14 Oktober 2012

STUDI LAPANGAN


GUMUK PASIR DI PARANGTRITIS
Keberadaan gumuk pasir yang merupakan bagian dari ekosistem spesifik di pantai selatan DI Yogyakarta memang perlu dilestarikan, sebagai kekayaan alam yang bentukannya tergolong langka di dunia. Gundukan pasir ini terbentuk secara alami, yang prosesnya berjalan ribuan tahun lalu. Material pasir berasal dari hasil luapan lahar Gunung Merapi yang terbawa air Sungai Opak dan Progo ke muara. Dari mulut sungai itu, endapan pasir tergerus gelombang laut Samudra Hindia yang kuat hingga terangkat ke pinggiran pantai Parangtritis. Perjalanan pasir tidak sampai di situ. Setelah tersapu ombak, giliran angin yang mendorongnya. Angin laut yang membentur tebing di sisi timur Pantai Parangtritis berbalik menerbangkan pasir ke daratan. Gumuk pasir itu terbentang sejauh 15,7 kilometer dari muara Sungai Opak hingga ke Parangtritis, sedangkan sebarannya ke daratan dari garis pantai selebar 2 kilometer. Gundukan pasir yang terbentuk mencapai ketinggian 7 meter. Di daratan pun, pasir yang sangat halus ini masih terus dimainkan angin setiap kali bertiup dalam cuaca cerah. Pada musim peralihan atau pancaroba, angin bertiup kencang secara intensif, maka material pasir yang terbawa akan lebih banyak hingga membentuk bukit-bukit pasir yang berubah-ubah bentuk maupun tempat tertimbunnya. Fenomena pembentukan gundukan pasir seperti ini juga ditemukan di Benua Afrika dan Gurun Gobi, China. Bentuk gumuk pasir yang kerap ditemukan di daerah Pantai Parangtritis menyerupai sabit dan memanjang atau longitudinal. Kadang kala ditemukan pula bentuk parabola dan sisir. Pembentukan pasir itu antara lain dipengaruhi oleh ukuran butiran pasir, tingkat kekeringan, kecepatan dan intensitas angin, serta keberadaan vegetasi yang menutup lahan. Realita yang terjadi sekarang faktor bangunan rumah dan gubuk-gubuk di pinggir pantai turut andil terbentuknya gumuk pasir sebagai pengganti faktor vegetasi pantai. Banyaknya bangunan pemukiman penduduk yang mendesak ke arah pantai selain dapat merusak ekosistem pantai juga merupakan ancaman bagi konservasi parangtritis sebagai laboratorium GEOSPACIAL

STUDI LAPANGAN

Geografi merupakan istilah yang dikenal sejak lama. Dalam dunia perdagangan, militer, dan politik, istilah itu sering digunakan dan telah dikenal sejak lama. Namun, sebagai “disiplin ilmu dan mata pelajaran” bidang itu masih dianggap kurang populer.
Kekurang populeran itu terjadi karena sistem pembelajaran dalam pendidikan persekolahan masih menempatkan bidang ini secara kurang proporsional.
Dalam kurikulum sekolah, pada masa itu geografi diberi nama ilmu bumi sehingga obyek yang dikaji terfokus pada fenomena alam, sementara kajian fenomena manusia kurang mendapat perhatian yang seimbang.
Setelah nama ilmu bumi menjadi geografi terjadi kecenderungan yang berbalik. Kajian geografi cenderung mengarah pada fenomena manusia sebagai kajian utama, sedang fenomena alam sebagai pendukungnya. Kecenderungan itu dapat dicermati dari pandangan umum, bahwa istilah geografi hampir identik dengan kependudukan. Oleh karena itu kerja  pembelajaran kedepan perlu mengembalikan pada jati dirinya, yaitu menempatkan fenomena alam dan fenomena manusia serta hubungan timbal balik keduanya secara proporsional. Keproporsionalan itu menjadi penting agar kedudukan dan fungsi bidang geografi ini dapat ditempatkan secara tepat sesuai dengan hakekat dan ruang lingkupnya.
Dewasa ini menjadi kesan umum, bahwa geografi dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bertugas untuk menghafalkan fenomena geosfer, seperti nama kota, daerah, pulau, sungai, jumlah penduduk, hasil tambang, produk pertanian, dan lain sebagainya yang perlu diketahui siswa diluar kepala.
Nuansa pembelajaran seperti itu bukan hanya tidak menarik, tetapi juga menyebabkan bidang geografi sebagai bidang disiplin ilmu tidak dapat berkembang secara optimal baik secara teoritis maupun secara praktis. Penyajian pelajaran geografi yang sifatnya monoton, baik dari segi pemilihan metode maupun situasi dan kondisi dalam kelas juga berpengaruh pada kurang minat dan motivasi belajar siswa yang pada akhirnya berpengaruh pada pencapaian prestasi yang kurang maksimal.
Ada kemungkinan besar sebagai pembelajaran di kelas berlangsung wajar tetapi sesungguhnya membosankan, ada kemungkinan materi yang diberikan dari “sananya’ sudah begitu tapi masih perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari anak didik kita agar menjadi bermakna. Ada kemungkinan juga cara mengajar sudah benar tapi sesungguhnya siswa ingin cara-cara yang bervariasi dan bukan yang itu-itu melulu. Mungkin banyak murid yang sebenarnya cerdas tapi ditengah-tengah lingkungan yang kurang mendukung.
Masalah lain adalah bahwa pendekatan dalam proses pembelajaran masih terlalu didominasi peran guru (teacher centered). Guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik (menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis. Kegiatan pembelajaran selama ini hanya berlangsung di ruang-ruang kelas dengan memanfaatkan sumber pembelajaran yang monoton, dan belum memanfaatkan kegiatan di luar kelas (outdoor activities), sehingga guru mengalami kesulitan melaksanakan kegiatan pembelajaran yang bervariasi. Akibatnya pembelajaran geografi berlangsung kaku dan formal. Menyikapi kondisi tersebut, perlu disimak pernyataan Paulo Freire (Muhammad Idrus, 2005: 161) yang mengatakan bahwa every place is a school, every one is teacher. Artinya bahwa setiap orang adalah guru, guru bisa siapa saja, dimana saja, serta hadir kapan saja, tanpa batas ruang, waktu, kondisi apapun. Dengan demikian siapa saja dapat menjadi guru dan pembelajaran tidak harus berlangsung di dalam kelas, sebab setiap tempat dapat menjadi tempat untuk belajar. Konsep Paulo Freire sangat tepat bila dihubungkan dengan metode outdoor activitiesOutdoor activities dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengayaan sumber pembelajaran.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam buku petunjuk teknis pengembangan silabus dari BSNP dicantumkan tentang karakteristik pelajaran geografi. Berdasarkan struktur keilmuannya geografi adalah disiplin ilmu yang mengkaji tentang fenomena permukaan bumi atau geosfer. Apabila diibaratkan geografi sebagai pohon ilmu, maka sebagai akar-akarnya adalah atmosfer, litosfer, hidrosfer, biosfer, dan antroposfer, sedang yang menjadi cabang-cabangnya adalah geografi fisik dan geografi manusia. Sedangkan ruang lingkup materi geografi mempelajari tentang lokasi, hubungan keruangan, karakter wilayah dan perubahan permukaan bumi. Untuk mencapai kompetensi belajar tersebut perlu dikembangkan melalui strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Siswa perlu mendapatkan pengalaman yang bermakna, tahan lama serta bukan merupakan sesuatu yang sifatnya verbalisme. Pembelajaran akan lebih bermakna kalau siswa berinteraksi langsung dengan sumber belajar yang ada di lingkungannya. Pengalaman belajar dilakukan para siswa di dalam kelas maupun di luar kelas, dapat juga merupakan suatu kegiatan fisik maupun mental dalam berinteraksi dengan bahan ajar dan sumber belajar. Intinya bahwa roh dari pembelajaran Geografi adalah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar