16 Mei 2011
penelitian tindakan kelas
CONTOH RPP EEK
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Oleh. Dr. H. Karwono, M.Pd
PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK PENELITIAN TINDAKAN KELAS
1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
PTK atau action research mulai berkembang sejak perang dunia ke dua, saat ini PTK sedang berkembang dengan pesatnya di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Canada. Para ahli penelitian pendidikan akhir-akhir ini menaruh perhatian yang cukup besar terhadap PTK. Menurut Stephen Kemmis seperti dikutip D. Hopkins dalam bukunya yang berjudul A Teacher’s Guide to Classroom Research, menyatakan bahwa action research adalah: a from of self-reflektif inquiry undertaken by participants in a social (including education) situation in order to improve the rationality and of (a) their own social or educational practices justice (b) their understanding of these practices, and (c) the situastions in which practices are carried out.
Secara singkat PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan, untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tinakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki dimana praktek-praktek pembelajaran dilaksanakan.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut PTK melaksanakan proses pengkajian berdaur (cyclical) yang terdiri 4 tahapan sebagai berikut:
Keempat fase dari suatu siklus dalam sebuah PTK bisa digambarkan dengan sebuah spiral PTK seperti sebagai berikut:
Plan
Reflektif
Action/Observation
Reflective
Action/Observation
Reflective
Action/Observation
Sesuai dengan hakekat yang dicerminkan oleh namanya yaitu action research spiral, penelitian tindakan kelas dapat dimulai darimana saja dari keempat fase yaitu: perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection).
2. Karakteristik Penelitian Tindakan Kelas
Karakteristik penelitian tindakan kelas antara lain:
(a) an inquiry on practice from within
Karakteristik pertama dari PTK adalah bahwa kegiatannya dipicu oleh permasalahan praktis yang dihayati guru dalam pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu PTK bersifat practice driven dan Action driven, dalam arti PTK berujuan memperbaiki scara praktis, langsung – disini, sekarang atau sering disebut dengan penelitian praktis (practical inquiry). Hal ini berarti PTK memusatkan perhatian pada permasalahan spesifik konstekstual.
Peran dosen LPTK pada tahap awal adalah menjadi sounding board (pemantul gagasan) bagi guru yang menghadapi permasalahan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari.
(b) a collaborative effort between school teachers and teacher educators.
Karena dosen LPTK tidak memiliki akses langsung, maka PTK diselenggarakan secara colaboratif dengan guru yang kelasnya menjadi kancah PTK. Karena yang memiliki kancah adalah guru sehingga para dosen LPTK yang berminat melakukan PTK tidak memiliki akses kepada kancah dalam peran sebagai praktisi. Oleh sebab itu ciri kolaboratif harus secara konsisten tertampilkan sebagai kerja sama kesejawatan dalam keseluruhan tahapan penyelenggaraan PTK, mulai dari identifikasi permasalahan, serta diagnosis keadaan, perancangan tindakan perbaikan, sampai dengan pengumpulan dan analisis data serta reflektisi mengenai temuan di samping dalam penyusunan laporan.
(c) reflective practice made public.
Keterlibatan dosen LPTK dalam PTK bukanlah sebagai ahli pendidikan yang tengah mengemban fungsi sebagai pembina guru sekolah menengah atau sebagai pengembang pendidikan (missionary approach), melainkan sebagai sejawat, di samping sebagai pendidik calon guru yang seyogyanya memiliki kebutuhan untuk belajar dalam rangka mengakrabi lapangan demi peningkatan mutu kinerjanya sendiri. Dalam hubungan ini guru yang berkolaborasi dalam PTK harus mengemban peran ganda sebagai praktisi yang dalam pelaksanaan penuh keseharian tugas-tugasnya juga sekaligus secara sistematis meneliti praksisnya sendiri. Apabila ini terlksana dengan baik maka akan terbina kultur meneliti dikalangan guru, dan merupakan suatu langkah strategis dalam profisionalisme jabatan guru. Hal ini pelecehan profesi dalam bentuk penyedia jasa borongan utuk membuatkan daftar angka kridit dalam proses kenaikan pangkat fungsional guru yang menggejala akhir-akhir ini dapat diakhiri.
PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)
Prosedur penelitian tindakan kelas merupakan proses pengkajian melalui sistem berdaur dari berbagai kegiatan pembelajaran, menurut Raka Joni (1988) terdapat lima tahapan yaitu:
Pengembangan fokus masalah penelitian
Perencanaan tindakan perbaikan
Pelaksanaan tindakan perbaikan, observasi dan interpretasi
Analisis dan refleksi
Perencanaan tindak lanjut (lihat gambar 1 dan 2).
Secara lebih rinci, prosedur pelaksanaan LPTK dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam pelaksanaannya, PTK diawali dengan kesadaran akan adanya permasalahan yang dirasakan mengganggu, yang dianggap menghalangi pencapaian tujuan pendidikan sehingga ditengarai telah berdampak kurang baik terhadap proses dan atau hasil belajar pserta didik, dan atau implementasi sesuatu program sekolah. Bertolak dari kesadaran mengenai adanya permasalahan tersebut, yang besar kemungkian masih tergambarkan secara kabur, guru – baik sendiri maupun dalam kolaborasi dengan dosen LPTK yang menjadi mitranya kemudian menetapkan fokus permasalahan secara lebih tajam kalau perlu dengan mengumpulkan tambahan data lapangan secara lebih sistematis dan atau melakukan kajian pustaka yang relevan.
Pada gilirannya, dengan perumusan permasalahan yang lebih tajam itu dapat dilakukan diagnosis kemungkinan-kemungkinan penyebab permasalahan secara lebih cermat, sehingga terbuka peluang untuk menjajagi alternatif-alternatif tindakan perbaikan yang diperlukan. Alternatif mengatasi permasalahan yang dinilai terbaik, kemudian diterjemahkan menjadi program tindakan perbaikan yang akan dicobakan. Hasil percobaan tindakan perbaikan yang dinilai dan direfleksikan dengan mengacu kepada kreteria-kreteria perbaikan yang dikehendaki, yang telah ditetapkan sebelumnya.
1. Penetapan Fokus/Masalah Penelitian, yang meliputi:
a. Merasakan adanya masalah
b. Identifikasi Masalah PTK
c. Analisis Masalah
d. Perumusan masalah
2. Perencanaan Tindakan, yang meliputi:
a. Formulasi solusi dalam bentuk hipotesis tindakan
b. Analisis Kelaikan Hipotesis Tindakan
c. Persiapan Tindakan
3. Pelaksanaan Tindakan dan Observasi-Interpretasi
a. Pelaksanaan Tindakan
b. Observasi dan Interpretasi
c. Diskusi balikan (review discussion)
4. Analisis dan Refleksi
a. Analisis Data
b. Refleksi
5. Perencanaan Tindak lanjut
a. Prosedur Observasi
b. Beberapa Tindakan
FORMAT USULAN PTK
1. JUDUL
Judul PTK hendaknya menyatakan dengan akurat dan padat permasalahan serta bentuk tindakan yang dilakukan peneliti sebagai upaya pemecahan masalah. Formulasi Judul hendaknya singkat, jelas, dan sederhana namun secara tersirat telah menampilkan sosok PTK, bukan sosok penelitian formal.
2. LATAR BELAKANG
Dalam latar belakang permasalahan hendaknya diuraikan urgensi penanganan permasalahan yang diajukan melalui PTK. Untuk itu harus ditunjukkan fakta-fakta yang mendukung, baik yang berasal dari pengamatan guru selama ini maupun dari kajian pustaka. Dukungan berupa hasil penelitian terdahulu, apabila ada, akan lebih baik mengokohkan argumentasi mengenai urgensi serta signifikansi permasalahan yang akan ditangani melalui PTK yang diusulkan. Karakteristik khas PTK yang berbeda dari penelitian formal hendaknya tercermin dalam uraian bagian ini.
3. PERMASALAHAN
Permasalahan yang diusulkan untuk ditangani melalui PTK dijabarkan secara lebih rinci dalam bagian ini. Masalah hendaknya benar-benar diangkat dari masalah keseharian di sekolah yang memang layak dan perlu diselesaikan melalui PTK. Sebaliknya, permasalahan yang secara teknis-metodologik di luar jangkauan PTK. Uraian permasalahan yang ada hendaknya didahului oleh identifikasi masalah, yang dilanjutkan dengan analisis masalah diikuti refleksi awal sehingga permasalahan yang perlu ditangani itu nampak menjadi lebih jelas. Dengan kata lain, bagian ino dikunci dengan perumusan masalah tersebut. Dalam bagian ini, sosok PTK harus secara konsisten tertampilkan.
4. CARA PEMECAHAN MASALAH
Dalam bagian ini dikemukakan cara yang diajukan untuk emecahkn masalah yang dihadapi. Alternatif pemecahan yang diajukan hendaknya mempunyai landasan konseptual yang mantap yang bertolak hasil analisis masalah. Di samping itu, harus terbayangkan kemungkinan kemanfaatan hasil pemecahan masalah dalam rangka pembenahan/atau peningkatan implementasi pembelajaran/atau berbagai program sekolah lainnya. Juga harus dicermati bahwa artikulasi kemanfaatan PTK berbeda dari kemanfaatan penelitian formal.
5. TUJUAN PENELITIAN DAN PEMANFAATAN PENELITIAN
Tujuan PTK hendaknya dirumuskan secara jelas. Paparkan sasaran antara dan akhir tindakan perbaikan. Perumusan tujuan harus konsisiten dengan hakekat permasalahan yang dikemukakan dalam baian-bagian sebelumnya. Dengan sendirinya artikulasi tujuan PTK berbeda dari tujuan formal. Pencapaian tujuan hendakya dapat diverifikasikan secara obyektif, sedapat mungkin bisa dikwantifikasikan. Di samping tujuan PTK, juga perlu diuraikan kemungkinan kemanfaatan penelitian. Dalam hubungan ini, perlu dipaparkan secara spesifik keuntungan-keuntungan yang dijanjikan, khususnya bagi peserta didik sebagai pewaris langsung hasil PTK, di samping bagi guru pelaksana PTK, rekan guru lainnya serta bagi dosen LPTK.
6. KERAGKA TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN
Pada bagian ini diuraikan landasan substantif dalam arti teoritik dan/atau metodologik yang dipergunakan peneliti dalam menentukan alternatif tindakan yang akan diimplementasikan. Untuk keperluan itu, dalam bagian ini diuraikan kajian terhadap baik pengalaman peneliti pelaku PTK sendiri yang relevan maupun pelaku PTK lain. Argumentasi logik dan teoritik diperlukan guna menyusun kerangka konseptual. Atas dasar kerangka konseptual yang disusun itu hipotesis tindakan dirumuskan.
7. RENCANA PENELITIAN
a. Setting Penelitian dan karakteristik Subyek Penelitian
Pada bagian ini disebutkan dimana penelitian tersebut dilakukan, di kelas berapa dan bagamana karakteristik kelas tersebut. Misalnya komposisi pria wanita, latar belakang sosial ekonomi yang mungkin relevan dengan permasalahan, tingkat kemampuan dsb. Aspek substantif permasalahan seperti Matematika SMP, Bahasa Inggris SMA.
b. Variabel yang diselidiki
Pada bagian ini ditentukan variabel-variabel penelitian yang dijadikan titik incar untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Variabel tersebut dapat berupa (1) variabel input yang terkait dengan peserta didik, guru, bahan ajar, prosedur evaluasi, lingkungan belajar dsb. (2) variabel proses penyelenggaraan pembelajaran seperti interaksi pembelajaran, keterampilan bertanya guru, cara belajar peserta didik, implementasi berbagai metode pembelajaran dikelas dsb. (3) variabel output, seperti rasa keingintahuan peserta didik, kemampuan peserta didik mengaplikasikan pengetahuan, motivasi belajar peserta didik dsb.
c. Rencana Tindakan
Pada bagian ini digambarkan rencana tindakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran, seperti:
(1) Perencanaan, yaitu persiapan yang dilakukan sehubungan dengan PTK yang diprakarsai seperti, penetapan entry behavior, pelancaran tes diagnostik untuk menspesifikasi masalah, pembuatan skenario pembelajaran, pengadaan alat-alat dalam rangka implementasi PTK, dan lain-lain yang terkait degan pelaksanaan tindakan perbaikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di samping itu juga diuraikan alternatif-aternatif solusi yang akan dicobakan dalam rangka perbaikan masalah.
(2) Implementasi Tindakan, yaitu deskripsi tindakan yang akan digelar, skenario kerja perbaikan dan prosedur tindakan yang akan diterapkan.
(3) Observasi dan Interpretasi, yaitu uraian tentang prosedur perekaman dan penafsiran data mengenai proses dan produk dari implementasi tindakan perbaikan yang dirancang.
(4) Analisis dan Refleksi, yaitu uraian tentang prosedur analisis terhadap hasil pemantauan dan refleksi berkenaan dengan proses dan dampak tindakan perbaikan yang akan digelar, personil yang akan dilibatkan, serta kreteria dan rencana bagi tindakan daur berikutnya.
d. Data dan Cara Pengumpulannya
Pada bagian ini ditunjkan dengan jelas jenis data yang akan dikumpulkan yang berkenaan baik proses maupun dampak tindakan perbaikan yang digelar, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan atau kekurang berhasilan tindakan perbaikan pembelajaran yang dicobakan. Format data dapat bersifat kualitatif, kuantitatif, atau kombinasi keduanya. Di sampig itu teknik pengumpuan data yang diperlukan juga harus diuraikan dengan jelas seperti melalui pengamatan partisipatif, pembuatan jurnal harian, observasi aktivitas dikelas, penggambaran interaksi dalam kelas, pengukuran hasil belajar dengan berbagai prosedur pengukuran, dan sebagainya. Selanjutnya dalam prosedur pengumpulan data PTK, para guru juga harus aktif sebagai pengumpul data, bukan semata-mata sebagai sumber data. Akhirnya, semua teknologi pengumpulan data yang digunakan harus mendapat penilaian kelaikan yang cermat dalam konteks PTK yang khas itu. Sebab meskipun mungkin saja menyajikan mutu rekaman yang jauh lebih baik , penggunaan teknologi perekaman data yang canggih dapat saja terganjal keras pada tahap tayang uang dalam rangka analisis dan interpretasi data.
e. Indikator Kinerja
Pada bagian ini tolok ukur keberhasilan tindakan perbaikan ditetapkan secara eksplisit sehingga memudahkan verifikasinya. Untuk tindakan perbaikan melalui PTK yang bertujuan mengurangi kesalahan konsep peserta didik misalnya perlu ditetapkan kreteria keberhasilan.
f. Tim Peneliti dan Tugasnya
Dalam bagian ini hendaknya dicantumkan nama-nama anggota peneliti dan uraian tugasnya/peran setiap aggota tim peneliti, serta jam kerja yang dialokasikan setiap minggu untuk kegiatan penelitian.
8. JADWAL PENELITIAN
Jadwal penelitian disusun dalam metriks yang menggambarkan urutan kegiatan dari awal sampai akhir.
9. RENCANA ANGGARAN
Daftar Rujukkan
Arends, Richard. 19997. Classroom Instruction and Management. Toronto. McGrew-Hill.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikti, Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action research). IBRD OAN No 3979 – IND
Hopkins, David. 1992. A Teacher’s Guide to Classroom Research. 2ed. Open University Press, Philadelphia.
Muhajir, Noeng. 1997. Analisis dan Refleksi dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Muhajir, Noeng. 1992. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Rake Sarasin. P.O BOX 83.
[1] Disajikan dalam Workshop Penelitian Bagi Dosen Muda STAIN Jurai Siwo Metro
[2] Dosen Kopertis Wilayah II dpk pada Universitas Muhammadiyah Metro, Dosen Program Studi Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Lampung (UNILA)
Label: penelitian tindakan kelas
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Penelitian Tindakan Kelas
oleh: Drs. Tatang Sunendar, M.Si.
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat
A. Latar Belakang
Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai.
Dalam bidang pendidikan, khususnya kegiatan pembelajaran, PTK berkembang sebagai suatu penelitian terapan. PTK sangat bermanfaat bagi guru untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran di kelas. Dengan melaksanakan tahap-tahap PTK, guru dapat menemukan solusi dari masalah yang timbul di kelasnya sendiri, bukan kelas orang lain, dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan secara kreatif. Selain itu sebagai penelitian terapan, disamping guru melaksanakan tugas utamanya mengajar di kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswanya. Jadi PTK merupakan suatu penelitian yang mengangkat masalah-masalah aktual yang dihadapi oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, guru mempunyai peran ganda : praktisi dan peneliti.
B. Mengapa Penelitian Tindakan Kelas Penting ?
Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional seorang guru :
PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakukan.apa yang dia dan muridnya
PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional. Guru tidak lagi sebagai seorang praktis, yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasi, namun juga sebagai peneniliti di bidangnya.
Dengan melaksanakan tahapan-tahapan dalam PTK, guru mampu memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang di kelasnya.
Pelaksanaan PTK tidak menggangu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.
Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.
Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek pembelajaran secara berkesinambungan sehingga meningkatan mutu hasil instruksional; mengembangkan keterampilan guru; meningkatkan relevansi; meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada komunitas guru.
C. Hakikat Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya.
PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya.
Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.
Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart, yang mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta–pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi tempat dilakukan praktik-praktik tersebut (Kemmis dan Taggart, 1988).
Menurut Carr dan Kemmis seperti yang dikutip oleh Siswojo Hardjodipuro, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah PTK adalah suatu bentuk refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa atau kepala sekolah) dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki rasionalitas dan kebenaran (a) praktik-praktik sosial atau pendidikan yang dilakukan dilakukan sendiri, (b) pengertian mengenai praktik-praktik ini, dan (c) situasi-situasi ( dan lembaga-lembaga ) tempat praktik-praktik tersebut dilaksanakan (Harjodipuro, 1997).
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Harjodipuro bahwa PTK adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan, dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri, agar kritis terhadap praktik tersebut dan agar mau utuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar, PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara profesional.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dilakukannya PTK adalah dalam rangka guru bersedia untuk mengintropeksi, bercermin, merefleksi atau mengevalusi dirinya sendiri sehingga kemampuannya sebagai seorang guru/pengajar diharapkan cukup professional untuk selanjutnya, diharapkan dari peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas anak didiknya, baik dalam aspek penalaran; keterampilan, pengetahuan hubungan sosial maupun aspek-aspek lain yang bermanfaat bagi anak didik untuk menjadi dewasa.
Dengan dilaksanakannya PTK, berarti guru juga berkedudukan sebagai peneliti, yang senantiasa bersedia meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Upaya peningkatan kualitas tersebut diharapkan dilakukan secara sistematis, realities, dan rasional, yang disertai dengan meneliti semua “ aksinya di depan kelas sehingga gurulah yang tahu persis kekurangan-kekurangan dan kelebihannya. Apabila di dalam pelaksanaan “aksi” nya masih terdapat kekurangan, dia akan bersedia mengadakan perubahan sehingga di dalam kelas yang menjadi tanggungjawabnya tidak terjadi permasahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.
D. Jenis dan Model PTK
Sebagai paradigma sebuah penelitian tersendiri, jenis PTK memiliki karakteristik yang relatif agak berbeda jika dibandingkan dengan jenis penelitian yang lain, misalnya penelitian naturalistik, eksperimen survei, analisis isi, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan jenis penelitian yang lain PTK dapat dikategorikan sebagai jenis penelitian kualitatif dan eksperimen. PTK dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif karena pada saat data dianalisis digunakan pendekatan kualitatif, tanpa ada perhitungan statistik. Dikatakan sebagai penelitian eksperimen, karena penelitian ini diawali dengan perencanaan, adanya perlakuan terhadap subjek penelitian, dan adanya evaluasi terhadap hasil yang dicapai sesudah adanya perlakuan. Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.
Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.
Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil.
Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung.Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator. Selanjutnya, sudut pandang ini dianggap sebagai andil yang sangat penting dalam upaya pemahaman terhadap berbagai permasalahan yang muncul. Untuk itu, peneliti akan bersikap bahwa tidak ada sudut pandang dari seseorang yang dapat digunakan untuk memahami sesuatu masalah secara tuntas dan mampu dibandingkan dengan sudut pandang yang berasal; dari berbagai pihak. Namun demikian memperoleh berbagai pandangan dari pada kolaborator, peneliti tetap sebagai figur yang memiliki ,kewenangan dan tanggung jawab untuk menentukan apakah sudut pandang dari kolaborator dipergunakan atau tidak. Oleh karenanya, sdapat dikatakan bahwa fungsi kolaborator hanyalah sebagai pembantu di dalam PTK ini, bukan sebagai yang begitu menentukan terhadap pelaksaanan dan berhasil tidaknya penelitian.
Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah.
Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya.
Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya.
E. Jenis Penelitian Tindakan Kelas
Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.
PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.
F. Model-model Penelitian Tindakan Kelas
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt.
Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi : (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini.
SIKLUS PELAKSANAAN PTK
Gambar 4: Riset Aksi Model John Elliot
G. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Banyak model PTK yang dapat diadopsi dan diimplementasikan di dunia pendidikan. Namun secara singkat, pada dasarnya PTK terdiri dari 4 (empat) tahapan dasar yang saling terkait dan berkesinambungan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), dan (4) refleksi (reflecting). Namun sebelumnya, tahapan ini diawali oleh suatu Tahapan Pra PTK, yang meliputi:
Identifikasi masalah
Analisis masalah
Rumusan masalah
Rumusan hipotesis tindakan
Tahapan Pra PTK ini sangat esensial untuk dilaksanakan sebelum suatu rencana tindakan disusun. Tanpa tahapan ini suatu proses PTK akan kehilangan arah dan arti sebagai suatu penelitian ilmiah. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan guna menuntut pelaksanaan tahapan PTK adalah sebagai berikut ini.
Apa yang memprihatinkan dalam proses pembelajaran?
Mengapa hal itu terjadi dan apa sebabnya?
Apa yang dapat dilakukan dan bagaimana caranya mengatasi keprihatinan tersebut?
Bukti-bukti apa saja yang dapat dikumpulkan untuk membantu mencari fakta apa yang terjadi?
Bagaimana cara mengumpulkan bukti-bukti tersebut?
Jadi, tahapan pra PTK ini sesungguhnya suatu reflektif dari guru terhadap masalah yang ada dikelasnya. Masalah ini tentunya bukan bersifat individual pada salah seorang murid saja, namun lebih merupakan masalah umum yang bersifat klasikal, misalnya kurangnya motivasi belajar di kelas, rendahnya kualitas daya serap klasikal, dan lain-lain.
Berangkat dari hasil pelaksanaan tahapan Pra PTK inilah suatu rencana tindakan dibuat.
Perencanaan Tindakan; berdasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan pada tahap pra PTK, rencana tindakan disusun untuk menguji secara empiris hipotesis tindakan yang ditentukan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah tindakan secara rinci. Segala keperluan pelaksanaan PTK, mulai dari materi/bahan ajar, rencana pengajaran yang mencakup metode/ teknik mengajar, serta teknik atau instrumen observasi/ evaluasi, dipersiapkan dengan matang pada tahap perencanaan ini. Dalam tahap ini perlu juga diperhitungkan segala kendala yang mungkin timbul pada saat tahap implementasi berlangsung. Dengan melakukan antisipasi lebih dari diharapkan pelaksanaan PTK dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan hipotesis yang telah ditentukan.
Pelaksanaan Tindakan; tahap ini merupakan implementasi ( pelaksanaan) dari semua rencana yang telah dibuat. Tahap ini, yang berlangsung di dalam kelas, adalah realisasi dari segala teori pendidikan dan teknik mengajar yang telah disiapkan sebelumnya. Langkah-langkah yang dilakukan guru tentu saja mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasilnya diharapkan berupa peningkatan efektifitas keterlibatan kolaborator sekedar untuk membantu si peneliti untuk dapat lebih mempertajam refleksi dan evaluasi yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi dikelasnya sendiri. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori pembelajaran yang dikuasai dan relevan.
Pengamatan Tindakan; kegiatan observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Data yang dikumpulkan pada tahap ini berisi tentang pelaksanaan tindakan dan rencana yang sudah dibuat, serta dampaknya terhadap proses dan hasil intruksional yang dikumpulkan dengan alat bantu instrumen pengamatan yang dikembangkan oleh peneliti. Pada tahap ini perlu mempertimbangkan penggunaan beberapa jenis instrumen ukur penelitian guna kepentingan triangulasi data. Dalam melaksanakan observasi dan evaluasi, guru tidak harus bekerja sendiri. Dalam tahap observasi ini guru bisa dibantu oleh pengamat dari luar (sejawat atau pakar). Dengan kehadiran orang lain dalam penelitian ini, PTK yang dilaksanakan menjadi bersifat kolaboratif. Hanya saja pengamat luar tidak boleh terlibat terlalu dalam dan mengintervensi terhadap pengambilan keputusan tindakan yang dilakukan oleh peneliti. Terdapat empat metode observasi, yaitu : observasi terbuka; observasi terfokus; observasi terstruktur dan dan observasi sistematis. Beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam observasi, diantaranya a) ada perencanaan antara dosen/guru dengan pengamat; (b) fokus observasi harus ditetapkan bersama; (c) dosen/guru dan pengamat membangun kriteria bersama; (d) pengamat memiliki keterampilan mengamati; dan (e) balikan hasil pengamatan diberikan dengan segera. Adapun keterampilan yang harus dimiliki pengamat diantaranya : (a) menghindari kecenderungan untuk membuat penafsiran; (b) adanya keterlibatan keterampilan antar pribadi; (c) merencanakan skedul aktifitas kelas; (d) umpan balik tidak lebih dari 24 jam; (d) catatan harus teliti dan sistemaris
Refleksi Terhadap Tindakan; tahapan ini merupakan tahapan untuk memproses data yang didapat saat dilakukan pengamatan. Data yang didapat kemudian ditafsirkan dan dicari eksplanasinya, dianalisis, dan disintesis. Dalam proses pengkajian data ini dimungkinkan untuk melibatkan orang luar sebagai kolaborator, seperti halnya pada saat observasi. Keterlebatan kolaborator sekedar untuk membantu peneliti untuk dapat lebih tajam melakukan refleksi dan evaluasi. Dalam proses refleksi ini segala pengalaman, pengetahuan, dan teori instruksional yang dikuasai dan relevan dengan tindakan kelas yang dilaksanakan sebelumnya, menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang mantap dan sahih.Proses refleksi ini memegang peran yang sangat penting dalam menentukan suatu keberhasilan PTK. Dengan suatu refleksi yang tajam dan terpecaya akan didapat suatu masukan yang sangat berharga dan akurat bagi penentuan langkah tindakan selanjutnya. Refleksi yang tidak tajam akan memberikan umpan balik yang misleading dan bias, yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan suatu PTK. Tentu saja kadar ketajaman proses refleksi ini ditentukan oleh kejataman dan keragaman instrumen observasi yang dipakai sebagai upaya triangulasi data. Observasi yang hanya mengunakan satu instrumen saja. Akan menghasilkan data yang miskin.Adapun untuk memudahkan dalam refleksi bisa juga dimunculkan kelebihan dan kekurangan setiap tindakan dan ini dijadikan dasar perencanaan siiklus selanjutnya. Pelaksanaan refleksi diusahakan tidak boleh lebih dari 24 jam artinya begitu selesai observasi langsung diadakan refleksi bersama kolaborator.
Demikianlah, secara keseluruhan keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara bersinambungan seperti sebuah spiral.
Kapan siklus-siklus tersebut berakhir? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh si peneliti sendiri. Kalau dia sudah merasa puas terhadap hasil yang dicapai dalam suatu kegiatan PTK yang dia lakukan, maka dia akan mengakhiri siklus-siklus tersebut. Selanjutnya, dia akan melakukan satu identifikasi masalah lain dan kemudian diikuti oleh tahapan-tahapan PTK baru guna mencari solusi dari masalah tersebut.
Penelitian Tindakan Kelas (Pembelajaran Kooperatif)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dewasa ini berpengaruh disegala dimensi kehidupan, termasuk bidang pendidikan lebih khusus lagi pengajaran matematika. Menurut Paling (1982:1) matematika merupakan salah satu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia; suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar dan geometri. Menurut Dali S. Naga (1980:1), aritmatika atau berhitung adalah cabang matematika yang berkenaan dengan sifat hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Secara singkat aritmetika atau berhitung adalah pengetahuan tentang bilangan.
Kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan cara berpikir siswa agar menjadi lebih kritis dan kreatif dapat dikembangkan melalui belajar matematika, karena matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang menduduki peranan penting dalam pendidikan terutama dalam era saat ini. Hal ini karena siswa beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Siswa seharusnya menyadari bahwa kemampuan berpikir logis, bernalar rasional, cermat, dan efisien menjadi ciri utama matematika.
Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antara konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Menurut Paling (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 252), ide manusia tentang matematika berbeda-beda, tergantung pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa matematika hanya perhitungan yang mencakup tambah, kurang, kali dan bagi, tetapi ada pula yang melibatkan topik-topik seperti aljabar, geometri, dan trigonometri. Banyak pula yang beranggapan bahwa matematika mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan berpikir logis.
Tuntutan zaman mendorong manusia untuk lebih kreatif dalam mengembangkan atau menerapkan matematika sebagai ilmu dasar oleh karena itu Cockroft (dalam Mulyono Abdurrahman, 2003: 253) mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, (2) semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.
Dalam konteks yang aplikatif, proses belajar – mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru dan siswa pemegang peranan penting. Usman menyatakan bahwa proses belajar – mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian kegiatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar (2000:4).
Suryosubronto menyatakan bahwa proses belajar-mengajar meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran (1997:19). Lebih lanjut S. Bloom dalam Hamalik (1995:19) merintis tujuan pembelajaran mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam hal ini mengarah pada kognitifnya yang mempunyai enam kegiatan yaitu:
Knowledge/pengetahuan, contoh tujuan yang terkait dengan kemampuan mengingat, menghafal, menyebut ulang dan meniru.
Comprehention/pemahaman, contoh tujuan yang berkait dengan tujuan untuk mengerti, menyatakan kembali bentuk lain dan menginterpretasi.
Aplication/penerapan, contoh tujuan yang terkait dengan penerapan teori, prinsip dan informasi.
Analize/analisis, contoh tujuan yang terkait dengan analisis masalah.
Synthesa/sintesis, contoh tujuan yang terkait dengan penggabungan bagianbagian dalam wadah.
Evaluation/evaluasi, contoh tujuan yang terkait dengan menentukan suatu kriteria tertentu pada suatu kegiatan (Hamalik, 1995:19).
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa proses pembelajaran bertujuan untuk melatih manusia agar menjadi lebih bisa dan menjadi lebih baik, sehingga guru harus dapat sedemikian rupa menciptakan situasi belajar yang menyenangkan sehingga siswa dapat memahami materi pelajaran. Agar guru dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan lebih baik, ia harus mempunyai kesiapan baik mental, personal dan sosial.
Gejolak kehidupan dan perkembangan masyarakat, bangsa dan negara serta bahkan kehidupan dunia pada umumnya menjadikan matematika sarat akan materi sehingga diperlukan keterkaitan dengan komponen dalam proses pembelajaran. Sugito menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar terdapat komponen-komponen yang saling terkait yang meliputi tujuan pengajaran, guru dan peserta didik, bahan pelajaran, metode/strategi belajar mengajar, alat/media, sumber pelajaran dan evaluasi (1994:3).
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa proses belajar-mengajar akan dapat terselenggara secara efektif manakala peran guru berjalan secara baik, sebagai pengajar maupun sebagai pendidik. Dalam hal ini berkaitan dengan pengelolaan kelas, melalui guru yang benar-benar profesional dalam mengelola kelas diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal serta dapat mengkontribusi keluaran yang berkualitas.
Pada umumnya pengajaran matematika di sekolah khususnya di SD N II Isimu Raya sampai saat ini masih konvensional yaitu guru aktif menjelaskan materi pelajaran sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru. Tentunya pendekatan seperti ini tidak sesuai dengan tuntutan zaman karena dimungkinkan akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kemampuan bernalar siswa. Padahal pelajaran matematika dari tahun ke tahun semakin kompleks dan lebih berkembang.
Oleh karena itu diperlukan suatu keahlian atau ketrampilan pengelolaan kelas yang harus dimiliki seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran matematika. Karena setiap siswa memiliki kemampuan dan taraf bernalar yang berbeda-beda, sehingga dengan ketrampilan dan keahlian itu seorang guru matematika dapat memilih metode yang tepat agar siswa mampu memahami materi pelajaran matematika yang disampaikan oleh guru. Metode mengajar matematika merupakan sarana interaksi guru dengan siswa di dalam kegiatan belajar mengajar. Metode mengajar yang dipilih harus sesuai dengan tujuan, jenis dan sifat materi pelajaran matematika yang diajarkan. Kemampuan guru dalam memahami dan melaksanakan metode tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Ketidaktepatan menggunakan suatu metode dapat menimbulkan kebosanan, kurang dipahami sehingga mengakibatkan sikap yang acuh terhadap pelajaran matematika.
Hal inilah yang kemudian mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang upaya meningkatan prestasi belajar matematika siswa materi luas dan bangun datar kelas V SD N II Isimu Raya melalui penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe group invetigation (GI).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah yang terdapat di SD N II Isimu Raya yang perlu untuk diteliti dan dipecahkan sebagai berikut:
Siswa menganggap matematika itu sulit, membosankan, tidak menarik bahkan dianggap mata pelajaran yang menakutkan.
Cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran matematika dengan metode pembelajaran yang digunakan belum optimal.
Kurangnya kualitas pembelajaran matematika tidak hanya bersumber pada kurangnya kemampuan bernalar siswa, bisa jadi disebabkan oleh adanya kelemahan dari metode pembelajaran yang digunakan oleh guru.
C. Pembatasan Masalah
Pada identifikasi masalah di atas agar penelitian ini terarah dan sesuai tujuan maka masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Metode pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cooperative learning tipe group investigation (GI).
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas bangun datar sesuai yang tercakup dalam silabus matematika kelas V.
Peningkatan prestasi belajar siswa yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi oleh:
prestasi pada aspek kognitif,
prestasi pada aspek afektif, dan
prestasi pada aspek psikomotor.
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah diatas maka perumusan masalah yang dapat peneliti rumuskan adalah “Apakah dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada pelajaran matematika materi luas bangun datar?”
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Sebagai motivasi bagi guru agar dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif di kelas dan mendorong minat belajar siswa karena menggunakan metode pembelajaran yang menarik.
2. Tujuan khusus
Untuk mengetahui apakah dengan menerapkan metode pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa khusunya pada mata pelajaran matematika.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan seara teoritis dapat memberikan sumbangan kepada pembelajaran matematika, utamanya pada peningkatan prestasi belajar siswa dalam matematika. Mengingat seorang siswa perlu memiliki tiga aspek keterampilan dalam belajar (kognitif, afektif dan psikomotor), maka salah satu teknik penerapan pembelajaran matematika dengan metode cooperative learning.
Secara khusus, penelitian ini memberikan kontribusi kepada strategi pembelajaran berupa pergeseran dari paradigma mengajar menuju ke paradigma belajar yang mementingkan pada proses untuk mencapai hasil.
2. Manfaat Praktis
Pada dataran praktis, penelitian ini memberikan manfaat bagi guru matematika dan siswa. Bagi guru matematika pendekatan cooperative learning dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) matematika. Bagi siswa, proses pembelajaran ini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam bidang matematika.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Tentang Pengertian Belajar
Dalam buku karangan Oemar Hamalik. (2007: 20) mengemukakan bahwa Belajar merupakan suatu proses, dan bukan hasil yang hendak dicapai semata. Proses itu sendiri berlangsung melalui serangkaian pengalaman, sehingga terjadi modifikasi pada tingkah laku yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi berdasarkan proses (sebagai alat atau means) akan tetapi tujuan (ends), sesuatu yang dikehendaki dalam pendidikan..
Menurut James O. Whittaker, dalam Abu Ahmadi. (2004: 126) belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
Definisi yang tidak jauh berbeda dengan definisi tersebut dikemukakan oleh Cronbach dalam bukunya yang berjudul education psychology sebagai berikut: learning is shown by change in behaviour as a result of experience. Dengan demikian belajar yang efektif adalah melalui pengalaman. Dalam proses belajar, seseorng berinteraksi langsung dengan objek belajar dengan menggunakan semua alat inderanya.
Sebagian terbesar dari proses perkembangan berlangsung melalui kegiatan belajar. Belajar yang disadari atau tidak, sederhana atau kompleks, belajar sendiri atau denagan bantuan guru, belajar dari buku atau dari media elektronika, belajar di sekolah di rumah, di lingkungan kerja atau di masyarakat.
Belajar selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang belajar, apakah itu mengarah kepada yang lebih lebih baik atau kurang baik, direncanakan atau tidak. Hal ini yang juga selalu terkait dalam belajar adalah pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.
Menurut Witherington (1952: 165) dalam Nana Syaodih Sukmadinata. (2004: 155-156) bahwa belajar merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon yang baru dan terbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan.
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya Slameto. (2003: 2).
Sardiman A.M. (2006: 20-29) mengemukakan ada beberap definisi tentang belajar, antara lain:
Cronbach memberikan definisi: learning is shown by a change in behavior as result of experience.
Horald spers memberikan batasan: learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to folloe direction.
Geoch, mengatakan: learning is a change in performance as a result of practice.
Dari ketiga definisi di atas, maka dapat diterangkan bahwa belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, meniru dan lain sebagainya. Belajar itu juga akan lebih baik, kalau si subjek belajar itu mengalami atau melakukannya, jadi tidak bersifat verbalistik.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan setiap orang secara maksimal untuk dapat menguasai atau memperoleh sesuatu. Belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka merubah tingkah laku kearah yang lebih baik sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan.
B. Kajian Tentang Prestasi Belajar
1. Arti Berprestasi
A. Tabrani Rusyan. (2007: 68) mengemukakan bahwa prestasi merupakan suatu bukti keberhasilan usaha yang dicai seseorang setelah melakukan suatu kegiatan. Demikian pula prestasi yang dicapai oleh kita, merupakan keberhasilan setelah melaksanakan proses belajar sehingga memiliki berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mendukung. Dalam melaksanakan proses belajar kebanyakan kita hanya memikirkan masa sekarang dan tidak memikirkan masa masa depan, akan tetapi mereka tidak dibiarkan begiru saja.
Dengan demikian Prestasi belajar merupakan suatu keberhasilan dari usaha yang dicapai seorang siswa setelah melakukan kegiatan belajar, sehingga ia memiliki berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mendukung.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Untuk memahami tentang prestasi belajar, perlu didalami faktor-faktor yang mempengaruhinya, Mulyasa. (2005: 189-196) mengemukakan beberapa faktor yaitu:
a. Pengaruh faktor eksternal
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar peserta didik dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dan non-sosial. Faktor sosial menyangkut hubungan antarmanusia yang terjadi dalam berbagai situasi sosial. Kedalam faktor ini termasuk lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan faktor non-sosial seperti lingkungan alam fisik misalnya: kjeadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber, dan sebagainya.
b. Pengaruh faktor internal
Brata (1964) mengklasifikasikan faktor internal menyangkut: a) faktor-faktor fisiologis, yang menyangkut keadaan jasmani atau fisik individu, yang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi jasmani tertentu terutama panca indera, b) faktor-faktor psikologis, yang berasal dari dalam diri seperti inteligensi, minat, sikap, dan motivasi.
Menurut pendapat A. Tabrani Rusyan, (2007: 68) faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu:
Keinginan untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan
Minat pribadi yang mempengaruhi belajar
Pola kepribadian yang mempengaruhi jenis dan kekuatan aspirasi
Nilai pribadi yaitu yang menentukan apa saja dari kekuatan aspirasi
Jenis kelamin
Latar belakang keluarga
Indikator Prestasi Belajar
Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa adalah dengan mengetahui garis-garis besar indikator (petunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur. Selanjutnya agar pemahaman anda lebih mendalam mengenai kunci pokok tadi dan memudahkan anda dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat, reliabel, dan valid, dibawah ini penyusun sajikan sebuah tabel panjang. Tabel ini berasal dari berbagai sumber rujukan (Surya, 1982; Barlou, 1985) dalam Muhibbin Syah. (2000 : 22)
Table. Indikator Prestasi
Ranah/Jenis Prestasi Indikator Cara Evaluasi
A. Ranah Cipta (Kognitif)
Pengamatan
Ingatan
Pemahaman
Penerapan
Analisis (pemeriksaan dan pemeliharaan secara teliti)
Sintesis (membuat penduan baru dan utuh)
B. Ranah Rasa (Afektif)
Penerimaan
Sambutan
Apresiasi (sikap menghargai)
Internalisasi (Pendalaman)
Karakterisasi (Panghayatan)
C. Ranah Karsa (Psokomotor)
Kterampilan bargerak dan bertindak
Kecakapan ekspresi varbal dan nonverbal
Dapat menunjukkan
Dapat membandingkan
Dapat menghubungkan
Dapat menyebutkan
Dapat menunjukkan kembali
Dapat menjelaskan
Dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri
Dapat memberikan contoh
Dapat menggunakan secara tepat
Dapat menguraikan
Dapat mengklasifikasikan/memilah-milah
Dapat menghubungkan
Dapat menyimpulkan
Dapat mengeneralisasikan
Menunjukkan sikap menerima
Menunjukkan sikap menolak
Kesediaan berpartisipasi/terlibat
Kesediaan memanfaatkan
menganggap penting dan bermanfaat
Mengnggap indah dan harmonis
Mengagumi
Mengakui dan meyakini
Mengingkari
Melembagakan atau maniadakan
Menjelmakan dalam pribadi dan perilaku sehari-hari
Mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
Mengucapkan
Membuat mimik dan gerakan jasmani
Tes Lisan
Tes tertulis
Observasi
Tes Lisan
Tes tertulis
Observasi
Tes Lisan
Tes tertulis
Tes tertulis
Pemberian tugas
Observasi
Tes tertulis
Pemberian tugas
Tes tertulis
Pemberian tugas
Tes tertulis
Tes skala sikap
Observasi
Tes skala sikap
Pemberian tugas
Observasi
Tes skala penilaian sikap
Pemberian tugas
Observasi
Tes skala sikap
Pemberian tugas ekspresi
Observasi
Pemberian tugas ekpresi dan proyektif
Observasi
Observasi
Tes tindakan
Tes lisan
Observasi
Tes tindaka
C. Kajian Tentang Cooperative Learning Tipe Group Investigation (GI)
Pengertian Kooperatif
Ada beberap definisi tentang pembelajaran kooperatif yang dikemukakan
para ahli pendidikan.
Slavin (1995) dalam Nur Asma. (2006: 11) mendefinisikan belajar kooperatif sebagai berikut “cooperative learning methods share the idea that students work together to learn and are responsible for their teammates learning as well as their own”. Definisi ini mengandung pengertian bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama saling menyumbang pemikiran dan bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil belajar secara individu maupun kelompok.
Davidson dan Kroll (1991) dalam Nur Asma. (2006: 11) mendefinisikan belajar kooperatif adalah kegiatan yang berlangsung di lingkungan belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam tugas mereka.
Roestiyah N.K. (2001: 15) mengemukakan bahwa tehnik ini ialah suatu cara mengajar dimana siswa di dalam kelas dipandang sebagai suatu kelompok atau dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok teridiri dari lima atau tujuh siswa, mereka bekerja sama dalam memecahkan masalah, atau melaksanankan tugas tertentu, dan berusaha mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan oleh guru.
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif ialah siswa belajar dengan cara bekerja sama dalam kelompok untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan penuh tanggung jawab pada aktifitas belajar kelompoknya, sehingga materi yang diajarkan guru mudah dipahami oleh seluruh anggota kelompok.
Pembelajaran kooperatif menekankan kerja sama antar siswa dalam kelompok. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Banyak anggota suatu kelompok dalam belajar kooperatif, biasanya terdiri dari empat sampai enam orang dimana anggota kelompok yang terbentuk diusahakan heterogen berdasarkan perbedaan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan etnis.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Pengembangan pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencapai hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Masing-masing tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pencapaian Hasil Belajar
Slavin dan para ahli lain percaya bahwa memusatkan perhatian pada kelompok pembelajaran kooperatif dapat mengubah norma budaya anak muda dan membuat budaya lebih dapat menerima prestasi menonjol dalam berbagai tugas pembelajaraan akademik.
Disamping merubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan pada siswa yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik, baik kelompok bawah maupun kelompok atas. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor kepada teman sebaya yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu.
b. Penerimaan Terhadap Keragaman
Efek penting yang kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat social, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Goldon Allport (1954) mengemukakan telah diketahui bahwa banyak kontak fisik saja diantara orang-orang yang berbeda ras tau kelompok etnik tidak cukup untuk mengurangi kecurigaan dan perbedaan ide. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Ketarampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat, banyak kerja orang dewasa dilakukan dalam organisasi yang bergantung satu sama lain dalam masyarakat meskipun bergam budayanya.
Sementara itu banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering terjadi suatu pertikaian kecil antar individu dapat mengakibatkan tidakan kekerasan, atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan ketika diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.
Selain unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit, model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama.
Ciri-ciri Metode Pembelajaran Kooperatif
Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah; (1) belajar bersama dengan teman, (2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman, (3) saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok, (4) belajar dari teman sendiri dalam kelompok, (5) belajar dalam kelompok kecil, (6) produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat, (7) keputusan tergantung pada siswa sendiri, (8) siswa aktif (Stahl, 1994).
Pembelajaran Kooperatif Model Group Investigation (GI)
Santyasa mengungkapkan pembelajaran kooperatif tipe GI didasari oleh gagasan John dewey tentang pendidikan, bahwa kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan di dunia nyata yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan antar pribadi. Menurut Winataputra (1992:39) model GI atau investigasi kelompok telah digunakan dalam berbagai situasi dan dalam berbagai bidang studi dan berbagai tingkat usia. Pada dasarnya model ini dirancang untuk membimbing para siswa mendefinisikan masalah, mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah itu, mengumpulkan data yang relevan, mengembangkan dan mengetes hipotesis.
Menurut Depdiknas (2005:18) pada pembelajaran ini guru seyogyanya mengarahkan, membantu para siswa menemukan informasi, dan berperan sebagai salah satu sumber belajar, yang mampu menciptakan lingkungan sosial yang dicirikan oleh lingkungan demokrasi dan proses ilmiah. Menurut Winataputra (1992:63) sifat demokrasi dalam kooperatif tipe GI ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan atau setidaknya diperkuat oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar. Guru dan murid memiliki status yang sama dihadapan masalah yang dipecahkan dengan peranan yang berbeda. Jadi tanggung jawab utama guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara kooperatif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung dalam pembelajaran serta membantu siswa mempersiapkan sarana pendukung. Sarana pendukung yang dipergunakan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan para pelajar untuk dapat menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok.
Ibrahim, dkk. (2000:23) menyatakan dalam kooperatif tipe GI guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa heterogen dengan mempertimbangkan keakraban dan minat yang sama dalam topik tertentu. Siswa memilih sendiri topik yang akan dipelajari, dan kelompok merumuskan penyelidikan dan menyepakati pembagian kerja untuk menangani konsep-konsep penyelidikan yang telah dirumuskan. Dalam diskusi kelas ini diutamakan keterlibatan pertukaran pemikiran para siswa.
Slavin (dalam Asthika, 2005:24) mengemukakan tahapan-tahapan dalam menerapkan pembelajaran kooperatif GI adalah sebagai berikut:
a. Tahap Pengelompokan (Grouping)
Yaitu tahap mengidentifikasi topik yang akan diinvestigasi serta mebentuk kelompok investigasi, dengan anggota tiap kelompok 4 sampai 5 orang. Pada tahap ini: 1) siswa mengamati sumber, memilih topik, dan menentukan kategori-kategori topik permasalahan, 2) siswa bergabung pada kelompok-kelompok belajar berdasarkan topik yang mereka pilih atau menarik untuk diselidiki, 3) guru membatasi jumlah anggota masing-masing kelompok antara 4 sampai 5 orang berdasarkan keterampilan dan keheterogenan.
b. Tahap Perencanaan (Planning)
Tahap Planning atau tahap perencanaan tugas-tugas pembelajaran. Pada tahap ini siswa bersama-sama merencanakan tentang: (1) Apa yang mereka pelajari? (2) Bagaimana mereka belajar? (3) Siapa dan melakukan apa? (4) Untuk tujuan apa mereka menyelidiki topik tersebut?
Misalnya pada topik Bangun Datar, pada tahap ini: 1) siswa belajar tentang jenis-jenis bangun datar beserta cara menghitung luasnya 2) siswa belajar dengan menggali informasi, bekerjasama dan berdiskusi, 3) siswa membagi tugas untuk memecahkan masalah topik tersebut, mengumpulkan informasi, menyimpulkan hasil investigasi dan mempresentasikan di kelas, dan (4) siswa belajar untuk mengetahui asal mula dari rumus luas bangun datar tersebut.
c. Tahap Penyelidikan (Investigation)
Tahap Investigation, yaitu tahap pelaksanaan proyek investigasi siswa. Pada tahap ini, siswa melakukan kegiatan sebagai berikut: 1) siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat simpulkan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang diselidiki, 2) masing-masing anggota kelompok memberikan masukan pada setiap kegiatan kelompok, 3) siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi dan mempersatukan ide dan pendapat. Misalnya: 1) siswa menemukan cara-cara pembuktian rumus luas bangun datar, 2) siswa mecoba cara-cara yang ditemukan dari hasil pengumupulan informasi terkait dengan topik bahasan yang diselidiki, dan 3) siswa berdiskusi, mengklarifikasi tiap cara atau langkah dalam pemecahan masalah tentang topik bahasan yang diselidiki.
d. Tahap Pengorganisasian (Organizing)
Yaitu tahap persiapan laporan akhir. Pada tahap ini kegiatan siswa sebagai berikut: 1) anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam proteknya masing-masing, 2) anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana mempresentasikannya, 3) wakil dari masing-masing kelompok membentuk panitia diskusi kelas dalam presentasi investigasi.
Misalnya: 1) siswa menemukan bahwa rumus luas bangun datar segitiga adalah ½ alas x tinggi, 2) siswa menemukan bahwa rumus luas bangun datar segitiga adalah ½ alas x tinggi yang dibuktikan melalui rumus bangun datar persegi panjang, 3) siswa membagi tugas sebagai pemimpin, moderator, notulis dalam presentasi investigasi.
e. Tahap Presentasi (Presenting)
Tahap presenting yaitu tahap penyajian laporan akhir. Kegiatan pembelajaran di kelas pada tahap ini adalah sebagai berikut: (1) penyajian kelompok pada keseluruhan kelas dalam berbagai variasi bentuk penyajian, (2) kelompok yang tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif sebagai pendengar, (3) pendengar mengevaluasi, mengklarifikasi dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan terhadap topik yang disajikan. Misalnya: 1) siswa yang bertugas untuk mewakili kelompok menyajikan hasil atau simpulan dari investigasi yang telah dilaksanakan, 2) siswa yang tidak sebagai penyaji, mengajukan pertanyaan, saran tentang topik yang disajikan, 3) siswa mencatat topik yang disajikan oleh penyaji.
f. Tahap evaluasi (evaluating)
Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai berikut: 1) siswa menggabungkan masukan-masukan tentang topiknya, pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan tentang pengalaman-pengalaman efektifnya, 2) guru dan siswa mengkolaborasi, mengevaluasi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan, 3) penilaian hasil belajar haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman siswa. Misalnya: 1) siswa merangkum dan mencatat setiap topik yang disajikan, 2) siswa menggabungkan tiap topik yang diinvestigasi dalam kelompoknya dan kelompok yang lain, 3) guru mengevaluasi dengan memberikan tes uraian pada akhir siklus.
Group Investigationn merupakan salah satu bentuk model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Tipe ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Model Group Investigation dapat melatih siswa untuk menumbuhkan kemampuan berfikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.
Dalam metode Group Investigation terdapat tiga konsep utama, yaitu: penelitian atau enquiri, pengetahuan atau knowledge, dan dinamika kelompok atau the dynamic of the learning group, (Udin S. Winaputra, 2001:75). Penelitian di sini adalah proses dinamika siswa memberikan respon terhadap masalah dan memecahkan masalah tersebut. Pengetahuan adalah pengalaman belajar yang diperoleh siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan dinamika kelompok menunjukkan suasana yang menggambarkan sekelompok saling berinteraksi yang melibatkan berbagai ide dan pendapat serta saling bertukar pengalaman melaui proses saling beragumentasi.
Dalam pembelajaran kooperatif model GI ini guru menyediakan sumber dan fasilitator. Guru memutar diantara kelompok-kelompok memperhatikan siswa mengatur pekerjaan dan membantu siswa mengatur pekerjaannya dan membantu jika siswa menemukan kesulitan dalam interaksi kelompok.
Para guru yang menggunakan metode GI umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 sampai 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen, (Trianto, 2007:59). Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan mempresentasikan laporannya di depan kelas.
Tahapan-tahapan kemajuan siswa di dalam pembelajaran yang menggunakan metode Group Investigation untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut, (Slavin, 1995) dalam Siti Maesaroh (2005:29-30):
Enam Tahapan Kemajuan Siswa di dalam Pembelajaran Kooperatif dengan Metode Group Investigation
Tahap I
Mengidentifikasi topik dan membagi siswa ke dalam kelompok.
Guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberi kontribusi apa yang akan mereka selidiki. Kelompok dibentuk berdasarkan heterogenitas.
Tahap II
Merencanakan tugas.
Kelompok akan membagi sub topik kepada seluruh anggota. Kemudian membuat perencanaan dari masalah yang akan diteliti, bagaimana proses dan sumber apa yang akan dipakai.
Tahap III
Membuat penyelidikan.
Siswa mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan dan mengaplikasikan bagian mereka ke dalam pengetahuan baru dalam mencapai solusi masalah kelompok.
Tahap IV
Mempersiapkan tugas akhir.
Setiap kelompok mempersiapkan tugas akhir yang akan dipresentasikan di depan kelas.
Tahap V
Mempresentasikan tugas akhir.
Siswa mempresentasikan hasil kerjanya. Kelompok lain tetap mengikuti.
Tahap VI
Evaluasi.
Soal ulangan mencakup seluruh topik yang telah diselidiki dan dipresentasika
D. Kajian Tentang Pembelajaran Matematika
Pengertian Matematika Sekolah
Mengajarkan matematika tidaklah mudah, oleh karena itu tidak dibedakan antara matematika dan matematika sekolah. Menurut Reyt.,et al. (1998:4) matematika adalah (1) studi pola dan hubungan (study of patterns and relationships) dengan demikian masing-masing topik itu akan saling berjalinan satu dengan yang lain yang membentuknya, (2). Cara berpikir (way of thinking) yaitu memberikan strategi untuk mengatur, menganalisis dan mensintesa data atau semua yang ditemui dalam masalah sehari-hari, (3). Suatu seni (an art) yaitu ditandai dengan adanya urutan dan konsistensi internal, dan (4) sebagai bahasa (a language) dipergunakan secara hati-hati dan didefinisikan dalam term dan symbol yang akan meningkatkan kemampuan untuk berkomunikasi akan sains, keadaan kehidupan riil, dan matematika itu sendiri, serta (5) sebagai alat (a tool) yang dipergunakan oleh setiap orang dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
Sedangkan mengenai pengertian matematika sekolah Erman Suherman (1993:134) mengemukakan bahwa matematika sekolah merupakan bagian matematika yang diberikan untuk dipelajari oleh siswa sekolah (formal), yaitu SD, SLTP, dan SLTA. Menurut Soedjadi (1995:1) matematika sekolah adalah bagian atau unsur dari matematika yang dipilih antara lain dengan pertimbangan atau berorentasi pada pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika sekolah adalah matematika yang telah dipilah-pilah dan disesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa, serta digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir bagi para siswa.
2. Karakteristik Matematika Sekolah
Agar dalam penyampaian materi matematika dapat mudah diterima dan dipahami oleh siswa, guru harus memahami tentang karakteristik matematika sekolah. Menurut Soedjadi (2000:13) matematika memiliki karakteristik : (1) memiliki obyek kajian abstrak, (2). Bertumpu pada kesepakatan, (3) berpola piker deduktif, 4). Memiliki symbol yang kosong dari arti, (5). Memperhatikan semesta pembicaraan, dan (6). Konsisten dalam sistemnya. Sedang menurut Depdikbud (1993:1) matematika memiliki ciri-ciri, yaitu (1). Memiliki obyek yang abstrak, (2). Memiliki pola piker deduktif dan konsisten, dan (3) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Berdasarkan hal tersebut di atas dalam pembelajaran matematika perlu disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa, dimulai dari yang konkrit menuju abstrak. Namun demikian meskipun obyek pembelajaran matematika adalah abstark, tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa Sekolah Dasar yang masih dalam tahap operasional konkrit, maka untuk memahami konsep dan prinsip masih diperlukan pengalaman melalui obyek konkrit (Soedjadi, 1995:1). Suatu konsep diangkat melalui manipulasi dan observasi terhadap obyek konkrit, kemudian dilakukan proses abstraksi dan idealisasi. Jadi dalam proses pembelajaran matematika di SD peranan media/alat peraga sangat penting untuk pemahaman suatu konsep atau prinsip. Heinich., et al. (1996:21) mengemukakan “adaptation of media and specially designed mean can contribute enormously to effective instructional …”.Hal tersebut mengandung maksud bahwa media yang sesuai dan dirancang khusus akan dapat memberikan dukungan yang sangat besar terhadap efektifitas pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran matematika juga dimulai dari yang sederhana ke kompleks. Menurut Karso (1993:124) matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Konsep-konsep matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Skemp (1971:36) menyatakan bahwa dalam belajar matematika meskipun kita telah membuat semua konsep itu menjadi baru dalam pikiran kita sendiri, kita hanya bisa melakukan semua ini dengan menggunakan konsep yang kita capai sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut dalam matematika terdapat topic atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dengan demikian dalam mempelajari matematika, konsep sebelumnya harus benar-benar dikuasai agar dapat memahami konsep-konsep selanjutnya. Hal ini tentu saja membawa akibat kepada bagaimana terjadinya proses belajar mengajar atau pembelajaran matematika. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika tidak dapat dilakukan secara melompat-lompat tetapi harus tahap demi tahap, dimulai dengan pemahaman ide dan konsep yang sederhana sampai kejenjang yang lebih kompleks. Seseorang tidak mungkin mempelajari konsep lebih tinggi sebelum ia menguasai atau memahami konsep yang lebih rendah. Berdasarkan hal tersebut mengakibatkan pembelajaran berkembang dari yang mudah ke yang sukar, sehingga dalam memberikan contoh guru juga harus memperhatikan tentang tingkat kesukaran dari materi yang disampaikan, dengan demikian dalam pembelajaran matematika contoh-contoh yang diberikan harus bervariasi dan tidak cukup hanya satu contoh.
Pembelajaran matematika hendaknya menganut kebenaran konsistensi yang didasarkan kepada kebenaran-kebnaran terdahulu yang telah diterima, atau setiap struktur dalam matematika tidak boleh terdapat kontradiksi. Matematika sebagai ilmu yang deduktif aksiomatis, dimana dalil-dalil atau prinsip-prinsip harus dibuktikan secara deduktif. Tetapi mengingat kemampuan berpikir siswa SD, penerapan pola deduktif tidak dilakukan secara ketat. Hal itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soedjadi (1995:1) bahwa struktur sajian matematika tidak harus menggunakan pola pikir deduktif semata, tetapi dapat juga digunakan pola pikir induktif.
3. Tujuan Pembelajaran Matematika
Di dalam GBPP mata pelajaran matematika SD disebutkan bahwa tujuan yang hendak dicapai dari pembelajaran matematika sekolah adalah:
Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari.
Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal lanjut di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin. (Depdikbud, 1993:40)
Sedangkan tujuan mata pelajaran matematika yang tercantum dalam KTSP pada SD/MI adalah sebagai berikut:
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Mengkomunkasikan gagasan dengan simbol, table, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006 : 417).
Adapun ruang lingkup materi atau bahan kajian matematika di SD/MI mencakup : a). bilangan, b). geometri dan pengukuran, dan c). Pengolahan data.
E. Kerangka Berpikir
Pada umumnya pengajaran matematika di sekolah sampai saat ini masih konvensional yaitu guru aktif menjelaskan materi pelajaran sedangkan siswa hanya mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru. Tentunya pendekatan seperti ini tidak sesuai dengan tuntutan zaman karena dimungkinkan akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kemampuan bernalar siswa. Padahal pelajaran matematika dari tahun ke tahun semakin kompleks dan lebih berkembang.
Dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) maka prestasi belajar siswa khususnya di bidang mata pelajaran matematika dapat ditingkatkan, karena metode pembelajaran ini merupakan suatu metode pembelajaran yang membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama diantara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar dan pembelajaran akan semakin memberikan prestasi belajar yang baik.
Hal di atas dapat ditunjukkan melalu gambar berikut ini.
Pembelajaran Kooperatif
Prestasi Belajar
Berdasarkan kajian teoritik, asumsi-asumsi dan pola pikir logik, maka diduga bahwa penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas V SD N II Isimu Raya.
Artinya: tingginya penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) akan diikuti pula dengan peningkatan prestasi belajar matematika siswa kelas V SD N II Isimu Raya.
SUMBER:PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar