08 Januari 2010

RAWAN GEMPA

Daerah rawan gempa bumi tektonik di Indonesia

(Kenapa selalu ada kerusakan?)

Fauzi MSc, PhD

Pusat Gempa Nasional

Badan Meteorologi dan Geofisika

Jl. Angkasa I/2 Kemayoran Jakarta 10720, tlp/fax. 021 420 9103, 654 6316, fauzi@bmg.go.id, http://www.bmg.go.id dan http://aeic.bmg.go.id

Ringkasan

Kerugian akibat gempa bumi tidak langsung disebabkan oleh gempa bumi, namun disebabkan oleh kerentanan bangunan sehingga terjadi runtuhan bangunan, kejatuhan peralatan dalam bangunan, kebakaran, tsunami dan tanah longsor. Faktor kerentanan bangunan sangat erat hubungannya untuk perhitungan bencana gempa bumi di masa yang akan datang. Faktor gempa bumi tak dapat dielakkan tapi harus dihadapi dengan merencanakan bangunan beserta lingkungannya yang tahan terhadap gempa bumi.

Prediksi gempa bumi sampai sekarang masih dalam taraf penelitian sehingga faktor mitigasi lebih penting untuk mencegah kerugian dan bencana yang lebih besar. Untuk itu diperlukan analisa resiko yang mencakup parameter gempa bumi, bangunan dan geologi setempat dimana bangunan atau perencanaan kota berada. Analisa ini memerlukan kerjasama antara masing-masing professional; Geofisikawan, Insinyur sipil dan Geology.

Pendahuluan

Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100km mempunyai temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya (mantel dan inti bumi) sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan pergeseran lempeng tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita kenal juga gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa lainnya sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.

Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific (gambar 1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan.

Tulisan ini membahas beberapa aspek gempa bumi di Indonesia untuk menunjukkan daerah-daerah rawan gempa bumi berdasarkan aktifitas tektonik dan sejarah kegempaan yang pernah melanda Indonesia. Informasi ini bersifat regional karena belum menyentuh aspek lokal di sekitar bangunan yang mempengaruhi resiko bangunan terhadap getaran gempa bumi.

Daerah aktif gempa di Indonesia

Gempa bumi terjadi diawali dengan akumulasi stress di sekitar batas lempeng, sehingga aktifitas gempa banyak disini. Walaupun konsentrasi akumulasi stress akibat tabrakan lempeng berada di sekitar batas lempeng, akibatnya bisa sampai jauh sampai beberapa ratus kilometer dari batas lempeng karena ada pelimpahan stress di kerak bumi, sehingga ada daerah aktif gempa di luar daerah pertemuan lempeng. Kasus sesar Sumatra umpamanya adalah sesar yang dibentuk oleh pelimpahan stress tabrakan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia dengan sudut tabrakan miring terhadap garis batas (gambar 1). Kemiringan ini menyebabkan timbulnya sesar Sumatra dimana konsentrasi akumulasi stress atau pusat-pusat gempa di daerah ini.

Beberapa sesar aktif yang terkenal di Indonesia adalah sesar Sumatra, sesar Cimandiri di Jawa barat, sesar Palu-Koro di Sulawesi, sesar naik Flores, sesar naik Wetar, dan sesar geser Sorong. Keaktifan masing-masing sesar ditandai dengan terjadinya gempa bumi. Gempa dangkal (kedalaman 0-50km) yang terjadi pada periode 1900-1995 dengan skala Richter 5.5 atau lebih, membuktikan lokasi-lokasi daerah aktif gempa di Indonesia. Sebagian dari gempa tersebut menimbulkan bencana, bergatung pada beberapa hal;

· Skala atau magnitude gempa

· Durasi dan kekuatan getaran

· Jarak sumber gempa terhadap perkotaan

· Kedalaman sumber gempa

· Kualitas tanah dan bangunan

· Lokasi bangunan terhadap perbukitan dan pantai

Faktor kualitas tanah dan bangunan adalah faktor yang sangat menentukan untuk pengkajian resiko gempa bumi. Kualitas tanah di tempat bangunan berdiri dinyatakan dengan percepatan tanah maksimum (Peak Ground Acceleration) dari catatan exact accelerograph sewaktu gempa besar terjadi. Hal ini sangat jarang terjadi karena periode gempa besar sangat panjang (50-100 tahun) dan karena acceleropgraph.belum terpasang. Karena itu banyak cara empiris dilakukan untuk menemukan percepatan maksimum di perkotaan. Disamping itu lokasi bangunan terhadap pantai yang rentan terhadap ancaman tsunami dan lokasi bangunan terhadap perbukitan yang rentan terhadap longsoran perlu juga dimasukkan dalam pertimbangan asuransi.

Pemetaan gempa bumi

Pemetaan gempa bumi bisa dilakukan dengan 2 cara; pertama adalah dengan memetakan sumbernya atau hyposenter (pusat gempa) dengan skala dan kedalaman tertentu, kedua adalah dengan memetakan efeknya atau informasi makro gempa bumi. Magnitude gempa dengan magnitude 5 atau lebih dan kedalaman kecil dari 50km sering dipakai karena berpotensi untuk merusak bangunan. Informasi makro gempa bumi adalah peta dengan memakai skala Modified Mercalli Intensity (MMI), yaitu besarnya efek yang dirasakan oleh pengamat dimana dia berada tanpa memperhatikan sumbernya.

Aktifitas gempa yang pernah terjadi dari tahun 1900 sampai 1996 dengan skala magnitudo diatas 6.0 menunjukkan bahwa aktifitas gempa tersebut berada di sekitar tabrakan lempeng tektonik (interplate earthquake) dan di sekitar sesar (gambar 2). Ciri khas di daerah Indonesia, umumnya kekuatan gempa yang besar (M>7) berada di sekitar tabrakan lempeng, sedangkan gempa di dalam lempeng (intraplate earthquake) ukurannya relatif kecil. Namun akibatnya terhadap bangunan mungkin sama, karena gempa interplate berada di laut sedangkan gempa intraplate berada di darat yang relatif lebih dekat dengan perkotaan.

Bencana Bengkulu dan Sukabumi

Gempa Bengkulu pada 4 Juni 2000 dengan magnitude Mb 7.3 atau Mw 7.9 menimbulkan korban 100 orang lebih. Kerusakan terparah berturut-turut ada di Pulau Enggano, Pasar Ngalam, Sukaraja, Bengkulu Selatan dan di Kota Bengkulu. Laporan team survey dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menggambarkan tingkat kerusakan dengan memakai skala Modified Mercally Intensity (MMI) bahwa tingkat kerusakan terparah terjadi di Pulau Enggano (gambar 3). Kedalaman gempa dari USGS, CMT-Harvard maupun BMG bervariasi dari 5km sampai kedalaman 62km. Fokal mekanisme juga bervariasi dari sesar naik dengan arah yang bervariasi atau sesar mendatar (gambar 2). Perbedaan ini pada dasarnya adalah perbedaan penggunaan data dan cara menganalisa data. Pada awanya prosessing dilakukan dengan cara otomatis dengan memakai data real time, kemudian dilanjutkan dengan proses yang dilakukan operator dengan menambahkan data sesuai dengan kriteria yang diinginkan.

Hari Rabu pagi tanggal 12 Juli, 2000 pada saat kantor baru saja mulai, gempa dengan kekuatan sedang mengejutkan penduduk di Jakarta, Bandung, Sukabumi dan Bogor. Pusat gempa dilaporkan dekat dengan Sukabumi. Gempa bumi melanda daerah Sukabumi untuk kesekian kalinya; tahun 1982 (M=5.5), 1973 (M=4.9), 1969 (M5.4). Intensitas maksimum yang dirasakan di Jakarta adalah MMI III, yang berarti beberapa orang merasakannya, khususnya di bangunan bertingkat.

Monitoring gempa susulan

Gempa susulan (aftershock) merupakan proses stabilisasi medan stress ke keseimbangan yang baru setelah pelepasan energi atau stress drop yang besar pada gempa utama. Setiap gempa tektonik dangkal (kira-kira <>

Untuk itu peranan peneliti gempa susulan baik dari BMG atau lainnya sangat diperlukan untuk melihat tingkat penurunan aktifitas gempa. Gempa susulan Bengkulu yang dilaporkan team survey BMG menunjukkan penurunan aktifitas secara exponensial (gambar 4). Pada hari ke empat terdapat gempa susulan dengan skala Mw6.5 yang mengakibatkan kenaikan aktifitas kedua setelah gempa utama.

Monitoring Gempa bumi

Kenyataan bahwa berita bencana sangat cepat menyebar di media massa, sehingga pemerintah atau lembaga lainnya sangat cepat bereaksi untuk memberikan bantuan untuk penduduk yang sedang dilanda bencana. Jika kita bisa meramalkan gempa bumi, maka bencana tentunya tidak akan terjadi dan tidak perlu mengeluarkan dana. Namun teknik untuk meramal gempa bumi sampai sekarang belum ada yang bisa dipertahankan secara ilmiah, sehingga kita perlu mempersiapkan diri, lingkungan dan bangunan yang tahan terhadap gempa bumi. Untuk itu diperlukan peta aktifitas gempa bumi yang menunjukkan bahwa aktifitas seismik (gempa) di Indonesia umumnya tinggi hampir di semua pulau. Setiap pulau mempunyai tingkat aktifitasnya masing-masing yang perlu di monitor dengan merapatkan jaringan seismograp sehingga informasi aktifitas gempa bumi bisa lebih teliti.

Bencana gempa bumi, tsunami atau letusan gunung berapi adalah suatu bukti dari ketidakmampuan kerak bumi menampung akumulasi deformasi yang berasal dari proses berkesinambungan dari pergerakan tektonik lempeng atau pergerakan magma kepermukaan. Sehingga deformasi sesaat berupa gempa bumi atau letusan gunung api tak terhindarkan. Bencana gunung berapi umumnya dapat ditanggulangi secara dini, karena gejala letusan bisa diamati, mulai dari arah letusan, arah aliran magma sampai pada luas daerah yang akan mengalami bencana dapat diperkirakan. Gunung Rabaul (Papua Nugini) contohnya meletus bulan September 1994. Persiapan evakuasi telah dilaksanakan secara bertahap 10 tahun sebelumnya, sehingga nyawa dan harta dapat diselamatkan. Hal ini menyangkut efektifitas informasi yang disampaikan pada masarakat. Dipihak lain juga menyangkut keberhasilan monitoring dan penelitian tentang tabiat pergerakan magma dan peramalannya.

Dua pihak antara masarakat dan peneliti berkomunikasi dengan baik sehingga calon korban dapat dan mau diselamatkan. Karena itu interaksi antara masarakat dan peneliti gempa bumi perlu ditingkatkan seperti halnya bencana gunung api. Korban gempabumi disebabkan oleh runtuhan bangunan yang digoyang gempa, sedangkan korban letusan gunungapi disebabkan oleh aliran lahar, magma, debu panas, atau kebakaran, dimana manusia tidak dapat bertahan ditempat kejadian dan harus mengungsi puluhan kilometer. Calon korban gempa bumi tidak perlu mengungsi asalkan bangunan dan lingkungan mereka tahan terhadap gempa bumi, karena itu sangat perlu kita sadari bersama bahwa jatuhnya korban karena runtuhan bangunan atau kejatuhan peralatan rumah tangga.

Resiko terhadap gempa bumi jelas ada, namun gejalanya tak sejelas bencana gunung berapi, karena itu pengertian dan pengetahuan masyarakat lebih ditekankan agar tidak membangun bencananya sendiri di tempat kediaman. Pegertian ini dapat ditingkatkan dengan penerangan dan penjelasan tentang kenyataan hidup di lokasi aktif gempa. Makin besar kesiagaan masarakat atas bencana yang mengancam, maka makin kecil resiko yang dihadapi. Sarana yang paling efektif menurut penulis adalah pendidikan formal melalui program monitoring di sekolah atau program monitoring di daerah sekitar aktif gempa dimana pemerintah daerah langsung ikut terlibat didalamnya.

Penanggulangan

Bencana alam terfokus pada korban manusia beserta miliknya. Peristiwa alam yang extreem (tsunami setinggi 20m misalnya) tidak masuk dalam kategori bencana alam apabila tidak menelan korban. Karena itu bencana alam bergantung pada dua faktor yang harus ada; peristiwa alam dan penduduk.

Identifikasi daerah tsunami berdasarkan sejarah sudah bisa dikenali sebagai daerah bahaya tsunami yang harus diwaspadai. Apalagi untuk masa sekarang, faktor jumlah penduduk jauh lebih banyak, sehingga bencana alam bisa lebih besar dibanding 100 tahun yang lalu di tempat yang sama. Jumlah korban akibat tsunami sangat bergantung pada tinggi gelombang yang sampai di pantai. Disamping sejarah, perkiraan tinggi gelombang bisa dihitung melalui model sumber gempa, bentuk pantai dan bentuk permukaan dasar laut (batimetri). Sehingga pembangunan pelabuhan, perumahan di sekitar pantai dapat mempertimbangkan efek tsunami yang mengancam.

Selain tsunami, korban banyak juga terjadi karena runtuhan bangunan yang tak tahan terhadap percepatan gelombang gempa yang tinggi. Maksimum percepatan gelombang gempa terjadi pada saat gempa terbesar yang pernah terjadi di suatu daerah. Ini menjadi catatan yang sangat penting bagi perancang bangunan agar bisa merancang bangunan yang tahan terhadap percepatan maksimum tersebut. Namun tidak banyak data percepatan maksimum yang pernah dicatat, sehingga dilakukan secara empirik dimana magnitude atau intensitas gempa dikonversikan ke percepatan dengan beberapa asumsi.

Peranan peneliti untuk mengetahui bencana gempa bumi sangat diperlukan agar calon korban gempa bumi bisa dihindari dengan berbagai cara, namun yang paling penting menurut kami adalah ‘melek’ gempa untuk kesadaran kita hidup di daerah aktif gempa. Sangat analogi dengan sabuk pengaman di mobil, jika tidak dipakai tidak akan berguna sampai suatu kecelakaan yang fatal.

Prediksi Gempa bumi

Prediksi gempa bumi meliputi parameter lokasi, waktu dan skala gempa bumi tersebut. Ketiga paremeter tersebut harus ada, sehigga penanggulangan bencana bias dilakukan dengan tepat dan proporsional. Sayangnya sampai saat ini prediksi gempa yang tepat dan teliti belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena tanda-tandanya (precursor) tidak pasti. Gejala yang banyak diamati berdasarkan pada sifat-sifat batuan yang mengalami stress akibat tekanan yang ditimbulkan dari pergerakan lempeng tektonik. Gejala tersebut terlihat pada perubahan posisi satu titik relatif terhadap titik lainnya yang diamati dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Perubahan posisi tersebut bisa terlihat nyata setiap tahunnya, namun belum bisa dipakai untuk prediksi gempa. Gejala lainnya adalah perubahan muka air tanah, electro magnetis, seismisitas, kecepatan gelombang dsb. Semuanya tetap belum bisa dipakai sebagai tanda yang jelas untuk predisksi gempa bumi.

Karena prediksi gempa bumi belum sempurna, maka lebih tepat digunakan forcasting yang mencakup luasan daerah, kisaran waktu maupun kisaran skala sebagai penanggulangan bencana ataupun analisa resiko gempa bumi. Berdasarkan sejarah kekuatan sumber gempa, aktifitas gempa bumi di Indonesia bisa dibagi dalam 6 daerah aktifitas (gambar 5);

1. Daerah sangat aktif. Magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi di daerah ini. Yaitu di Halmahera, pantai utara Irian.

2. Daerah aktif. Magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi. Yaitu di lepas pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara, Banda.

3. Daerah lipatan dan retakan. Magnitude kurang dari 7 mungkin terjadi. Yaitu di pantai barat Sumatra, kepulauan Suna, Sulawesi tengah.

4. Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan. Magnitude kurang dari tujuh bisa terjadi. Yaitu di Sumatra, Jawa bagian utara, Kalimatan bagian timur.

5. Daerah gempa kecil. Magnitude kurang dari 5 jarang terjadi. Yaitu di daerah pantai timur Sumatra, Kalimantan tengah.

6. Daerah stabil, tak ada catatan sejarah gempa. Yaitu daerah pantai selatan Irian, Kalimantan bagian barat.

Pembagian daerah aktif gempa bisa juga ditinjau dari data makro atau intensitas gempa yang pernah dirasakan. Peta intensitas gempa Bengkulu pada tanggal 4 Juni 2000 (gambar 4) adalah satu kasus data makro yang langsung bisa dikaitkan dengan bangunan. Beberapa kasus gempa merusak merupakan data makro yang menghasilkan peta intensitas regional seperti yang pernah dilakukan oleh J.Murjaya dan G.Ibrahim pada tahun 1998, (gambar 6). Pada peta ini, daerah yang terkena dampak gempa bumi dibagi menjadi 4 daerah;

1. Daerah dengan intensitas MMI IX atau lebih.

2. Daerah dengan intensitas MMI VII-VIII.

3. Daerah dengan intensitas MMI V-VI.

4. Daerah dengan intensitas MMI <>

Pembagian ini masih bersifat regional, dengan perkataan lain bahwa untuk analisa resiko gempa pada suatu bangunan yang terletak pada suatu tempat di satu kota, memerlukan analisa mikro yang memasukkan beberapa unsur seperti lapisan tanah tempat bangunan, ketebalan lapisan, respon tanah dan bangunan terhadap getaran dsb.

Periodisitas gempa bumi

Periode ulang gempa bumi maksudnya adalah bahwa gempa bumi dengan skala tertentu (misalnya M=8) akan terulang kembali di daerah yang sama pada kurun waktu tertentu. Perhitungan periode ulang ini memerlukan data paling tidak satu periode, lebih panjang lebih baik. Namun catatan gempa bumi dengan peralatan, baru dimulai pada awal abad 20. Karena itu untuk memperanjang periode pengamatan, dibantu dengan catatan intensitas gempa yang sudah dimulai sejak awal abad masehi. Selain itu penelitian paleoseismic juga bisa membantu memperpanjang periode pengamatan.

Gempa yang sama kekuatannya dengan gempa pada 4 Juni 2000 di Bengkulu pernah terjadi dua kali pada 1833, 1914. Sehingga banyak yang setuju dengan teori peramalan (forcasting) gempa dengan metode perioda ulang berkisar 80 tahun. Disamping itu terdapat juga gempa yang ukurannya lebih kecil dengan periode ulang lebih pendek.

Perhitungan matematis periode ulang gempa bumi di Sumatra oleh peneliti BMG (Rasyidi Sulaiman dan Robert Pasaribu, 2000) menunjukkan bahwa periode ulang di Sumatra Selatan berkisar antara 8-34 tahun dengan nilai tengah 21 tahun. Gempa pada tahun 1979 di Bengkulu yang cukup besar dengan M=5.8, MMI=VIII, sedangkan gempa berikutnya adalah Juni 2000 (1979+21tahun).

Peranan Badan Meteorologi dan Geofisika

BMG sebagai lembaga pemerintah yang bertugas untuk memonitor aktifitas gempa bumi di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. BMG mulai mengoperasikan stasiun pemantau gempabumi permanen pada tahun 1908, yakni dengan memasang seismograph Wichert komponen horisontal di Jakarta. Sedangkan komponen vertikal sesimograph tersebut dipasang pada tahun 1928 pada tempat yang sama.

Pada pertengahan dekade 1970, dengan disponsori oleh UNESCO, BMG mulai mengembangkan jaringan pemantau gempabumi dengan mengoperasikan 28 stasiun seismograph. Tiap-tiap stasiun dilengkapi dengan seismograph 1 komponen vertikal periode pendek, dan sinyal seismik direkam pada kertas seismogram. Mulai tahun 1990 sampai dengan saat ini, pada 10 stasiun seismograph dari 28 stasiun telah ditingkatkan menjadi 3 komponen periode pendek.

Sebagai organisasi yang bertugas diantaraanya melakukan pengamatan gempabumi, BMG mempunyai 5 Balai Wilayah, yakni BMG Wilayah I di Medan, BMG Wilayah II di Ciputat, BMG Wilayah III di Denpasar, BMG Wilayah IV di Ujung Pandang dan BMG Wilayah V di Jayapura. Untuk pengolahan data gempabumi di Balai Wilayah, data gempabumi dari stasiun seismograph dikirim ke Balai Wilayah setiap 3 jam melalui SSB, telex, atau sarana telekomunikasi lain, bersama-sama dengan data meteorologi. Sekarang ini fasilitas komunikasi sudah dilengkapi dengan sarana VSAT untuk komunikasi stasiun dengan Balai wilayah dan dengan Pusat.

Saat ini BMG mengoperasikan jaringan pemantau gempabumi telemetri, yang terdiri dari 32 sensor. Sesuai dengan struktur organisasi BMG yang terdiri dari 5 Wilayah, jaringan tersebut dibagi menjadi 5 Jaringan Regional yang berpusat di Medan, Ciputat (Jakarta), Denpassar, Makassar dan Jayapura.

Kerjasama monitoring

Jumlah jaringan maupun jumlah stasiun milik BMG sangat dirasakan kurang dibandingkan dengan luas daerah Indonesia yang pada umumnya adalah aktif. Usaha untuk mengembangkan jaringan belum bisa dilaksanakan sehubungan dengan keterbatasan dana. Yang bisa dilakukan adalah kerjasama dengan jaringan seismograp luar negri agar bisa menambah data. Kerjasama yang berjalan sekarang ini adalah kerjasama dengan jaringan seismograp yang ada di negara ASEAN melalui ASEAN Earthquake Information Center (AEIC) yang berpusat di BMG Jakarta. AEIC menyediakan sarana komunikasi dengan negara ASEAN dalam pertukaran data gempa.

Gambar 1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia, Pasifik dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga. Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf.

Gambar 2. Distribusi gempa bumi yang pernah terjadi sejak tahun 1900 sampai 1996 dengan skala magnitudo > 6. Kedalaman gempa dibedakan dengan symbol seperti symbol dalam box pada gambar.


Gambar 3. Isoseismal yang menunjukkan distribusi intensitas skala MMI (Modified Mercally Intensity) yang dilaporkan oleh team survey dari BMG.



Gambar 4. Frekuensi gempa susulan yang dipantau oleh team survey BMG di Bengkulu
. Gempa susulan menurun secara exponensial, namun adakalanya ada kenaikan seismisitas setelah gempa susulan yang cukup besar. Gempa susulan selalu lebih kecil dibandingkan dengan gempa utamanya dan pada dasarnya tetap menurun secara exponensial.


Gambar 5. Pembagian daerah aktifitas gempa bumi (SEASEE, Vol.5, 1985) berdasarkan sejarah kegempaan.

Gambar 6. Klasifikasi peta gempa bumi berdasarkan data makro atau intensitas gempa di lokasi pengamat berada, (Jaya Murjaya dan Gunawan Ibrahim 1998).

1 komentar:

  1. pak guru bleh kah low aku ad sesuatu yang beklum di mengerti dapat bertanya, low ad tugas dari kampus yang kurang aku pahami


    salam ilham

    BalasHapus