18 September 2012

Perkembangan pemikiran pendekatan geografi: Berakhirnya dominasi Geografi Wilayah dan munculnya Geografi Spatial Sains.


PENGANTAR
Hebatnya manusia bisa dilihat dari pencapaian bukan saja dalam bidang teknologi tetapi juga dalam bidang filsafat. Dalam pada itu, dalam proses pembangunan nasional yang sedang berjalan khususnya pembangunan yang mana ilmu pengetahuan geografis memainkan peran yang sangat penting. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Kardono Darmoyuwono (1982, dalam Bintaro dan Surastopo 1982)
"... peranan ilmu geografi dalam membantu mengembangkan gagasan Wawasan Nusantara sangat jelas. Seperti yang dirumuskan dalam Garis - garis Besar Haluan Negara di mana geografis merupakan salah satu aspek dari delapan aspek Wawasan Nusantara ... ".
Prof. Kardono Darmoyuwono (1982)
Jadi di sini, jelas bahwa peran ilmu geografis sangat penting. Sehubungan dengan itu, dewasa ini semakin banyak pendekatan interdisiplin ilmu dalam lingkungan ilmu dan ilmu geografis dapat menjadi pengintergrasi ilmu tetapi Prof. Kardono Darmoyuwono menegaskan bahwa tidak berarti geografis bukan merupakan disiplin ilmu yang memiliki fitur - fitur batasan sendiri. Bahkan menurut beliau lagi bahwa ada pendapat yang menyatakan geografis adalah suatu ilmu yang berorientasi pada masalah interaksi antara manusia dan lingkungan. Dengan demikian, menurut beliau lagi manusia dan alam sekitarnya merupakan objek kajian geografis.
Tetapi, dalam hubungan manusia dengan lingkungannya dikarenakan-perbedaan perkembangan lingkungan geografis, perbedaan perkembangan ekonomi, teknologi dan perbedaan konsep berpikir tentang lingkungan maka tidak heran ada berbagai teori tentang studi hubungan manusia - lingkungan. Dalam pada itu, dalam diskusi ini juga peneliti akan membuat penilaian tentang dua teori yang ada dalam lingkungan dalam upaya para pendukung teori tersebut dalam argumen mereka terhadap metode bagaimana manusia seharusnya melihat lingkungan.
Yakni, dalam diskusi ini teori geografis sebagai sains ruang dikatakan sebagai reaksi terhadap ketidakrelevanan geografis wilayah. Dengan kata lain, seolah - olah pendukung teori sains ruang mengatakan di sini bahwa 'kami benar dan mereka salah'. Dengan demikian, sebagai peneliti sebelum peneliti mengiakan atau meniadakan kenyataan ini maka adalah perlu kedua - dua teori ini dibuat penilaian yang adil.
LATAR BELAKANG KONSEP.
Geografi Wilayah (GW) sebenarnya sudah lama dimulai yang terlihat mulai muncul dengan kesadaran Benhard Veranius tentang konsep pengaturan kembali tentang geografis di mana Broek dan Webb (1969) menyebut bahwa Veranius menyebut tentang konsep dualisme. Apa yang dimaksud dengan konsep dualisme ini adalah pembagian Veranius tentang geografis umum dan geografis khusus.
Sedangkan Bintaro dan Surastopo (1982) berpendapat bahwa konsep dualisme ini berjalan serentak yang mana Veranius mengusulkan agar geografis umum dan geografis khusus mempelajari unsur - unsur fisik yang dapat dijelaskan dengan 'hukum', sedangkan geografis khusus (Geografi Wilayah) yang menyangkut manusia yang sulit diramalkan sebelumnya harus tetap bersifat deskriptif.
Kalau diteliti dari kenyataan Bintaro dan Surastopo nampaknya kedua - dua teori ini telah ada berdasarkan pembagian geografis kepada sifat umum dan khusus tadi. Apa yang menarik tentang konsep GW ini adalah ia lebih identik kepada Richard Hartshorne yang telah memperkenalkan konsep idiografik yang sangat populer sejak tahun 1939 sampai 1953.
Sedangkan Sains Ruang atau Spatial Sains juga sebenarnya pada pendapat peneliti bertitik tolak dari hasil penelitian Veranius yang mana kata 'hukum' di sini membayangkan unsur sebab akibat yang bisa diuji dengan metode ilmiah. Apa yang menarik kedua - dua konsep ini pada pandangan peneliti tidak dapat dipisahkan karena peneliti berpendapat bahwa ada konsep yang tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan angka tetapi membutuhkan penerangan arbitrari dan demikian juga ada hal yang bersangkutan dengan bumi yang bisa atau lebih tepat dijelaskan dengan penggunaan metode ilmiah . Ironisnya konsep geografis yang diperkenalkan oleh Veranius menjadi bahan perdebatan khususnya debat yang dikaitkan dengan Hartshorne - Schaefer tentang konsep idiografik - nomotetik.
Johnston (1989) menyatakan bahwa Harthorne telah memberikan gambaran teratur mengenai muka bumi sebagai wilayah formal. Kesimpulan yang dapat dibuat pada kedua - dua teori ini pada pandangan peneliti memang memiliki kekuatan dan kelemahan masing - masing walaupun para pendukung teori ini masing - masing mencoba mempertahankan kehebatan dan Relevansinya teori tersebut terhadap kajian geografis.
KONSEP, KEKUATAN DAN KELEMAHAN TEORI GEOGRAFI WILAYAH.
LATAR BELAKANG.
Teori ini diperkenalkan oleh Hartshorne malahan beliau berhasil memantapkan posisinya dalam disiplin geografis dengan memperkenalkan konsep idiografik (Johnston, 1989). Dalam karya Hartshorne The Nature of Geography: A Critical survery of Current Thought in The Light of The Past beliau telah memperkenalkan konsep perbedaan wilayah yang dapat dilihat dalam konteks penghasilan sesuatu lanskap tertentu yang memperlihatkan konsep keunikan masing-masing.
Jika diperhatikan, sebenarnya di sini Hartshorne telah memperkenalkan metode ilmiah dalam penelitiannya bahkan Stueve (2003) menyatakan bahwa ada beberapa peneliti yang berpendapat bahwa Hartshorne dengan konsepnya secara langsung telah membawa pendekatan yang hampir pada pendekatan positivisme dari metode ilmiah.
Dalam pada itu, Tuner, BL (Tuner, 2003, p.55) menegaskan bahwa Hartshorne lebih menekankan perhatian terhadap sejarah, hal yang rinci dan juga pembagian fenomena untuk menjelaskan secara rinci tentang area. Jelas bahwa konsep utama yang dibawa oleh Richard Hartshorne dalam teorinya adalah penekanan terhadap perincian sesuatu daerah dari aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan angka.
Pendeknya, Hartshorne mencoba memberikan penerangan sejelas - jelasnya tentang fitur - fitur sesuatu lokasi kepada pembaca melalui penerangan yang rinci.
KEKUATAN.
Jika diperhatikan konsep yang dibawa oleh Hartshorne yang telah memperkenalkan konsep Idiografik sebenarnya telah memberi kontribusi yang besar dalam kajian geografis. Ia bukan saja telah membuat penjelasan yang rinci tentang sesuatu yang ada di atas permukaan bumi tetapi juga Johnston (1989) menyatakan bahwa Harthorne telah memberikan gambaran teratur mengenai muka bumi sebagai yang dikenal wilayah formal. Yakni, wilayah formal (atau area seragam) yang mengandung fitur fenomena yang dikaji itu adalah sama jenisnya, dan area teras atau area bekerja yang memiliki fitur - fitur penyatuan yang diwujudkan melalui organisasi di sekitar suatu inti umum yang mungkin merupakan pusat sesuatu daerah.
Dalam konsep ini Hartshorne menyatakan bahwa dalam proses penelitian fenomena yang sama, ia menempatkan penggunaan peta sebagai dasar. Ia juga menggunakan format yang sama yaitu deskripsi saat membuat uraian struktur geologi satu - satu area: yaitu uraian rinci tentang bentuk muka bumi, tanah - tanih, iklim, sejarah, penggunaan area untuk tujuan pertanian dan juga pembangunan dalam bidang perkotaan dan transportasi.
Dalam pada itu, David (1975) menyatakan bahwa Barat Amerika mengingatkan kita bahwa penilaian daerah banyak bergantung pada pengetahuan tentang sejarah. Jadi di sini, peneliti berpendapat bahwa penerangan yang rinci tentang sesuatu fenomena yang dibuat oleh Hartshorne signifikan dengan pernyataan beliau. Apa yang peneliti maksudkan dengan signifikan di sini adalah informasi yang rinci tadi tentang fenomena di suatu kawasan memberikan gambaran yang jelas kepada peneliti terkemudian yang ingin melihat nilai area tersebut dari sudut sejarah silam dan sudah tentu pendekatan yang dilakukan oleh Hartshorne dapat memberikan informasi yang diinginkan.
Singkatnya, kekuatan teori Hartshorne adalah gambaran teratur mengenai muka bumi sebagai yang dikenal wilayah formal dengan memberikan penerangan yang rinci tentang fenomena - fenomena yang dikaji di suatu area. Kondisi ini dijelaskan dengan kata - kata beliau:
"Tugas geografis adalah untuk memberikan gambaran dan penafsiran yang tepat, teratur dan rasional mengenai fitur muka bumi yang berubah - ubah ..."
Richard Hartshorne, 1939.
Jadi, berdasarkan pada kata - kata Hartshorne bahwa tugas ahli geografi itu adalah memberikan gambaran dan penafsiran yang tepat, teratur dan rasional mengenai fitur - fitur muka bumi yang berubah - ubah. Maka, pada pendapat peneliti, apa yang penting dalam pendekatan ini adalah penerangan jelas yang dibuat itu sebenarnya sangat berguna bagi peneliti di kemudian hari khususnya peneliti yang ingin mencari sejarah tentang sesuatu fenomena.
Bahkan pendekatan Hartshorne ini didukung dengan pendapat Ackerman (1963) yang menyatakan bahwa koreksi untuk cacat yang utama dalam kajian geografis membutuhkan lebih banyak lagi penelitian dan pelatihan dalam spesialisasi sistematis yang mana menurut beliau hal ini tidak bertentangan dengan filosofi bidang yang memberikan prioritas pada penggabungan wilayah karena katanya, penelitian sistematis yang lebih rinci akan menghasilkan interpretasi yang lebih mendalam tentang daerah.
KELEMAHAN.
Istilah kelemahan dalam teori Geografi Wilayah sebenarnya hanya timbul ketika muncul konsep Sains Ruang yang sinonim dengan istilah metode ilmiah dan statistik yang mana anggota - anggota geografis yang terkemudian dari angkatan Hartshorne yang mengatakan bahwa teori ini tidak canggih dan umum.
Apa yang mencoba dikatakan sebagai kelemahan dalam teori Hartshorne oleh ahli geografi yang terkemudian adalah analisis Geografi Wilayah gagal membuat prediksi untuk masa depan. Dalam pada itu juga, Carl (1925) menyatakan bahwa Geografi Wilayah mengkaji setiap fenomena secara terpisah tetapi sebenarnya sesuatu memiliki bentuk, struktur dan fungsi membentuk satu sistem yang bersangkutan dengan pembangunan, perubahan dan pelengkapan. Tanpa gambaran nyata dan hubungannya, hanya ada disiplin khusus dan bukan geografis seperti yang diketahui umum. Beliau menambahkan bahwa dalam situasi analogi sejarah yang mungkin terdiri dari ekonomi, politik, sosial dan sebagainya tetapi hasil penelitian bukanlah sejarah.
Bahkan ada peneliti yang berpendapat bahwa metode penelitian GW adalah sangat statis yang hanya dianggap sebagai katalog pada wilayah - wilayah yang berbeda. Bahkan apa yang dipentingkan adalah kemampuan membuat prediksi untuk masa depan dan ini tidak dapat dilakukan dalam aliran Geografi wilayah.
Bukan sekedar tanggapan bahwa GW sangat statis tetapi tanggapan bahwa GW tidak ilmiah merupakan tamparan yang hebat pada pendekatan ini. Pendekatan Hartshorne menjadi tergugat dengan munculnya pendekatan SS yang dipelopori oleh Schaefer.
KEMUNCULAN spatial SAINS, KEKUATAN DAN DEBAT DENGAN GEOGRAFI WILAYAH.
LATAR BELAKANG DAN KEKUATAN spatial SAINS.
Kemunculan Spatial Sains (SS) dalam tahun 1950-an telah membawa revolusi dalam metodologi penelitian geografis khususnya Geografi Manusia yang dikatakan mengalami transformasi radikal yang dikaitkan dengan penggunaan ahli geografi yang menekankan pada argumen sistematis berteraskan prinsip - prinsip pengujikajian dan kuantifikasi karena menurut Schaefer (1953 , dalam Johnston, 1989) geografis harus dianggap sebagai ilmu yang memberikan perhatian pada rumusan hukum tersebut taburan keruangan fitur - fitur tertentu yang ada di permukaan bumi.
Selaras dengan revolusi kuantitatif dan revolusi organisasi ruang maka ada pula konsep revolusi teoritikal dengan itu geografis telah dianggap sebagai sains. Untuk itu, maka tradisi geografis yang lebih pada deskripsi dan keunikan harus beralih pada penjelasan dan generalisasi.
Jadi, Rodrigue (2002) menyatakan bahwa teori ini (SS) mendorong penelitian yang spesifik dalam topik tertentu tanpa harus mengetahui banyak hal dan apa yang menarik kepada seseorang peneliti karena tradisi pemikiran ini lebih pada fenomena kemanusiaan. Dalam hal ini, Christine memperlihatkan bahwa penelitian tidak harus mencakup semua fenomena di atas permukaan bumi seperti yang diusulkan oleh Hartshorne yang mana penelitian fenomena permukaan bumi sebagai satu komponen. Sedangkan Pattison (nd) menyatakan bahwa perubahan pemikiran Barat adalah karena kepercayaan terhadap kepentingan SS yang memisahkan apa yang terjadi dalam suatu pengalaman yaitu jarak, bentuk, arah dan posisi. Sebagai kesimpulan, apa yang dipentingkan dalam teori SS adalah kepentingan penggunaan metode ilmiah dan kuantifikasi dalam penelitian yang memungkinkan penjelasan dan prediksi ke arah penjelasan dan generalisasi.
Bahkan dalam konteks kajian pendekatan SS, jarak, bentuk, arah dan posisi tempat dipentingkan di mana ini sangat berbeda dengan GW yang mengutamakan konsep tempat.
KEJATUHAN KONSEP GEOGRAFI WILAYAH DAN KEMUNCULAN GEOGRAFI spatial SAINS.
Dalam konteks debat Hartshorne - Schaefer yang dimulai dalam tahun 1953 yang mana Schaefer menantang konsep deskripsi dan perbedaan oleh Hartshorne dengan menyatakan geografis adalah sains yakni faktor ditentukan oleh distribusi khusus atau beberapa penentu pada permukaan bumi (Gaunthier & Taaffe ', nd) dan efek debat ini telah menyebabkan terjadinya pertentangan banyak anggota geografis (Johnston, 1997 p. 44-70).
Sebagai kontras debat yang dikatakan dapat dilihat dari sudut seperti yang ditampilkan dalam tabel di bawah.

Tabel 1: Hal yang dominan menjadi bahan penting debat Hartshorne - Schaefer.

Sumber: University of Aberdeen. (Nd, The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 tochronicle 1960)
 Berdasarkan Tabel 1 di atas, jelas bahwa pendekatan GW mementingkan area bersifat penerangan atau deskripsi yang dianggap oleh beberapa ahli geografi sebagai penerangan yang berlebihan dibandingkan dengan pendekatan SS yang mengutamakan konsep ruang untuk mendapat hukum umum berdasarkan ada analisis dan penjelasan.
Sedangkan Doyran (2001) menyatakan bahwa Schaefer merasa meskipun Hartshorne menyertakan data tetapi untuk Schaefer data tersebut adalah salah dan berarti yang tidak jelas dan tidak mengajukan pendekatan nomotetik.
Selain itu juga Kilpinen (1996) juga menyatakan bahwa popularitas GW yang dimulai pada tahun 1939 tetapi pendekatan geografis ini memiliki beberapa masalah. Antara masalahnya adalah keterlaluan memberikan uraian yang mana beliau menyatakan bahwa GW secara literal menyamai fitur - fitur format inventaris geografis fisik dan budaya. Selain itu, ia menyatakan bahwa GW hampir menyerupai teori karena wilayah tidak ada sekadar untuk kenyamanan alat logis untuk membagi permukaan bumi. Sehubungan dengan itu juga, beliau menyatakan bahwa penggabungan konsep wilayah dengan penelitian berteraskan deskripsi membuat GW menjadi alat penelitian yang sangat baik tetapi tidak efektif dalam aplikasi praktis. Dalam persoalan keragaman corak dalam geografis Jon T. Kilpinen juga menyatakan bahwa GW gagal menerangkan keragaman corak dalam geografis karena beliau menyatakan bahwa GW sangat terikat pada deskripsi asal - usul fenomena dan bukannya membantu anggota geografis memahami kenapa pola fenomena sedemikian rupa.
Selain itu, ia menyatakan bahwa kemungkinan masalah GW tidak ilmiah merupakan masalah terbesar dalam konsep GW. Apa yang dimaksudkan tidak ilmiah di sini pada pendapat peneliti adalah karena pendekatan GW tidak membuat analisis dan tidak menjelaskan tentang pola fenomena geografis yang dikaji yang pada pendapat ahli geografi SS perlu untuk memahami pola fenomena tersebut.
Selain itu, dalam perkembangan pembangunan dalam tahun 1960-an semakin banyak anggota geografis menemukan keterkaitan antara pembangunan dengan metode penelitian dalam geografis dan dalam pada itu Ackerman (1963) menjelaskan bahwa geografis adalah spatial distribusi yang membawa munculnya ilmu sosial dan sains tingkah laku.
Dalam pada itu juga, Carl (1925, dalam University of Aberdeen, The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960) menyatakan bahwa Geografi Wilayah mengkaji setiap fenomena secara terpisah tetapi sebenarnya sesuatu memiliki bentuk, struktur dan fungsi membentuk satu sistem bersangkutan dengan pembangunan, perubahan dan pelengkapan. Tanpa gambaran nyata dan hubungannya, hanya ada disiplin khusus dan bukan geografis seperti yang diketahui umum. Beliau menambahkan bahwa dalam situasi analogi sejarah yang mungkin terdiri dari ekonomi, politik, sosial dan sebagainya tetapi hasil penelitian bukanlah sejarah. Apa yang ia lihat di sini adalah pendekatan GW yang memberikan penjelasan sejelas mungkin tentang proses sesuatu fenomena tetapi Sauer kata hasil penelitian bukan sejarah karena pendekatan ini mengkaji semua fenomena.
Sedangkan Wooldridge (1946) menyatakan hasil perbandingan pandangan tentang fenomena, dengan berhati - hati mendidik kebiasaan menyebut kayu dari pohon ... metode Geographikal adalah sulit menyatakan sesuatu yang benar, berbeda dengan usaha yang diperkenalkan oleh sains analisis. Ini berarti bahwa Wooldridge mengatakan bahwa GW tidak memberi penerangan pada hal yang berguna sebaliknya hanya membuat uraian.
Peneliti berpendapat, apa yang beliau maksudkan di sini adalah persoalan - persoalan 'kenapa begitu?' Tidak dijawab oleh pendekatan GW. Selain itu, George (1946) menyatakan bahwa GW yang mencoba membuat perbatasan wilayah yang tidak terlihat tetapi itu sebenarnya tidak penting. Apa yang dimaksud oleh beliau adalah teritori sebenarnya tidak perlu dalam kajian geografis ketika meneliti fenomena.
Pendapat George memang memiliki kebenaran, berdasarkan pada pendekatan SS yang menemukan hukum generalisasi perbatasan tidak perlu karena fenomena yang dikaji bukanlah ingin mencari persamaan sebaliknya mencari jawaban pada persoalan - persoalan yang bersangkutan dengan topik penelitian yang lebih cenderung untuk mencari jawaban pertanyaan 'kenapa begitu'.
Sementara, John (1955) juga mempertanyakan GW yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang fenomena yang terjadi dan mengusulkan agar kongkongan yang telah membelenggu selama beberapa puluh tahun harus dihentikan. Ia menegaskan bahwa penekanan terhadap proses dalam geografis fisik sudah terkandung dalam Geografi Fisik dan demikian juga sejarah yang terkandung dalam Geografi Budaya. Ia menyarankan agar kita memulai hal baru "menyusuri operasi hukum alam terhadap bumi". Beliau menambahkan bahwa persoalan yang timbul terkait dengan tanah, langit dan air yang terlalu dekat dengan kita harus dipahami. Menurutnya lagi bahwa persoalan ini dan hasil kemitraan dalam pencarian jawaban terhadap fenomena ini merupakan bagian dari kehidupan manusia. Apa yang dimaksud oleh beliau mengenai kehidupan dan fenomena di sini adalah dalam GW persoalan tentang fitur - fitur fenomena yang beragam dan mengapa sedemikian rupa tidak dijelaskan yang pada pandangan Leighhly John adalah sangat perlu karena sudah menjadi lumrah manusia memiliki minat dan memiliki keinginan ingin tahu tentang sesuatu fenomena secara mendalam. Namun, keinginan seperti ini dinonaktifkan dalam pendekatan GW.
Namun, berbeda dengan pendapat Derek (1978) menyatakan bahwa apa yang telah diproduksi oleh ahli geografi sebelum ini sekurang - kurangnya telah memformulasikan dan menjelaskan teori tertentu dan ini penting karena memperlihatkan metode yang telah diperkenalkan dalam bidang sains yang lain mungkin sesuai dalam bidang geografi juga . Ia menambahkan bahwa apa yang penting di sini adalah metode itu tampaknya dapat memberikan dasar teknik yang perlu untuk elaborasi dasar umum. Apa yang penting sekarang menurut beliau adalah diharap geografis dapat menjelaskan dengan lebih baik dan berhasil mencapai persoalan dalam tujuan sosial. Peneliti berpendapat bahwa apa yang dimaksud oleh beliau di sini adalah pendekatan GW itu sebenarnya telah memberikan dasar untuk penelitian berikutnya dan apa yang diharapkan adalah pendekatan baru dapat mencapai keberhasilan yang lebih baik dalam mencari solusi persoalan dalam tujuan sosial dan bukannya bersaing di antara satu sama lain.
PENDAPAT DAN CADANGAN.
Seperti kata Stueve (2003) kita harus berpikir dengan seksama konsep utama setiap paradigma (GW dan SS) sebelum membuat keputusan umum tentang yang mana lebih baik. Jadi setelah melihat pendapat ahli geografi yang memberikan pandangan dan penjelasan adalah bertepatan jika dikatakan bahwa kemunculan ide geografis sebagai Spatial Sains adalah tepat dalam konteks ketidakrelevanan Geografi Wilayah dalam penelitian tentang fenomena geografis dengan alasan bahwa GW tidak mampu menjawab persoalan sikap ingin tahu manusia tentang 'kenapa begitu 'terhadap sesuatu fenomena, keterlaluan memberikan uraian serta masalah terbesar tidak ilmiah.
Namun, peneliti sependapat dengan beberapa anggota geografis yang memberikan pandangan lain tentang konsep GW dalam konteks teori. Bahkan dalam konteks ini juga sebenarnya Shaefer, (1953) tidak menolak konsep Hartshorne. ini jelas melalui pengakuan beliau:
"Peneliti tidak begitu optimis dalam kasus anggota geografis patut menolak usaha mencari hukum, kepentingan aspek kewilayahan penting sesuai kebutuhannya sendiri dan membatasi dirinya terus pada deskripsi hal - hal tidak perlu."
Schaefer, F. K. (1953).
Ini dapat menjelaskan bahwa Shaefer sendiri tidak menolak konsep yang diperkenalkan oleh Hartshorne karena menurut beliau itu adalah menurut pandangan pendukungnya untuk tujuannya sendiri. Peneliti berpendapat bahwa konsep ini seharusnya dilakukan oleh anggota - anggota geografis dalam usaha menemukan satu hukum yang universal dan bukannya saling bersaing karena ini Turner (2002) menyatakan bahwa persaingan di antara anggota geografis tidak hanya membawa keburukan pada geografis itu sendiri tetapi juga mematikan usaha mencari jawaban persoalan - persoalan yang dihadapi.
Sedangkan Wrigley (1965) berpendapat bahwa geografis tidak bisa membatasi diri dalam menggunakan analisis untuk penelitiannya. Analisis apa pun dapat digunakan asalkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan ia menyatakan hal ini dengan alasan bahwa geografis adalah berbasis masalah yang melihat interaksi hubungan manusia dengan alam sekitar. Apa yang Wrigley tekankan di sini pada pendapat peneliti adalah pendekatan GW dan SS itu adalah sama-sama baik karena kedua pendekatan ini memiliki tujuan yang sama yaitu ke arah mencari jawaban tentang persoalan interaksi manusia dengan lingkungan.
Demikian juga Stueve (2003) menyatakan pendiriannya yang menyebut bahwa adalah baik kalau kedua - dua paradigma ini disatukan dalam satu kesatuan yang dapat bersama-sama menyelesaikan masalah terkait dengan fenomena distribusi spatial. Kesimpulannya, tidak semua anggota geografis menolak atau menerima pendekatan GW dan SS sebaliknya mereka mengambil jalan tengah dalam upaya mencari solusi terhadap persoalan yang bersangkutan paut dengan persoalan interaksi manusia dengan hubungannya dengan lingkungan.
KESIMPULAN.
Mulai dari latar belakang dan melihat debat dan juga pendapat para ahli geografi dari aspek perkaedahan penelitian terhadap fenomena memang GW gagal memberikan apa yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang penelitian. Dalam pada itu, karena kegagalan ini maka ketidakrelevanannya telah memberi ruang kepada geografis sebagai spatial sains mendominasi penelitian fenomena geografis. Namun, kemunculan SS sebagai pendekatan yang dominan tidak pula mematikan pendekatan GW bahkan kedua pendekatan ini masih seiring dalam usaha menemukan solusi pada persoalan hubungan manusia dengan lingkungan tetapi menurut pendekatan masing-masing. Dengan demikian, jika dilihat dari aspek teori dan kepentingan geografis itu sendiri peneliti sependapat dengan Tuner, Wrigler dan Stueve yang mana pertentangan yang terjadi di antara kedua konsep ini dapat mengatasi masalah penelitian dalam bidang geografi jika kedua konsep ini dikombinasikan karena peneliti berpendapat bahwa tidak semua fenomena di permukaan bumi dapat dijelaskan dengan menggunakan metode statistik dan begitu juga terdapat fenomena yang membutuhkan penjelasan. Pendek kata, untuk kepentingan bidang geografis itu sendiri maka anggota geografis harus berubah ke arah geografis integrasi.
Sumber Referensi
 Ackerman, E.A. (1963). Where is research frontier? Annals of the Association of American Geographers 53:429-40
Bintaro, R. & Surastopo. (1982). Metode Analisa Geografi. Jakarta Barat: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Broek, J.O.M & John, W.W. (1968). A Geography of Mankind. New York: McGraw Hill.
Carl, S. (1925), Di University of Aberdeen. (N.d.). The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960), (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.abdn.achronicleuk/ ~ geo337/gg3012/regional.html
David, L. (1975). "Past Time, Present Place; Landscape and Meaning," Geographical Review, Vol. 65, pp. 1-36
Derek, g. (1978). dalam University of Aberdeen. (n.d.). The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960), (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.abdn.achronicleuk/ ~ geo337/gg3012/regional.html
Doyran, M. (2001). Marxism. (Online) diperoleh pada 16 November 2003 dari Situs Web http://www.mail-archive.com/marxism @ lists.panix.com/msg19309.html
 George, K. (1946), dalam University of Aberdeen. (N.d.). The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960), (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.abdn.achronicleuk/ ~ geo337/gg3012/regional.html
Hartshorne, R. (1959). Perspective on the Nature of Geography. Lancaster, Pennsylvania: Association of American Geographers.
Harward, L. Gaunthier, H. L & Taaffe ', E. J. (N.d.). Critique of 'The Development of geographic thought di Amerika Serikat oleh Howard. (Online) diperoleh pada 17 November 2003 dari Situs Web http://www.geog.tamu.edu/ ~ soma/homework_3.doc
John, L. (1955). dalam University of Aberdeen. (n.d.). The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960), (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.abdn.achronicleuk/ ~ geo337/gg3012/regional.html
Johnston, R. J. (1997). Geography and Geographers. Oxford University Press, Inc. New York, NY 10016.
___________. (1989). Geografi dan Ahli Geografi (Mokhtar Ahmad, Trans.). Jakarta: Pustaka dan Departemen Pendidikan Malaysia. (Karya asli diterbitkan pada tahun 1945).
___________. (1939). The Nature of Geography, Lancaster, Pennsylvania: Association of American Geographers.s
Kardono Darmoyuwono (1982). "Pengantar sidang Redaksi.", Dalam Bintaro, R. dan Surastopo. (1982). Metode Analisa Geografi. Jakarta Barat: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Hlm. Pengantar sidang redaksi.
Kilpinen, J. T. (1996). The Quantitative Revolution. (Online) diperoleh pada 16 November 2003 dari Situs Web http://www.valpo.edu/geomet/geo/courses/geo466/topics/quant.html
Pattison, P.D. (n.d.). The Four Traditions of Geography. (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.ncge.org/publications/journal/classic/fourtraditions.doc)
Rodrigue, C.M. (2002). Four Traditions of Geography. (Online) diperoleh pada 17 November 2003 dari Situs Web http://www.csulb.edu/ ~ rodrigue/geog140/lectures/4tradgeo.html
Shaefer, F. K. (1953), Di University of Aberdeen. (N.d.). The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960), (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.abdn.achronicleuk/ ~ geo337/gg3012/regional.html
______________. (1953)., Dalam Johnston, R.J. (1989). Geografi dan Ahli Geografi (Mokhtar Ahmad, Trans.). Jakarta: Pustaka dan Departemen Pendidikan Malaysia. (Karya asli diterbitkan pada tahun 1945).
Stueve, K. (2003). Hartshorne-Schaefer Debate and Turner. (Online) diperoleh pada 18 November 2003 dari situs http://geog.tamu.edu/ ~ stueve/GEOG610/Week3Essay.doc
Turner, B. L. 2002. Contested Identities: Human-Environment Geography and Disciplinary implications in a Restructuring Academy. Annals of the Association of American Geographers. 92 (1), pgs. 52-74.
University of Aberdeen. (Nd) The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960). (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.abdn.ac.uk/ ~ geo337/gg3012/regional.html
Wooldridge, S. W. (1946), dalam University of Aberdeen. (N.d.). The rise and fall of Regional Geography (chronicle 1920 to chronicle 1960), (Online) diperoleh pada 14 November 2003 dari Situs Web http://www.abdn.achronicleuk/ ~ geo337/gg3012/regional.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar