Krisis ekonomi yang tidak berkesudahan telah mendatangkan berbagai gejolak di masyarakat. Selain banyak memakan korban, krisis ekonomi juga telah mendatangkan tantangan sekaligus peluang bagi para entrepreneur (pengusaha) sejauh mereka dapat menyiasati krisis tersebut dengan cerdas dan keluar sebagai pemenang dalam persaingan.
Dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak pasti, kaum Muslimin tidak perlu mencari solusi ke lain ahli. Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kepada umatnya suri teladan yang sangat sempurna dalam bidang entrepreneurship, yaitu Nabi Muhammad saw.
Buku ini mengupas sisi lain kehidupan Rasulullah saw. yang jarang dibicarakan, yaitu sosok beliau sebagai seorang pengusaha besar, sukses, dan kaya raya. Jauh sebelum menjadi Rasul, Muhammad saw. telah ditempa sebagai entrepreneur. Kemiskinan dan kegetiran hidup telah membentuk beliau menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri.
Jiwa entrepreneurship Muhammad saw. terbentuk sejak kanak-kanak. Karena kapabilitas, kredibilitas, dan kejujuran dalam berniaga, para pelaku bisnis dan penduduk kota Mekah memberikan gelar Al-Amin kepada beliau. Dalam bisnis modern, Al-Amin identik dengan trust dan menjadi personal branding, daya tarik seorang entrepreneur untuk mengundang investor menanamkan modalnya.
Dalam buku ini kita akan mengetahui sejarah Muhammad saw. sebagai seorang entrepreneur, bagaimana entrepreneurship dibangun, cara membangun kredibilitas dan kapabilitas, serta dedikasi beliau dalam bidang bisnis sehingga beliau menjadi sosok success entrepreneur. Selain itu, dalam buku ini juga terdapat nasihat-nasihat beliau dalam berbisnis sehingga dapat jadi panduan praktis dalam membentuk jiwa entrepreneur dan entrepreneurship tangguh sesuai sunah Nabi Muhammad saw.
Disajikan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, kita diajak untuk dapat bercermin kepada beliau. Semua kebaikan dan kesuksesan seorang entrepreneur ada pada diri beliau. Tak terbantahkan bahwa Muhammad saw. adalah figur sukses paripurna seorang entrepreneur.
Sebuah buku yang menarik untuk dibaca ..! source nya banyak jika mau Rasulullah SAW bisa lebih kaya dari Nabi Sulaeman as, cuma beliau memilih hidup sederhana dengan banyak bersedekah, Walau tangan kanan diatas untuk memberi beliau tak pernah kekurangan, karena semakin banyak harta semakin lama pula pertanyaannya di akherat dan menjadi pengusaha-pengusaha adalah ajaran islam sejati, siapkah kita??
Tags: Muhammad saw. is A Great Entrepreneur, pengusaha, sejati
kisah entrepreneur di indonesia
Tahukah Anda bahwa sejarah kewirausahaan di tanah air telah dimulai jauh sebelum peristiwa kemerdekaan, bahkan telah ada sejak zaman bahari dahulu kala, ditandai dengan kegiatan perdagangan yang dilakukan para pedagang dan pelaut Indonesia di seputar Asia Tenggara sampai ke pulau Madagaskar di Afrika.
Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu, Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia kewirausahaan itu. Beberapa butir dari keteladanan dimaksud, bukan tidak mungkin akan memberi dorongan kepada kaum muda Indonesia untuk mulai mengambil ancang-ancang terjun ke dunia wirausaha:
• Semangat Pantang Menyerah:
Ghany mengalami kebangkrutan secara bertubi-tubi, entah berapa jumlah uangnya yang dipakai sebagai modal usaha ternyata harus amblas tanpa bekas. Namun demikian, kejadian-kejadian semacam itu ternyata tidak membuatnya jera untuk berbisnis, bahkan bagaikan harimau luka, ia justru makin meningkatkan intensitas usahanya sedemikian rupa, sampai pada akhirnya dapat meraih sukses. Semangat pantang menyerah seperti ini perlu sekali untuk dimiliki dan dijiwai oleh kalangan muda Indonesia, agar mereka tidak terbentuk menjadi generasi cengeng, yang selalu ingin hidup enak di bawah berbagai fasilitas milik orang tua atau pihak-pihak lain.
• Tidak Bergantung Pada Modal Uang:
Para pemuda dan calon pengusaha Indonesia masa kini selalu saja merasa bahwa faktor ketersediaan modal uang, merupakan kendala utama yang menghambat niat mereka untuk berusaha. Pada berbagai program kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil yang dicanangkan pemerintah, para pengusaha kecil tersebut hanya mengharapkan realisasi bantuan keuangan belaka, dan tidak mau tahu dan tidak peduli akan pentingnya faktor-faktor lain seperti motivasi, keuletan, inovasi cara berpikir, konsep usaha yang jelas serta faktor manajerial. Abdul Ghany justru memperlihatkan secara gamblang, bahwa faktor modal keuangan bukanlah faktor utama yang harus menghalangi seseorang untuk memulai usaha.
Ia hanya mengandal pada kepercayaan, dan ia berhasil. Saya sangat yakin bahwa sebenarnya faktor-faktor non keuangan justru lebih penting dalam berbisnis, dari pada faktor ketersediaan modal uang.
• Faktor Usia Bukan Penghalang:
Seperti diperlihatkan oleh Ghany, umur seseorang tidaklah merupakan halangan untuk seseorang bekerja dan berusaha. Tidak ada istilah masih terlalu muda, atau sebaliknya tidak ada istilah sudah terlalu tua dalam berwirausaha.
Ia sendiri memulai debutnya pada usia 11 tahun, mengalami berbagai kegagalan sampai usia 52 tahun dan pada usia 84 tahun memulai kembali kiprahnya sebagai wirausaha yang harus memimpin perusahaan besar dengan ratusan orang karyawan.
• Semangat Patriotisme:
Pada masa penjajahan, menjadi pengusaha mungkin bisa menyebabkan seseorang lupa akan kodratnya sebagai anak bangsa yang harus berjuang merebut kemerdekaan. Akan tetapi, Ghany dan banyak pengusaha pribumi lain, tidak demikian.
Mereka tetap berkontribusi pada perjuangan, sesuai dengan kapasitasnya sebagai wirausahawan, meski untuk itu mereka harus banyak berkorban. Ghany telah membuktikan bahwa ia rela kehilangan perusahaan dan harta bendanya karena dukungannya kepada perjuangan kemerdekaan bangsa.
ABDUL GHANY AZIZ — Firma Kiagoes dan PT Masayu
Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.
Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoes Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.
Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoes Abdul Aziz & Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.
Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.
Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang Firma Kiagoes di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura, mencari pekerjaan.
Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.
Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing dengan pedagang-pedagang Cina yang menguasai jaringan perdagangan di bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak tanggung-tanggung ia membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang masih dalam masa tanam, kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.
Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah ia.
Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang keturunan, yang dengan perkumpulan-perkumpulannya tidak segan untuk melancarkan strategi doping (menjatuhkan harga). Dengan doping tersebut, banyak perusahaan-perusahaan pribumi yang harus gulung tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum pedagang keturunan.
Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.
Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor dari Jepang.
Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma Kiagoes Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk meraih sukses.
Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu, Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk- produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya, Masayu Zaleha.
Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.
Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.
Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas, ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita “Antara” yang berfungsi sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan- kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan, semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.
Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu, menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.
Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.
Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis, kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.
Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949, Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.
Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan Cina itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang- barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia bisa mengumpulkan sejumlah uang.
Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang- nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan Indonesia Generasi I).
Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.
Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.
Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.
Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.
Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak lain.
Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang dan perusahaan-perusahaan Belanda yang tidak senang dengan sepak terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat ulet ini.
Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian, antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu dan Kiagoes terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.
Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.
Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun, ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.
Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977….SUMBER: ENTREPRENEUR
Dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak pasti, kaum Muslimin tidak perlu mencari solusi ke lain ahli. Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan kepada umatnya suri teladan yang sangat sempurna dalam bidang entrepreneurship, yaitu Nabi Muhammad saw.
Buku ini mengupas sisi lain kehidupan Rasulullah saw. yang jarang dibicarakan, yaitu sosok beliau sebagai seorang pengusaha besar, sukses, dan kaya raya. Jauh sebelum menjadi Rasul, Muhammad saw. telah ditempa sebagai entrepreneur. Kemiskinan dan kegetiran hidup telah membentuk beliau menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri.
Jiwa entrepreneurship Muhammad saw. terbentuk sejak kanak-kanak. Karena kapabilitas, kredibilitas, dan kejujuran dalam berniaga, para pelaku bisnis dan penduduk kota Mekah memberikan gelar Al-Amin kepada beliau. Dalam bisnis modern, Al-Amin identik dengan trust dan menjadi personal branding, daya tarik seorang entrepreneur untuk mengundang investor menanamkan modalnya.
Dalam buku ini kita akan mengetahui sejarah Muhammad saw. sebagai seorang entrepreneur, bagaimana entrepreneurship dibangun, cara membangun kredibilitas dan kapabilitas, serta dedikasi beliau dalam bidang bisnis sehingga beliau menjadi sosok success entrepreneur. Selain itu, dalam buku ini juga terdapat nasihat-nasihat beliau dalam berbisnis sehingga dapat jadi panduan praktis dalam membentuk jiwa entrepreneur dan entrepreneurship tangguh sesuai sunah Nabi Muhammad saw.
Disajikan dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, kita diajak untuk dapat bercermin kepada beliau. Semua kebaikan dan kesuksesan seorang entrepreneur ada pada diri beliau. Tak terbantahkan bahwa Muhammad saw. adalah figur sukses paripurna seorang entrepreneur.
Sebuah buku yang menarik untuk dibaca ..! source nya banyak jika mau Rasulullah SAW bisa lebih kaya dari Nabi Sulaeman as, cuma beliau memilih hidup sederhana dengan banyak bersedekah, Walau tangan kanan diatas untuk memberi beliau tak pernah kekurangan, karena semakin banyak harta semakin lama pula pertanyaannya di akherat dan menjadi pengusaha-pengusaha adalah ajaran islam sejati, siapkah kita??
Tags: Muhammad saw. is A Great Entrepreneur, pengusaha, sejati
kisah entrepreneur di indonesia
Tahukah Anda bahwa sejarah kewirausahaan di tanah air telah dimulai jauh sebelum peristiwa kemerdekaan, bahkan telah ada sejak zaman bahari dahulu kala, ditandai dengan kegiatan perdagangan yang dilakukan para pedagang dan pelaut Indonesia di seputar Asia Tenggara sampai ke pulau Madagaskar di Afrika.
Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu, Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia kewirausahaan itu. Beberapa butir dari keteladanan dimaksud, bukan tidak mungkin akan memberi dorongan kepada kaum muda Indonesia untuk mulai mengambil ancang-ancang terjun ke dunia wirausaha:
• Semangat Pantang Menyerah:
Ghany mengalami kebangkrutan secara bertubi-tubi, entah berapa jumlah uangnya yang dipakai sebagai modal usaha ternyata harus amblas tanpa bekas. Namun demikian, kejadian-kejadian semacam itu ternyata tidak membuatnya jera untuk berbisnis, bahkan bagaikan harimau luka, ia justru makin meningkatkan intensitas usahanya sedemikian rupa, sampai pada akhirnya dapat meraih sukses. Semangat pantang menyerah seperti ini perlu sekali untuk dimiliki dan dijiwai oleh kalangan muda Indonesia, agar mereka tidak terbentuk menjadi generasi cengeng, yang selalu ingin hidup enak di bawah berbagai fasilitas milik orang tua atau pihak-pihak lain.
• Tidak Bergantung Pada Modal Uang:
Para pemuda dan calon pengusaha Indonesia masa kini selalu saja merasa bahwa faktor ketersediaan modal uang, merupakan kendala utama yang menghambat niat mereka untuk berusaha. Pada berbagai program kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil yang dicanangkan pemerintah, para pengusaha kecil tersebut hanya mengharapkan realisasi bantuan keuangan belaka, dan tidak mau tahu dan tidak peduli akan pentingnya faktor-faktor lain seperti motivasi, keuletan, inovasi cara berpikir, konsep usaha yang jelas serta faktor manajerial. Abdul Ghany justru memperlihatkan secara gamblang, bahwa faktor modal keuangan bukanlah faktor utama yang harus menghalangi seseorang untuk memulai usaha.
Ia hanya mengandal pada kepercayaan, dan ia berhasil. Saya sangat yakin bahwa sebenarnya faktor-faktor non keuangan justru lebih penting dalam berbisnis, dari pada faktor ketersediaan modal uang.
• Faktor Usia Bukan Penghalang:
Seperti diperlihatkan oleh Ghany, umur seseorang tidaklah merupakan halangan untuk seseorang bekerja dan berusaha. Tidak ada istilah masih terlalu muda, atau sebaliknya tidak ada istilah sudah terlalu tua dalam berwirausaha.
Ia sendiri memulai debutnya pada usia 11 tahun, mengalami berbagai kegagalan sampai usia 52 tahun dan pada usia 84 tahun memulai kembali kiprahnya sebagai wirausaha yang harus memimpin perusahaan besar dengan ratusan orang karyawan.
• Semangat Patriotisme:
Pada masa penjajahan, menjadi pengusaha mungkin bisa menyebabkan seseorang lupa akan kodratnya sebagai anak bangsa yang harus berjuang merebut kemerdekaan. Akan tetapi, Ghany dan banyak pengusaha pribumi lain, tidak demikian.
Mereka tetap berkontribusi pada perjuangan, sesuai dengan kapasitasnya sebagai wirausahawan, meski untuk itu mereka harus banyak berkorban. Ghany telah membuktikan bahwa ia rela kehilangan perusahaan dan harta bendanya karena dukungannya kepada perjuangan kemerdekaan bangsa.
ABDUL GHANY AZIZ — Firma Kiagoes dan PT Masayu
Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.
Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoes Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.
Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoes Abdul Aziz & Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.
Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.
Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang Firma Kiagoes di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura, mencari pekerjaan.
Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.
Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing dengan pedagang-pedagang Cina yang menguasai jaringan perdagangan di bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak tanggung-tanggung ia membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang masih dalam masa tanam, kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.
Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah ia.
Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang keturunan, yang dengan perkumpulan-perkumpulannya tidak segan untuk melancarkan strategi doping (menjatuhkan harga). Dengan doping tersebut, banyak perusahaan-perusahaan pribumi yang harus gulung tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum pedagang keturunan.
Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.
Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor dari Jepang.
Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma Kiagoes Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk meraih sukses.
Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu, Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk- produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya, Masayu Zaleha.
Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.
Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.
Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas, ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita “Antara” yang berfungsi sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan- kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan, semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.
Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu, menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.
Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.
Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis, kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.
Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949, Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.
Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan Cina itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang- barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia bisa mengumpulkan sejumlah uang.
Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang- nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan Indonesia Generasi I).
Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.
Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.
Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.
Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.
Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak lain.
Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang dan perusahaan-perusahaan Belanda yang tidak senang dengan sepak terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat ulet ini.
Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian, antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu dan Kiagoes terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.
Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.
Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun, ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.
Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977….SUMBER: ENTREPRENEUR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar