31 Mei 2011

RENUNGAN ENTREPRENEUR


Saat pertama kali bergabung di salah satu anak perusahaan Astra di Batam, saya dan teman-teman satu batch (angkatan), harus melewati masa training. Di akhir sesi training kita selama 3 bulan lamanya, kita diwajibkan untuk membuat studi kasus yang harus diselesaikan menggunakan metode Practical Problem Solving (PPS). Permasalahan yang timbul adalah, kami diwajibkan presentasi menggunakan metode PPS dalam bahasa Inggris. Review presentasi dilakukan sebanyak 4 kali, sampai akhirnya final presentation di depan COO (Chief Operational Officer) yang notabene orang ‘bule’. Celakanya, bahasa Inggris saya saat itu amburadul dan super tidak lancar. Untuk menutupi ketidak lancaran saya setiap presentasi dalam bahasa inggris, saya berdalih menyalahkan metode PPS yang tidak up to date.

Suatu saat, sepulang dari tempat kerja, saya menyambangi kawan satu batch saya, Fajar Hidayat namanya. Di kamar mess (rumah dinas) Fajar, saya menggerutu tentang kelemahan-kelemahan metode PPS dan tidak adanya manfaat yang didapat dari materi tersebut. Awalnya Fajar hanya mendengar sambil melirikkan matanya dari bawah keatas. Tiba-tiba dia memotong omongan saya dengan nada serius,”Yak (panggilan akrab saya), menurut aku, kamu itu tipe orang yang suka excuse terhadap sesuatu yang kamu tidak mampu. Kamu tidak berusaha membuat dirimu mampu. Orang kayak kamu itu, biasanya tidak pernah nomor satu!”

Wow wow wow, saya hanya terdiam sejenak dengan muka merah terbakar omongan kawan baik saya. Sayapun bertanya dengan nada tinggi,”maksudmu?!” Fajarpun menjawab dengan sangat jelas,”Sebetulnya bukan metode PPS-nya yang kurang, tapi aku tahu kamu punya kekurangan tidak lancar berbahasa inggris. Dari situ kamu membuat dalih untuk menutupi kekuranganmu!”. Tanpa bicara lagi, dengan muka masam, saya meninggalkan mess Fajar, yang jaraknya hanya satu gang dari mess saya. Malam hari itu darah saya naik ke kepala, rasanya ingin marah besar, karena belum pernah ada orang yang mengkritik saya setajam itu. Saya merenung memikirkan kembali setiap perkataan Fajar,”….orang kayak kamu itu, biasanya tidak pernah nomor satu!”.

Saya flashback ke masa lalu saya, ternyata benar apa yang dikatakan Fajar, memang SAYA TIDAK PERNAH NOMOR SATU. Setelah menganalisa kembali apa yang menyebabkan saya tidak pernah nomor satu? Padahal saya terhitung pekerja keras dan gigih. Ternyata kuncinya ada di kata-kata Fajar,”…kamu itu tipe orang yang suka membuat EXCUSE terhadap sesuatu yang kamu tidak mampu. Kamu tidak berusaha membuat dirimu mampu!”. Exactly, itulah diri saya di masa lalu. You woke me up, my friend! Sejak malam itu saya berikrar,”Saya akan menjadi yang terbaik di manapun saya berada dan di bidang yang saya tekuni!”

Belajar dari pengalaman saya dan orang lain, saya menyimpulkan bahwa ada POLA SUKSES dan POLA GAGAL. Tuhan telah menciptakan manusia dengan mekanisme serba otomatis. Orang-orang yang gagal dalam kehidupannya, dia memiliki pola gagal yang berulang. Begitu juga orang yang sukses, memiliki pola sukses yang berulang. Apapun deskripsi Anda tentang sukses, amatilah orang yang menurut Anda sukses dan gagal, perhatikan polanya. Saat saya memutuskan untuk mengubah nasib saya, saya mengubah pola saya yang lama, seperti tidak disiplin, banyak alasan, cepat menyerah, tidak tuntas dalam kerja, juga ketidak beranian mengambil resiko. Apa pola gagal Anda? Simple, hanya dibalik saja dan sukseslah Anda.

Entah kenapa, setiap kali saya mengunjungi pulau Dewata, selalu ada yang membisikkan ke saya, tidaklah lengkap kalau belum mampir ke Joger. Entah kenapa, ketika saya melewati kota Bogor, nggak sah juga, jika tidak membungkus roti unyil Venus. Dan entah kenapa, dari pegawai sampai menteri, jika berkunjung ke Batam, seolah mereka ‘wajib’ mencicipi sup ikan Yong Kee. Masih banyak produk-produk lain, seperti, brownis Amanda dan molen Kartikasari dari Bandung, bakpia Patok di Jogja. Mungkin ini semacam ritual, jika tidak melakukannya, serasa kurang pas.

Coba bayangkan jika produk atau jasa Anda dijadikan ritual bagi orang lain yang melewati kota Anda. Hitung saja, berapa banyak keuntungan yang akan Anda raih. Tentu saja tak semudah itu, saat pertama kali saya makan di sup ikan Yong Kee, belasan tahun yang lalu, mereka hanya berdiri di sebuah kios kecil, 1 lantai berukuran kurang lebih 5 x 6 meter saja. Untuk makan di weekend, harus mengantri dan makan di trotoar, tanpa air-con, tanpa pelayan. Siapa sangka saat ini sup ikan Yong Kee memiliki bangunan yang besar-bertingkat dan menjadi mesin pencetak uang. Kalau tidak percaya, tongkrongin saja di salah satu cabangnya, hitung keluar masuknya orang per-jamnya.

Apa Penyebabnya?

Bagaimana sebuah merek (atau produk) bisa menarik fanatisme? Apakah karena rasanya? Saya paling tidak percaya jika orang meng-klaim “paling enak dan tidak ada yang bisa membuat lebih enak”. Wong membuat pesawat terbang aja bisa, masak buat bumbu pecel yang ‘serupa’ tidak bisa?! Perhatikan… kebanyakan merek-merek ritual, tidak ‘dikerek’ dengan promosi yang sensasional. Namun lebih dikarenakan efek dari mulut ke mulut alias referensi. Efeknya tidak instan seperti kebanyakan marketer saat ini menginginkan. Karena yang instan melejit, biasanya juga instan umurnya. Kenapa bisa begitu? Ya itulah hukum alam.

Perhatikan merek-merek yang dianggap ritual, apa ciri khasnya? Kebanyakan si pendiri terjun langsung memberikan spirit di setiap produknya. Pernahkah Anda melihat suatu usaha serasa hilang rohnya, saat si pemilik tidak ada disitu? Padahal bumbunya standar lho. Trus, apakah kita harus nongkrongin warung kita sampai kita mati? Dalam buku Pour your heart into it, Howard Schultz mengungkapkan bagaimana STARBUCKS dibangun dari secangkir demi secangkir kopi yang disajikan dengan hati. Artinya, ’roh’ dalam bisnis itu harus diturunkan turun temurun ke semua karyawan, sebelum si pendiri meninggalkannya. Jikalau para karyawan saja tidak memiliki rasa bangga dan alasan (selain uang), kenapa mereka bekerja disana, maka roh itu belum nempel. Setiap karyawan bahkan harus menjadi pengguna (jika memungkinkan) dan pengagum produk yang dijual. Dimanapun dan kapanpun mereka berada, hati dan mulut mereka membicarakan kelebihan produknya.

Semuanya butuh proses, seperti menanam sawit, memakan waktu tahunan untuk dapat memetik hasilnya. Kebanyakan pengusaha sekarang tidak tahan menunggu prosesnya. Belum sempat roh itu menular dan merasuk ke tubuh perusahaan, pengusaha baru terlalu terburu-buru mencaplok bisnis yang lain.

”Semua bisnis bagus, asalkan ditekuni dengan serius dan di manage dengan benar”


Jujur, apa yang pertama kali terbesit di benak Anda, begitu membaca Judul diatas? Judul diatas adalah cuplikan dari sebuah artikel di web, yang kita muat di web kita beberapa tahun lalu. Sungguh fenomenal memang, hanya dalam hitungan hari, artikel tersebut menduduki peringkat peng-klik terbanyak, bahkan diantara artikel lain yang lebih dahulu terbit. Saking penasarannya saya, sebagai pengasuh web tersebut, iseng-iseng mengubah judul artikel-artikel yang sesungguhnya bagus, namun tidak ter-klik oleh pengunjung web. Misal artikel tentang Hendi Setiono, owner kebab Turki Baba Rafi, kita ubah judulnya menjadi “Usia 25 tahun, miliki 300 Outlet Kebab Turki”. Wush… dalam hitungan hari terjadi lonjakan pengunjung.

Aneh tapi nyata, hanya karena judulnya diubah, pengunjungnya jadi naik drastis. Itulah psikologi angka dan iming-iming. Kebanyakan orang lebih suka dengan iming-iming yang bisa langsung diindera. Kedua, orang selalu ingin jalan pintas untuk sukses. Padahal kalo diurut-urut secara teliti lagi biografi mereka, bukannya jalan pintas yang mereka lalui. Berapa lama mereka uji coba dalam kondisi merugi, baik waktu maupun uang, sebelum mereka mendapatkan kesuksesan. Tapi itulah faktanya, kebanyakan orang tetap percaya dengan ‘jalan pintas’. Maka dari itu, pembicara-pembicara seminar motivasi ataupun bisnis yang paling laku adalah yang memberikan iming-iming jalan pintas. Misalnya: “Dijamin uang mengalir dalam 15 menit”. Jika terbukti tidak mengalir, paling-paling si pembicara menyanggah dengan seloroh,”Syarat dan ketentuan berlaku”, he he, ketipu loe.

Headline…

Lepas dari yang berbau janji-janji muluk, kita akan ambil pelajaran,”Bagaimana menciptakan judul atau headline di iklan/ promosi usaha kita, sehingga mengundang pembaca penasaran?”. Pertama, desainnya harus sesuatu yang tidak umum alias unik. Misalnya, jika bentuk iklan di koran/brosur kebanyakan menggunakan bentuk standar segi empat, ya kita bisa mencoba menggunakan bentuk bulat atau oval. Memang ruang iklannya jadi kurang maksimal, namun dari segi ketertarikan lebih menyolok mata. Kedua, ukuran headline yang besar, sekitar 30% dari total ruang iklan dan diberi warna kontras dari latar belakangnya. Ketiga, buat kata-kata yang menyolok. Saya pernah membuat seminar yang serupa, dengan headline yang berbeda, hasilnya berbeda pula. Contohnya, ada sebuah iklan perampingan tubuh dengan headline,”GRATIS PACAR BARU”. Apalagi disertai dengan gambar yang mem-visual-kan kemolekan tubuh yang diidamkan wanita, pasti lebih efektif. Sekali lagi, inilah contoh permainan context bukan content!

Tapi jangan keburu gegabah menonjolkan angka atau janji-janji ya. Kalo kebanyakan iklan menggunakan angka atau kata ‘gratis’, ya jadinya tidak unik lagi. Apalagi kalo angkanya terlalu besar, misalnya ada sebuah artikel true story tentang pendiri facebook.com. Disitu kita beri keterangan “Usia 24 tahun, Rp 13,5 trilyun, malah tidak seheboh artikel yang 90 juta. Kenapa? Karena menginderakannya susah! Gak kebayang tuh seberapa besar ukuran duit 13,5 trilyun. Ingat, headline-nya boleh heboh, tapi isi beritanya juga harus sesuai dengan janjinya. Jika tidak, akan berdampak pada kepercayaan calon pelanggan pada kita.

“Promise only what you can deliver and deliver more than you promised”

Hukum ini adalah hukum alam yang simple tapi sangat powerful. Hukum sebab akibat mengatakan bahwa setiap tindakan kita akan berakibat sesuatu pada kita. Apa yang terjadi pada kita dimasa sekarang disebabkan oleh yang kita tanam dimasa lalu. Apa yang kita lakukan saat ini akan berdampak pada kehidupan yang akan datang. Alam itu netral, tidak memihak ke siapapun, tidak peduli siapa Anda. Hukum Sebab Akibat mengatakan jika Anda melakukan apa yang orang sukses lakukan, maka Anda akan mendapatkan hasil seperti yang orang sukses dapatkan. Tentu saja jika kondisi start-nya sama dengan mereka.

Kenyataannya kebanyakan orang pengusaha sukses, awalnya mereka adalah orang-orang biasa, dengan pendidikan rata-rata, bekerja di tempat yang biasa, hidup dengan standar rata-rata. Tapi setelah mereka menemukan ‘formula’ pengusaha sukses, mereka melakukan yang pengusaha sukses lakukan, terus-menerus, terus-menerus, sampai mereka mencapai apa yang pengusaha sukses dapatkan.


“SUKSES bukanlah kebetulan, tetapi dengan melakukan suatu tindakan secara terencana, terus-menerus dan terus-menerus, sampai mencapai apa yang Anda Impikan.”

Belajar dari Petani

Jika Anda akan menanam jagung, Anda harus mulai dari satu biji. Anda harus menanamnya dengan benar di tanah yang subur. Anda harus membajak tanah tersebut terlebih dahulu. Kemudian Anda harus menyiraminya dengan air dan memberinya pupuk. Lalu Anda harus mencabuti rumput-rumput liar disekitarnya dan akhirnya, saat tanaman itu mulai tumbuh, apakah Anda dapat meninggalkannya? Tidak! Karena masih ada kemungkinan mati ! Anda tetap harus tetap memberinya pupuk, menjaganya dari serangan hama, dan terus menyiraminya tiap hari. Hingga saat tanaman tersebut tumbuh dewasa, dari satu biji, keluar ribuan biji.

Jika Anda ingin sukses di suatu bisnis, Anda harus berfikir seperti seorang petani. Orang-orang yang gagal dalam suatu bisnis karena mereka hanya mau merampas hasilnya. Mereka tidak bersedia bersusah payah untuk membajak lahannya, menanam bijinya, memupuki tanahnya dan menyirami tunasnya. Mereka tidak mau bersusah payah mencabuti rumput liarnya, membasmi hamanya dan melakukan proses tersebut setiap hari yang membuat tangan mereka kotor. Jika Anda menginginkan suatu bisnis yang besar dan menikmati hasilnya kelak, Anda harus bersedia membayar harganya!

Anda harus bersedia mengkorbankan pesta-pesta Anda, nonton TV, bermain games, apalagi ngegosip dengan teman-teman, untuk beberapa bulan bahkan tahunan. Sirami dan pupuk bisnis Anda dengan pelatihan, seminar dan buku. Konsisten lakukan prosesnya secara terus menerus, sampai berbuah. Kebanyakan orang menilai kesuksesan seseorang dari kondisi sekarang, bukan dari bagaimana proses mendapatkannya. Berapa kali Kolonel Sanders ditolak? 1009 kali. Berapa kali Edison gagal? Puluhan ribu kali. Siapa dulu Sohichiro Honda? Seorang kacung. Bagaimana mereka bisa berhasil? Karena mereka rela Membayar Harganya! Apakah Anda rela membayar harga untuk kesuksesan Anda?

“Jalan untuk sukses berliku, terjal, menanjak, tapi jalan itu ada dan layak diperjuangkan”


“Masj, saya memiliki sebuah warung makan. Awalnya warung makan saya rame. Mendadak koki saya pulkam, saya terpaksa ganti dengan koki baru. Sejak itu, warung saya sepi. Sekarang koki lama dah balik lagi, tapi tetap sepi. Gimana promosinya agar pelanggan lama mau balik lagi? Trims.” Itulah pesan singkat yang panjang, masuk di hape saya. Bisa dibilang tiap hari, saya mendapat sms-sms konsultasi, curhat, keluhan dan lain-lain. Jika saya memikirkan jawabannya dengan serius, bisa-bisa kepala saya botak. Alih-alih menjawab ala profesor marketing, saya menjawab ala kadarnya saja. Jawaban sms diatas seperti ini: “Buat spanduk gede, tulis: KOKI LAMA UDAH BALIK LAGI LHO!”. Gampang kan! Contoh kasus yang kedua, saat saya memberikan kelas mentoring di kota Padang, seorang alumni Ecamp (Entrepreneur Camp) bernama Elfi, bercerita tentang toko kelontongnya. Dia memiliki kompetitor pas di seberang tokonya. Awalnya toko Elfi sangat ramai dikunjungi pelanggan dan rata-rata mereka adalah pelanggan tetap. Tiba-tiba, suatu hari, toko itu mendadak sepi, gara-gara diisukan (oleh toko seberang) ada ‘kuntilanak’ di pohon besar depan toko Elfi. Apa solusinya? Sekali lagi sambil bercanda, saya menjawab,”Buat aja spanduk besar di pohon itu, terus tuliskan: TAK ADA KUNTIL ANAK, ADANYA KUNTIL IBU! atau KUNTIL ANAK PINDAH KEDEPAN!”. Spontan wanita itu tertawa. Anda sendiri tertawa nggak?

Pada saat review business plan siswa YEA (Young Entrepreneur Academy), saya mempertanyakan slogan produk makanan mereka ‘bersih dan sehat’. Slogan itu adalah slogan sejuta umat. Jadi tidak akan ‘nyantol’ di benak konsumen. Saya bertanya kepada mereka,”Apa sih perbedaan produkmu dibanding milik kompetitor?”. Diapun bercerita,”Produk saya itu Pak, rasanya asam manis nano-nano deh. Lihat aja orang udah ngiler”. Terus saya bertanya,”Kenapa nggak itu yang kamu komunikasikan?”. Dia balik bertanya,”Lha bagaimana ngomongnya?”. Saya jawab,”Ya itu tadi, yang ada ngiler-nya itu!”. Dari situ dia mengubah slogannya menjadi ‘Ngiler kan?’.

Jadi apa sih kuncinya?

Pertama, komunikasikan apa yang ada di benak dengan spontan, liar, polos, layaknya anak kecil. Jangan banyak aturan, kecuali hukum yang berlaku, norma atau agama. Ternyata marketing itu nggak sukar kan? Kita sendiri yang membuatnya sukar! Koq bisa? Karena teori-teori di bangku sekolah tidak diperbaharui. Apa bedanya produk Anda dengan orang lain? Komunikasi apa yang ada di benak Anda. Atau minta masukan kepada pelanggan, ”Apa sih yang mereka sukai dari produk Anda?”

Ketiga, buat calon pelanggan penasaran dengan slogan atau periklanan Anda. Seperti slogannya bakmi Pak Mo (franchise dari bakmi Mbah Mo, Bantul),”Dimasak tanpa api”. Tentu saja membuat orang penasaran. Saat mereka berkunjung dan menanyakan ke Mbah Mo, dengan enteng Mbah Mo menjawab,”Maksudnya tidak pakai kompor, tapi pakai arang yang membara”.

Kelima, tidak harus urut, seperti Anda baca, alinea diatas, dari pertama, lompat ketiga kemudian kelima. Bisa saja Anda memberikan penomoran ‘cabang no. 27’ tanpa harus membuka 26 cabang terdahulu kan? Apakah ini penipuan? Tentu bukan, coba baca ulang dengan seksama, ‘cabang ke 27’ atau ‘cabang no. 27’? Bahkan hal tersebut pernah kita terapkan di proyek Young Entrepreneur Academy (YEA), bernama ‘Katrock Kape’. Lebih dari itu, dibawah tulisan cabang tersebut, kita tuliskan nama kota-kota seperrti, Jakarta, Surabaya, Bandung, Cirebon, Tegal, Semarang, dan lainnya. Tentu saja membuat pelanggan tambah bertanya-tanya,”Lha itu semua cabangnya ya?”. Kemudian kita menjawab, “Bukan, itu trayek bus malam”. Tidak berbohong bukan?

Box?

Masih ingat dengan pertanyaan klasik “Gelas ini setengah isi atau setengah penuh?”. Kemudian dari jawaban tersebut diambil kesimpulan tentang sikap diri kita. Dan anehnya kita meng-amini-nya. Anak kecil akan menjawab,“Lucu ya gelasnya!” Seorang entrepreneur akan balik bertanya,”Berapa ya kulakannya? Bisa dijual berapa ya?”. Jadi apakah harus linier? Kan bisa lateral dan liar.

Saya suka memperhatikan perilaku anak saya yang kecil, Alfin. Istri saya membelikannya dua pasang sepatu yang serupa, tapi beda warna, yaitu merah dan biru. Sewaktu Alfin akan berangkat ke sekolah, ia memilih mengenakan sepatu warna merah di kaki kanannya dan warna biru di kaki kirinya. Istri saya menanyakan, apakah seharusnya kita tegur atau kita biarkan? Saya memilih membiarkannya. Mengapa? Pertanyaan saya: Apa salahnya? Apakah ada aturan kanan dan kiri harus sama warnanya? Apakah melanggar norma? Tidak kan! Ya biarkan saja liar.

Kreativitas seringkali diistilahkan dengan ‘think out of the box’. Kalau menurut saya ‘think without the box’ atau “kenapa sih harus pakai box?”.


Agustus 1998, saya memulai usaha pertama di bidang industrial supply, dengan modal dari 2 orang rekan saya yang bekerja di Singapore.

November 1998, perusahaan saya yang pertama bangkrut karena kehabisan modal, pembayaran tertunda, tak ada lagi uang untuk operasional. Makanpun tinggal indomie dan telor yang saya beli dari uang receh yang tak sengaja terkumpul di kaleng F&N.

Desember 1998, saya mendirikan perusahaan kedua dibidang yang sama, mendapatkan permodalan dari ex-supplier saya di Singapore. Kala itu saya mengontrak ruko yang sangat murah, eks usaha yang bangkrut karena krisis. Mungkin hanya saya yang mau menyewa ruko tersebut, dengan ratusan kg sampah barang-barang berserakan dan bekas banjir yang menimbulkan bau pesing dan lumpur yang mengendap.

Selama 3 hari saya bersihkan sendiri ruko tersebut, karena keterbatasan biaya. Kamar mandi tak berpintu, setiap pintu kamar sudah tidak ber-handle lagi. LAMPU MATI karena sudah lama tidak terbayar tunggakan listriknya. Karena tidak ada kasur, saya tidur di tikar anyaman bambu kalimantan (LAMPIT), pemberian kakak saya. Karena lampu mati, jadi tidur saya ditemani oleh lilin saja.

Nah, saat dalam kondisi paska bangkrut itu, saya menghibur diri saya dengan bisikan,”Jaya, tahu nggak, setiap pengusaha sukses, pasti pernah bangkrut! Sekarang kamu sudah bangkrut, tinggal suksesnya saja!” he he he…. FIGHT!


Agustus 1998, saya memulai usaha pertama di bidang industrial supply, dengan modal dari 2 orang rekan saya yang bekerja di Singapore.

November 1998, perusahaan saya yang pertama bangkrut karena kehabisan modal, pembayaran tertunda, tak ada lagi uang untuk operasional. Makanpun tinggal indomie dan telor yang saya beli dari uang receh yang tak sengaja terkumpul di kaleng F&N.

Desember 1998, saya mendirikan perusahaan kedua dibidang yang sama, mendapatkan permodalan dari ex-supplier saya di Singapore. Kala itu saya mengontrak ruko yang sangat murah, eks usaha yang bangkrut karena krisis. Mungkin hanya saya yang mau menyewa ruko tersebut, dengan ratusan kg sampah barang-barang berserakan dan bekas banjir yang menimbulkan bau pesing dan lumpur yang mengendap.

Selama 3 hari saya bersihkan sendiri ruko tersebut, karena keterbatasan biaya. Kamar mandi tak berpintu, setiap pintu kamar sudah tidak ber-handle lagi. LAMPU MATI karena sudah lama tidak terbayar tunggakan listriknya. Karena tidak ada kasur, saya tidur di tikar anyaman bambu kalimantan (LAMPIT), pemberian kakak saya. Karena lampu mati, jadi tidur saya ditemani oleh lilin saja.

Nah, saat dalam kondisi paska bangkrut itu, saya menghibur diri saya dengan bisikan,”Jaya, tahu nggak, setiap pengusaha sukses, pasti pernah bangkrut! Sekarang kamu sudah bangkrut, tinggal suksesnya saja!” he he he…. FIGHT!


Kalau menengok masa kecil saya, mungkin sebagian besar guru sekolah saya tidak akan menyangka jika saya akan ‘jadi orang’ (bukannya setan). Saking bandelnya, tetangga saya menyebut saya ‘anak setan’. Saat di bangku SD, saya hampir dikeluarkan oleh kepala sekolah saya, karena sering melanggar peraturan. Menginjak bangku SMP, seorang guru BP (Bimbingan Penyuluhan) menyumpahi saya sambil jarinya menuding “Kamu gak bakal sukses!!!”. Bisa jadi jika guru BP saya melihat saya jadi pembicara seminar, mungkin beliau langsung pingsan.

Ada apa dengan mereka? Atau ada apa dengan saya? Mungkin mereka menilai saya malas, suka buat keributan, nyontek terus. Secara prestasi tertulis, diri saya hampir selalu rangking 3 (dari belakang). Itu menurut mereka lho…! Menurut saya, guru saya yang tidak memahami saya. Meskipun selama 3 tahun di bangku SMP, saya tidak pernah mencatat, tapi di mata pelajaran Bahasa Indonesia saat kelas 3 SMP, catatan saya penuh dan rapi. Bukan karena saya suka mata pelajarannya, tapi saya suka gurunya. Dari mayoritas guru yang mengatakan saya anak setan, gak bakal sukses dan umpatan lainnya, hanya beliau yang mengelus saya dan mengatakan,”Jaya, kamu itu pintar!” (sedaaap!). Sama dengan yang dikatakan kedua orang tua saya,”Kamu itu pintar”.

Mengapa saya tidak termotivasi untuk belajar? Menurut saya, (maaf) guru saya yang ‘goblok’! Mereka tidak tahu potensi saya dan men-generalisasi pribadi saya dengan para siswa umumnya. Ditambah, metode pengajaran yang sangat membosankan dan penuh hapalan. Sedangkan saya sangat menyukai logika dan perhitungan. Maka dari itu saya menemukan titik balik saya saat saya masuk sekolah kejuruan dan universitas, meskipun masih ada sebagian mata pelajarannya, menurut saya adalah ‘sampah’.

Asal tidak kurang ajar & kriminal

Orang tua saya selalu menanamkan, nakalnya anak-anak adalah suatu yang wajar, asalkan tidak kurang ajar dan berbau kriminal. Nakalnya anak-anak adalah simbol ‘ekspresi’ kebebasan. Anak ‘ngeyel’ berarti ‘gigih’ memperjuangkan sesuatu. Tidak mau sama dengan yang lain artinya ‘kreatif’ dan berani tampil beda. Lasak artinya ‘aktif’. Tidak takut salah artinya ‘berani mengambil resiko’. Bukankah pribadi para pemimpin dan pengusaha adalah seperti itu? Bandingkan dengan seorang anak yang diarahkan oleh orang tuanya untuk ‘patuh’ pada peraturan, tidak boleh ‘membangkang’, berfikir ‘urut’ dan ‘lurus’, serta ‘menghindari resiko’. Apa jadinya mereka saat ini atau kelak? Karyawan selamanya!

Masalahnya, jarang ada sekolah yang mengijinkan muridnya untuk tampil beda dan kreatif. Salah satunya adalah sekolah anak saya (saat di Batam), Tije Club. Meskipun masih relatif baru dan pendirinya ‘Kak Tije’ adalah master di bidang hukum, namun dia adalah sosok pendidik yang moderat. Pernah suatu saat, anak saya membuat PR menulis huruf ‘B’. Namun anak saya memenuhi 1 halaman itu dengan huruf bervariasi, ada ‘L’, ‘F’ dan berbagai huruf lainnya. Istri saya menanyakan kepada saya, apa yang harus dilakukan? Saya bilang,”diamkan saja, saya mau lihat respon gurunya”. Eh, ternyata gurunya memberi nilai 100 dan tulisan ‘BAGUS’. Kenapa? Intinya khan belajar menulis huruf. Nah, anak saya bahkan bisa menulis lebih dari 1 huruf, ya bagus khan?

Sebagian dari pembaca akan berfikir pola fikir kita (saya dan Kak Tije), ‘nyleneh’. Tapi, menurut saya, itulah kreativitas. Yang penting khan tidak melanggar etika dan norma. Ingat, terlalu disiplin dapat membunuh kreativitas seorang anak. Tapi terlalu longgar juga dapat membuat anak kurang ajar. Jadi boleh disiplin, asal jangan mematikan kreativitas. Boleh nakal, asal tidak kurang ajar dan kriminal. Boleh juga protes tentang tulisan saya, wong namanya juga pendapat. Kalau semua mengangguk, artinya saya tidak kreatif, atau Anda tidak kreatif. Bingung? Bagus!


Masih ingat tulisan saya tentang konsep ‘zero’ yang diajarkan Om Bob Sadino? Tulisan tersebut mengundang sedikit kontroversi saat saya kirimkan melalui milis EA. Saat saya memberikan kelas mentoring bisnis di Bogor, saya ditanya oleh seorang peserta,”Mas J, di tulisan Mas J tentang zero, mas menceritakan tentang konsep yang diajarkan oleh Om Bob untuk tidak berharap. Sementara, di buku The Secret menganjurkan untuk berharap (bermimpi). Mana yang benar?”. Saya jawab,”Beda tingkatan berfikirnya aja mas!”. Artinya semuanya benar, tergantung tingkatan berfikir seseorang. Analoginya adalah seperti anak SD dan seorang profesor. Saat masih SD dulu, sering kita diiming-imingi hadiah sepeda atau mainan kalau naik kelas atau juara kelas, betul? Dari iming-iming tersebut, kita jadi rajin belajar. Hal itu berlangsung dari tahun ketahun, hingga terbentuk apa namanya kesadaran belajar. Nah, lain halnya jika kita bicara dengan seorang profesor. “Prof, jika prof mau belajar lagi dengan rajin, nanti saya belikan mobil ya!”. Yee, bisa ketawa tuh profesor. Tidak usah dibelikan mobilpun, profesor itu tetap akan belajar. Kenapa? Karena belajar sudah jadi kebutuhan dan kesadaran dia!

Om Bob bagaikan sang profesor, dimana dia melakukan setiap langkahnya kedepan, tanpa perlu diiming-iming lagi. Tanpa menciptakan harapan-harapan, Om Bob tetap akan action. Bahkan dalam level Om Bob, dia melakukannya sebagai wujud rasa syukur atas apa yang telah diberikan Allah kepadanya. Makna zero yang digambarkan oleh Om Bob sebagai lingkaran yang kosong, merupakan manifestasi keimanan seutuhnya. Dimana pada level tersebut, seorang hamba berpasrah tanpa prasangka sedikitpun. Zero sangat membantu kita, terutama saat kita mendapatkan ujian atau musibah. Misalnya Anda ditipu oleh seseorang. Apa jadinya jika Anda masih menggunakan logika dan rasa Anda? Anda akan mengumpat atas apa yang dia perbuat terhadap Anda. Atau mungkin frustasi, karena tidak mendapatkan solusi. Jika Anda zero, maka lebih ‘enteng’ bagi Anda menghadapinya. Koq bisa? Iya, nggak usah dipikirin saja. Ambil saja pelajaran positif dari situ, kemudian serahkan kepada yang diatas akan kemudahan solusi-solusinya? Bukankah banyak kejadian dalam kehidupan kita yang tidak masuk akal?

Makna Zero lainnya

Zero juga bermakna pembebasan dari prasangka-prasangka dan ketakutan-ketakutan kita selama ini. Kenapa bisnis kita tidak bisa kita delegasikan ke orang lain? Karena kita punya ketakutan percaya dengan orang lain. Kenapa kita sukar menangkap peluang-peluang yang ada? Karena kita punya ketakutan akan kerugian. Jangan-jangan, nanti-nanti, ya kalau…? Zero bermakna ‘Total Surrender’, keimanan yang bulat terhadap apa yang terjadi dimasa yang akan datang, keyakinan akan keajaiban dan jalan yang bahkan tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Saya pribadi mengalami hal-hal yang tidak pernah terduga dalam kehidupan saya. Solusi yang saya dapatkan, sering tidak masuk dalam logika saya. Biarkan tangan-tangan Allah yang bekerja untuk kita. Ada orang yang mempertanyakan,”Saya sudah total surrender Mas J, tapi koq masih tidak dapat kemudahan-kemudahan itu?”. Artinya Anda masih hitung-hitungan dengan Allah atau Allah mau menguji ketotalan zero Anda! Belajarlah kepada para nabi dan wali. Bagaimana mereka bisa mendapatkan mukjizat-mukjizat itu? Karena keyakinan mereka terhadap yang diatas! Sekali lagi, yuk kita zero!

“Saat logika tak mampu menaklukkan rasa, hanya iman yang menenangkan jiwa. Pasrah adalah jalannya…”

Memang benar pepatah lama “Ada gula, ada semut”, sesuatu yang ‘manis’ akan menarik orang untuk datang. Manis sendiri bisa diartikan uang, kelimpahan, keilmuan, sesuatu yang enak dan lain-lain. Dalam dunia bisnis, saya mengartikan “sesuatu yang menarik, akan mendatangkan orang”. Sesuatu yang ‘menarik’ di metaforakan sebagai ‘gula’ dan orang yang datang ‘mengerubuti’, diibaratkan sebagai ‘semut’. Dalam istilah marketing, tenant anchor yang dapat mendatangkan keramaian (traffic), sebagai gulanya. Nah, para pemilik gula ini biasanya mendapatkan fasilitas yang istimewa, seperti sewa gratis selama beberapa tahun atau kemudahan-kemudahan lainnya. Kenapa mereka bisa mendapat sewa gratis? Ya karena bisa mendatangkan keramaian tadi! Contohnya, para hypermarket yang terkenal seperti Carefour dan Hypermart. Biasanya mereka berada di bagian belakang, bawah, ujung dari suatu mal. Mengapa? Supaya para ‘semut’ yang akan mendatangi mereka, melewati lorong-lorong mal terlebih dahulu. Jika setiap lorong mal tersebut ramai dengan orang lewat, pasti gampang jualan kiosnya.

Coba bayangkan jika Anda berjualan di tempat yang lalat atau semutpun tidak ada yang lewat. Meski murah tempatnya, seperti jualan di kuburan bukan? Kalau siang hari bisa jualan kembang dan kemenyan. Bagaimana kalau malam hari? Jualan bakso sama suster ngesot? Lain halnya jika Anda menyewa suatu tempat yang sudah pasti banyak semutnya, pasti gampang jualannya. Anda bisa berjualan coklat, roti, susu kental manis, atau segala sesuatu yang disukai sang semut. Pertanyaannya, bagaimana cara mendatangkan semut? Ya itu tadi, gulanya disebar dulu!

Apa saja yang bisa jadi gula?

Gula bukan berarti harus tenant besar seperti Carefour, bisa juga kita sendiri yang menciptakan gulanya. Contohnya jika Anda membuka usaha cuci mobil, bagaimana agar para semut datang? Anda bisa mengundang mereka dengan ‘gula gratis’ (baca: cuci gratis). Nah, anehnya, semut dalam bisnis bisa dipancing. Sudah manusiawi, jika ada keramaian, pasti membuat orang lewat penasaran,”Apaan sih itu?”. Dan anehnya juga, kebanyakan orang berasumsi bahwa ‘ramai’ itu artinya ‘laris dan enak’. Bagaimana Anda memutuskan untuk makan di suatu tempat? Selain dari referensi semut yang lain (semut get semut), dari tempat yang kelihatan banyak semut kan? Jadi intinya, semutpun perlu pancingan. Gula bukanlah akhir dari penjualan Anda. Gula hanyalah umpan untuk mendatangkan semut. Setelah para semut datang, Anda bisa menawarkan menu-menu yang lainnya untuk menambah pemasukkan. Boleh creambath gratis, tapi sambil menawarkan vitamin, hair tonic, potong rambut, refleksi kaki, manicure dan pedicure. Soto boleh tidak untung, tapi perkedel, sate kerang, krupuk parunya membuat untung. Persewaan lapangan futsal mungkin super murah, tapi sewa kios di sekitarnya super mahal, belum lagi pemasukan dari iklan disekitarnya

Jadi jangan heran jika ada kafe, salon sampai lapangan futsal yang berani memasang tarif super murah dan tidak masuk akal, dengan tujuan mendatangkan semut. Yang terpenting adalah mendatangkan traffic di tempat usaha, selanjutnya terserah Anda…


Ahli ilmu perilaku pernah mencoba memasukkan katak hidup dalam kuali yang berisi air mendidih. Spontan katak itu lompat melebihi batas lompatannya yang wajar. Percobaan kedua dilakukan dengan cara yang berbeda. Kuali berisi air dengan suhu normal, kemudian katak yang lain dimasukkan. Karena airnya bersuhu normal, katak tersebut tak melakukan perlawanan alias diam saja. Apalagi di dalam kuali tersebut telah berisi enceng gondok dan bunga teratai, seperti layaknya habitat sang katak. Perlahan-lahan suhu kuali dinaikkan dengan menggunakan pemanas listrik. Katak tersebut tidak bergeming, karena ia tidak benar-benar merasakan kenaikkan suhu tersebut. Sampai batas suhu air mendidih, katak tersebut tak melakukan perlawanan dan akhirnya mati. Apa pelajaran dari cerita tersebut?

Bukan hanya kegagalan yang menjadi musuh besar kita, keberhasilan, kemapanan juga musuh terselubung. Seseorang yang gagal, tidak ada pilihan bagi dirinya selain bangkit. Jadi, sangat ‘lumrah’ jika ia fight untuk bangkit dari keterpurukkannya. Namun beda halnya dengan seseorang yang telah mendapatkan keberhasilan, ia memiliki 2 pilihan, untuk menikmati dan terlena, atau membuat target-target pencapaian baru dan siap action lagi. Ambil contoh nyata dalam kehidupan kita, terutama di lingkungan pekerja. Mungkin Anda atau kawan Anda bergabung di suatu perusahaan atau instansi pemerintah yang penuh dengan fasilitas dan proteksi, terutama sebagai pegawai negeri atau BUMN yang nyaris tidak mungkin dipecat. Apa yang mereka rasakan? Kenyamanan karena dimanjakan! Tidak ada salahnya dengan bergabung ke perusahaan seperti itu, bahkan itulah harapan sebagian besar orang. Namun hal itulah yang menjadi salah satu penyebab krisis mental bangsa ini. Kehilangan ‘fighting spirit’! Coba bandingkan Negara tetangga kita Singapura, yang proteksi terhadap karyawan perusahaan lemah. Kawan saya pernah bekerja di perusahaan perminyakan di Singapura, di-PHK dalam 2 kali 24 jam dengan alasan perampingan. Sekilas kita memandang alangkah tidak berperikemanusiaan mereka. Tapi di sisi lain, mereka dipersiapkan untuk waspada setiap saat.

Di dunia pengusaha, penyakit kemapanan juga dapat menghinggapi kita, namanya kehilangan momentum. Mereka yang sukses dalam usahanya, terlena dan meninggalkan pembelajaran. Semangat juang mereka hilang justru pada saat mereka mendapatkan apa yang telah diimpikannya. Tidak menjadi masalah selama usahanya tetap berkembang atau setidaknya stabil. Namun, seperti roda yang berputar, terkadang gejolak mengganggu tidur kita. Seperti saat krisis ini berlangsung, apa yang akan terjadi pada mereka yang ‘tidur’ terlalu lama? Mereka kelabakan mencari jalan keluar dari krisis. Tapi ternyata ‘peta’ yang mereka gunakan sudah usang. Masih untung jika masih punya semangat untuk bertarung lagi, kebanyakan dari mereka sudah ‘kegemukan’ dan kehilangan ‘momentum’. Bagaimana menghindarinya?


Ciptakan Tantangan

Bagi Anda yang berstatus sebagai karyawan, tantanglah bos Anda untuk memberikan kerjaan lebih atau baru, jika perlu mutasi. Boleh beristirahat dan menikmati pencapaian, tapi jangan lama-lama. Bagi Anda pengusaha yang sudah mapan, buatlah tantangan baru, misalnya dengan membuka cabang, franchise atau diversifikasi usaha. Buatlah otak Anda melar dengan permasalahan baru yang Anda hadapi. Bagi Anda yang belum sukses, berbaik sangkalah kepada Tuhan, berarti Ia sedang melatih diri Anda untuk lebih tangguh. Bukankah manusia yang beruntung adalah yang memanfaatkan waktu untuk selalu bertumbuh?

“Sukses bukanlah pencapaian, namun bertumbuh ke potensi maksimal yang diberikan Allah kepada kita”


Untuk menjaga stamina otak saya agar selalu fresh dan ter-update, saya menargetkan minimum 2 kali dalam setahun harus mengikuti pelatihan(bukan seminar). Rata-rata durasi pelatihan yang saya ikuti 2 sampai 4 hari. Namun di tahun ini ada yang berbeda. Pilihan saya jatuh ke pelatihan meditasi kesehatan Tapa Brata (7 hari, 6 malam) di Bali, yang di asuh oleh Guru Merta Ada, pendiri Bali Usada. Tak ada alasan yang jelas mengapa saya ingin belajar meditasi. Awalnya hanya sebuah referensi dari alumni ECamp saya, Pak Agus Wiyono. Kata beliau ajaran di ECamp mirip dengan ajaran gurunya, tentang kekuatan memaafkan. Hingga ujian demi ujian dalam bisnis dan kehidupan saya yang mendorong saya mendalami makna ‘keheningan’. Dari situlah vibrasi saya semakin kuat untuk mempelajari meditasi.

Saya tidak kompeten untuk menjelaskan apa makna meditasi. Saya hanya akan berbagi apa yang saya dapatkan dari meditasi tersebut. Memang ada sebagian orang yang menakutkan meditasi dapat menyesatkan keimanan kita, saya berkata “Bisa jadi! Tergantung guru dan Anda sendiri yang menafsirkannya”. Namun sepanjang yang saya ikuti bersama Guru Merta Ada, beliau selalu memulai dengan berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing, tidak ada ritual keagamaan khusus yang menggeser tauhid saya.

Apa sih yang dipelajari?

Pertama, duduk bersila tanpa gerak selama 45 menit! Sepertinya enteng ya kalau hanya dibaca. Tapi cobalah Anda lakukan, ‘tanpa bergerak dan mengubah posisi kaki dan tangan Anda’. Apa yang terjadi? Baru beberapa menit saja, gatal-gatal di kepala, muka dan bagian tubuh yang lain menggoda saya untuk menggaruknya. 10 menit berlalu, telapak kaki mulai kesemutan. 20 menit, tidak hanya telapak kaki, betis juga kena getahnya. 30 menit, mati rasa deh, seperti organ yang terputus. Bosan? Jangan ditanya, so pasti! Dari situlah saya belajar mengontrol emosi dan respon saya terhadap kejadian yang menimpa. Tidak mudah reaktif, lebih proaktif dan sabar.

Kedua, saat meditasi, tugas kita hanya ‘mengamati’ nafas (buset, nafas diamati, kayak cewek aja tuh!), bukan mengatur nafas. Mengamati saat keluar dan masuk dari hidung kita. Hal ini sangat berguna bagi saya saat membutuhkan ‘switch’ fokus dengan cepat. Cukup pejamkan mata dan amati nafas, lupakan lainnya.

Ketiga, ‘No Ngelamun’! Lha ini yang tidak mudah, selama 7 hari disana, usai meditasi dan khususnya saat meditasi, dilarang untuk ‘ngelamun’. Ternyata ngelamun adalah sumbernya penyakit. Meng-andai dan mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, berbicara dengan diri sendiri berlebihan, memutar ulang ‘filem-filem’ buruk masa lalu kita. Semua itu membuat pikiran kita terlalu jenuh dan sukar berfikir jernih. Dari situ saya belajar mengontrol pikiran saya. Hingga tiap saat pikiran saya melayang tak karuan arahnya, saya kembali ke ‘mengamati nafas’.

Keempat, ‘FULL SILENT’, tak boleh berbicara sedikitpun selama 6 hari. Untung saya bukan tipe sanguinis emberis yang tidak betah dengan berdiam. Silent sangat bermana bagi kesehatan pikiran kita, bak puasanya mulut dan pikiran kita. Tatkala mulut berbicara, banyak pembenaran nurani yang dilakukan, fokuspun sering tergoyahkan.

Kelima, vegetarian selama 7 hari. Ehem, kebiasaan makan saya yang cukup rakus, tidak mudah mempraktekkan hal ini. Tapi setelah itu, saya belajar apa itu makna ‘makan secukupnya’. Juga bermanfaat mengontrol keserakahan saya dalam hal-hal lain di kehidupan saya.

Dari pelatihan 7hari 6malam yang ‘membosankan’ itu, saya kangen dengan kedamaian hati sang guru. Jarang saya menemukan orang yang memiliki redaman emosi setingkat beliau. Kerendahan hatinya tercermin dari kesahajaaan pakaian dan tutur katanya, jauh dari keinginan pengkultusan dan popularitas. Padahal dengan jam terbangnya selama 17tahun mengajar meditasi dan 86.000 alumni sedunia (termasuk ketua parlemen Inggris dan keluarga kerjaan Inggris), beliau pantas dipuja. Kemelekatan itu nyaris tak tampak pada dirinya. Semoga nilai-nilai ‘keheningan’ itu bisa saya teladani. Trimakasih Guru Merta Ada!

“Mas J saya sudah baca buku Tepok, sudah kepepet juga, tapi kenapa power-nya koq nggak keluar?” Apa Anda juga punya pertanyaan seperti itu? Di sisi lain, saya juga banyak mendapatkan sms semacam ini,”Mas J, makasih buku Tepoknya. Gara-gara buku itu, sekarang saya bisa memiliki rental mobil sendiri, hanya dengan 100 ribu rupiah saja…” Aneh kan? Apa yang salah dengan bukunya? Atau pembacanya? Iya deh, nggak ada yang salah, kita cari aja solusinya. Saya buat singkat aja, begini intinya….

Buku Tepok adalah buku terapi. Jika Anda ingin mendapatkan dampak dari buku Tepok, lakukanlah tugas-tugas yang diberikan, sekecil apapun!
Meski tugas yang sepele, datang ke show room mobil, tanya, lihat dan tawar, tapi dampaknya saya jamin akan menakjubkan!
Demikian juga tugas menanyakan harga/sewa properti, menawar dan member DP. Itu semua adalah terapi bagi keberanian Anda.
Membaca buku saya tidak akan mengubah nasib Anda, tapi mempraktekkannyalah yang akan mengubah nasib Anda. Ayo PRAKTEK. FIGHT!

“Ikhlas itu makanan apa?” Mudah untuk mengucapkan kata ‘ikhlas’, tapi apakah mempraktekkannya semudah itu? Sebagai pengasuh di YEA (Young Entrepreneur Academy), saya dihadapkan oleh banyak tantangan, terutama masalah-masalah pribadi siswa YEA. Dari korban KDRT, perceraian ortu mereka, hingga putus cinta. Meski itu diluar tanggung jawab saya, tapi bagaimanapun masalah itu sangat mempengaruhi etos belajar mereka di YEA. Mungkin saya tidak bisa menyelesaikan masalah mereka, namun setidaknya saya bisa membantu meredam suasana hati mereka yang gundah.

Salah satu terapi yang paling sering saya sarankan kepada mereka adalah terapi nasi bungkus. Ya benar, terapi nasi bungkus! Inilah pesan saya ke mereka,”Nanti malam belilah 10 nasi bungkus atau sesuai kemampuamu. Kemudian bagikan kepada orang-orang miskin di pinggir jalan yang kamu temui. Tidak usah pedulikan apa suku dan agamanya. Berikan dan lihat wajah mereka saat menerimanya. Rasakan energi positif yang mereka ungkapkan di wajah mereka.” Ternyata terapi yang sederhana ini dapat mengobati berbagai macam penyakit, seperti: sombong, stress, dililit hutang, benci/ dendam, kecewa, termasuk putus cinta lho!

Jangan percaya sebelum mencoba. Coba deh!


Belasan tahun yang lalu, saat saya masih duduk di bangku kuliah di Surabaya, saya sempat mengikuti pengajian rutin, yang dikelola oleh sebuah pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Bukan keilmuan agama yang akan saya bicarakan disini. Tapi ada suatu pelajaran yang sangat berharga bagi saya tentang ‘kesombongan’! Seperti kebanyakan orang yang baru keluar dari ‘sekolah’ dengan segudang idealisme, perilaku sayapun berubah drastis. Setiap melihat suatu kejadian yang tidak ‘agamis’, spontan saya ‘nyebut’ kalimat Allah. Ada seorang (wanita) primadona kampus, sebut saja Susi (bukan nama sebenarnya). Saat itu, ia sedang berpakaian seronok dan bercengkerama mesra dengan pacarnya, yang tentu saja bukan muhrimnya. Begitu saya melihat kejadian itu, langsung keluar dari mulut saya ”masya Allah (kata yang sering diucap saat melihat sesuatu yang buruk)…!” Lepas dari kesalahkaprahan saya menggunakan kata itu (harusnya untuk suatu kekaguman), dalam hati kecil saya, terbesit anggapan bahwa ”Dia itu MAKSIAT, sedangkan saya lebih baik dari dia”.

Suatu saat…

…Susi datang bersama kawan-kawan yang lain (yang berjilbab), untuk belajar dengan saya guna menghadapi ujian semester yang segera datang. Baru kali itu Susi datang belajar ke tempat saya. Seperti biasa, pakaian Susi tergolong ketat, membuat saya istighfar terus, (kembali lagi) sambil mencemooh dirinya di hati saya. Pertemuan hari pertamapun selesai. Mereka berjanji akan melanjutkan belajar dengan saya di rumah kos saya esok harinya. Bak Fahri (dalam Ayat-ayat Cinta), Jayapun jadi idola wanita saat itu, narsis euy! Keesokan harinya, tak disangka, Susi datang ke tempat kos saya mendahului kawan-kawan lainnya. Setelah sejenak terdiam karena canggung, Susi berkata,”Jay, sebenarnya dari dulu aku pengin belajar sama kamu, tapi…!” Karena penasaran, saya tanya,”Tapi kenapa?” Dengan wajah tertunduk malu dan suara lirih ia menjawab,”Aku malu ketemu sama kamu! Aku merasa diriku ini ’kotor’, sedangkan kamu itu ’bersih’ dan alim”.

”Astaghfirullah Al’Adziim”, saya nyebut dalam hati dengan muka saya yang memerah, air mata yang hampir menetes. Sejenak saya berfikir,”Seandainya saat itu Allah mencabut nyawa kita berdua, mungkin sayalah yang pantas masuk neraka dan dia yang pantas masuk surga!” Koq bisa begitu? Ya, karena dibalik ’baju alim’ saya, terdapat ’kotoran hati kesombongan’. Sebaliknya, Susi yang merasa dirinya ’kotor’ tidak memiliki pikiran kotor terhadap orang lain. Jadi menurut saya, Susilah yang lebih ’suci’ dari saya.

Bukankah semua agama mengakui bahwa iblis, yang hampir sepanjang hidupnya taat, tidak dapat masuk surga karena ’kesombongannya’, karena merasa dirinya lebih unggul dari makhluk Tuhan lainnya? Sementara Nabi Adam, meskipun berbuat dosa, diijinkan masuk ke surga karena kerendahan hatinya? Guru saya pernah memperingatkan untuk berhati-hati terhadap suatu penyakit, yang disebut ’tertipu oleh diri sendiri’. Penyakit ini justru akan muncul saat kita bertambah ilmu dan bertambah amal. Tapi ilmu dan amal itulah yang membuat kita terjerumus. Semoga kita terhindar dari hal yang demikian!

”Daripada sibuk melihat aib orang lain, sibuklah melihat aib sendiri!”


Beberapa lalu lalu Om Bob Sadino menelepon saya, sekedar memberitakan bahwa beliau telah menerbitkan buku baru, berjudul “Bob Sadino; Orang Bilang Saya Gila”. Ehh, pas kebetulan saya sedang di Jakarta, Om Bob-pun mengatakan,”Jay, mampir donk kesini, kangen nih aku ngobrol sama kamu!”. Spontan saja saya meluncur kesana. Untuk ketiga kalinya saya berkunjung ke rumah Om Bob, masih saja saya terkagum akan apa yang telah dicapainya. Di atas tanah seluas 2 hektar, berdiri bangunan bergaya klasik nan kokoh, memberikan kedamaian. Di halaman parkir, terdapat beberapa mobil mewah, antara lain 2 buah jaguar bernomor polisi ‘2121’. Jangan ditanya kenapa nomornya ‘2121’ (baca: tuan-tuan), pasti Om Bob akan menjawab,”Masa saya nyonya-nyonya!” Jika Anda menelusuri sepanjang rumah Om Bob, Anda hampir tidak percaya dibuatnya. Di kepadatan bangunan jalan Lebak Bulus P&K, terdapat pemandangan lain yaitu lapangan berkuda yang terletak di bawah beranda rumah Om Bob.

Cerita saya bukan untuk memamerkan kekayaan seseorang diantara kisah penderitaan sekitar kita. Namun saya hanya berusaha ‘menyerap’ energi di balik pencapaian-pencapaian Om Bob,”Apa sih rahasianya?”. Bagi sebagian Anda yang pernah menonton seminar atau talk show Om Bob, mungkin masih banyak yang bingung,”arahnya kemana sih omongan Om Bob itu?”. Sayapun saat pertama kali bertemu selama 3 jam di rumahnya, pulang dengan membawa kebingungan. Baru setelah pertemuan ketiga bersama beliau, saya ‘ngeh’, apa yang selalu ia gemborkan,”Bebaskan dari belenggu rasa takut dan jangan berharap!”. Yang pertama sih, sangat bisa dipahami, tapi yang kedua itu,”Jangan berharap”. Lho, bukannya orang hidup dan bertahan itu karena ‘harapan’? Apa sih maksudnya?

Ternyata Om Bob mengajarkan ke saya konsep ‘Zero’ yang pernah diajarkan oleh Pak Ary Ginanjar dalam ESQ. Saya tidak memahami benar-benar konsep ‘zero’ pada saat mengikuti ESQ. Namun saya mendapatkan ‘klik’nya dari Om Bob! Gimana sih maksudnya? Orang yang melangkah dengan harapan, jika tidak tercapai, tentu saja akan kecewa atau menghibur diri dengan harapan-harapan baru, betulkah? Apa yang terjadi jika setiap kali kita membuat harapan dalam langkah kita, ternyata semuanya tidak tercapai? Depresi kan? Coba pikirkan yang satu ini,”Kenapa sih kita masih berharap lebih atas apa yang telah Allah berikan kepada kita?” Bukannya ‘harapan-harapan’ itu membuktikan rasa ‘tidak syukur’ kita atas apa yang telah kita dapatkan? Kenapa tidak, apa yang kita lakukan atau akan lakukan adalah sebagai wujud syukur kita kepada Allah? Jika demikian pemikiran kita, maka ‘harapan’ akan hasil itu tidak diperlukan lagi.

Saya bukan ustad lho berbicara seperti ini, namun Pak Ary Ginanjar pernah menanyakan kepada saya,”Pak Jaya, apa yang Bapak dapatkan dari training ESQ?”. Saya menjawab sambil meneteskan air mata,”Selama ini saya hanya banyak ‘meminta’, namun saya jarang (bahkan hampir tidak pernah) bersyukur. Setelah mengikuti training ESQ, saya ‘takut’ untuk meminta. Saat saya berdoa, saya hanya berterimakasih atas apa yang Allah limpahkan kepada saya. Saat detik-detik anak saya lahir, saya penuh ketakutan, jangan-jangan ada yang kurang. Saya hitung jari-jemarinya, komplit 10. Saya adzankan di kedua telinganya, dia merespon tanda mendengar. Apa yang saya ucapkan? Alhamdulillaah! Terus apa lagi yang mau saya minta dari Allah? Pantaskah?” Terus apa sih intisari ‘zero’ itu? Ikhlas kali ya? Tawakal atau pasrah? Bisa jadi, tapi saya juga bingung bagaimana mengungkapkannya. Silakan Anda sendiri yang memaknainya. Yang saya dapatkan (akibat) dari ‘zero’ adalah, saya tidak memilki rasa takut akan masa depan saya, titik!


Suatu Statement yang bertolak belakang dari kata-kata almarhum ayah saya (yang juga seorang karyawan),”Lebih baik kecil jadi bos, daripada gede jadi kuli!” Tapi itulah kenyataannya. Mayoritas orang tua secara tidak langsung menggiring anaknya jadi kuli. Jika Anda memiliki seorang anak yang sekarang bingung mau jadi apa? Coba ingat-ingat kembali, apa yang telah Anda ajarkan bagi mereka? Sejak dari usia dini, mereka diajarkan untuk “tidak membuat kesalahan”, betulkah?! Sebagian atau mungkin mayoritas pembaca akan protes (saya juga pas dengar kata-kata ini dari Om Bob Sadino juga bertanya-tanya),”Emang mau ngajarin anak kita berbuat salah atau gagal?” Saat anak Anda belajar berjalan dan mulai memanjat, Anda berkata,”Eehh, JANGAN manjat-manjat, nanti jatuh!” Doktrinisasi lainnya,”Belajar yang rajin, sekolah yang tinggi, biar gampang CARI KERJA”. Kala anak kita ingin memulai usaha sambil kuliah, Andapun berkata,”Udah, selesaikan sekolahmu dulu…!” Apa yang dikatakan kebanyakan orang tua setelah anaknya lulus kuliah dan ingin memulai usaha? “Kerja dulu di perusahaan besar, cari pengalaman dan kumpulkan uang untuk modal, baru mulai usaha!” Biasanya mereka akan terjebak di zona kenyamanan dan hilanglah keberanian. Apa yang akan Anda katakan saat anak Anda gagal usaha? “Udahlah, kamu tuh nggak bakat jadi pengusaha!”

Sadar atau tidak, sebagai orang tua, Anda sangat berperan membentuk nasib anak Anda saat ini atau dimasa mendatang. Jika mereka jadi bimbang saat mau melangkah, takut salah, takut gagal, diam ditempat dan loyo. Yaa itu buah dari apa yang telah Anda tanamkan ke mereka. Saya adalah sebagian kecil orang yang beruntung mendapatkan nilai-nilai kemandirian dari orang tua saya. Meskipun ayah saya seorang karyawan sampai pensiun, namun doktrinisasi kemandiriannya membuat saya tegar menghadapi semua rintangan hidup. Apa kata-kata lain yang sering diucapkan ayah saya? “Papah yakin, kamu PASTI BISA!”, “Coba terus sampai bisa”, “Gelar itu tidak penting, skill lebih penting”, “Belajarlah dari kesalahan”, bukannya tidak boleh salah lho.

Cari KETRAMPILAN Bukan Gelar

Beberapa tahun lalu saya berjumpa dengan salah seorang mahasiswi Universitas Ciputra, bernama Carol. Di usianya yang baru 19 tahun saat itu, saya cukup kagum dengan kemampuannya berinteraksi dengan orang lain. Carol menceritakan perihal pertemuannya dengan Ciputra, pendiri Universitas Ciputra. Pak Ci berpesan kepada Carol,”Kamu semester 6 keluar aja, bangun usahamu. Tak usah lama-lama sekolah”. Jika Anda sebagai seorang dosen atau orang tua murid, beranikah Anda mengatakan seperti itu? Pikir 200 kali mungkin ya? Kenapa Pak Ci berani mengatakan seperti itu? Justru karena beliau melihat potensi Carol yang bisa melesat lebih jauh dibanding jika ia tetap di bangku kuliahnya? Bagaimana dengan gelarnya sebagai seorang sarjana? Justru saat ia tidak mendapat gelar sarjana, tidak memberikan pilihan baginya menjadi seorang karyawan. Perlu diketahui, saat itu, Universitas Ciputra statusnya belum terakreditasi! Siapa sih orang tua yang mengijinkan anaknya sekolah seperti itu?

Sama halnya dengan Young Entrepreneur Academy (YEA) yang kami dirikan. Sengaja kami tidak mau memberikan sertifikat. Karena jika diberikan, biasanya akan dipakai untuk melamar pekerjaan. Siswa YEA akan diluluskan hanya jika “Mencapai OMSET USAHA minimum 50 juta rupiah perbulan dan NETT PROFIT 5 juta perbulan”. Gilanya lagi, mahasiswa YEA boleh membuat kesalahan, asalkan menanggung kesalahan itu bersama timnya. Sejak minggu pertama di YEA, mereka sudah berkompetisi dalam menjual dan menanggung kerugian jika tidak menang. Saat salah satu kelompok Event Organizer YEA angkatan 2 membuat kerugian 8 juta rupiah, merekalah yang harus menanggung kerugian yang telah mereka perbuat. Untungnya, meski masih berusia belasan tahun, mereka tahu bagaimana cara mencari uang untuk menutup kerugian itu. Inilah realitas kehidupan sebagai seorang pengusaha yang diajarkan ala YEA.

Pertanyaan saya kepada para orang tua:

Apakah anak Anda dipersiapkan menjadi karyawan atau pengusaha?
Apakah anak Anda bisa mandiri, (maaf) jika Anda meninggal nantinya?
Apakah Anda mengijinkan anak Anda berbuat kesalahan (bukan kejahatan)?
Apakah GELAR atau KETRAMPILAN yang lebih penting bagi anak Anda?
Apakah Anda memberikan ‘ikan’ atau mengajarinya ‘memancing’?
“Jangan biarkan anak Anda jadi kuli, kasihan!”
Ahli ilmu perilaku pernah mencoba memasukkan katak hidup dalam kuali yang berisi air mendidih. Spontan katak itu lompat melebihi batas lompatannya yang wajar. Percobaan kedua dilakukan dengan cara yang berbeda. Kuali berisi air dengan suhu normal, kemudian katak yang lain dimasukkan. Karena airnya bersuhu normal, katak tersebut tak melakukan perlawanan alias diam saja. Apalagi di dalam kuali tersebut telah berisi enceng gondok dan bunga teratai, seperti layaknya habitat sang katak. Perlahan-lahan suhu kuali dinaikkan dengan menggunakan pemanas listrik. Katak tersebut tidak bergeming, karena ia tidak benar-benar merasakan kenaikkan suhu tersebut. Sampai batas suhu air mendidih, katak tersebut tak melakukan perlawanan dan akhirnya mati. Apa pelajaran dari cerita tersebut?

Bukan hanya kegagalan yang menjadi musuh besar kita, keberhasilan, kemapanan juga musuh terselubung. Seseorang yang gagal, tidak ada pilihan bagi dirinya selain bangkit. Jadi, sangat ‘lumrah’ jika ia fight untuk bangkit dari keterpurukkannya. Namun beda halnya dengan seseorang yang telah mendapatkan keberhasilan, ia memiliki 2 pilihan, untuk menikmati dan terlena, atau membuat target-target pencapaian baru dan siap action lagi. Ambil contoh nyata dalam kehidupan kita, terutama di lingkungan pekerja. Mungkin Anda atau kawan Anda bergabung di suatu perusahaan atau instansi pemerintah yang penuh dengan fasilitas dan proteksi, terutama sebagai pegawai negeri atau BUMN yang nyaris tidak mungkin dipecat. Apa yang mereka rasakan? Kenyamanan karena dimanjakan! Tidak ada salahnya dengan bergabung ke perusahaan seperti itu, bahkan itulah harapan sebagian besar orang. Namun hal itulah yang menjadi salah satu penyebab krisis mental bangsa ini. Kehilangan ‘fighting spirit’! Coba bandingkan Negara tetangga kita Singapura, yang proteksi terhadap karyawan perusahaan lemah. Kawan saya pernah bekerja di perusahaan perminyakan di Singapura, di-PHK dalam 2 kali 24 jam dengan alasan perampingan. Sekilas kita memandang alangkah tidak berperikemanusiaan mereka. Tapi di sisi lain, mereka dipersiapkan untuk waspada setiap saat.

Di dunia pengusaha, penyakit kemapanan juga dapat menghinggapi kita, namanya kehilangan momentum. Mereka yang sukses dalam usahanya, terlena dan meninggalkan pembelajaran. Semangat juang mereka hilang justru pada saat mereka mendapatkan apa yang telah diimpikannya. Tidak menjadi masalah selama usahanya tetap berkembang atau setidaknya stabil. Namun, seperti roda yang berputar, terkadang gejolak mengganggu tidur kita. Seperti saat krisis ini berlangsung, apa yang akan terjadi pada mereka yang ‘tidur’ terlalu lama? Mereka kelabakan mencari jalan keluar dari krisis. Tapi ternyata ‘peta’ yang mereka gunakan sudah usang. Masih untung jika masih punya semangat untuk bertarung lagi, kebanyakan dari mereka sudah ‘kegemukan’ dan kehilangan ‘momentum’. Bagaimana menghindarinya?


Ciptakan Tantangan

Bagi Anda yang berstatus sebagai karyawan, tantanglah bos Anda untuk memberikan kerjaan lebih atau baru, jika perlu mutasi. Boleh beristirahat dan menikmati pencapaian, tapi jangan lama-lama. Bagi Anda pengusaha yang sudah mapan, buatlah tantangan baru, misalnya dengan membuka cabang, franchise atau diversifikasi usaha. Buatlah otak Anda melar dengan permasalahan baru yang Anda hadapi. Bagi Anda yang belum sukses, berbaik sangkalah kepada Tuhan, berarti Ia sedang melatih diri Anda untuk lebih tangguh. Bukankah manusia yang beruntung adalah yang memanfaatkan waktu untuk selalu bertumbuh?

“Sukses bukanlah pencapaian, namun bertumbuh ke potensi maksimal yang diberikan Allah kepada kita”

SUMBER:ENTREPRENEUR YEA

1 komentar:

  1. NICE POSTING.. harusnya seluruh anak Indonesia membaca post ini.. mereke terlalu banyak belajar bagaimana caranya menjadi pekerja, bukan pengusaha

    kakak, berbagi kabar baik ya...


    English Tutors Urgently Required
    Easy Speak, A fast-growing National English Language Consultant, is hunting for
    English Tutors (English Teachers)
    Qualifications:
    1) Competent, Experienced, or Fresh Graduates
    2) Proficient in English both spoken & written
    3) Friendly, Communicative, & Creative
    4) Available for being placed in one of the following cities:
    a. Pekanbaru 0761-7641321 or 081 363 133 003 (Ms Lie)
    b. Balikpapan 0542-737537
    c. Batam 0778-460785
    d. Palembang 0711-350788
    e. Banjarmasin 0511-7069699
    f. Makassar 0411-451510
    g. Semarang 024-3562949
    If you meet the qualifications above, please send your resume to: easyspeak.recruiting@gmail.com.
    Or contact our branch offices mentioned above to confirm prior to sending your resume.
    Deadline: June 31th, 2011.
    Visit http://www.easyspeak.co.id for further information.
    Make sure that you won’t miss this golden opportunity as the day after tomorrow might be too late for you to compete for this position

    BalasHapus