08 Oktober 2012

GURU PLPG VS GURU NON PLPG


 SUMBER : MOMON GEO
Pada saat mencari informasi mengenai kinerja guru, tetikus yang dipegang tak sengaja menemukan ada skripsi yang dipublikasikan Universitas Lampung. Penelitian itu, menarik bukan karena dipublikasikan oleh sebuah perguruan tinggi, namun karena judulnya menyentakkan kesadaran kita sebagai seorang tenaga pendidik, dan atau orangtua. Sebagai pendidik, kita berharap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat meningkatkan kinerja dan pelayanan tenaga pendidik, sedangkan sebagai orangtua ingin mengetahui mengenai kinerja guru dalam melayani anak-anak yang dititipkan pada satuan pendidikan terkait.
Skripsi yang ditulis oleh Dwipa Fredy Putri (2008) dari Universitas Lampung berjudul Analisis Perbedaan Kinerja Guru Yang Mengikuti PLPG dan Non PLPG dalam Pelaksanaan Pembelajaran di SMPN 2 Bandar Lampung. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Putri (2008) memberikan kesimpulan bahwa :
Dapat diketahui bahwa kinerja guru yang mengikuti PLPG cenderung lebih baik dibandingkan dengan Non PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru), namun masih ada beberapa orang yang dinyatakan kinerjanya sedang atau buruk. Hal ini disebabkan guru yang PLPG mengikuti diklat dan dilakukan uji kompetensi yang berupa kompetensi profesional, pedagogik, kepribadian dan sosial. Dengan begitu, guru yang mengikuti PLPG mendapatkan wawasan yang bertambah dari pelatihan diklat. Sementara guru yang Non PLPG lebih banyak dinyatakan dalam kategorisedang dikarenakan adanya pengaruh dari guru yang mengikuti PLPG. Diharapkan, setiap guru harus dapat saling membantu dan dibutuhkan kerjasama agar tujuan pendidikan dapat berjalan dengan baik dan merata sehingga tidak ada perbedaan.
Sudah tentu, bagi seorang analis (yang berminat dalam statistik) akan mengajukan pertanyaan apa ukuran sedang, baik atau buruk. Begitu pula bagi seorang peneliti kualitatif. Ukuran tersebut, menjadi sangat kabur (bias). Apalagi bila sekedar menggunakan prosentase. Kendati demikian, informasi ini dapat dijadikan informasi tambahan atau informasi awal mengenai implikasi pelaksanaan model sertifikasi terhadap peningkatan kinerja guru. Karena pada dasarnya, apapun model sertifikasinya, tujuan akhir dari kebijakan itu diantaranyaadalah meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat memberikan pelayanan pendidikan yang prima sehingga dapat melahirkan peserta didik yang berkualitas, sebagaimana yang ditetapkan dalam tujuan pendidikan nasional.
Sedangkan, bila kita kembali pada hasil penelitian Putri tersebut maka mimpi tersebut perlu direm terlebih dahulu. Dan kita semua, perlu melakukan refleksi terhadap kebijakan pendidikan yang ada saat ini.
Sekali lagi, kita bertanya, anehkah temuan penelitian tersebut ? mungkin tidak aneh. Terkejutkan kita terhadap kesimpulan yang dikemukakannya ? sudah tentu tidak mengagetkan. Terus mengapa kita tertarik untuk melakukan refleksi.
Sekali lagi perlu dikemukakan bahwa temuan ini memang tidak aneh. Tetapi temuan ini menjadi menarik karena dugaan saya selama ini, terbukti benar (sementara). Dalam tulisan sebelumnya, saya sempat menulis sertifikasi profesi mazhab diklat (2008). Dalam tulisan itu pun, saya mengeluarkan hipotesis bahwa kelompok mazhab diklat akan memiliki kemampuan jauh lebih baik daripada mereka yang tidak diklat. Ternyata hipotesis itu, telah beriringan dengan Putri dalam bentuk kajian ilmiah dikampusnya.
Mengapa orang yang PLPG potensial memiliki kinerja yang baik dibandingkan dengan non PLPG ? selain yang dikemukakan dalam publikasinya Putri (2008), saya melihat ada beberapa aspek penting lainnya yang perlu ditegaskan.
Pertama, orang yang PLPG mendapat terapi kejut mengenai posisi kemampuan dirinya setelah selama ini tidak melakukan up-grade. Diakui atau tidak, setelah lama tidak belajar lagi, seorang guru akan terjebak pada rutinisme belaka. Bahkan rutinismenya pun adalah rutinisme administrasi, diabsen, ngajar, duduk, memberikan tugas, meriksa ulangan, gajian. Terus berulang sepanjang tahun seperti ini. Sementara waktu untuk pengembangan dirinya sangat sedikit atau sangat sempit. Pada konteks itulah, didiklat (PLPG) menjadi sebuah terapi kejut (shock therapy) bagi guru yang sudah lama tertidur dalam rutinismenya.
Kedua, perlu ditegaskan kembali, sebagai sebuah profesi maka pendekatan yang relevan itu adalah pendekatan kemampuan ril professional yang actual, dan bukan administrasi. Sertifikasi menggunakan administrasi adalah sertifikasi yang terkait dengan apa yang telah dilakukan. Dan bukti administrasi yang berkembang saat ini, lebih banyak pada kemampuan ril yang dimiliki saat ini dan masa lalu. Sementara kemampuan potensial dan actual tidak terukur. Bila sertifikasi melalui PLPG, maka seorang tenaga profesi apapun profesinyaakan mendapatkan informasi, pengetahuan dan kemampuan actual mengenai kebijakan dan atau keterampilan profesionalnya.
Peluang itulah yang jarang dan tidak terbaca oleh sertifikasi profesi model portofolio. Kemampuan unggulan seorang professional, memang akan muncul dalam portofolionya sendiri. Tetapi kasus seperti ini, hanya kasuistik dan perorangan. Sedangkan melalui PLPG, maka pengembangan potensi individu dan pengetahuan aktual, akan tersosialisasikan secara massal dan merata. Dengan demikian, kembali saya meyakini bahwa sertifikasi profesi melalui pendidikan akan jauh lebih permanen dibandingkan dibandingkan dengan pendekatan administrasi yang kadang manipulatif.
Ketiga, ini yang perlu ditegaskan kembali. Wacana ini kian menguatkan bahwa model portofolio, untuk sementara ini tidak cocok dikembangkan di Indonesia. Pada saat, pemerintah (tim verifikasi) memiliki keterbatasan personal, waktu dan dana dalam melakukan verifikasi portofolio, serta pragmatisme guru dalam mengikuti prosedur pemberkasan sertifikasi, maka pelaksanaan sertifikasi hanya menjadi sebuah permainan belaka. Ujung dari permainan ini, yaitu pemberkasan dan atau sertifikasi tidak melejitkan kemampuan guru dalam memberikan pelayanan pendidikan.
Keempat, poin yang penting lagi yaitu terkait dengan karakter pendekatan sertifikasi profesi guru. Sertifikasi guru berbasis portofolio adalah pendekatan melestarikan apa yang sudah dimiliki. Tidak meningkatkan atau melejitkan. Ini berbeda dengan PLPG. Dalam PLPG, seorang peserta akan dihadapan pada sejumlah materi kompetensi keguruan yang harus dimiliki. Hemat kata, portofolio melanggengkan tradisi, sedangkan PLPG berusaha untuk melejitkan kemampuan profesionalnya.
Terakhir, temuan ini menarik dan perlu dijadikan renungan bagi pengambil kebijakan, baik ditingkat satuan pendidikan maupun birokrasi. Bila kita alpa terhadap fenomena ini, kebijakan sertifikasi menjadi kebijakan yang kehilangan taringnya. Mimpi akan melejitkan kualitas pendidikan atau pelayanan pendidikan melalui sertifikasi menjadi sesuatu yang utopis (mimpi di siang bolong).
Tidak perlu heran. Kasus seperti ini, mirip terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan. Kendati sudah ada remunerasi (kenaikan tunjangan), namun perilaku korups terus terkuak. Kasus Gayus adalah sedikit bukti mengenai kebijakan remunerasi gagal dalam meningkatkan kinerja aparatur di lingkungan Kementerian Keuangan. Hal ini pun, akan menjadi penguat lanjutan bahwa kebijakan sertifikasi tidak (belum) mendongkrak kinerja guru di lapangan. Kendati tunjangan guru sudah dilipatgandakan, namun kinerja guru tidak secara otomatis meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar