Jawa Bagian Timur dan patahan longitudinal
yang membentuk batas antara Punggungan
Kendeng bagian barat dan Subzona Ngawi
sebelah utara Simo (Bemmelen, 1970).
Gunungapi Merapi terbentuk
kurang lebih 400.000 tahun yang lalu atau
pada masa akhir Pleistosen. Pada kurun
waktu 400.000 hingga 10.000 tahun yang
lalu letusan Gunungapi Merapi merupakan
sebuah letusan efusif, dimana magma yang
dikeluarkan merupakan lava basaltic.
Sejak saat itu hinga sekarang letusan
Gunungapi Merapi menjadi lebih eksplosif
dengan disertai aliran lava andesitic kental
yang kadang-kadang membentuk lava
dome. Gunungapi Merapi merupakan
sebuah sistem yang kompleks. Merapi
terbangun oleh material magma dengan
kandungan silika yang bervariasi antara
49,5 % sampai 60,5 % berat SiO2.
Stratifikasi struktur vulkanisnya terbentuk
oleh aktivitas vulkanis yang bervariasi
yang seiring dengan waktu. Bagian lebih
tua dari Gunungapi Merapi (terukir dalam
oleh erosi, dan terpotong oleh patahan),
dan kerucut gunungapi aktif Merapi dapat
dibedakan. Kerucut yang lebih tua terdiri
dari olivin, basalt, augit-hypersthene, serta
horblend-andesit dan sepertinya berada
pada tahap pembentukan yang lebih lanjut.
Kerucut gunungapi saat ini hanya
menghasilkan augit-hypersthene-andesit
dengan bagian bawah hornblend jika tidak
ditemukan olivin (Bemmelen, 1970).
Kubah lava yan terbentuk bila
longsor akan menimbulkan aliran lava
piroklastik (pyroclastic lava flow) yang
sangat khas dalam setiap letusan
Gunungapi Merapi. Kadang-kadang
longsornya kubah tersebut akan
membentuk suatu longsoran panas (hot
avalanche) yang menggumpal-gumpal
yang disebut Nueès Ardente d’ Avalanche
(awan panas. Awan panas yang terbentuk
pada aktifitas Gunungapi Merapi
dibedakan atas dua macam, yaitu awan
panas letusan dan awan panas guguran.
Awan panas letusan (Suryo, 1978) serupa
dengan St. Vincent type pyroclastics flows
(Escher, 1933 dan Macdonald, 1972)
sebagai akibat langsung dari penghancuran
batuan atau penutup kubah karena letusan.
Awan panas guguran atau dome collapse
pyroclastics flows terbentuk akibat
hancurnya kubah karena gravitasi, hal ini
berkaitan dengan besarnya volume kubah
aktif.
Newhall, (2000) membagi endapan
letusan Gunungapi Merapi menjadi tiga
jenis, yaitu Endapan Proto Merapi,
Endapan Merapi Tua, dan Endapan Merapi
Muda. Endapan Proto Merapi diperkirakan
berumur Pleistosen dan ditemukan di
Bukit Turgo dan Plawangan (sisi selatan
Gunungapi Merapi). Endapan Merapi Tua
terdiri dari lava yang dikenal dengan Lava
Batulawang (Bahar, 1984) berselingan
dengan endapan piroklstik yang berumur
7
9630-60 BP (before present), dapat
dijumpai di Srumbung, Cepogo. Proses
pembentukan Gunungapi Merapi Tua
berakhir dengan pergeseran endapan debris
vulkanis dalam tahun 0 Masehi. Proses
pembentukan Gunungapi Merapi Muda
berlangsung sejak 1883 sampai sekarang.
Batuan Gunung Merapi Muda terdiri dari
aliran lava andesit piroksen, endapan
jatuhan piroklastika, endapan aliran
piroklastika, guguran dan endapan lahar
muda. Batuan Merapi Tua terdiri dari
endapan aliran piroklastika tua, endapan
lahar tua, dan aliran lava andesit piroksen.
Berdasarkan rekonstruksi erupsi
dan pola pergeseran pusat erupsi, maka
urutan pola pergeseran pusat erupsi di
kawasan puncak Gunungapi Merapi
dikelompokkan dalam tiga periode letusan.
Periode letusan berdasarkan pola
pergeseran pusat erupsi andalah periode
1786-1823, periode 1832-1872, dan
periode 1883-2001. Secara garis besar
pergeseran titik letusan dimulai dari sisi
baratlaut pindah ke timur kemudian
keselatan dan kini kembali menempati sisi
barat-baratdaya. Pada prinsipnya kubah
lava Merapi yang tidak hancur merupakan
bagian dari puncak Merapi, sedangkan
kubah yang hancur merupakan bagian dari
kawah. Kubah lava yang terbentuk
biasanya terletak dekat dengan kubah
sebelumnya.
4. Analisis Hipotesis Terjadinya Letusan
Paroxysmal Gunungapi Merapi
Tahun 1006 Masehi
Perpindahan masyarakat komunitas
Hindu Kerajaan Mataram Kuno dalam
prasasti disebutkan karena pralaya
(bencana) yang oleh Bemmelen serta
Labberton di korelasikan dengan letusan
paroxysmal Merapi tahun 1006 M.
Korelasi perpindahan komunitas Hindu
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh
Bemmelen karena pralaya (bencana) dari
Merapi dapat dikatakan tidak tepat.
Berdasarkan Prasasti Pucangan tertanggal
tahun 1041 M, pralaya yang dimaksud
adalah serangan dari Raja Wura-Wari dari
Kerajaan Sriwijaya yang menuntut balas
atas serangan Dharmawangsa ke
Sriwijaya. Kata pralaya (Mulyaningsih,
2006) terdapat pada dua prasasti yaitu
Prasasti Pucangan dan Prasasti Calcutta
yang menyebutkan bahwa pralaya yang
terjadi adalah serangan Raja Wura-Wari
yang tertanggal 938 Caka (1016 M) bukan
928 Caka (1006 M). Perpindahan
masyarakat Hindu tersebut (Boechari,
1976) ternyata tidak dipengaruhi oleh
letusan Merapi karena masyarakat Hindu
telah berpindah ke Jawa Timur pada
sekitar tahun 928 M.
Bemmelen menyebutkan bahwa
letusan paroxysmal Merapi tahun 1006 M
menyebabkan candi Borobudur dan
Mendut terkubur oleh abu letusan
8
paroxysmal Merapi. Hasil radiocarbon
dating dari fragmen-fragmen karbon pada
material sedimen volkanis disekitar
Borobudur menunjukkan bahwa sama
sekali tidak ada fragmen yang berkorelasi
dengan tahun 1006 (Tabel 1).
Mulyaningsih (2006) dengan melakukan
C-14 dating pada beberapa lokasi
ditemukannya candi-candi yang terkubur
(Tabel 1) menarik kesimpulan bahwa telah
terjadi enam kali periode erupsi Merapi
yang terjadi setiap 50-150 tahun.
Stratigrafi batuan (Mulyaningsih, 2006)
disekitar situs candi menunjukkan bahwa
material yang mengubur candi tersebut
bukan berasal dari sekali erupsi karena
terdiri dari beberapa lapis material
vulkanoklastis yang berbeda umur (Tabel
2) sehingga dapat dikatakan tidak terjadi
erupsi paroxysmal seperti yang
diperkirakan Bemmelen pada tahun 1006
M. Serangkaian penelitian tersebut
menunjukkan bahwa tertimbunnya
Borobudur maupun candi-candi lainnya
disekitar Merapi oleh material volkanis
tidak terjadi secara langsung terjadi pada
tahun 1006 M, namun melalui proses yang
lama hingga ratusan tahun.
Pengamatan pola persebaran candicandi
di Peta Persebaran Candi (Gambar 2)
menunjukkan suatu pola yang unik.
Bangunan candi yang dibangun oleh
masyarakat pada masa lampau biasanya
dibangun pada daerah yang subur, terletak
dekat dengan sumber air, dan dekat dengan
sumber material yaitu batu-batuan untuk
membangun candi. Kondisi tersebut
terpenuhi dengan baik di lereng-lereng
Merapi sehingga banyak sekali candi-candi
yang dibangun disekitar Merapi dari yang
berumur 92 M sampai yang berumur lebih
dari 954 M (Gambar 2). Berdasarkan pola
persebaran pada peta (Gambar 2), candicandi
yang umurnya tua dibangun di
lereng Merapi bagian selatan. Hal tersebut
dapat dikorelasikan dengan aktivitas
Merapi masa lampau yang dominan ke
arah selatan sehingga tanah di lereng
selatan subur, kondisi airnya baik serta
material untuk membangun candi banyak.
Candi-candi yang seumur dengan
Borobudur dibangun secara mengelompok
pada zona lereng kaki Merapi bagian barat
(kompleks candi Budha), serta barat daya
dan selatan (kompleks candi Hindu). Pola
persebaran candi-candi yang seumur
dengan Borobudur lebih didominasi pada
zona selatan lereng kaki Merapi sehingga
berkaitan dengan syarat lokasi
pembangunan candi maka aktifitas Merapi
saat itu tidak hanya dominan ke sektor
selatan namun juga ke sektor barat. Candicandi
muda yang dibangun dominan pada
zone selatan lereng kaki Merapi bahkan
mendekati kerucut gunungapi Merapi
bagian selatan, hal tersebut dapat
diasumsikan bahwa pada masa ini (lebih
dari 954 M) aktifitas Merapi lebih
9
dominan ke arah selatan yang menyuplai
bahan dasar pembangunan candi, bukan
kearah barat seperti yang dikemukakan
Bemmelen.
Bemmelen menyatakan bahwa
kerucut Merapi saat ini tumbuh pada
kaldera Merapi tua. Bemmelen
menyimpulkan bahwa kerucut gunungapi
tua longsor ke arah barat akibat tidak
adanya daya kohesi, kemudian tergelincir
oleh pengaruh gravitasi. Zen (2006)
membandingkan hipotesis Bemmelen
dengan gunungapi terdekat dengan Merapi
yang mengalami letusan dahsyat yaitu
Gunungapi Ungaran. Depresi yang
terdapat pada Gunungapi Ungaran
merupakan sebuah volcano tectonic
depression. Depresi tersebut terbentuk oleh
dua tenaga utama bumi yaitu tenaga tektonik
dan tenaga magmatik seperti yang terjadi
pada Kawah Toba, Kaldera maninjau,
Kaldera Ranau, dan Kompleks Krakatau.
Seluruh Kaldera tersebut secara umum
dikelilingi oleh sejumlah massa besar
deposit aliran abu riolit atau pumestone-tuff
(van Bemmelen, 1949; Westerveld, 1953;
Smith et al, 1968; Williams et al, 1956; Zen,
1974). Kompleks Merapi sama sekali tidak
dikelilingi oleh massa besar dari deposit
aliran piroklastik riolit asam atau sedikitnya
tidak ditemukan deposit aliran piroklastik
andesitik dalam volume yang sangat besar.
Zen (2006) menyatakan bahwa pendapat
Bemmelen tentang letusan dahsyat Merapi
mungkin benar karena struktur luar kerucut
gunungapi muda merupakan sebuah struktur
kaldera namun bukan merupakan kaldera
yang terbentuk akibat pengaruh longsornya
kerucut gunungapi namun sebuah ledakan
langsung yang dahsyat seperti Gunung St.
Hellen dan terjadi pada masa lampau jauh
sebelum tahun 1006 M. Secara geomorfologi
dapat dikatakan bahwa struktur cincin yang
terdapat di bawah Kerucut Merapi Muda
merupakan sebuah kaldera, namun ditinjau
dari mineralogi, petrografi serta deposisi
material di sekitar cincin, struktur cincin
tersebut bukanlah sebuah kaldera.
Erupsi paroxysmal Merapi
memang tidak terjadi pada tahun 1006 M,
namun para ahli masih meyakini bahwa
erupsi tersebut pernah terjadi. Ditinjau dari
segi geomorfologinya maka kerucut
gunungapi Merapi saat ini berada dan
tumbuh pada sebuah kaldera kerucut
gunungapi Merapi tua. Sayangnya tidak
ada cukup bukti untuk mengatakan bahwa
bentukan tersebut merupakan sebuah
kaldera karena material penyusunnya
bukan material khas kaldera. Data-data
dari hasil analisis masih kurang untuk
secara absolut menyatakan bahwa
hipotesis Bemmelen tentang erupsi
paroxysmal Merapi tahun 1006 M salah,
sehingga dibutuhkan studi lebih lanjut
dengan data-data yang lebih lengkap untuk
secara pasti menyatakan bahwa hipotesis
tersebut benar atau salah. Letusan dahsyat
10
Merapi tahun 1006 M memang tidak dapat
dibuktikan namun timbul permasalahan
baru yaitu kemanakah hilangnya kerucut
gunungapi Merapi tua. Jika kerucut
tersebut hanya longsor maka tidak akan
menimbulkan bentukan khas yang seperti
sebuah kaldera. Permasalahan ini menjadi
tantangan bagi para ahli ilmu bumi
selanjutnya khususnya ahli gunungapi.
Penelitian lebih lanjut tentang
geomorfologi Merapi pada masa lampau
sangat dibutuhkan untuk membuka misteri
tentang hilangnya kerucut gunungapi
Merapi tua.
5. Kesimpulan
a) Berdasarkan radio dating di
sejumlah titik disekitar Merapi
dapat dikatakan bahwa tidak terjadi
erupsi paroxysmal Merapi pada
tahun 1006 M.
b) Perpindahan masyarakat Mataram
Hindu dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur tidak terjadi akibat letusan
Gunung Merapi tahun 1006 M
karena masyarakat Mataram Hindu
telah pindah ke Jawa Timur sejak
tahun 928 M.
c) Material vulkanoklastik yang
mengubur candi-candi disekitar
Merapi bukan berasal dari sekali
erupsi dari Gunungapi Merapi
namun oleh beberapi kali proses
erupsi.
6. Daftar Pustaka
Andreastuti, S.D. 1999. Stratigraphy and
Geochemistry of Merapi Volcano, Central
Java, Indonesia. Implication for
Assessment of Volcanic Hazards.
Andreastuti, S.D. 2006. Did A Large
Eruption of Merapi Occure in 1006 AD ?.
Volcano International Gathering,
Yogyakarta.
Brotopuspito, Kurbani Sri. 2006. Merapi
Volcano Inspires Scientific Curiosity.
Volcano International Gathering,
Yogyakarta.
Kusumadinata, K. 1979. Data Dasar
Gunungapi Indonesia. Jakarta : Direktorat
Vulkanologi.
Lipman, Peter W. 1981. The 1980
Eruption of Mount St. Hellens,
Washington. Washington DC : United
States Government Printing Office.
Mason, Ben G. 2004. The Size and
Frequency of The Largest Explosive
Eruptions on Earth. Bulletin of
Volcanology.
Mulyaningsih, Sri. 2006. Very Old and
Younger Temple Discoveries in
Yogyakarta Area: Based on Volcano-
Stratigraphic Study. Volcano International
Gathering, Yogyakarta.
Newhall, Christopher G. 1982. The
Volcanic Explosivity Index (VEI): An
11
Estimate of Explosive Magnitude for
Historical Volcanism. Journal of
Geophysical Research.
Ollier, Cliff. 1969. Volanoes.
Massachusetts : The MIT Press.
Ratmodipurbo, A. 2000. Evolusi 100
Tahun Morfologi Gunung Merapi. BPPTK
Siefferman, R.G. 1990. An Ecosystem
Under Acid Rain at Merapi Volcano in
Central Java, Indonesia.
Van Bemmelen, R.W. 1970. The Geology
of Indonesia (Second Edition). The Hague
: Martinus Nijhoff.
Voight, B. 2000. Journal of Vulcanology
and Geothermal Research, Special Issue
Merapi Volcano.
Zen, M.T. 2006. Merapi : Dishtung und
Wahreit. Volcano International Gathering,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar