantat atau bagian bawah lain dari bayi yang baru lahir. Tembong biru itu mengisyaratkan bahwa si bayi mempunyai darah Mongoloid atau darah Tionghoa (Mongoolse Vlek).

Fakta harmoni Tionghoa-Jawa ini kemudian dirusak oleh Belanda dengan menerapkan politik segregasi berupa passenstelsel, keharusan bagi setiap orang Tionghoa untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat mereka tinggal, dan wijkenstelsel, pelarangan bagi Tionghoa untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun satu ghetto yang kemudian dikenal dengan Pecinan sebagai tempat tinggal. Sejak itu Tionghoa menjadi terisolasi dari publik ramai, dan menjadi eksklusif. Fakta ini diperparah dengan adanya penulisan sejarah Jawa yang Nerlando-centris sehingga semakin mengucilkan peran dan eksistensi masyarakat Tionghoa terlebih Tionghoa muslim di Indonesia. Hal inilah yang sepatutnya kita luruskan bersama

Batik Lasem mempunyai ciri khas multikultural ­Jawa-Tionghoa yang ­kental. Pesonanya tampak pada warna-warni yang cerah serta motifnya yang khas. Batik merupakan salah satu ciri khas budaya Indonesia. Dari motif dan warnanya, kita bisa tahu dari daerah mana batik itu berasal.Di Lasem, Jawa Tengah, motif dan warna batiknya kental dengan ciri multikultural antara budaya Jawa dan Tionghoa.Hal ini terjadi karena pada zaman Kerajaan Majapahit, kota Lasem merupakan salah satu dari tiga kota pelabuhan terbesar.

Buku Serat Badra Santi (Babad Tanah Lasem) yang ditulis pada tahun 1479 me­ngatakan bahwa kota ini pernah disinggahi salah seorang nahkoda kapal dari rombongan Laksamana Cengho. Puteri Na Li Ni, istri sang nahkoda kapal, merupakan salah seorang perintis dunia perbatikan Lasem.

Tradisi itu kini diwarisi oleh pengrajin batik di Rembang khususnya Lasem, Pancur, Pamotan dan Rembang. Motif khas Tionghoa itu bisa terlihat dalam gambar burung hong, kilin, liong, ikan mas, ayam hutan dan sebagainya. Ada juga motif bunga seperti seruni, delima, magnolia, peoni atau sakura.

Ciri khas motif Tionghoa lainnya bisa dilihat dalam motif geometris seperti swastika, banji, bulan, awan, gunung, mata uang atau gu­lungan surat. Motif Tionghoa ini berpadu dengan motif Jawa yang umum terdapat dalam batik khas Jogjakarta dan Solo, seperti parang, lereng, kawung, udan liris dan lain-lain.

Warna dominan batik Lasem adalah merah, biru, soga, hijau, ungu, hitam, krem, dan putih. Warna-warna ini adalah juga pengaruh dari silang budaya. Warna merah dalam batik Lasem adalah pengaruh dari budaya Tionghoa. Warna biru berasal dari pengaruh budaya Eropa (Belanda). Warna soga berasal dari pengaruh budaya Jawa, diambil dari warna batik Solo. Sedangkan hijau akibat pengaruh komunitas muslim.

Contoh jelas kombinasi warna ini bisa dilihat dari “batik tiga negeri” khas Lasem. Batik yang dikembangkan pada zaman Hindia Belanda ini mempunyai tiga warna khas yang dibuat di tiga wilayah produksi. Merah diproduksi di Lasem, Biru diproduksi di Pekalongan dan soga diproduksi di Solo. Warna biru bisa diganti dengan hijau atau ungu berdasarkan selera pemesan. Tapi warna merah dan soga terdapat di semua batik tiga negeri.

Sejak abad ke-19, pemasaran batik Lasem sudah menembus seluruh pulau Jawa, Sumatera, semenanjung Malaka (termasuk Singapura dan Malaysia), Bali, Sulawesi, wilayah Asia Timur (Jepang), Suriname dan Eropa.

Pengaruh penyebaran batik Lasem di zaman itu masih bisa dilihat di daerah Bali, Lombok, sumbawa dan Sumatera Barat. Di Bali, kain batik Lasem bermotif Lok Can dipakai sebagai selendang atau ikat pinggang pada berbagai upacara agama. Di Lombok dan Sumbawa, batik Lasem digunakan sebagai syal para pria. Sedangkan wanita di Sumatera barat menggunakan batik Lasem sebagai selendang.

Budaya-budaya lokal tersebut pada gilirannya juga memberi pengaruh pada batik Lasem, yang menginspirasi dimensi ukuran, motif, warna dan jenis kain menjadi lebih beragam

Penyiar Islam Pertama di Nusantara

BUKU Sejarah Indonesia sejak SD mengajarkan, bahwa penyebar agama Islam di Indonesia adalah bangsawan dari Gujarat (India). Sampai selesai kuliah pun Penulis masih percaya demikian. Setelah Orde Baru runtuh dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menjadi Presiden, muncullah "pengakuan" cucu pendiri NU ini bahwa dirinya masih berdarah Tionghoa. Dia memiliki silsilah marga Tan (Chen). Sebelumnya jarang atau hampir tidak ditemukan literatur Indonesia yang menyingkapkan bahwa Wali Songo berasal dari etnis Tionghoa.

Pada tahun 1407, di Sambas terdapat Komunitas Tionghoa Muslim di bawah pimpinan Haji Gan Eng Tju alias Arya Teja bermazhab Hanafi. Tahun 1463, Laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar ke-4 dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nanyang (Asia Tenggara). Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut.



Kerajaan Islam Pertama

Dekade terakhir abad ke-15, berdiri Kerajaan Demak yang berlangsung dari tahun 1475 sampai 1568. Pendiri Kerajaan Demak ini adalah putera dari Haji Chen Xuanlong (Tan Swan Liong) dari Palembang (Sumatera Selatan), yang pada masa itu merupakan daerah permukiman komunitas Tionghoa yang besar dan mayoritas beragama Islam. Nama putera Haji Tan Swan Liong adalah Chen Jinwen alias Panembahan Tan Jin Bun atau Raden Patah/Arya (Cu-Cu) Sumangsang atau Prabu Anom. Portugis menunjuknya sebagai Pate Rodin Senior. Menurut Tome Pires, seorang penjelajah Portugis, Panembahan Tan Jin Bun yang lebih dikenal sebagai Raden Patah (Fatah) ini adalah seorang "persona de grande syso" (seorang tokoh yang sangat bijak), seorang "cavaleiro" (bangsawan/ksatria terhormat). Prof. Slamet Mulyana menjelaskan makna Jinwen atau Jin Bun adalah "orang kuat".

Elit penguasa Kerajaan Demak mayoritas adalah keturunan Tionghoa. Sebelum kedatangan dan terjadinya kolonisasi oleh bangsa Eropa, perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa adalah hal yang biasa terjadi. Dr Pigeaud dan Dr De Graaf melukiskan keadaan abad ke-16 sebagai berikut: Di kota-kota pelabuhan Pulau Jawa, elit penguasa mayoritas terdiri atas keluarga Tionghoa, dimana di antara anggota keluarga yang pria mengambil wanita Jawa sebagai isteri mereka.

Berbagai sumber sejarah Jawa juga mengungkapkan bahwa pada abad ke-16 banyak sekali orang Tionghoa yang tinggal di kota-kota sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa. Di luar daerah Demak, orang Tionghoa banyak yang sudah menetap di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Shi Cun), dan Surabaya (Shi Shui). Kebanyakan Tionghoa Muslim ini juga memiliki nama Arab atau nama Islam.

Salah seorang cucu Raden Patah (Tan Jin Bun/Chen Jinwen) memiliki ambisi menyamai Sultan Ottoman dari Kerajaan Turki. Menurut de Graaf dan Pigeaud, Sultan terakhir dari Kerajaan Demak, Tan Muk Ming/Chen Mumin alias Sunan Prawata, berkata kepada Manuel Pinto, bahwa dirinya sedang berjuang keras untuk menjadi "o segundo Turco" (Sultan Turki kedua) setara dengan kebesaran Sultan Sulaiman I dari Ottoman. Terbukti bahwa selain naik haji, ia juga mengunjungi Turki.



Penyebar Islam Masa Lalu

Sejumlah sumber informasi Jawa menekankan bahwa sultan-sultan Demak adalah keturunan Tionghoa. Terlalu panjang untuk menyebutkan satu persatu nama tokoh bersejarah Tionghoa di Kerajaan Islam Jawa, karena jumlahnya sangat banyak. Namun yang terpenting di antaranya adalah Raden Hussein (Pang Jinshan/Bong Kin San, sepupu Raden Patah atau Chen Jinwen); Sunan Bonang (An Wen'an/An Bun Ang); Sunan Drajat (Pang Dajing/Bong Tak Keng, putera Sunan Ampel alias Rahmat Pang Suihe/Bong Swie Ho); Sunan Kalijaga (Gan Xichang/ Gan Si Chang); Sunan Kudus (Jaffar Zha Dexu/Ja Tik Su); Haji Maulana Ifdil Hanafi alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat, Indrasena komandan terakhir Pasukan Bersenjata Sunan Giri; Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan yang merupakan suami Ratu Kalinyamat; Ki Rakim; Nyi Gede Pinatih (Shi Taining/Sie Tay Nio), ibu Raden Paku dan puteri dari Laksamana Shi Jinqing/Sie Chin Ching, yang dipertuan masyarakat Tionghoa di Palembang. Demikian juga Puteri Chen Wangtian/Tan Ong Tien, yakni puteri Haji Chen Yinghua isteri dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah Du Anbo/Toh A Bo), pendiri Kesultanan Cirebon; Cekong Mas (dari keluarga Han), makamnya terdapat di mesjid Prajekan dekat Situbondo, Jawa Timur, dan dianggap sebagai tempat ziarah yang suci; Adipati Astrawijaya, yang diangkat sebagai wedana oleh Kompeni Hindia Belanda, namun berpihak kepada para pemberontak Tionghoa di Semarang yang melawan Belanda pada tahun 1741, dan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Secodiningrat (Chen Jinxing/Tan Jin Seng). Menurut Prof. Slamet Mulyana, dari garis keturunan patrilinealnya, Sunan Giri merupakan cucu dari Rahmat Wang Suihe, seorang Muslim Tionghoa dari Propinsi Yunnan, Tiongkok, yang menjabat sebagai gubernur Champa (kini Vietnam), sebelum bermigrasi ke Jawa dimana ia menjadi kepala koordinator masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara.

Pengaruh arsitektur Tiongkok tampak jelas dalam desain masjid-masjid di Jawa. Muslim Mazhab Hanafiyah-lah yang pertama kali mendarat di Sumatera Selatan dan Jawa dari daratan Tiongkok pada masa Dinasti Yuan dan Ming. Prof. Mulyana berpendapat bahwa jika Islam di Pantai Utara Jawa berasal dari Malaka atau Sumatera Timur, maka pasti mereka merupakan Mazhab Syafii atau Shiah. Namun kenyataannya tidak demikian. Ia menekankan, sampai abad ke-13 hanya ada Mazhab Hanafi di Asia Tengah, Tiongkok, India Utara, bagian-bagian tertentu di Timur Tengah/Maghreb (Islam Afrika Utara) dan Turki.

Gelombang emigrasi besar-besaran dari Tiongkok ke Sumatera Selatan, Jawa dan wilayah lain Asia Tenggara terjadi sejak 1385, 17 tahun setelah kekuasaan Dinasti Ming. Jauh sebelumnya, Champa telah dikuasai Nasaruddin, seorang jenderal Muslim yang berasal dari pasukan Kublai Khan. Jenderal Nasaruddin diperkirakan telah menyebarkan Islam ke Cochin China. Terdapat sejumlah pusat Tionghoa-Muslim di Champa, Palembang dan Jawa Timur.

Tahun 1413 ketika Laksamana Cheng Ho (Zheng He) dan Laksamana Muhammad Ma Huan bersama armadanya tiba di Jawa, ia mencatat bahwa kebanyakan penduduk Tionghoa di sana beragama Islam seperti juga orang Dashi (Arab). Pada masa itu di sana belum ada orang Jawa yang memeluk agama Islam. Antara tahun 1513-1514, Tome Pires melukiskan Gresik di Jawa Timur sebagai sebuah kota makmur yang dikuasai orang Tionghoa. Pada tahun 1451, Ngampel Denta didirikan Rahmat Wang Suihe alias Sunan Ampel untuk menyebarkan Islam ke penduduk setempat. Sebelum itu, ia telah menyiapkan sebuah pusat Tionghoa-Muslim di Bangil (Jawa Timur).



Sebutan Kyai dan Sunan

Sangat menarik untuk dicatat bahwa setidak-tidaknya sampai masa pendudukan Jepang (1942-1945), di kota Malang, Jawa Timur, penduduk setempat masih menyebut orang Tionghoa yang baru datang sebagai "Kyai". Kyai berarti pengajar agama Islam (Islamic religious teacher). Sementara kebanyakan orang Tionghoa yang kemudian datang ke Asia Tenggara sudah bukan merupakan Muslim. Kebiasaan ini berasal dari masa lalu ketika kebanyakan para penduduk/pendatang Tionghoa di Jawa adalah Muslim. Gelar Sunan berasal dari dialek Hokkien (Fujian): "Suhu". Delapan dari Wali Songo menggunakan gelar Sunan, salah satunya menggunakan gelar Syekh yang berasal dari bahasa Arab; ke-9 Wali tersebut merupakan Tionghoa-Muslim dari Mazhab Hanafi. Kesimpulan logis dari catatan ini adalah bahwa para penyebar Islam dari Mazhab Hanafi tersebut adalah orang Tionghoa.

 

 KERJA SAMA INDONESIA-TIONGKOK

DARI SISI KEBUDAYAAN

1. Latar Belakang

Bermula dari hubungan perdagangan antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Tiongkok, misalnya dengan Arab, India, Asia Tenggara daratan, Nusantara, dan Jepang. Berdasarkan data tertulis yang berupa catatan harian para pendeta Tiongkok dan komoditi perdagangan Tiongkok yang pada masa itu berupa barang-barang keramik, dapat diketahui bahwa masyarakat di Nusantara telah berhubungan dengan Tiongkok sekurang-kurangnya sejak kuartal pertama millenium pertama Masehi. Sebelum itu memang sudah ada tetapi tidak berhubungan secara langsung.

Bukti-bukti arkeologis dan sejarah menunjukkan bahwa pelayaran niaga melintasi Laut Tiongkok Selatan untuk pertama kalinya terjadi antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi. Tetapi bukti yang pasti mengenai pelayaran niaga antara Nusantara (Indonesia) dan Tiongkok berasal dari abad ke-5 Masehi. Keadaan pelayaran itu diberitakan oleh dua orang pendeta Buddha, yaitu Fa Hsien dan Gunawarmman.

Intensitas tinggi hubungan perdagangan dengan Tiongkok terjadi pada kurun waktu abad ke-7-13 Masehi. Pada masa itu komoditi yang diperdagangkan dari Tiongkok berupa barang-barang keramik, sedangkan dari Nusantara berupa hasil bumi, hasil tambang (emas), dan hasil hutan (kapur barus). Masyarakat dari kedua bangsa ini melakukannya secara tidak resmi, tetapi bukan berarti illegal.

Kunjungan resmi oleh utusan kaisar Tiongkok mungkin baru dilakukan pada tahun 449 Masehi, yaitu oleh Kaisar Liu Song. Inilah awal kunjungan resmi orang Tionghoa ke Nusantara. Selanjutnya orang-orang Tionghoa yang datang ke Nusantara atau orang dari kerajaan di Nusantara ke Tiongkok menjadi semakin banyak dengan urusan yang berbeda-beda (perdagangan, politik dan agama).

Sejalan dengan lajunya intensitas perdagangan, tentu saja terjadi kontak budaya antara Tiongkok dan Nusantara, antara lain dalam bidang agama. Biasanya dalam sebuah armada dagang, turut juga pendeta agama Buddha, misalnya Fa Hsien (abad ke-5 Masehi) dan I tsing (abad ke-7 Masehi). Catatan sejarah yang ditemukan di Kanton menyebutkan pada tahun 1067-1079 Masehi seorang penguasa Sriwijaya membantu pemugaran sebuah kuil agama Tao yang bernama Tien Qing di Kanton. Selain membantu pembangunan, penguasa itu juga membeli tanah sawah di sekitar kuil yang hasilnya digunakan untuk pemeliharaan kuil.

 

1

PETA PERDAGANGAN NUSANTARA – TIONGKOK ABAD KE TUJUH MASEHI

2

Pada masa-masa yang kemudian, tidak hanya kerajaan di Nusantara yang membantu Tiongkok, Kaisar Tiongkok pun membantu salah satu kerajaan di Nusantara. Di Muara Jambi ditemukan sebuah gong yang bertulis tentang pemberian gong tersebut oleh Kaisar Chao Jing pada tahun 1331 Masehi untuk ditempatkan di sebuah bangunan suci.

Pada masa Majapahit (abad ke-14-15 Masehi), hubungan dengan kekaisaran Tiongkok lebih intensif lagi. Mungkin sistem moneter Kerajaan Majapahit juga mengikuti sistem moneter Tiongkok. Banyaknya koin Tiongkok yang ditemukan di Nusantara (Jawa Timur) menunjukkan hal itu.

Kedatangan Cheng Ho ke beberapa tempat di Nusantara, seperti Gresik, Palembang, Lambri (Banda Aceh), dan Samudra Pasai pada tahun 1404-1409 sesungguhnya merupakan misi kebudayaan utusan Kekaisaran Tiongkok (Yung Lo), bukan misi “kapal meriam” yang merupakan unjuk kekuatan. Bahkan di Palembang turut membantu menumpas bajak laut Tionghoa yang bernama Liang Tau Ming.

Terjalinnya hubungan dagang, agama, dan politik dengan Tiongkok di masa lampau, tidak mustahil timbul pula komunitas-komunitas Tionghoa di beberapa tempat di Nusantara. Beberapa kota di Nusantara yang menunjukkan identitas kentalnya unsur budaya Tiongkok, dapat ditemukan di Palembang, Tuban, Lasem, dan Singkawang. Bahkan di Jakarta pun masih ditemukan unsur budaya Tiongkok yang intangible.

2. Alasan

Hubungan budaya antara Nusantara (Indonesia) dan Tiongkok sudah berlangsung lama. Berbagai tinggalan budaya baik yang tangible maupun yang intangible banyak ditemukan di berbagai tempat di Nusantara, terutama di kota-kota yang banyak dimukimi oleh komunitas Tionghoa secara turun temurun. Kota Palembang, sejak masa Sriwijaya sudah lama menjalin hubungan dagang dengan Tiongkok, dan di kota itu tinggal komunitas Tionghoa. Pada masa Kesul-tanan Palembang-Darussalam, orang-orang Tionghoa turut serta membangun keraton Sultan. Di Bangka, pada awalnya komunitas Tionghoa yang mengelola penambangan timah dan hasilnya untuk Kesultanan Palembang-Darussalam.

Tuban dan Lasem merupakan sebuah kota di wilayah pantai utara Jawa. Di kedua kota ini tidak ada istilah “Pecinan” karena komunitas Tionghoa telah lama berbaur dengan penduduk asli Jawa. Mereka tinggal di antara permukiman pribumi dengan tata-letak rumah tinggalnya seperti umumnya rumah tinggal di Tiongkok daratan. Komunitas Tionghoa yang tinggal di kota ini diketahui ke-

3

beradaannya sejak masa Majapahit (abad ke-14 Masehi) atau bahkan sebelum-nya [Kadiri (abad ke-11-12 Masehi) atau Singhasari (abad ke-13 Masehi)].

Kedatangan Misi Kebudayaan Cheng Ho ke Nusantara pada tahun 1404-1409 banyak membawa perubahan pada komunitas Tionghoa di Nusantara. Perubahan itu terletak pada sistem kepercayaannya dan gaya hidup. Awalnya mereka beragama Buddha atau Kong Hu Chu, setelah kedatangan Cheng Ho banyak yang beralih ke Islam. Banyak tempat ibadah Tionghoa di pantai utara Jawa yang dikaitkan dengan peninggalan Cheng Ho, meskipun tempat tersebut tidak pernah dikunjungi Cheng Ho. Dalam hal berniaga, orang-orang Tionghoa Muslim berbeda dengan Tionghoa non Muslim, terutama dalam hal etos kerjanya. Mereka cenderung hanya sekedar mencari rejeki halal cukup untuk makan keluarga.

Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa hubungan kebudayaan antara Indonesia dengan Tiongkok sudah berlangsung lama. Namun selama kurun waktu itu, hubungan tersebut tidak selalu berlangsung mulus. Berbagai gejolak politik dapat mengakibatkan renggangnya hubungan kebudayaan dan perda-gangan. Sebut saja misalnya sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965, hubungan kebudayaan antara Tiongkok dan Indonesia sempat terputus, dan mulai pulih kembali pada sekitar tahun 1980-an. Keadaan ini sangat merugikan kedua bangsa yang telah lama menjalin hubungan budaya, khususnya dalam bidang perdagangan.

3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan alasan yang telah dikemukakan terse-but, kedua bangsa perlu mempererat hubungan kebudayaan seperti yang terjadi pada masa lampau, dengan kegiatannya antara lain:

• Membuat semacam kota kembar (Sister City) yang didasarkan atas latar belakang sejarah di masa lampau, misalnya antara Kanton dengan Palembang;

• Meningkatkan hasil produksi yang berlatar belakang budaya yang sama dengan cara tukar menukar pengrajin. Sebagai contoh, misal-nya seni membuat barang-barang lakuer di Palembang dengan yang ada di Tiongkok; Seni membatik seperti yang dilakukan komunitas Tionghoa di Tuban dan Lasem; Seni membuat barang keramik seperti yang dilakukan komunitas Tionghoa di Singkawang.

• Melestarikan tinggalan budaya intangible yang pada saat ini hampir punah, misalnya dalam seni-tari dan seni wayang (wayang Tiongkok)

• Melakukan tukar menukar misi kebudayaan antara Indonesia dan Tiongkok, terutama untuk hasil-hasil budaya yang mempunyai akar budaya yang sama.

 

4

 

• Tukar menukar informasi bidang kebudayaan, seperti sumber-sumber sejarah tentang Tiongkok yang ada di Indonesia, dan sumber sejarah tentang Indonesia yang ada di Tiongkok. Kajian data sejarah ini sangat penting, terutama yang menyangkut sejarah Indonesia di masa lampau.

 

Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya sampaikan untuk menyi-kapi tindak lanjut kunjungan Presiden Republik Indonesia ke Tiongkok beberapa waktu yang lalu.

Jin Bun dan Raden Patah, Cina dan Islam Nusantara

TAHUN 1475 tak kurang dari 1.000 tentara Demak di bawah pimpinan Jin Bun menyerang Semarang.

Setelah merebut kota dari kekuasaan orang-orang Tionghoa yang tidak lagi memeluk agama Islam (murtad), Jin Bun mendatangi Klenteng Sam Po Kong dan melindunginya dari kemarahan pasukan Demak.

Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
Prof. Dr. Slamet Muljana
LkiS, Jogjakarta, Maret 2005
xxvi + 304 halaman

Setahun sebelum penyerangan itu, Jin Bun mengunjungi Klenteng Sam Po Kong. Di dalam klenteng yang sebelumnya adalah masjid yang didirikan orang-orang Tionghoa muslim atau dikenal dengan sebutan Hanafi, Jin Bun memanjatkan doa agar suatu hari kelak dia diberi kesempatan mendirikan sebuah masjid di Semarang. Sebuah masjid yang sepanjang zaman akan tetap menjadi masjid. Tidak seperti Klenteng Sam Po Kong yang karena kelalaian orang Islam akhirnya berubah fungsi.

Kemerosotan keislaman di kalangan orang-orang Tionghoa Semarang berkaitan dengan melemahnya kekuasaan Dinasti Ming di Daratan Tiongkok. Sejak armada Dinasti Ming tak datang lagi ke Semarang, hubungan antara orang-orang Tionghoa muslim dengan sanak saudara mereka di Daratan Tiongkok pun terhenti. Dan sejak itu pula satu persatu masjid di Semarang dan Lasem yang dibangun di era Laksamana Cheng Ho berubah menjadi klenteng, lengkap dengan patung-patung yang diletakkan di bagian mimbar masjid.

Setelah menguasai Semarang, Jin Bun mengampuni orang-orang Tionghoa yang telah murtad. Sebaliknya, orang-orang Tionghoa tersebut berjanji akan menjadi warganegara yang baik dan tunduk pada hukum Kerajaan Demak.

Raja Kung Ta Bu Mi di Majapahit, yang tak lain adalah ayahanda Jin Bun, gembira mendengar Semarang telah takluk. Sebagai hadiah, Jin Bun diangkat sebagai Bupati Bing Tolo dan diundang ke ibukota Majapahit.

Tetapi dalam kunjungan kali itu Jin Bun sudah bukan Jin Bun yang dulu. Kini ia memperlihatkan sikap tegasnya. Walau Raja Kung Ta Bu Mi adalah ayahandanya dan secara hierarki kerajaan Demak yang baru didirikannya berada di bawah kekuasaan Majapahit, namun sebagai muslim yang taat Jin Bun tak mau memberi sembah. Inilah satu dari sekian penyebab ketegangan antara anak dan ayah itu, antara Demak dan Majapahit.

Pada 1478 Bong Swi Hoo yang menetap di Ngampel sejak 1450 meninggal dunia. Jin Bun yang menghormatinya segera menggelar pasukan dan bergerak menuju Ngampel. Dalam perjalanan, Jin Bun berhenti di Majapahit dan menaklukan Kung Ta Bu Mi.

Sang ayah kemudian ditahan di Demak. Kini giliran Majapahit berada di bawah kekuasaan Demak.

Jin Bun mengangkat saudara tirinya, Kin San, sebagai bupati Semarang. Sementara Gan Si Cang yang telah murtad diangkat menjadi kapten Cina di Semarang. Gan Si Cang ini salah salah seorang anak dari almarhum Haji Gan Eng Cu, seorang saudagar Tionghoa yang pada tahun 1430 menjadi bupati di Tu Ma Pan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.

Kin San dan Si Cang membangun kembali industri kapal dan penggergajian kayu jati di Semarang, yang tiga generasi sebelumnya didirikan Laksamana Haji Sam Po Bo. Pada 1481, Jin Bun mengizinkan orang-orang Tionghoa bukan-Islam di Semarang ikut membangun Masjid Raya Demak.

***

Menyusul pemberontakan Partai Komunis, pada 1928 pemerintahan kolonial Belanda memerintahkan Residen Poortman menggeledah Klenteng Sam Po Kong. Tujuan utama penggeledahan itu untuk menemukan bukti-bukti sejarah bahwa Raden Patah adalah orang Tionghoa. Tidak diceritakan secara pasti apa pentingnya fakta sejarah itu bagi pemerintahan kolonial Belanda.

Dengan bantuan polisi Semarang, Poortman membawa semua dokumen yang tersimpan di klenteng yang sebagian besar berusia lebih dari 400 tahun. Tak kurang dari tiga pedati dokumen dibawa Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda.

Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan dari Geheim Zeer Geheim alias sangat-rahasia, ditambah catatan uitsluitend voor Dienstgebruik ten kantore alias hanya boleh dibaca di kantor.

“Tidak sembarang orang boleh membacanya. Prasaran itu dimaksudkan terutama bagi Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan arsip negara di Rijswijk di Den Haag,” tulis Slamet Muljana.

Tulis dia lagi, hasil penelitian itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta.

Beruntung, Mangaraja Onggang Palindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft. MOP bahkan sempat mempelajari dan menyalin bagian preambule atau pembuka hasil penelitian Poortman itu dan membeberkannya dalam buku yang berjudul “Tuanku Rao” (1964).

Naskah Klenteng Sam Po Kong yang direbut Poortman hanya satu dari empat sumber sejarah yang diteliti Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” ini.

Tiga sumber lagi adalah Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan sumber berita dari Portugis. Menurut Slamet, naskah Klenteng Sam Po Kong lebih bisa diandalkan dalam penelitian sejarah mengenai perkembangan Islam di Nusantara pasca-kejatuhan kerajaan Hindu Jawa. Dua sumber berita, yakni Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, menurut Slamet terlalu banyak mencampurkan dongeng dan hayalan.

Misalnya, dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Raden Alit atau Brawijaya VII menikah dengan seorang putri dari Champa. Di saat bersamaan, ada raksasa perempuan (atau raksasi) yang jatuh cinta pada sang Brawijaya. Si raksasi kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik jelita bernama Sri Endang Sasmitapura. Dia berhasil memikat Brawijaya. Suatu kali, karena memakan daging hewan, Sri Endang kembali menjadi raksasi. Dia lari bersembunyi di hutan, dan melahirkan seorang anak yang kelak diberi nama Jaka Dilah.

Adapun sumber berita Portugis selain memiliki banyak kesalahan faktual, juga seringkali bertentangan satu sama lain.

***

Jin Bun yang menjadi pendiri Demak seperti diceritakan kronik Klenteng Sam Po Kong, adalah Raden Patah, yang juga disebut Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun. Sementara Kung Ta Bu Mi yang disebut sebagai ayahnya adalah Kertabumi, raja terakhir yang menguasai Majapahit (1474-1478). Jin Bun adalah anak Kertabumi dari wanita Cina yang dinikahinya setelah dia menikah dengan putri Campa.

Adapun Bong Swi Hoo adalah nama lain untuk Sunan Ampel, yang juga disebut Raden Rahmat. Kronik Sam Po Kong juga menceritakan tentang kunjungan dua orang Tionghoa muslim ke Semarang pada tahun 1479. Kedua orang yang tak bisa berbahasa Tionghoa itu adalah anak dan murid Bong Swi Hooo (Sultan Ampel), yang dikenal dengan nama Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Mereka adalah sebagian dari tokoh-tokoh yang berperan di akhir kejatuhan Majapahit dan perkembangan awal kerajaan Islam Nusantara, yang diceritakan Slamet.

Hal yang tampak menonjol dalam buku ini adalah upaya Slamet memisahkan dongeng dan mitos dalam sejarah oral Jawa, dengan fakta sejarah. Hasil penelitian Slamet ini terbit untuk pertama kali tahun 1968. Dengan pertimbangan mengganggu stabilitas negara, Orde Baru membreidel buku ini tahun 1971.

“Sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah. Meskipun fakta sejarah itu mungkin terlalu pedas untuk dirasakan, ilmu sejarah tetap mengejar-ngejarnya,” tulis Slamet dalam bagian pengantar bukunya, sebelum bukunya ini dibreidel. Rakyat Merdeka, 23 Juli 2005 [t]

E-mailCetakPDF

Gua Sunyaragi CirebonDan Cirebon tidak kebal terhadap itu. Melihat kondisi Gua Sunyaragi sekarang ini kita tahu, sejarah sering dipandang semata sebagai beban, dan bukan aset. Padahal, sejarah yang melekat pada situs dan bangunan sebenarnya tidak hanya menjadi penanda sejarah, melainkan modal yang besar bagi pariwisata. Sejarah sebenarnya bisa mendatangkan uang, asal dikelola dan dilestarikan.


Tapi, itu sering dilupakan. Beberapa tahun lalu, ada sedikit keributan di Cirebon sini, ketika pemerintah bermaksud menata kota, tapi dalam prosesnya menggusur sebuah makam kuno berusia 300 tahun. Itulah makam Sam Tjay Kong yang terletak di belakang Pasar Pagi.


Proyek penataan itu menuai protes dari kalangan warga keturunan Tionghoa karena alasan yang wajar. Makam Sam Tjay Kong alias Tumenggung Aria Wira yang meninggal pada 1739 dan merupakan salah satu cagar budaya penting. Dia adalah Cina muslim kerabat Putri Tan Nio Tien, istri Sunan Gunung Djati yang juga menjabat semacam menteri keuangan Kesultanan Cirebon pada masa itu.


Tak semestinya protes hanya datang dari kalangan Tionghoa. Penggusuran makam Sam Tjay Kong layak juga menjadi kepedulian warga non-Tionghoa. Sam Tjay Kong diakui resmi sebagai salah satu pembesar keraton yang memiliki jasa besar bagi Kesultanan Cirebon.


Meski belakangan dia berpindah agama ke Konghucu, jasanya besar dalam perkembangan Islam di kota ini. Dia juga dikenal sebagai arsitek kompleks Gua Sunyaragi.

Makam Sam Tjay Kong Cirebon
Sam Tjay Kong juga mewakili sejarah pertemuan Islam-Tionghoa yang sangat mewarnai kota-kota pesisir utara Jawa, dari Banten hingga Gresik, kota-kota yang pernah dikunjungi Cheng Ho, seorang panglima dan pengelana muslim dari Dinasti Ming.


Cheng Ho tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Indonesia yang dulu Nusantara. Budaya Sino-Javanese Muslim Cultures yang membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan Tionghoa Islam lain dengan Jawa.


Pada 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring bertuliskan ayat Kursi yang kabarnya masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Tak semestinya sejarah panjang itu dilupakan. Dan jika Cirebon ingin meneguhkan identitasnya, salah satu cara adalah dengan menggali sejarah serta melestarikan situs-situs pentingnya.


Kota Semarang, yang juga memiliki tradisi Islam-Tionghoa kuat, adalah salah satu contoh bagus dalam pelestarian bangunan bersejarah. Sudah saatnya, Cirebon layak memiliki semacam “Semarang Heritage Society”, sebuah lembaga masyarakat yang peduli pada pelestarian bangunan historis.[

in Bun Dan Raden Patah, Cina Dan Islam Nusantara

 

Kamis, 03 Juni 2010

RAKYATMERDEKA.CO.IDRAKYATMERDEKA.CO.ID – Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara

Penulis            : Prof. Dr. Slamet Muljana

Penerbit          : LkiS, Jogjakarta, Maret 2005

Tebal               : xxvi + 304 hal

Suatu hari di tahun 1475, tak kurang dari 1.000 tentara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Jin Bun menyerang Semarang. Setelah menaklukan kota di pinggir pantai itu dari kekuasaan orang-orang Tionghoa yang tidak lagi memeluk agama Islam (murtad), Jin Bun bergerak menuju Klenteng Sam Po Kong.

Kepada pasukannya yang tengah dimabuk kemenangan, Jin Bun bertitah. â€Å“Jangan hancurkan tempat ini.?

Setahun sebelum penyerangan itu, Jin Bun sempat singgah di klenteng Sam Po Kong. Di sana dia berdoa, agar suatu hari kelak dia mampu membangun sebuah masjid yang selamanya akan tetap menjadi masjid.

Sam Po Kong sebelumnya adalah sebuah masjid. Ia dibangun oleh orang-orang Tionghoa muslim dari daratan Tiongkok yang dikenal dengan sebutan Hanafi. Adalah kemerosotan nilai keislaman di kalangan Hanafi yang membuat masjid itu berubah menjadi klenteng.

Kemerosotan ini berkaitan dengan melemahnya kekuasaan Dinasti Ming di Daratan Tiongkok. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi menyinggahi Semarang, hubungan antara orang-orang Tionghoa muslim dengan sanak saudara mereka di Daratan Tiongkok pun terhenti. Lalu, satu persatu masjid di Semarang dan Lasem yang dibangun di era Laksamana Cheng Ho berubah menjadi klenteng, lengkap dengan patung-patung yang diletakkan di mimbar masjid.

Selain tak menghancurkan Sam Po Kong, Jin Bun pun meminta agar pasukannya tak menyembelih orang-orang Tionghoa yang telah murtad. Dia juga tak memaksa agar mereka kembali memeluk agama Islam. Kebaikan hati Jin Bun disambut orang-orang Tionghoa bukan-Islam itu dengan janji kesetiaan akan menjadi warga negara yang baik dan tunduk pada hukum kerajaan Demak yang Islam.

Nun jauh di sana, Raja Kung Ta Bu Mi yang tak lain adalah ayahanda Jin Bun, gembira mendengar Semarang telah takluk. Sebagai hadiah, Jin Bun diangkat sebagai Bupati Bing Tolo dan diundang ke Majapahit.

Sikap Jin Bun tegas. Walau Raja Kung Ta Bu Mi adalah ayahandanya dan secara hierarki dia berada di bawah kekuasaan Majapahit, namun sebagai muslim yang taat Jin Bun tak mau memberi sembah.

Pada 1478, Bong Swi Hoo yang menetap di Ngampel sejak 1450 meninggal dunia. Jin Bun segera menggelar pasukan dan bergerak menuju Ngampel. Dalam perjalanan, Jin Bun membelokkan pasukan ke Majapahit dan menaklukan Kung Ta Bu Mi serta menawannya di Demak. Kini giliran Majapahit berada di bawah kekuasaan Demak.

Untuk memperkuat kekuasaannya di Semarang, Jin Bun mengangkat saudara tirinya, Kin San, sebagai bupati. Sementara Gan Si Cang yang telah murtad diangkat menjadi kapten Tionghoa-bukan Islam di Semarang.

Gan Si Cang ini salah salah seorang anak dari almarhum Haji Gan Eng Cu, seorang saudagar Tionghoa yang pada tahun 1430 menjadi bupati di Tu Ma Pan, yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.

Kin San dan Si Cang membangun kembali industri kapal dan penggergajian kayu jati di Semarang, yang tiga generasi sebelumnya didirikan Laksamana Haji Sam Po Bo. Di saat bersamaan, Demak memulai proyek pembangunan masjid yang bertahan hingga hari ini. Dan pada 1481, Jin Bun mengizinkan orang-orang Tionghoa bukan-Islam di Semarang ikut membangun Masjid Raya Demak.

***
Menyusul pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), pada 1928 pemerintahan kolonial Belanda memerintahkan Residen Poortman menggeledah Klenteng Sam Po Kong. Tujuan utama penggeledahan itu untuk menemukan bukti-bukti sejarah bahwa Raden Patah adalah orang Tionghoa.

Dengan bantuan polisi Semarang, Poortman membawa semua dokumen yang tersimpan di klenteng Sam Po Kong yang sebagian besar berusia lebih dari 400 tahun. Tak kurang dari tiga pedati dokumen dibawa Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda.

Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan dari Geheim Zeer Geheim alias â€Å“sangat rahasiaâ€?, ditambah catatan uitsluitend voor Dienstgebruik ten kantore alias hanya boleh dibaca di kantor.

Tidak sembarang orang boleh membacanya. Prasaran itu dimaksudkan terutama bagi Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan arsip negara di Rijswijk di Den Haag? tulis Prof Slamet Muljana. Tulis dia lagi, hasil penelitian itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta.

Beruntung, Mangaraja Onggang Palindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft. Dia bahkan sempat mempelajari dan menyalin bagian preambule atau pembukaan hasil penelian Poortman itu dan membeberkannya dalam bukunya yang berjudul Tuanku Rao (1964).

Penelitian naskah Klenteng Sam Po Kong yang dilakukan Poortman hanya satu dari empat sumber yang diteliti Slamet Muljana dalam bukunya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.

Tiga sumber lagi adalah Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan sumber berita dari Portugis. Menurut Slamet, naskah Klenteng Sam Po Kong lebih bisa diandalkan dalam penelitian sejarah mengenai perkembangan Islam di Nusantara pasca-kejatuhan kerajaan Hindu Jawa.

Dua sumber berita, yakni Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, menurut Slamet terlalu banyak mencampurkan dongeng dan khayalan.

Misalnya, dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Raden Alit atau Brawijaya VII menikah dengan seorang putri dari Champa. Di saat bersamaan, ada raksasa perempuan (atau raksasi) yang jatuh cinta dengan sang Brawijaya. Si raksasi kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik jelita bernama Sri Endang Sasmitapura. Dia berhasil memikat Brawijaya.

Suatu kali, karena makan daging hewan, Sri Endang kembali menjadi raksasi. Dia lari bersembunyi di hutan, dan melahirkan seorang anak yang kelak diberi nama Jaka Dilah.

***
Jin Bun yang menjadi pendiri Demak seperti diceritakan kronik Klenteng Sam Po Kong, adalah Raden Patah, yang juga disebut Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun. Sementara Kung Ta Bu Mi yang disebut sebagai ayahnya adalah Kertabumi, raja terakhir yang menguasai Majapahit (1474-1478). Jin Bun adalah anak Kertabumi dari wanita Cina yang dinikahinya setelah dia menikah dengan putri Campa.

Adapun Bong Swi Hoo adalah nama lain untuk Sunan Ampel, dan juga disebut Raden Rahmat. Kronik Sam Po Kong juga menceritakan tentang kunjungan dua orang Tionghoa muslim ke Semarang pada tahun 1479. Kedua orang yang tak bisa berbahasa Tionghoa itu adalah anak dan murid Bon Swi Hooo (Sultan Ampel), yang dikenal dengan nama Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Mereka adalah sebagian dari tokoh-tokoh yang berperan di akhir kejatuhan Majapahit dan di awal perkembangan kerajaan Islam Nusantara, yang diceritakan Slamet.

Hal yang tampak menonjol dalam buku ini adalah upaya Slamet memisahkan dongeng dan mitos dalam sejarah Jawa, dengan fakta sejarah. Dan dia berhasil melakukan hal itu. Mitologi seringkali membuat penceritaan sejarah tanah Jawa menjadi sekumpulan dongeng pengantar tidur.

Hasil penelitian Slamet ini terbit untuk pertama kali tahun 1968. Sayang, Orde Baru yang kemudian berkuasa tak menyukai suasana glorifikasi etnis Tionghoa yang terlalu kuat dalam buku itu. Dengan pertimbangan mengganggu stabilitas negara, Orde Baru pun akhirnya membreidel buku ini tahun 1971.

"Sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah. Meskipun fakta sejarah itu mungkin terlalu pedas untuk dirasakan, ilmu sejarah tetap mengejar-ngejarnya," tulis Slamet dalam bagian pengantar bukunya. Tentu saja, tulisan itu dimuat dalam edisi awal buku ini sebelum dibreidel Orde Baru.

Jejak-Jejak Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa

Perayaan Imlek kini bisa dinikmati di seluruh negeri, sebagaimana masyarakat merayakan adat tradisinya masing-masing. Pengakuan Imlek sebagai bagian budaya nasional ini adalah sumbangsih presiden Abdurahman Wahid dengan mencabut beberapa peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa. Beberapa pengamat antropologi menyebut, saat-saat inilah titik keharmonisan budaya tionghoa dengan kebudayaan asli Indonesia kembali setelah mengalami diskriminasi dan konflik yang amat panjang di negeri ini.

 

Pengakuan budaya tionghoa sebagai bagian budaya nasional, sudah semestinya dilakukan karena interaksi antar keduanya berlangsung cukup lama dan menghasilkan kebiasaan baru bagi keduanya. Dalam sejarah Nasional, orang-orang Tionghoa memberi kontribusi terhadap kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia. Sehingga dikotomi warga keturunan dengan bangsa Indonesia sudah semestinya ditiadakan.

 

Namun disini penulis membatasi pada pembahasan silang budaya jawa dan tionghoa. Sebab dengan pembahasan ini sudah memberi gambaran fakta akan adanya akulturasi budaya tionghoa dengan pribumi.

 

Dalam agama islam ada salah satu sunnah Rasul yang menyarankan : tuntutlah ilmu hingga ke negeri cina ! Mengapa Cina direferensikan sebagai negara tujuan. Jawabnya tentu bukan karena cina basis agama Islam. Melainkan karena Cina sudah memiliki peradaban tinggi sebelum masa Islam berkembang. Penduduk Cina sudah menguasai ilmu astronomi bahkan mempunyai tempat-tempat observasi, mampu membuat ramuan untuk mengawetkan mayat sampai membuat obat bahan peledak. Karena menguasai ilmu astronomi itu dengan mudah orang Cina bisa mengembara ke Asia Tenggara (termasuk Indonesia) hingga ke Timur Tengah. Penyebaran orang-orang Tionghoa ke seluruh pelosok negara ini selain urusan berdagang juga urusan menyebarkan agama Budha dan Islam.

 

Perkenalan dengan agama Islam ini, menurut Imelda dalam artikelnya di situs Beranda berjudul Budaya Tionghoa Bagian Dari Budaya Nusantara (14/12/2006), didapat dalam perantauan mereka ke Arab. Dengan teknologi tulis menulis dan cetak mencetak yang dimiliki orang Tionghoa sangat membantu bangsa Arab untuk menyusun Al-Qur’an. Sebaliknya, orang Tionghoa memperoleh bekal ajaran Islam ini yang kemudian mereka sebarkan ke negaranya sendiri hingga ke Asia Tenggara.

 

Kedatangan pertama orang-orang tionghoa ke Indonesia dibuktikan dengan catatan Fa Xian, seorang bhikhu senior dinasti Jin Timur. Pada tahun 411, kapalnya hanyut dan Fa xian singgah di Yapon (pulau jawa). Fa Xian merantau selama 5 bulan dan membuat catatan mengenai pulau jawa.

 

Bhikhu senior lainnya adalah Hui Neng dari dinasti Tang yang tiba di pulau jawa pada tahun 664-665. Selama 3 tahun ia bekerja sama dengan bhikhu Janabadra dari jawa untuk menerjemahkan kitab-kitab Agama Budha. Hui Neng cukup mahir berbahasa Jawa Kuno, yang menjadikannya lebih mudah bergaul dengan masyarakat Jawa. Ia mengajarkan makanan sayuran kepada masyarakat sekitarnya. Berikutnya, Hui Neng membawa 20 bhikhu senior lainnya di pulau jawa.

 

Masuknya kelompok Tionghoa ke Jawa Timur utamanya terdapat di buku Nanyang Huarena (1990) berjudul ‘The 6th overseas Chinese state’. Kertanagara, raja Singasari yang terakhir, pada thn.1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tersebut, Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan

dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri).

 

Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit

dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

 

Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.

 

Gelombang kedatangan orang-orang Tionghoa berikutnya terjadi saat pelayaran Laksamana Cheng Ho yang membawa Armada besar, dengan 62 kapal besar dan lebih 200 kapal kecil, bersama lebih 27 ribu orang awak kapal pada tahun 1405. Pelayaran ini berturut-turut terjadi sebanyak 7 kali, pada tahun 1407, tahun 1412,tahun 1416, tahun 1421, tahun 1424 dan terakhir tahun 1430.

 

Kehadiran para orang-orang Tionghoa ini melakukan interaksi dengan masyarakat pribumi. Mereka ada yang menikah dengan wanita-wanita pribumi dan saling bertukar kebudayaan. di Pantai Utara Jawa itu di samping menyebarkan ajaran Islam juga budaya Cina. Oleh karena itu di Sunda Kelapa (Pelabuhan kerajaan Padjajaran juga) budaya mereka berbaur dengan

kebudayaan penduduk asli yng kemudian menyebut diri mereka sebagai suku Betawi dan hingga kini, kita mengenal kesenian cokek, lenong, dan lain-lain yang merupakan akulturasi budaya Cina dan Betawi, yang kini kemudian diklaim sebagai kesenian Betawi. Musik Tanjidor yang merupakan musik khas Betawi pun beberapa alat musiknya menggunakan alat musik khas Cina, seperti rebab, dan lain-lain. Perhatikan pakaian pengantin Betawi, yang mirip pakaian pengantin di zaman dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina pada abad ke 7. Selain itu bahasa Indonesia pun banyak yang berasal dari serapan bahasa Cina, misalnya becak (Bhe-chia), kue (koe), dan teh (tee).

 

Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sebagai berikut :

pertama , di kota-kota pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga-keluarga campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber-sumber sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota-kota pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya.

 

Kedua, banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi. Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita-cita untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terakhir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang sekeras-kerasnya nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan

menjadi ‘segundo Turco’ (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya selain naik haji beliau telah mengunjungi Turki.

 

Sumber-sumber Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama-nama tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu

Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi memihak pemberontak ketika orang-orang Tionghoa di Semarang berontak melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing).

 

Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi

bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.

 

Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada tahun 1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur. Ketika pada tahun 1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi (menurut prof. Muljana orang-orang Arab). Belum ada Muslimin Pribumi.

 

Pada tahun 1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh orang-orang Muslim asal luar Jawa. Pada tahun 1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.

 

Hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan

sebutan ‘kyai’ untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tersebut peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian ‘suhu, Saihu’. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan. Satu dari Wali Songo mazhab ‘Syi’ bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik.

 

 

Akulturasi Budaya

 

Interaksi orang-orang Tionghoa dengan masyarakat pribumi turut mempengaruhi budaya antar keduanya dan melahirkan kebudayaan baru yang menambah khasanah kebudayaan Indonesia. Apa saja hasil-hasil kebudayaan baru sebagai proses akulturasi dua kebudayaan itu?

 

1. Arsitektur

pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid-masjid di Jawa terutama di daerah-daerah pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari

Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi dan/atau Syià dan ini bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz Khan.

 

2. Sastra

Banyak hasil sastra yang dihasilkan bangsa Tionghoa di P. Jawa juga sebaliknya terjemahan yang diterbitkan di Tiongkok berasal dari Indonesia ke bahasa mandarin. Misalnya, cerita roman paling populer adalah cerita Saan Pek Ing Tai, di Jawa Barat Populer karya Lo Fen Koi. Cerita-cerita silat misalnya, Pemanah Rajawali, Golok Pembunuh Naga, Putri Cheung Ping, Kera Sakti, dan Sepuluh pintu Neraka. Puisi yang diciptakan penyair Tiongkok kuno pernah diterjemahkan sastrawan Indonesia, HB Jasin. Sedangkan di dunia novel kita sudah cukup akrab dengan karya Marga T, yang banyak mengambil latar belakang negeri Tiongkok.

 

3. Bahasa

Menurut Profesor Kong Yuaanzhi terdapat 1046 kata pinjaman bahasa Tionghoa yang memperkaya bahasa Melayu / Indonesia dan 233 kata pinjaman Bahasa Indonesia kedalam Bahasa Tiong Hoa. Misalnya jenis alas kaki dari kayu Bakiak, kodok(jawa) asal dari nama Kauw Tok, Kap Toa menjadi Ketua.

 

4. Kesenian

Pertukaran musik dan tari telah dilangsungkan sejak jaman Dinasti Tang (618-907). Alat musik seperti Gong dan caanang, Erhu (rebab Tiongkok senar dua), suling, kecapi telah masuk dan menjadi alat musik daerah di Indonesia. Gambang Keromong merupakan perpaduan antara musik jawa dan Tiongkok, pada mulanya dalah musik tradisional dari Betawi dan digunakan untuk mengiringi upacara sembahyang orang keturunan Tionghoa, kemudian menjadi musik hiburan rakyat. Wayang Ti-Ti atau Po The Hie, adalah wayang yang memakai boneka kayu dimakain dengan keterampilan jari tangan,dimainkan saat menyambut hari besar di upacara keagamaan orang Tiong Hoa.

 

5. Olahraga

Misalnya olahraga pernapasan Wei Tan Kung kini menjadi Persatuan Olahraga Pernapasan Indonesia, Olahaga pernapasan Tai Chi menjadi Senam Tera Indonesia, olahraga bela diri Kung Fu yang populer di Indonesia.

 

6. Adat Istiadat

upacara minum teh yang disuguhkan kepada tamu sudah cukup populer di Jawa dengan mengganti teh dengan kopi. Kemudian tradisi saling berkunjung dengan memberikan jajanan atau masakan pada hari-hari raya, dan tradisi membakar petasan saat lebaran.

 

Dengan bukti-bukti kekayaan kebudayaan Indonesia hasil akulturasi dengan bangsa Tiongkok serta besarnya kontribusi Bangsa Tiongkok terhadap perjalanan sejarah Indonesia cukup menjadi alasan, mengapa kita harus menyambut baik pencabutan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap bangsa Tionghoa. Sebab kini, tidak perlu lagi memperdebatkan dikotomi warga keturunan Tionghoa dengan masyarakat pribumi, karena mereka adalah satu kesatuan NKRI.

Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten RembangJawa TengahIndonesia. Merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang.

Lasem dikenal juga sebagai "Tiongkok kecil" karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan tionghoa yang sangat banyak. Di Lasem juga terdapat patung Buddha Terbaring yang berlapis emas.

http://wapedia.mobi/thumb/844214840/id/fixed/470/362/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Chinese_tempel_TMnr_60043652.jpg?format=jpg


Kuil Tionghoa di Lasem.

Batik Lasem sangat terkenal karena cirinya sebagai batik pesisir yang indah dengan pewarnaan yang berani.

Selain itu Lasem juga dikenal sebagai kota santri, kota pelajar dan salah satu daerah penghasil buah jambu dan mangga selain hasil dari laut seperti garam dan terasi.

Daftar Isi:
1. Geografi
2. Desa/kelurahan
3. Demografi
4. Kota Santri
5. Kota Pelajar
6. Referensi
7. Pranala luar
8. Lihat pula

Kecamatan Lasem

Provinsi

Jawa Tengah

Kabupaten

Rembang

Camat

-

Luas

45,04 km²

Jumlah penduduk

47.868 jiwa (2005)

- Kepadatan

1.056 jiwa/km²

Desa/kelurahan

20 desa

1. Geografi

Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan di pesisir pantai laut Jawa di kabupaten Rembang, berjarak lebih kurang 12 km ke arah timur dari ibukota kabupaten Rembang, dengan batas-batas wilayah meliputi:

Kecamatan Lasem mempunyai luas wilayah mulai dari pesisir laut Jawa hingga ke selatan. Di sebelah timur terdapat gunung Lasem. Wilayahnya seluas 4.504 ha. 505 ha diperuntukkan sebagai pemukiman, 281 ha sebagai lahan tambak, 624 ha sebagai hutan milik negara.

Letaknya yang dilewati oleh jalur pantura, menjadikan kota ini sebagai tempat yang strategis dalam perdagangan.

Doeto (bicara) 05:09, 30 November 2009 (UTC)

2. Desa/kelurahan

Kecamatan Lasem terdiri atas 20 desa yang terbagi ke dalam 84 Rukun Warga (RW) dan 219 Rukun Tetangga (RT). Dengan ibukota kecamatan di desa Soditan.

Adapun desa-desa tersebut adalah:

Empat desa diantaranya berada di lereng gunung Lasem yaitu desa Gowak, Kajar, Sengangcoyo dan Ngargomulyo sedangkan 5 desa diantaranya merupakan desa pesisir yang berbatasan langsung dengan laut Jawa. Lima desa tersebut adalah; Bonang, Dasun, Binangun, Gedongmulyo dan Tasiksono.

3. Demografi

Jumlah penduduk kecamatan Lasem sejumlah 47.868 jiwa (tahun 2005). 23.846 jiwa diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya 24.022 perempuan. Sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani, pedagang dan nelayan.

Dibidang pendidikan, di kecamatan Lasem terdapat:

Dibidang keagamaan, di kecamatan Lasem terdapat 31 masjid, 130 mushalla dan 11 gereja Kristen, 12 Gereja Katholik dan 3 wihara.

4. Kota Santri

Sejak dahulu kota kecamatan ini terkenal sebagai Kota Santri . Peninggalan pesantren-pesantren tua di kota ini dapat kita rekam jejaknya hingga sekarang. Banyak ulama-ulama karismatik yg wafat di kota yg terkenal dgn suhu udara yg panas ini. Sebut saja Sayid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu) yang kini namanya dijadikan jalan raya yg menghubungkan Lasem-Bojonegoro, KH. Baidhowi, KH. Khalil, KH. Maksum, KH. Masduki dll. Sebagian makam tokoh masyarakat Lasem ini dapat anda jumpai di utara Masjid Jami' Lasem. Maka tidak berlebihan jika Lasem berjuluk sebagai kota santri, mengingat banyaknya ulama, Pondok Pesantren dan jumlah santri yang belajar agama islam di kota ini .

Pondok Pesantren tersebut antara lain:

5. Kota Pelajar

Banyaknya Pondok Pesantren berimbas pada bidang pendidikan umum. Tercatat banyak Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di kota ini. Sekolah-sekolah itu antara lain:

  • SMA Negeri Lasem website
  • MA Negeri Lasem
  • SMA PGRI
  • SMA Muhammadiyah
  • MA Nahdlatul Ulama
  • SMK Nahdlatul Ulama
  • MAAl Hidayah
  • SMP Negeri 1 Lasem
  • SMP Negeri 2 Lasem
  • SMP Negeri 3 Lasem
  • MTs Negeri Lasem
  • MTs Bonang
  • SMP Muhammadiyah
  • SMP Nahdlatul Ulama
  • SMP Keluarga

Perempuan-perempuan Pengusaha Batik Lasem

http://rembang-leh.com/wp-content/uploads/2010/05/perempuan-batik-300x187.jpgAda lompatan besar antara menjadi pekerja dan menjadi pengusaha. Tidak semua orang berhasil melakukannya. Di Pancur, Rembang, 12 ibu bersepakat menjadi pengusaha batik, pengetahuan yang sudah mereka hidupi dari belia.

Keinginan menjadi pengusaha batik tidak tiba-tiba. Lembaga swadaya masyarakat Institut Pluralisme Indonesia (IPI) yang menginduksi keinginan berubah dari pekerja menjadi majikan. Karya mereka dipamerkan di Jakarta awal pekan ini bersamaan dengan peluncuran buku terbitan IPI, Potret Kehidupan Pembatik di Lasem Rembang (Hempri Suyatna, William Kwan, Dyah Rosiana, dan Dewi Meiyani) serta Eksplorasi Sejarah Batik Lasem (William Kwan, Dyah Rosina, dan Aulia Hadi).

”Saya ditawari Pak William Kwan dari IPI untuk punya usaha batik sendiri tahun 2004, tetapi belum berani karena saya sekolah hanya sampai kelas I SD. Lalu kalau mau pinjam kredit untuk modal bagaimana mengembalikannya,” kata Ramini (45).

Perlu waktu dua tahun sampai akhirnya Ramini pada 2006 mendirikan Kelompok Usaha Bersama Srikandi. Dia menjadi ketua dan memiliki 11 anggota. Motivasi utama tetaplah menyumbang pada pendapatan keluarga. Selain itu, mereka ingin memiliki usaha sendiri.

Keinginan untuk dikenal sebagai pembatik mendorong Mariyati (34), Wakil Ketua KUB Srikandi, rela tidak lagi menerima jahitan di rumah. Berasal dari keluarga pembatik, Mariyati memiliki keterampilan membatik. Namun, pekerjaan sebagai buruh batik membuat dia anonim karena yang mendapat nama perusahaan batik.

Meskipun KUB belum dapat membagi keuntungan kecuali uang kerja harian, tetapi Mariyati puas. Cita-citanya, batiknya akan dikenal orang. ”Kalau menjahit, sehari bisa menyelesaikan 2-3 baju, ongkosnya Rp 10.000-Rp 12.000 per baju. Dari membatik, sekarang dapat uang harian dari kelompok Rp 14.000, kerja dari Senin-Sabtu,” ujar Mariyati.

Modal awal dibantu IPI berupa bahan baku dan peralatan. Mereka juga didampingi IPI untuk menggunakan pewarna alam. ”Sengaja dari awal kami ajak mereka mengenal proses yang lebih sulit supaya tidak menggampangkan,” kata Kwan.

Pameran pertama mereka di Jakarta sukses, sebagian besar batik mereka terjual. Meski begitu, Ramini mengatakan, pemasaran masih menjadi kendala mereka. Pemasaran masih ke dekat-dekat Rembang; ke Juwana, Kudus, dan yang sampai Surabaya.

Jiwa wirausaha nyatanya berkembang pada anggota KUB. Mereka rajin menghasilkan corak baru agar pembeli tak bosan. Batik karya Ramini, Damai Sejahtera, bahkan menjadi finalis ASEAN Award for Young Artisans in Textiles setelah diikutkan Dekranas dalam ASEAN Handicraft Promotion and Development Association di Bangkok, Thailand, November 2009.

Pembagian kerja
Di Pancur, perempuan terlibat dalam semua proses, mulai dari membatik, mewarna, hingga melepas malam (lorodan). Para lelaki kebanyakan bekerja sebagai petani atau kerja lain, seperti mengojek.

Belakangan, IPI mencoba mengenalkan cap kepada perempuan pembatik. Selama ini cap dianggap sebagai pekerjaan untuk laki-laki karena alat cap yang terbuat dari logam cukup berat.

Di rumah tangga, pembagian peran juga tak terlalu ketat. Perempuan terbiasa ke luar rumah mengerjakan pekerjaan bernilai ekonomi. Tak jarang penghasilan mereka menjadi tiang penting rumah tangga karena penghasilannya lebih tetap.

Memburuh batik artinya meninggalkan rumah dari pagi sampai sore, bahkan kadang meninggalkan desa. Sebagian perempuan Pancur bersepeda sejauh 50 kilometer ke Lasem untuk memburuh batik.

Di rumah, meskipun sebagian kerja rumah tangga dikerjakan perempuan, para suami dan anak laki-laki tidak keberatan membantu.

”Bapak-bapak membolehkan kami ke Jakarta karena kami belum pernah ke Jakarta dan ini untuk pemasaran batik kami. Mereka bisa masak sendiri dan ada yang anaknya sudah besar, bisa bantu ngurus rumah,” kata Mariyati.

Jam kerja anggota KUB pukul 08.00-16.00. Sesampai di rumah, Mariyati dan Ramini mencuci baju dan bersih-bersih rumah, lalu beristirahat sejenak selepas magrib hingga pukul 19.00. Setelah itu, Mariyati membatik sampai pukul 22.00. Dia bangun pukul 04.00 untuk masak dan membereskan rumah. ”Suami dan anak-anak masih tidur ketika saya bangun,” katanya.

Suami Mariyati mengojek malam hari. Pada musim hujan, dia menggarap sawah milik orangtua. Saat musim kemarau, dia menjaga dan membersihkan rumah. Dengan cara ini, Mariyati dan ibu-ibu KUB bisa bekerja di luar rumah, mendapat penghasilan dan aktualisasi diri. Di Pancur, itu dimungkinkan karena relasi dalam rumah tangga lebih egaliter.

Beragam
Lasem terkenal sebagai salah satu sentra batik penting di Jawa pada akhir abad ke-19. Warna merah batik Lasem sangat khas yang dipercaya karena pengaruh air tanah dan iklim setempat.

Invasi Jepang pada 1942-1945 membuat semua usaha batik tutup. ”Di Pekalongan lahir corak hokokai, tetapi di Lasem tak tampak pengaruh Jepang,” kata Kwan.

Setelah itu, batik Lasem lambat bangkit kembali karena pemakai kain batik tinggal para perempuan Tionghoa lanjut usia, sementara pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif lokcan) dan Suriname pun berubah selera.

Pemilik usaha batik Lasem juga berubah. Bila hingga tahun 1990-an semua usaha batik milik keturunan Tionghoa, setelah krisis ekonomi tahun 1998, muncul pengusaha batik suku Jawa. ”Tahun 2004, ada 14 pengusaha Tionghoa dan 4 Jawa. Sekarang, dari 32 pengusaha batik di Lasem, kira-kira dua pertiganya suku Jawa,” kata Kwan.

Karena yang dapat menjadi pengusaha adalah orang kaya setempat, IPI yang melakukan penelitian dan aksi tentang keberagaman di Rembang mencoba mengajak buruh batik juga menjadi pengusaha. ”Dari beberapa pembatik, Bu Ramini itu yang paling berani bersuara dan bisa memimpin,” ujar Kwan.

Dalam pameran awal pekan lalu terlihat berbagai pengaruh budaya dalam batik Lasem. Kerajaan Mataram Hindu memberi pengaruh pada Lasem, kemudian Champa, China, dan tentu saja Islam. Bahkan, kini warna batik yang disukai adalah hijau yang memperlihatkan pengaruh Islam. Pengaruh China masih terlihat pada corak seperti naga, burung hong, dan mata ayam yang mirip uang kepeng.

Kini, regenerasi pembatik juga dilakukan. Anip Khanifah (16), putri Mariyati, ikut dalam sanggar batik yang diinisiasi IPI. Karya Anip berupa batik corak komik habis diborong pembeli. Lasem akan ikut berputar bersama waktu. Ke mana arahnya, itu ada di tangan para perempuan pembatik setempat.

Sejarah Keturunan Tionghoa Di Indonesia

Kalangan berkuasa Demak sebagian besar terdiri dari orang2 keturunan Tionghoa. Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sbb.: di kota2 pelabuhan pulau Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga2 campuran, kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber2 sejarah pihak Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup di kota2 pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.

Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita2 untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terachir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang sekeras2nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya selain naik haji beliau telah mengunjungi Turki.

Sumber2 Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama2 tokoh sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi memihak pemberontak ketika orang2 Tionghoa di Semarang berontak melawan Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri nama bukit di Gresik.

Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid2 di Jawa terutama di daerah2 pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof. Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi̢۪i dan/atau Syi̢۪ite dan ini bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13 hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai Jengiz Khan.

Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada thn.1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.

Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi (menurut prof. Muljana orang2 Arab). Belum ada Muslimin Pribumi.

Pada thn.1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh orang2 Muslim asal luar Jawa. Pada thn. 1451 Ngampel Denta didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.

Sejarah Keturunan Tionghoa Di Indonesia

Sangat menarik perhatian karena saya alami sendiri, setidak2nya hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan sebutan “Kyai” untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tsb peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa Hokkian “Suhu, Saihu”. 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan.

Satu dari Wali Songo mazhab Syi̢۪ite bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik. Kesimpulan wajar, para aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa itu semuanya orang Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan penyebaran agama Kristen dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke 19 kaum penyebar diatas tingkat lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa. Tanah Tiongkok hampir seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa tetapi harus dengan seluruh Eropa. Seperti juga suku2 Eropa dengan bahasa2nya berbeda satu sama lain, demikian pula terdapat perbedaan antara suku2 dengan bahasa2nya di Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat dimengerti meskipun bahasanya berlainan.

Lit.:

- De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islamic states in Java 1500-1700″.

- Amen Budiman “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia”.

- Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung menjadi satu) “A story of Majapahit”.

- Slamet Muljana “Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”.

- Jan Edel “Hikajat Hasanoeddin”.

Sejarah Keturunan Tionghoa Di Indonesia

Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada thn. 1376 ketika dinasti Yuan (Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt mungkin putera tsb. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana beliau ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang2 dan binatang2 chas dalam negeri. Utusan2nya menyampaikan pesanan bahwa putera tsb segan naik tahta atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud mendapat perlindungannya). Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya disertai pengangkatan beliau sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.

Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam thn. 1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan2 kaisar kebetulan berada di negara Raja Timur. Ketika prajurit2 Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170 orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta maaf. Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas2 Dewan Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud mempenjara utusan2 yang membawanya, tetapi kaisar mengatakan: “Yang saya kehendaki dari orang2 yang hidup dijauhan yalah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak ingin memperkaya diri dengan masnya.” Seluruh denda dikembalikan. Sedari itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun, ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.

Lit.:

- Morris Rossabi “Khubilai Khan, his life and times” hal. xi, 220, 227, 228.

- Slamet Muljana “A story of Majapahit” hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3, 82, 88, 146, 182, 240.

- W.P. Groeneveldt “Notes on the Malay Archipelago and Malacca” hal. 36, 37, 69, 123.

- V.Purcell “The Chinese in Southeast Asia” hal. xxvii, 122.

Dikutib dari “The 6th overseas Chinese state” Nanyang Huaren, 1990.

Demak

Pada dasawarsa2 terachir abad ke 15 di Jawa Tengah telah didirikan kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari 1475/1478 hingga 1546/1568. Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan berasal Palembang dimana ketika itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa yang besar. Beliau terkenal dengan nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin Bun / Panembahan Jimbun / Arya (Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Orang2 Portugis menyebutnya Pate Rodin Sr. Menurut orang Portugis Tome Pires, beliau seorang “persona de grande syso”, a man of great power of judgement, seorang satria (cavaleiro, a knight, a nobleman). Terkaan bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak tidak masuk akal. Penjelasan prof. Muljana nama Jin Bun berarti “orang kuat” dalam dialek Tionghoa-Yunnan. Semasa dynasti Yuan (Monggol) di propinsi YunSejarah Keturunan Tionghoa Di Indonesia

Dikutib dari “The 6th overseas Chinese state, Nanyang Huaren”. Lanjutan bagian tentang Palembang (Ku-kang). Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada thn.1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok.

Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tsb Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara thn. 1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332. Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama langit dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb. O.W. Wolters dalam bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 50, 52:

Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para pejabatnya: ….. menguasai tanah yang terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan ….. pernyataan2 T’ai-tsu kepada penguasa2 asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, beliau menginginkan mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas masing2…..Jika T’ai-tsu curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak jujur, beliau lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas2 kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were unacceptable to him).

Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran2 upeti kepada kaisar Tiongkok:

Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity” (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal2 yang membawak utusan2nya ke Tiongkok. Para utusan tsb mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah2 yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan. Negara2 lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap gangguan2 dari luar.

nan terdapat banyak penganut agama Islam.

Sejarah Keturunan Tionghoa Di Indonesia

Ini ada artikel menarik yang membahas asal mula keturunan Tionghoa di Aisa Tenggara khususnya Indonesia.

Kami kutib dari buku “The 6th overseas Chinese state”, Nanyang Huaren, CSEAS, J.C.Univ. of N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan tentang: 1) Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak 7 halaman 65 – 99) sbb:

Palembang

Pada tahun 1275 Kertanagara Raja Singasari terachir di Jawa Timur mengirim ekspedisi militer ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu kota Palembang). Catatan thn 1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan Sriwijaya direbut. Namun thn. 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar, keadaan kacau.

O.W. Wolters menulis dalam buku “The fall of Srivijaya in Malay history” hal. 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T’ai-tsu. Tindakan kaum pedagang Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas Chinese government) untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.

Victor Purcell dalam buku “The Chinese in Malaya” hal.14 menyatakan setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri sendiri.

Lukisan tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok, bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai (Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian Ming Dynasty records tsb, orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai (Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin. Beliau menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat membawak produk2 setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan membawak hadiah yang berlimpah2. Tahun 1407 atau shortly after that Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai berada dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit).

Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana “Runtuhnja keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara”. Prof. Muljana bukan etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas anggauta Tentara Peladjar. Buku ini thn 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung dan meskipun sumber keterangan Ir. Parlindungan yang tersebut didalamnya tak dapat ditrasir Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan panjang lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen sebagai “The Malay Annals of Semarang and Cerbon” didalam buku “Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries”. Buku Prof. Muljana mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.

Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi sub-state dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit tiada lagi, yaitu thn.1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah menentukan kehancuran Majapahit sekitar thn. 1518. Malay Annals yang masih diperselisihkan itu menyebutkan perkembangan sbb.: thn. 1443 Swan Leong (Arya Damar) putera alm. Raja Majapahit dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten Muslimin Tionghoa di Palembang sekalian menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu Suhita dari Majapahit. Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Beliau oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap jasa2nya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tsb menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap orang Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang, Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen2 sejarah Dinasti Ryukyu dan pada reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.

Lasem, Simpul Sejarah yang Pudar

Sabtu, 13 September 2008 | 08:28 WIB

http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2008/09/13/2998870p.jpg

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Tembok bangunan rumah bergaya Tionghoa di Dasun, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Senin (4/8), dikenal sebagai rumah candu. Hal ini karena dahulu saat zaman Hindia Belanda rumah itu digunakan sebagai tempat penyimpanan candu selundupan.

TERKAIT:

TEMBOK-tembok tinggi itu membentuk lorong putih. Sebagian mengelupas lalu ditumbuhi lumut. Rumah-rumah tua berarsitektur China, yang sebagian besar kosong, tersembunyi di dalamnya. Tak terawat, mengisahkan kemunduran sebuah kota. Lasem kini hanya kecamatan kecil di lintasan jalan pantai utara Jawa. Sepi dan tak banyak dikenal orang.

Padahal, sejarah Lasem sebenarnya sangat tua, jauh lebih tua dibandingkan ketika jung yang dinakhodai Bi Nang Un mendarat di Pantai Regol, Kadipaten Lasem, tahun 1413 M. Dalam Serat Badra Santi, yang ditulis Mpu Santi Badra tahun 1479 dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh Kamzah R Panji, disebutkan bahwa pada tahun 1273 Saka atau 1351 Masehi, Lasem telah menjadi tanah perdikan Majapahit.

Waktu itu, Lasem dipimpin seorang perempuan bernama Dewi Indu, keponakan Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre Lasem—dalam versi Kitab Negarakertagama, Bhre Lasem waktu itu adalah seorang putri bernama Sri Rajasaduhitendudewi, adik perempuan Hayam Wuruk. Bhre merupakan gelar untuk penguasa daerah di bawah imperium Majapahit.

Masih menurut Badra Santi, Bi Nang Un adalah seorang Campa (daerah Indochina, sekitar Vietnam, Kamboja, Laos yang waktu itu menjadi bagian wilayah Kekaisaran Dinasti Ming). Istri nakhoda itu, Puteri Na Li Ni, dikisahkan yang selanjutnya membawa seni batik ke Lasem.

Penelitian dari Institut Pluralisme Indonesia (IPI) menyebutkan, motif dan warna batik Lasem, yang didominasi warna merah, merupakan pertautan budaya Tionghoa dengan budaya Jawa. ”Dari selembar batik Lasem ada kisah tentang pembauran etnis dan budaya,” kata Njo Tjoen Hian (72), pembatik Lasem.

Hingga tahun 1970-an, produksi batik Lasem masih termasuk enam besar di Indonesia —selain Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon. Direktur IPI William Kwan HL menyebutkan, pemasaran batik Lasem tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor, dan Singapura), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname. ”Suriname termasuk yang terbanyak. Dulu, hampir tiap bulan ayah saya mengirim batik hingga 500 lembar kain,” kata Njo Tjoen Hian atau yang juga dikenal dengan Sigit Witjaksono.

Asal mula

Lasem bukan sekadar batik. Ketika terjadi geger China (1740), Lasem menjadi titik pusat perlawanan China terhadap Belanda. Perlawanan itu dipimpin Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono, dan Tan Kee Wie. ”Dari Lasem, perlawanan terhadap Belanda menyebar ke Pati, Kudus, hingga Semarang,” kata Prof Totok Roesmanto dari Universitas Diponegoro.

Lasem juga dikenal sebagai titik penyelundupan senjata api dari Singapura. Dari Lasem, menurut catatan Pramoedya Ananta Toer, senjata dipasok kepada pelarian wanita bangsawan keraton di Rembang, yang selanjutnya dikirim ke pasukan Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa I (1825-1830). Akhirnya, jalur penyelundupan terbongkar dan para penyelundup digantung Kompeni di pusat kota.

”Selain menyelundupkan senjata, mereka juga menyelundupkan candu. Gudang-gudangnya kini berupa rumah-rumah tua dengan pagar tinggi di tepi Sungai Lasem di Dasun. Rumah itu kini menjadi sarang burung walet. Dulu, dari sungai ada terowongan air menuju bangunan itu,” kata Sigit Witjaksono.

Titik nadir

Muara Sungai Lasem, suatu sore. Perahu-perahu kayu tambat di pinggir sungai. Angin berembus pelan. Angin yang sama membawa pasukan Dai Nippon mendarat di pantai ini tahun 1942. Pramoedya Ananta Toer mencatat, dengan bantuan buku peta Tropisch Nederland dari Lasem, Jepang menginvasi pedalaman Jawa.

Di Lasem, Jepang mengambil alih satu galangan kapal Belanda, lalu membangun dua galangan lagi. Sejarah pembuatan kapal di Lasem, yang telah dimulai sejak era imperium Majapahit dan Mataram Islam, dilanjutkan Jepang.

Peter Boomgaard dalam bukunya, Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880 (1989) menyebutkan, sebelum kedatangan Belanda, Lasem dan Rembang telah menjadi pusat pembuatan kapal. Jumlah pekerjanya lebih dari 500 orang.

Dalam buku Summa Oriental, lebih dahulu penjelajah Portugis Tome Pires (sekitar 1512-1515) mencatat Rembang, yang waktu itu masuk dalam wilayah kekuasaan Brhe Lasem, sejak dahulu mempunyai galangan kapal. Dikatakannya, industri kapal berkembang karena hutan di selatan Rembang lebat. Walau kini sulit sekali menemukan pohon berukuran memadai di Rembang dan Lasem.

Kisah mengenai galangan kapal Belanda dan Jepang di Lasem dituturkan Sudaryo (74) di kediamannya di Desa Dasun. Sudaryo masih 9 tahun ketika membantu ayahnya bekerja di galangan kapal Belanda. ”Waktu itu Lasem ramai sekali. Lebih dari 200 orang bekerja di galangan kapal. Mereka membuat kapal besi sepanjang lebih dari 30 meter. Plat besi disatukan dengan paku yang dilelehkan, bukan disekrup,” kata Sudaryo.

Kapal-kapal Belanda yang selesai dibangun kemudian dikirim ke Batavia untuk mengangkut hasil bumi dari tanah Jawa. ”Tahun 1942, saat Jepang datang, galangan kapal Belanda diambil alih. Jepang membuat dua galangan lagi untuk kapal kayu,” tambah Sudaryo.

Jejak galangan kapal Belanda dan Jepang itu masih dapat dilihat di Kali Lasem, tepat di Desa Dasun. Tiga fondasi batu, berbentuk cetakan perahu berukuran panjang lebih dari 50 meter, terlihat di tegalan, sekitar 10 meter dari tepi Sungai Lasem. ”Dulu galangan kapal persis di pinggir sungai,” kata Sudaryo. Tembok galangan masih utuh, tetapi lumpur memenuhi ruang antara tembok dan air sungai. Dulu, tiap enam bulan Jepang mengeruk alur sungai.

Setelah Jepang pergi, industri kapal di Lasem telantar. Tahun 1970-an, berangsur batik Lasem memudar karena tak ada penerus. Hutan jati di hulu yang gundul tidak lagi mampu menahan gelontoran tanah masuk ke sungai sehingga Sungai Lasem pun makin dangkal dan sempit. Kota yang dibangun trah Bhre Lasem semakin sepi, menuju titik nadir....

Ketika pada tahun 1293 kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (1280-1367) memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi pelajaran kepada raja Kartanegara dari kerajaan Singosari yang dianggap membangkang, ternyata di sepanjang pesisir utara pulau Jawa telah ditemukan koloni-koloni pemukiman etnis Tionghoa.

Peran politik etnis Tionghoa di Indonesia.

Orang-orang Tionghoa ini yang berasal dari propinsi Hokkian di daratan Tiongkok, pada umumnya adalah para pedagang perantara, petani dan tukang-tukang kerajinan yang hidup dengan damai bersama penduduk setempat. Kemudian sebagian prajurit pasukan Kubilai Khan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa yang direkrut dari Propinsi Hokkian tidak mau kembali ke daratan Tiongkok. Mereka takut menghadapi ancaman hukuman, karena pasukannya tertipu masuk perangkap Raden Wijaya dan berhasil dihancurkan. Sebelumnya Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Kubilai Khan berhasil mengalahkan pasukan Singosari dan setelah itu ia mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu banyak anggota pasukan Kubilai Khan yang takut menghadapi pelayaran kembali ke daratan Tiongkok yang penuh bahaya alam dan perompak. Akhirnya mereka memilih untuk menetap di pesisir utara pulau Jawa dan menikah dengan perempuan-perempuan setempat. Merekalah yang mengajarkan cara-cara membuat bata, genting, gerabah dan membangun galangan kapal perang serta teknologi mesiu dan meriam-meriam berukuran besar dan panjang.

Pada abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana Cheng Ho, sebagian besar dari wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di pesisir pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak berasal dari etnis Tionghoa. Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dllnya konon berasal dari Champa (Kamboja/Vietnam) , Manila dan Tiongkok.

Demikian juga Raden Patah alias Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putera Kung Ta Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong). Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan Cornelis Houtman berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ia tercengang karena menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang harmonis dengan penduduk dan penguasa setempat. Selain di Banten, orang-orang Belanda dan kemudian orang-orang Inggris juga menjumpai koloni-koloni Tionghoa di kebanyakan bandar-bandar Asia Tenggara seperti di Hoi An, Patani, Phnom Penh dan Manila. Pada tahun 1642 di Hoi An terdapat empat-lima ribu orang Tionghoa dan di Banten pada tahun 1600 terdapat tiga ribu orang Tionghoa.

Pada tahun 1611 Jan Pieterszoon Coen diutus Gubernur Jenderal VOC Pieter Both untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama Souw Beng Kong (Bencon). Souw Beng Kong adalah seorang pedagang Tionghoa yang sangat berpengaruh dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Ia sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh Sultan dan para petani Banten.

Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang ingin membeli hasil bumi dari petani Banten harus melakukan negosiasi harga dan lain-lainnya dengan Souw Beng Kong. Kemudian Souw Beng Kong coba dipengaruhi Jan Piterszoon Coen, tetapi tidak berhasil karena ia merasa Coen terlampau menekannya. Sebaliknya sultan Banten merasa puas dengan keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena orang-orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru, terutama di bidang pertanian.

Mereka mengajarkan cara menanam padi di sawah yang berpetak-petak dengan mempergunakan pematang dan membajak serta mengairinya, karena sebelumnya mereka hanya menanam padi di ladang yang sudah tentu hasilnya kurang memuaskan. Namun ketika Coen pada tahun 1619 berhasil merebut Jayakarta dan berniat membangunnya menjadi Batavia, sebuah bandar yang ramai untuk menyaingi Banten, ia berhasil membujuk Souw Beng Kong untuk membawa orang-orang Tionghoa hijrah ke Batavia. Ia kemudian diberi gelar kapitein (titulair) Tionghoa pertama agar dapat memimpin dan mengarahkan orang-orang Tionghoa di Batavia serta memindahkan pendaratan jung-jung yang membawa barang dagangan dari Tiongkok ke Batavia.

Berkat bantuan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lah, Batavia berhasil dibangun menjadi Bandar yang ramai dan menjadi pusat perdagangan yang penting di Asia Tenggara. Perlu dicatat juga jasa Phoa Beng Gan (Binggam) yang atas gagasan dan prakarsanya serta dukungan dana masyarakat Tionghoa Batavia, berhasil dibangun kanal yang membelah daerah Molenvliet (sekarang Jl.Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Pembangunan kanal tersebut kemudian dilanjutkan untuk disambungkan dengan kali Ciliwung dengan membelah daerah tersebut menjadi Noordwijk (Jl.Djuanda) dan Rijswijk (Jl.Veteran) , untuk menghindari banjir yang selalu menimpa kota Batavia.

Pada masa itu pulalah orang-orang Tionghoa yang berdiam di luar tembok kota Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu dan industri gula. Penggilingan tebu dilakukan dengan cara sangat sederhana yaitu dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistim roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4.5 meter. Kedua tabung tersebut tegak lurus, kemudian batang tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Sari tebu tersebut kemudian dipanaskan untuk dijadikan gula. Karena kekurangan bahan bakar untuk tungku, maka sejak tahun 1815 industri gula tersebut dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada tahun 1740 di Batavia terjadi pembunuhan massal orang-orang Tionghoa yang dilakukan tentara VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembantaian yang di luar peri kemanusiaan. Sebagai kelanjutan dari peristiwa tersebut, terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa yang bersekutu dengan orang-orang Jawa melawan pasukan VOC di Jawa Tengah (1740-1743). Kalau saja tidak terjadi pengkhianatan Sunan Paku Buwono II dari Mataram dan bantuan Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura, pasukan VOC yang sudah terdesak dan terkurung di kota Semarang berhasil diusir dari Jawa Tengah dan besar kemungkinan dari seluruh pulau Jawa.

Pada akhir November 1810 terjadi pemberontakan Raden Rongga, menantu Sultan Hamengku Buwono II yang mempunyai hubungan yang erat dengan kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa di Jawa Timur. Ia menyatakan dirinya sebagai "pelindung" semua orang Jawa dan orang-orang Tionghoa yang telah diperlakukan semena-mena oleh pemerintah Hindia Belanda (ingkang kasiya-kasiya ing Gupernemen).

Ia kemudian mendesak agar orang-orang Tionghoa bekerja sama mengakhiri (anyirnakna) semua pegawai Belanda yang telah merugikan kesejahteraan dan kemakmuran di Jawa. Oleh karena itu ia menyerukan agar orang-orang Tionghoa di pesisir utara menguasai kantor-kantor serta pos-pos Belanda yang telah diusir untuk menjaga dan mempertahankannya dari serangan balasan. Dalam pemberontakan itu ia mendapatkan bantuan dari orang-orang Tionghoa, terbukti ketika pasukan Raden Rongga terkepung dan dihancurkan di Sekaran yang terletak di tepi bengawan Solo, terdapat dua belas orang Tionghoa di antara seratus orang anggota pasukan yang tetap setia kepadanya.

Untuk membalas jasanya membantu Pangeran Suroyo (Sultan Hamengku Buwono III) merebut kembali tahtanya, seorang pengusaha dan kapitein Tionghoa, Tan Djin Sing pada tanggal 18 September 1813 dilantik menjadi bupati Yogyakarta dan diberi gelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Ia juga mendapat piagam yang berisi pemberian tanah seluas 800 cacah yang meliputi 14 desa di daerah Bagelen dan Yogyakarta, termasuk Mrisi yang terletak di selatan Yogyakarta. Jumlah penduduk di 14 desa tersebut kurang lebih seribu orang. Ketika berlangsung Perang Jawa (1825-1830) ia aktif membantu Pangeran Diponegoro dengan melatih silat para pemimpin pasukannya. Ia juga membantu Pangeran Diponegoro dengan dananya untuk membantu pangeran tersebut melakukan perang gerilya melawan pasukan Belanda.

Malahan kuda kesayangannya turut diberikan untuk menjadi tunggangan sang pangeran. Pada masa itu banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang membantu pasukan Pangeran Diponegoro, ikut berjuang bersama-sama terutama dalam menyediakan kebutuhan mereka akan uang perak,senjata, candu dan lain-lainnya. Malahan banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang ikut bertempur, bahu-membahu melawan Belanda, seperti ketika terjadi pertempuran yang dilancarkan Raden Tumenggung Sasradilaga, ipar Pangeran Diponegoro di daerah Lasem, pantai utara Jawa Tengah tahun 1827-1828. Orang-orang Tionghoa setempat yang kebanyakan telah memeluk agama Islam dan telah lama bermukim di Jawa, secara aktif bergabung dan membantu pasukan Sasradilaga. Pasukan Sasradilaga yang dibantu orang-orang Tionghoa muslim ini bertempur dengan sengit di daerah pesisir utara pulau Jawa, sekitar Rembang, Lasem dan Bojonegoro. Akibatnya ketika pasukan Sasradilaga berhasil dikalahkan, mereka menjadi korban pembalasan dendam pasukan Belanda yang membantai mereka secara kejam dan tanpa mengenal belas kasihan.

Sementara itu pada tahun 1772 di Borneo (Kalimantan) Barat, Lo Fong-phak bersama seratus orang anggota keluarganya mendirikan "Kongsi Lanfong". Orang-orang Tionghoa yang berasal dari suku Hakka, Mei Hsien, Kwangtung mulai berdatangan ke Borneo Barat sejak tahun 1760-an karena tertarik akan tambang-tambang emas.

Ternyata oleh Sultan Sambas mereka kebanyakan dipekerjakan sebagai pekerja-pekerja tambang emas yang diperlakukan secara kejam yang kemudian menimbulkan pemberontakan. Setelah pemberontakan itu Sultan memperlakukan mereka dengan lebih baik, namun karena takut akhirnya ia memberikan sebagian dari tambang-tambang emas tersebut kepada orang-orang Tionghoa dengan keharusan membayar upeti (konsesi). Kongsi Tionghoa yang didirikan di Borneo Barat adalah sebuah komunitas demokratis yang dibangun dengan tujuan memperoleh keuntungan dengan mengeskploitasi tambang emas dan intan. Komunitas tersebut yang dibentuk berdasarkan tempat asal mereka di di daratan Tiongkok, dikelola sebagaimana layaknya sebuah negara lengkap dengan sebuah dewan pemerintahan, pengadilan, penjara dan pasukan bersenjata, sehingga sering dikatakan bahwa kongsi Lanfong adalah sebuah "Republik"

Pada tahun 1816 Belanda memperoleh kembali seluruh tanah jajahannya di Hindia Timur dari Inggris dan segera berusaha kembali menguasai Borneo. kemerintah Hindia Belanda sangat tertarik dengan pertambangan emas yang dikelola orang Tionghoa. Dengan bantuan Sultan Sambas yang telah di bayar $ 50.000.- Belanda mengirim pasukannya untuk mengambil alih tambang-tambang orang Tionghoa. Tetapi penyerbuan ke tempat pemukiman orang Tionghoa tersebut pada awalnya dapat digagalkan karena mendapatkan perlawanan bersenjata orang-orang Tionghoa dan taktik lainnya, antara lain dengan meracuni sumur-sumur dan sungai-sungai sehingga prajurit Belanda banyak yang meninggal dunia dan mengalami kesulitan air minum. Pasukan Tionghoa juga berhasil memotong jalur supply pasukan Belanda yang akhirnya memaksa mereka meninggalkan daerah tersebut. Karena pasukan Belanda harus menghadapi Perang Jawa, sejak tahun 1826 untuk jangka waktu yang cukup lama pertempuran tersebut berhenti. Namun pada tahun 1854 Belanda yang telah menguasai lautan berhasil mengalahkan pasukan Tionghoa dan kongsi-kongsi dibubarkan.

Demikianlah sekilas catatan sejarah yang menunjukkan betapa dekatnya etnis Tionghoa pada masa itu dengan penduduk setempat. Orang-orang Tionghoa yang datang bermukim di Nusantara jauh dari keinginan untuk menjajah dan menguasai daerah yang ditempatinya. Malahan armada Laksamana Cheng Ho yang demikian besar dan kuat persenjataannya, jauh melebihi armada negara-negara Eropa manapun pada masa itu, ternyata hanya bermaksud mengadakan kunjungan persahabatan, perdagangan, menarik upeti dari daerah-daerah protektoratnya dan menyebarkan agama Islam. Orang-orang Tionghoa hidup dengan damai dan membaur dengan penduduk setempat. Karena mereka tidak membawa istri, mereka menikah dengan perempuan-perempuan setempat yang keturunannya disebut peranakan Tionghoa (babah). Memang mereka membawa kebudayaan, tradisi dan teknologi yang kemudian berakulturasi dan menghasilkan kebudayaan sendiri yang disebut kebudayaan peranakan atau babah. Mereka juga bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa atau dialek setempat.

Di samping itu orang-orang Tionghoa telah berjasa menemukan teknik baru pengolahan padi, antara lain pada tahun 1750 memperkenalkan alat penyosoh padi yang dengan menggunakan dua-tiga ekor sapi dapat mengolah sampai 500 ton padi per hari, menggantikan sistim tumbuk tradisional memakai lesung yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu orang-orang Tionghoa juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa dan bajak serta teknik pembuatan garam. Berkat orang-orang Tionghoa lah orang-orang di Nusantara mengenal jarum jahit, bahkan pakaian yang dijahit pun berasal mula dari Tiongkok. Mereka juga mengembangkan budi daya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum yang dijadikan bahan pewarna. Sejak tahun 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak yang dibuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Dari kacang hijau dan kedelai mereka menghasilkan taoge, tahu, tauco dan kecap.

Melihat kenyataan ini pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai melakukan politik pecah belah atau segregasi dengan memaksa orang-orang Tionghoa bermukim di tempat-tempat tertentu (wijkenstelsel) untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Untuk keluar dari permukiman tersebut orang-orang Tionghoa harus dibekali surat ijin tertentu (passenstelsel) .

Bagi yang melanggar akan diadili oleh politie roll, sebuah pengadilan tanpa hak membela diri. Orang-orang Tionghoa juga dilarang memakai pakaian orang-orang bumiputera atau pakaian barat sehingga mudah dikenali. Puncak politik segregasi Belanda adalah dengan membagi-bagi kedudukan hukum penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kelompok, yaitu yang pertama kelompok orang Eropa termasuk di dalamnya orang Indo Eropa, Yang kedua kelompok Vreemde Oosterlingen atau Orang Timur Asing yang terdiri dari orang Tionghoa, Arab dan orang Asia lainnya. Yang ketiga adalah kelompok Inlander atau bumiputera. Ordonansi yang dikeluarkan pada tahun 1854 tersebut membuat ketiga kelompok itu tunduk kepada sejumlah buku undang-undang yang berbeda-beda. Tetapi khusus untuk perdagangan sejak awal VOC, bagi orang Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang Belanda, sepanjang hukum itu masih dapat diterapkan. Namun untuk masalah kriminal, status orang Tionghoa disamakan dengan golongan inlander dan perkaranya diadili di landraad atau politie roll.

Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia berdiri Tiong Hoa Hwe Koan di bawah pimpinan Phoa Keng Hek, sebuah organisasi peranakan Tionghoa yang bertujuan untuk memajukan kembali budaya Tionghoa dan agama Khonghucu serta mendidik orang-orang Tionghoa agar menghentikan kebiasaan buruk berjudi dan menghambur-hamburka n uang dalam melakukan upacara kematian. Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1901, THHK membuka sekolah di Jl.Patekoan N0.19 (Jl.Perniagaan) bagi anak-anak Tionghoa, karena selama ini pemerintah Hindia Belanda tidak pernah menaruh perhatian kepada pendidikan anak-anak Tionghoa.

Ternyata berdirinya sekolah THHK ini yang sudah tentu berorientasi ke daratan Tiongkok, mendapatkan sambutan luas dan dalam waktu singkat diikuti oleh kota-kota lainnya. Melihat perkembangan ini pemerintah Hindia Belanda merasa kuatir,lalu membuka sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (HCS). Dengan dibukanya HCS dan sekolah-sekolah berbahasa Belanda lainnya (Mulo, HBS, Kweekschool dll.) pemerintah Hindia Belanda berhasil memecah-belah orang-orang peranakan Tionghoa menjadi yang berpandangan politik pro Tiongkok (kelompok Sin Po) dan yang pro Belanda (kelompok Chung Hwa Hui).

Berdirinya THHK yang menumbuhkan semangat nasionalisme Tiongkok di kalangan peranakan Tionghoa, ternyata juga berpengaruh kepada kalangan bumiputera. Suksesnya THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda telah mendorong lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarekat Islam), Moehammadijah dan organisasi-organisa si lainnya. Melihat keadaan yang semakin tidak menguntungkan, kembali pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan politik segregasi, bukan saja untuk memisahkan orang-orang peranakan Tionghoa dengan orang-orang bumiputera, tetapi juga dengan golongan totok. Pada tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap (WNO) yang menyatakan orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda adalah kawula Belanda, tetapi bukan warga Negara Belanda.

Sejak akhir abad ke-19 orang-orang peranakan Tionghoa juga telah aktif mendirikan percetakan-percetak an dan menerbitkan buku-buku ceritera dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar (Betawi). Demikian juga mereka menerbitkan koran-koran yang tumbuh dengan subur. Masa inilah yang disebut masa tumbuhnya kesastraan Melayu-Tionghoa dan pers Melayu-Tionghoa. Sastra Melayu Tionghoa telah mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918 untuk menampung hasil karya sastrawan-sastrawan pujangga lama. Harian-harian atau mingguan Melayu Tionghoa berkembang dengan pesat dan tumbuh menjadi media yang ampuh dan kuat seperti mingguan/harian Sin Po dan Keng Po yang bertahan sampai beberapa dekade lamanya.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, ditengah-tengah acara Sumpah Pemuda untuk menyatakan kebulatan tekad para pemuda menjadi satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia, untuk pertama kalinya dikumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ternyata acara sumpah pemuda tersebut diikuti juga oleh beberapa orang pemuda etnis Tionghoa.

Hal ini membuktikan bahwa sejak awal tumbuhnya gerakan kebangsaan dan kemerdekaan, sekelompok etnis Tionghoa telah turut berpartisipasi dan peduli akan hari depan bangsa Indonesia. Untuk membalas jasa koran-koran Melayu Tionghoa yang banyak memuat tulisan-tulisan para pemimpin pergerakan dan untuk menghormati serta menarik simpati kalangan etnis Tionghoa, pada tahun 1928 para pemimpin pergerakan tersebut bersepakat bahwa mulai saat itu, mereka hanya akan menggunakan sebutan Tionghoa sebagai pengganti pejoratif Cina yang mengacu kepada "Cina kunciran".

Pada tahun 1932 ditengah-tengah terpecahnya pandangan politik etnis Tionghoa yang pro gerakan nasionalis Tiongkok dan yang pro Hindia Belanda, di Surabaya berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem Koen Hian yang mempunyai visi dan misi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Hal ini kembali membuktikan bahwa di kalangan etnis Tionghoa juga telah tumbuh kesadaran politik dan rasa nasionalisme yang tinggi, untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya berjuang membebaskan diri dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pada awal masa pendudukan Jepang di mana para pemimpin Indonesia, Soekarno dan Hatta berkoloborasi dengan penguasa Jepang, sekelompok etnis Tionghoa aktif melakukan gerakan bawah tanah untuk melakukan sabotase. Organisasi bawah tanah tersebut di antaranya adalah Organisasi Rahasia Chungking atau nama lengkapnya Chung Yang Hai Wei Ting Chin yang bermarkas di kota Malang di bawah pimpinan Yap Bo Chin. Anggota organisasi ini yang tersebar di seluruh pulau Jawa dan Madura berjumlah 8000 orang, termasuk 400 orang Indonesia.

Organisasi rahasia ini juga mempunyai dua pemancar radio yang digunakan untuk berhubungan dengan pemerintah Tiongkok di Chungking. Banyak aksi sabotase yang berhasil dilakukan organisasi ini, antara lain pembongkaran rel kereta api dan pemutusan jaringan telpon di lapangan terbang serta informasi-informasi lainnya yang berhasil disampaikan kepada pemerintah Tiongkok di Chungking. Organisasi ini akhirnya berhasil dibongkar pihak intelijen Jepang dan kedua pemancar radionya berhasil disita, tetapi pemimpinnya Yap Bo Chin berhasil meloloskan diri.

Di samping organisasi Chungking yang banyak menggunakan tenaga-tenaga orang-orang Tionghoa totok, masih banyak lagi gerakan-gerakan bawah tanah yang dilakukan orang-orang peranakan Tionghoa untuk menentang Jepang, terutama yang dilakukan bersama orang-orang Belanda pada awal masa pendudukan Jepang. Di Surabaya ada gerakan bawah tanah yang dilakukan kelompok Dr.Colijn dan Oei Tjong Ie.

Di Malang ada kelompok Tjoa Boen Tek yang bekerja sama dengan organisasi Chungking. Di Bogor dan Jakarta ada organisasi " Piet van Dam" yang terdiri dari Wernick-Tjoa Tek Swat-Lie Beng Giok. Tugas organisasi ini adalah mengumpulkan segala informasi penting seperti gerakan tentara Jepang, penjagaan, transportasi, pemindahan orang-orang interniran, gerakan kapal dllnya untuk disampaikan melalui pemancar radio mereka ke markas sekutu di Australia. Di samping itu mereka juga bertugas untuk menyediakan dan mengantar senjata, suku cadang radio, pemancar dan surat-surat keterangan. Di Jakarta organisasi ini bermarkas di toko Beng, di jalan Pecenongan dan di Bogor di toko Peng.

Karena kurang berpengalaman, pada akhir Desember 1942, organisasi ini berhasil digulung Kenpeitai Jepang. Wernick, Lie Beng Giok dan Tjoa Tek Swat ditangkap dan mengalami siksaan yang luar biasa dari Kenpeitai Jepang. Tjoa Tek Swat kemudian dihukum penggal kepala diAncol.

e

Sejarah Keturunan Tionghoa Di Asia Tenggara Yang Tak Dikenal Khalayak Ramai

Kami kutib dari buku "The 6th overseas Chinese state", Nanyang Huaren,
CSEAS, J.C.Univ. of N-Queensland, Australia 1990, penyunting Sie Hok Tjwan
tentang: 1) Palembang 2) Demak, Banten, Cirebon 3) Kalimantan Barat (babak
7 halaman 65 - 99) sbb:

Palembang
Pada tahun 1275 Kertanagara Raja Singasari terachir di Jawa Timur mengirim
ekspedisi militer ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibu
kota Palembang). Catatan thn 1286 menunjukkan serangan tsb berhasil dan
Sriwijaya direbut. Namun thn. 1292 Kertanagara sendiri terbunuh oleh
pemberontakan Kediri dan Singasari jatuh. Tanah bekas Sriwijaya terlantar,
keadaan kacau.

O.W. Wolters menulis dalam buku "The fall of Srivijaya in Malay history"
hal. 73, bahwa di Palembang tidak ada penguasa kepada siapa dapat
ditujukan peringatan kaisar Tiongkok T'ai-tsu. Tindakan kaum pedagang
Tionghoa mencerminkan bagaimana besarnya kekacauan pada waktu itu. Mereka
telah memilih pimpinan sendiri. Jalan yang ditempuh Palembang dengan
pemerintah Tionghoa perantauannya (with its overseas Chinese government)
untuk memulihkan keadaan adalah sesuai dengan pandangan bahwa orang
Tionghoa telah menyaksikan suatu keadaan yang tak dapat dibiarkan dan
mereka bertekad tidak boleh berlarut-larut.

Victor Purcell dalam buku "The Chinese in Malaya" hal.14 menyatakan
setelah kerajaan Sriwijaya ambruk, Palembang telah dikuasai orang-orang
Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun. Ketika kejayaan Sriwijaya surut
sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan Canton yang telah menetap
disana telah memerintah diri sendiri.

Lukisan tersebut diatas selaras dengan catatan Dinasty Ming Tiongkok,
bahwa orang Jawa tak mampu menguasai seluruh negara sesudah San-bo-tsai
(Sriwijaya) ditaklukkan. Karena itu, demikian Ming Dynasty records tsb,
orang Tionghoa setempat telah berdiri sendiri. Seorang dari Nan-Hai
(Namhoi) Canton bernama Liang Tau-ming telah terpilih sebagai pemimpin.
Beliau menguasai sebagian negara dan puteranya ikut dengan utusan kaisar
kembali ke Tiongkok. Pada tahun 1405 kaisar mengutus seorang kurir dari
desa asalnya Liang Tau-ming dengan perintah agar Liang Tau-ming menghadap
ke istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k'o
berangkat membawak produk2 setempat sebagai upeti. Mereka pulang dengan
membawak hadiah yang berlimpah2. Tahun 1407 atau shortly after that
Laksamana Islam Cheng Ho mendirikan masyarakat Islam Tionghoa di
Palembang. Tahun 1415 Palembang oleh kaisar Tiongkok diakui sebagai berada
dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit).

Disini kami menjumpai buku Prof. Dr. Slamet Muljana "Runtuhnja keradjaan
Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara". Prof. Muljana bukan
etnik Tionghoa seperti didesas-desuskan, melainkan seorang Priayi bekas
anggauta Tentara Peladjar. Buku ini thn 1971 dilarang oleh Kejaksaan Agung
dan meskipun sumber keterangan Ir. Parlindungan yang tersebut didalamnya
tak dapat ditrasir Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud dengan
panjang lebar telah memperbincangkan serta mengkomentari data Parlindungen
sebagai "The Malay Annals of Semarang and Cerbon" didalam buku "Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th centuries". Buku Prof. Muljana
mengandung cukup banyak data lain yang sangat menarik perhatian.

Kerajaan Majapahit juga berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut
Prof. Muljana dari 1294 hingga 1478 dan sedari itu menjadi sub-state
dibawah para penguasa Kerajaan Islam Demak hingga Majapahit tiada lagi,
yaitu thn.1527. Prof. Hoesein Djajadiningrat telah menentukan kehancuran
Majapahit sekitar thn. 1518. Malay Annals yang masih diperselisihkan itu
menyebutkan perkembangan sbb.: thn. 1443 Swan Leong (Arya Damar) putera
alm. Raja Majapahit dengan seorang wanita Tionghoa, oleh Haji Gan Eng Chou
(Arya Teja) telah ditunjuk sebagai kapten Muslimin Tionghoa di Palembang
sekalian menjadi penguasa atas nama saudara perempuan-tirinya, yaitu Ratu
Suhita dari Majapahit. Gan Eng Chou adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa
Timur. Beliau oleh Ratu telah dianugerahi gelar Arya sebagai bukti
penghargaan terhadap jasa2nya. Prof. Muljana berkesimpulan hal tsb
menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak keluarga Raja terhadap
orang Tionghoa. Mengenai pemerintahan Tionghoa Perantauan di Palembang,
Amen Budiman juga menunjuk pada dokumen2 sejarah Dinasti Ryukyu dan pada
reset yang dilakukan oleh Tan Yeok Seong, seorang sinologist yang
berpangkal di South Sea Society Singapura. Hingga belum lama ini Palembang terkenal sebagai tempat yang tidak anti-Tionghoa.

Kertanagara, raja Singasari yang terachir, pada thn.1289 telah menantang
wibawa kaisar Monggol Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok.

Beliau memulangkan utusan kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan
mengirim tentaranya ke Jawa. Tetapi sebelum kedatangan tentara tsb
Kertanagara pada thn 1292 telah tewas disebabkan pemberontakan Kediri.
Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan
dan menantunya Kertanagara, menyerahkan diri pada pimpinan tentara Monggol
dan menyatakan, bahwa Raja Kediri Jayakatwang telah menggantikan
Kertanagara. Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk
menjatuhkan Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya
berbalik menyerang tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal
Monggol/Tionghoa yang tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit
dimana beliau akan menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah
perjalanan para pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang
tidak menduganya dapat dikepung. Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak
Monggol kehilangan 3000 orang dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa
hadiah2 yang dijanjikan. Tahun 1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan
Majapahit di Jawa Timur.

Kublai Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara thn.
1325 dan 1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang
Adityawarman yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja
Sumatera-Barat telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri
dan utusan Majapahit pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.
Sifat pemancaran kejayaan Tiongkok jaman lampau berbeda bumi sama langit
dengan sifat kolonialis Eropa. Cuplikan-cuplikan berikut adalah hasil
penyelidikan beberapa pakar sejarah yang menggambarkan perbedaan tsb.
O.W. Wolters dalam bukunya "The fall of Srivijaya in Malay history" hal.
50, 52:

Pada tg. 30 oktober 1371 kaisar T'ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan
petunjuk untuk para pejabatnya: ..... menguasai tanah yang terlalu besar
tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja terlalu
berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan ..... pernyataan2 T'ai-tsu
kepada penguasa2 asing mengandung banyak saran kebijaksanaan. Daripada
menganjurkan mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, beliau menginginkan
mereka berkuasa dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara
tetangganya dan saling mengindahkan tapal-batas masing2.....Jika T'ai-tsu
curiga ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan
maksud yang tidak jujur, beliau lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya,
upeti perampas2 kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya (were
unacceptable to him).

Dr. John Crawfurd (bukan Crawford) mengenai pembayaran2 upeti kepada
kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak
berdasarkan "vanity" (pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada
"rapacity" (nafsu menggarong, lebih jelek daripada serakah/greedy). Raja
Siam mengaku dirinya sebagai pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan
karena terpaksa dan bukan karena berada dibawah kekuasaan kaisar,
melainkan demi menghindarkan pembayaran bea bagi kapal2 yang membawak
utusan2nya ke Tiongkok. Para utusan tsb mempersembahkan bunga dari mas
sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar hadiah2 yang jauh lebih
berharga sebagai tanda penghargaan. Negara2 lain yang lemah mengakui
kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat perlindungan terhadap
gangguan2 dari luar.

Dalam arsip Tiongkok tercatat bahwa pada thn. 1376 ketika dinasti Yuan
(Monggol) sudah digantikan oleh dinasti Ming (1368-1644) raja
Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas apa nama aslinya, tetapi kawasan yang
dipersoalkan menyangkut tanah bekas Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan
oleh puteranya yang disebut sebagai Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt
mungkin putera tsb. adalah Maharadja Wuli, tetapi menurut Slamet Muljana
beliau ini Maharadja Mauliwarmadewa. Tahun berikutnya maharaja mengirim
upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang2 dan binatang2 chas dalam
negeri. Utusan2nya menyampaikan pesanan bahwa putera tsb segan naik tahta
atas wewenang sendiri serta mohon mendapat ijin kaisar (dengan maksud
mendapat perlindungannya). Kaisar memuji perasaan tanggungjawab maharaja
dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya
disertai pengangkatan beliau sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun
pada waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Raja
Majapahit sangat murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk
San-bo-tsai dan mengirim anak buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan
kaisar. Kaisar dapat mengerti kemurkaan raja Majapahit dan tidak
mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini lambat-laun
San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari
kawasan itu. Catatan tsb sesuai dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya
terlantar dan kacau. Keguncangan Singasari-Kediri dan belum
terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa tidak mampu mengurus
tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.

Tentang perang saudara Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam thn.
1405 sida-sida (eunuch) Laksamana Cheng Ho telah diutus ke Majapahit yang
dewasa itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur dan Raja Barat. Tahun
berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur dikalahkan dan
kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan2 kaisar kebetulan berada di
negara Raja Timur. Ketika prajurit2 Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170
orang dari utusan kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir
serta mengirim utusan minta maaf. Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat
mencela Raja Barat dan menuntut pembayaran enam-puluh ribu tail mas
sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali lagi diutus ke negara ini dan
Raja Barat memberi sepuluh ribu tail mas. Petugas2 Dewan Tatacara di
Tiongkok melihat jumlah tidak cukup dan bermaksud mempenjara utusan2 yang
membawanya, tetapi kaisar mengatakan: "Yang saya kehendaki dari orang2
yang hidup dijauhan yalah mereka menginsyafi kesalahannya. Saya tidak
ingin memperkaya diri dengan masnya." Seluruh denda dikembalikan. Sedari
itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua tahun,
ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan Cheng
Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
Lit.:
- Morris Rossabi "Khubilai Khan, his life and times" hal. xi, 220, 227,
228.
- Slamet Muljana "A story of Majapahit" hal. 10, 34, 35, 43, 49, 50, 71-3,
82, 88, 146, 182, 240.
- W.P. Groeneveldt "Notes on the Malay Archipelago and Malacca" hal. 36,
37, 69, 123.
- V.Purcell "The Chinese in Southeast Asia" hal. xxvii, 122.

Demak
Pada dasawarsa2 terachir abad ke 15 di Jawa Tengah telah didirikan
kerajaan Islam Demak yang berlangsung dari 1475/1478 hingga 1546/1568.
Pendirinya adalah puteranya Cek Ko-Po dan berasal Palembang dimana ketika
itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa yang besar. Beliau terkenal dengan
nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin Bun / Panembahan Jimbun / Arya
(Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Orang2 Portugis menyebutnya Pate Rodin
Sr. Menurut orang Portugis Tome Pires, beliau seorang "persona de grande
syso", a man of great power of judgement, seorang satria (cavaleiro, a
knight, a nobleman). Terkaan bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak
tidak masuk akal. Penjelasan prof. Muljana nama Jin Bun berarti "orang
kuat" dalam dialek Tionghoa-Yunnan. Semasa dynasti Yuan (Monggol) di
propinsi Yunnan terdapat banyak penganut agama Islam.

Kalangan berkuasa Demak sebagian besar terdiri dari orang2 keturunan
Tionghoa. Sebelum jaman kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan
orang Pribumi merupakan hal yang normal. Dr. Pigeaud dan Dr. de Graaf
telah menggambarkan keadaan pada abad ke 16 sbb.: di kota2 pelabuhan pulau
Jawa kalangan berkuasa terdiri dari keluarga2 campuran, kebanyakan
Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber2 sejarah pihak Pribumi
Indonesia menyebut, dalam abad ke 16 sejumlah besar orang Tionghoa hidup
di kota2 pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga di Cirebon, Lasem,
Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam
mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu
sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggihkan gengsi.

Salah satu cucunya Raden Patah tercatat mempunyai cita2 untuk menyamai
Sultan Turki. Menurut De Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja
Demak terachir yang mengatakan pada Manuel Pinto, beliau berjuang
sekeras2nya untuk meng-Islamkan seluruh Jawa. Bila berhasil beliau akan
menjadi "segundo Turco" (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan
Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya selain naik haji beliau
telah mengunjungi Turki.

Sumber2 Pribumi menegaskan raja-raja Kerajaan Demak orang Tionghoa atau
Tionghoa peranakan Jawa. Terlalu banyak untuk memuat semua nama2 tokoh
sejarah yang di-identifikasi sebagai orang Tionghoa. Diantaranya Raden
Kusen (Kin San, adik tiri Raden Patah), Sunan Bonang (Bong Ang, putera
Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho), Sunan Derajat juga putera Sunan
Ngampel, Sunan Kalijaga (Gan Si Chang), Ja Tik Su (tidak jelas beliau
Sunan Undung atau Sunan Kudus. Ada sumber mengatakan Sunan Undung ayah
Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel), Endroseno, panglima terachir
tentara Sunan Giri, Pangeran Hadiri alias Sunan Mantingan suami Ratu
Kalinyamat, Ki Rakim, Nyai Gede Pinatih (ibu angkatnya Sunan Giri dan
keturunannya Shih Chin Ching tuan besar (overlord) orang Tionghoa di
Palembang), Puteri Ong Tien Nio yang menurut tradisi adalah isterinya
Sunan Gunung Jati, Cekong Mas (dari keluarga Han, makamnya terletak
didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur dan dipandang
suci), Adipati Astrawijaya, bupati yang diangkat oleh VOC Belanda tetapi
memihak pemberontak ketika orang2 Tionghoa di Semarang berontak melawan
Belanda pada thn. 1741 dan Raden Tumenggung Secodiningrat Yokyakarta (Baba
Jim Sing alias Tan Jin Sing). Menurut prof. Muljana, Sunan Giri dari pihak
ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal Yunnan
Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini menjadi
bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia
Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur. Giri
nama bukit di Gresik.

Pengaruh arsitektur Tionghoa terlihat pada bentuk mesjid2 di Jawa terutama
di daerah2 pesisir bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di
Sumatera Selatan dan di Jawa mazhab (sekte) Hanafi. Datangnya melalui
Yunnan Tiongkok pada waktu dynasti Yuan dan permulaan dynasti Ming. Prof.
Muljana berpendapat bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari
Malaka atau Sumatera Timur, mazhabnya Syafi’i dan/atau Syi’ite dan ini
bukan demikian halnya. Beliau menekankan mazhab Hanafi hingga abad ke 13
hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan Turki. Meskipun agama Islam
pada abad ke 8 sudah tercatat di Tiongkok, Mazhab Hanafi baru masuk
Tiongkok jaman dynasti Yuan abad ke 13, setelah Central Asia dikuasai
Jengiz Khan.

Kepergian banyak Muslim Tionghoa (exodus) dari Tiongkok terjadi pada
thn.1385 ketika diusir dari kota Canton. Jauh sebelum itu, Champa sudah
diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai Khan. Jendral Nasaruddin
diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China. Sejumlah pusat
Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.

Ketika pada thn.1413 Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng
Ho, beliau mencatat agama Islam terutama agamanya orang Tionghoa dan orang
Ta-shi (menurut prof. Muljana orang2 Arab). Belum ada Muslimin Pribumi.

Pada thn.1513-1514 Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur
dikuasai oleh orang2 Muslim asal luar Jawa. Pada thn. 1451 Ngampel Denta
didirikan oleh Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama
Islam mazhab Hanafi diantara orang2 Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai
pusat Muslim Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari
Tiongkok berhenti karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar
melarang orang2 Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.

Sangat menarik perhatian karena saya alami sendiri, setidak2nya hingga
jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan
sebutan "Kyai" untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru
agama Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tsb
peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa
Hokkian "Suhu, Saihu". 8 Orang Wali Songo mazhab Hanafi bergelar Sunan.

Satu dari Wali Songo mazhab Syi’ite bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik.
Kesimpulan wajar, para aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa
itu semuanya orang Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan
penyebaran agama Kristen dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke 19
kaum penyebar diatas tingkat lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa.
Tanah Tiongkok hampir seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok
tidak dapat dilakukan dengan salah satu negara Eropa tetapi harus dengan
seluruh Eropa. Seperti juga suku2 Eropa dengan bahasa2nya berbeda satu
sama lain, demikian pula terdapat perbedaan antara suku2 dengan bahasa2nya
di Tiongkok. Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat
dimengerti meskipun bahasanya berlainan.
Lit.:
- De Graaf and Pigeaud "De eerste Moslimse Vorstendommen op Java",
"Islamic states in Java 1500-1700".
- Amen Budiman "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia".
- Slametmuljana (dalam buku bahasa Inggris ini, nama penulisnya disambung
menjadi satu) "A story of Majapahit".
- Slamet Muljana "Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2
Islam di Nusantara".
- Jan Edel "Hikajat Hasanoeddin".

Menuai Hubungan Baru Islam dan Tionghoa

 

Oleh: Slamet Thohari   

Ungkapan “mayoritas adalah paling berprioritas” mungkin telah menemukan wujud paling nyata dalam perkembangan masyarakat Indonesia. Khususnya pada masa Orde Baru, ungkapan tersebut sepertinya menjadi justifikasi atas sikap “mencak-mencak”-nya mayoritas dalam perebutan makna atas Indonesia. Masih terngiang sayup-sayup kerusuhan 13-14 Mei 1998 yang menyisakan kengerian, dan trauma besar bagi masayarakat Tionghoa di Indonesia.

Banyak orang-orang Tionghoa dirusak toko-tokonya, dijarah barang-barangnya, dan (maaf)tak sedikit perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa. Konon, sebagaimana dikatakan Hefner dalam Civil Islam(2001), dalam peristiwa tersebut, umat Islam sedikit banyak, turut terlibat—terlepas  dari alasan lain—dalam kerusuhan tersebut. Akibat, kerusuhan itu banyak sekali orang-orang Tionghoa yang meninggalkan Indonesia, karena bagi mereka Indonesia saat itu adalah tempat “suwung” yang menakutkan.

Kerusuhan dan ‘amuk’ masa yang terjadi bukanlah hal baru, dalam draft historiografi Indonesia, selalu saja dihiasai peristiwa yang kurang lebih sama bentuknya Peristiwa  di pekalongan tahun 1970-an, atau jauh sebelumnya, hura–hura anti-Cina oleh kalangan santri di Kudus akhir bulan Oktober 1919 yang oleh Castles, dikategorikan sebagai hura-hura anti-Cina terburuk di Indonesia pada abad ke-20(Castles, 1982 : 103), merupakan bagian dari “catatan sejarah hitam” hubungan antara masyarakat Islam dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia.
***

Bangsa Indonesia tengah berada dalam ‘musim’ transisi. Banyak agenda yang musti terselesaikan dan dituntaskan. Akar-akar konflik sering kali berasal kesejarahan bangsa Indoensia. Pada masa Orde baru selalu melakukan penertiban dan pendisiplilnan terhadap semua hal yang bertentangan dengan agenda kekuasaannya. Segala sesuatu yang sekiranya bersebrangan dipinggirkan sedemikian mungkin. Bukan hanya itu saja, Orde baru juga berusaha meyakinkan dan memberikan paham yang sekiranya berbanding lurus dengan agenda kekuasaannya.

Ini bisa kita saksikan atas pemberian sikap yang berbeda pada masyarakat keturunan Cina atau Tionghoa. Tanda khusus bagi warga keturunan Cina dalam KTP, mewajibkan pemakaian nama-nama khas Indonesia, tidak dibolehkannya perayaan kebudayaan Tionghoa, diabsenkannya agama Kong Hu Chu dari sebagai bagian dari agama-agama ‘syah’ di Indonesia merupakan sekian rekayasa kepentingan kekuasaan Orde Baru.

Konstruksi diskriminatif terlelap panjang dalam masyarakat. Hingga Masyarakat menerimanya dan tergiring oleh apa yang telah dilakukan Orde Baru tersebut. Wal hasil dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Tionghoa menjadi “the other” dalam masyarakat Indonesia. Kata-kata seperti “Umbele Cino” “Cino Totok” dan “Singkek” sering saja “ber-sliweran” dalaam kehidupan keseharian masyarakat. Sebagai  “tetenger” atas ekpresi kejengkelan terhadap kalangan Tionghoa.

Apa yang dilakukan oleh Orde Baru, dengan menata “suhu” dan kondisi yang tidak adil inilah, semakin mempertajam kerumitan permasalahan ; terkait hubungan antara Tionghoa dan Muslim dalam arena pergulatan masyarakat Indonesia. Arus kebencian menjalar, kemudian meresap, ‘bergerilya’ masuk dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Sehingga apa yang telah ada seolah-olah benar tak terbantahkan lagi. Orang-orang Tionghoa adalah orang yang kafir, licik, pelit, dan oportunis dan sekian kategori jelek lainya.
***               

Dengan segala kejujuran,  tak bisa dipungkiri, Cina atau Tionghoa telah banyak memberikan sumbangan besar bagi predaban Islam di Indonesia. Pada latar abad 15/16 telah terjalin, oleh Sumanto(2003), disebut sebagai “Kebudayaan-Jawa-Islam-Cina”(Al-Ikhtilaf, 224/4/2005). Bagi Sumanto, Islam Di Indonesia tak Bisa dilepas dari “urun rembuk”-nya kebudayaan Cina. Bahkan dugaan besarnya, Islam hadir pertama kali di Indonesia—terlepas dari perdebatan masalah ini— bukanlah dari Persia, atau India, akan tetapi dari Cina.

Menara masjid di Pacinan Banten, ukiran padas di masjid mantingan Jepara, makam Sunan Giri di Greseik, arsitektur keratin Cirebon dengan taman Sunyaragi, atau Masjid Sekayu di semarang merupakan kontruksi dan corak gaya Cina dalam Islam. Bukan hanya itu saja Masjid Agung yang berdiri megah di Jakarta : Masjid Kali Angke yang selalu dihubungkan dengan Houw Tjay dan Masjid kebun jeruk merupakan bangunan yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Ini belum termasuk kelenteng dan tempat peribadatan yang sebelumnya diduga adalah gubahan dari sebuah masjid Cina. Klenteng yang ada di Ancol Jakarta, Klenteng Gedung Batu, di Simongan Semarang,  Klenteng Mbah Ratu di Surabaya dan lain-lain. Merupakan bangunan-bangunan yang cukup evidensif, pengaruh Cina bagi perkembengan Islam di Indonesia.

Tak cukup itu saja, terdapat bukti-bukti kesejarahan baik itu oral maupun literal yang memperkuat adanya peranan Cina dalam proses Islamisasi di Jawa. Cerita-cerita lisan yang berkembang di masyarakat pantai utara(Pantura) atau pada naskah-naskah lokal seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kendaning Ringgit Purwo, Babad Cirebon, Hikayat Hasanuddin, Cerita (sadjarah) Lasem, dan yang lainya. Pada naskah-naskah lokal ini, menarik untuk kita cermati, diceritakan bahwa Raden Patah, pengampu kerajaan Demak tersebut, merupakan penguasa pertama kerajaan Islam yang berdarah Cina.

Demikian pula dengan tokoh-tokoh penyebar Islam di dataran Jawa. Diantaranya Ceng Ho, atau Sam Po Kong, petualang yang sempat  mampir dan mendirikan masjid di Semarang, Kyai Telingsing(Tan Ling Sing)—merupakan alter-ego Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam di Kudus, Gwie Wan, adalah pembantu pribadi Sultan Hadirin sekaligus peletak dasar bagi ukiran yang menjadi paten Jepara hingga Sekarang.

Dalam tradisi masyarakat Salatiga, selalu saja mengaitkan proses islamisasi mereka  dengan Lieg Beng. Sementara  pada masyarakat Cirebon sering menghubungkan tradisi mereka dengan Tang Eng Hoat, Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi’ii, Kung Sang Pak atau Muhammad Murjani kemdian ada lagi Tan Hong Tien Nio—yang terkenal dengan putri  Ong Tien—adalah  Istri dari Sunan Gunung Jati.

Demikian pula dalam pergerakan nasional Bangsa Indonesia. Orang seperti Abdul Kariem Coe merupakan tokoh Muhamadiyah yang gigih, turut  dan mempunyai andil besar dalam pergerakan di Sumatra. Dan konon juga, tokoh gerakan yang banyak digemari, karena pikiran-pikiran radikal dan konsitensinya dalam dunia gerakan, Tan Malaka, merupakan seorang Tionghoa. Sedang Tan Malaka, saat masa remaja tak lain adalah seorang muslim yang teguh. Bahkan lebih dari itu, tokoh Islam nasional sekarang yang sempat memimpin di negeri ini : Abdurrahman Wahid, juga mengaku sebagai keturunan Tionghoa.

Permasalahan sekarang menjadi “terang bendarang”. Tionghoa yang sering dicemooh, dipinggirkan dan dihujat ternyata mempunyai andil besar dalam langkah dan laju peradaban Islam di Indonesia. Kehadirannya yang berandil besar tersebut, seringkali tidak diikuti dengan sikap dan apresiasi besar oleh mereka yang sering merasa sebagai “kelompok eksepsional”. Sebuah sikap yang tentu saja, akan kita ratapi, sebagai bangsa yang hendak menuju “bangsa beradab”.

Berpijak pada  konsep ushul fiqih : dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbi massholikh(mencegah kemungkinan buruk mustilah dikedepankan dari pada mendatangkan kebaikan). Maka setidaknya perlu untuk mempertimbangkan agenda rekonsiliasi (islah), yang merupakan langkah agar tidak terulangi kemungkinan-kemungkinan buruk. Kemungkinan  tersebut sungguh tidak sesuai Alqur’an  “…Barang siapa yang membunuh manusia, bukan karena orang itu(membunuh)orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan–akan ia telah membunuh seluruh manusia..”(al-Maidah: 32)

Sabaliknya agenda islah merupakan ruang untuk menciptakan nuansa menghargai, merelakan dan menempatkan orang lain sejajar dengan yang lain merupakan agenda terbesar dalam Islam. Orang-orang Tionghoa beserta segala ubo rampe kebudayaannya, mestilah kita beri ruang untuk sejajar. Karena lanskap sejarah memang sengaja tercipta untuk berbeda : suku, ras, jenis, agama dan lain-lain. Kesemuanya merupakan jalinan untuk berproses, membentuk masyarakat yang harmonis, tidak dibeda-bedakan, tidak pula saling menyakiti antara satu dengan yang lain.  

Dengan demikian, sudah tepat saatnya untuk merajut hubungan baru lebih sejuk antara muslim dan Tionghoa. Terkait dengan ini Allah SWT berfirman “dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah–olah dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia”

Cahaya Memendar dari Lasem

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgd59uIdUGGAImxkHwK2zuFjzVghcmkfI2WjJbd5j1q_TrNcoZighUfTF7tJUNkKHGeL3MpgguTksdK7ly68kGunEWpwD_L02ZrG15T9x4giAZeWJmoe6LuhJ_Su8iZko2W2BCK88NXypw/s320/hamid-asrori.jpgPada Tanggal 19-20 Desember 2009 Ketua Korwil DKI Jakarta melakukan perjalanan dakwah di Semarang dan Tuntang, Salatiga, berbarengan dengan itu Sekretaris Korwil DKI Jakarta memenuhi tugas dakwahnya di tanah kelahiran sang istri tercinta di Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Sang Sekretaris diundang untuk memberikan tausiyah di hadapan ibu-ibu majlis ta’lim di Desa Gedong Mulyo, Lasem.

Sementara itu di Lasem, telah banyak komunitas ikhwan-akhwat TQN Suryalaya yang tengah berlatih mengaplikasikan ajaran mursyid tercinta KH Ahmad Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin. Seperti biasa, ketika pulang kampung Sekretaris Korwil menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah komunitas ini dalam rangka melakukan pembinaan.

Setelah memimpin dzikir khataman yang rutin dilakukan setiap malam ahad di rumah salah seorang penggerak TQN Suryalaya di Lasem, Sekretaris Korwil DKI Jakarta memberikan tausiyah berhubungan dengan teknis pelaksanaan dzikir harian, yakni dzikir jahri dan khofiy.

“Pancaran Cahaya dzikir (Nuurudzdzikri) senantiasa biasa dihasilkan apabila pelaksanaan dzikir dilakukan secara berjamaah. Dalam dzikir berjamaah, ada saja ikhwan yang kondisinya sedang down diiringi rasa malas yang luar biasa, ada juga yang sedang bersemangat. Aura positif akan senantiasa terpancar dari ikhwan yang bersemangat sehingga ikhwan yang sedang down itu secara otomatis ikut bersemangat.

Selain itu kualitas ruhaniah murid senantiasa meningkat manakala khidmahnya pada Mursyid terus terjaga. Salah satu bentuk khidmah murid pada Mursyid adalah dengan seringnya melakukan dzikir secara berjamaah. Bentuk lain khidmah adalah melestarikan dan membumikan ajaran-ajaran tasawuf Mursyid dengan cara mengajak lebih banyak lagi calon ikhwan untuk talqin dzikir”,
 begitu papar sang Sekretaris.

Berkenaan dengan itu, Sekretaris Korwil DKI Jakarta kembali memompa semangat ikhwan TQN Suryalaya di Lasem untuk membuat gerakan-gerakan agresif dalam rangka rekrutmen calon-calon ikhwan. Kemudian terjadilah diskusi yang panjang mengenai wacana ini.

Diakui, Lasem terkenal sebagai kota santri. Pesantren-pesantren banyak berdiri di Lasem terutama di sebelah Timur (wetan). Ada Pesantren-pesantren peninggalan KH. Maksum, KH. Baedlawie, KH. Masduki, KH. Mansur dan lain-lain. Kesemua tokoh di atas adalah nama-nama terkenal dalam kancah penyebaran dan pelestarian nilai-nilai agama Islam di era 50 hingga 70an. Kini, rata-rata pesantren-pesantren tersebut dikelola oleh generasi ke-3 sampai ke-4.

Lain di Timur (wetan) lain lagi di Barat (kulon), hampir dipastikan keberagamaan Islam di Lasem Kulon berbeda 180 derajat dari Lasem Wetan, meskipun ada satu pesantren di Lasem Kulon yang letaknya agak ke utara dan dekat dengan pantai, keberadaannya tidak membawa dampak positif terhadap kehidupan beragama masyarakat Lasem Kulon.

Bisa dikatakan, masyarakat Lasem Kulon lebih sekuler dibanding Lasem Wetan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya para pendatang Tionghoa yang sudah terkristenisasi oleh misionaris penjajah Belanda sejak ratusan tahun lalu. Gereja-gereja dan kelenteng-kelenteng jumlahnya lebih banyak di Lasem Kulon, Sekolah-sekolah Kristen dan Katolik berdiri berjajar di pinggir jalan utama Lasem Kulon. Miris, banyak anak-anak muslim yang disekolahkan oleh orangtua mereka ke sekolah-sekolah itu dengan alasan kualitas, tanpa memperhitungkan dampak aqidah di masa depan. Lebih mengkhawatirkan lagi, terjadi proses kristenisasi secara halus melalui pernikahan beda agama dan alasan-alasan ekonomi klasik.

Mempertimbangkan fenomena-fenomena sosial ini, gerakan kembali membumikan tasawuf dan tarekat di Lasem merupakan wacana solutif dalam rangka memperkecil dampak asimililasi budaya tionghoa pada masyarakat Lasem. TQN Suryalaya di Lasem berusaha untuk menjadi pelopor terjadinya transformasi keberagamaan masyarakat Lasem. Langkah awalnya adalah berusaha mensosialisasikan problem-problem sosial ini ke tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama setempat.

Maka keesokan harinya, Sekretaris Korwil DKI Jakarta didampingi oleh salah seorang ikhwan TQN Suryalaya di Lasem bersilaturahim kepada GUS QAYUM, salah seorang ulama kharismatik yang disegani masyarakat Lasem. Beliau adalah cucu KH. Kholil yang dilahirkan di desa Gedong Mulyo, Lasem Kulon. Usianya masih terbilang muda, warga Lasem meyakini GUS QAYUM memiliki khawariqul ‘adah (Keluarbiasaan). Salahsatu contohnya, ketika orang-orang lain belajar ilmu agama kepada ayahandanya, KH Mansur, beliau tidak pernah tertarik. Namun pada satu kesempatan ada salah seorang murid senior KH Mansur sedang memberikan tutorial kepada murid-murid juniornya, GUS QAYUM mendengar kekeliruan dalam cara mengajarkan, saat itu juga ia sanggah dan mengoreksi kekekiruan itu. Uniknya, GUS QAYUM mengajar dengan berkali-kali mengeluarkan istilah-istilah bahasa asing (bahasa Inggris) padahal sebelumnya GUS QAYUM tidak pernah duduk di bangku sekolah formal.

Diskusi hangat pun terjadi setelah sekretaris Korwil DKI Jakarta memperkenalkan diri. Bahasan utama mengenai dakwah Islam di Jakarta dan Lasem. GUS QAYUM dan Sekretaris Korwil DKI Jakarta saling bertukar informasi mengenai iklim dakwah di dua kota. Di sela-sela diskusi, Sekretaris Korwil DKI Jakarta memohon ijin untuk bergabung dalam kegiatan dakwah GUS QAYUM dan berkenalan dengan jamaah di Lasem pada masa-masa yang akan datang sambil membawa tim dakwah dari Ibukota. Alhamdulillah, dengan senang hati GUS QAYUM mempersilakan tim dakwah dari Jakarta untuk turut bergabung dalam kegiatan-kegiatan dakwahnya.

Biasanya, jika GUS QAYUM kedatangan tamu pada saat pengajiannya dilaksanakan, tidak sungkan beliau akan langsung mempersilakan tamu itu untuk berbicara di depan jamaahnya. Kesempatan ini sangat penting apabila tim dakwah dari Jakarta atau Suryalaya yang menjadi tamunya dan menggunakannya untuk memperkenalkan TQN Suryalaya. Mudah-mudahan wacana ini cepat terwujud. Insya Allah.

Malam Senin, Sekretaris Korwil DKI Jakarta berbicara di depan jamaah Majlis Ta’lim ibu-ibu Desa Gedong Mulyo. Kurang lebih 150 orang hadir pada acara selamatan aqiqah warga Lasem yang sedang menjalani pendidikan di Akademi Kepolisian. Tema yang dibahas adalah cirri-ciri leadership Rasulullah SAW sebagai bekal Taruni tersebut menjalani pendidikan dan tugas-tugasnya setelah lulus dari Akademi Kepolisian.
Sebelum kembali ke Jakarta pada keesokan harinya, Sekretaris Korwil DKI Jakarta menyempatkan diri bersilaturrahim melalui handphone dengan KH Asrori Kholil, wakil talqin TQN Suryalaya di Bojonegoro. Tidak disangka ternyata beliau sedang berada di kediaman kakak iparnya KH Hamid Baedlawie di Lasem. KH. Hamid Baedlawie adalah keturunan langsung KH. Baedlawie, salah satu dari tiga serangkai pemuka agama Islam di Lasem pada era 50-70an, dua lainnya adalah KH. Maksum dan KH. Masduki. Seakan tertimpa durian runtuh, Sekretaris Korwil DKI Jakarta dengan segera memohon untuk bermuwajahah sekaligus berdiskusi mengenai perkembangan TQN Suryalaya di Lasem.

Permohonan disetujui, dengan segera Sekretaris Korwil DKI Jakarta memacu kendaraan ke kediaman KH Hamid Baedlawi yang berjarak hanya tiga kilometer dari Gedong Mulyo. Setibanya di Pondok Pesantren Al Wahdah (ponpes asuhan KH Hamid Baedlawi), KH Asrori Kholil sedang dipijit oleh salah seorang santri Ponpes Al Wahdah. Percakapan akrab pun segera terjadi. Maklum keduanya sudah saling mengenal lama. Pembicaraan yang tadinya hanya sekadar basa-basi meningkat pada persoalan serius mengenai perkembangan TQN Suryalaya.

Sekretaris Korwil DKI Jakarta mengusulkan untuk menggunakan pengaruh besar KH Hamid Baedlawie di kalangan masyarakat Lasem dalam rangka promo TQN Suryalaya. KH. Asrori Kholil menyetujui usulan tersebut, namun harus dengan cara yang elegan. Beliau mengusulkan membuat sebuah seminar mengenai tasawuf yang dihadiri para praktisi tasawuf dari TQN Suryalaya diantaranya Ust. Wahfiudin atau KH. Jejen Zaenal Abidin dan lain-lain serta melibatkan ulama kharismatik setempat semisal KH. Hamid Baedlawie. Berikan kesempatan beliau berbicara mengenai tasawuf sesuai versinya sambil beliau juga mendengarkan tasawuf dan thariqah ala TQN Suryalaya melalui wakil-wakil talqin TQN Suryalaya. Sebuah usulan yang bagus. Mudah-mudahan wacana ini bisa terealisasi.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEherbKJk2iBIYv75ItOzoIat4EwyVF41cnAFClpF7II8cGQ0mjB7uMQvvW9XenA9BCQCHiq3EMu1SSGWbh7J2AleAxOnZ2JZNlJgkRRV8JGQz0GY7__JIwwHtkndCgWSijK0cJrXpv8azI/s320/Ham.jpgKemudian KH Asrori Kholil mengajak Sekretaris Korwil DKI Jakarta untuk menemui KH Hamid Baedlawie di ruangannya. Tidak lama menunggu, KH. Hamid Baedlawie keluar menemui mereka. Ulama kharismatik itu sudah tampak sepuh. Posturnya yang sangat tinggi, warna kulit yang putih bersih, rona wajah yang selalu tampak ceria dan memancarkan aura ketentraman menambah kesan beliau sebagai orang yang sangat dimuliakan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sekretaris Korwil DKI Jakarta untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari kata-kata hikmah yang keluar dari lisan beliau.

Sungguh anugerah yang sangat luar biasa. Perjalanan dakwah di Kota Lasem memang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Dari waktu ke waktu, skenario Allah SWT berjalan tidak disangka-sangka. Mudah-mudahan perjalanan ini memperoleh berkah dan bermanfaat untuk kemaslahatan umat pada umumnya dan perkembangan TQN Suryalaya pada khususnya.(han)

ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA bag. 1/3
  (Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI
  Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure
  Rekso,Jakarta.)
   
  Oleh : Benny G.Setiono
  
------------------------------------------------------------------------------------
   
  Peran politik etnis Tionghoa di Indonesia.
   
  Ketika pada tahun 1293 kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (1280-1367)
  memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi pelajaran
  kepada raja Kartanegara dari kerajaan Singosari yang dianggap membangkang,
  ternyata di sepanjang pesisir utara pulau Jawa telah ditemukan koloni-koloni 
pemukiman etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa ini yang berasal dari propinsi 
Hokkian di daratan Tiongkok, pada umumnya adalah para pedagang perantara, 
petani dan tukang-tukang kerajinan yang hidup dengan damai bersama penduduk 
setempat. Kemudian sebagian prajurit pasukan Kubilai Khan yang terdiri dari 
orang-orang Tionghoa yang direkrut dari propinsi Hokkian tidak mau kembali ke 
daratan Tiongkok. Mereka takut menghadapi ancaman hukuman, karena pasukannya 
tertipu masuk perangkap Raden Wijaya dan berhasil dihancurkan. Sebelumnya Raden 
Wijaya dengan bantuan pasukan Kubilai Khan berhasil mengalahkan pasukan 
Singosari dan setelah itu ia mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu banyak 
anggota pasukan Kubilai Khan yang takut menghadapi pelayaran kembali ke daratan 
Tiongkok yang penuh bahaya alam dan perompak. Akhirnya mereka memilih untuk 
menetap di pesisir utara pulau Jawa dan menikah dengan
 perempuan-perempuan setempat. Merekalah yang mengajarkan cara-cara membuat 
bata, genting, gerabah dan membangun galangan kapal perang serta teknologi 
mesiu dan meriam-meriam berukuran besar dan panjang.
   
  Pada abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari
  Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau
  Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada
  tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai
  Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi
  Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana
  Cheng Ho, sebagian besar dari wali songo yang berjasa menyebarkan agama
  Islam di pesisir pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak
  berasal dari etnis Tionghoa. Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang
  (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo),
  Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dllnya konon berasal dari Champa
  (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin
  Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putera Kung Ta
  Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri
  Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).
  Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan Cornelis
  Houtman berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ia tercengang karena
  menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang harmonis dengan
  penduduk dan penguasa setempat. Selain di Banten, orang-orang Belanda dan
  kemudian orang-orang Inggris juga menjumpai koloni-koloni Tionghoa di
  kebanyakan bandar-bandar Asia Tenggara seperti di Hoi An, Patani, Phnom
  Penh dan Manila. Pada tahun 1642 di Hoi An terdapat empat-lima ribu orang
  Tionghoa dan di Banten pada tahun 1600 terdapat tiga ribu orang Tionghoa.
   
  Pada tahun 1611 Jan Pieterszoon Coen diutus Gubernur Jenderal VOC Pieter
  Both untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus
  berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama
  Souw Beng Kong (Bencon). Souw Beng Kong adalah seorang pedagang Tionghoa
  yang sangat berpengaruh dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Ia
  sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh Sultan dan para petani Banten.
  Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang ingin
  membeli hasil bumi dari petani Banten harus melakukan negosiasi harga dan
  lain-lainnya dengan Souw Beng Kong. Kemudian Souw Beng Kong coba
  dipengaruhi Jan Piterszoon Coen, tetapi tidak berhasil karena ia merasa
  Coen terlampau menekannya. Sebaliknya sultan Banten merasa puas dengan
  keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena
  orang-orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru, terutama 
di bidang pertanian. Mereka mengajarkan cara menanam padi di sawah yang 
berpetak-petak dengan mempergunakan pematang dan membajak serta
  mengairinya, karena sebelumnya mereka hanya menanam padi di ladang yang
  sudah tentu hasilnya kurang memuaskan. Namun ketika Coen pada tahun 1619
  berhasil merebut Jayakarta dan berniat membangunnya menjadi Batavia, sebuah
  bandar yang ramai untuk menyaingi Banten, ia berhasil membujuk Souw Beng
  Kong untuk membawa orang-orang Tionghoa hijrah ke Batavia. Ia kemudian
  diberi gelar kapitein (titulair) Tionghoa pertama agar dapat memimpin dan
  mengarahkan orang-orang Tionghoa di Batavia serta memindahkan pendaratan
  jung-jung yang membawa barang dagangan dari Tiongkok ke Batavia. Berkat
  bantuan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lah, Batavia berhasil
  dibangun menjadi Bandar yang ramai dan menjadi pusat perdagangan yang
  penting di Asia Tenggara. Perlu dicatat juga jasa Phoa Beng Gan (Binggam)
  yang atas gagasan dan prakarsanya serta dukungan dana masyarakat Tionghoa
  Batavia, berhasil dibangun kanal yang membelah daerah Molenvliet (sekarang
  Jl.Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Pembangunan kanal tersebut kemudian
  dilanjutkan untuk disambungkan dengan kali Ciliwung dengan membelah daerah
  tersebut menjadi Noordwijk (Jl.Djuanda) dan Rijswijk (Jl.Veteran), untuk
  menghindari banjir yang selalu menimpa kota Batavia.
   
  Pada masa itu pulalah orang-orang Tionghoa yang berdiam di luar tembok kota
  Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu dan industri gula. Penggilingan
  tebu dilakukan dengan cara sangat sederhana yaitu dengan menaruh dua tabung
  kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistim roda
  gigi serta sebuah poros sepanjang 4.5 meter. Kedua tabung tersebut tegak
  lurus, kemudian batang tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali
  untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Sari tebu tersebut kemudian
  dipanaskan untuk dijadikan gula. Karena kekurangan bahan bakar untuk
  tungku, maka sejak tahun 1815 industri gula tersebut dipindahkan ke Jawa
  Tengah dan Jawa Timur.
   
  Pada tahun 1740 di Batavia terjadi pembunuhan massal orang-orang Tionghoa
  yang dilakukan tentara VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan
  Valckenier. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembantaian
  yang di luar peri kemanusiaan. Sebagai kelanjutan dari peristiwa tersebut,
  terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa yang bersekutu dengan
  orang-orang Jawa melawan pasukan VOC di Jawa Tengah (1740-1743). Kalau saja
  tidak terjadi pengkhianatan Sunan Paku Buwono II dari Mataram dan bantuan
  Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura, pasukan VOC yang sudah
  terdesak dan terkurung di kota Semarang berhasil diusir dari Jawa Tengah
  dan besar kemungkinan dari seluruh pulau Jawa.
   
  Pada akhir November 1810 terjadi pemberontakan Raden Rongga, menantu Sultan
  Hamengku Buwono II yang mempunyai hubungan yang erat dengan
  kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa di Jawa Timur. Ia menyatakan dirinya
  sebagai "pelindung" semua orang Jawa dan orang-orang Tionghoa yang telah
  diperlakukan semena-mena oleh pemerintah Hindia Belanda (ingkang
  kasiya-kasiya ing Gupernemen). Ia kemudian mendesak agar orang-orang
  Tionghoa bekerja sama mengakhiri (anyirnakna) semua pegawai Belanda yang
  telah merugikan kesejahteraan dan kemakmuran di Jawa. Oleh karena itu ia
  menyerukan agar orang-orang Tionghoa di pesisir utara menguasai
  kantor-kantor serta pos-pos Belanda yang telah diusir untuk menjaga dan
  mempertahankannya dari serangan balasan. Dalam pemberontakan itu ia
  mendapatkan bantuan dari orang-orang Tionghoa, terbukti ketika pasukan
  Raden Rongga terkepung dan dihancurkan di Sekaran yang terletak di tepi
  bengawan Solo, terdapat dua belas orang Tionghoa di antara seratus orang
  anggota pasukan yang tetap setia kepadanya.
   
  Untuk membalas jasanya membantu Pangeran Suroyo (Sultan Hamengku Buwono
  III) merebut kembali tahtanya, seorang pengusaha dan kapitein Tionghoa,
  Tan Djin Sing pada tanggal 18 September 1813 dilantik menjadi bupati
  Yogyakarta dan diberi gelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Ia juga
  mendapat piagam yang berisi pemberian tanah seluas 800 cacah yang meliputi
  14 desa di daerah Bagelen dan Yogyakarta, termasuk Mrisi yang terletak di
  selatan Yogyakarta. Jumlah penduduk di 14 desa tersebut kurang lebih seribu
  orang. Ketika berlangsung Perang Jawa (1825-1830) ia aktif membantu
  Pangeran Diponegoro dengan melatih silat para pemimpin pasukannya. Ia juga
  membantu Pangeran Diponegoro dengan dananya untuk membantu pangeran
  tersebut melakukan perang gerilya melawan pasukan Belanda. Malahan kuda
  kesayangannya turut diberikan untuk menjadi tunggangan sang pangeran.
  Pada masa itu banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang membantu pasukan
  Pangeran Diponegoro, ikut berjuang bersama-sama terutama dalam menyediakan
  kebutuhan mereka akan uang perak,senjata, candu dan lain-lainnya. Malahan
  banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang ikut bertempur, bahu-membahu
  melawan Belanda, seperti ketika terjadi pertempuran yang dilancarkan Raden
  Tumenggung Sasradilaga, ipar Pangeran Diponegoro di daerah Lasem, pantai
  utara Jawa Tengah tahun 1827-1828. Orang-orang Tionghoa setempat yang
  kebanyakan telah memeluk agama Islam dan telah lama bermukim di Jawa,
  secara aktif bergabung dan membantu pasukan Sasradilaga. Pasukan
  Sasradilaga yang dibantu orang-orang Tionghoa muslim ini bertempur dengan
  sengit di daerah pesisir utara pulau Jawa, sekitar Rembang, Lasem dan
  Bojonegoro. Akibatnya ketika pasukan Sasradilaga berhasil dikalahkan,
  mereka menjadi korban pembalasan dendam pasukan Belanda yang membantai
  mereka secara kejam dan tanpa mengenal belas kasihan.
   
  Sementara itu pada tahun 1772 di Borneo (Kalimantan) Barat, Lo Fong-phak
  bersama seratus orang anggota keluarganya mendirikan "Kongsi Lanfong".
  Orang-orang Tionghoa yang berasal dari suku Hakka, Mei Hsien, Kwangtung
  mulai berdatangan ke Borneo Barat sejak tahun 1760-an karena tertarik akan
  tambang-tambang emas. Ternyata oleh Sultan Sambas mereka kebanyakan
  dipekerjakan sebagai pekerja-pekerja tambang emas yang diperlakukan secara
  kejam yang kemudian menimbulkan pemberontakan. Setelah pemberontakan itu
  Sultan memperlakukan mereka dengan lebih baik, namun karena takut akhirnya
  ia memberikan sebagian dari tambang-tambang emas tersebut kepada
  orang-orang Tionghoa dengan keharusan membayar upeti (konsesi). Kongsi
  Tionghoa yang didirikan di Borneo Barat adalah sebuah komunitas demokratis
  yang dibangun dengan tujuan memperoleh keuntungan dengan mengeskploitasi
  tambang emas dan intan. Komunitas tersebut yang dibentuk berdasarkan tempat
  asal mereka di di daratan Tiongkok, dikelola sebagaimana layaknya sebuah
  negara lengkap dengan sebuah dewan pemerintahan, pengadilan, penjara dan
  pasukan bersenjata, sehingga sering dikatakan bahwa kongsi Lanfong adalah
  sebuah "Republik"
   
  Pada tahun 1816 Belanda memperoleh kembali seluruh tanah jajahannya di
  Hindia Timur dari Inggris dan segera berusaha kembali menguasai Borneo.
  Pemerintah Hindia Belanda sangat tertarik dengan pertambangan emas yang
  dikelola orang Tionghoa. Dengan bantuan Sultan Sambas yang telah di bayar
  $ 50.000.- Belanda mengirim pasukannya untuk mengambil alih tambang-tambang
  orang Tionghoa. Tetapi penyerbuan ke tempat pemukiman orang Tionghoa
  tersebut pada awalnya dapat digagalkan karena mendapatkan perlawanan
  bersenjata orang-orang Tionghoa dan taktik lainnya, antara lain dengan
  meracuni sumur-sumur dan sungai-sungai sehingga prajurit Belanda banyak
  yang meninggal dunia dan mengalami kesulitan air minum. Pasukan Tionghoa
  juga berhasil memotong jalur supply pasukan Belanda yang akhirnya memaksa
  mereka meninggalkan daerah tersebut. Karena pasukan Belanda harus
  menghadapi Perang Jawa, sejak tahun 1826 untuk jangka waktu yang cukup lama
  pertempuran tersebut berhenti. Namun pada tahun 1854 Belanda yang telah
  menguasai lautan berhasil mengalahkan pasukan Tionghoa dan kongsi-kongsi
  dibubarkan.
   
  Demikianlah sekilas catatan sejarah yang menunjukkan betapa dekatnya etnis
  Tionghoa pada masa itu dengan penduduk setempat. Orang-orang Tionghoa yang
  datang bermukim di Nusantara jauh dari keinginan untuk menjajah dan
  menguasai daerah yang ditempatinya.
   
  Malahan armada Laksamana Cheng Ho yang demikian besar dan kuat
  persenjataannya, jauh melebihi armada negara-negara Eropa manapun pada masa
  itu, ternyata hanya bermaksud mengadakan kunjungan persahabatan,
  perdagangan, menarik upeti dari daerah-daerah protektoratnya dan
  menyebarkan agama Islam. Orang-orang Tionghoa hidup dengan damai dan
  membaur dengan penduduk setempat. Karena mereka tidak membawa istri, mereka 
menikah dengan perempuan-perempuan setempat yang keturunannya disebut peranakan 
Tionghoa (babah). Memang mereka membawa kebudayaan, tradisi dan teknologi yang 
kemudian berakulturasi dan menghasilkan kebudayaan sendiri yang disebut 
kebudayaan peranakan atau babah. Mereka juga bercakap-cakap dengan menggunakan 
bahasa atau dialek setempat.
   
  Di samping itu orang-orang Tionghoa telah berjasa menemukan teknik baru
  pengolahan padi, antara lain pada tahun 1750 memperkenalkan alat penyosoh
  padi yang dengan menggunakan dua-tiga ekor sapi dapat mengolah sampai 500
  ton padi per hari, menggantikan sistim tumbuk tradisional memakai lesung
  yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu orang-orang Tionghoa
  juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa dan bajak serta teknik
  pembuatan garam. Berkat orang-orang Tionghoa lah orang-orang di Nusantara
  mengenal jarum jahit, bahkan pakaian yang dijahit pun berasal mula dari
  Tiongkok. Mereka juga mengembangkan budi daya tanaman kacang tanah, kacang
  hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum yang dijadikan bahan
  pewarna. Sejak tahun 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak yang
  dibuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Dari kacang hijau
  dan kedelai mereka menghasilkan taoge, tahu, tauco dan kecap.
   
  Melihat kenyataan ini pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai melakukan
  politik pecah belah atau segregasi dengan memaksa orang-orang Tionghoa
  bermukim di tempat-tempat tertentu (wijkenstelsel) untuk memisahkan
  orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Untuk keluar dari permukiman
  tersebut orang-orang Tionghoa harus dibekali surat ijin tertentu 
(passenstelsel). Bagi yang melanggar akan diadili oleh politie roll, sebuah 
pengadilan tanpa hak membela diri. Orang-orang Tionghoa juga dilarang memakai 
pakaian orang-orang bumiputera atau pakaian barat sehingga mudah dikenali. 
Puncak politik segregasi Belanda adalah dengan membagi-bagi kedudukan hukum 
penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kelompok, yaitu yang pertama kelompok 
orang Eropa termasuk di dalamnya orang Indo Eropa, Yang kedua kelompok Vreemde 
Oosterlingen atau Orang Timur Asing yang terdiri dari orang Tionghoa, Arab dan 
orang Asia lainnya. Yang ketiga adalah kelompok Inlander atau bumiputera. 
Ordonansi yang dikeluarkan pada tahun 1854 tersebut membuat ketiga kelompok itu 
tunduk kepada sejumlah buku undang-undang yang berbeda-beda. Tetapi khusus 
untuk perdagangan sejak awal VOC, bagi orang Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang 
Belanda, sepanjang hukum itu masih dapat diterapkan. Namun untuk masalah
 kriminal, status orang Tionghoa disamakan dengan golongan inlander dan 
perkaranya diadili di landraad atau politie roll.
   
  Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia berdiri Tiong Hoa Hwe Koan di bawah
  pimpinan Phoa Keng Hek, sebuah organisasi peranakan Tionghoa yang bertujuan
  untuk memajukan kembali budaya Tionghoa dan agama Khonghucu serta mendidik
  orang-orang Tionghoa agar menghentikan kebiasaan buruk berjudi dan
  menghambur-hamburkan uang dalam melakukan upacara kematian. Setahun
  kemudian tepatnya pada tahun 1901, THHK membuka sekolah di Jl.Patekoan
  N0.19 (Jl.Perniagaan) bagi anak-anak Tionghoa, karena selama ini pemerintah
  Hindia Belanda tidak pernah menaruh perhatian kepada pendidikan anak-anak
  Tionghoa. Ternyata berdirinya sekolah THHK ini yang sudah tentu
  berorientasi ke daratan Tiongkok, mendapatkan sambutan luas dan dalam
  waktu singkat diikuti oleh kota-kota lainnya. Melihat perkembangan ini
  pemerintah Hindia Belanda merasa kuatir,lalu membuka sekolah-sekolah khusus
  untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (HCS).
  Dengan dibukanya HCS dan sekolah-sekolah berbahasa Belanda lainnya (Mulo,
  HBS, Kweekschool dll.) pemerintah Hindia Belanda berhasil memecah-belah
  orang-orang peranakan Tionghoa menjadi yang berpandangan politik pro
  Tiongkok (kelompok Sin Po) dan yang pro Belanda (kelompok Chung Hwa Hui).
  Berdirinya THHK yang menumbuhkan semangat nasionalisme Tiongkok di kalangan
  peranakan Tionghoa, ternyata juga berpengaruh kepada kalangan bumiputera.
  Suksesnya THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda telah
  mendorong lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi
  Sarekat Islam), Moehammadijah dan organisasi-organisasi lainnya. Melihat
  keadaan yang semakin tidak menguntungkan, kembali pemerintah kolonial
  Hindia Belanda melakukan politik segregasi, bukan saja untuk memisahkan
  orang-orang peranakan Tionghoa dengan orang-orang bumiputera, tetapi juga
  dengan golongan totok. Pada tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda
  mengeluarkan peraturan Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap (WNO) yang
  menyatakan orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda adalah kawula
  Belanda, tetapi bukan warga Negara Belanda.
   
  Sejak akhir abad ke-19 orang-orang peranakan Tionghoa juga telah aktif
  mendirikan percetakan-percetakan dan menerbitkan buku-buku ceritera dalam
  bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar (Betawi). Demikian juga mereka
  menerbitkan koran-koran yang tumbuh dengan subur. Masa inilah yang disebut
  masa tumbuhnya kesastraan Melayu-Tionghoa dan pers Melayu-Tionghoa. Sastra
  Melayu Tionghoa telah mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai
  Pustaka pada tahun 1918 untuk menampung hasil karya sastrawan-sastrawan
  pujangga lama. Harian-harian atau mingguan Melayu Tionghoa berkembang
  dengan pesat dan tumbuh menjadi media yang ampuh dan kuat seperti
  mingguan/harian Sin Po dan Keng Po yang bertahan sampai beberapa dekade
  lamanya.
   
  Pada tanggal 28 Oktober 1928, ditengah-tengah acara Sumpah Pemuda untuk
  menyatakan kebulatan tekad para pemuda menjadi satu bangsa, satu bahasa
  dan satu tanah air Indonesia, untuk pertama kalinya dikumandangkan lagu
  kebangsaan Indonesia Raya. Ternyata acara sumpah pemuda tersebut diikuti
  juga oleh beberapa orang pemuda etnis Tionghoa. Hal ini membuktikan bahwa
  sejak awal tumbuhnya gerakan kebangsaan dan kemerdekaan, sekelompok etnis
  Tionghoa telah turut berpartisipasi dan peduli akan hari depan bangsa
  Indonesia. Untuk membalas jasa koran-koran Melayu Tionghoa yang banyak
  memuat tulisan-tulisan para pemimpin pergerakan dan untuk menghormati serta
  menarik simpati kalangan etnis Tionghoa, pada tahun 1928 para pemimpin
  pergerakan tersebut bersepakat bahwa mulai saat itu, mereka hanya akan
  menggunakan sebutan Tionghoa sebagai pengganti pejoratif Cina yang mengacu
  kepada "Cina kunciran".
   
  Pada tahun 1932 ditengah-tengah terpecahnya pandangan politik etnis
  Tionghoa yang pro gerakan nasionalis Tiongkok dan yang pro Hindia Belanda,
  di Surabaya berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem
  Koen Hian yang mempunyai visi dan misi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 
dari penjajahan Belanda. Hal ini kembali membuktikan bahwa di kalangan
  etnis Tionghoa juga telah tumbuh kesadaran politik dan rasa nasionalisme
  yang tinggi, untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya berjuang
  membebaskan diri dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
   
  Pada awal masa pendudukan Jepang di mana para pemimpin Indonesia, Soekarno
  dan Hatta berkoloborasi dengan penguasa Jepang, sekelompok etnis Tionghoa
  aktif melakukan gerakan bawah tanah untuk melakukan sabotase. Organisasi
  bawah tanah tersebut di antaranya adalah Organisasi Rahasia Chungking atau
  nama lengkapnya Chung Yang Hai Wei Ting Chin yang bermarkas di kota Malang
  di bawah pimpinan Yap Bo Chin. Anggota organisasi ini yang tersebar di
  seluruh pulau Jawa dan Madura berjumlah 8000 orang, termasuk 400 orang
  Indonesia. Organisasi rahasia ini juga mempunyai dua pemancar radio yang
  digunakan untuk berhubungan dengan pemerintah Tiongkok di Chungking. Banyak
  aksi sabotase yang berhasil dilakukan organisasi ini, antara lain
  pembongkaran rel kereta api dan pemutusan jaringan telpon di lapangan
  terbang serta informasi-informasi lainnya yang berhasil disampaikan kepada
  pemerintah Tiongkok di Chungking. Organisasi ini akhirnya berhasil
  dibongkar pihak intelijen Jepang dan kedua pemancar radionya berhasil
  disita, tetapi pemimpinnya Yap Bo Chin berhasil meloloskan diri.
   
  Di samping organisasi Chungking yang banyak menggunakan tenaga-tenaga
  orang-orang Tionghoa totok, masih banyak lagi gerakan-gerakan bawah tanah
  yang dilakukan orang-orang peranakan Tionghoa untuk menentang Jepang,
  terutama yang dilakukan bersama orang-orang Belanda pada awal masa
  pendudukan Jepang. Di Surabaya ada gerakan bawah tanah yang dilakukan
  kelompok Dr.Colijn dan Oei Tjong Ie. Di Malang ada kelompok Tjoa Boen Tek
  yang bekerja sama dengan organisasi Chungking. Di Bogor dan Jakarta ada
  organisasi " Piet van Dam" yang terdiri dari Wernick-Tjoa Tek Swat-Lie Beng
  Giok. Tugas organisasi ini adalah mengumpulkan segala informasi penting
  seperti gerakan tentara Jepang, penjagaan, transportasi, pemindahan
  orang-orang interniran, gerakan kapal dllnya untuk disampaikan melalui
  pemancar radio mereka ke markas sekutu di Australia. Di samping itu mereka
  juga bertugas untuk menyediakan dan mengantar senjata, suku cadang radio,
  pemancar dan surat-surat keterangan. Di Jakarta organisasi ini bermarkas di
  toko Beng, di jalan Pecenongan dan di Bogor di toko Peng.
   
  Karena kurang berpengalaman, pada akhir Desember 1942, organisasi ini
  berhasil digulung Kenpeitai Jepang. Wernick, Lie Beng Giok dan Tjoa Tek
  Swat ditangkap dan mengalami siksaan yang luar biasa dari Kenpeitai Jepang.
  Tjoa Tek Swat kemudian dihukum penggal kepala diAncol.
   
  Bersambung ke Bag. 2/3
   
  ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA bag. 2/3
  (Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI
  Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure
  Rekso,Jakarta.)
  Oleh : Benny G.Setiono
  
--------------------------------------------------------------------------------------------------
   
  Pada tahun 1945, empat orang etnis Tionghoa turut serta merancang UUD RI
  dan menjadi anggota Dokuritu Zunbi Tyoosa Kai atau Badan Penyelidik
  Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan seorang menjadi
  anggota Dokuritu Zunbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
  (PPKI).
   
  Pada masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemedekaan, tidak
  boleh dilupakan peranan etnis Tionghoa, antara lain dalam membantu supplai
  bahan-bahan makanan dan menyelundupkan senjata dari Singapore untuk
  keperluan para gerilyawan.
   
  Dalam pertempuran Surabaya melawan pasukan Inggris pada bulan November
  1945, tidak sedikit peranan pemuda-pemuda Tionghoa. Wartawan "Merah Putih"
  yang terbit di Jakarta menyatakan di Surakarta mengenai kunjungannya ke
  medan pertempuran Surabaya antara lain, seorang pemimpin Tionghoa telah
  berpidato di depan corong Radio Surabaya tentang kekejaman yang dilakukan
  tentara Inggris terhadap rakyat Surabaya. Pidato tersebut ditujukan kepada
  pemerintah Tiongkok di Chungking, dan sebagai jawabannya Radio Chungking
  menyerukan kepada para pemuda Tionghoa agar bahu membahu bersama rakyat
  Indonesia melawan keganasan tentara Inggris. Seruan ini akibat pemboman
  pasukan Inggris yang mengakibatkan lebih dari seribu orang Tionghoa
  menderita luka-luka dan meninggal dunia. Menyambut seruan tersebut
  pemuda-pemuda Tionghoa mengorganisasikan diri ke dalam pasukan bela diri di
  bawah bendera Tiongkok. Mereka merebut senjata dan berangkat ke front
  pertempuran untuk melawan pasukan Inggris.
   
  Berkenaan dengan pertempuran Surabaya, pada tanggal 12 November 1945, Bung
  Karno mengucapkan pidato antara lain : "Ratusan orang Tionghoa dan Arab
  yang tidak bersalah dan suka damai, yang datang di negeri ini untuk
  berdagang, terbunuh dan luka-luka berat. Kurban di pihak Indonesia lebih
  banyak lagi. Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern, yang
  ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk
  melawan".
   
  Demikian juga perlu dicatat peranan etnis Tionghoa dalam perjuangan politik
  untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada kabinet Sjahrir ke-2, Mr.Tan Po Gwan
  diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa. Ketika Amir Sjarifoeddin
  membentuk kabinetnya, Siauw Giok Tjhan diangkat menjadi Menteri Negara yang
  mewakili etnis Tionghoa dan Dr.Ong Eng Die dari PNI sebagai Wakil Menteri
  Keuangan. Dalam perundingan di kapal USS- Renville di Teluk Jakarta,
  Dr.Tjoa Siek In ditunjuk menjadi anggota delegasi, demikian juga dalam
  Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Dr.Sim Kie Ay diikut sertakan
  oleh Drs.Moh.Hatta sebagai anggota dan penasihat delegasi RI.
   
  Sebagai hasil KMB dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS)
  dan pada tanggal 15 Pebruari 1950 dibentuk parlemen. Enam orang di antara
  anggota parlemen RIS adalah peranakan Tionghoa. Dua orang mewakili
  pemerintah Republik yaitu Siauw Giok Tjhan dan Drs.Yap Tjwan Bing, seorang
  mewakili Negara Indonesia Timur yaitu Mr.Tan Tjin Leng, dua orang mewakili
  Negara Jawa Timur yaitu Ir.Tan Boen Aan dan Mr.Tjoa Sie Hwie dan Tjoeng Lin
  Sen mewakili Negara Kalimantan Barat.
   
  Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), delapan orang etnis Tionghoa
  menjadi anggota DPRS yaitu : Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan,
  Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954
  diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bulan
  Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To).`
   
  Di dalam kabinet Ali Satroamidjojo I Dr.Ong Eng Die ditunjuk menjadi
  Menteri Keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi Menteri Kesehatan. Dalam DPR
  hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa
  yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung
  Tin Jan (Partai Katholik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang
  Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di Konstituante terpilih sebagai anggota
  antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan,
  Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang-kesemuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI,
  Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.
   
  Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi
  anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam Kabinet Kerja
  ke-IV, Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat
  diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David
  Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya & Konstruksi dalam Kabinet
  Dwikora yang disempurnakan.
   
  Setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 dan
  berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, etnis Tionghoa di
  Indonesia terpecah menjadi yang memilih warga Negara Indonesia dan yang
  memilih warga Negara RRT. Yang memilih warga negara Indonesia kebanyakan
  golongan peranakan, dan yang memilih warga negara RRT golongan totok. Namun
  di kalangan totok juga terjadi perpecahan antara yang pro Kungchangtang/
  RRT dan yang pro Kuomintang/Taiwan. Yang pro Taiwan kebanyakan memilih
  menjadi stateless. Perpecahan ini juga tercermin dari media massa
  masing-masing pihak yaitu harian Sin Po edisi bahasa Tionghoa dan "Shen
  Hua Pao" yang sejak awal penerbitannya pada awal penyerahan kedaulatan
  selalu mengambil sikap pro RI. Sedangkan yang pro Taiwan adalah harian
  "Thian Sheng Yit Pao" yang telah terbit sejak jaman Belanda dan diasuh oleh
  tokoh-tokoh Kuomintang di Indonesia. Karena Taiwan terilbat dalam
  pemberontakan PRRI/Permesta, Kuomintang dilarang di Indonesia dan
  sekolah-sekolahnya ditutup.
   
  Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin
  (1959-1965) perlu dicatat peranan Baperki (berdiri tahun 1954) sebagai
  ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak
  dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi.
  Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga
  negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan
  universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan
  terutama anak-anak Tionghoa warga negara Indonesia yang harus meninggalkan
  sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku.
  Dalam menyelesaikan "masalah minoritas Tionghoa", Baperki di bawah pimpinan
  Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dllnya mengembangkan doktrin
  nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun
  sebuah nation atau bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya
  kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan
  asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam
  haribaan bangsa Indonesia. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep
  kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para
  founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
   
  Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam
  suku,etnis, ras dan agama dengan budayanya masing-masing. Selanjutnya ia
  berpendapat nation yang bersih dari diskriminasi rasial hanya dapat
  terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia
  atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan
  sebaliknya.
   
  Dalam perkembangannya, di era perang dingin Baperki ternyata harus
  menghadapi situasi tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan
  kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak
  mempunyai pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang
  sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol/Usdek dan persatuan
  Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, dengan otomatis
  Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh "kekuatan revolusi" pada
  masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Perti, Partai Katholik, NU, PSII
  dsbnya dalam perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang
  bersih dari penghisapan manusia atas manusia. Situasi ini menyebabkan
  Baperki lebih dekat dengan PKI, Partindo, PNI dan kekuatan-kekuatan
  pendukung Bung Karno lainnya.
   
  Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya
  menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya
  dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang
  dilakukan PKI dalam menentang Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan
  kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal ini menyebabkan banyaknya etnis
  Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada
  PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, kemudian ikut bergabung di dalamnya.
  Namun ketika terjadi Peristiwa G30S seperti banyak organisasi-organisasi
  dan partai-partai politik lainnya, Baperki menjadi korban keganasan rejim
  militer Jenderal Soeharto.
   
  Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan
  Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi,
  mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960
  di Jakarta dikeluarkan "Statement Asimilasi" yang dengan tegas berpendirian
  bahwa masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi
  dalam segala lapangan secara aktip dam bebas. Para penanda tangan statement
  tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang
  di antaranya malah ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya
  pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr.Tjung Tin
  Jan, Injo Beng Goat, Drs.Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs.Lauwchuantho
  (H.Junus Jahya) dan Mr.Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Kemudian pada tanggal
  13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar
  Kesadaran Nasional yang menghasilkan "Piagam Asimilasi". Di antara 30
  penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik
  Hway Gwan (ayah Drs.Kwik Kian Gie).
   
  Untuk melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta menghambat
  pengaruh Baperki, maka oleh para pendukungnya pada tahun 1963 dibentuk
  sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan
  ketuanya Ong Tjong Hai SH. alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan
  Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat
  dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali,
  Prof.Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs.Frans Seda, Roeslan Abdulgani,
  Harry Tjan, Djoko Sukarjo dllnya. Salah satu program LPKB adalah
  pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan secara serentak dengan
  titik berat pada asimilasi sosial. Asimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan
  dalam lima bidang kehidupan sebagai berikut : asimilasi politik, asimilasi
  kulturil, asimilasi ekonomi, asimilasi sosial/campur gaul dan asimilasi
  kekeluargaan (pernikahan). Kelima-limanya harus dilaksanakan dengan
  serentak (sinkron) dengan mempertimbangkan timing dan irama yang
  sebaik-baiknya. Setelah meletusnya Peristiwa G30S, LPKB memainkan peranan
  penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama dan bahasa Tionghoa
  seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rejim
  Orde Baru.
   
  Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa
  diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan
  massal terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk
  tokoh,anggota dan simpatisan Baperki dan organisasi-organisasi Tionghoa
  lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan
  masyarakat Tionghoa. Baperki dijadikan stigma untuk menakut-nakuti etnis
  Tionghoa agar menjauhi wilayah politik. Setelah menghancurkan harga diri
  etnis Tionghoa dengan mengganti sebutan Tionghoa menjadi Cina, melarang
  perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina secara terbuka,
  melarang penggunaan bahasa dan cetakan dalam bahasa Cina dan anjuran agar
  mengganti nama yang berbau Cina, etnis Tionghoa hanya diberi ruang untuk
  melakukan bisnis semata. Kalaupun ada segelintir etnis Tionghoa yang
  terjun dalam politik praktis, mereka hanya dijadikan bendahara atau mesin
  penghasil uang saja. Memang ada beberapa orang etnis Tionghoa yang aktif
  terjun dalam aksi-aksi melengserkan Presiden Soekarno seperti dua
  bersaudara Liem Bian Kie dan Liem Bian Koen, Harry Tjan dan Soe Hok Gie.
   
  Namun dalam perkembangannya Soe Hok Gie yang merasa kecewa kepada
  pemerintahan otoriter Jenderal Soeharto malahan menjadi oposisi dan
  meninggal dalam usia muda karena kecelakaan, menghirup gas beracun di
  gunung Semeru. Sementara itu kedua saudara Liem dan Harry Tjan ikut
  mendirikan CSIS yang pada dekade pertama dan kedua pemerintahan Orde Baru,
  di masa jayanya Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani,
  memainkan peranan penting dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan Orde
  Baru. Liem Bian Koen sendiri akhirnya beralih profesi menjadi pengusaha
  (konglomerat) dan menjadi juru bicara pengusaha-pengusaha yang tergabung
  dalam Yayasan Prasetya Mulia. Sebaliknya beberapa tahun sebelum lengsernya
  Presiden Soeharto, secara mengejutkan Drs.Kwik Kian Gie meninggalkan
  Yayasan Prasetya Mulia dan menggabungkan diri dengan PDI, selanjutnya
  dalam konflik internal partai, ia berpihak kepada Megawati Soekarnoputeri
  yang mendapatkan tekanan keras dari rejim yang berkuasa.
   
  Aksi-aksi anarkis dan politik dikriminasi rasial anti Tionghoa.
   
  Dari catatan sejarah kita mengetahui bahwa sebelum kedatangan orang-orang
  Belanda yang mendirikan VOC dan kemudian pemerintahan Hindia Belanda,
  orang-orang Tionghoa selama ratusan tahun telah bermukim dengan tenang,
  damai dan berbaur dengan penduduk di berbagai tempat di Nusantara, terutama
  di pesisir utara pulau Jawa dan di pesisir timur Sumatera Selatan. Demi
  kepentingan perdagangannya, dengan mengeluarkan berbagai peraturan
  pemerintah Hindia Belanda telah melakukan politik segregasi untuk
  memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat (bumiputera),
  Aksi kejahatan anti Tionghoa yang pertama di Nusantara adalah pembunuhan
  orang-orang Tionghoa pada tahun 1740 di Batavia. Lebih dari 10.000 orang
  Tionghoa dibantai dengan kejam oleh pasukan VOC dan ratusan rumah dijarah
  dan dibakar dengan semena-mena. Darah dan mayat korban pembunuhan tersebut
  memenuhi sebuah sungai yang sampai sekarang dinamakan kali Angke. Kejadian
  kedua adalah pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Pangeran Adipati
  Cakraningrat IV di pesisir utara Jawa Tengah/Jawa Timur, mulai dari Tuban,
  Gresik sampai ke Surabaya, saat berlangsung perang antara orang-orang
  Tionghoa dan sekutunya orang-orang Jawa melawan VOC. Kemudian pada tanggal
  23 September 1825, pada awal Perang Jawa, di Ngawi, sebuah kota kecil di
  perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, terjadi pembantaian terhadap
  orang-orang Tionghoa yang dilakukan pasukan berkuda yang dipimpin Raden Ayu
  Yudakusuma, puteri Sultan Hamengku Buwono I. Puluhan mayat orang Tionghoa
  bergelimpangan di muka pintu, di jalan-jalan dan di rumah-rumah yang penuh
  lumuran darah. Pembantaian di Ngawi ternyata bukan satu-satunya kejadian
  pada masa permulaan Perang Jawa. Di seluruh Jawa Tengah dan di sepanjang
  Bengawan Solo, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi berulang-ulang,
  pada saat mereka dalam keadaan terisolir diserang oleh pasukan pemberontak.
   
  Setelah berakhirnya Perang Jawa, pemerintah Hindia Belanda telah sepenuhnya
  menguasai pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia kecuali Aceh.
  Pemerintah Hindia Belanda melakukan tindakan keras terhadap setiap usaha
  yang bertujuan untuk melawan pemerintah atau melakukan pemberontakan.
  Raja-raja Jawa telah dibuat mandul dan menjadi pengikut yang jinak dan
  setia. Seluruh konsentrasi di lakukan untuk menjamin keamanan pelaksanaan
  cultuurstelsel (tanam paksa) yang sangat menguntungkan pemerintah Kerajaan
  Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah, trampil dan rajin,
  selama beberapa dekade pemerintah Hindia Belanda mendatangkan ratusan ribu
  orang Tionghoa dari bagian selatan daratan Tiongkok untuk di jadikan buruh
  perkebunan di Sumatera Utara (orang-orang Hokkian) dan buruh tambang timah
  di pulau Bangka dan Bilitung (orang-orang Hakka). Di samping itu karena
  tidak tahan menghadapi bencana alam (banjir) dan perang saudara yang terus
  berlangsung di daratan Tiongkok, banyak juga orang-orang Tionghoa yang atas
  kemauannya sendiri berdatangan ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru.
  Migrasi besar-besaran orang-orang Tionghoa ini baru berakhir menjelang
  berlangsungnya Perang Dunia II. Nah, keturunan orang-orang inilah yang
  sekarang disebut orang-orang Tionghoa totok.
   
  Walaupun dilahirkan di Indonesia, namun karena mereka dibesarkan di
  lingkungan yang terisolir dari penduduk setempat, mereka masih kental
  memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan bahasa Tionghoa atau
  dialek asal kampungnya di daratan Tiongkok. Karena kendala bahasa, mereka
  sulit membaurkan diri dengan penduduk di sekelilingnya. Ini terjadi dengan
  komunitas Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara, Jambi, Riau,
  Bangka-Bilitung dan Kalimantan Barat.
   
  Walaupun terjadi gesekan-gesekan kecil antara pedagang-pedagang Tionghoa
  dengan pedagang-pedagang pribumi dan Arab, selama beberapa dekade tidak ada 
kejadian aksi-aksi rasialis anti Tionghoa yang menonjol. Baru pada tanggal
  31 Oktober 1918 rumah-rumah dan toko-toko milik orang Tionghoa di kota
  Kudus habis dijarah dan dibakar oleh ribuan massa Sarekat Islam yang datang
  dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah-daerah sekitarnya. Korban
  meninggal dunia enam belas orang yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan
  para perusuh, yang luka-luka ratusan orang,
   
  Berdirinya Sarekat Dagang Islam yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo
  sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan para pedagang Tionghoa yang
  dianggap menjadi pesaing utama para pedagang Islam. SDI kemudian berubah
  menjadi Sarekat Islam dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya
  mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi
  yang militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajahan Belanda.
   
  Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan
  politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan-kepentingan
  pedagang-pedagang Islam yang dipelopori pedagang-pedagang Arab dengan
  pedagang-pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya. Persaingan antara
  pedagang-pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pedagang-pedagang
  Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan
  para penasihatnya dari Biro Urusan Bumiputera, Terjadi bentrokan-bentrokan
  kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada
  "Peroesoehan di Koedoes".
   
  Aksi penjarahan baru terjadi kembali pada saat bala tentara Jepang mendarat
  di Jawa. Tentara Belanda yang mengundurkan diri dari kota-kota besar
  mendobrak dan menjarah toko-toko P&D yang ditinggalkan pemiliknya untuk
  mengungsi. Perbuatan tersebut telah mendorong rakyat yang hidup serba
  kekurangan untuk meniru tindakan anggota-anggota militer Belanda tersebut.
  Maka terjadilah perampokan-perampokan dan penjarahan-penjarahan toko-toko
  dan rumah-rumah orang Tionghoa yang ditinggalkan pemiliknya untuk
  mengungsi. Kerugian paling banyak dialami orang-orang Tionghoa di Jawa
  Barat dan Jawa Tengah. Ratusan pabrik milik orang Tionghoa dihancurkan
  pasukan Belanda yang sedang mengundurkan diri.
   
  Tetapi puncak dari aksi-aksi anti Tionghoa adalah pada masa sebelum dan
  sesudah Agresi Belanda. Pada bulan Mei 1946, sebanyak 635 orang Tionghoa,
  termasuk 136 orang perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan
  sekitarnya telah menjadi korban pembunuhan. 1.268 rumah etnis Tionghoa
  habis dibakar dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan ada 25.000 orang
  pengungsi di Jakarta yang datang dari daerah tersebut. Selanjutnya terjadi
  pembantaian, pembakaran dan pejarahan rumah-rumah dan harta benda milik
  orang Tionghoa di Bagan Siapi-Api, Kuningan, Majalengka, Indramayu,
  Pekalongan, Tegal, Puwokerto,Purbalingga, Bobotsari, Gombong, Lumajang,
  Jember, Malang, Lawang, Singosari dllnya. Ratusan orang Tionghoa menjadi
  korban pembantain dan ribuan toko, pabrik, kendaraan, dllnya habis dibakar
  atau dijarah.
   
  Sebenarnya aksi-aksi kekerasan ini diprovokasi pihak NICA (Nederlandsch
  Indie Civil Administration) yang ingin menjatuhkan reputasi Republik
  Indonesia di dunia internasional dan sayangnya sebagian rakyat Indonesia
  tidak waspada dan masuk dalam perangkap tersebut. Akibat pembantaian dan
  perampokan serta penjarahan tersebut, sekelompok etnis Tionghoa mendirikan
  sebuah organisasi untuk membela diri dan menjaga keamanan. Organisasi
  tersebut bernama "Pao An Tui" yang artinya barisan penjaga keamanan. Namun
  dalam perkembangannya sebagian dari anggota Pao An Tui yang merasa sakit
  hati dan dendam karena keluarganya menjadi korban, berhasil dibujuk dan
  dipersenjatai Belanda untuk digunakan menghadapi pasukan Indonesia. Hal
  inilah yang kemudian menjadi stigma negatif pertama bagi etnis Tionghoa
  yang selama puluhan tahun ditiup-tiupkan sementara golongan untuk
  mendiskreditkan etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa
  reaksioner, pro NICA dan menentang Republik.
   
  Sejak pemerintahan RIS dan penyerahan kedaulatan serta terbentuknya Negara
  Kesatuan Republik Indonesia dengan Demokrasi Parlementernya ada usaha-usaha
  dari pihak tertentu dalam pemerintahan untuk menjalankan kebijaksanaan yang
  berbau rasis. Kebijaksanaan tersebut antara lain program "benteng" importir
  yang diprakarsai oleh Menteri Kesejahteraan Ir.Djuanda. Kebijaksanan yang
  hanya memberikan lisensi impor kepada golongan pribumi, melahirkan
  pengusaha-pengusaha atau importir-importir "aktentas", yaitu pengusaha yang
  tidak bermodal dan tidak punya kantor, dengan membawa sebuah aktentas
  keluar masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor
  bermacam-macam barang. Dengan mengantungi lisensi ini mereka mendatangi
  pedagang-pedagang Tionghoa untuk menjual lisensi tersebut. Kerja sama
  inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan sistim Ali-Baba.
   
  Walaupun dalam kabinet Ali Sastroamidjojo ke-1 terdapat dua orang menteri
  dari etnis Tionghoa, hal ini tidak menjamin bersihnya
  kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berbau rasis. Dengan alasan untuk menjamin
  pengadaan dan stabilitas harga beras, pemerintah bermaksud menguasai
  perdagangan dan peredaran beras dan untuk itu dikeluarkan peraturan wajib
  giling padi pemerintah dan melarang penggilingan-penggilingan beras
  (huller) menggiling padi di luar pemerintah. Padahal 98 % penggilingan
  beras adalah milik etnis Tionghoa.
   
  Akibatnya banyak penggilingan padi yang menganggur dan munculnya
  centeng-centeng yang kebanyakan dari kalangan militer untuk melindungi
  penggilingan-penggilingan beras yang secara illegal menggiling padi rakyat.
   
  Bersambung ke Bag. 3/3
   
  ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA bag. 3/3-habis 
(Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI Jakarta 
pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure
  Rekso,Jakarta.)
   
  Oleh : Benny G.Setiono
  
--------------------------------------------------------------------------------------------------
   
  Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu
  gerakan yang diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan
  perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan
  "pribumi". Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat
  dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk
  menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia
  maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan.
  Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan
  program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak
  bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia
  juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada
  negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan
  orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
   
  Tanpa terduga sebelumnya, Presiden Soekarno pada bulan November 1959 dengan 
tiba-tiba menanda tangani Peraturan Pemerintah No.10 atau yang lebih
  terkenal dengan sebutan P.P.-10. Peraturan ini berisi larangan bagi
  orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) untuk
  berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah
  swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak tanggal 1Januari 
1960. Sudah tentu peraturan yang sangat rasis ini sangat mengejutkan dan 
menggoncangkan sendi-sendi kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Karena pada 
masa itu Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga 
terjadi kesimpang siuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI. 
Para penguasa militer di daerah-daerah dengan seenaknya mengusir bukan saja 
orang-orang Tionghoa asing tetapi juga orang-orang Tionghoa yang berdasarkan UU 
Kewarganegaraan tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia. Sebenarnya 
P.P.-10 merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan kabinet 
Djuanda, Rachmat Moeljomiseno pada bulan Mei 1959 yang berisi larangan bagi 
orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Akibat P.P.-10 
hubungan persahabatan antara pemerintah RI dan pemerintah RRT menjadi 
terganggu. Pemerintah RRT mengirim kapal-kapalnya untuk mengangkut
 orang-orang Tionghoa yang ingin meninggalkan Indonesia untuk berdiam di 
Tiongkok. Hal ini membuktikan pemerintah RI masuk ke dalam perangkap 
negara-negara imperialis Barat yang ingin merusak hubungan persahabatan 
Indonesia dengan Tiongkok.
   
  Aksi kekerasan anti Tionghoa baru muncul kembali pada tanggal 10 Mei 1963
  di kota Bandung dan sekitarnya. Aksi kerusuhan tersebut diawali dengan
  perkelahian di kampus ITB, antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan seorang
  mahasiswa pribumi yang disebabkan terjadinya senggolan sepeda motor.
  Kemudian dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dan Universitas
  Padjadjaran, dimulailah aksi massa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan
  kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Ratusan toko, rumah
  tinggal, pabrik, kendaraan bermotor habis di bakar atau di rusak serta
  dijarah massa. Kemudian aksi anarkis meluas ke kota-kota lainnya di Jawa
  Barat, antara lain Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dllnya. Sangat
  ironis, Yap Tjwan Bing, salah seorang tokoh Angkatan 45 yang turut
  mendirikan Republik ini juga menjadi korban aksi anarkis tersebut. Kejadian
  ini sangat mengecewakan dirinya, sehingga dengan alasan mengobati penyakit
  puteranya, ia sekeluarga hijrah ke Amerika sampai menghembuskan nafas
  terakhirnya.
   
  Pada tahun 1967, dengan alasan menumpas Pasukan Gerilyawan Rakyat Serawak
  (PGRS), pasukan militer Indonesia telah berhasil memprovokasi suku Dayak di
  Kalimantan Barat yang mengakibatkan terjadinya aksi-aksi pembantaian dan
  kekerasan terhadap etnis TIonghoa di desa-desa pedalaman. Akibatnya puluhan
  ribu etnis Tionghoa menjadi pengungsi di Singkawang dan Pontianak yang
  kemudian menyebar ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.
   
  Di masa Orde Baru setumpuk peraturan diskriminatif terhadap orang Tionghoa
  dikeluarkan oleh pemerintah rejim Soeharto tanpa mendapatkan protes atau
  peralawanan sedikitpun. Khusus untuk mengawasi gerak-gerik dan kegiatan
  etnis Tionghoa, dibentuk sebuah institusi di dalam tubuh BAKIN, yaitu Badan
  Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Seperti nasib orang Yahudi di Jerman
  menjelang Perang Dunia II, etnis Tionghoa di Indonesia dibuat tidak berdaya
  sama sekali. Etnis Tionghoa dijadikan warga negara kelas dua yang selalu
  menjadi kambing hitam dalam setiap masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.
   
  Herannya kelahiran seluruh peraturan tersebut didorong dan disponsori oleh
  sekelompok etnis Tionghoa sendiri (LPKB). Dalam suatu diskusi di kantor
  majalah Gamma pada bulan September 1999, K.Sindhunatha dengan tanpa
  ekspresi menyatakan bahwa konsep pelarangan perayaan agama, kepercayaan dan 
adat istiadat Cina berasal dari dirinya. Malahan ia menyatakan bahwa Pak
  Harto cukup bermurah hati dengan mengijinkan etnis Tionghoa melaksanakan
  dan merayakannya di dalam rumah, karena konsep yang disodorkan berisi
  larangan total. Ia juga mengakui bahwa penggantian sebutan kata Tionghoa
  menjadi Cina diputuskan olehnya, ketika ia diminta memilih antara kedua
  kata tersebut pada saat berlangsungnya Seminar Angkatan Darat II, tahun
  1966 di Bandung.
   
  Di samping itu di masa Orde Baru aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa
  berlangsung tanpa henti-hentinya dan menyebar mulai dari Medan sampai ke
  Makassar. Aksi-aksi kekerasan tersebut terutama di pulau Jawa bukan saja
  secara "kuantitas" meningkat, tetapi juga secara "kualitas" yang mencapai
  puncaknya pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
   
  Anehnya walaupun pemerintah Orde Baru menerapkan kebijaksanaan politik
  anti RRT dan anti Tionghoa, tetapi dalam usaha membangun perekonomian di
  sektor riil, etnis Tionghoa di beri peran dan peluang yang sangat besar.
  Malahan segelintir etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh pihak penguasa untuk
  melakukan KKN demi menumpuk kekayaan pribadinya. Lahirlah sejumlah kecil
  konglomerat-konglemerat jahat yang bersama para penguasa "merampok"
  kekayaan negara. Hal inilah yang kembali menjadi stigma buruk yang dilekatkan 
pada diri etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa adalah "binatang 
ekonomi" yang tidak bermoral.
   
  Jadi selama ini ada tiga stigma negatif yang selalu dilekatkan untuk 
memojokkan etnis Tionghoa. Yang pertama stigma "Pao An Tui", yang kedua stigma 
"Baperki/komunis" dan yang ketiga stigma "binatang ekonomi" yang tidak bermoral.
  Di samping itu, apabila kita belajar dari sejarah, aksi-aksi anti TIonghoa
  sebagian besar terjadi di pulau Jawa. Padahal orang-orang Tionghoa di Jawa
  telah cukup membaur dibandingkan dengan di daerah-daerah lain di luar
  pulau Jawa. Ada yang mengatakan bahwa sejak jaman Diponegoro telah tumbuh
  "mitos" di masyarakat Jawa bahwa orang Tionghoa adalah pembawa sial yang
  perlu dijauhi. Mitos ini muncul setelah Pangeran Diponegoro melarang para
  komandannya melakukan hubungan yang akrab dengan orang-orang Tionghoa. Ia
  juga melarang mereka mengambil gadis-gadis peranakan Tionghoa menjadi
  gundiknya, karena ia berpendapat bahwa hubungan dengan gadis-gadis Tionghoa
  hanya akan membawa sial dan malapetaka. Sikap Pangeran Diponegoro ini
  disebabkan pengalamannya sendiri ketika menghadapi kekalahan pertempuran di
  Gowok, di luar Surakarta pada tanggal 15 Oktober 1826. Sesuai dengan apa
  yang ditulisnya sendiri dalam babad Dipanegara, ia telah terjebak dan
  dihancurkan oleh kecantikan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di
  daerah Panjang dan kemudian dijadikan tukang pijatnya. Demikian juga ia
  menyalahkan kekalahan iparnya Sasradilaga, dalam pertempuran di pesisir
  utara, di daerah Lasem karena melanggar perintahnya dengan menggauli
  seorang perempuan Tionghoa di Lasem.
   
  Kenyataan bahwa banyak dari komandan-komandan pasukannya yang menggauli
  gadis-gadis Tionghoa sebagai hiburan dan banyaknya penggunaan candu di
  antara prajuritnya, telah menimbulkan anggapan Pangeran Diponegoro bahwa
  kalahnya dia dalam pertempuran dengan Belanda disebabkan oleh orang-orang
  Tionghoa yang telah membawa sial dan malapetaka. Pandangannya yang keliru
  dan bersifat rasis inilah yang seolah-olah menjadi "mitos" bahwa
  orang-orang Tionghoa hanya pembawa sial, yang sampai sekarang masih
  dihembus-hembuskan oleh kalangan tertentu, dengan tujuan memojokkan etnis
  Tionghoa di Indonesia.
   
  Sejak jaman raja-raja Mataram, orang-orang Tionghoa telah dijadikan mitra
  untuk memungut pajak jalan, jembatan, pasar dsbnya. Pemungutan pajak ini
  dilakukan dengan sistim borongan, karena para raja dan bupati tidak mau
  berpusing-pusing melakukan pekerjaan yang tidak populer di mata rakyatnya.
  Oleh karena sistim pemungutan pajak ini memberikan keuntungan yang cukup
  menggiurkan, banyak kalangan etnis Tionghoa yang tertarik dan memberikan
  penawaran yang jauh lebih tinggi. Akibatnya untuk memenuhi target tersebut,
  pemungutan pajak dilakukan dengan lebih intensif dan hal ini menimbulkan
  antipati rakyat kepada etnis Tionghoa. Demikian juga hak mengelola
  rumah-rumah judi, pembuatan garam, pelacuran dan tempat penghisapan candu
  diborongkan kepada orang-orang Tionghoa dengan membayar pajak yang tinggi.
  Nah, hal-hal inilah yang sesungguhnya menimbulkan rasa kebencian dan
  antipati orang Jawa kepada etnis Tionghoa. Apalagi pemerintah kolonial
  Hindia Belanda juga melakukan kebijaksanaan yang sama dengan memberikan
  monopoli pach candu, pach judi dan pach pembuatan garam kepada etnis
  Tionghoa. Cara-cara ini ternyata dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru
  dengan memberikan monopoli kepada orang Tionghoa untuk membuka kasino baik 
legal maupun ilegal, demikian juga tempat-tempat pelacuran dan hiburan
  lainnya.
   
  Di samping memberikan hak-hak monopoli tertentu, pemerintah Hindia Belanda
  melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dengan
  penduduk setempat. Wijkenstelsel dan Passenstelsen justeru dilaksanakan
  secara intensif di masa tanam paksa (pertengahan abad ke-19 hingga awal
  abad ke-20). Pedagang-pedagang Tionghoa dibenturkan kepentingannya dengan
  pedagang-pedagang Islam/Arab sehingga menimbulkan konflik-konflik kecil
  pada dekade kedua abad ke-20. Sistim pendidikan di jaman kolonial juga
  sengaja dikotak-kotak dan memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk
  pribumi. Sistim pendidikan ini mengakibatkan munculnya sekelompok orang
  Tionghoa yang mempunyai pandangan politik pro Belanda (Chung Hwa Hui).
   
  Namun puncak politik anti Tionghoa berlangsung pada masa pemerintahan Orde
  Baru. Pertama yang dilakukan rejim Soeharto, selaras dengan kepentingan
  politik Amerika Serikat dan Inggris, adalah merusak hubungan persahabatan
  dan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan RRT. Kedua dengan menuduh
  Baperki terlibat dalam Gerakan 30 September, seluruh etnis Tionghoa secara
  politik dibuat tidak berdaya dengan mengeluarkan setumpuk peraturan-peraturan 
yang sangat diskriminatif. Ketiga memprogram etnis Tionghoa agar menjauhi 
wilayah politik. Yang keempat menjadikan segelintir etnis Tionghoa menjadi 
kroni untuk melakukan KKN agar dapat dijadikan kambing hitam apabila pada suatu 
saat timbuil perlawanan dari rakyat Solusi "masalah Tionghoa".
   
  Setelah dari berbagai perspektif sejarah kita memahami akar "masalah
  Tionghoa" yang dihadapi bangsa Indonesia, marilah kita bersama-sama mencari
  solusinya. Solusi masalah Tionghoa harus berangkat dari keinginan untuk
  menyatukan seluruh komponen bangsa demi kemajuan bangsa dan negara kita,
  tanpa prasangka sedikitpun.
   
  Adalah kenyataan sejarah bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian integral
  bangsa kita, bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia.
  Etnis Tionghoa mempunyai akar sejarah yang sangat panjang di bumi
  Indonesia, hampir seribu tahun lamanya. Bandingkan dengan sejarah bangsa
  Amerika dan Australia yang hanya beberapa ratus tahun lamanya. Budaya
  Tionghoa telah mengisi khasanah budaya Indonesia, baik dalam bahasa,
  kesenian, makanan dsbnya. Oleh karenanya seluruh bangsa Indonesia tanpa
  terkecuali dengan lapang dada harus menerima keberadaan etnis Tionghoa
  secara utuh, apa adanya. Demikian juga seluruh etnis Tionghoa harus
  menempatkan dirinya tanpa reserve sebagai bagian integral bangsa Indonesia.
  Adalah tugas dan kewajiban seluruh etnis Tionghoa di Indonesia untuk
  membangun bangsa dan negara menuju masyarakat yang kita cita-citakan.
  Sebuah masyarakat yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN,
  menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM. Sebaliknya seluruh jajaran
  pemerintahan baik pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif harus 
memperlakukan etnis Tionghoa sama dengan komponen bangsa lainnya. Seluruh 
peraturan mulai dari UUD, Undang- undang, Keputusan Presiden, Instruksi 
Presiden, Keputusan Menteri, Gubernur dsbnya harus bersih dari hal-hal yang 
berbau diskriminasi. Peraturan mengenai SBKRI harus segera dicabut seperti juga 
BKMC harus dibubarkan. Pihak birokrat mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur 
dan seluruh jajarannya maupun para elit partai politik, tokoh agama, pengamat, 
tokoh-tokoh LSM dllnya harus menjauhkan diri dari prangsangka rasial. Tidak 
boleh lagi ada ucapan atau ungkapan seperti apa yang diucapkan Gubernur 
Sutiyoso ketika masalah villanya di kawasan Puncak dipermasalahkan para 
wartawan dengan mengatakan "Mengapa villa saya yang luasnya hanya seratus meter 
persegi dan terbuat dari kayu diributkan, mengapa villa Cina-Cina sipit tidak 
dipermasalahkan ?" Atau seperti yang diucapkan seorang anggota DPR dari fraksi 
PDI-P
 ketika berselisih dengan
  Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi yang kebetulan berasal dari
  etnis Tionghoa.
   
  Etnis Tionghoa jangan hanya berkonsentrasi dalam bidang bisnis saja, tetapi
  harus mau memasuki segala jenis profesi, mulai dari guru, dosen, peneliti,
  tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan,
  pelaut sampai politikus. Etnis Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi
  yang selama ini mengkungkungnya. Politik bukan sesuatu yang menakutkan dan
  perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa
  harus turut berpolitik praktis secara aktif dengan cara memasuki partai
  politik yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa
  lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan untuk
  mencapai apa yang selama ini dicita-citakan. Etnis Tionghoa jangan mau
  hanya dijadikan mesin pengumpul uang saja seperti apa yang dilakukan rejim
  Orde Baru. Memang tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa
  bahwa selama ini mereka secara politis tidak berdaya sama sekali. Ini
  terbukti setelah jatuhnya rejim Soeharto, berbagai kelompok peranakan
  Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM
  dsbnya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai
  Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI),
  Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB),
  Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia
  Untuk Keadilan (SIMPATIK) dsbnya. Namun dalam perjalanannya, karena banyak
  menghadapi kendala semangat yang pada mulanya mengebu-gebu, perlahan-lahan
  mulai menyurut. Di samping itu seperti juga yang terjadi pada partai-partai
  politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang
  menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis
  Tionghoa.
   
  Pada masa kampanye Pemilu 1999, sejumlah partai politik menggunakan
  atraksi liong- barongsai untuk menarik simpati etnis Tionghoa agar memilih
  partainya. Sebenarnya hal ini sah-sah saja, tetapi di sisi lain hal ini
  membuktikan betapa signifikannya etnis Tionghoa dalam perolehan suara untuk
  memenangkan Pemilu. Etnis Tionghoa pada masa kampanye seperti komponen
  bangsa lainnya menjadi bahan rebutan.
   
  Pada tanggal 16 September 1998, terbawa oleh arus reformasi Presiden
  B.J.Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 yang ditujukan
  kepada suluruh jajaran birokrasi agar menghapuskan penggunaan istilah
  "pribumi" dan "non pribumi". Selanjutnya pada tanggal 17 Januari tahun
  2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Kepres No. 6/2000 yang berisi
  pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan
  Adat Istiadat Cina. Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Agama
  No.13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai libur fakultatif dan diteruskan
  dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun
  tulisan. Orang boleh tidak suka kepada Gus Dur, tetapi adalah suatu
  kenyataan sejarah bahwa ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang
  demokrat yang percaya akan adanya kemajemukan di dalam masyarakat dan
  bangsa Indonesia. Ia juga telah membuktikan dirinya sebagai pengayom
  kelompok minoritas yang selama tiga puluh dua tahun secara politik sangat
  lemah dan dimarjinalkan.
   
  Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal
  17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri mengumumkan mulai tahun
  2003 Imlek sebagai hari raya etnis Tionghoa menjadi hari Nasional.
  Konsekuensi Imlek sebagai hari Nasional tentunya menjadi hari libur
  nasional, bukan fakultatif. Namun sampai saat ini Menteri Agama sebagai
  instansi yang berwenang menentukan hari libur nasional belum mengeluarkan
  surat keputusannya. Keputusan Presiden Megawati menjadikan Imlek sebagai
  hari Nasional menimbulkan kontroversi. Apalagi kalau alasannya karena hari
  raya etnis, bagaimana dengan etnis lainnya ? Demikian juga kalau dengan
  alasan agama atau kepercayaan, masih banyak agama atau kepercayaan lain di
  Indonesia seperti agama Kaharingan, Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang
  Maha Esa dsbnya yang dapat menuntut perlakuan yang sama dari pemerintah.
  Malahan ada yang berprasangka bahwa keputusan ini hanya untuk konsumsi
  politik menghadapi Pemilu 2004. Ada juga yang berpendapat bahwa keputusan
  ini adalah suatu keniscayaan sebagai tanggapan alamiah terhadap
  perkembangan ekonomi China yang terlalu massif untuk diabaikan.
   
  Dengan dikeluarkannya Keppres Abdurrahman Wahid dan Keputusan Menteri Agama 
serta pernyataan Presiden Megawati tersebut, etnis Tionghoa merasa telah
  bebas dari "penjara" yang selama ini mengurungnya. Dalam waktu singkat
  ratusan perkumpulan barongsai, liong, wu shu dsbnya bermunculan di
  kota-kota di seluruh Indonesia. Puluhan surat kabar dan majalah serta
  ratusan kursus bahasa Tionghoa bermunculan bagaikan cendawan sehabis hujan.
  Malahan Metro TV setiap hari menayangkan acara khusus dalam bahasa
  Tionghoa. Demikian juga ada stasion radio komersial yang secara khusus
  menyiarkan acara dalam bahasa Tionghoa. Ratusan yayasan-yayasan Tionghoa
  totok, baik yang berdasarkan suku, asal daerah, marga, alumni sekolah
  dsbnya turut bermunculan. Tahun baru Imlek dirayakan secara terbuka dan
  meriah, demikian juga perayaan-perayaan tradisi dan agama/kepercayaan
  Tionghoa lainnya seperti Capgomeh, Pehcun, Tongciu, gotong tepekong dsbnya.
  Malahan baru-baru ini berlangsung pemilihan "Cici dan Koko" se Jakarta Barat.
  Timbul kesan di masyarakat bahwa etnis Tionghoa dalam masa euphoria
  menyambut kebebasan ini telah bertindak berlebihan dan kebablasan. Mereka
  merasa bahwa masalah Tionghoa telah selesai dan rasialisme telah lenyap
  dari bumi Indonesia. Padahal peraturan mengenai SBKRI masih berlaku dan
  dilaksanakan. Di samping itu puluhan peraturan-peraturan yang diskriminatif 
masih tetap eksis. Amandemen UUD 1945 belum seperti yang kita harapkan seperti 
juga RUU Kewarganegaraan yang disiapkan pemerintah masih terdapat point-point 
yang bersifat diskriminatif. BKMC belum secara resmi dibubarkan dan setiap saat 
dapat diaktifkan kembali. Ada perasaan yang berkembang di sementara kalangan 
masyarakat bahwa privileges (keistimewaan) yang diberikan kepada etnis Tionghoa 
telah berlebihan. Hal ini sewaktu-waktu dapat menimbulkan kecemburuan yang 
berbahaya yang patut disadari etnis Tionghoa. Apa yang diucapkan Gubernur 
Sutiyoso membuktikan bahwa di dalam hati dan benak sementara pejabat negara 
masih ada benih-benih rasialisme yang tanpa disadarinya sewaktu-waktu dapat 
terlontar keluar.
   
  Selaras dengan kemajuan pembangunan yang dicapai RRT dan membaiknya
  hubungan antara pemerintah RI dan RRT, masih banyak orang-orang Tionghoa
  yang bersikap anasional dan merasa dirinya seolah-olah warga negara RRT.
  Bagi orang-orang ini mereka merasa menjadi warga negara Indonesia hanya
  ketika menyodorkan paspornya saat berurusan dengan pihak imigrasi. Sikap
  seperti ini sungguh-sungguh sangat berbahaya, karena dari pengalaman
  sejarah kita belajar bahwa hubungan antar negara dapat berubah-rubah setiap
  saat. Hari ini bersahabat, besok bisa saja bermusuhan.
   
  Ada lagi sikap di sementara kalangan etnis Tionghoa yang membesar-besarkan
  solidaritas dan persatuan Tionghoa perantauan (Hua Ren) atau sementara
  kalangan berduit yang merasa dirinya dalam setiap saat dapat saja beralih
  menjadi penduduk atau warga negara lain.
  Apakah dengan dicabutnya peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif
  dan Imlek dijadikan hari libur nasional, masalah Tionghoa telah berakhir
  dan diskriminasi rasial telah lenyap dari bumi Indonesia? Sunguh naif
  apabila kita berpikiran dan berpendapat demikian. Berakhirnya masalah
  Tionghoa dan lenyapnya diskriminasi rasial hanya dapat tercapai apabila
  jurang pendidikan dan ekonomi telah berhasil dihilangkan.
   
  Hal ini baru dapat tercapai apabila kita telah berhasil membangun bangsa
  dan negara yang demokratis, bersih dari KKN dan selalu menjunjung tinggi
  penegakan hukum dan HAM. Untuk itulah etnis Tionghoa sebagai bagian
  integral bangsa Indonesia harus bersama-sama komponen bangsa lainnya
  membangun bangsa dan negara sesuai dengan apa yang kita cita-citakan
  tersebut. Namun harus kita sadari bahwa tugas ini tidak mudah, jangankan
  untuk mencapai semuanya itu, untuk keluar dari krisis ekonomi saja sampai
  saat ini kita belum juga berhasil.
   
   
  Daftar Pustaka
  Adam,Asvi Warman Cina Absen Dalam Pelajaran Sejarah. Koran
  Tempo, 12 Februari 2002.
  Budiman, Amen Semarang Riwayatmu Dulu. jilid
  pertama. Tanjung Sari, 1978.
  Carey,Peter Orang Jawa dan Masyarakat
  Cina,1755-1825, Pustaka Azet.
  Groeneveld, W.P. Historical Notes on Indonesia & Malaya, Compiled From
  Chinese
  Source. C.V.Bharatara, 1960.
  Levathes, Louise When China Rules The Sea. Oxford
  University Press, 1994.
  Muljana, Slamet Prof.DR. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa Dan
  Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Bharatara,1968.
  Pan, Lynn The Encyclopedia of the Chinese
  Overseas. 1990.
  Parlidungan, M.O. Tuanku Rao.Tanjung Pengharapan, 1964.
  Phoa Kian Sioe Sedjarahnya Souw Beng Kong, Phoa Beng
  Gan, Oey Tamba Sia.
  Reporter, Djakarta, 1956.
  Purcell,Victor The Chinese in Southeast Asia.
  Second Edition, Oxford University Press,1981.
  Remmelink,Willem The Chinese War and the Collpase of the
  Javanese State,1725 -1743 . KITLV Press, Leiden, 1944.
  Siauw Tiong Djin Siauw Giok Tjhan, Riwayat Perjuangan
  Seorang Patriot
  Membangun Nasion Indonesia Dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Hasta
  Mitra, 199.
  Soejatmiko,Basuki Etnis Tionghoa di Awal Kemerdekaan Indonesia, sorotan
  Bok Tok-Pers Melayu Tionghoa-Desember 1945-September 1946.
  Thio Ie Soei Lie Kimhok (1853-1912). L.D. "Good Luck", Bandung
  Tjiong koen Liong Peroesoehan Di Koedoes" Drukkerij Goan Hong & Co, Pasar
  Pisang, Batavia, 1920.
  Toer, Pramoedya Ananta dkk Kronik Revolusi Indonesia. Jilid I, 1999,
  Kepustakaan Populer Gramedia.
  Toer, Pramoedya Ananta Hoa Kiao di Indonesia.
  Toer, Pramoedya Ananta Sang Pemula. Hasta Mitra, 1985.
  Twang Peck Yang The Chinese Business Elite In Indonesia
  And The Transition To Independence 1940-1950. Oxford University Press,
  1998.
  Werdojo,T. Tan Jin Ding dari kapitein Cina
  sampai Bupati Yogyakarta. PT.Pustaka Utama,Grafiti, Jakarta 1990.
  Yap Tjwan Bing Meretas Jalan Kemerdekaan-Otobiografi
  Seorang Pejuang Kemerdekaan. P.T.Gramedia, 1988.
  Yayasan Tunas Bangsa Lahirnya Konsep Asimilasi.
  Harian/Mingguan/Tabloid/Majalah/Memorandum/Makalah.
  - Harian/Mingguan Sin Po.
  - Harian Warta Bhakti.
  - Koran Tempo. Tabloid Suar.
  - Mingguan Star Weekly.
  - Memorandum Outlining Acts Of Violence And Inhumanity By Indonesian
  Bands On Innocent Chinese Before And After The Dutch Police Action Was
  Enforced On July 21, 1947. Compiled by Chung Hua Tsung Hui (Federations of
  Chinese Associations) in Batavia 15 September 1947.
  -Makalah Budi Widianarko "Mendobrak Kungkungan: Menuju Multi-Peran
  Tionghoa Indonesia" Disajikan dalam Seminar Pasca Kebijakan Imlek Libur
  Nasional" Semarang, 12 April 2002.
  ---Habis----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar